Anda di halaman 1dari 15

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU SAINS

I. PENDAHULUAN
Perkembangan sebagai produk berpikir merupakan obor dan semen
peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan
lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah menghasilkan kapak dan
batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak
pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam
buah pikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayannya.
Meskipun kelihatannya betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran
itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita ketahui?
(Ontologi) Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? (Epistemologi)
1
dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (Aksiologi).
Sedangkan untuk istilah ilmu atau science merupakan suatu kata yang
sering diartikan dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti.
Science dalam arti sebagai natural science, biasanya dimaksud dalam ungkapan
“sains dan teknologi”. Menurut Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah
proses yang membuat pengetahuan (science is the process which makes
2
knowledge).
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita, sebab secara
ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam
lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah di luar
penjajahan yang bersifat diluar transendental yang berada di luar pengalaman
3
kita. Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan

1
dikritisi oleh diri sendiri maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang
dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” atau apanya yang perlu diketahui
maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri. Adapun
pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang akan kita
gunakan dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian
epistemologi. Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi
manusia, dan makhluk lainnya, termasuk lingkungan dimana manusia berada,
4
disebut kajian aksiologi.
Ketiga dimensi utama filsafat ilmu diatas yaitu ontologi merupakan asas
dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan
serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut.
Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan
asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam
tubuh pengetahuan tersebut, yang mana ketiganya (ontologi, epistemologi, dan
aksiologi) merupakan tiang penyangga bagi tubuh pengetahuan yang
5
disusunnya.

II. PEMBAHASAN
Sepanjang sejarahnya manusia dalam usahanya memahami dunia
sekelilingnya mengenal dua sarana, yaitu pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) dan penjelasan gaib (mystical explanations). Kini di satu pihak
manusia memiliki sekelompok pengetahuan yang sistematis dengan berbagai
hipotesis yang telah dibuktikan kebenarannya secara sah, tetapi di pihak lain
sebagian mengenal pula aneka keterangan serba gaib yang tidak mungkin diuji
sahnya untuk menjelaskan rangkaian peristiwa yang masih berada di luar
jangkauan pemahamannya. Di antara rentangan pengetahuan ilmiah dan

2
penjelasan gaib itu terdapatlah persoalan ilmiah yang merupakan kumpulan
6
hipotesis yang dapat diuji, tetapi belum secara sah dibuktikan kebenarannya.
Berbicara mengenai ilmu erat kaitannya dengan filsafat, baik secara
substansial maupun historis. Karena kelahiran ilmu itu sendiri tidak bisa lepas
dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu akan selalu memperkuat
7
keberadaan filsafat. Dalam bahasa Inggris ilmu pengetahuan disebut sebagai
science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang
8
berarti mempelajari, mengetahui. Pengertian ilmu juga dapat dirujukkan pada
9
kata ‘ilm (Arab), waenschap (Belanda), dan wissen haf (Jerman). The Liang
Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara
rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti
10
manusia. R. Harre menulis ilmu adalah kumpulan teori yang sudah diuji coba
yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara
11
fenomena yang dipelajari secara hati-hati.
Ilmu adalah suatu cara untuk mengetahui. Yang hendak diketahui adalah
realitas, yakni segala sesuatu, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang ada
dilingkungan manusia, the khower. Yang dimaksudkan dengan lingkungan
disini adalah lingungan alam dan lingkungan sosial, dan bukan hanya yang
dekat dan “bersentuhan” langsung dengan kita, melainkan juga yang berjarak
12
keruang waktu (spatio-temporal) bukan alang-kepalang jauhnya.
Kemunculan ilmu pengetahuan di Eropa dimulai pada zaman Yunani
Kuno. Periode ini merupakan awal terjadinya perubahan pola pikir manusia,
dari pola pikir mitosentris yang sangat mengandalkan mitos dalam menjelaskan

3
fenomena alam, menuju kepada pola pikir logosentris yang sangat
memerhatikan penggunaan kausalitas dalam memahami fenomena alam. Akibat
perubahan pola pikir ini, manusia yang sebelumnya pasif dalam menghadapi
fenomena alam berubah menjadi aktif dan kritis sehingga alam dijadikan objek
13
penelitian.
Untuk lebih memahami konstruksi ilmu pengetahuan, maka harus
didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Mujamil Qomar dalam bukunya yang
berjudul “Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik” menjelaskan bahwa ontologi, epistemologi dan aksiologi dikenal sebagai
sub sistem dari filsafat. Demikian juga setiap jenis pengetahuan selalu
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu,
epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Secara detail,
tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan
aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model sistemik, justru ketiganya
14
harus senantiasa dikaitkan. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan
15
interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantungan).
A. Ontologi
1. Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)
Pengertian ontologi ini merupakan istilah dari bahasa Yunani yang
berasal dari kata ‘ontos dan logos’. Ontos artinya segala sesuatu yang
memiliki wujud atau berwujud, dan logis merupakan sebuah ilmu.
Sehingga jika diartikan, ontologi merupakan ilmu atau teori yang
mempelajari mengenai wujud yang ada.

4
merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri
16
sendiri).
. Noeng Muhadjir dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan,
ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan
Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam
semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan
19
bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan


pembahasan tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal
dengan mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau objek
yang akan ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan sebuah pengetahuan.
Serta menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang
menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari
objek penelaahan tersebut.

5
2. Pandangan Pokok Pemikir dalam Pemahaman Ontologi
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius
pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang
bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754)
20
membagi metafisika menjadi dua, yaitu:
a. Metafisika umum
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dari segala sesuatu yang ada.
b. Metafisika khusus.
1) Kosmologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam
semesta
2) Psikologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa
manusia
3) Teologi
Cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.

6
Sedangkan arti metafisika itu sendiri menurut Reza A.A
Wattimena, dalam bukunya yang berjudul “Filsafat dan Sains; Sebuah
Pengantar” adalah cabang filsafat yang merefleksikan hakekat dari
21
realitas pada levelnya yang paling abstrak.
Ada beberapa pandangan pemahaman tentang ontologi,
diantaranya yaitu:
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Thomas
Davidson menyebut dengan Block Universe. Kemudian paham ini
terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme (naturalisme)
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
22
bukan rohani. Seperti halnya manusia, karena manusia pada
instansi terakhir adalah benda dunia (materi) seperti benda (materi)
23
lainnya.
b. Idealisme
Aliran ini menyatakan bahwa hakikat benda adalah nurani, spirit
24
atau sebangsanya.
2. Dualisme
Paham ini menganggap bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat
ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh,
25
dan ruh bukan muncul dari benda.
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
26
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.

7
4. Nihilisme
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu
itu ada, ia tidak dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat
dipercaya karena sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
27
diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
5. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat
ruhani. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
28
kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.
3. Pendekatan Ontologis
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan
pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan
ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak
pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat
empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang
mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan
dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral, bahwa dalam
menetapkan objek penelaahan tidak boleh melakukan upaya yang
Bersifat menguah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia dan
mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis
ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam
menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu merupakan
29 upaya manusia
untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
B. Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘epistemology’


yang memiliki arti yakni gabungan dari dua kata dari bahasa Yunani
yakni ‘episteme’ yang artinya pengetahuan dan juga dari kata ‘logos’
yang artinya adalah ilmu, sains, teori, kajian, dan juga pembahasan.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas


tentang suatu hakikat, makna, kandungan, sumber dan proses ilmu. Jadi
dapat dikatakan bahwa epistemologi itu berarti “pembahasan tentang
ilmu pengetahuan”. Istilah epistemologi juga dikaitkan dengan konsep
ilmu yaitu suatu pengetahuan yang membawa kepada pemahaman
kebenaran.

sebagai sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri”


pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian
epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika

mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda,


bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya
2. Objek dan Tujuan Epistemologi
Oepistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa
“segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan.” Proses untuk menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus
berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran,
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi
34
tidak terarah sama sekali.
Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan sub sistem filsafat yang
bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat
dinamika keilmuan memperoleh pengetahuan.

3. Landasan Epistemologi
landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan
mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur
memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut
dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.

4. Metode dan Metodologi


Perlu ditelusuri di mana posisi metode dan metodologi dalam konteks
epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan
epistemologi. Dalam dunia keilmuan, ada upaya ilmiah yang disebut metode yaitu
cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang
dikaji. Sedangkan metodologi adalah ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-
cara mengetahui sesuatu.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis
antara epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang
39
biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Karena makna epistemologi itu
sendiri merupakan hal yang mengkaji perilah urutan langkah-langkah yang
40
ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Epistemologi itu sendiri merupakan sub sistem dari filsafat, maka metode
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan
epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi
41
itulah akhirnya diperoleh metode.
C. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai dan prinsip
kehidupan dari sisi ilmu filsafat. Nah, kali ini kita akan bahas tentang pengertian
aksiologi menurut para ahli, aspek-aspek, fungsi sampai contoh aksiologi dalam
kehidupan sehari-hari.

Bagi siapa saja yang masuk ke dalam jurusan filsafat, dijamin akan ada masa
dimana mempelajari tentang aksiologi. Aksiologi masuk ke dalam ranah ilmu
filsafat yang secara khusus mempelajari tentang ilmu pengetahuan dan
kegunaannya dalam kehidupan. 

Kita semua tentu tahu bahwa di dunia ini tidak ada ilmu yang tidak memberi
manfaat selama digunakan dengan baik dan dengan tujuan yang baik juga. Ilmu
pengetahuan adalah harga yang sangat berharga, sama berharganya dengan
kesehatan yang dimiliki.

Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh


manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam
mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat
memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga
dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan
meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu
dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia

2. Landasan Aksiologi Ilmu


Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu
mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu
bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas
nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai- nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.

3. Hakikat dan Makna Nilai


Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
orang dapat mengatakan bahwa:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-
reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya
tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka yang demikian ini
dapat dinamakan “sujektivitas”
b. Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-
esensi logis dan dapat diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan
“obyektivitas logis”.

c. Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan


45
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam
makna, diantaranya:
a. Mengandung nilai (artinya berguna)
b. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c. Mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai
kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”,
atau mempunyai sifat nilai tertentu)dan Memberi nilai (artinya,
menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal
yang menggambarkan nilai tertentu)
III. PENUTUP
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena
tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti
yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas
(kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada.
Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian
kebenaran pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah
pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan
tersebut bernilai salah. Selain itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan
batas-batas dari obyek pengetahuan atau ilmu yang sedang dibahas. Jika
obyeknya adalah materi, maka batasannya juga harus materi. Jika obyeknya
nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.
Begitu juga dengan epistemologi, pentingnya pembahasan ini berkaitan
dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan
orang lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka
pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh orang lain.
Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan
ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah
bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara tidak ilmiah. Pembagian ini
hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh
pengetahuan tersebut.
Sedangkan aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari
sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia mempunyai
tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua
manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki
tujuan obyektif.
Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai
dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini
terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk
memperbaiki atau untuk merusak diri.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika


Ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2011)

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011)

Baqir, Z.A., Integrasi Ilmu dan Agama; Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2005)

http://kbbi.web.id/

Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga


Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007)

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-


Ruzz Media, 2007)

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi


Aksara, 2010)

Suriasumantri, J.S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2003)

Syukur, Suparman, Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya pada Pemikiran


Islam Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat,
2000)

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar, (Jakarta:


Grasi

Anda mungkin juga menyukai