Anda di halaman 1dari 17

Hadits tentang larangan Nikah: Analisis Hadits tentang Larangan

Nikah Mut’ah, Nikah Beda Agama, Nikah Pelaku Zina


Nabila Rihhadatul Aisy
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
nabilaraisy59@gmail.com

Abstrak
Hadits yang berkaitan dengan larangan nikah mut’ah, nikah beda agama, dan larangan menikah
bagi pezina telah lama ada dan masih menjadi persoalan hingga saat ini. Dimulai dari nikah
mut’ah yang secara jelas diharamkan sampai kiamat oleh Nabi Muhammad SAW, meski
awalnya pernah diperbolehkan. Lalu hadits yang membahas larangan menikah beda Agama.
Padahal dalam regulasi negara dan aturan Agama menikah itu sebuah hal yang sakral, karena
berhubungan langsung dengan ibadah keagamaan. Hingga larangan nikah pelaku zina, terkait
konteks permasalahan yang ada dari seluruh larangan tersebut sudah ditetapkan oleh syariat.
Analisis Hadits terkait larangan nikah mut’ah, nikah beda agama, nikah pelaku zina sangat
diperlukan untuk menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat agama.
Kata Kunci: Larangan Nikah Mut’ah; Beda Agama; Nikah Pelaku Zina
Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu Sunnah yang dianjurkan Rasulullah sebagai jalan
penyaluran kebutuhan biologis yang diperbolehkan oleh agama Islam.1 Pernikahan juga ada yang
terlarang dalam Islam, dimana tidak diperbolehkan mengingat lebih banyak dampak buruknya
daripada dampak baiknya. Oleh karena itu masalah-masalah yang ada di masyarakat semakin
berkembang karena itu terkait analisis hadits sangat diperlukan supaya nantinya persoalan-
persoalan terbaru dapat terselesaikan dan menemukan solusinya.
Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin yang membawa kedamaian, untuk itu
pendalaman terkait analisis hadits ini diperlukan. Hukum islam mengatur segala aspek kehidupan
umat Islam. Maka segala solusi kebutuhan untuk persoalan-persoalan yang ada sangat diperlukan
karena bersinggungan langsung dengan kondisi umat Islam. Salah satu bentuk dari komunikasi
manusia yang dimana sangat dianjurkan bahkan disunnahkan ialah adanya pernikahan.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang sangat diidamkan-idamkan banyak orang mengingat
pernikahan juga sebagai ibadah terlama yaitui seumur hidup.

1
Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. YUDISIA: Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 5(2).

1
Namun pernikahan ada juga yang dilarang seumur hidup dan pernah dianjurkan oleh
Rasulullah. Pernikahan yang dilarang tersebut lebih banyak dampak buruknya daripada dampak
baiknya, makadari itu pernikahan ada yang dilarang. Mengingat jika pernikahan juga bagian dari
keagamaan.2
Pembahasan
Hadits tentang Larangan Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan pernikahan kontrak yang pernah ada pada masa Nabi
Muhammad SAW lalu diharamkan selamanya karena menimbulkan lebih banyak kemudharatan
daripada manfaatnya. Maka untuk menghindari hal-hal yang merugikan di masa depan berikut
hadits yang melarang nikah mut’ah:

، ‫ أَ َّ َّ أ َََُح‬، ‫ِن‬ُّ ِ ََ‫اْح‬


ْ ‫يع بْ حن َسْب َرَة‬ َّ ‫َحدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْ حن َعْب ِد‬
َّ ‫ َح َّدثَِِن‬، ‫ َحدَّثَنَا َعْب حد الْ َع ِزي ِز بْ حن عح َمَر‬، ‫ َحدَّثَنَا أَِِب‬، ‫اَّللِ بْ ِن حُنٍَْْي‬
‫الربِ ح‬
‫ت لَ حك ْم ِِف ِاِل ْستِ ْمتَ ِاع ِم َن‬ ِ ‫ إِِّن قَ ْد حكْن‬، ‫ َي أَي َُّا النَّاس‬: ‫ال‬
‫ت أَذنْ ح‬‫ح‬ ِ ‫ح‬
ِ َّ ‫اَّلل صلَّى‬
َ َ َ ‫اَّللح َعلَْيه َو َسلَّ َم فَ َق‬
ِ ِ
َ َّ ‫ أَنَّهح َكا َ َّ َم َع َر حسول‬، ‫َح َّدثَهح‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َّ َّ ِ‫ َوإ‬، ‫النِِ َس ِاء‬
‫ َوَِل َْأْ حذ حووا َّمَّا َيَْي تح حم ح‬، ‫ فَ َم ْن َكا َ َّ عْن َدُح مْن حَ َّن َش ْيءٌ فَ ْليح َخ ِِل َسبِيلَهح‬، ‫ك إِ ََل يَ ْوم الْقيَ َامة‬
‫ون َّن‬ َ ‫اَّللَ قَ ْد َحَّرَم ذَل‬
‫َشْي ئًا‬
Terjemahan : “Muhammad bin Abdullah bin Numair telah memberitahukan kepada kami, ayahku
telah memberitahukan kepadaku, Abdul Aziz bin Umar telah memberitahukan kepadaku, Abdul
Aziz bin Umar telah memberitahukan kepadaku, ArRabi’ bin Sabrah Al-Juhani telah
memberitahukan kepadku, bahwa ayahnya telah memberitahukan kepadanya, bahwa ia pernah
bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam sewaktu beliau bersabda, “wahai manusia!
Sungguh aku telah mengizinkan kalian untuk menikahi perempuan secara mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat; maka barangsiapa yang
memiliki sesuatu dari wanita-wanita tersebut maka lepaskanlah dan jangalah kalian mengambil
sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka.” (HR. Muslim 1406).
Asbabul Wurud Hadits
Asbab al-wurud hadits ini terdapat dalam hadits lain riwayat Imam Ad-Darimi, yaitu:
Telah meriwayatkan kepada kami, Ja’far bin Aun, dari Abdul Aziz bin Umar, dari Rabi’ bin
Sabroh, sungguh ayahnya telah bercerita padanya, yaitu: Sesungguhnya para sahabat sedang
melakukan perjalanan bersama rasulillah s.a.w. untuk menunaikan haji wada’ kemudian
Rasulillah s.a.w. bersabda: “Ber-istimta’lah kalian dengan para wanita”.“Istimta’ menurut kami
adalah perkawinan,” kata Sabroh bin Ma’bad lebih lanjut, “Maka kami menawarkan pernikahan
kepada para wanita, tapi mereka menolak kecuali ada batas waktu dalam pernikahan kami
dengan mereka”.

2
siddik Turnip, I. R. (2021). Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir, Fatwa MUI Dan Hukum Keluarga
Islam Di Indonesia. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 6(01), 107-140.

2
(mendengar hal itu) maka Rasulillah s.a.w. bersabda :”Lakukanlah sesuai syarat mereka”.
“Maka saya dan sepupu saya yang keluar sambil berselimut,” Sambung Sabroh bin Ma’bad,
“Selimut sepupuku lebih bagus dari punyaku, tapi saya lebih muda darinya. Kemudian kami
mengunjungi seorang wanita, yang tertarik dengan sifat mudaku (keperkasaanku) dan selimut
sepupuku sambil berkata: Selimut seperti selimut. Pernikahan mut’ah di antara kami adalah
sepuluh hari dan malam itu juga aku bermalam bersamanya. Keesokan harinya, Rasulillah s.a.w.
berdiri di antara rukun dan bab sambil bersabda: Wahai manusia!, sesungguhnya aku pernah
mengizinkanmu sekalian kawin mut’ah; ketahuilah!, sesungguhnya Allah s.w.t. sekarang telah
mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa masih memiliki istri
dari nikah mut’ah, maka hendaknya segera dilepaskan (dicerai) dan janganlah kalian meminta
kembali mahar yang telah kalian berikan pada istri-istri kalian walau hanya sedikit.3
Sebagaimana tercantum dalam al Jamiul Kabir dari Sabrah : "Kami bersama Nabi SAW
dalam haji wada. Ketika kami tiba di Mekkah kami bertahallul. Carilah olehmu kesenangan
karena tahallul ini dengan istri (mu). Maka kami mencari perempuan (untuk bersenang-senang)
namun mereka menolak dinikahi kecuali sampai masa tertentu. Maka kami sebutkan hal itu
kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda : "Hendaklah kalian tetapkan batas waktu (ajal) antara
kamu dengan mereka. Maka aku keluar dengan seorang anak pamanku. Aku dan dia sama-sama
memiliki bajr (burdaft) namun bajunya lebih baik dari bajuku, padahal aku lebih muda. Kami
berjumpa dengan seorang perempuan yang merasa kagum dengan baju sahabatku, sedangkan
perempuan itu mengagumi kegantenganku. Perempuan itu berkata : "Baju itu seperti bau". Maka
aku langsung menikahinya dan aku tetapkan jangka waktu perkawinan itu selama sepuluh (hari).
Maka aku bermalam bersamanya pada malam itu. Kemudian, besok pagi dan sorenya, tiba-tiba
Rasulullah berdiri antara pintu dan tiang rumah dan berkhutbah di hadapan manusia dengan
sabdanya : "Wahai manusia, .... dst", bunyi hadits di atas.4

Hadits di atas menjelaskan bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan, kemudian Islam
mengharamkannya sampai hari kiamat. Ketahuilah,sesungguhnya Allah mengharamkan yang
demikian itu sampai hari kiamat. Karena itu kita harus mengikuti hidayah Allah dan petunjuk
Rasulullah SAW, dan mestilah kita berjalan menurut sunnah serta mengikutinya, baik perintah
maupun larangannya. "Maka barangsiapa tidak menyukai sunnahku, tiadalah dia termasuk
golonganku" (hadits Nabi SAW). Nikah Mut'ah itu batal, batal ! orang yang menghalalkannya
berarti meninggalkan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW.
Takhrij dan Kualitas Hadits

3 Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan Hadits
Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 40-41.

4 M. Luthfi Habibi, “Kajian Hadis Tentang Larangan Melakukan Nikah Mut’ah (Studi Analisis Sanad Dan
Matan Hadis),” Jurnal Studi Hadis Nusantara 1, no. 2 (2019): 2–3.

3
1. Imam-imam lain yang meriwayatkan hadis serupa (tidak ada)
2. Bagan sanad lengkap/silsilatu ruwatil hadis

Berdasarkan biografi dari masing-masing Imam di atas dapat diketahui bahwa


hadis ini memiliki kualitas hasan lizatihi. Hadis ini ḥasan karena sanadnya sambung,

4
tidak ada cacat, tidak syaż, semua rijāl nya adil dan ḍābiṭ . Hanya saja : Abdul Aziz bin
Umar bin Abdul Aziz lebih ringan ke-dabit-annya dibanding rijāl al-hadis sahih.

Hadits-Hadits Pendukung atau yang Bertentangan Nikah Mut’ah

 Hadits yang mendukung larangan nikah mut’ah

a. HR. Tirmidzi no 1794

ِ ِ‫يد ْاْلَنْصا ِر ِي َعن مال‬ ٍ ِ‫اب الثَّ َق ِفي عن ََيَي ب ِن سع‬ ِ ‫حدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْن بشَّا ٍر حدَّثَنَا َعْب حد الْوَّن‬
‫يحو‬ ِِ ‫الزْن ِر‬
ُّ ‫س َع ْن‬ ٍ َ‫ك بْ ِن أَن‬ َ ْ ِ َ َ ْ َ ْ ْ َ ُّ َ َ َ‫ح‬ َ
‫اْلَ َس ِن ابْ َ َْن حُمَ َّم ِد بْ ِن َعلِ ٍِي َع ْن أَبِي َِ َما َع ْن َعلِ ٍِي‬ َِّ ‫الزن ِر ِي عن عب ِد‬
ْ ‫اَّلل َو‬ َْ ْ َ ِ ْ ُّ ‫َحدَّثَنَا ابْ حن أَِِب حع َمَر َحدَّثَنَا حس ْفيَا ح َّ بْ حن عحيَ ْي نَةَ َع ْن‬
ْ ‫اَّللح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن حمْت َع ِة النِِ َس ِاء َزَم َن َذْي بَ َر َو َع ْن حْلح ِوم‬
‫اْلح حم ِر‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ‫ال نَ ََى َر حس ح‬ َ َ‫ق‬
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepadaku
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi dari Yahya bin Sa'id Al Anshari dari Malik bin Anas dari Zuhri
(dalam riwayat lain). Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Telah menceritakan
kepadaku Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dari Abdullah dan Al Hasan keduanya adalah anak dari
Muhammad bin Ali dari bapak keduanya, dari Ali ia berkata: "Pada hari Khaibar, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melarang nikah mut'ah dan juga melarang memakan daging himar
yang jinak."

b. HR. Abu Daud no 2073

‫ أ َّ رسول هللا‬:‫عن ربيع ب ِن َسربَة عن أبيه‬،‫ عن الزنري‬،‫غمٌر‬


َ ‫ أذربان َم‬،‫عبد الرزاق‬
‫ حدَّثنا ح‬،‫فارس‬ ٍ ‫بن يحيي بن‬ َّ
‫حد ثنا حَّم حد ح‬
‫صلَّى هللا عليه وسلم َحَّرَم حمْت َع َة النِِ َساء‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris, telah menceritakan
kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma‟mar dari al-Zuhri dari Rabi‟ bin
Sabrah dari ayahnya bahwa Nabi saw. telah mengharamkan menikahi wanita secara mut’ah.5

 Hadis yang bertentangan (mempebolehkan nikah mut’ah)

a. HR. Ahmad no 19906

5 Siti Aminah sinta Rahmatil Fadhilah, Umu Nisa Ristiana, “Interpretasi Hadis-Hadis Tentang Nikah
Mut’ah (Kajian Tematik),” Tajdid 19, no. 2 (2020): 256.

5
َِّ ‫اب‬ ِ َ‫ت َيةح الْمْت ع ِة ِِف كِت‬ ٍ ْ‫ص‬ ِ ٍ ِ ِ
‫اَّلل يَبَ َارَك‬ َ ‫ْي قَالَنَ َزلَ ْ َ ح‬ َ ‫َحدَّثَنَا ََْي ََي َحدَّثَنَا ع ْمَرا ح َّ الْ َقصْيح َحدَّثَنَا أَبحو َر َجاء َع ْن ع ْمَرا َ َّ بْ ِن حح‬
‫اَّللح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬ ِ ِ ِ
ُّ ِ‫اَّللح َعلَْيه َو َسلَّ َم فَلَ ْم يَ ْن ِزْل َيَةٌ يَْن َس حخ ََا َوََلْ يَْنهَ َعْن ََا الن‬
َ ‫َِّب‬ َ َّ ‫َويَ َع َاَل َو َعم ْلنَا ِبَا َم َع َر حسول‬
‫ات‬
َ ‫َح ََّّت َم‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami 'Imran bin
Qashir, telah menceritakan kepada kami Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain dia berkata: "Telah
turun ayat tentang (haji) tamattu' dalam kitabullah Tabaraka wa Ta'ala, kami pun mematuhinya
sedang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami, sementara tidak ada satu
ayat pun yang turun menghapusnya dan melarangnya hingga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat."

b. HR. Ahmad no 16534

‫ َع ْن‬،ُ ُّ ‫مد َيَ ِد‬


ٍ ‫اْلسن بن حُم‬
َ َ ْ َ َ َْ ‫ت‬
ِ َ َ‫ عن عم ِروْ ب ِن ِدينَا ٍر ق‬،‫ ح َّد ثنَا حشعبةح‬: ‫ قاَ َل‬،‫ح َّد ثنَا حُممد بن جعف ٍر‬
‫ ََس ْع ح‬:‫ال‬ ْ ْ َ ْ َ َْ َ َْ ‫َ ْح‬ َ
َّ َِّ‫ إ‬:‫صلَّى هللا ح َعلَْيه َو َسلَّ َم فَنَ َاد ى‬ ِ ِ ِ ‫جاب ِر ب ِن‬
َ ِ‫ "َ َذَر َج َعلَْي نَا حمنَادي َر حسول هللا‬: ‫ قَ َاِل‬،‫ َو َسلَ َمةَ بْ ِن ْاْل ْك َوع‬،‫هللا‬
ِ ‫عبد‬ ْ َ
‫النس ِاء‬
ِ َ‫ مْت عة‬:‫ ي ع ِِن‬،" ‫ول هللاِ قَ ِد ِأذ َ َّ لَ حكم فاَستمتِعوا‬
َ ‫ْ ْ ْ ح َْ ح‬ َ ‫َر حس‬
Artinya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata: telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari 'Amr bin Dinar berkata: saya telah mendengar Al Hasan bin
Muhammad menceritakan dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al Akwa' berkata: ada
seorang penyeru Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang menemui kami, lalu dia
mengucapkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengijinkan untuk kalian maka
berbuatlah mut'ah maksudnya nikah mut'ah.6

Makna Mufrodat dan Analisis Kebahasaan dalam Perspektif Nahwu dan Ushul Fikih

Dalam kamus Bahasa Arab bahwa kata mut’ah berasal dari kata mata’a yang bermakna
bersenang-senang dan memanfa’atkan. Dan Al-Mata’ menjadi amti’ah bentuk jamknya, juga bisa
di bentuk menjadi jam’ul jama’nya adalah amati’ dan amati’. Artinya adalah seluruh yang
dimanfa’atkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. Dan tamatta’ atau istamta’a :
memanfaatkan sesuatu dalam waktu lama.7

6 Muhammad Anis Malik, “Wawasan Hadis Tentang Nikah Mut’ah (Suatu Kajian Mawdhu’iy),” Jurnal Al-
Maiyyah 8, no. 2 (2015): 294–96.

7 Khairil Ikhsan Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis,” Jurnal Studi Al-Qur’an 8,
no. 1 (2012): 12.

6
Kata ََ ‫ َح‬dalam hadis tersebut termasuk nahi (larangan) yang menunjukkan
‫رم‬
pengharaman/tidak diperbolehkannya nikah mut’ah. Adapun kata َ‫ فلَیخل‬termasuk amr, dan
menunjukkan nadb yakni anjuran untuk melepaskan ikatan pernikahan mut’ah yang tengah
dilakukan bertepatan dengan hadis ini muncul. Kata ََ‫ ل‬pada hadis tersebut termasuk nahi,
sighatnya adalah fiil mudhori yang dihubungkan dengan la Nahiyah. Sesuai kaidah Ushul Fiqh
‫ األصل َفى َالنھي َللتحریم‬maka kata “haroma” dan “la” yang ada pada hadis tersebut menunjukkan
haram hukumnya melakukan yang dilarang tersebut (yang dalam hal ini maksudnya adalah nikah
mut’ah.

Kandungan Hukum dan Metode Istinbatnya dalam Perspektif Fuqaha

Secara eksplisit Rasulillah s.a.w menyatakan bahwa kehalalan nikah mut’ah telah
dinasakh, diganti dengan hukum haram nikah mut’ah pada waktu fathul makkah. Penasakhan ini,
menurut Imam Muslim secaraeksplisit menunjukan adanya nasakh dan mansukh dalam satu
redaksi matan hadits, sebagaimana juga terjadi dalam hukum nasakh dan mansukh hukum
diperbolehkannya ziarah kubur, yang sebelumnya dilarang (dalam An-Nawawi. Syarah Nawawi
‘Ala Muslim. Juz. V: 86). Pembatasan keharaman nikah sampai hari kiamat, mengindikasikan
bahwa hukum nikah mut’ah mengalami beberapa kali penasakhan dari halal menjadi boleh,
kemudian dilarang lalu diperbolehkan dan untuk yang terakhir kalinya diharamkan pada waktu
fathul makkah sampai hari kiamat.8

Nikah mut’ah tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ulama ahli sunnah tidak
mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini selain sekadar menjelaskan
yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang
telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antaraَmereka, sementara
wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak wajib beriddah kecuali sampai
dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai dua kali suci. Oleh
kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang
dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu itu
diharamkan masih wujud keringanan yang membolehkannya lantaran ada alasan-alasan yang
jelas.

Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua
kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada waktu
Perang Khaibar. Kedua, kemudian dibolehkan semula pada tahun penaklukkan kota Makkah,
kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”9

8 Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan Hadits
Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 41.

9 Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Kuala Lumpur: Al-
Hidayah Publication, 2010), hal 355-356.

7
 Fiqih Hadits

Haram melakukan nikah mut’ah berdasarkan ijma’ ulama. Sekumpulan sahabat ada yang masih
menetapkan rukhsah nikah mut’ah ini, tetapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahawa mereka
telah pun rujuk daripada pendapat ini. Malah menurut Ibn Rusyd, riwayat yang mengharamkan
nikah mut’ah adalah mutawatir.10 Perbedaan pendapat/kontradiksi di antara para ulama terkait
hukum nikah mut’ah:

a) Pendapat pertama mengatakan nikah mut’ah adalah haram, Hal ini diperkuat oleh
kalangan sahabat, antara lain Ibn Umar, Ibn Abi Umrah al-Ansari, Ali Ibn Abi Thalib,
dan lain-lain, sebagai sumber riwayat. Pada periode-periode berikutnya, dikuatkan oleh
imam-imam al-Mazahib al-Arba’ah, kalangan Zahiri dan Jumhur Ulama Mutaakhirin.
misalnya, hadis Ali yang menyatakan larangan nikah mut’ah pada perang Khaibar.
berbeda dengan hadis Sabrah ibn Ma‟bad yang menjelaskan larangan Nabi pada Fath
Makkah.

b) Pendapat kedua mengatakan nikah mut‟ah adalah halal,hal ini diperkuat oleh riwayat dari
kalangan sahabat, di antaranya, Asma binti Abu Bakar, Jabir ibn Abdullah, Ibn Mas‟ud,
Ibn Abbas, Muawiyah, Amar ibn Hurais, Abu Said alKhudri. Dari kalangan Tabi‟in,
Tawus, Ata‟, Said ibn Jubair, dan Fuqaha‟ Mekkah. Pendapat ini dikukuhkan oleh
golongan Syi‟ah Imamiah dan Rafidah.11

Para Fuqaha:

• Imam besar Mahmud Syaltut berkomentar; Sesungghnya syari’at yang membolehkan


bagi wanita menikahi 11 laki-laki dalam satu tahun, dan membolehkan bagi laki-laki
setiap harinya menikahi wanita tanpa membawa sesuatu sebagai mahar untuk pernikahan,
maka sesungguhnya syari’at ini bukan syari’at dari Allah.12

• Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (w 490H) mengatakan bahwa nikah


Mut’ah ini batil menurut Madzhab kami.

• Madzhab Maliki, Imam Ibn Rusyd (w.595H) mengatakan: Hadis-hadis yang


mengharamkan Nikah Mut’ah mencapai peringkat Mutawatir. Sementara itu Imam Malik
bin Anas (W. 179H) mengatakan: Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan
dibatasi waktu, maka nikahnya batil.

10 Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, hal 366.

11 Muhammad Sabir Maidin, “Nikah Mut’ah Perspektif Hadis Nabi SAW.,” Mazahibuna Jurnal
Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019): 222–23.

12 Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis.”

8
• Madzhab Syafi’i, Imam al-Syafi’i (w.204H) mengatakan: Nikah Mut’ah yang dilarang itu
adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan: Aku nikahi
kamu selama 1 (satu) hari, 10 (sepuluh) hari atau 1 (satu) bulan.

• Madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah (w.620H) dalam kitabnya mengatakan: Nikah
Mut’ah ini adalah nikah yang batil. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad
bin Hanbal (w.242H) yang menegaskan bahwa Nikah Mut’ah adalah haram.

• Di Indonesia sendiri para ulama yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ittihadul
Muballiginmenghasilkan kesepakatan tentang nikah mut’ah haram.13

 Imam syafii dalam kitab al umm

Pengertian dasar dari nikah mut'ah yang dilarang adalah setiap nikah yang dibatasi waktunya,
baik dekat atau jauh. Misalnya adalah seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan,
"Aku menikahimu selama sehari, atau sepuluh hari, atau sebulan, atau aku menikahimu hingga
aku keluar dari negeri ini, atau aku menikahimu hingga aku menggaulimu, lalu kamu menjadi
halal bagi suami lain, sehingga aku menthalakmu tiga kali," atau ucapan-ucapan seperti ifu yang
tidak menunjukkan pemikahan secara mutlak dan mengikat untuk selamalamanya, atau
perpisahan di dalamnya ditentukan belakangan.13

Hadits tentang larangan nikah beda agama


ِ ‫اَّلل حَّرم الْم ْش ِرَك‬ ِ َ ‫اح النَّصرانِيَّ ِة والْي‬
ِ َ َ‫وديَِّة ق‬ ِ ِ ِ
‫ات‬ ‫ال إ َّ َّ ََّ َ َ ح‬ ‫ث َع ْن َانف ٍع أَ َّ َّ ابْ َن عح َمَر َكا َ َّ إِذَا حسئ َل َع ْن ن َك ِ ْ َ َ َ ح‬ٌ ‫َحدَّثَنَا قحتَ ْي بَةح َحدَّثَنَا لَْي‬
َِّ ‫ول الْمرأَةح رب َُّا ِعيسى ونو عب ٌد ِمن ِعب ِاد‬ ِ ِ ِْ ‫علَى الْم ْؤِمنِْي وَِل أ َْعلَم ِمن‬
‫اَّلل‬ َ ْ َْ َ ‫اْل ْشَراك َشْي ئًا أَ ْكبَ َر م ْن أَ ْ َّ يَ حق َ َ ْ َ َ َ َ ح‬ ْ ‫ح‬ ََ ‫َ ح‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami al-Laits
dan Nafi’ menceritakan bahwa Ibn Umar ketika ditanya tentang menikahi wanita Nasrani dan
Yahudi, ia menjawab: sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi
kaum muslimin dan aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar daripada seorang
perempuan yang berkata Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah salah seorang diantara
hamba Allah.” (H.R. Bukhari).
Asbabul Wurud Hadits
Tidak terdapat asbabul wurud mengenai hadis-hadis yang telah dijelaskan sebelumnya.
Namun mengapa hadits ini ada agar larangan menikah beda agama menjadi jelas.
Takhrij dan Kualitas Hadits

13 Muhammad Sabir Maidin, Hadis-Hadis Hukum (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hal
40-41. 13 Imam Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014).

9
Rawi yang meriwayatkan hadist serupa
a. Musnaf ibnu Abi Syaibah
ِ َ‫ «أَنَّهح َك ِرُ نِ َكاح نِس ِاء أ َْن ِل الْ ِكت‬،‫ َع ِن ابْ ِن عحمر‬،َّ َ ‫ َعن مْيمو ِ َّ بْ ِن ِم َْرا‬،َّ َ ‫ َعن ج ْع َف ِر بْ ِن ب رقَا‬،‫اَّْر ِاح‬
َ‫ َوقَ َرأ‬،»‫اب‬ ِ
َ َ َ ََ َ ‫َْح‬ ْ‫ح‬ َ ْ َْ ‫يع بْ حن‬
‫َوك ح‬
]221 :‫ات َح ََّّت يح ْؤِم َّن} [البقرة‬ ِ ‫{وَِل يَْن ِكحوا الْم ْش ِرَك‬
‫ح ح‬ َ
Artinya: “Dia benci menikahi wanita Ahli Kitab,” dan dia membaca, “Dan jangan menikahi
wanita musyrik sampai mereka beriman.” [Al-Baqarah: 221]
b. At-Thabari
ِ ‫ {وَِل يَْن ِكحوا الْم ْش ِرَك‬:‫ ِِف قَولِِه‬،‫ال ابن جري ٍج‬
‫ات َح ََّّت‬ ِ ‫"حدَّثَنَا الْ َق‬
‫ح ح‬ َ ْ ْ َ ‫ قَ َ ْ ح ح‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫اج‬ ٌ ‫اْلَ َّج‬ْ ‫ ثِن‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ْي‬‫اْلح َس ْ ح‬
ْ ‫ ثنا‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫اس حم‬ َ
" ‫ات لِ َشَرفِ َِ َّن َح ََّّت يح ْؤِم َّن‬
‫ الْ حم ْش ِرَك ح‬:‫ال‬َ َ‫] ق‬221 :‫يح ْؤِم َّن} [البقرة‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik sampai mereka beriman.” [Al-Baqarah:
221], orang-orang musyrik untuk kehormatan mereka sampai dia percaya (beriman).”
Bagan sanad lengkap
‫رسول هللا‬

َّ َ ‫َكا‬

‫ابْ َن حع َمَر‬

‫َع ْن‬

‫َانفِ ٍع‬

‫َحدَّثَنَا‬

‫ث‬
ٌ ‫لَْي‬

‫َحدَّثَنَا‬

10
‫قحتَ يْ بَةح‬

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Bila dilihat dari silsilah sanadnya, mulai
dari tingkatan sahabat sampai kepada Imam Bukhari, hanya mempunyai satu jalur sanad,
sehingga dari segi kuantitasnya hadis ini berstatus ahad gharib. Unsur ketersendirian yang
terdapat dalam hadis ahad gharib seperti dijelaskan di atas bukanlah cacat yang menjadikan suatu
riwayat berstatus dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Hadis ahad gharib adakalanya
bernilai shahih, hasan atau dha’if. Hal ini tergantung pada sejauh mana hadis itu memenuhi
persyaratan hadis shahih.
Oleh sebab itu, meskipun hadis di atas dari segi kuantitasnya berstatus ahad gharib, tetapi
dari segi kualitasnya, hadis tersebut berstatus shahih, karena telah terpenuhinya persyaratan hadis
shahih. Oleh sebab itu, hadis tersebut dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum,
walaupun dalam hal ini masih terdapat perselisihan pendapat di alangan ulama.
Hadits Pendukung atau Bertentangan
Hadist yang Bertentangan
Abu Ja’far at-Thabari
َ:‫َقَ َال‬،‫صري‬ ْ َ‫َالب‬ْ ‫سن‬َ ‫َو ْال َح‬،
َ َ‫َ َع ْنَع ْكر َمة‬،َ‫َ َع ْن َیَزیدََالنَّحْ وي‬،ٍ‫َواقد‬
َ ‫سیْن َبْن‬ ْ ‫َ َعن‬،ٍ‫َواضح‬
َ ‫َال ُح‬ َ ُ‫َثناَ َیحْ یَىَ ْبن‬:َ‫َقَال‬،ٍ‫َحدَّثَنَاَ ُم َح َّمد َُ ْبنُ َ ُح َم ْید‬
ْ َّ َ ْ َ
ََ‫سا ُءَأ ْهلَالكت َابَأ َحل ُھ َّنَلل ُمسْلمین‬ ْ
َ ‫]َفَنُسخََم ْنَذَلكَ َن‬221َ:‫"َ{و َلَت َ ْنك ُحواَال ُم ْشركَاتَ َحتَّىَیُؤْ م َّن}َ[البقرة‬
َ "
Artinya: Bahwa Ikrimah dan Hasan Basri Meriwayatkan “Dan janganlah kamu menikahi wanita
musyrik sampai mereka beriman.” [Al-Baqarah: 221] Maka para wanita Ahli Kitab
membatalkan yang halal bagi mereka bagi kaum muslimin.
Makna Mufradat dan Analisis Kebahasaan dalam Perspektif Nahwu dan Ushul Fiqh
ْ َّ‫ الن‬kata ini menunjuk kepada pemeluk agama Nasrani (Kristen) yaitu agama yang
‫ص َرانی ََّة‬
diturunkan kepada bani Israil melalui Nabi Isa as. Mengenai asal kata al ashraniyyah atau
nashara terdapat beberapa versi, yaitu: berasal dari kata nashara ang berarti menolong atau
membantu. Dikatakan demikian karena mereka memberikan pertolongan kepada orang lain atau
saling membantu diantara mereka.
‫ ْالیَ ُھودی ََّة‬kata ini ditujukan kepada komunitas penganut agama Yahudi. Kata tersebut
berasal dari kata haaduu (kata kerja bentuk lampau) yang secara literal berarti kembali secara
perlahan-lahan, bersuara lembut, dan berjalan dengan merangkak. Kata ni juga lazim diartikan
dengan taubat.
ُ ‫ تَك ْر‬kata ini secara literal berarti orang-orang yang mengsekutukan Allah dengan yang
‫ش ْلما‬
lainnya. Sedangkan secara terminologi musyrik adalah orang-orang yang membuat atau
menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tambahan, objek pemujaan, dan atau tempat
menggantungkan harapan dan dambaan.

11
Dalam tinjauan Ushul Fikhi. Meskipun mayoritas ulama melegalkan terjadinya
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al_Kitab, tetapi status hukum taklifi-nya
adalah mubah. Dari definisi di atas, tegaslah bahwa hukum mubah bersifat takhyir (pilihan
melakukan atau meninggalkan) yang bersifat netral antara perintah mengerjakan atau
meninggalkan. Hal ini juga melatar belakangi sebagian ulama menganggap mubah sebagai
gambaran kekosongan hukum, sehingga dapat diisi (ditetapkan hukumnya) oleh mukallaf
menurut situasi dan kondisi. Hukum mubah yang bersifat netral ini, nantinya akan sangat
tergantung dengan maslahat dan mafsada. Ketika suatu perbuatan mubah tersebut yang bila
dilakukan akan berdampak negatif (menimbulkan mafsadat), maka hukumnya dapat berubah
menjadi haram.
Kandungan Hukum dan Metode Istibatnya Dalam Perspektif Fuqaha
Adapun pernikahan jenis kedua (laki-laki Islam dengan wanita bukan Islam) dapat
ikelompokkan pada dua jenis, yaitu (1) Pernikahan antara laki-laki Islam dengan wanita musyrik
dan wanita murtad, dan (2) Pernikahan antara laki-laki Islam dengan anita ahl al-kitab. Terhadap
jenis pernikahan yang pertama, ulama sepakat menyatakan bahwa hukumnya haram.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa seorang muslim haram menikahi wanita yang
beragama Samawi, yaitu agama yang tidak memiliki kitab suci yang diturunkan uhan melalui
Nabi yang namanya disebutkan dalam al-Qur’an. Setiap wanita yang tidak beragama Samawi,
tidak halal dinikahi.
Adapun hukum menikahi wanita ahl al-Kitab, ulama berbeda pendapat. Boleh menurut
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal dan pengikut mereka
masing-masing. Para sahabat, kecuali Ibn Umar, membolehkan menikahi wanita ahl al-Kitab.
Dalam praktek, ada diantara sahabat yang menikahi wanita ahl al-Kitab, seperti Thalhah ibn
Ubaidiyah. Sahabat terkemuka yang berpendapat tidak boleh adalah Abdullah ibn Umar.
Pendapat ini juga dipegang oleh ulama dikalangan Syi’ah Imamiyah.
Hadits tentang larangan nikah pelaku zina
ٍِ ٍ ِ‫ َع ْن َحب‬،ُ ِ ‫ حدَّثَنَا عب حد الْوا ِر‬:‫ قَ َاِل‬،‫ وأَبو معم ٍر‬،‫َّد‬
ِِ ‫ َع ْن َسعيد الْ َم ْق حِرب‬،‫ب‬
‫ َع ْن‬،‫ي‬ ٍ ‫ َح َّدثَِِن َع ْمرو بْن حش َعْي‬،‫يب‬
‫ح ح‬ َ َْ َ َ ْ َ ‫َحدَّثَنَا حم َسد ٌ َ ح‬
»‫ود إَِِّل ِمثْ لَهح‬ َّ ‫ «َِل يَْن ِك حح‬:‫صلَّى هللاح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫ول‬
‫الزِاّن الْ َم ْجلح ح‬ َ ‫اَّلل‬ ‫ال َر حس ح‬ َ َ‫ ق‬،‫أَِِب حنَريْ َرَة‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] dan [Abu Ma'mar], mereka
berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdul Warits] dari [Habib]. telah menceritakan
kepadaku ('Amr bin Syu'aib] dari [Said Al Maqburi] dari [Abu Hurairah], ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang pezina yang didera tidak boleh
menikah kecuali dengan wanita seperti dirinya." [Abu Ma'mar] berkata; telah menceritakan
kepadaku [Habib Al Mu'allim] dari ['Amr bin Syu'aib].”(HR.Abu Daud Nomor 156)
Asbabul Wurud

12
Tidak terdapat asbabul wurud mengenai hadis-hadis yang telah dijelaskan sebelumnya.
Namun mengapa hadits ini ada agar larangan menikah dengan pelaku zina menjadi jelas.
Takhrij dan Kualitas Hadits
1. Tidak terdapat imam-imam yang meriwayatkan hadits serupa
2. Bagan sanad lengkap/silsilatu ruwatil hadits

ِ ِ‫صلَّى‬
ِ‫للاُِ َعلَيِهِِ َِو‬ َ ُِ‫للا‬
ِ ِِ‫َر ُسول‬
ِ ‫َسلَّ َِم‬
َِ‫قَالَِ قَال‬
ِ‫ِه َري َرِ َة‬
ُ ‫أِب‬

ِ‫َعن‬
ِ‫َسعي ٍدِال َمق ُُبِي‬

ِ‫َعن‬
ٍ ‫َعم ُروِب ُنِ ُش َعي‬
ِ‫ب‬

ِ‫َح َّدثَن‬
ٍ ‫َحبي‬
ِ‫ب‬

ِ‫َعن‬
ِ‫ِعب ُد‬
َ ‫ال َورث‬

َ‫َح َّدثَنَاِقاَ ِل‬


َ‫ِه َري َرِِة‬
ُ ‫أَِب‬

‫َح َّدثَنَا‬
ِ‫اءآب‬ َّ
َ ‫الدر َد‬

Berdasarkan data dari biografi masing-masing perawri hadits dapat diketahui hadits ini memiliki
kualitas shahih seperti tersambungnya sanad, tidak syadz, dan tidak ilat, adil, dhabit.

13
Hadits Pendukung atau Bertentangan
Hadits yang mendukung larangan mengenai menikah dengan pelaku zina
HR.Muslim No. 3199
ََ‫صامتَقَال‬ َّ ‫عبَادَةََبْنَال‬ُ َ‫َالرقَاشيَ َع ْن‬ َّ ‫ََّللا‬ َّ ‫طانَ َبْنَ َعبْد‬ َّ ‫سنَ َع ْنَح‬ ْ ‫ورَ َع ْن‬
َ ‫َال َح‬ ٍ ‫ص‬ َ ‫يَأَ ْخبَ َرنَاَ ُه‬
ُ ‫ش ْی ٌمَ َع ْنَ َم ْن‬ ُّ ‫وَ َحدَّثَنَاَیَحْ یَىَ ْبنُ َیَحْ یَىَالتَّمیم‬
َ‫ٍَوالثَّیبُ َبالثَّیب‬ َ ‫سنَة‬ َ َ‫ي‬ َ ‫َالبَ ْك ُرَب ْالب ْكر َ َج ْلدَُماََة‬
ُ ْْ َ‫ٍَون‬ ْ ‫یًل‬ ‫سب ا‬ َّ ‫سلَّ َم َ ُخذُواَ َعنيَ ُخذُواَ َعنيَقَدَْ َجعَ َل‬
َ َ ‫ََّللاَُلَ ُھ َّن‬ َّ َّ‫صل‬
َ ‫ىََّللاَُ َعلَیْه‬
َ ‫َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ َ‫ََّللا‬ ُ ‫َر‬ َ ‫قَا َل‬
ُ‫اَاْل ْسنَادَمَثْلَ َه‬
ْ َ‫ورَب َھذ‬ٌ ‫ص‬ُ ‫ش ْی ٌمَأَ ْخبَ َرنَاَ َم ْن‬
َ ‫الرجْ ُمَوَ َحدَّثَنَاَ َع ْم ٌروَالنَّاقد َُ َحدَّثَنَاَ ُه‬ َ ‫َج ْلد َُماََة‬
َّ ‫ٍَو‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya At Tamimi] telah mengabarkan
kepada kami [Husyaim] dari [Manshur] dari [Al Hasan] dari [Hitthan bin Abdullah Ar Raqasyi]
dari ['Ubadah bin Shamit] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ikutilah semua ajaranku, ikutilah semua ajaranku. Sungguh, Allah telah menetapkan hukuman
bagi mereka (kaum wanita), perjaka dengan perawan hukumannya adalah cambuk seratus kali
dan diasingkan selama setahun, sedangkan laki-laki dan wanita yang sudah menikah
hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam." Dan telah menceritakan kepada kami ['Amru
An Naqid] telah menceritakan kepada kami [Husyaim] telah mengabarkan kepada kami
[Manshur] dengan isnad seperti ini."
Makna Mufradat dan Analisis Kebahasaan dalam Perspektif Nahwu dan Ushul Fiqh
a.

No. Mufradat Arti

1. َ‫َلَیَ ْنك ُح‬ Tidak boleh menikahi

2. َّ
‫الزاني‬ Seorang pezina

3. ُ ‫ْال َمجْ لُو َد‬ yang didera

4. ُ‫إ َّلَمثْلَ َه‬ Kecuali dengan wanita sepeerti dirinya

Dari susunan matannya dapat dilihat hadits ini menunjukkan sebagai perkatan Nabi
Muhammad SAW. Dimana dapat diketahui kata-kata yang digunakan bersifat umum dan
mengandung makna yang mendalam jika ditelusuri lebih lanjut. Hadits ini merupakan hadits
yang yang singkat dan padat dimana sebagai ciri khusus Rasulullah dalam berbicara yaitu
kalimat singkat tetapi mencakuo arti yang banyak dan faedah yang agung sehingga bisa kita lihat
bahwa seluruh Sunnah dan hukum syari’at, baik dari pokok hingga yang cabang tercakup dalam
hadits ini.
Kandungan Hukum dan Metode Istibatnya Dalam Perspektif Fuqaha

14
Kompilasi hukum Islam (KHI) berpendapat jika hukumnya sah apabila menikahi wanita hamil
akibat zina dengan syarat jika yang menikahinya merupakan laki-laki yang telah menghamilinya.
Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya maka secara hukum tidak sah,
sebab pasal 53 ayat 1 dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberikan ruang untuk
masalah tersebut.Berikut isi dari keseluruhan pasal 53 KHI:
a. Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI
membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang
menghamilinya, tidak memberi peluang pada laki-laki lain bukan
yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini
masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-
laki yang dilakukan hanya untuk menutupi mali (karena sudah
terlanjur hamil), baik istilahnya kawin "tambelan",
"Pattongkogsi", atau orang sunda menyebutnya kawin ":nutupan
kawirang", oleh KHI dihukumi tidak sah.
Pespektif para Fuqaha
a. Madzhab Hanafi
Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina boleh dinikahkan
dengan rekan zinanya. Adapun bagi laki-laki bukan yang menzinainya boleh menikah, akan
tetapi tidak boleh menyetubuhi sampai wanita tersebut. melahirkan. Larangan menyetubuhi
sampai melahirkan ini tak lain agar sperma pria yang menikahinya tersebut tak bercampur
dengan sperma pria yang menghamili, ini semua dilakukan demi menjaga kehormatan nasab.
Seperti sabda Rasulullah:

ُ‫فاليسقي ما ءُ ولد غْي‬، ‫من كا َّ يؤ من َهلل و اليوم اِلذر‬


Sedangkan, Abu Yusuf dan Zafar berpendapat hukum akad nikah dengan wanita hamil.
diperbolehkan asalkan harus dengan lelaki yang menghamilinya. Alasannya karena kehamilan
tersebut menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula akad nikah. Lebih lanjut
Abu Yusuf member alasan bahwa maksud utama dari pernikahan adalah diperbolehkannya
persetubuhan. Apabila persetubuhan tersebut tidak diperbolehkan maka pernikahannya sia-sia
dan hal itu tidak boleh.
b. Madzhab Maliki

15
Kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat
zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi laki- laki yang bukan
menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilanjutkan dalam keadaan belum Istibra', maka akad
nikah itu wajib di Faskh sebab akad nikah itu Fasid, baik sudah jelas kehamilannya maupun
belum. Masa istibra' bagi wanita merdeka dan tidak hamil adalah tiga kali haid, sedangkan bagi
amat (bukan wanita merdeka) adalah 1 kali haid, tapi bila keduanya hamil, masa istibra'nya
adalah sampai mereka melahirkan.
c. Madzhab Syafi'i
Imam Syafi'l berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina boleh dinikahkan dengan rekan zinya
dan laki-laki yang bukan menzinainya, akan tetapi bagi laki-laki yang tidak menghamilinya tidak
boleh menyetubuhi sampai wanita tersebut melahirkan kandungannya. 14 Hal ini dikarenakan
wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi.
d. Madzhab Hanbali
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pria yang menghamili atau bukan tidak sah untuk menikahi
wanita yang diketahui telah berbuat zina, kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat
berikut: Pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil dan iddahnya habis dengan
melahirkan kandungannya. Syarat iddah ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan sperma
laki-laki kedua yang tidak menghamilinya, dan tidak untuk menghormati sperma laki-laki
pertama yang menghamilinya. Sebab seorang pria tak boleh memiliki anak yang sebenarnya
bukan anaknya. Kepemilikan hak atas anak dari pria yang menghamili hanya dapat ditentukan
dengan pernikahan yang sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zinanya dengan sungguh-
sungguuh dan meminta pengampunan dari Allah, menyesal dan membersihkan diri dari dosa,
maka Allah akan menerima taubatnya.
Kesimpulan
Pelarangan baik bagi nikah mut’ah, nikah beda agama maupun larangan menikah pelaku
zina adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah
mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada
akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena
wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk
pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu sesaat).

Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka menjunjung harkat dan
martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu bentuk nyata bagaimana Islam
memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah, maka seorang lakilaki tak akan

14
Wulandari, R. (2018). Status Nasab Anak Di Luar Nikah Perspektif Mazhab Hanafi Dan Mazhab Syafi’i
Dan Implikasinya Terhadap Hak–Hak Anak (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

16
bisa menikahi seorang wanita dan membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan
disyari’atkannya lembaga pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah,
mawaddah wa rahmah. Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah
tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua
hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara
suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk
peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia).15

Daftar Pustaka
Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Kuala
Lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), hal 355-356.
Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, hal 366.
Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 5(2).
Khairil Ikhsan Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis,” Jurnal Studi Al-
Qur’an 8, no. 1 (2012): 12.
M. Luthfi Habibi, “Kajian Hadis Tentang Larangan Melakukan Nikah Mut’ah (Studi Analisis
Sanad Dan Matan Hadis),” Jurnal Studi Hadis Nusantara 1, no. 2 (2019): 2–3.
Muhammad Anis Malik, “Wawasan Hadis Tentang Nikah Mut’ah (Suatu Kajian Mawdhu’iy),”
Jurnal Al-Maiyyah 8, no. 2 (2015): 294–96.
Muhammad Sabir Maidin, “Nikah Mut’ah Perspektif Hadis Nabi SAW.,” Mazahibuna Jurnal
Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019): 222–23.
Muhammad Sabir Maidin, Hadis-Hadis Hukum (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hal
40-41. 13 Imam Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014).
siddik Turnip, I. R. (2021). Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir, Fatwa MUI Dan
Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir, 6(01), 107-140.
Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis.”
Siti Aminah sinta Rahmatil Fadhilah, Umu Nisa Ristiana, “Interpretasi Hadis-Hadis Tentang
Nikah Mut’ah (Kajian Tematik),” Tajdid 19, no. 2 (2020): 256.
Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 40-
41.
Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 41.

15 Marzuki, “Memahami Hukum Nikah Mut’ah,” 2010, 8–9.

17

Anda mungkin juga menyukai