Anda di halaman 1dari 11

Eksistensi Ketuhanan dalam Islam

MAKNA DAN KEDUDUKAN TAUHID

Tauhid adalah dasar akidah terpenting yang membahas


masalah keberadaan (wujud) dan ke-Esaan Allah. Hal ini
memiliki hikmah agar kita dapat dengan benar untuk berterima
kasih dan melakukan penyembahan, sebab secara rasional kita
memiliki kewajiban untuk berterima kasih atas pemberian
pihak lain.

Tauhid merupakan masalah terpenting dalam ajaran Islam. Dia


bukan hanya merupakan salah satu dasar agama, akan tetapi
satu-satunya prinsip yang menjiwai seluruh ajaran dan amalan
agama, baik yang ushul (pokok) maupun yang furu’ (cabang).
Inilah sentral atau pusat yang semua elemen mengkristal dititik
fokus keesaan-Nya. Esa dalam Dzat-Nya, Esa dalam sifat, dan
Esa dalam perbuatan-Nya. Setiap pelanggaran akan ke-Esan
Allah adalah sebuah kezhaliman dan dosa yang besar yang
dikenal dengan syirik.[1]

Karena itu pengenalan tentang Tuhan adalah kondisi tertinggi


kemanusiaan dan kesempurnaan spiritual tertinggi yang
mampu membawa manusia kepada hakekat di sisi-Nya.
Murtadha Mutahhari dalam konteks ini menuturkan,

ARGUMENTASI KEBERADAAN TUHAN

Allah sebagai wujud mutlak yang tidak terbatas, maka hakikat


dirinya tidak akan pernah dicapai, namun pemahaman tentang-
Nya dapat dijangkau sehingga kita mengenal-Nya dengan
pengenalan yang secara umum dapat diperoleh, malalui jejak
dan tanda-tanda yang tak terhingga. Imam `Ali as dalam hal ini
menjelaskan bahwa: “Allah tidak memberitahu akal bagaimana
cara menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama
tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya.”[2]

Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara
fitrah manusia memiliki rasa berketuhanan. Fitrah ini tidak
dapat dihilangkan, hanya saja dapat ditekan dan
disembunyikan, dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu
dan lainnya, sehingga terkadang muncul pada saat-saat tertentu
seperti pada saat tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang
benar-benar tidak mampu ia mengatasinya. Pada kondisi ini,
kita secara fitriah mengharapkan adanya sosok lain yang
memiliki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan
memberikan pertolongan kepada kita.[3]

Dalil fitrah ini merupakan perasaan berketuhanan secara


langsung yang tertanam pada diri manusia. Ia menjadi model
sekaligus modal khusus manusia. Akan tetapi untuk
memperkuat fitrah itu kita memerlukan dalil-dalil yang
argumentatif yang bersandar pada akal dan kemudian wahyu
sebagai tambahan dan penguat argumentasi. Untuk itu di
bawah ini akan dijabarkan secara singkat dan sederhana
beberapa argumentasi tentang keberadaan dan ke-Esaan Allah
swt.[4]

1. Argumentasi Kesempurnaan. Semua manusia


mendambakan kesempurnaan dirinya. Saat manusia
melihat kesekelilingnya, maka ia menemukan tingkat-
tingkat kesempurnaan, dan merasa bahwa dirinyalah
yang paling sempurna dari sekelilingnya. Akan tetapi,
ia melihat dirinya memiliki banyak kekurangan.
2. Argumentasi Keteraturan (nizham). Keteraturan
adalah berkumpulnya bagian-bagian beragam dalam
sebuah tatanan dengan kualitas dan kuantitas khusus,
yang berjalan seiring menuju sebuah tujuan tertentu.
3. Argumentasi Keterbatasan atau Kebermulaan
(huduts). Jika kita melihat diri dan sekeliling kita maka
kita menemukan berbagai keterbatasan. Ada yang
terbatas oleh ruang dan waktu, seperti wujud-wujud
material (benda-benda), atau keterbatasan dalam
esensinya (hakikat) seperti manusia bukanlah kambing,
bukan kuda, bukan batu.
4. Argumentasi Kemungkinan (Imkan). Dalil ini
membicarakan posisi keberadaan (wujud). Keberadaan
sesuatu (wujud) itu dapat kita bagi pada dua: 1).
Sesuatu yang selalu ada dan tidak pernah tidak ada
yang disebut dengan wajib al-wujud; 2) Sesuatu yang
bisa diandaikan ada dan bisa diandaikan tidak ada yang
disebut mungkin wujud (mumkin al-wujud).
5. Argumentasi Wujud. wujud memiliki satu makna
yaitu wujud (ada adalah ada) dan menjadi lawan dari
adam atau ketiadaan (ada bukanlah tiada).

Maksudnya : Wujud (ada) itu tunggal dan berlaku pada semua


realitas. Selain itu, ‘wujud’ juga bersifat murni, makanya
mustahil untuk dikatakan tidak ada. Sebab, hal itu akan
menghasilkan kontradiksi yakni “ada adalah tidak ada”, dan
sesuai dengan hukum akal, kontradiksi tersebut tidak dapat
dibenarkan. Oleh karenanya, Tuhan (sebagai ada murni)
haruslah ada secara niscaya (wajib al-wujud) dan tidak
mungkin untuk dikatakan tidak ada.

Argumentasi di atas telah mengukuhkan prinsip ketuhanan


(teisme) sekaligus meruntuhkan pandangan anti Tuhan
(ateisme).

KARAKTERISTIK TUHAN
Ada beberapa karakter yang harus dikenali dari wajib al-wujud
(Tuhan) sehingga dapat dibedakan dengan mumkin al-wujud
(makhluk). Diantara karakter pentingnya adalah :

1. Sederhana. Wujudnya merupakan wujud murni yang


tidak meiliki rangkapan apapun secara esensi. Tidak
merupakan susunan, dan tidak merupakan bagian,
karena semua itu merupakan karakter wujud mungkin.
2. Tidak mengalami perubahan dalam semua kondisi,
karena perubahan meniscayakan ketersusunan.
3. Keberadaannya tidak bergantung dengan apapun selain
diri-Nya, karena ketergantungan meniscayakan
kebutuhan dan kebutuhan berarti kelemahan, sedangkan
kelemahan menunjukkan karakter wujud mungkin.

KE-ESAAN TUHAN

Jika kita melihat perkembangan agama-agama di dunia maka


berbagai pandangan tentang jumlah Tuhan ini sangat beragam,
mulai dari yang monoteis (satu Tuhan), diteis atau dualisme
(dua Tuhan), triteis atau tirinitas (tiga tuhan), hingga politeis
(banyak Tuhan) dalam berbagai bentuknya. Untuk itu, kita
perlu menentukan pilihan kita dari berbagai pandangan tersebut
dengan argumentasi yang kokoh dan utuh. Kajian ini akan
difokuskan untuk membuktikan kebenaran pandangan keesaan
Tuhan di antara pandangan-pandangan lainnya.

Islam meyakini bahwa Allah swt adalah Esa secara mutlak,


tidak berbilang dan tidak bersekutu dalam hal apapun. Siapa
saja yang meyakini sebaliknya,maka ia telah jatuh pada
kezhaliman dan dosa yang besar (syirk). Dimensi terpenting
dari persoalan tauhid adalah masalah keesaan Allah ini, karena
itu ushuluddin pertama ini di sebut at-tauhid yang berakar kata
dari ahad berarti esa (tunggal).

Jika kita memahami dalil-dalil pembuktian keberadaan Tuhan


sebelumnya, seperti dalil kesempurnaan, keterbatasan,
keteraturan, kemungkinan, bahkan argumentasi ontologis
(wujud), maka jelas bahwa tidak mungkin Tuhan lebih dari
satu. Hal ini karena, kesempurnaan, ketidakterbatasan,
kepengaturan, kepastian, dan keberadaan puncak, hanyalah
satu (esa). Di bawah ini, akan diuraikan argumentasi
pembuktian keesaan Tuhan berdasarkan pada lima argumentasi
keberadaan Tuhan sebelumnya, sebagai berikut :

1. Argumentasi Kesempurnaan menyebutkan bahwa


wujud tertinggi mestilah sempurna dari segala sisinya.
Wujud seperti ini mestilah tunggal, karena jika tidak,
maka akan menghasilkan kekurangan pada tiap wujud.
2. Pada Argumentasi keteratutan menegaskan bahwa
alam ini dikuasai oleh sistem yang harmois dan teratur
bersumber dari wujud yang berkemampuan dan
bijaksana. Wujud yang mengatur semesta tidak
mungkin lebih dari satu, karena, akan mengakibatkan
sistem yang bekerja pada semesta juga menjadi lebih
dari satu, dan hal ini mustahil.
3. Pada argumentasi keterbatasan dan kebermulaan
(huduts) ditegaskan bahwa wujud terbatas berasal dari
wujud yang tak terbatas dalam hal apapun, maka
membuktikan ke-Esaan Tuhan adalah hal yang mudah.
Yaitu bahwa sesuatu yang tidak terbatas tidak
mungkin lebih dari satu, karena jika lebih dari satu
maka akan terjadi keterbatasan.
4. Argumentasi kemungkinan telah menyatakan bahwa
wajib al-wujud merupakan wujud menjadi sebab bagi
semua keberadaan yang keberadaan dirinya tidak
disebabkan oleh apapun.
5. Dalam argumentasi ontologis (wujud), secara tegas
dinyatakan bahwa wujud murni hanyalah satu, karena
jika tidak diakui, berarti ada wujud selain wujud atau
ada wujud yang bukan wujud. Dengan kelima
argumentasi di atas, maka dapat dengan kokoh dan utuh
kita menerima keyakinan bahwa Tuhan mestilah Esa
(tauhid). Maha benar Allah yang mengabarkan melalui
firman-Nya “Katakan, Dia (Allah) Maha Esa” (Q.S.
Al-Ikhlas: 1).

Tauhid; Esensi Ajaran Islam

Tauhid (Keesan Tuhan) adalah dasar terbesar dari keyakinan Islam.


Bahkan, seseorang akan dianggap Muslim apabila meyakini tidak
ada Tuhan selain Allah dan mengakui Nabi Muhammad SAW adalah
rasul utusan Allah SWT.

Allah SWT berfirman di dalam Alquran surat Albaqarah ayat


225 yang artinya, ''Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus, tidak mengantuk
dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa
izin-Nya...''

Dalam ayat 225 Surat Albaqarah yang juga disebut Ayat Kursi
itu, Allah SWT menggambarkan sifat tauhid-Nya bahwa
Dialah satu-satunya yang paling kuat. Tauhid adalah fondasi
Islam yang menyatakan Allah SWT menciptakan dan mengatur
alam semesta beserta seluruh isinya.

Menurut Islam, semua ajaran yang diturunkan kepada para nabi


memiliki esensi yang sama yaitu pengetahuan tentang tauhid
dan keesaan Allah SWT. Namun, kebanyakan umat
menyalahartikan ajaran tersebut. Bahkan, ajaran para nabi
dicampuradukkan dengan hal-hal berbau takhayul.

Tauhid adalah pesan yang sama yang diterima Nabi Adam AS


ketika turun ke bumi. Pesan itu juga diterima Nabi Nuh AS, Isa
AS, Ibrahim AS hingga nabi terakhir Muhammad SAW.

Islam menolak segala bentuk penggambaran Allah SWT dalam


bentuk manusia yang diidolakan karena latar belakang
kebangsaan, kekayaan, kekuasaan maupun ras. Orang yang
tidak mampu memahami konsep ini sering menginterpretasikan
Allah SWT dengan cara yang materialistis.

Ketika Nabi Muhammad SAW ditanyai umatnya tentang Allah


SWT, maka Allah SWT menjawabnya dengan menurunkan
surat Al-Ikhlas ayat 1-4: ''Katakanlah, “Dialah Allah, Yang
Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tidak melahirkan dan tidak pula
dilahirkan; tidak pula ada seorang pun yang setara dengan-
Nya.”

Surat Al-Ikhlas ayat 1-4 menegaskan ketauhidan Allah SWT.


Sebagai Pencipta, Allah SWT memiliki sifat yang berbeda
dengan sesuatu yang diciptakannya.

Jika tidak, Pencipta hanya bersifat sementara dan tidak bisa


berkuasa atas seluruh ciptaan-nya. Untuk itu, Allah SWT
bersifat abadi dan tidak bergantung pada apa pun. Eksistensi
Allah SWT tidak ada habisnya.

Karakteristik Aqidah Islam

Pertama, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah ghaibiyah ( ٌ‫ع ِق ْي َدة‬


َ
ٌ‫غ ْي ِبيَّة‬
َ ), yakni bahwa muatan dan esensi aqidah Islam itu
didominasi oleh keimanan kepada yang ghaib. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya): ”(Orang-orang muttaqin yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka” (QS. Al-Baqarah: 3)

Kedua, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah tauqifiyah ( ٌ‫ع ِق ْي َدة‬َ


ٌ‫)تَ ْوقِ ْي ِفيَّة‬, yakni bahwa dalam beraqidah dan memahami aqidah
Islam, kita wajib berhenti dan membatasi diri pada batas-batas
ketetapan wahyu : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih saja.

Ketiga, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah syamilah ( ٌ‫ع ِق ْي َدة‬


َ
ٌ‫َاملَة‬
ِ ‫)ش‬, yakni aqidah yang lengkap, sempurna, menyeluruh,
komprehensif dan integral,

Keempat, ‘aqidah islamiyah adalah aqidah tauhidiyah ( ٌ‫ع ِق ْي َدة‬ َ


ٌ‫)تَ ْو ِح ْي ِديَّة‬, yakni aqidah ketauhidan kepada Allah. Dimana esensi
dan inti utama aqidah serta keimanan di dalam ajaran Islam
ialah sikap ketauhidan seorang mukmin dan mukminan kepada
Allah.

Kelima, ‘aqidah Islamiyah adalah aqidah furqaniyah ( ٌ‫ع ِق ْي َدة‬ َ


ٌ‫)فُ ْر َقانِيَّة‬. Artinya ia merupakan aqidah pembeda (furqan) secara
jelas dan tegas antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-
bathil), antara keimanan dan kekufuran, antara ketauhidan dan
kesyirikan, antara keistiqamahan dan kesesatan, antara
kesunnahan dan kebid’ahan, antara ketaatan dan kemaksiatan,
antara kebaikan dan kejahatan, antara keadilan dan kedzaliman,
dan seterusnya.

Posisi Islam Terhadap Agama-agama yang Datang


Sebelumnya
Islam adalah agama yang terakhir diantara
sekalian agama besar di dunia yang semuanya merupakan
kekuatan raksasa yang menggerakkan revolusi dunia, dan
mengubah nasib sekalian bangsa. Selain itu, Islam bukan saja
agama yang terakhir, melainkan agama yang melingkupi
segalanya dan mencakup sekalian agama yang datang
sebelumnya.
Mengenai posisi Islam terhadap agama-agama
yang datang sebelumnya dapat dikemukakan sebagai berikut,
yakni:
Pertama, dapat dilihat dari ciri khas agama
Islam yang paling menonjol, yaitu bahwa Islam menyuruh para
pemeluknya agar beriman dan mempercayai bahwa agama
besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan dan
diwahyukan oleh Allah Ta’ala.
Kedua, posisi Islam di antara agama-agama di
dunia dapat pula dilihat dari ciri khas agama Islam yang
memberinya kedudukan istimewa di antara sekalian agama.
Ketiga, posisi Islam diantara agama-agama
lainnya dapat dilihat dari peran yang dimainkannya. Dalam
hubungan ini agama Islam memiliki tugas besar, yaitu:
1. Mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk
persaudaraan di antara sekalian agama-agama di dunia.1[2]
2. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama
yang telah ada sebelumnya.2[3]
3. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para
penganut agama sebelumnya yang kemudian dimasukkan
kedalam agamanya itu.3[4]
4. Mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tak pernah
diajarkan, berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu
itu masih dalam taraf permulaan dari tingkat perkembangan
mereka, dan yang terakhir adalah memenuhi segala
kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia yang selal
bergerak maju.4[5]

Keempat, posisi Islam di antara agama-agama


lain dapat pula dilihat dari adanya unsur pembaruan
didalamnya,. Dengan datangnya Islam, agama memperoleh arti
yang baru. Ada dua hal mengenai hal ini, yaitu:
1. Agama tak boleh dianggap sebagai digma yang orang harus
menerimanya, jika ia ingin selamat dari siksaan yang kekal.
2. Ruang lingkup agama itu tak terbatas pada kehidupan akhirat
saja melainkan juga mencakup kehidupan dunia. Dengan
kehidupan dunia yang baik, manusia dapat mencapai
kesadaran akan adanya kehidupan yang lebih tinggi.
Kelima, posisi agama terhadap agama-agama
lain dapat dilihat dari dua sifat yang dimiliki ajaran Islam, yaitu
akomodatif dan persuasif.

Keenam, hubungan Islam dengan agama lain


dapat dilihat pada ajaran moral atau akhlak yang mulia yang
ada didalamnya. Contoh ajaran moral dalam agama yaitu
ajaran tentang pengendalian diri dari memperturutkan hawa
nafsu yang berakibat pada terjadinya tindakan kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai