manusia sering disebut antropologi filsafat (philosophical anthropology), psikologi filosofis, psikologi rasional, atau psikologi metafisik. Kata antropologi (digunakan pertama kali di fakultas filsafat di universitas- universitas di Jerman pada akhir abad 16) berarti studi sistematis tentang manusia sebagai makluk fisik dan moral. Ada dua ungkapan yang dianggap sebagai moto filsafat manusia, yakni “manusia adalah ukuran segala-galanya” (man is the measure of all things), dan “kenallah dirimu” (know thyself). Ungkapan pertama berasal dari Protagoras, seorang filsuf sofis di Yunani, sedangkan ungkapan kedua berasal dari orakel Delphi, yang kemudian juga ditegaskan kembali oleh Heraclitus dan khususnya Socrates. Definisi Filsafat Manusia Filsafat adalah ilmu spekulatif yang mempelajari seluruh realitas (being as being) dan memformulasikan prinsip-prinsip serta hukum-hukumnya. Ilmu (science) adalah “bentuk pengetahuan yang pasti, nyata, dan terorganisasi (certain, evident, and organized body of knowledge) yang muncul dari prinsip-prinsip. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang terorganisasi (atau unified), dan unsur-unsur pengorganisasi dasarnya adalah prinsip-prinsip yang mengawali ilmu. Sebagian besar pengetahuan kita juga hanyalah pendapat (opini). Misalnya, adalah pendapatku bahwa akan turun hujan sore ini. Sebaliknya ilmu adalah pengetahuan yang pasti (certain) dan nyata (evident): entah dengan evidensi dan kepastian prinsip-prinsip pertama atau menjadi nyata oleh penalaran kepada konklusi-konklusi dari prinsip-prinsip itu, sehingga konklusi-konklusi dilihat dari terang prinsip-prinsip. Ilmu dibagi dalam dua kelompok, yakni ilmu-ilmu praktis dan ilmu-ilmu spekulatif. Ilmu-ilmu praktis pertama-tama mencari kebenaran sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan yang lain. Misalnya, ilmu rekayasa (engineering) mencakup studi tentang tekanan dan ketegangan (stresses and strains) yang bertujuan agar jembatan, gedung, atau struktur bangunan lain menjadi kokoh sehingga tidak mudah roboh. Obyek Filsafat Manusia Setiap ilmu mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang diselidiki. Obyek formal adalah sudut pandang (angle, point of view) dalam menyelidiki obyek material serta metode yang digunakan. Berdasarkan definisi di atas obyek material filsafat manusia ialah manusia, sedangkan obyek formalnya adalah inti hakikat manusia, manusia secara keseluruhan, manusia yang utuh (manusia qua manusia), Hakikat manusia berarti struktur manusia yang paling fundamental. Filsafat manusia dan Ilmu-ilmu lain Dalam mata kuliah ini, yang dimaksud dengan “ilmu-ilmu lain” ialah ilmu-ilmu yang obyek materialnya (subject matter) adalah manusia, seperti psikilogi, sosiologi, teologi, sejarah, dan kedokteran. Psikologi: mempelajari tingkah laku (behaviour) manusia. Ia mempelajari hanya satu bagian/segi dari manusia. Filsafat manusia mempelajari hakikat terdalam manusia sebagai kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan kata lain, filsafat manusia mempelajari manusia sebagai manusia (man as man), manusia seutuhnya, manusia dari segala aspeknya. Sosiologi: mempelajari manusia dalam interaksi dengan manusia lain. Psikologi menekankan individu manusia, sedangkan sosiologi menyoroti manusia sebagai makluk yang hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.Interaksi antarmanusia dan anterkelompok itulah yang menjadi kepentingan sosiologi. Jadi filsafat manusia mempelajari manusia dalam segala aspeknya, baik individual maupun sosial. • Teologi: ilmu tentang Tuhan (science of god). Obyek material teologi ialah Tuhan dan seluruh ciptaan, termasuk manusia, dalam relasinya dengan Tuhan (omnia pertractantur in sacra doctrina sub ratione Dei, vel quia sunt ipse Deus, vel quia habent ordinem ad Deum ut ad principium et finem). • Sejarah: mempelajari tentang bagaimana manusia hidup di zaman dulu. Sejarah menjelaskan, misalnya, mengapa dan bagaimana nenek moyang kita hidup dan berperihidup. • Kedokteran: mempelajari tentang manusia yang sakit secara fisik sedangkan filsafat hendak meneropong manusia sebagai suatu keutuhan fundamental, tanpa membedakan yang sakit atau sehat. Pola-pola Pemikiran Filsafat Manusia Manusia memiliki banyak dimensi sehingga tak dapat dijelaskan dari satu segi saja. Manusia adalah makluk yang menyimpan banyak rahasia (homo absconditus) sehingga hanya dapat diungkap atas kerjasama berbagai ilmu. Sejauh ini dikenal beberapa pola pemikiran tentang manusia sebagai hasil kerjasama lintas-ilmu. Pola-pola itu ialah pola biologis, sosial budaya, psikologis, dan teologis. Berikut diuraikan secara ringkas pola-pola tersebut. Pola Biologis Pola ini dikembangkan oleh Buytendijk, A. Portman, dan A. Gehlen yang mengacu pada aspek biologis manusia dan kemampuan kreatifnya diteropong menurut struktur fisiologisnya. Menurut Buytendijk mendefinisikan manusia sebagai makluk yang mampu melakukan abstraksi, simbolisasi, dan penyusunan logis simbol-simbol. Portman berpendapat bahwa meskipun ada kesamaan antara hewan dan manusia, tetapi manusia memiliki kekhasan seperti bahasa, posisi tubuh vertikal, dan ritme pertumbuhan manusia yang merupakan hasil dari kerja sama proses keturunan dan sosial budaya. Manusia bersifat terbuka, sedangkan hewan bersifat tertutup dan deterministik. Portman melihat manusia sebagai internalitas, yaitu sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan manusia lain.
Pola Sosial Budaya
Pola ini melihat manusia sebagai makluk yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sejarah. Manusia memiliki kodrat yang tidak seragam, tetapi berwajah banyak. Pola ini merupakan hasil kerjasama ilmu-ilmu seperti sejarah kebudayaan, sosiologi kebudayaan, dan filsafat sejarah. Tokoh-tokohnya antara lain Arnold Gehlen, Erich Rothacker, dan Ernst Cassirer. Pola Psikologis Pola ini mengacu pada pandangan psikologi tentang manusia. Filsafat manusia merumuskan beberapa asumsi dasar tentang manusia dengan menggunakan konsep-konsep ilmu psikologi. Pandangan filosofis tentang manusia didasarkan pada hasil penelitian deskriptif tentang kasus- kasus pribadi seperti gejala tertawa, menangis, mengkhayal, rasa malu, cinta, ketakutan, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya antara lain Plessner, Ludwig Binswanger, Erwin Straus, dan Erich Fromm. Pola Teologis Dalam pola ini manusia dilihat sebagai makluk yang berdialog dengan Tuhan. Pola ini menekankan manusia sebagai makluk yang memiliki keterbukaan, individualitas dan bersifat sosial. Tokoh-tokohnya antara lain Martin Buber, Emil Brunner, dan Dietrich Bonhoeffer. Mereka berpendapat bahwa untuk mengenal dan memahami wahyu Tuhan, tidak cukup hanya dengan logika intelek, tetapi yang dibutuhkan adalah logika hati. Manfaat Belajar Filsafat Manusia Secara umum manfaat belajar filsafat manusia tak dapat dilepaskan dari manfaat belajar filsafat itu sendiri. Thiroux dalam buku Philosophy, Theory and Practice (1985) menggarisbawahi paling kurang empat manfaat belajar filsafat yakni: Pertama, filsafat membuat orang lebih sadar dan kreatif. Kedua, filsafat menumbuhkan dan memupuk sikap toleran. Dengan selalu mempertanyakan keyakinan dan teori, termasuk teorinya sendiri, orang makin menyadari betapa sulit dan kompleksnya masalah-masalah kehidupan. Ketiga, filsafat memberikan metode sistematis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Filsafat mengajarkan bagaimana menyusun argumen yang valid, bagaimana menghindari logical fallacies. Keempat, filsafat membuat kita jadi lebih konsisten. Jika kita mempertanyakan sesuatu secara mendasar, menganalisis, dan mengevaluasi segalanya secara cermat, kita akan menjadi lebih konsisten dalam kehidupan. Referensi Abel, Reuben (1976), Man Is the Measure, London: The Free Press. Carrel, Alexis (1935), Man the Unknown, New York. Cassirer, Ernst (1987), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esai Tentang Manusia (terjemahan), Jakarta: Gramedia. Leahy, Louis (1984), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia. Vaske, Martin O (1963), An Introduction to Metaphysics, New York: McGraw-Hill Book Company Inc.