Anda di halaman 1dari 25

PENGERTIAN FILSAFAT

FILSAFAT

Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata philo berarti cinta

dan sophia yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna (1963 : 1)

Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu

berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan, bijaksana

artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi menurut namanya saja Filsafat boleh

dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.

Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses,

artinya segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana

di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang

berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi

sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Berikut beberapa definisi

filsafat menurut para ahli:

1. Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum

Masehi mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, serta

pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.

2. Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu

pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu

metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga

berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.

1|Page
3. Cicero (106 – 43 S.M). Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha

agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.

4. Al Farabi (870 – 950 M). Seorang Filsuf Muslim mendefinisikan Filsafat

sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang

sebenarnya.

5. Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan

pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan

yaitu:

 Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).

 Etika (apa yang boleh kita kerjakan).

 Agama ( sampai dimanakah pengharapan kita)

 Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).

JENIS JENIS FILSAFAT

1. Filsafat Barat

Filsafat barat yaitu pengetahuan yang umum dipelajari dengan cara akademis di

beberapa kampus di Eropa serta koloni mereka. Filosofi ini sudah berkembang dari

kebiasaan filsafat Yunani kuno. Ciri-ciri paling utama dari filsafat barat, seperti Plato,

Thomas Aquinas, Rene Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur

Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche serta Jean-Paul Sartre.

2|Page
2. Filsafat Timur

Filsafat timur yaitu kebiasaan filsafat yang terlebih tumbuh di Asia, terlebih di

India, Cina serta daerah lain yang pernah dipengaruhi oleh budaya. Satu tanda dari

filsafat timur yaitu hubungan dekat dengan filsafat agama. Walau ini yaitu kurang dari

dapat disebutkan untuk filsafat barat, terlebih di era pertengahan, namun di dunia barat

filsafat’an sich’ masihlah lebih menonjol dari pada agama. Beberapa nama filsuf

Timur, diantaranya Siddharta Gautama Buddha/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse,

Konfusius, Zhuang Zi serta Mao Zedong.

3. Filsafat Timur Tengah

Filsafat timur tengah diliat dari histori yaitu filsuf yang dapat menyampaikan juga

pewaris kebiasaan filsafat Barat. Untuk filsuf pertama di Timur Tengah yang orang

Arab atau Muslim, serta sebagian orang Yahudi, yang menundukan daerah sekitaran

Mediterania serta pertemuan dengan kebiasaan filsafat Yunani dari budaya mereka.

Lalu mereka menafsirkan serta memberi komentar karya-karya Yunani. Saat Eropa tiba

di era pertengahan sesudah robohnya Kekaisaran Romawi serta melupakan karya-karya

filsuf Yunani classic Timur Tengah ini pelajari karya-karya yang sama , serta bahkan

juga terjemahan mereka dipelajari lagi oleh beberapa orang Eropa. Beberapa nama

filsuf Timur Tengah yaitu Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran, serta Averroes.

4. Filsafat Islam

3|Page
Filsafat islam yaitu filsafat yang semua Muslim Scholar. Terdapat banyak

perbedaan utama pada filsafat islam dengan filsafat lain. Pertama, walau beberapa

filsuf Muslim asli mengeksplorasi karya-karya filsafat Yunani classic, terlebih

Aristoteles serta Plotinus, tetapi kemudian menyesuaikannya dengan ajaran islam.

Kedua, islam itu agama tauhid. Lalu, saat filsafat merupakan “menemukan Tuhan”,

dalam filsafat islam malah Tuhan telah diketemukan, dalam makna kalau semacam itu

tak berarti usang, serta belum dibicarakan, tetapi filsuf Islam, sudah difokuskan pada

manusia serta alam, lantaran, seperti diketahui, kajian Tuhan cuma bakal jadi diskusi

yang tidak pernah final.

5. Filsafat Kristen

Filsafat Kristen awal mulanya didesain oleh bapa gereja untuk hadapi tantangan

jaman di era pertengahan. Kristen dunia barat pada saat itu di tengah-tengah era

kegelapan (Dark Ages). Orang mulai mempertanyakan kepercayaan agama. Filsafat

Kristen banyak bergelut pada permasalahan ontologis serta kehadiran tuhan. Nyaris

semuanya filsuf Kristen yaitu seseorang teolog pakar atau beberapa gosip agama.

Misalnya yaitu St Thomas Aquinas serta St Bonaventura.

ALIRAN FILSAFAT

1. IDEALISME

Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia

fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh

4|Page
(spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir

dalam jiwa.Kata idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari

arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat

mengandung beberapa pengertian, antara lain: Seorang yang menerima ukuran

moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya; Orang yang dapat

melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.

Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari

kata ide daripada kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa

kata idea-ism lebih tepat digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme

mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau

jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme

menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.

Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan

yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi.

Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,

seseorangakanmemikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus

memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya

materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal

budi itu, bukannya apakah materi itu.

Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia

ada karena ada unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan

manusia. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk

5|Page
menjadi manusia maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan

jasmaniah yang mencakup hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan

rohaniah yang mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan

kualitas manusia.

2. MATERIALISME

Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana asal atau hakikat

dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu materialisme mempersoalkan

metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika materialisme.

Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan

keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai,

fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan

bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi

ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa

pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak.

3. EKSISTENSIALISME

Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis

sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.

Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun

filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai

6|Page
tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran

tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.

Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex

yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri

dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia

sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam

ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu

menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan

dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah

selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu

sedang ini atau sedang itu.

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu

kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat

eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan

cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme

adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain

tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara

beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di

dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,

menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,

batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.

7|Page
Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang

sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.

4. DUALISME

Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran

yang menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak

belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi,

misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh

dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme

adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan

mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu

hakikat materi dan ruhani.

Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa

segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri

sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme

adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan

kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu

terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah

Plato (427-347 SM), yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman

yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari

dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea.

Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah

8|Page
merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia

pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal

di dunia idea sana (dunia idea).

Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri

dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat

dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada

satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak

sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan

oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-

bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes

(1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua

substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan

merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka

berhubungan sangat erat.

Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi

keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab

dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka

saya ada). Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang

sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang

membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).

5. PLURALISME

9|Page
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan

bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak

substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam

semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan

yang koheren, rasional, fundamental. Di dalamnya hanya terdapat pelbagi jenis

tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan demikian

mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno

yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air. Dari pemahaman

di atas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi

atau dua substansi melainkan banyak substansi, karena menurutnya manusia tidak

hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara

yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.

Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM),

yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air

dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri

dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan

semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakannodus yaitu suatu zat yang

paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.

SEJARAH FILSAFAT

Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yang diberi nama

filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar dan berpengaruh, mulai dari

10 | P a g e
peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalam pengertian ini biasanya lebih tepat

asal-usul filsafat Barat, yang bermula dari Yunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6

SM ketika Anaximandros, Anaximenes, Thales dan lain sebagainya disebut-sebut

sebagai pemikir-pemikir generasi awal yang disebut secara embrional dipandang

sebagai cikal-bakal filsafat berawal dan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-

sebut sebagai pemikir pertama yang menyebut model berpikir Thales dan kawan-

kawannya itu dengan filsafat. Tetapi jika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai

Thales dan kawan-kawan, yaitu cara dari dalam diri manusia memahami realitas atau

alam, yang dipandang secara awal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang

mirip dengan mereka sudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.

Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahami realitas

atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, ada cara-cara baru dalam

memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalam himne-himne dalam Veda-

veda karya para penulis dan pemikir India yang umumnya tidak diketahui. Cara-cara

memahami realitas atau alam adalah upaya mendeskripsikan asal-usul alam semesta

dalam istilah-istilah mistis, namun dalam saat yang sama juga menggambarkan cara-

cara yang nonmistis dan dekat dengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal

sekarang, misalnya, tentang eksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan

eksistensi ataupun noneksistensi, yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya

yang takterbedakan dan taktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas

mutlak. Dalam Uphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda,

11 | P a g e
kita bisa menemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas

mutlak dalam terma-terma filsofis.

Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitu sebagai

upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalam manusia, barangkali

tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India, Mesir, Yunani atau yang

lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakan asal-usul filsafat yang sesungguhnya,

tanpa terjebak pada istilah, adalah semenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada,

berfilsafat atau sebut saja berpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas

barangkali telah menjadi bagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian

filsafatnya tidak sedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak

kiranya mengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian

masa perjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitif

tidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosof Yunani saja

yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidup manusia dalam

memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat, dalam makna

hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafat orang sudah

berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.

Periodesasi Sejarah Filsafat

1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah

Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode

paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba

menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian

12 | P a g e
tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini

sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan

pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya

dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang

berbeda dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-

mitos yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut

filsafat.

Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales dan kawan-

kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya. Sayangnya,

tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum

era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi

mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam

periode sejarah filsafat pra-sejarah.

2. Filsafat dalam Periode Klasik

Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof-

filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides,

Heraclitus, Pythagoras, dan Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian

diikuti filosof-filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah

mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari

neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling

awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.[3]

13 | P a g e
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno,

sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut

Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan

Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini lebih suka menggunakan

Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, dan

Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)

Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa

pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat

itu yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung

menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang

sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau

dewa-dewa yang ada di planet lain.

Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap

alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC)[4].

Bahkan Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air

dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang

bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair

(air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di

danau atau di tempat amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan

Thales, Anaximandros (610-540 BC) mengatakan bahwa realitas terdasar

bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air

14 | P a g e
masih ada lawannya adalah api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab

itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi

dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak

terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan

dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum

keseimbangan. Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini

berasal hawa dan udara. Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala

sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi

artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-

475 BC) yang bertolak belakang dari Heraklitos.

Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam

memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami

dunia atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka

menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka

tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban

dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri,

yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri.

b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris

Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani

Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol

dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh

15 | P a g e
dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates

(470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).

Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap

dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak

filsafat Yunani dicapai pada zaman ini[5]. Banyak sekali temuan filosofis yang

disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates menyumbangkan tentang

nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu.

Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminedes dan

melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam

idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia

berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan

merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah

apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran

manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika

melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan

tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui

pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.

Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki

dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan

gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara

sejati, dan mengatakan bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan

terjadi secara empiris yang bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang

16 | P a g e
ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham

realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada

secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan,

sebagaimana nyatanya pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide.

Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan,

karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam

dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat :

Logika, Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik :

politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika[6] . Inilah

landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan

epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat

sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya

sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat

adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika.

Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir

yang bernama asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio

Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan

suatu proses emanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber

dari yang ada. Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari

doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk

17 | P a g e
memperkuat doktrin agama digunakan argument akal seperti yang ada dalam

pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya

bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada

hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga

awal abad pertama masehi.

3. Filsafat dalam Periode Pertengahan

Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai

dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-

filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham,

Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu

Rushd, dll.[7]

Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan

dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan

pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab

agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan

ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi

ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan

otoritas gereja harus ditegakkan.

Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang

dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan

18 | P a g e
kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang

pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.

Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai

zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya

Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani,

seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau

sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan

Bonaventura (1217-1274 AC).

a. Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius

Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-

agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini

memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak

mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius.

Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional.

Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak

berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak

teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan

kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma

agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah

telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali

teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja

yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.

19 | P a g e
b. Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif

Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah

menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif.

Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para

filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas

kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius.

Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius

merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu

mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu

dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti

menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan

kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius

telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan

sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad

Pertengahan.

c. Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom

Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi

atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat

berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh

dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran

dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar

yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh

20 | P a g e
karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat

filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-

persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani,

hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-

persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya

para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan

dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat

otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan

menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-

dogma agama.

4. Filsafat dalam Periode Modern

Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad

ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16

seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad- ke-17

seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-

18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof

Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.[9]

Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter

dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud

atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai

puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan pengetahuan dihubungkan dengan

21 | P a g e
keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses

berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah

ketidakterbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan

kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran.

Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik

cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam objektif dengan

kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan

ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya berupa astronomi menjadi

astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris

menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam

dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam

dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan

memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga manusia

di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.

Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil

fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan

mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam

memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan

yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh

diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada.

Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum,

aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada

22 | P a g e
bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu,

subjektivisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah

kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan

Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan

karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan

maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian

Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun

pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam

yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari

memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang

digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam

secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara

objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.

Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental,

yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern

adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu

dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah

tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh

Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari kepercayaan-kepercayaan animistik, dan

sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar

dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme

yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi

23 | P a g e
sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat

perhatiannya.[10]

Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal

terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar

dari filsafat modern adalah sebagai berkut:

a. Reformasi keagamaan, Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan

internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam

padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja

tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan

kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian

agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan

gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari

gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja

penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek

keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari

pesan substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran

keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.

Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang

hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali

keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan.

Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain

selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.

24 | P a g e
b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang

menyelimuti perkembangan pemikiran manusia

c. Meningkatnya otoritas Ilmu (science)

d. Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa menggantikan gereja

e. Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour intensive to

capital intensive

f. Humanisme liberal/manusia sebagai fokus sentral/antroposentrisme

g. Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument objektivasi

realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

5. Filsafat dalam Periode Kontemporer

a. Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemology

b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai

lingkungan dan tradisi

c. Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber

pengetahuan lain .

d. Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar kritis-komunikatif

e. Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument pemahaman tidak

terlepas atau terkondisikan oleh realitas/diversitas-pluralitas nalar & nilai

f. Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme/nasionalisme

ke internasionalisme

25 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai