Anda di halaman 1dari 45

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Indrawati Z. Malotes

Topik : Kasus Bedah

Judul Potofolio : Appendicitis Akut + Nefrolithiasis Bilateral

Dokter Penanggung jawab : dr. Ramadhan Sp.B

Pendamping : dr. Hans Tunggadi

dr. Niko, S.Ked

Ampana , Januari 2020

Pendamping Pendamping

dr. Hans Tunggadi dr. Niko, S.Ked

Internship

dr. Indrawati Z. Malotes

1
KASUS MEDIK

Topik : Appendicitis Akut + Nefrolithiasis Bilateral

Tanggal Kasus : 19 November 2019 Presenter : dr. Indrawati Z. Malotes

Pendamping : dr. Hans Tunggadi, dr. Niko, S.Ked


Tanggal Presentasi : -
Pembimbing : dr. Ramadhan Sp.B

Tempat Presentasi : RSUD Ampana Kab. Tojo Una – Una

Objektif Presentasi

 Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran Tinjauan Pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja Dewasa Lansia □ Bumil

Pasien laki-laki usia tahun dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
□ Deskripsi
dirasakan sejak 1 har sebelum masuk RS

□ Tujuan Mendiagnosis dan menangani kasus Appendicitis + Nefrolithiasis Bilateral

Bahan Bahasan □Tinjauan Pustaka □ Riset Kasus □ Audit

Cara
□ Diskusi Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos
Membahas

Data Pasien Nama : Tn. S No. Registrasi : 12 63 04

Nama RS : Alamat : Terdaftar sejak :

RSUD Ampana Tojo Una – Una 19 november 2019

Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis :


 Appendicitis
 Nephrolithiasis bilateral

2. Riwayat Pengobatan :
Belum pernah berobat untuk keluhan ini

2
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
 Belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
 Riwayat tekanan darah tinggi tidak ada
 Riwayat DM tidak ada
 Riwayat konsumsi alcohol disangkal

4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti pasien.

5. Riwayat Pekerjaan :
Pasien sehari-harinya pegawai kantoran

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :


Pasien tinggal bersama istri dan anaknya.

7. Riwayat Kebiasaan : pasien jarang mengkonsumi buah dan sayur , dan air putih
8. Lain – lain :

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda vital:

 Tekanan Darah : 130/90 mmHg


 Nadi : 86 kali/menit
 Pernapasan : 24 kali/menit
 Suhu : 38 °C
 Berat Badan : 65 kg
 Tinggi badan : 160 cm

Kepala

 Bentuk dan ukuran : Bulat, Normocephal, deformitas (-)

3
 Rambut : Warna hitam, alopecia (-), tidak mudah dicabut
 Mata : Mata tidak cekung, Konjungtiva anemis -/-, sklera tidak ikterik, refleks
cahaya +/+, pupil bulat, isokor ±2mm.
 Hidung : sekret -/-, nafas cuping hidung (-), perdarahan (-)
 Mulut : sianosis (-), trismus (-)
 Temporo mandibular junction : Dislokasi (-), krepitasi (-), deformitas (-)

Leher

 JVP : tidak meningkat


 Kaku kuduk : tidak ada

Thoraks

 Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : tidak teraba benjolan, tactil fremitus (+/+)
Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung :
Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : teraba ictus cordis di ICS IV, 2 cm medial garis midklavicularis kiri
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, bising (-)

Abdomen.

Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik
McBurney dan epigastrium, nyeri lepas (+), rovsing(+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-),

4
Tidak teraba massa di perut kanan bawah,
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA +/+

Ekstremitas atas : Akral hangat, tidak ada edema.

Ekstremitas bawah : Akral hangat, tidak ada edema.

Laboratorium

DARAH RUTIN KIMIA DARAH

WBC 16,3x 103/µL GDS : 63 mg/dl

RBC 4,8 x 106/µL SGOT 25 U/L

HGB 14,2 g/dL SGPT 30 U/L

HCT 43,6% Kreatinin : 1,1

PLT 341 x 103/µL Ureum : 29

Neutrofil 81,9%

Limfosit 14,9%

Hasil Pembelajaran :

1. Mengetahui Cara Diagnosis appendicitis akut+ nephrolithiasis bilateral


2. Mengetahui Cara Penatalaksanaan Appendicitis akut+ Nefrolithiasis Bilateral

5
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN

1. Subjektif :
Pasien laki-laki, usia 50 tahun masuk RS dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah yang di rasakan sejak 6 jam SMRS. Nyeri yang di rasakan seperti
ditusuk tusuk dan dirasakan tembus sampai belakang. Nyeri dirasakan
bertambah pada saat batuk atau saat ditekan dan nyerinya berkurang dengan
posisi membungkuk. Pasien juga mengeluh demam bersamaan dengan nyeri
perut. . Penderita mengeluh mual namun tidak muntah. BAB dan BAK biasa

a. Objektif :
b. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
c. Kesadaran: Compos Mentis
d. Vital Sign
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 89 kali/menit
 Pernapasan : 24 kali/menit
 Suhu : 38 °C
 Berat Badan : 65 kg
 Tinggi badan : 160 cm

e. Mata : Konjungtiva anemis -/-

f. Paru :
 Inspeksi : Simetris ki=ka.
 Palpasi : fremitus ki=ka.
 Perkusi : sonor ki=ka.
 Auskultasi : rh (-), wh (-)

6
g. Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak terlihat.
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V.
Perkusi :
 Batas kanan : LSD.
 Batas atas : RIC II.
 Batas kiri : 1 jari medial LMCS RIC V.
Auskultasi: Irama regular, murni, bising (-)

h. Abdomen :

Inspeksi : kesan datar


Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik
McBurney dan epigastrium, nyeri lepas (+), rovsing(+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-),
Tidak teraba massa di perut kanan bawah,
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA +/+
i. Ekstremitas : Akral hangat, edem -/-
j.

Pemeriksaan laboratorium :

DARAH RUTIN KIMIA DARAH

WBC 16,3x 103/µL GDS : 63 mg/dl

RBC 4,8 x 106/µL SGOT 25 U/L

HGB 14,2 g/dL SGPT 30 U/L

HCT 43,6% Kreatinin : 1,1

PLT 341 x 103/µL Ureum : 29

Neutrofil 81,9%

7
Limfosit 14,9%

Pemeriksaan USG

Hasil pemeriksaan USG Appendicitis akut + nefrolithiasis bilateral dengan


ukuran terbesar 0,4 cm

Assessment :

Setelah dilakukan anamnesis (subjektif), pemeriksaan fisik dan penunjang (objektif)


pada pasien, maka diagnosis kasus ini dapat ditegakkan sebagai berikut:

 Diagnosis Klinis : appendicitis + nefrolithiasis bilateral

Penegakkan diagnosis dipikirkan berdasarkan penjelasan berikut ini:

Dari anamnesis data Pasien laki-laki, usia 50 tahun masuk RS dengan


keluhan nyeri perut kanan bawah yang di rasakan sejak 6 jam SMRS. Nyeri yang di
rasakan seperti ditusuk tusuk dan dirasakan tembus sampai belakang. Nyeri dirasakan
bertambah pada saat batuk atau saat ditekan dan nyerinya berkurang dengan posisi
membungkuk. Pasien juga mengeluh demam bersamaan dengan nyeri perut. .
Penderita mengeluh mual namun tidak muntah. BAB dan BAK biasa.

Gejala dan pemeriksaan fisik appendisitis bisa dinilai untuk menegakkan


diagnosa appendisitis dengan menggunakan Alvarado Score.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan
Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan
bukan radang akut.

8
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien pada kasus ini, dapat dilakukan
penilaian Alvarado score:

Migration of pain :1
Anorexia :0
Nausea/vomiting :1
RLQ tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur : 1
Leukocytosis :2
Left shift :-
Total points :9
Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien ini
kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.

Berdasarkan skor kalesaran


1. riwayat demam : +9
2. riwayat anoreksia : -20
3. cough sign : +27
4. demam >37,3 : +19
5. rebound tenderness : +18

9
6. rovsing sign :+16
7. psoas sign : +20
8. leukositosis : 19
9. neutrofil >70% : +20
Total poin : 128

 Dari penilaian skor kalesaran di dapatkan kesimpulan skor


Lebih dari 10 artinya diagnosis appendicitis akut dan segera harus di lakukan
tindakan operatif

Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umum: SS/GK/CM. Tanda vital:


TD = Tekanan Darah : 130/90 mmHg, Nadi: 89 kali/menit, Pernapasan : 24
kali/menit, Suhu: 38 °C. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan datar. Palpasi
Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik McBurney dan epigastrium, nyeri
lepas (+), rovsing(+), Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-), Tidak
teraba massa di perut kanan bawah, nyeri ketok CVA +/+. Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan


kesan leukositosis dengan WBC 16,9 x 103/uL,neutrofil 81,9%. Pada pasien ini di
lakukan pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : Hasil pemeriksaan USG
Appendicitis akut + nefrolithiasis bilateral dengan ukuran terbesar 0,4 cm

Plan :

Tatalaksana :

 Farmakologi
o IVFD nacl 0,9% 20 tpm
o Inj. sulbenicilin 1 gr/12 jam /IV
o Inj. Ketorolac 30mg/8 jam /IV
o Inj. Omeprazole 40 mg /24jam.IV
o Drips Paracetamol 1 gr/ 8 jam /IV

RENCANA
Appendectomy

10
Follow Up

Tanggal : 22 november 2019


S : Nyeri perut (+), demam (+). Mual (+), muntah (-)
O : KU : Sakit sedang
KS : Composmentis
Tanda – tanda vital :
TD : 120/70 mmHG
Nadi : 94x/menit
Respi : 23x/menit
Suhu : 37,8
Pemeriksaan fisik :
Abdomen :

Inspeksi : kesan datar


Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik
McBurney dan epigastrium, nyeri lepas (+), rovsing(+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-),
Tidak teraba massa di perut kanan bawah, nyeri ketok CVA +/+
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik

A : Appendicitis akut

Nefrolithasis bilateral

P : - IVFD nacl 0,9% 20 Tpm

- Inj . cefotaxim 1 gr/ 12 jam


- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/ iv
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam/ iv

11
- Inj paracetamol 1 gr 8 jam/ iv
- Rencana appendiktomi besok

Tanggal : 23 novemver 2019

S/ Demam tidak ada


Muntah tidak ada
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Tanda – tanda vital :
TD : 120/70 mmHG
Nadi : 84x/menit
Respi : 23x/menit
Suhu : 36,8

Kulit : teraba hangat


Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
A/ Post Appendectomy H+1
Nefrolithiasis bilateral
P/
- IVFD nacl 0,9% 20 Tpm

- Inj . cefotaxim 1 gr/ 12 jam


- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/ iv
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam/ iv
- Inj paracetamol 1 gr 8 jam/ iv

Tanggal : 24 november 2019

Demam tidak ada


Muntah tidak ada

12
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Tanda – tanda vital :
TD : 130/70 mmHG
Nadi : 84x/menit
Respi : 20x/menit
Suhu : 36,8

Kulit : teraba hangat


Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
A/ Post Appendectomy H+2
Nefrolithiasis bilateral
P/
- IVFD nacl 0,9% 20 Tpm

- Inj . cefotaxim 1 gr/ 12 jam


- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/ iv
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam/ iv
- Inj paracetamol 1 gr 8 jam/ iv
Tanggal : 25 november 2019

Demam tidak ada


Muntah tidak ada
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Tanda – tanda vital :
TD : 110/70 mmHG
Nadi : 74x/menit
Respi : 20x/menit

13
Suhu : 36,5

Kulit : teraba hangat


Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
A/ Post Appendectomy H+3
Nefrolithiasis bilateral
P/
- IVFD nacl 0,9% 20 Tpm

- Inj . cefotaxim 1 gr/ 12 jam


- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/ iv
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam/ iv
- Inj paracetamol 1 gr 8 jam/ iv
-
Tanggal : 26 november 2019

Demam tidak ada


Muntah tidak ada
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Tanda – tanda vital :
TD : 120/80 mmHG
Nadi : 85x/menit
Respi : 20x/menit
Suhu : 36,4

Kulit : teraba hangat


Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)

14
A/ Post Appendectomy H+4
Nefrolithiasis bilateral
P/
- IVFD nacl 0,9% 20 Tpm

- Inj . cefotaxim 1 gr/ 12 jam


- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/ iv
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 24 jam/ iv
- Inj paracetamol 1 gr 8 jam/ iv
Tanggal : 27 november 2019

S/ Demam tidak ada


Muntah tidak ada
Nyeri pada luka bekas operasi
Kembung (-)
O/ KU = sedang, Kes = CMC
Tanda – tanda vital :
TD : 10/80 mmHG
Nadi : 88x/menit
Respi : 20x/menit
Suhu : 36,4

Kulit : teraba hangat


Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : distensi (-), BU (+)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-)
A/ Post Appendectomy H+4
Nefrolithiasis bilateral
P/
- ACC Rawat jalan

Cefadroxil 2x500mg
Omeprazole 2x20 mg
Asam Mefenamat 3x500 mg

15
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDICITIS AKUT

1. ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix
selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.
Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

16
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada
dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

17
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2

2. INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang
dari satu tahun.2

Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis. Insiden


apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia
kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis menurun, tapi
apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan dewasa muda
rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun,
rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara
laki-laki dan perempuan.
Sekitar 20-30% kasus apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di
Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan
23,5% pada wanita.

3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium

18
yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau
Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat
tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis
acuta gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut

19
tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks
mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan


suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala


gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada

20
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix
yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena
eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal
dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria
akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi
dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada
palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.6

4. MANIFESTASI KLINIS

4.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12

21
jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di
RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri
1,2,3,7,8
suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,


biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul
sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix. 2,3

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.5

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

22
Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan..2

Sistem skor appendicitis akut Kalesaran

Di indonesia untuk penggunaan sarana diagnostik seperti laparoskopi dan


ultrasonografi masih banyak kendala , yaitu pengadaan alat yang tergolong mahal dan
membutuhkan keahlian untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan , sehingga
belum di jadikan pemeriksaan rutin di rumah sakit. Pertimbangan lainnya bahwa
dengan melakukan pemeriksaan tersebut akan berakibat dengan perpanjangan waktu
dalam pengelolaan penderita.

23
Jika jumlah skor

 Lebih dari 10 : diagnosis appendicitis akut dan segera harus di lakukan


tindakan operatif
 Antara -7 sampai 10 : tindakan “ observasi “ dan
 Kurang dari skor -7 bukan appendicitis akut
 Kasus dengan skor -7 sampai 10 , penderita harus rawat inap untuk di evaluasi
lebih lanjut , yaitu dengan perhitungan skor berulang sampai di tegakkan
dengan diagnosis appendicitis akut atau bukan appendicitis akut.

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.6

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,

24
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.7

4.2 Tanda Klinis

Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan


gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak
retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga
nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6

Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6

Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut7

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di
antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
menyebabkan nyeri rectal.6

Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan

25
rectal toucher tidak diperlukan lagi.6

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi
rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 7

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

26
Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign7

Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.

 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.

 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.

27
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.

 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

5.PEMERIKSAAN PENUNJANG

5.1 Laboratorium2,3,6,7

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan


pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada
Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa
abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥


11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran


kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra
atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

5.2.Ultrasonografi1,2,6,7

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang

28
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur
berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan
USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan
untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina
agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri
akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan
sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama
efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada
kehamilan lanjut.

USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.


Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak
lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada ujung
Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus
kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.

29
Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6

5.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop


leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan


yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

30
Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata

dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix

(panah) dengan appendicolith

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut
di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama
seperti Appendicitis acuta. 2,6

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada

31
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. Diagnosis banding Appendicitis tergantung
dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses
dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien. 2,6

1. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare,
mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare.
Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

2. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis


acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.

3. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk


membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2
tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah
umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir.
Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada
intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema,
sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat
berbahaya.

4. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai


Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

32
7.. PENATALAKSANAAN

Pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.


Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun
dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila
apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi
dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak.

8. KOMPLIKASI

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat


berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7oC
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinu.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum,
dan letak usus halus.
Komplikasi appendicitis juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan,
obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan
kematian.
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan
komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-
abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses
residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja

33
internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.

9. PROGNOSIS

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa


penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam
rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan
secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus
buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati
secara benar.

34
NEFROLITHIASIS

1. Pengertian

Gambar Nefrolitiasis

Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis


renal, pembentukan deposit mineral yang kebanyakan adalah kalsium oksalat dan
kalsium phospat meskipun juga yang lain urid acid dan kristal, juga membentuk
kalkulus (batu ginjal).
Batu ginjal adalah istilah umum batu ginjal disembarang tempat. Batu ini
terdiri atas garam kalsium, asam urat, oksalat, sistin, xantin, dan struvit
(Patofisiologi keperawatan, 2000).
Nefrolitiasis merupakan penyakit kencing batu yang terjadi di ginjal yang
menyebabkan tidak bisa buang air kecil secara normal dan terjadi rasa nyeri
karena adanya batu atau zat yang mengkristal di dalam ginjal.

2. Etiologi
Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu
seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat
terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara
normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju
pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu cenderung

35
terjadi pada pasien dehidrasi).
Penyebab terbentuknya batu digolongkan dalma 2 faktor:
a. Faktor endogen:
 Hyperkalsemia : Meningkatnya kalsium dalam darah
 Hyperkalsiuria : Meningkatnya kalsium dalam urin
 Ph urin
 Kelebihan pemasukan cairan dlam tubuh yang bertolak belakang
dengan keseimbangan cairan yang masuk dalam tubuh
b. Faktor eksogen:
 Air minum
Kurang minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan
terjadinya pengendapan kalsium dalam pelvis renal akibat ketidak
seimbangan cairan yang masuk
 Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyaknya pengeluaran
keringat, yang akan mempermudah pengurangan produksi urin dan
mempermudah terbentuknya batu.
 Makanan
Kurangnya mengkonsumsi protein dapat menjadi factor terbentuknya
batu
 Dehidrasi
Kurangnya pemasukan cairan dalam tubuh juga ikut membantu proses
pembentukan urin.

3. Patofisiologi
Nefrolitiasis merupakan kristalisasi dari mineral dan matriks seperti pus darah,
jaringan yang tidak vital dan tumor. Komposisi dari batu ginjal bervariasi, kira-
kira tiga perempat dari batu adalah kalsium, fosfat, asam urin dan
cistien.peningkatan konsentrasi larutan akibat dari intake yang rendah dan juga
peningkatan bahan-bahan organic akibat infeksi saluran kemih atau urin ststis
sehingga membuat tempat untuk pembentukan batu. Ditambah dengan adanya
infeksi meningkatkan kebasaan urin oleh produksi ammonium yang berakibat
presipitasi kalsium dan magnesium pospat (Jong, 1996: 323)
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

36
kemudian dijadikan dalam beberapa teori:

a. Teori supersaturasi
Tingkat kejenuhan kompone-komponen pembentuk batu ginjal
mendukung terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak menetap
menyebabkan terjadinya agresi kristal kemudian timbul menjadi batu.
b. Teori matriks
Matriks merupakan mukoprotein yang terdiri dari 65% protein, 10%
heksose, 3-5 heksosamin dan 10% air. Adapun matriks menyebabkan
penempelan kristal-kristal sehingga menjadi batu.
c. Teori kurang inhibitor
Pada kondisi normal kalsium dan fosfat hadir dalam jumlah yang
melampui daya kelarutan, sehingga diperlukan zat penghambat
pengendapat. Phospat mukopolisakarida dan dipospat merupakan
penghambatan pembentukan kristal. Bila terjadi kekurangan zat ini maka
akan mudah terjadi pengendapan.
d. Teori epistaxi
Merupakan pembentukan baru oleh beberapa zat secra- bersama-sama,
salauh satu batu merupakan inti dari batu yang merupakan pembentuk
pada lapisan luarnya. Contohnya ekskresi asam urayt yanga berlebihan
dalam urin akan mendukung pembentukan batu kalsium dengan bahan urat
sebagai inti pengendapan kalsium.
e. Teori kombinasi
Batu terbentuk karena kombinasi dari berbagai macam teori di atas.

37
4. Jenis-jenis Batu dan Komposisi Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium: kalsium
oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP),
xanthyn, da sistin, silikat dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan /
komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan
terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.
a. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak di jumpai, yaitu kurang lebih 70 - 80% dari
seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium
oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur itu. Faktor
terjadinya batu kalsium adalah hiperkalsiuri, hiperoksaluri,
hiperurikosuria, dan hipositraturia
b. Batu Struvit
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi
ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat
menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa

38
melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Kuman-kuman yang termasuk
pemecah urea di antaranya adalah: Proteusspp, Klebsiella, Serratia,
Enterobakter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E coli banyak
menimbulkan infeksi saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk
pemecah urea.
c. Batu Asam Urat
Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Di
antaranya 75-80% batu asam urat terdiri atas asam murni dan sisanya
merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak
diderita oleh pasien-pasien gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang
mendapatkan terapi antikanker, dan yang banyak mempergunakan obat
urikosurik diantaranya adalah sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat.
Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai
peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit ini.

5. Tanda dan Gejala


Batu yang terjebak diureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa,
akut, kolik, yang menyebar kepaha dan genitalia. Pasien merasa selalu ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah
akibat aksi abrasive batu. Batu yang terjebak dikandung kemih biasanya
menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan
hematuria.
Keluhan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut:
a. Hematuria
b. Piuria
c. Polakisuria/fregnancy
d. Urgency
e. Nyeri pinggang menjalar ke daerah pingggul, bersifat terus menerus pada
daerah pinggang.
f. Kolik ginjal yang terjadi tiba-tiba dan menghilang secara perlahan-lahan.
g. Rasa nyeri pada daerah pinggang, menjalar ke perut tengah bawah,
selanjutnya ke arah penis atau vulva.
h. Anorexia, muntah dan perut kembung
i. Hasil pemeriksaan laboratorium, dinyatakan urine tidak ditemukan adanya

39
batu leukosit meningkat.

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Urin
 PH lebih dari 7,6
 Sediment sel darah merah lebih dari 90%
 Biakan urin
 Ekskresi kalsium fosfor, asam urat
b. Pemeriksaan darah
 Hb turun
 Leukositosis
 Urium krestinin
 Kalsium, fosfor, asam urat
c. Pemeriksaan Radiologist
Foto Polos perut / BNO (Bladder Neck Obstruction) dan Pemeriksaan
rontgen saluran kemih / IVP (Intranenous Pyelogram) untuk melihat
lokasi batu dan besar batu
d. CT helikal tanpa kontras
CT helical tanpa kontras adalah teknik pencitraan yang dianjurkan pada
pasien yang diduga menderita nefrolitiasis. Teknik tersebut memiliki
beberapa keuntungan dibandingkan teknik pencitraan lainnya, antara lain:
tidak memerlukan material radiokontras; dapat memperlihatkan bagian
distal ureter; dapat mendeteksi batu radiolusen (seperti batu asam urat),
batu radio-opaque, dan batu kecil sebesar 1-2 mm; dan dapat mendeteksi
hidronefrosis dan kelainan ginjal dan intra-abdomen selain batu yang
dapat menyebabkan timbulnya gejala pada pasien. Pada penelitian yang
dilakukan terhadap 100 pasien yang datang ke UGD dengan nyeri
pinggang, CT helikal memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 100%, dan
nilai prediktif negatif 97% untuk diagnosis batu ureter.
c. USG abdomen
Ultrasonografi memiliki kelebihan karena tidak menggunakan radiasi,
tetapi teknik ini kurang sensitif dalam mendeteksi batu dan hanya bisa
memperlihatkan ginjal dan ureter proksimal. Penelitian retrospektif pada
123 pasien menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan CT Helikal sebagai

40
gold standard, ultrasonografi memiliki sensitivitas 24% dan spesifisitas
90%. Batu dengan diameter lebih kecil dari 3 mm juga sering terlewatkan
dengan ultrasonografi.

7. Penatalaksanaan
Sjamsuhidrajat (2004) menjelaskan penatalaksanaan pada nefrolitiasis terdiri
dari:
a. Obat diuretik thiazid (misalnya trichlormetazid) akan mengurangi
pembentukan batu yang baru.
b. Dianjurkan untuk minum banyak air putih (8-10 gelas/hari).
c. Diet rendah kalsium dan mengkonsumsi natrium selulosa fosfat.
d. Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat pembentukan batu
kalsium) di dalam air kemih, diberikan kalium sitrat.
e. Kadar oksalat yang tinggi dalam air kemih, yang menyokong terbentuknya
batu kalsium, merupakan akibat dari mengkonsumsi makanan yang kaya
oksalat (misalnya bayam, coklat, kacang-kacangan, merica dan teh). Oleh
karena itu sebaiknya asupan makanan tersebut dikurangi.
f. Kadang batu kalsium terbentuk akibat penyakit lain, seperti
hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus
renalis atau kanker. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan pengobatan
terhadap penyakit-penyakit tersebut. Batu asam urat.
g. Dianjurkan untuk mengurangi asupan daging, ikan dan unggas, karena
makanan tersebut menyebabkan meningkatnya kadar asam urat di dalam
air kemih.
h. Untuk mengurangi pembentukan asam urat bisa diberikan allopurinol.
i. Batu asam urat terbentuk jika keasaman air kemih bertambah, karena itu
untuk menciptakan suasana air kemih yang alkalis (basa), bisa diberikan
kalium sitrat.
j. Dianjurkan untuk banyak minum air putih.
Sedangkan menurut Purnomo BB (2003), penatalaksanaan nefrolitiasis adalah

Penatalaksanaan Medis Batu Saluran Kemih


Tujuan dasar penatalaksanaan medis BSK adalah untuk
menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron,
mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, pengobatan
41
medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa operasi, dan pembedahan
terbuka.

Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih
kecil yaitu dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat
keluar tanpa intervensi medis.
Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan diet makanan
tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu (misalnya
kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh
meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien BSK harus minum
paling sedikit 8 gelas air sehari.

Pengobatan Medik Selektif dengan Pemberian Obat-obatan


Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan
agar batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin
sulfat yaitu petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti
ketorolac dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri.
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian
antibiotik apabila terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu
untuk mencegah infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, BSK dapat
dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan
untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya.

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Merupakan tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan
ini digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu. Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama
kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu
ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dapat mengurangi keharusan
melakukan prosedur invasif dan terbukti dapat menurunkan lama rawat inap di
rumah sakit.

Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung
kedalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukan melalui uretra atau melalui
insisi kecil pada kulit (perkutan). Beberapa tindakan endourologi tersebut
adalah:

a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) adalah usaha mengeluarkan batu


yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi
ke sistem kalies melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau

42
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b. Litotripsi adalah memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli.
c. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi adalah dengan memasukan alat
ureteroskopi per-uretram. Dengan memakai energi tertentu, batu yang
berada di dalam ureter maupun sistem pelvi kalises dapat dipecah melalui
tuntunan ureteroskopi / ureterorenoskopi ini.
d. Ekstrasi Dormia adalah mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia.

Tindakan Operasi
Penanganan BSK, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk mengeluarkan
batu secara spontan tanpa pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika
batu tidak merespon terhadap bentuk penanganan lainnya. Ada beberapa jenis
tindakan pembedahan, nama dari tindakan pembedahan tersebut tergantung
dari lokasi dimana batu berada, yaitu:

a. Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang


berada di dalam ginjal
b. Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di ureter
c. Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang
berada di vesica urinearia
d. Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di uretra

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal


Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

th
8. Tanagho, Emil A dan Jack W. McAninch. 2008. Smith’s General Urology 17
Edition. McGraw-Hill Companies: NewYork.

9. Snell, Richard.2012.Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC halaman 786-787.

10. Purnomo, BB. 2011. Dasar – Dasar Urologi. SMF Urologi/Lab Ilmu Bedah. RSUD
Dr. Saiful Anwar. Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya. Sagung Seto. Hal: 78 – 84

11. Dreger NM, Degener S, Nejad PA, et al. 2015. Urosepsis – Etiology, Diagosis, and
Treatment. Deutches Arzteblatt International. Vol 112. Pp: 837 – 48.

12. Wagenhelner FME, Pilatz A, Naber KG, et al. 2008. Therapeutic Challenges of
Urosepsis. European Journal of Clinical Investigation Vol. 38. Pp: 45 – 49.

44
45

Anda mungkin juga menyukai