Anda di halaman 1dari 12

Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga alasan.

Ini diterangkan dalam hadits Arbain


nomor #14 kali ini.
‫ْث الرَّابِ ُع َع َش َر‬ ُ ‫ال َح ِدي‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ِحلُّ َد ُّم‬ َ ِ‫ قَا َل َرس ُْو ُل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫َع ِن اب ِْن َم ْسع ُْو ٍد َر‬
ُ ‫ار‬
‫ق‬ ِ َ‫ك لِ ِد ْينِ ِه ال ُمف‬ ِ َّ‫ َوالت‬،‫س‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫ َوالنَّ ْفسُ بِالنَّ ْف‬،‫ الثَّيِّبُ ال َّزانِي‬:‫ث‬ ٍ َ‫ا ْم ِرٍئ ُم ْسلِ ٍم ِإالَّ بِِإحْ َدى ثَال‬
‫لِ ْل َج َما َع ِة‬
.‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬ِ ‫َر َواهُ البُ َخ‬
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah
menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya
(murtad), lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)  (HR. Bukhari
dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 6878 dan Muslim, no. 1676]
 
Penjelasan Hadits
 
Hadits ini menunjukkan bahwa asalnya darah seorang muslim yang bertauhid haram ditumpahkan
ketika ia bersyahadat laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat, dan
menunaikan zakat sebagaimana disebutkan dalam hadits nomor delapan sebelumnya dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dan menumpahkan darah seorang muslim adalah haram dan termasuk
dosa besar.
Haramnya darah seorang muslim disebutkan pula dalam hadits lainnya,

َ ‫فَِإ َّن ِد َما َء ُك ْم َوَأ ْم َوالَ ُك ْم َوَأ ْع َرا‬


‫ فِ ْي َشه ِْر ُك ْم‬،‫ض ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم َح َرا ٌم َعلَ ْي ُك ْم َكحُرْ َم ِة يَ ْو ِم ُك ْم هَ َذا‬
‫ فِ ْي بَلَ ِد ُك ْم هَ َذا‬،‫هَ َذا‬

“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti
terlarangnya di hari ini, bulan ini dan negeri ini.”
(HR. Bukhari, no. 67, 105, 1741 dan Muslim, no. 30, dari sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ‫قَ ْت ُل ْال ُمْؤ ِم ِن َأ ْعظَ ُم ِع ْن َد هللاِ ِم ْن َز َو‬


.‫ال ال ُّد ْنيَا‬
“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i, 7?83.
Dikatakan shahiholeh Syaikh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram fii Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-
Haram, no. 439)

Bahkan darah seorang muslim lebih mulia daripada Kabah. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no.
3420, riwayatnya hasan  menurut Syaikh Al-Albani.
Ats-tsayyib az-zaani  adalah siapa saja yang telah menikah dengan pernikahan yang sah lantas berzina.
Hukumannya adalah rajam, dilempari batu sampai mati.
Jiwa dibalas dengan jiwa yaitu ketika muslim membunuh muslim. Yang tidak termasuk dalam bahasan
ini adalah jika muslim membunuh kafir (misal ketika peperangan) dan orang yang merdeka dengan
seorang budak sebagaimana pendapat dalam madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Meninggalkan agama maksudnya adalah murtad. Sedangkan mufariq lil jama’ah  maksudnya adalah
memberontak dari kepemimpinan yang sah.
 
Faedah Hadits
 
Pertama: Terhormatnya darah seorang muslim.
Kedua: Halalnya darah seorang muslim karena tiga sebab sebagaimana disebutkan dalam hadits ini:
1. Yang sudah menikah lantas berzina dihukumi rajam sampai mati.
2. Jika seorang muslim membunuh muslim lainnya dan telah terpenuhi syarat qishash.
3. Murtad keluar dari Islam.
Ketiga: Para ulama berselisih pendapat mengenai hukuman bagi pezina yang sudah menikah apakah
dihukum dengan cambuk terlebih dahulu lalu rajam ataukah rajam saja. Kebanyakan ulama memilih
hanya dikenakan hukuman rajam saja.
Keempat: Ats-tsayyib az-zaani  dikenakan hukuman rajam jika terbukti dengan empat orang saksi
atau ia mengakuinya sendiri.
Kelima: Meninggalkan jamaah yang dimaksud dalam hadits adalah (1) meninggalkan agama yang
benar, (2) memberontak pada pemerintahan yang sah.
Keenam: Yang boleh menjalankan eksekusi mati ini adalah imam kaum muslimin, tidak bisa dijalankan
serampangan oleh lainnya.
 
Kisah Wanita Juhainah dan Ma’iz yang Menjalani
Hukuman Rajam
 
Dari Abu Nujaid ‘Imran bin Al-Hushain Al-Khuza’i, ia berkata,
‫ت يَا‬ ْ َ‫الزنَى فَقَال‬ ِّ ‫ َو ِه َى ُح ْبلَى ِم َن‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ى هَّللا‬ َّ ِ‫ت نَب‬ْ َ‫َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن ُجهَ ْينَةَ َأت‬
‫ َولِيَّهَا فَقَا َل « َأحْ ِس ْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ى فَ َد َعا نَبِ ُّى هَّللا‬ َّ َ‫ْت َح ًّدا فََأقِ ْمهُ َعل‬ َ ‫ى هَّللا ِ َأ‬
ُ ‫صب‬ َّ ِ‫نَب‬
‫ت‬ ْ ‫فَ ُش َّك‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ فَفَ َع َل فََأ َم َر ِبهَا نَبِ ُّى هَّللا‬.» ‫ت فَاْئتِنِى بِهَا‬ ْ ‫ض َع‬ َ ‫ِإلَ ْيهَا فَِإ َذا َو‬
ِ ‫ى هَّللا‬
َّ ِ‫صلِّى َعلَ ْيهَا يَا نَب‬ َ ُ‫صلَّى َعلَ ْيهَا فَقَا َل لَهُ ُع َم ُر ت‬ َ ‫ت ثُ َّم‬ ْ ‫ُج َم‬ ِ ‫َعلَ ْيهَا ثِيَابُهَا ثُ َّم َأ َم َر بِهَا فَر‬
ْ‫ين ِم ْن َأ ْه ِل ْال َم ِدينَ ِة لَ َو ِس َع ْتهُ ْم َوهَل‬ ْ ‫ت تَ ْوبَةً لَ ْو قُ ِس َم‬
َ ‫ت بَي َْن َس ْب ِع‬ ْ َ‫ت فَقَا َل « لَقَ ْد تَاب‬ ْ َ‫َوقَ ْد َزن‬
»‫ت بِنَ ْف ِسهَا هَّلِل ِ تَ َعالَى‬ْ ‫ض َل ِم ْن َأ ْن َجا َد‬َ ‫ت تَ ْوبَةً َأ ْف‬ َ ‫َو َج ْد‬
“Ada seorang wanita dari Bani Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  sedangkan ia dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini lalu berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan sesuatu yang perbuatan
tersebut layak mendapatkan hukuman rajam. Laksanakanlah hukuman hadd atas diriku.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkata pada walinya,
“Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan (kandungannya), maka datanglah
padaku (dengan membawa dirinya).”

Wanita tersebut pun menjalani apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah itu, beliau meminta wanita tersebut dipanggil, lalu diikat pakaiannya dengan erat (agar tidak
terbuka auratnya ketika menjalani hukuman rajam, -pen.). Kemudian saat itu diperintah untuk
dilaksanakan hukuman rajam. Wanita itu pun meninggal dunia, lantas beliau pun menyolatkannya.
Ketika itu ‘Umar berkomentar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau menyolatkan dirinya,
wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat
dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah
maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang
mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?” (HR. Muslim, no. 1696).

Tentang Ma’iz dijelaskan dalam hadits berikut ini.

ِ ‫اريَةً ِم َن ْال َح ِّي فَقَا َل لَهُ َأبِي اْئ‬


‫ت‬ ِ ‫اب َج‬ َ ‫ص‬ َ ‫ان َما ِع ُز ب ُْن َمالِ ٍك يَتِي ًما فِي ِحجْ ِر َأبِي فََأ‬ َ ‫َك‬
‫ك‬َ ِ‫ك َوِإنَّ َما ي ُِري ُد بِ َذل‬ َ َ‫ْت لَ َعلَّهُ يَ ْستَ ْغفِ ُر ل‬
َ ‫صنَع‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فََأ ْخبِرْ هُ بِ َما‬ َ ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫اب هَّللا‬
َ َ‫ي ِكت‬ َّ َ‫ْت فََأقِ ْم َعل‬ ُ ‫ون لَهُ َم ْخ َرجًا فََأتَاهُ فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِإنِّي َزنَي‬ َ ‫َر َجا َء َأ ْن يَ ُك‬
‫ض َع ْنهُ فَ َعا َد‬ َ ‫اب هَّللا ِ فََأ ْع َر‬ َ َ‫ي ِكت‬ َّ َ‫ْت فََأقِ ْم َعل‬ُ ‫ض َع ْنهُ فَ َعا َد فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِإنِّي َزنَي‬ َ ‫فََأ ْع َر‬
ُ ‫صلَّى هَّللا‬ َ ‫ار قَا َل‬ ٍ ‫اب هَّللا ِ َحتَّى قَالَهَا َأرْ بَ َع ِم َر‬ َ َ‫ي ِكت‬ َّ َ‫ْت فََأقِ ْم َعل‬
ُ ‫فَقَا َل يَا َرسُو َل هَّللا ِ ِإنِّي َزنَي‬
‫ضا َج ْعتَهَا قَا َل نَ َع ْم قَا َل‬ َ ْ‫ت فَبِ َم ْن قَا َل بِفُاَل نَ ٍة فَقَا َل هَل‬ ٍ ‫ك قَ ْد قُ ْلتَهَا َأرْ بَ َع َمرَّا‬ َ َّ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإن‬
‫هَلْ بَاشَرْ تَهَا قَا َل نَ َع ْم قَا َل هَلْ َجا َم ْعتَهَا قَا َل نَ َع ْم قَا َل فََأ َم َر بِ ِه َأ ْن يُرْ َج َم فَُأ ْخ ِر َج بِ ِه ِإلَى‬
‫س َوقَ ْد َع َج َز‬ ٍ ‫ُج َم فَ َو َج َد َمسَّ ْال ِح َجا َر ِة َج ِز َع فَ َخ َر َج يَ ْشتَ ُّد فَلَقِيَهُ َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن ُأنَ ْي‬ ِ ‫ْال َح َّر ِة فَلَ َّما ر‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َذ َك َر‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ير فَ َر َماهُ بِ ِه فَقَتَلَهُ ثُ َّم َأتَى النَّب‬ ِ ‫َأصْ َحابُهُ فَنَ َز َع لَهُ بِ َو ِظ‬
ٍ ‫يف بَ ِع‬
‫وب هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬َ ُ‫وب فَيَت‬ َ ُ‫ك لَهُ فَقَا َل هَاَّل تَ َر ْكتُ ُموهُ لَ َعلَّهُ َأ ْن يَت‬ َ ِ‫َذل‬
Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim di bawah asuhan bapakku. Lalu dia menzinahi seorang
budak dari suku itu. Maka, bapakku berkata kepadanya,“Pergilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga beliau
memohonkan ampun untukmu.” Bapakku menghendaki hal itu karena berharap agar Ma’iz
memperoleh solusi. Maka Ma’iz mendatangi beliau dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Lalu beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz
mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka, tegakkanlah kitab
Allah atasku.” Maka beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Sampai dia
mengulanginya empat kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Engkau telah
mengatakannya empat kali. Lalu, dengan siapa?” Dia menjawab,“Dengan Si Fulanah.” Lalu beliau
bersabda,“Apakah engkau berbaring dengannya?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah
engkau menyentuh kulitnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau bersetubuh
dengannya?” Dia menjawab,“Ya.”
Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar ke Harrah. Tatkala dia
dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia berkeluh-kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah
bin Unais menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah. Kemudian Abdullah
mengambil tulang betis unta, lalu melemparkannya, sehingga dia membunuhnya. Lalu dia
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan menceritakannya kepada beliau. Maka beliau
bersabda, “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima
taubatnya!?” (HR. Abu Daud, no. 4419. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits
ini hasandalam Irwa’ Al-Ghalil, 7:357)

CERAMAH AGAMA ISLAM TENTANG HADITS ARBAIN


KE 14 – HADITS TENTANG TIDAK HALALNYA DARAH
SEORANG MUSLIM

Pada pertemuan yang terakhir telah kita bahas bersama hadits Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah beriman seseorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk
saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” Ini adalah sebuah hadits yang
menjelaskan kepada kita bahwasannya iman kita tidak sempurna, yang dinafikan
dalam hadits ini adalah kesempurnaan iman yang wajib. Artinya kalau kita belum
sampai derajat itu berarti kita masih kurang, iman kita masih belum sempurna,
masih kurang, bahkan kita masih berdosa. Dan yang dimaksud bukanlah membagi
apa yang kita miliki, memberikan kepada saudara kita apa yang Allah berikan
kepada kita, tapi yang dimaksud adalah amalan hati. Bahwasannya ketika kita
memiliki suatu nikmat akhirat atau di dunia, maka hendaknya kita juga berharap
saudara kita sesama Muslim juga bisa memiliki nikmat tersebut. Dan ini yang
dituntut dari kita.
Adapun hari ini maka insyaAllah kita akan mempelajari hadits yang selanjutnya.
Yaitu hadits nomor 14 yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
‘Anhu. Imam An-Nawawi mengatakan:

ِ‫ قَا َل َرس ُْو ُل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن َم ْسعُو ٍد َر‬
ٍ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الَ يَ ِحلُّ َد ُّم ا ْم ِرٍئ ُم ْسلِ ٍم ِإالَّ بِِإحْ َدى ثَال‬
:‫ث‬ َ
‫ق لِ ْل َج َما َع ِة‬ ِ َ‫ك لِ ِد ْينِ ِه ال ُمف‬
ُ ‫ار‬ ُ ‫ار‬ ِ ‫ َوالنَّ ْفسُ بِالنَّ ْف‬،‫الثَّيِّبُ ال َّزانِي‬
ِ َّ‫ َوالت‬،‫س‬
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasannya beliau
berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: tidak halal darah seorang
pribadi muslim kecuali dengan tiga perkara; yang pertama adalah orang yang sudah
menikah kemudian berzina, yang kedua adalah jiwa dengan jiwa, pembunuhan yang
dilakukan dengan syarat tertentu, kemudian orang yang meninggalkan agamanya
dan meninggalkan jamaah umat Islam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang Abdullah bin Mas’ud


Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau adalah salah satu sahabat senior dan
ikon keilmuan dalam Islam. Salah seorang fuqaha sahabat dan beliau memiliki
hubungan yang erat dengan Al-Qur’an. Dimana disebut dalam sirah beliau
bahwasannya beliau adalah orang yang pertama kali berterus terang dengan Al-
Qur’an. Pertama kali membacakan ayat Al-Qur’an secara terang-terangan di kota
Mekah. Dan tentang bacaan beliau, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata:

Baca Juga:
Nama-Nama Allah Menunjukkan Sifat-SifatNya

‫ضا َك َما ُأ ْن ِز َل فَ ْليَ ْق َرْأ قِ َرا َءةَ اب ِْن ُأ ِّم‬ َ ْ‫َم ْن َأ َحبَّ َأ ْن يَ ْق َرَأ ْالقُر‬
ًّ ‫آن َغ‬
‫َع ْب ٍد‬
“Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an yang segar sebagaimana saat
diturunkan, maka hendaklah dia membacanya dengan bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.”
Yang beliau maksud adalah Abdullah bin Mas’ud ini.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu wafat pada tahun 32 Hijriyah setelah
sebelumnya beliau sempat ikut hijrah ke Habasyah dan juga ikut Hijrah ke Kota
Madinah. Maka itulah sekelumit tentang sirah dan manaqib Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu ‘Anhu.
Dan dalam hadits ini beliau meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Tidak halal darah seorang pribadi muslim kecuali dengan
salah satu dari tiga perkara: berzina dalam keadaan sudah menikah, membunuh
orang lain dan yang ketiga adalah meninggalkan agamanya dan berpisah dari jamaah
umat Islam.”

Hadits ini memiliki hubungan yang erat dengan hadits nomor 8 dalam rangkaian
Arbain An-Nawawiyah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫اس َحتَّى يَ ْشهَ ُدوا َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوَأ َّن‬ َ َّ‫ت َأ ْن ُأقَاتِ َل الن‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
‫ فَِإ َذا فَ َعلُوا‬،َ‫صالَةَ َويُْؤ تُوا ال َّزكاَة‬ َّ ‫ َويُقِ ْي ُموا ال‬،ِ‫ُم َح َّمداً َرس ُْو ُل هللا‬
‫ق اِإل ْسالَ ِم َو ِح َسابُهُ ْم‬ ِّ ‫ص ُموا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َوَأ ْم َوالَـهُ ْم ِإالَّ بِ َح‬ َ ‫ك َع‬ َ ِ‫َذل‬
ِ‫َعلَى هللا‬
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi
bahwasannya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah hamba dan utusanNya. Dan mereka menegakkan shalat, menunaikan
zakat, maka kalau mereka lakukan itu berarti mereka telah menjaga dariku darah
dan harta mereka kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Bukhari Muslim)

Lihat: Hadits Arbain Ke 8 – Mengajak Kepada Kalimat Syahadat


Ini adalah hadits ke-8 dari rangkaian Arbain Nawawiyah yang pernah kita kaji
dahulu bersama. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang menafsirkan hadits
tersebut. Jadi di sana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan
‫هَّٰلل‬
bahwasanya orang kalau sudah masuk Islam, sudah bersyahadat   ‫اَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل ٱ ُ ُم َح َّم ٌد َرسُو ُل‬
‫هَّٰلل‬
ِ ‫( ٱ‬Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah), sudah menegakkan shalat,
menunaikan zakat, maka mereka sudah aman. Darah mereka aman, harta mereka
aman, tidak bisa diutak-atik kecuali dengan hak Islam, kecuali kalau ada sesuatu
yang menghalalkan darah mereka atau sesuatu yang membuat harta mereka
halal. Penafsiran dari Haqqul Islam adalah hadits ini.

DARAH SEORANG PRIBADI MUSLIM TIDAK HALAL


Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwasanya
darah seorang pribadi muslim tidak halal. Artinya pada dasarnya haram. Harta kita
semuanya haram, darah kita semuanya haram dan terjaga. Apa yang bisa membuat
darah kita dihalalkan dalam Islam? Di antaranya adalah tiga perkara ini. Tidak halal
darah seorang pribadi muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara. Kalau kita
melakukan salah satu dari tiga perkara ini, maka baru saat itu secara hukum Islam
kita boleh untuk ditumpahkan darahnya.

1. ORANG YANG BERZINA DALAM KEADAAN SUDAH PERNAH


MENIKAH

Dalam Islam hukumannya adalah dirajam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa


Ta’ala:

ُ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكااًل ِم َن هللاِ َوهللا‬
‫َع ِزي ٌز َح ِكي ٌم‬
“Dan seorang pria yang sudah tua, seorang wanita yang sudah tua (maksudnya
adalah yang sudah pernah menikah) kalau keduanya berzina, maka rajamlah
keduanya sebagai hukuman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ini adalah salah satu ayat yang pernah ada dalam Al-Qur’an. Tapi kemudian ayat ini
dihapuskan tilawahnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya redaksi ayat ini
sudah tidak lagi dalam Al-Qur’an. Awalnya ada kemudian dihapuskan. Dia termasuk
bagian dari surat Al-Ahzab yang ayat ini dahulu disebutkan panjangnya seperti surat
Al-Baqarah. Namun ada banyak redaksinya yang dihapuskan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tentunya dengan kebijaksanaan kehendak dariNya. Allah ingin seperti itu.
Jadi redaksi ayat ini sudah dihapus, tidak ada lagi kalau kita mencari di surat Al-
Azab, kita tidak akan temukan ayat ini. Tapi hukumnya masih berlaku sampai
sekarang.

Maka dalam agama kita, kalau ada orang yang berzina sementara dia sudah pernah
menikah, maka hukumannya adalah dirajam, dilempar dengan batu sampai
meninggal. Itu adalah aturan Islam. Yaitu ketika seseorang sudah melakukan hal ini
dalam keadaan dia sudah pernah menikah, kemudian perkaranya sudah diangkat
kepada Waliyul ‘Amr (pemimpin umat Islam), disitu wajib bagi pemimpin Muslim
untuk menegakkan hukuman atas orang yang telah berzina ini.
Adapun kalau kita diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebagian maksiat
dan dosa besar ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup aib kita, maka
hendaknya kita menutup diri dengan penutupan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

ِ ‫فَ ْليَ ْستَتِرْ بِ ِس ْت ِر هَّللا‬


“Hendaklah dia menutup diri dengan penutupan yang telah diberikan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”

Dan demikianlah, kita banyak dosa, tapi Allah menutup dosa-dosa kita sehingga
orang tidak mengetahui apa yang kita lakukan. Orang lain tidak mengetahui
maksiat-maksiat kita dalam keadaan kita tersembunyi. Maka kalau Allah menguji
kita dengan jatuh dalam suatu maksiat atau maksiat besar, dalam perkara keji
seperti zina seperti ini kemudian Allah tutup itu, maka hendaklah kita bersyukur
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak membongkar aib kita sendiri. Tapi
kita memanfaatkan penutupan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Biar
semuanya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kita jangan bongkar.
Kemudian setelah itu kita bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lihat juga: Nasihat Untuk Bersegera Dalam Taubat Nasuha


Adapun kalau kita dilaporkan oleh orang lain, ada yang melaporkan dna bersaksi
kita sudah berzina, Na’udzubillahimindzalik kemudian urusannya sudah sampai
kepada Waliyul ‘Amr atau kita sendiri yang melaporkan/mengaku telah berbuat
demikian. Kemudian perkaranya sudah sampai kepada Waliyul ‘Amr, maka wajib
bagi Waliyul ‘Amr untuk menegakkan hukuman ini.

Ditegakkan oleh Waliyul ‘Amr

Maka hal ini menunjukkan bahwasannya objek dari perintah ini adalah para Waliyul
‘Amr. Ini adalah hukum yang merupakan wewenang pemerintah. Ini adalah hukum
yang merupakan domainnya pemerintah. Tidak boleh bagi umat Islam untuk main
hakim sendiri. Mengklaim ini adalah aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian
dia tegakkan terserah dia tanpa melalui prosedur yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena kalau sedemikian rupa, maka akan
terjadi banyak kerusakan.

Maka penegakan hudud, qishash, ini yang berwenang adalah Waliyul ‘Amr agar tidak
terjadi kekacauan. Kita tidak perlu untuk melakukan sesuatu yang bukan menjadi
wewenang kita. Ini termasuk penafsiran dari:
‫ِم ْن ُحس ِْن ِإ ْسالَ ِم ال َمرْ ِء تَرْ ُكهُ َما الَ يَ ْعنِ ْي ِه‬
“Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak
penting bagi dia (termasuk apa-apa yang bukan menjadi wewenang dia).” Hadits no
12 yang baru saja kita pelajari juga.
Maka -sekali lagi- perintah dalam ayat ini diberikan kepada para Waliyul ‘Amr. Jadi
kapan mereka mendapatkan kasus seperti ini, ada laporan, ada saksi, ada yang
mengaku berbuat zina dalam keadaan sudah pernah menikah, maka hukumannya
adalah dirajam dalam Islam sampai dia meninggal.

Dan ini yang dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
beberapa kasus yang terjadi pada zaman beliau. Diantaranya dalam kasus Al-
Ghamidiyah. Seorang wanita dari kabilah Ghamid yang mengaku telah berzina.
Hadits ini menunjukkan bahwasannya yang terbaik adalah menutup diri dengan
penutupan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak kita bongkar. Tapi kalau itu sudah
terjadi, orang bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia tahunya dengan
mengaku, padahal yang dituntut bukan seperti itu. Tapi kalau seandainya
perkaranya sudah sampai kepada Waliyul ‘Amr, maka wajib bagi Waliyul ‘Amr untuk
menegakkan hukuman ini dan mereka juga akan dihadapkan pada hidab dihadapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka akan ditanya apakah mereka sudah menegakkan
syariat ini di atas bumi yang mereka kuasai atau belum?

Kemudian juga dipraktikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam


kasus Ma’iz bin Malik Al-Aslami Radhiyallahu ‘Anhu dan keduanya adalah sahabat
yang ini menunjukkan bahwasannya para sahabat tidak maksum. Mereka kadang-
kadang jatuh dalam maksiat, seperti kita juga. Mereka kadang-kadang jatuh dalam
dosa besar seperti kita juga, mereka tidak maksum namun kedudukan mereka
sebagai para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebuah
kedudukan yang sangat tinggi, pilihan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
membuat mereka semua disebut sebagai orang-orang yang adil yang tidak boleh kita
cela. Meskipun sebagian mereka jatuh ke dalam maksiat-maksiat termasuk maksiat-
maksiat besar seperti zina.

Jadi inilah hukum Islam itu. Inilah hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada kita sebagai umat Islam. Dan juga telah dipraktikkan langsung oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam beberapa kasus yang terjadi pada
zaman beliau. Maka dalam agama kita, orang yang berzina dalam keadaan sudah
pernah menikah, maka hukumannya adalah dirajam.

Adapun kalau seorang muslim berzina dalam keadaan belum pernah menikah, maka
yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة‬


ِ ‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِ ُدوا ُك َّل َو‬
“Seorang wanita yang berzina dan seorang laki-laki yang berzina hendaklah
kalian cambuk masing-masing dari mereka dengan 100 cambukan.” (QS. An-
Nur[24]: 2)
Dibedakan, yang sudah pernah menikah dirajam, yang belum pernah menikah
hukumnya adalah dicambuk. Mana yang lebih keras? Tentunya dirajam lebih keras.
Karena rajam tersebut dilakukan sampai si pelaku zina meninggal. Dan agama kita
membedakan demikian karena memang faktor pendorongnya berbeda. Orang yang
berzina dalam keadaan belum pernah menikah, tentunya ini tetap dosa besar dan
tidak bisa ditolerir. Tapi pada tingkat tertentu bisa dimaklumi. Karena mungkin
dia jiwa mudanya masih bergelora, dia belum pernah merasakan kenikmatan
berhubungan dengan lawan jenis, kemudia dia juga tidak punya pasangan yang bisa
menjaga matanya, menjaga kemaluannya dari hal-hal yang haram, maka ketika dia
jatuh dalam maksiat ini pada tingkat tertentu dia dimaklumi (tidak dimaklumi).
Dibedakan hukumannya dengan mereka sudah pernah merasakan kenikmatan
tersebut atau bahkan di rumah dia memiliki pasangan yang halal, tapi kok masih
nekat berzina juga.

Maka Islam membedakan antara keduanya. Karena faktor yang mendorong orang
untuk berbuat maksiat juga berbeda. Dan semakin besar dorongan untuk berbuat
maksiat seperti yang terjadi pada orang yang masih muda, kemudian dia bisa
bertahan untuk tidak jatuh dalam maksiat, maka semakin hebat orang tersebut di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan semakin ringan godaan untuk melakukan suatu
dosa, semakin kecil drongan untuk melakukan suatu dosa kemudian ternyata orang
tersebut masih jatuh juga dalam dosa itu, maka yang demikian ini juga semakin
membuat hukumannya besar, dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin
besar dan juga hukumannya di dunia juga lebih berat daripada orang yang
melakukan dosa dengan faktor pendorong yang lebih besar. Seperti anak-anak muda
belum pernah menikah.

2. MELAKUKAN PEMBUNUHAN

Hak Islam yang kedua yang menghalalkan darah seorang muslim adalah melakukan
pembunuhan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا َأ َّن النَّ ْف‬


ِ ‫س ِبالنَّ ْف‬
‫س‬
“Dan telah Kami putuskan di dalamnya (yaitu dalam Taurat untuk orang-orang
Yahudi) bahwasanya jiwa itu dengan jiwa.” (QS. Al-Maidah[5]: 45)

Kalau ada orang yang membunuh suatu jiwa, maka hukumannya  adalah dia
dibunuh. Ini makna dari ayat ini dan ini menunjukkan bahwasanya ini adalah syariat
Nabi Musa ‘Alaihis Salam untuk umat beliau yaitu orang-orang Yahudi.
Hukumannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dibunuh. Dan hal ini
ditegaskan juga oleh Islam. Islam tidak mengingkari hukum ini, tapi hukumannya
adalah sama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫صاصُ فِي ْالقَ ْتلَى‬


َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
َ ِ‫ين آ َمنُوا ُكت‬
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk
melakukan qishash pada orang-orang yang sudah meninggal.” (QS. Al-
Baqarah[2]: 178)

Maksudnya dalam kasus pembunuhan dalam syarat tertentu yaitu kalau


pembunuhan ini terjadi secara sengaja, ada niat untuk membunuh, kemudian juga
dilakukan dengan alat yang orang bisa mati dengan alat itu. Adapun kalau
pembunuhan yang terjadi secara tidak sengaja, orang ingin berburu di hutan
kemudian senapannya mengenai seorang muslim misalnya, maka di sini tidak
qishash. Atau orang sengaja menyerang orang lain tapi dia menggunakan alat yang
tidak membunuh. Dia menggunakan alat yang tidak mematikan, misalnya hanya
sepotong kayu dia pukulkan tapi ternyata meninggal. Maka ini juga tidak memenuhi
persyaratan untuk ditegakkannya qishash.

Jadi yang dimaksud dengan qishash adalah kalau seorang muslim membunuh
muslim yang lainnya dengan sengaja dan dengan alat yang mematikan. Kemudian
ditambah satu lagi bahwasannya ahli waris orang yang terbunuh tidak mau
memaafkan. Adapun kalau ahli warisnya memaafkan, maka hukumannya berpindah
dari qishash menjadi membayar diyat. Demikian juga kalau seorang muslim
membunuh orang lain dengan tidak sengaja atau menyerang orang tersebut tapi
dengan alat yang tidak mematikan, ini juga tidak terjadi qishash, tapi yang terjadi
adalah diyat sebagaimana telah di atur dalam agama kita.

Dan dari apa yang kita sampaikan di depan kita bisa simpulkan bahwasannya
qishash adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah turunkan untuk Nabi
Musa ‘Alaihi Salam, bagi umat beliau orang-orang Yahudi, kemudian hal ini ditaqrir
(dikuatkan) oleh Islam, jadi hukumnya sama antara syariat Nabi Musa dengan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu diwajibkannya qishash untuk kasus
pembunuhan.

Dan karena ini adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tentunya itu adalah
hukum yang terbaik. Ini yang dipilihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
orang-orang Yahudi, ini yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
kita umat Islam. Penegakan qishash di masyarakat kita. Dan ini sama dengan yang
sebelumnya, domainnya adalah dominan pemerintah/Waliyul ‘Amr, tidak boleh
orang melakukan main hakim sendiri dalam kasus-kasus seperti ini. Wewenangnya
milik pemerintah.

Dan insyaAllah dengan penegakan syariat ini akan didapatkan kehidupan bernegara
yang baik, akan didapatkan keseimbangan sosial yang bagus, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَا ُأولِي اَأْل ْلبَا‬


َ ُ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّق‬
﴾١٧٩﴿ ‫ون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬
“Dan pada qishash ini terdapat kehidupan bagi kalian wahai orang-orang yang
berakal agar kalian bertakwa.”

Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwasannya dibalik qishash ini ada
kehidupan. Karena dengan mengorbankan satu orang yang nakal, yang dzalim
kepada saudaranya dengan syarat-syarat yang telah kita sebutkan tadi itu, maka
orang akan takut. Dan saat terjadi qishash ini di syariatkan agar disaksikan oleh
orang lain, demikian juga dengan rajam disyariatkan agar dilakukan di depan
khalayak. Sehingga orang-orang takut, saya kalau membunuh saya akan
diperlakukan dengan cara yang sama, saya akan dibunuh, saya nggak mau itu.
Sehingga orang berpikir untuk tidak membunuh, orang lebih hati-hati. Dan salah
satu negara yang masih mempraktekkan hukum qishash ini adalah kerajaan Arab
Saudi. Dan kita bisa menyaksikan qishash ini di sana dan juga buah dari qishash ini.
Dimana akhirnya tercipta masyarakat yang aman, masyarakat yang relatif tidak
banyak masalah, masyarakat yang relatif terjaga hak-hak manusia di sana, harta
orang terjaga, jiwa orang terjaga, meskipun tentunya mereka tidak maksum. Masih
terkadang ada pembunuhan, masih kadang-kadang ada pencuri, tapi intensitasnya
sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara yang tidak menerapkan
syariat Islam dan syariat yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini adalah yang kedua, yaitu jiwa dengan jiwa, pembunuhan dibalas dengan
pembunuhan.

3. ORANG YANG MENINGGALKAN AGAMANYA DAN


MENINGGALKAN JAMAAHNYA
Yang dimaksud orang yang murtad, pernah memeluk Islam kemudian dia
meninggalkan Islam ini. Dalam agama kita orang yang seperti ini hukumnya adalah
dibunuh. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
hadits yang lain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

ُ‫َم ْن بَ َّد َل ِدينَهُ فَا ْقتُلُوه‬


“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka hendaklah kalian bunuh dia.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Siapa yang disuruh membunuh? Waliyul ‘Amr/pemerintah. Jadi ini semuanya,


penegakan hudud, penegakan qishash, ini adalah domain dan wewenang Waliyul
‘Amr, tidak boleh bagi umat Islam untuk main hakim sendiri dalam perkara-perkara
seperti ini, hendaklah mereka menghormati hukum yang berlaku di negara mereka
dan menyerahkan urusan seperti ini kepada Waliyul ‘Amr.

“Dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari Jamaah.” Jadi
orang yang meninggalkan agamanya otomatis dia meninggalkan jamaah, tidak lagi
jamaah bersama umat Islam yang lain. Dia sudah keluar dari agama ini. Dan kalau
kita merenungi lebih dalam, tidaklah orang jatuh dalam kesalahan seperti ini kecuali
jika dosanya sudah parah. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesatkan
hambaNya dengan cara seperti ini kecuali kalau sebelumnya hambaNya sudah
menyesatkan dirinya sendiri. Ada banyak dosa-dosa yang telah dia lakukan, ada
banyak maksiat yang telah dilakukan sehingga akhirnya Allah hukum dia dengan
keluar dari Islam. Karena Islam adalah nikmat yang paling besar, Islam adalah
jaminan keselamatan kita di akhirat. Ini adalah sebuah nikmat yang tidak ada
bandingannya dibanding nikmat yang lain. Maka kalau sampai kita kehilangan
nikmat besar ini berarti kita sudah parah sekali, kita sudah jauh dari hidayah Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan itu semuanya karena dosa-dosa kita sendiri. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫فَلَ َّما َزا ُغوا َأ َزا َغ اللَّـهُ قُلُوبَهُ ْم‬
“Dan ketika mereka menyimpang, maka Allah buat hati mereka menyimpang.”

Jadi mereka dulu yang menyimpan, mereka dulu yang banyak berbuat maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Allah simpangkan hati mereka.
Kemudian sebagian dari mereka sampai keluar dari ajaran agama Islam yang pernah
mereka rasakan nikmatnya, yang pernah mereka rasakan manisnya. Maka kalau ada
seseorang yang pernah mengenyam nikmat Islam kemudian ditinggalkan nikmat itu
dengan meninggalkan Islam, keluar dari ajaran agama ini, maka sungguh dia telah
jatuh dalam sesuatu yang sangat parah. Dan pasti ada banyak hal-hal besar sebelum
kejadian itu. Na’udzubillahimin dzalik.
Kita berdoa semoga kita bisa istiqomah di atas jalan Islam dan kalau sampai terjadi
ada orang yang keluar dari Islam, maka inilah hukumannya dalam agama kita. Kita
berbicara tentang hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anda mungkin juga menyukai