Anda di halaman 1dari 20

Pernikahan Adalah Fitrah Bagi Manusia

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai
dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk
menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena
nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini
tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan
syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla:


‫ل‬ ‫اس ِهَّلل لنذلس ن‬ ‫ك سلليديسن نحسنيففاَّ ِهَّلل فس ع‬
‫ك اليديمن اعلقنييمم نولنسكنن أنعكثننر النناَّ س‬
‫س نل ينععلنمموُنن‬ ‫س نعلنعيهناَّ ِهَّلل نل تنعبسدينل لسنخعل س‬
‫ق ن‬ ‫اس النستيِ فنطننر النناَّ ن‬
‫ت ن‬
‫طنر ن‬ ‫فنأ نقسعم نوعجهن ن‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah,
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-
Ruum : 30]

A. Definisi Nikah ( ‫) نالنينكاَّمح‬


An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun). Kata ini dimutlakkan
untuk akad atau persetubuhan.

Adapun menurut syari’at, Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah menurut syari’at
adalah akad perkawinan. Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna
demikian selagi tidak ada satu pun dalil yang memalingkan darinya.” [1]

Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip kami bahwa
pernikahan pada hakikatnya berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ف ِهَّلل إسننهم نكاَّنن فناَّسحنشةف نونمعقتفاَّ نونساَّنء نسسبيفل‬


‫نونل تنعنسكمحوُا نماَّ نننكنح آبناَّمؤمكعم سمنن النينساَّسء إسنل نماَّ قنعد نسلن ن‬

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu,
kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan
dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [An-Nisaa’ : 22][2]

B. Islam Menganjurkan Nikah


Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah
sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan
sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan
besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ِ‫ف اعلبناَّسقى‬ ‫ِ فنعلينتن س‬،‫ف عاسلعينماَّسن‬


‫ق ان سفيِ الني ع‬
‫ص س‬ ‫نمعن تننزنونج فنقنسد اعستنعكنمنل نس ع‬.
‫ص ن‬

“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia


bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.’”[3]

Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ق ان سفيِ النش ع‬
ِ‫طسر الثناَّسنى‬ ‫صاَّلسنحةف فنقنعد أننعاَّننهم ام نعنلىِ نش ع‬
‫ِ فنعلينتن س‬،‫طسر سدعينسسه‬ ‫نمعن نرنزقنهم ام اعمنرأنةف ن‬.

“Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang shalihah, maka sungguh
Allah telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.”[4]

C. Islam Tidak Menyukai Hidup Membujang


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras
kepada orang yang tidak mau menikah. Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu
berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan
melarang membujang dengan larangan yang keras.”

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ِ فنإ سينيِ ممنكاَّثسرِر بسمكمم عالنعنبسيناَّنء ينعوُنم اعلقسيناَّنمسة‬،‫تننزنومجوُا اعلنوُمدعوند اعلنوُلمعوُند‬.

“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya
ummatku di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.”[5]

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang bertanya kepada isteri-
isteri Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah
diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka
berkata: “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.”
Shahabat yang lain ber-kata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.”
Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-
lamanya… dst” Ketika hal itu didengar oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
keluar seraya bersabda:

‫صعوُمم نوأمعفسطمر نوأم ن‬


‫ِ فننمعن‬،‫صيلىِ نوأنعرقممد نوأنتننزنومج النينساَّنء‬ ‫ِ نولنسكينيِ أن م‬،‫أنعنتممم النسذعينن قمعلتمعم نكنذا نونكنذا؟ أننماَّ نواس إسينيِ نلنعخنشاَّمكعم سلس نوأنعتقناَّمكعم لنمه‬
ِ‫س سميني‬‫ب نععن مسننستيِ فنلنعي ن‬ ‫نرسغ ن‬.

“Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang
paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku
berpuasa dan aku ber-buka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita.
Maka, barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.”[6]

Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

‫ِ نونمعن لنعم ينسجعد‬،‫ِ نونمعن نكاَّنن نذا طنعوُلل فنعلينعنسكعح‬،‫ِ فنإ سينيِ ممنكاَّثسرِر بسمكمم عالمنمنم‬،‫ِ نوتننزنومجعوُا‬،ِ‫س سميني‬
‫نالنينكاَّمح سمعن مسننستيِ فننمعن لنعم ينععنمعل بسمسننستيِ فنلنعي ن‬
‫صعوُنم لنهم سونجاَّرِء‬ ‫فننعلنعيسه بساَّل ي‬.
‫صيناَّسم فنإ سنن ال ن‬
“Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia
bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan
banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat. Barangsiapa memiliki kemampuan
(untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia
berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” [7]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

‫ِ نولن تنمكعوُنمعوُا نكنرعهبناَّنسينسة النن ن‬،‫ِ فنإ سينيِ ممنكاَّثسرِر بسمكمم عالمنمنم ينعوُنم اعلقسيناَّنمسة‬،‫تننزنومجعوُا‬.
َ‫صاَّنرى‬

“Menikahlah, karena sungguh aku akan membanggakan jumlah kalian kepada ummat-ummat
lainnya pada hari Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.”[8]

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan
kesesatan dengan hidup membujang. Sesungguhnya, hidup membujang adalah suatu
kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak memiliki makna dan tujuan. Suatu
kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas
dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka
membujang ber-sama hawa nafsu yang selalu bergelora hingga kemurnian semangat dan
rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu berada dalam pergolakan melawan
fitrahnya. Kendati pun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi
secara terus menerus lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta
mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka sebenarnya tergolong
orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka adalah orang yang paling tidak
menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat biologis maupun spiritual. Bisa jadi
mereka bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia Allah ‘Azza wa Jalla.

Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan
fitrah manusia. Bahkan, sikap itu berarti melawan Sunnah dan kodrat Allah ‘Azza wa Jalla
yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut
miskin adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rizki telah diatur oleh Allah
Ta’ala sejak manusia berada di alam rahim.

Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah ‘Azza wa Jalla,
misalnya ia menga-takan: “Jika saya hidup sendiri gaji saya cukup, akan tetapi kalau nanti
punya isteri gaji saya tidak akan cukup!”

Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan Al-Qur-anul Karim
dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla
memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka fakir niscaya Allah ‘Azza wa Jalla
akan membantu dengan memberi rizki kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan suatu
pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:

‫ضلسسه ِ نو ن‬
‫ام نواسسرِع نعسليرِم‬ ‫سكمحوُا اعلنيناَّنملىِ سمعنمكعم نوال ن‬
‫صاَّلسسحينن سمعن سعبناَّسدمكعم نوإسنماَّئسمكعم ِهَّلل إسعن ينمكوُمنوُا فمقننرانء يمعغنسسهمم ن‬
‫ام سمعن فن ع‬
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang
yang layak (me-nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [An-Nuur : 32]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah ‘Azza wa Jalla tersebut
melalui sabda beliau:

‫ِ نوالنناَّسكمح النسذيِ يمسرعيمد اعلنعفناَّ ن‬،‫ب النسذيِ يمسرعيمد عالنندانء‬


‫ف‬ ‫ِ نواعلممنكاَّتن م‬،‫ا‬
‫ انعلممنجاَّسهمد فسعيِ نسبسعيسل س‬:‫ق نعنلىِ اس نععوُنمهمعم‬
‫ثنلنثنةرِ نح ق‬.

“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi
sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya
merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” [9]

Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang,
serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal
sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah. Aku ingin pada malam-malam yang
tersisa bersama seorang isteri yang tidak berpisah dariku.” [10]

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ibnu ‘Abbas ber-tanya kepadaku, ‘Apakah engkau sudah
menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau kembali berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya
sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak isterinya.’”[11]

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah
atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak
ada yang menghalangi-mu untuk menikah kecuali kelemahan atau kejahatan (banyaknya
dosa).’” [12]

Thawus juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”[13]

Read more https://almanhaj.or.id/3234-pernikahan-adalah-fitrah-bagi-manusia.html


KRITERIA MEMILIH PASANGAN HIDUP

Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat
diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam
permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

‫ النكاَّح والطلقا والرجعة‬:‫ثلثا جدهن جد وهزلهن جد‬

“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius:
nikah, cerai dan ruju.'” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh
Al Albani dalam Ash Shahihah)

Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup
tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian,
merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah
diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan
hidup.

Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin.
Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya,
sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan
bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya hanya dengan
pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli
bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka
pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik
tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam
memilih pasangan.

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok
suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon
pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,

‫اس أنعتقناَّمكعم‬
‫إسنن أنعكنرنممكعم سعنند ن‬

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al
Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk
mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada
aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang
baik agamanya,
‫ِ فاَّظفر بذات الدين تربت يداك‬،َّ‫ لماَّلهاَّ ولحسبهاَّ وجماَّلهاَّ ولدينها‬:‫تنكح المرأة لربع‬

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus
agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR.
Bukhari-Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫إذا جاَّءكم من ترضوُن دينه وخلقه فزوجوُه إل تفعلوُه تكن فتنة فيِ الرض وفساَّد كبير‬

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan
lighoirihi)

Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih
pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan
apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.

Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama.
Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman
agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫من يرد ا به خيرا يفقهه فيِ الدين‬

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap
ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Al Kafa’ah (Sekufu)

Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal
kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah
secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan),
kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan
kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran
ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

‫ت سللطنييسبينن نوالطنييمبوُنن سللطنييبناَّ س‬


‫ت‬ ‫ت نوالطنييبناَّ م‬
‫ت لسعلنخسبيسثينن نواعلنخسبيمثوُنن لسعلنخسبيثناَّ س‬
‫اعلنخسبيثناَّ م‬

“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-
wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang
baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam
agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

‫ِ فاَّظفر بذات الدين تربت يداك‬،َّ‫ لماَّلهاَّ ولحسبهاَّ وجماَّلهاَّ ولدينها‬:‫تنكح المرأة لربع‬
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya
(keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-
Muslim)

Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial
dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin
Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha.
Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak
tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini
terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan jika dipandang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan
kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena
paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan
hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka
mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk
menciptakan ketentraman dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman,

َّ‫ق لنمكم يمعن نأنفمسسمكعم أنعزنواجاَّ ف ليتنعسمكمنوُا إسلنعيهنا‬


‫نوسمعن آيناَّتسسه أنعن نخلن ن‬

“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu
sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri
wanita sholihah yang salah satunya,

‫وان نظر إليهاَّ سرته‬

“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa
sanad hadits ini shahih)

Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak
dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak
dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ‫أنظرت إليهاَّ قاَّل ل قاَّل فاَّذهب فاَّنظر إليهاَّ فإن فيِ أعين النصاَّر شيئا‬

“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda,
“Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat
sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)

Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak
jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari
pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-
orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

‫تزوجوُا الوُدود الوُلوُد فاَّنيِ مكاَّثر بكم المم‬

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya
ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul
Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an
nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As
Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten,
maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan
dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)

Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria
yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi
nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah
menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah
termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫كفىِ باَّلمرء إثماَّ أن يضيع من يقوُت‬

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi


tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini
shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan
menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti
kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

‫ إن أباَّ الجهم ومعاَّوية خطباَّنيِ؟ فقاَّل‬:‫ِ فقلت‬،‫ أتيت النبيِ صلىِ ا عليه وسلم‬:‫عن فاَّطمة بنت قيس رضيِ ا عنهاَّ قاَّلت‬
‫ِ فل يضع العصاَّ عن عاَّتقه‬،‫ِ وأماَّ أبوُالجهم‬، ‫ِ فصعلوُك ل ماَّل له‬،‫”أماَّ معاَّوية‬:‫رسوُل ا صلىِ ا عليه وسلم‬

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah
telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun
Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak
pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan


Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah
kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika
sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan
keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak
zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela
penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِ وإن لم يعط لم يرض‬،ِ‫ِ إن أعطيِ رضي‬،‫ِ والخميصة‬،‫ِ والقطيفة‬،‫ِ والدرهم‬،‫تعس عبد الديناَّر‬

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan
celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR.
Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan
kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk
diberi rizki.

‫ام سمن فن ع‬
‫ضلسسه‬ ‫نونأنسكمحوُا اعلنيناَّنمىِ سمنمكعم نوال ن‬
‫صاَّلسسحينن سمعن سعبناَّسدمكعم نوإسنماَّئسمكعم سإن ينمكوُمنوُا فمقننراء يمعغنسسهمم ن‬

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur:
32)

Kriteria Khusus untuk Memilih Istri

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa
terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya
beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

1. Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫اليرنجاَّمل قننوُامموُنن نعنلىِ النينساَّء‬

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka
hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-
Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali
dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa
besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ب اعلنجننسة نشاَّنء ع‬
‫ت‬ ‫يِ أنعبنوُا س‬
‫ت سمعن أن ي‬
‫ِ ندنخلن ع‬،َّ‫ت بنععلنهنا‬ ‫ِ نوأن ن‬،َّ‫ت فنعرنجهنا‬
‫طاَّنع ع‬ ‫صنن ع‬ ‫ِ نو ن‬،َّ‫ت اعلنمعرأنةم نخعمنسهنا‬
‫صاَّنم ع‬
‫ِ نونح ن‬،َّ‫ت نشعهنرهنا‬ ‫صلن س‬
‫إسنذا ن‬

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari
pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah
menyadari akan kewajiban ini.

2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang
muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

‫ك أنعدننىِ نأن يمععنرعفنن فننل يمعؤنذعينن نونكاَّنن ن‬


‫ام نغمفوُراف‬ ‫ك نونسنساَّء اعلممعؤسمسنينن يمعدسنينن نعلنعيسهنن سمن نجنلسبيبسسهنن نذلس ن‬ ‫يناَّ أنييهناَّ الننبسييِ مقل يلنعزنواسج ن‬
‫ك نوبننناَّتس ن‬
‫نرسحيماَّ ف‬

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'” (QS. Al
Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan
siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan
auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫نساَّء كاَّسياَّت عاَّرياَّت مميلت ماَّئلت رؤسهن كأسنة البخت الماَّئلة ل يدخلن الجنة ول يجدن ريحهاَّ وإن ريحهاَّ ليوُجد من‬
‫مسيرة كذا وكذا‬

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang,
kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan
mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan
sekian.” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah
yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan,
bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas
busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang
berbusana muslimah yang syar’i.

3. Gadis lebih diutamakan dari janda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih
gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu
tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang
masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua
dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ِ فإنهن أعذب أفوُاهاَّ و أنتق أرحاَّماَّ و أرضىِ باَّليسير‬، ‫عليكم باَّلبكاَّر‬

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil,
dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar.
Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia
memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat
anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR.
Bukhari-Muslim)

4. Nasab-nya baik

Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu
tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan
keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami
biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan
dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan
menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam
ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki
pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,

‫ِ نولسعلنعاَّسهسر اعلنحعجمر‬، ‫ش‬


‫النوُلنمد لسعلفسنرا س‬

“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR.
Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak
tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak
zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari
ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka
pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama
dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini.

Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk
mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak
menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih
pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa
Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon
pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat
Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata,

‫ ” اللهم إنيِ أستخيرك بعلمك‬: ‫”…إذا هم أحدكم بأمر فليصيل ركعتين ثم ليقل‬

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian
berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/657-memilih-pasangan-idaman.html


Menjaga Iffah (Kesucian diri)

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-
budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. An-Nuur: 32-33)

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:


https://rumaysho.com/19087-faedah-surat-an-nuur-24-kuncinya-pada-menjaga-iffah.html

Dalam ayat 33 disebutkan jika mereka tidak mampu menikah, maka hendaklah mereka
menjaga kesucian dirinya sampai Allah beri kecukupan. Menjaga kesucian diri adalah dengan
menahan diri dari memandang yang haram, bersentuhan yang diharamkan, melirik
perempuan, dan semisal itu. Ayat 33 ini memaksudkan untuk menjaga diri dari perzinaan,
sebab-sebabnya, serta perantara menuju zina. Maka kalau kita mengartikan ‘iffah adalah
menjaga diri dari zina, sebab-sebabnya, serta menjauhkan diri dari pendahuluan
menuju zina.

Yang dimaksud dengan “orang-orang yang tidak mampu menikah” adalah sifatnya umum, di
mana bisa mencakup:

1. Tidak mampu artinya tidak mendapati wanita untuk dinikahi. Karena ada laki-laki
yang kaya, mampu memberi mahar dan nafkah. Akan tetapi ketika melamar, ia
ditolak.

2. Tidak mempunyai harta (berupa mahar dan nafkah) untuk menikah.

Adapun yang dimaksud “sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”, yang
dimaksudkan dengan Allah memberi ghinadi sini adalah Allah memberikan kecukupan
dengan harta dan kecukupan dengan menikah.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:


https://rumaysho.com/19087-faedah-surat-an-nuur-24-kuncinya-pada-menjaga-iffah.html
MERAIH KELUARGA BERKAH

Pertama memang membaca Al-Qur’an. Kedua, menjadikan yang belum bisa membaca Al-
Qur’an bisa dan senang membaca Al-Qur’an.

Tentu saja seorang suami wajib memastikan seluruh anggota keluarganya bisa baca Al-
Qur’an dan mendorong agar gemar membacanya. Sebab, membaca Al-Qur’an di rumah tidak
saja mendatangkan pahala dan ketentraman hati, tetapi sekaligus memastikan rumah aman
dari gangguan setan.

Dari Abu Hurairah radhiAllahu’anhu bahwa Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam bersabda,


“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian pekuburan, sesungguhnya setan lari
dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim).

Ketiga, memastikan dzikir di dalam rumah senantiasa diamalkan.

Mungkin telah jamak dialami umat Islam yang kala di rumah tiba-tiba hati menjadi gelisah,
dada terasa sempit karena muncul hal tiba-tiba dan tidak sesuai harapan.

Dalam situasi apapun, hendaknya pasangan suami istri senantiasa dzikir kepada Allah,
sehingga lahir ketentraman hati.

‫ب‬ ‫اس ت ن ع‬
‫طنمئسين اعلقمملوُ م‬ ‫اس أنلن بسسذعكسر ا‬ ‫النسذينن آنممنوُعا نوتن ع‬
‫طنمئسين قمملوُبممهم بسسذعكسر ا‬

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Rad’u
[13]: 28).

Baca: Empat Kunci Keharmonisan Rumah Tangga (1)

Kemudian, lebih lanjut Rasulullah menjelaskan bahwa dzikir menjadikan rumah kita hidup
dan bersinar.

“Perumpamaan rumah yang dijadikan sebagai tempat mengingat Allah dan rumah yang
tidak dijadikan sebagai tempat mengingat Allah adalah bagaikan perbedaan antara orang
yang hidup dan mati.” (HR. Muslim).

Keempat, jadikan rumah sebagai basis konsolidasi pencegahan diri dan keluarga dari api
neraka.

‫ان نماَّ أننمنرهمعم‬


‫صوُنن ن‬ ‫س نواعلسحنجاَّنرةم نعلنعيهناَّ نمنلئسنكةرِ سغنلظرِ سشندارِد نل ينعع م‬
‫يناَّ أنييهناَّ النسذينن آنممنوُا مقوُا نأنفمنسمكعم نوأنعهسليمكعم نناَّراف نومقوُمدهناَّ النناَّ م‬
‫م‬ ‫ع‬
‫نوينفنعلوُنن نماَّ يمعؤنممرونن‬

“Wahai orang-orang yang beriman! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar
dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6).
Artinya, jangan sampai rumah menjadi sarana diskusi dan komunikasi suami-istri dan anak
dalam hal yang mengundang murka Allah Ta’ala.

Kelima, terus-menerus memacu diri hidup dengan tuntunan syariah.

ika suami pebisnis, pedagang, maka hendaknya mengerti hukum halal haram. Sebab,
pedagang yang jujur tempatnya surga, dan pedagang yang curang, tempatnya neraka. Dengan
demikian, harta yang masuk ke dalam rumah adalah harta yang secara syariah bisa dipasitkan
kehalalalannya. Bukan yang meragukan.

Jika suami atau istri seorang penegak hukum, pastikan tidak mengambil harta dan benda
berupa apapun melalui jalan yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini mungkin bisa menambah
aset secara material dan finansial, tetapi itu mengikis kebahagiaan hidup rumah tangga,
termasuk keberkahan hidup seluruh keluarga.

Oleh karena itu, setiap keluarga harus mendekatkan diri kepada Allah sesuai profesi yang
ditekuninya dengan mengacu pada aturan-aturan syariah yang telah Allah dan Rasul-Nya
tetapkan. Sebab, tanpa keseuaian dengan syariah, sebanyak apapun harta, ujungnya tetap
membahayakan kehidupan dunia-akhirat kita sendiri.

Di sinilah kita memahami hikmah mengapa di dalam Islam, belajar agama itu (yufaqqihu
fiddin) tak pernah kenal batas usia. Status perintahnya wajib hingga ajal menjemput.

Sebab, orang yang cerdas dalam pandangan Islam hanyalah orang yang hidup dengan
menahan hawa nafsu dan mempersiapkan hidup setelah mati.

Tentu masih ada langkah lainnya, seperti menjalin silaturrahim, tak pernah lalai untuk
bersedekah, membantu sesama dan aktif dalam beragam program amar ma’ruf nahi munkar.
Jika ini semua bisa diupayakan dalam keseharian rumah tangga kita, insya Allah keberkahan
hidup akan sangat terasa, dimana kian hari rasa hati kian tentram tunduk dan taat kepada
ketentuan Ilahi. Wallahu a’lam.*
PERNIKAHAN KONTROVERSIAL

1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:

ِ‫ك أمعخستي‬
‫ك نوأمنزيومج ن‬
‫ك اعبننستيِ أنعو نزيوعجسنيِ أمعختن ن‬
‫ك نوأمنزيومج ن‬
‫ نزيوعجسنيِ اعبننتن ن‬:‫نواليشنغاَّمر أنعن ينقمعوُنل النرمجمل سللنرمجسل‬.

“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan
puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku
dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan
dirimu.” [1]

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫لن سشنغاَّنر سفيِ عاسلعسلنسم‬.

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas
kawin ataukah tidak.[3]

2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh
suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita
tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali)
setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صنلىِ ام نعلنعيسه نونسلننم اعلممنحلينل نواعلممنحلننل لنهم‬


‫لننعنن نرمسعوُمل اس ن‬.

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6]

3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang
laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan,
sebulan, atau lebih.

Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah.
Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!

Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata,

َّ‫ِ ثمنم لنعم ننعخمرعج سمعنهناَّ نحنتىِ ننهناَّنناَّ نععنهنا‬،‫ح سحعينن ندنخعلنناَّ نمنكنة‬
‫صنلىِ ام نعلنعيسه نونسلننم بساَّعلممعتنعسة نعاَّنم اعلفنعت س‬
‫أننمنرنناَّ نرمسعوُمل اس ن‬.

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan


nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum
kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah
mut’ah).” [7]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ك إسنلىِ ينعوُسم اعلقسيناَّنمسة‬ ‫ت لنمكعم سفيِ عاسلعستسعمتناَّ س‬


‫ِ نوإسنن ان قنعد نحنرنم نذلس ن‬،‫ع سمنن النينساَّسء‬ ‫ت أنسذعن م‬ ‫يناَّ أنييهناَّ النناَّ م‬.
‫س! إسينيِ قنعد مكعن م‬

“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-
senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat.” [8]

4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.


Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ب أننجلنهم‬
‫ح نحتنلىِ ينعبلمنغ اعلسكتناَّ م‬
‫نونل تنععسزمموُا مععقندةن النينكاَّ س‬

“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-
Baqarah : 235]

5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.[9]


Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ت نحتنلىِ يمعؤسمنن ِهَّلل نونلننمةرِ ممعؤسمننةرِ نخعيرِر سمعن ممعشسرنكلة نولنعوُ أنععنجبنعتمكعم ِ نونل تمعنسكمحوُا اعلممعشسرسكينن نحتنلىِ يمعؤسممنوُا ِهَّلل نولننععبرِد‬
‫نونل تنعنسكمحوُا اعلممعشسرنكاَّ س‬
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ممعؤسمرِن نخعيرِر سمعن ممعشسر ل‬
‫س لننعلهمعم‬ ‫ك ينعدمعوُنن إسنلىِ النناَّسر ِ نوام ينعدمعوُ إسنلىِ النجننسة نوالنمعغفسنرسة بسإ سذنسسه ِ نويمبنييمن آيناَّتسسه سللنناَّ س‬
‫ك نولنعوُ أععنجبنمكعم ِ أولنئس ن‬
‫ينتذكمرونن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬

“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan
yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman
lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-
Baqarah : 221]

6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau Hubungan


Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ت نوأمنمهناَّتممكمم النلستيِ أنعر ن‬


‫ضععننمكعم نوأننخنوُاتممكعم‬ ‫ت اعلمعخ س‬ ‫خ نوبننناَّ م‬ ‫ت نعلنعيمكعم أمنمهناَّتممكعم نوبننناَّتممكعم نوأننخنوُاتممكعم نونعنماَّتممكعم نونخاَّنلتممكعم نوبننناَّ م‬
‫ت اعلن س‬ ‫محيرنم ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫ت نسنساَّئسمكعم نونربناَّئسبممكمم اللستيِ سفيِ محمجوُسرمكعم سمعن نسنساَّئسمكمم اللستيِ ندنخلتمعم بسسهنن فنإ سعن لنعم تنمكوُمنوُا ندنخلتمعم بسسهنن فننل مجنناَّنح‬ ‫م‬
‫ضاَّنعسة نوأنمهناَّ م‬ ‫سمنن النر ن‬
َّ‫ان نكاَّنن نغمفوُفرا نرسحيفما‬ ‫ف ِ إسنن ن‬ ‫صنلبسمكعم نوأنعن تنعجنممعوُا بنعينن اعلمعختنعيسن إسنل نماَّ قنعد نسلن ن‬ ‫نعلنعيمكعم نونحنلئسمل أنعبنناَّئسمكمم النسذينن سمعن أن ع‬

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara


perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-
puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu,
ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya
(dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa’ : 23]

7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat
Di Atas.

9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga.


Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk
menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar
(bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan
menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ظنناَّ أنعن يمسقينماَّ محمدوند ن‬


ِ ‫اس‬ ‫طلنقنهناَّ فننل مجنناَّنح نعلنعيسهنماَّ أنعن ينتننرانجنعاَّ إسعن ن‬
‫طلنقنهناَّ فننل تنسحيل لنهم سمعن بنععمد نحتنلىِ تنعنسكنح نزعوفجاَّ نغعينرهم ِ فنإ سعن ن‬
‫فنإ سعن ن‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ن‬
‫ك محمدومد اس يمبنيينهناَّ لسقعوُلم ينععلمموُنن‬ ‫ع‬
‫نوتسل ن‬

“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri)
untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali
kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah
bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali
kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam,

‫ِ نحنتىِ تنمذعوسقىِ معنسعيلنتنهم نوينمذعوسقىِ معنسعيلنتن س‬،‫ل‬


‫ك‬ ‫ ن‬.

“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan madumu.”[11]

10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.


Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi
shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:

‫انعلممعحسرمم لن ينعنسكمح نولن ينعخطم م‬.


‫ب‬

“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” [12]

11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.


Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ت أنعينماَّنممكعم‬
‫ت سمنن النينساَّسء إسنل نماَّ نملننك ع‬ ‫نواعلممعح ن‬
‫صنناَّ م‬

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa’ : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ك ِهَّلل نومحيرنم لنذلس ن‬


‫ك نعنلىِ اعلممعؤسمسنينن‬ ِ‫النزاسنيِ نل ينعنسكمح إسنل نزانسينةف أنعو ممعشسرنكةف نوالنزانسينةم نل ينعنسكمحهناَّ إسنل نزالن أنعو ممعشسر ر‬

“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-
laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur.
Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki
pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫قا‬ ‫ت ِهَّلل مأو للنئس ن‬


ِ‫ك ممبننرمءونن سمنماَّ ينمقوُملوُنن ِ لنهمعم نمعغفسنرةرِ نوسرعز ر‬ ‫ت سللطنييسبينن نوالطنييمبوُنن سللطنييبناَّ س‬
‫ت ِ نوالطنييبناَّ م‬
‫ت لسعلنخسبيسثينن نواعلنخسبيمثوُنن لسعلنخسبيثناَّ س‬
‫اعلنخسبيثناَّ م‬
‫نكسريرِم‬

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).
Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki
yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan
ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina
kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama
adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang
terakhir halal.”[13]

13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.


Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ع‬ ‫ب لنمكعم سمنن النينساَّسء نمعثننلىِ نوثمنل ن‬


‫ثا نومربناَّ ن‬ ‫طوُا سفيِ اعلينتناَّنملىِ فناَّعنسكمحوُا نماَّ ن‬
‫طاَّ ن‬ ‫نوإسعن سخعفتمعم أننل تمعقسس م‬

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-
isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,

‫أنعمسسعك أنعربنفعاَّ نوفناَّسرعقا نساَّئسنرهمنن‬.

“Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.” [14]

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan
masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

َّ‫اعختنعر سمعنهمنن أنعربنفعا‬.

“Pilihlah empat orang dari mereka.” [15]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah
1427H/Desember 2006]

Read more https://almanhaj.or.id/3233-pernikahan-yang-dilarang-dalam-syariat-islam.html

Anda mungkin juga menyukai