Anda di halaman 1dari 11

Konsep ke-Tuhanan

(Fitria, 2016) Menjelaskan bahwa KH. Hasyim Asy’ari menulis mengenai Ahlus-
sunnah wal jamaah dalam kitabnya Ar-Risalah at-Tauhidiyah (kitab tentang tauhid) dan Al-
Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘Aqaid (Syair-syair dalam menjelaskan mengenai
Kewajiban-kewajiban menurut aqidah).

Menurut KH. Hasyim Asy’ari, merujuk pada Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, kitab


tasawuf yang di tulis oleh al-Qusyairi, dan komentar kitab ini, ada tiga tingkatan dalam
mengartikan keesaan Tuhan (tauhid): tingkatan pertama adalah pujian terhadap keesaan
Tuhan: tingkatan kedua meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai keesan Tuhan:
sementara tingkatan ketiga tumbuh dari perasaan terdalam (dzawq) mengenai Hakim Agung
(al-Haqq).

(Majdid,2018) menjelaskan bahwa Tauhid tingkat pertama dimiliki oleh orang awam:
tingkatan keduaoleh ulama’biasa (ahl-az-zahir), sedangkan yang ketiga dimiliki oleh para sufi
yang telah sampai ke tingkatan pengetahuan pada Tuhan (ma’rifah) dan mengetahui esensi Tuhan
(haqiqah).

Mengenai doktrin ini, KH. Hasyim Asy’ari juga mengutip sabda Rasul bahwa iman
adalah perbuatan yang paling di cintai Tuhan dan menyekutukan Tuhan adalah kebalikan dari
iman. Selain itu dengan mengutip, beberapa ulama’KH.Hasyim Asy’ari telah mengatakan
bahwa percaya kepada keesaan Tuhan membutuhkan iman dan siapa saja yang tidak memiliki
iman tidak akan percaya kepada keesaan Tuhan.

Definisi ateisme sangat beragam, seseorang yang tidak mempercayai adanya tuhan
dan agama karena tidak dapat dibuktikan secara empiris atau nyata keberadaannya. Atheisme
mendefinisikan secara luas bahwasanya kepercayaan adanya tuhan maupun dewa adalah
tidak nyata. Secara terminologi agnostik adalah orang yang memiliki pandangan bahwa ada
atau tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui. Agnostik lawan kata dari gnostik yang artinya
berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui sebagai ada atau tidak. Ateis dan teis lebih
berimplikasi pada sikap dan tindakan.

(Valbiant, 2012) menjelaskan bahwa Anda seorang teis jika Anda percaya Tuhan ada
dan segala tindakan Anda dilakukan dengan berpedoman atas perintahnya, ateis jika Anda
tidak menganggap Tuhan ada dan tidak mendasarkan tingkah laku atas perintahnya. Maka
dari itu dapat muncul empat jenis kombinasi: teis agnostik, mereka yang menyembah Tuhan
namun mengakui Tuhan tidak dapat diketahui; teis gnostik, mereka yang menyembah Tuhan
yang percaya keberadaan Tuhan bisa diketahui; ateis agnostik, mereka yang tidak percaya
Tuhan dan berpendapat ada/tidaknya Tuhan tidak diketahui; yang terakhir, ateis gnostik,
yakni mereka yang tidak menyembah Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan memang jelas-
jelas tidak ada.

Beranjak dari definisi-definisi tersebut kita bisa melihat bahwa di luar sana
sebenarnya banyak didominasi oleh teis agnostik, yakni mereka yang tidak yakin bahwa
Tuhan ada atau tidak namun melakukan peribadatan untuk sekedar jagajaga (ini bisa juga
merupakan residu ketakutan yang tertanam sejak kecil akan neraka dan dosa akibat tidak
menyembah Tuhan yang benar) atau alasan lainnya. Agnostisisme tidak menyangkal
keberadaan Tuhan secara mutlak. Mereka beranggapan bahwa keberadaan Tuhan adalah
sesuatu yang tidak mungkin dapat dinalar oleh akal manusia, dan konsekuensinya adalah
keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui dengan cara apapun. Sedangkan atheisme adalah
paham yang menyangkal sama sekali keberadaan Tuhan karena tidak dapat dibuktikan secara
empiris ataupun logis akan keberadaan-Nya. Dua pemahaman yang sebenernya sama sekali
berbeda. Yang satu tidak berani atau ragu akan keberadaan Tuhan walaupun ia dapat melihat
bukti ketuhanan, dan yang lain sama sekali menolak bukti keberadaan Tuhan dengan alasan
tidak logis.

Apa yang membuat orang berpikir? Adalah karena adanya ketidaktahuan. Apa yang
membuat orang mencari tau? Adalah rasa keingintahuan, alyas penasaran. Apa yang
dilakukan orang setelah mengetahui? Terus berpikir dengan keyakinan akan hal yang
telah ia ketahui. Atau…. Terus berpikir dengan keraguan akan hal yang telah ia ketahui.

Ah jadi semua karena rasa penasaran, bunuh saja rasa penasaran itu!!!! Justru tanpa
rasa penasaran ilmu pengetahuan tidak akan tercipta. Kita akan sama dengan sapi
yang taunya hanya pergi makan rumput dan liat betina cakep di pinggir sawah maen
langsung
PEMBUKTIAN ADANYA TUHAN MENURUT AL-KINDI
Al Falsafah al Ula  adalah salah satu judul buku filsafat yang ditulis dan
dipersembahkan al-Kindi untuk khalifah al-Muktasim (833-842 M) dari Dinasti Abbasiyah
(750-1258 M); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafisikanya yang didasarkan atas
konsep-konsep filsafat Aristoteles (384-322SM)
Menurut George N. Atiyeh, pemikiran metafisika al-Kindi terinspirasi oleh gagasan
Aristoteles tentang kebenaran pertama dan tidak didasarkan oleh ide-ide Plotinus
sebagaimana kebanyakan filsuf muslim sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak
pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran, sebagaimana dikatakan Aristoteles.
Terinspirasi oleh argument ini, al-Kindi kemudian menggambarkan metafisika sebagai
pengetahuan yang paling mulia. Al-Kindi mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan
tentang hal-hal yang Ilahiyah, namun hanya terbatas pada masalah Tuhan, perbuatan-
perbuatan kreatifNya dan hubunganNya dengan alam ciptaan. Hal ini jelas berbeda dengan
konsep Aristoteles yang memahami metafisika sebagai penggerak yang tidak bergerak yang
cakupannya meliputi segala wujud. Perbedaan inilah yang menjadikan orisinalitas pemikiran
al-Kindi.
Orisinalitas pemikiran al-Kindi juga tampak pada penjelasannya tentang masalah
sebab akibat (‘illah), dalam menimbulkan kejadian atau materi. Al-Kindi menganggap bahwa
materi pada awalnya dipengaruhi secara langsung oleh penyebab pertama (Tuhan). Kemudian
materi itu berkembang menjadi penyebab timbulnya materi lainnya. Dan begitulah seterusnya
hingga pada materi paling akhir. Dalam runtutan kausalitas semacam ini, timbulnya materi
paling akhir ditimbulkan oleh penyebab pertama secara kiasan saja. Sedang pada hakikatnya
diakibatkan oleh penyebab paling dekat dengan dirinya. Begitu pula penyebab kedua akan
menjadi penyebab keberadaan sebab ketiga, sebab ketiga akan menjadi penyebab keberadaan
sebab keempat, dan begitu seterusnya.
Hal ini menunjukkan bahwa al-Kindi sebenarnya tetap memposisikan Tuhan sebagai
penyebab utama dalam setiap kejadian. Namun hal tersebut tidak menandakan pengabaiannya
terhadap hukum kausalitas. Penyebab dekat yang terdapat dalam alam nyata dianggap sebagai
penyebab akan timbulnya materi. Sedangkan secara kiasan saja Tuhan sebagai penyebab
timbulnya materi tersebut. Dan hal ini dianggap sebagai inovasi baru yang berlawanan
dengan mainstream umum dalam teologi. 
Al-Kindi adalah seorang penganut yang teguh dalam hal hukum Kausalitas. Ia juga
menulis risalah-risalah khusus untuk membuktikan hal tersebut. Meski kita tidak dapat
mengetahui dengan jelas argument-argumennya dengan pasti, namun dapat kita pahami
pendapatnya bahwa Tuhan, alam (karyaNya) adalah sebuah sistem yang unsur-unsurnya
saling berhubungan secara harmonis dan terkait antara satu dengan yang lain. Eksistensi yang
lebih tinggi mempengaruhi eksistensi yang lebih rendah dan eksistensi yang lebih rendah
tidak dapat mempengaruhi eksistensi yang lebih tinggi, karena yang lebih tinggi berdiri
diatasnya dalam tatanan Wujud. Jadi, yang lebih tinggi menjadi sebab dan yang lebih rendah
menjadi akibat. Segala eksistensinya dibatasi oleh kausalitas.
Hukum kausalitas mengatur segala peristiwa di dunia. Sehingga jika kita mengetahui
sebab maka kita dapat meramalkan akibat. Karena itulah, dunia dengan sistemnya yang
dibangun atas dasar kausalitas ini, menjadikan kita tahu bahwa sebuah benda yang ada (yakni
dalam segala inter koneksi dan inter relasinya) dapat kita kiaskan sebagai sebuah cermin yang
di dalamnya bisa kita lihat keseluruhan benda-benda   
Dalam pembuktian adanya Tuhan secara filosofis dan juga teologis, menurut al-Kindi,
Tuhan tidaklah memiliki hakekat dalam arti ‘aniah dan mahiah. Allah tidak ‘aniah karena
Allah bukan benda yang memiliki sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini.
Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk. Allah tidak mahiah karena Allah tidak berupa
jenus atau spesies. Bagi al-Kindi, Allah adalah unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara
denganNya. Dialah yang benar pertama dan yang benar tunggal. Selain dariNya semua
mengandung arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Tuhan, al-Kindi mengajukan beberapa argumen tentang
keberadaan Tuhan. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini ada dan
tercipta dari ketiadaan (hudus al-alam). Setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta. Dan
yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, siapakah yang layak menciptakan? Dari
pertanyaan tersebut ada beberapa kemungkinan, diantaranya:
1.      Pencipta alam dari tiada menjadi ada adalah dirinya sendiri. Jadi alam sendirilah yang
menciptakan dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi, berarti alam akan menjadi qadim atas dirinya
pada suatu waktu dan di waktu yang lain ia hadis bagi dirinya. Dengan kata lain, alam adalah
sebab dan ia juga menjadi akibat atas keberadaannya. Dan hal ini jelas muhal.
2.      Alam saling menjadikan / menciptakan antara satu dengan yang lainnya secara bergantian.
Hal tersebut jelas mustahil,  karena tidaklah mungkin sesuatu menjadi pencipta dan menjadi
yang diciptakan pada waktu yang sama.
3.      Yang terakhir yaitu bahwa alam ada setelah ketiadaan, namun ia ada dengan sendirinya tanpa
adanya pencipta. Hal ini tidaklah masuk akal, karena tidak mungkin ada sesuatu yang tercipta
dengan sendirinya atau menurut hukum kausalitas tidak mungkin ada akibat tanpa adanya
sebab. Tidak mungkin ada maf’ul  tanpa adanya fa’il.
Dari tiga kemungkinan di atas, semuanya tidaklah benar karena mustahil dan tidak
dapat diterima akal secara rasional. Satu-satunya kemungkinan yang dapat diterima akal
adalah jika pencipta alam dari tiada menjadi ada adalah Sang pencipta yang berasal dari luar
dirinya (semesta) dan bukan dari dirinya. Dzat yang qadim dan bukan hadis, yang tidak lain
adalah Allah SWT.
Kedua, berdasarkan dalil keanekaragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi adanya
keanekaragaman dan keseragaman tidaklah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang
menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang
menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadi rangkaian (tasalsul) yang
tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak ada habisnya tidak mungkin
terjadi di alam ini. Oleh karena itulah, penyebabnya haruslah berasal dari luar alam itu
sendiri, yakni Zat yang Maha dahulu, Dialah Allah SWT.
Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos
(manusia). Menurut argument ini, persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan
berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya Sang pengatur yang cerdas dan
tidak terlihat, yaitu jiwa. Demikian juga dengan alam. Perjalanan alam yang teratur, tertib,
dan selaras menunjukkan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak terlihat, yaitu
Tuhan. Karena itu, ketika ditanyakan kepada al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui
adanya Tuhan, ia menjawab bahwasannya hal itu sama persis seperti kita memahami adanya
jiwa dengan memperhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh,
maka begitu pula dengan Tuhan. Keberadaannya dapat diketahui dari efek-efek
pengaturanNya yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam semesta.  
Meski demikian, Atiyeh mengingatkan bahwa penggunaan analogi Stoik oleh al-
Kindi tersebut bukan berarti ia sepakat dengan pandangan Panteisme kaum Stoik, “satu ruh
Ilahi dan imanensi Tuhan atas alam”. Al-Kindi adalah seorang pendukung yang gigih atas
paham transendensi dan kemahabesaran Tuhan. Penerimaannya atas analogi Stoik lebih
bersifat dan terbatas pada aspek metodologi, bukan metafisis.
Keempat, didasarkan atas argumen teologis, yaitu kerapian alam. Dalil ini
menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur dan menakjubkan tidak mungkin
terjadi secara kebetulan, tetapi pasti karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus
menunjukkan adanya Zat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit dari semua
pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua
sebab”. Zat yang tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau
fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
Argumen terakhir ini oleh sebagian filsuf dianggap sebagai dalil paling efektif untuk
membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibnu
Rusyd (1126-1198 M), sedang dalam tradisi filsafat Barat dipakai oleh Immanuel Kant
(1724-1804 M).

BUKTI KEBERADAAN TUHAN MENURUT IBNU SINA


Nama Ibnu Sina pada masanya selalu dikaitkan dengan Neoplatonisme Islam,
meskipun pendiri yang sebenarnya adalah al-Farabi. Hal itu terjadi karena Ibnu Sina berhasil
mengembangkan tema-tema dasar yang telah dibayangkan oleh pendahulunya. Diksi Ibnu
Sina jauh mengungguli al-Farabi dalam hal keindahan ataupun ketandasan.
Ibnu Sina berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu di usianya yang terbilang masih
cukup muda. Pada usianya yang ke 16, Ibnu Sina telah menempati posisi istimewa dalam
ilmu kedokteran. Satu-satunya cabang ilmu pengetahuan yang menurutnya rumit yaitu
metafisika. Dia mengaku telah membaca metaphysic karya Aristoteles hingga 40 kali dan
juga mengahafalnya dari kata per kata, namun belum juga dapat memahami maksud
penulisnya. Sampai akhirnya ia menemukan risalah al-Farabi yang berjudul On the Intentions
of the Metaphysic dan berhasil menemukan kejelasan mengenai apa itu metafisika.
Meski demikian, Ibnu Sina memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan al-
Farabi. Kemampuannya dalam menyajikan pemikiran dengan retorika yang mudah dan
sederhana menjadikan pemikirannya tersebar begitu cepat dalam percaturan pemikiran
filsafat. Ia juga dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan
sesudahnya. Dengan ketinggian otodidak dan kejeniusannya, Ibnu Sina terkenal sebagai
sosok yang banyak menyalurkan pemikiran orisinalitasnya, bukan hanya di dunia Islam,
bahkan hingga Eropa.
Terlepas dari kelebihan Ibnu Sina atas al-Farabi, argument kemungkinan (dalil al-
jawaz)  atau kontingensi menjadikan Ibnu Sina beranggapan sama dengan al-Farabi.
Perspektif Ibnu Sina dapat dikatakan sama dengan al-Farabi yang pada dasarnya berpaham
Neoplatonik. Latar belakang Neoplatonik yang berpaham pada emanasionis terpapar dalam
karya-karya semiteologis mereka. Akan tetapi, sebagaimana dituliskan pada bagian
pembuka asy-Syifa,  Ibnu Sina merasa tidak puas dengan Neoplatonisme konvensional dan
Peripatetisme masa itu.  
Ibnu Sina mengawali tulisan asy-Syifa dengan devinisi konvensional metafisika
sebagai studi tentang entitas-entitas yang bersifat imateril. Menurutnya, metafisika juga
disebut ilmu ketuhanan yang menelaah prinsip-prinsip pokok segenap entitas fisik dan
matematis, memperkenalkan sebab dari segala sebab, serta prinsip utama dari segala prinsip.
Oleh karena itulah, metafisika kerap pula disebut filsafat pertama atau kebijaksanaan mutlak
baginya.
Devinisi yang jelas-jelas Aristotelian ini kemudian ditolak sendiri olehnya dengan
alasan bahwa jika sebab Pertama atau Tuhan yang disangka manusia adalah subjek (maudu’)
metafisika, sebenarnya justru objek (mathlub) yang hendak dibuktikan dalam metafisika.
Karenanya, subjek atau pokok bahasan metafisika yang sesungguhnya adalah wujud yang
secara intuitif diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, inti metafisika adalah ontologi,
karena ia menggunakan pendekatan filsafat wujud.
 Selain itu, Ibnu Sina juga membagi metafisika ke dalam tiga bagian pokok. Yaitu (1)
bagian yang membahas tentang segenap entitas secara umum dan Tuhan secara khusus, (2)
bagian yang membahas sifat-sifat entitas, (3) bagian yang membahas prisip-prinsip pokok
pengetahuan yang berlaku bagi semua bidang ilmu. Meskipun begitu, bagian terbesar
metafisika Ibnu Sina sebenarnya membahas entitas dalam kaitannya dengan kategori-kategori
Aristotelian dan konsep-konsep universal yang menyertainya.
Hal pertama yang melandasi pendekatan ontologis dalam metafisika Ibnu Sina adalah
wujud dan eksistensi (keberadaan), yang kedua yaitu sifat-sifat dasar (esensi) suatu entitas
yang dengan jelas dapat dibedakan dengan eksistensinya.  Dan yang ketiga adalah sesuatu
yang tidak eksis, namun sebenarnya eksis dalam satu atau lain makna eksistensi.
Ihwal esensi dan eksistensi inilah yang mendorong Ibnu Sina untuk membagi wujud
ke dalam tiga kategori, yaitu yang niscaya ada (wajib al wujud), yang mungkin ada dan
mungki tidak ada (mumkin al wujud) dan yang mustahil ada (mumtani’ al-
wujud). Menurutnya, semua eksistensi ketika dilihat dalam esensinya adalah wajib sekaligus
mungkin, kecuali Tuhan. Yang bersifat mungkin tidak ada dengan sendirinya dan karenanya
wujudnya berasal dari sesuatu di luarnya. Rangkaian ini akan berlangsung untuk waktu yang
tidak terbatas jika kita tidak berhenti di suatu tempat dan meyakini sebuah wajib al wujud.
Wajib al wujud menurut Ibnu Sina yaitu esensi yang tidak mesti memiliki wujud,
namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari wujud. Esensi ini tidak dimulai dari tidak
ada dan kemudian terwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Wajib al-
wujud menjadi sebab bagi eksistensi yang mungkin (mumkin al wujud). Ibnu Sina juga
membagi wajib al-wujud menjadi wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi
ghoirihi. Dalam hal ini Allah termasuk kategori yang pertama.
Ibnu Sina berusaha menolak keabadian alam semesta dan menegaskan bahwa alam
semesta telah disebabkan dan diciptakan (hadis). Dunia diemanasikan dari Tuhan dan
emanasi didefinisikannya sebagai keterkaitan eksistensi dengan calon objek secara langsung
dan tanpa perantara dalam bentuk zat atau instrument atau waktu. Tuhan adalah satu-satunya
kebenaran serta sebab pertama. Melalui emanasi, dia menciptakan Akal Pertama dan melalui
akal pertama itu Dia menciptakan akal lain dan langit pertama. Proses ini berlanjut sampai
semua langit tercipta, dan akal terakhir yang diciptakan tidak menciptakan langit. Dari akal
inilah bermula akal manusia dan dzat unsur-unsur dunia (yaitu dzat utama).  
            Mumkin al-wujud adalah esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak
berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidak
mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada. Jika dilihat dari segi esensinya, wujud
mungkin tidak mesti ada dan karena itulah ia disebut mumkin al-wujud bi dzatihi. Namun, ia
juga dapat dilihat dari lain sisi sehingga disebut mumkin al-wujud bi dzatihi dan mumkin al-
wujud bi ghoirihi. Wujud mungkin ini meliputi semua yang ada selain Allah SWT.
            Selain teori tentang wajib wujud dan mungkin wujud yang ia kembangkan, Ibnu Sina
juga mengenalkan adanya mumtani’ al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat mempunyai
wujud, karena keberadaannya yang tidak dapat terbayangkan oleh akal. Seperti adanya
sekarang ini dan juga kosmos lain di samping yang ada.
Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Ibnu Sina menggunakan dalil tersebut, yakni
bahwa sesuatu yang wajib al wujud telah jelas dan terbukti ada, namun sesuatu yang mumkin
al wujud tidak mungkin ada tanpa adanya wajib al wujud. Hal ini disebabkan oleh
kemustahilan adanya rangkaian wujud mungkin (mumkin al wujud) secara terus-menerus
tanpa asumsi bahwa semua itu berujung pada Zat yang wajib al wujud sebagai penyebab
eksistensi rangkaian tersebut. Ibnu Sina tidak lagi mencari dalil lain dari salah satu
makhlukNya dalam membuktikan keberadaanNya, ia cukup menggunakan dalil wajib al
wujud, karena menurutnya dunia ini adalah mumkin al wujud yang memerlukan suatu
sebab (‘illat) yang dapat mengeluarkannya menjadi wujud dari zatnya sendiri. Dengan
demikian, dalam menetapkan keberadaan Tuhan, kita tidak memerlukan perenungan selain
terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujudNya dengan salah satu
makhlukNya, meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujudNya. Pembuktian dengan dalil
tersebut kiranya lebih kuat, lengkap dan sempurna menurut Ibnu Sina. Pembuktian tersebut
juga telah digambarkan pada QS al Fushilat ayat 53
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
(QS. Al-Fushilat 53)
   Ibnu Sina secara eksplisit juga membicarakan tentang kemungkinan lain, yaitu
kemungkinan tiap-tiap anggota dalam rangkaian entitas wujud mungkin jika tidak mewujud
secara serentak tetapi secara beruntut (in succession). Meskipun telah dipertimbangkan
kemungkinan rangkaian itu mewujud secara siklis (dauran), artinya suatu anggota menjadi
sebab (kemaujudan) anggota lainnya. Seperti halnya alternatif sebelumnya, alternatif ini juga
dimustahilkan olehnya. Bagi Ibnu Sina apapun status temporal seluruh anggotanya, rangkaian
entitas wujud mungkin dianggap mempunyai suatu sebab yang niscaya bersifat wajib al
wujud.
Ibnu Sina juga menjelaskan tentang keesaan mutlak Tuhan dan menafikkan segala
bentuk kejamakan, ketersusunan dan keterbagian, baik secara esensi ataupun eksistensi.
Karena, segala yang memiliki esensi dan eksistensi layaknya entitas selalu memerlukan sebab
bagi keberadaannya. Dan ini bertentangan dengan fakta bahwa Dia adalah sebab pertama dari
semua keberadaan dan kejadian. Sebaliknya, jika esensi diduga manunggal dengan
eksistensiNya, itu artinya Dia tidak berjenus ataupun berspesis dan tidak mungkin
didefinisikan. Karena itulah tidak ada yang menyamaiNya dan menyekutuiNya dengan hal
apapun.  Konotasi yang terlihat bersifat negatif ini menjadikan Ibnu Sina menambahkan sifat-
sifat positif kepadaNya, yaitu kebaikan murni, kebenaran murni, dan akal murni. Menurutnya
Allah sebagai prinsip utama dan telah mengetahui bahwa dirinya sebagai sebab ada dari
segala sesuatu.

KESIMPULAN
            Pemikiran al-Kindi tentang pembuktian Tuhan tetaplah ada pada batas-batas ajaran
Islam, meski sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat Yunani. Menurut al-Kindi,
keberadaan Tuhan dapat diketahui dari beberapa hal yang terjadi di alam semesta ini,
sebagaimana dalil hudus al-alam. Argumen ini memahamkan kita bahwa adanya alam dari
tiada menjadi ada pastilah membutuhkan zat lain yang ada di luar dirinya dan bukan dari
dirinya sendiri, yaitu Tuhan. Keragaman alam dalam wujud, keteraturan serta
ketertiban nudzum al-alam jelas membuktikan adanya suatu pencipta yang Maha Segalanya
yang berbeda dengan ciptaanNya. Belum lagi berdasarkan analogi antara alam makrokosmos
(semesta) dan mikrokosmos (manusia) yang semuanya benar-benar jelas membuktikan
tentang adanya Tuhan Sang Pencipta alam yang menciptakan dan mengatur segalanya dengan
sedemikian rupa, yang berasal dari luar alam dan bukan dari alam itu sendiri. Tuhan adalah
sebagai pencipta, bukan sebagai penggerak sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles.
            Berbeda dengan al-Kindi dalam pembuktian keberadaan Tuhan yang dimulainya dari
keberadaan alam semesta (makhluk) sehingga jelas bahwa alam ini membutuhkan adanya
pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Ibnu Sina justru berusaha membuktikan keberadaan
Tuhan dari Sang Pencipta itu sendiri. Konotasi pencipta yang selalu dikaitkan dengan ciptaan,
dengan kata lain bahwa jika ada pencipta, pastilah ada yang Dia ciptakan. Jadi tanpa berfikir
kritispun kita akan mengetahui bahwa alam hasil ciptaanNya ini ada karena adanya Dia, Sang
pencipta.
Ibnu Sina juga menganut paham emanasi dalam ihwal penciptaan alam, yang mana
hal ini jelas berbeda dengan al-Kindi. Hal inilah yang kemudian mendorong Ibnu Sina
untuk  lebih condong menggunakan filsafat ontologi dan membagi wujud ke dalam 3 bagian,
yaitu wujud wajib, wujud mungkin dan wujud mustahil. Wujud mungkin meliputi segala
yang ada di dunia ini selain Allah SWT, keberadaan wujud mungkin selalu bergantung pada
adanya wujud wajib, karena tanpa adanya wujud wajib, maka akan
terjadi daur dan tasalsul, dan hal ini jelas salah dan mustahil adanya. Teori inilah yang
digunakan Ibnu Sina dalam pembuktian keberadaan Tuhan.
            Jadi perpedaan paham antara al-Kindi dan Ibnu Sina dalam ihwal pembuktian
keberadaan Tuhan tampak jelas disini. Al-Kindi memulai pembuktianNya dari keberadaan
makhluk sedangkan Ibnu Sina memulainya dari keberadaan (kholiq) Tuhan itu sendiri.
Masing-masing dari teori pembuktian keberadaan Tuhan antara keduanya ini, menurut
penulis memiliki kelebihan masing-masing, meski tampak bahwa pemaparan Ibnu Sina lebih
lengkap dan lebih detail dari apa yang dipaparkan oleh al-Kindi, hal ini sebenarnya bukanlah
sebuah kekurangan, karena Ibnu Sina terlahir setelah al-Kindi, jadi sudah sewajarnya hal
tersebut terjadi. Argumentasi dari keduanya merupakan argumentasi-argumentasi yang cukup
hebat dan dapat menjadi pintu baru dalam perkembangan filsafat di dunia Islam di masanya
hingga saat ini. Karena dari pemikiran-pemikiran merekalah pintu filsafat dalam dunia Islam
mulai terbuka dan menjadi sumbangan yang cukup besar dan sangat berharga bagi
perkembangan filsafat di dunia Islam hingga saat ini. 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Abdullah al Thiyar, al Falsafah al Islamiyah, ‘Ardhun wa Naqdun, Diktat Azhar.
(Kairo. 2013)
Al-Kindi, Al falsafah al Ula, Dalam Abdul Hadi Abu Riddah (ed). Rasail al Kindi al
Falsafiyah, (al I’timad; Mesir 1850)
_______, Fi Wahdaniyah Allah wa Tanahi Jirm al-Alam, Dalam Abu Riddah (ed) Rasail al
Kindi al Falsafiyah, (al I’timad; Mesir 1850)
Anshori, Subkhan. Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan, (Pustaka Azhar; Kediri.
2011)
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam (Sebuah Peta Kronologis),  (Mizan; Bandung. 2001)
George N. Atiyeh, al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno, (Bandung;
Pustaka 1983)
Husein Marwah, al Naz’at al Maddiyah fi al-Falsafah al Arobiyah al Islamiyah (al Kindi, al
Farabi, Ibnu Sina), (Dar el Farabi; Beirut. 2002)
Ibnu Sina, Al-Syifa (Ilahiyat), Jild 1&2, Edt. Ibrahim Madkur, (Wazaroh al Tsaqofah al
Qaumi; Kairo. 1960)
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius. Menyelami Hakekat Tuhan, Alam dan
Manusia  (Erlangga; Jakarta, 2007)
Khan, Ali Mahdi. Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar ke Gerbang Pemikiran), (Nuansa;
Bandung. 2014)
Saleh, Khudori. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, (Ar-Ruzz Mrdia; Jogjakarta
2014)
T. J. De Boer, History of Philosophy in Islam. Tarj. Muhammad Abdul Hadi Abu
Riddah, Tarikh Falsafah Fi al Islam,  (Al-Markaz al Qoumi li al-Tarjamah; Kairo. 2010)
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Cet 1, (PT Grafindo Persada;
Jakarta. 2004)

Anda mungkin juga menyukai