Anda di halaman 1dari 5

Konsepsi Tuhan dalam Teropong Al-Kindi

Allahu, Ilahun?
Mayoritas kaum awam memahami bahwasanya Tuhan adalah Yang Maha Pencipta,
khaaliqu kulli syai’. Tapi pernahkah awamiyyin mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut,
menggali lebih radikal sampai pada titik dasar tertentu mengenai esensi Tuhan Yang Maha
Pencipta itu? Apakah iman saja sudah cukup untuk memenuhi kepuasan kita akan kehausan
dari keingintahuan yang berlebih tentang Tuhan? Atau jangan-jangan kebanyakan dari muslim
awam sudah merasa cukup dan terpuaskan dengan kalimat “sudah, imani saja semua itu”.
Apakah kiranya perlu bagi kita untuk mengkolaborasikan iman dengan atribut utama (akal)
kita yang membedakan manusia dari kawan se-kingdom-nya? (hewan).

Menalar Tuhan atau menggapai pengetahuan tentang Tuhan lewat nalar adalah hasrat
tertinggi manusia (terutama para filosof dan teolog) dan mereka memiliki satu obsesi yaitu
nalar diharuskan dapat mengikuti keimanan dan keyakinan hati, apa yang diyakini harus
didasarkan pada tidak adanya pertentangan dengan nalar, sehingga keimanan manusia dapat
melibatkan keseluruhan dan menjadikan akal budi juga beriman. Tafakkaruu ‘alaa sifatih,
walaa tafakkaruu ‘alaa dzaatih. Rupa-rupanya memang kita tak akan mampu untuk
menjelaskan zat Tuhan yang Mutlaqul-Mutlaq itu. Namun, barangkali tak apa jika kita masih
ingin mencoba untuk melakukan penilikan lebih lanjut atas esensi Tuhan, takut-takut kaum
atheis bertanya mengenai esensi dan eksistensi Tuhan kepada kita.

Apakah Allah adalah Tuhan? Apakah term Allah secara leterlek bermakna sesembahan?
Laa ilaaha illa allahu. Agaknya jika ditilik secara etimologis, makna “allah” tidak lah sama
dengan makna “ilaah”. Jika begitu, lalu bagaimana? “ilaah” artinya sesembahan, Tuhan.
Sedangkan “allah” adalah suatu entitas yang pejal, tak tersentuh, tak beratribut, dan tak-tak
lainnya. Kurang tepat jika kita hanya mengartikan “allah” sebagai Tuhan saja, karena dalam
kata “ilaah” terdapat banyak kemungkinan lain yang dimaksudkan dengan “tuhan”. Kemudian,
Allah itu apa? Di mana? Bagaimana? Bisa saja kita menjawab dengan ringan bahwa Allah
adalah Tuhan, ada di mana-mana, dan bersifat transendental. Akan tetapi, dalam Risalah
Qusyairiah dinyatakan bahwa, Allah itu tak tercakup dalam “apa”, “di mana”, dan
“bagaimana”. Allah ada jauh sebelum kata ada itu ada. Melampaui apa, di mana, dan
bagaimana. Allah itu tak terdefinisikan. Das ding an sich, mutlaqul mutlaq, being in itself.
Creatio ex Nihilo

Dalam alam pemikiran Yunani kuno, lazim diyakini bahwasanya alam semesta ini telah
ada sejak dahulu kala, ada tanpa diadakan. Kalaupun memang dikatakan ada suatu entitas yang
menciptakan alam semesta, maka entitas itu –dalam hal ini Tuhan— menciptakan alam semesta
dari anasir-anasir yang sudah ada. Artinya Tuhan menciptakan alam semesta bukan dari
ketiadaan (creatio ex materia). Hal ini berkaitan dengan pemahaman para filosof Yunani
mengenai arti kata “mencipta” yakni membuat sesuatu dari yang sudah ada. Dengan
pemahaman yang seperti ini, maka konsekuensinya adalah bahwa Tuhan tidak pernah
menciptakan alam semesta dari ketiadaan. Oleh karena alam semesta tercipta dari anasir yang
sudah ada, maka akibatnya adalah alam semesta ini bersifat qadim, tak berawal dan tak
berakhir. Sebut saja misalnya konsep Tuhan ala Aristoteles yang dikenal sebagai causa prima
(penggerak pertama).

Al-Kindi (805-873) menolak teori tersebut (creatio ex materia) dan sebagai gantinya
memunculkan gagasan yang fresh – setidaknya dalam dunia Islam— bahwa alam tercipta dari
yang tiada, ketiadaan (creatio ex nihilo), bersesuaian dengan konsep teologi Islam.
Menggunakan teropong filosofis dan logika Aristotelian, Al-Kindi mengutarakan beberapa
argumentasi. Pertama, bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas
yang berwujud dalam bentuk yang aktual. Kedua, bahwa materi, waktu, dan gerak muncul
secara serentak, bersamaan, berbarengan. Berdasarkan ini, Al-Kindi mencoba membuktikan
bahwa Tuhan mencipta dari ketiadaan. Pertama, jika kita menyatakan bahwa semesta ini tidak
terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual dari semesta ini juga tidak
terbatas. Namun ini bertentangan dengan prinsip pertama Aristoteles yang menyatakan bahwa
wujud aktual adalah terbatas. Kedua, jika wujud semesta yang diasumsikan tidak terbatas ini
kita ambil sebagiannya, sisanya dapat berupa wujud tidak terbatas sebagaimana wujud
keseluruhannya, atau menjadi wujud terbatas. Namun, jika dikatakan tidak terbatas, berarti ada
dua hal yang sama-sama tidak terbatas, dan itu mengimplikasikan bahwa keseluruhan adalah
sama dengan sebagian, dan itu tak masuk akal. Ketiga, jika sebagiannya yang diambil
dikembalikan lagi, hasilnya adalah sebagaimana yang ada sebelumnya. Namun, ini
mengimplikasikan ada sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar dari sesuatu
yang tidak terbatas lainnya (bagian), dan ini lagi lagi tak masuk akal.

Merujuk pada apa yang menjadi basis argumentasi Al-Kindi tentang kontradiksi-
kontradiksi logis tersebut, maka semesta yang ada dalam aktualitas ini tidak dapat lain kecuali
harus bersifat terbatas; dan karena terbatas, maka semesta ini berarti tidak abadi (non-eternal),
tidak qadim dan tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo).

Daliilu Wujudi Allahi ‘Alaa Annahu Ilaahun

Al-Kindi mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya Tuhan. Pertama,


berlandaskan prinsip hukum sebab-akibat, cause and effect. Oleh karena alam semesta ini
adalah sifatnya terbatas dan tercipta dari ketiadaan, maka menurut hukum sebab-akibat, setiap
yang tercipta mesti membutuhkan pencipta, dan yang menciptakan alam semesta adalah Tuhan,
dalam hal ini adalah Allah. Ketika Tuhan sebagai pencipta dan karya ciptaannya yang berupa
alam semesta ini ada, maka Dia berarti ada. Kedua, berlandaskan prinsip bahwa segala sesuatu
tak dapat menjadi sebab bagi dirinya sendiri, karena untuk bisa menjadi sebab bagi dirinya,
sesuatu itu harus ada sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah
alam semesta. Artinya, jika semesta tak dapat muncul karena diri sendiri, berarti ia butuh
sesuatu yang ada di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan,

Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (alam semesta) dan


mikrokosmos (manusia). Persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi
secara tertib dan muluss yang menunjukkan adanya sang pengatur yang cerdas dan tak
kelihatan, yaitu jiwa, maka demikian pula dengan sang pengatur yang cerdas dan tak kelihatan
yang mengatur perjalanan alam dengan sangat teratur, tertib, dan selaras, yakni Tuhan.
Keempat, dilandaskan pada konsep teleologi. Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam
yang tertib, teratur, dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan
pasti karena adanya tujuan tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Zat Yang Maha Mengatur.
Pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan sebab dari
semua sebab.

Aushaf Al-Ilaah

Pemikiran Al-Kindi tentang aushaf al-ilaah tak berbeda dengan konsep Mu’tazilah
yang menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Perkasa bukan dengan sifat atau kekuatan yang lain
di luar Diri-Nya, melainkan dengan kekuatan yang merupakan esensi diri-Nya. Terdapat dua
sifat Tuhan yang penting yang diuraikan, yaitu wahdaniyyah dan mukhalafah li al-hawaadits.
Tentang keesaan Tuhan, Al-Kindi membedakan antara esa mutlak dan esa metaforis. Esa
mutlak adalah keesaan esensial yang tidak terbagi. Sedangkan esa metaforis adalah keesaan
yang ada pada atribut-atribut tertentu yang pada akhirnya menyebabkan keesaannya tidak
bersifat mutlak, tapi berganda, majemuk. Keesaan Tuhan juga tidak sama dan tidak pula
merujuk pada bilangan. Misalnya kita mengatakan “Tuhan itu satu”, ini kurang tepat, karena
bilangan selalu merujuk pada kuantitas, padahal kuantitas sendiri mempunyai atribut-atribut
lain yang tidak terpisahkan. Artinya, jika kita menyatakan bahwa Tuhan adalah satu, bilangan
satu tersebut menunjuk pada kuantitas material dan dapat dibagi. Bila sudah demikian, maka
itu menyiratkan bahwa keesaan Tuhan itu terbagi ke dalam beberapa bagian. Artinya, dalam
bagian-bagian Tuhan yang terangkum dalam kesatuan-Nya pasti terkandung sesuatu yang sama
menyatukannya sekaligus sesuatu yang tidak sama yang membedakan antara satu dengan
lainnya, dan ini mustahil.

Masih tentang keesaan, Al-Kindi menggunakan sebuah argumen yang digambarkan


sebagai “metode yang benar untuk membuktikan keniscayaan dan keesaan Tuhan”, sebagai
berikut:

“Seandainya ada Tuhan lebih dari satu, maka mereka pasti majemuk dan berganda. Sebab,
mereka pasti mempunyai satu sifat yang umum sebagai Sebab Pertama dan sifat pribadi yang
membedakan antara satu dengan yang lain, ini menunjukkan bahwa masing-masing Tuhan
mempunyai lebih dari satu atribut. Satu atribut yang dipakai bersama dan atribut lainnya yang
membedakan antara satu dengan lainnya. Artinya, mereka majemuk. Jika majemuk, mereka
butuh pendahulu yang menyiratkan bahwa Tuhan sebagai penyebab utama itu butuh penyebab
lainnya. Penyebab tersebut bisa satu atau jamak. Jika satu maka ia adalah Penyebab Pertama satu-
satunya; jika jamak maka penyebab-penyebab tersebut juga butuh penyebab lainnya yang juga
jamak. Begitu seterusnya sampai pada penyebab-penyebab lainnya yang tak terbatas, dan itu
tidak mungkin. Karena itu, Penyebab Pertama tersebut pasti satu adanya, Esa, tak jamak dan
berbeda dengan lainnya.”

Sifat Tuhan yang selanjutnya adalah mukhalafah li al-hawaadits. Tuhan tak dapat
dijelaskan dengan negasi dan bahwa esensi-Nya juga tak dapat diketahui. Dalam Rasail Al-
Kindi menulis,

Yang Esa bukanlah yang dapat dipahami, bukan unsur, bukan genus, bukan spesies, bukan
persona, bukan diferensia, bukan sifat, bukan kejadian, bukan gerakan, bukan jiwa, bukan
pikiran, bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan jumlah, bukan partikular, bukan hubungan,
melainkan sesuatu Yang Mutlak yang tidak terpengaruh oleh kebergandaan. Dia tidak majemuk,
tidak jamak, bukan sesuatu yang dapat dimasukkan dalam konsep-konsep di atas, bukan yang
namanya dapat dianggap berasal dari atribut-atribut mana pun....
Karena itu, Yang Esa tidak terkatakan, tidak berbentuk, tidak berukuran dan tidak ada
hubungan. Dia tidak dapat digambarkan oleh kata-kata. Dia tanpa genus atau diferensia atau
kepribadian atau sifat atau kejadian atau gerakan. Dia tidak dapat dilukiskan oleh sifat apapun
kecuali keesaan. Dia adalah murni dan mutlak, saya tidak mengartikan apapun kecuali keesaan
mutlak, sehingga apapun bentuk keesaan selain-Nya adalah jamak....

Yang Esa adalah satu esensi, tidak pernah berganda, tidak pernah dapat terbagi dengan cara apa
pun atau mengenai apa pun. Dia bukan waktu atau tempat Dia juga bukan badan atau predikat
atau keseluruhan atau bagian atau substansi atau kejadian."

Merujuk pada apa yang telah diuraikan di atas, Tuhan dalam teropong Al-Kindi adalah
sesuatu yang tak dapat dijangkau, tak terbayangkan, dan tak tergambarkan oleh kata-kata.
Pernyataan ini ekuivalen dengan apa yang dimaksudkan oleh Immanuel Kant dalam
fenomenologinya, das ding an sich, benda pada dirinya sendiri tak akan pernah kita ketahui.
Jika kita elaborasikan dengan konsep Tuhan, maka Tuhan sebagai entitas “mutlaqul mutlaq”
tidak akan pernah kita ketahui, kita bayangkan, kita jangkau. Jika memang kita telah sampai
pada kesimpulan yang demikian, lalu, Tuhan itu sebagai entitas bagaimana? Kiranya jawaban
yang paling tepat adalah wallahu a’lam bi ash-shawab dzaatihi wa sifaatihi.

Anda mungkin juga menyukai