Anda di halaman 1dari 43

Home Bout thiz Blog Me..

Konsep Pernikahan dalam Islam


Juli 1, 2007 at 1:15 pm 93 komentar Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.

KATA PENGANTAR Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya. Nikah merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu alaihi

wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syari tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak. Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan. Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..? Naudzu billahi min dzalik. Wallahu mustaan. MUQADIMAH Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Taala. Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata : Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (AlBaqarah : 30). Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Taala.

Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istriistrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (An-Nisaa : 21). Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail. Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Quran dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita. Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan. PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Taala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Taala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Taala. Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Ruum : 30). A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :

Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim). B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras. Dan beliau bersabda : Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban). Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya . Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda : Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan. Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah. Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Taala yang

telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!. Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firmanNya: Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nur : 32). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya : Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu anhu). Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Masud radliyallahu anhu pernah berkata : Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul Arus hal. 20). TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM 1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti caracara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. 2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur Sasaran utama dari disyariatkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan

pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). 3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Quran disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut : Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim. (Al-Baqarah : 229). Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syariat Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas : Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui . (Al-Baqarah : 230). Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syariat Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syariat Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal : a. Harus Kafaah b. Shalihah a. Kafaah Menurut Konsep Islam Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja.

Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja. Menurut Islam, Kafaah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafaah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13). Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat : 13). Dan mereka tetap sekufu dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada AlQuran dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175). b. Memilih Yang Shalihah Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih lakilaki yang shalih. Menurut Al-Quran wanita yang shalihah ialah : Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisaa : 34). Menurut Al-Quran dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : Taat kepada Allah, Taat kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (AlAhzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Taat kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Taat kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya.

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ? Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :Ya, benar. Beliau bersabda lagi : Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasai dengan sanad yang Shahih). 5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman : Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?. (An-Nahl : 72). Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak Lembaga Pendidikan Islam, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar. Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam. TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan AlQuran dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya : 1. Khitbah (Peminangan) Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi). 2. Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi : a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai. b. Adanya Ijab Qabul. c. Adanya Mahar. d. Adanya Wali. e. Adanya Saksi-saksi. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. 3. Walimah Walimatul urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah). Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Said AlKhudri). SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran

Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya Berpacaran terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya. Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syariat Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim). Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2. Tukar Cincin Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani) 3. Menuntut Mahar Yang Tinggi Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi. Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwaul Ghalil 6, hal. 347-348). 4. Mengikuti Upacara Adat Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Sungguh sangat ironis!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam. Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?. (AlMaaidah : 50). Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Taala : Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orangorang yang rugi. (Ali-Imran : 85). 5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa Wal Banin. Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam melarang ucapan demikian. Para tamu bertanya :Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?. Aqil menjelaskan : Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka Alaiykum (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain). Doa yang biasa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah : Baarakallahu laka wa baarakaa alaiyka wa jamaa baiynakumaa fii khoir Doa ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa : (Baarakallahu laka wabaraka alaiyka wa jamaa baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148). 6. Adanya Ikhtilath Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang,

sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7. Pelanggaran Lain Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar. KHATIMAH Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman : Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ruum : 21). Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridlaan Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda kemelut perselisihan dan percekcokan. Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu perceraian. Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Taala (Ali-Imran : 19). Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (Al-Furqaan : 74) Amiin. Wallahu aalam bish shawab. ================================================================ ===

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS.At-Thalaq:2-6) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS.Ali-Imraan:102) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundangundangan yang berlaku. Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam : A. Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32) "Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan." B. Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." Definisi Nikah Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafiiyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama. Hukum Nikah Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan. Nikah menurut majasi (wadliyah) ada empat kemungkinan: 1. Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan. 2. Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan. 3. Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan. 4. Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan. Pelaksanaan Nikah Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara: 1. Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti ini mendapat pahala dari Allah SWT.

2. Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa. 3. Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan berdosa. Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan. Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut. Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya. Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut : Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang saja . (An Nisa : 3). Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu. 2. HUKUM DAN DALILNYA Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.

a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi. b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan. Sabda Nabi Muhammad SAW. : Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya. (HR Bukhari Muslim). c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat. Firman Allah SWT : Hendaklah menahan diri orang - orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya. (An Nur / 24:33) d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak. e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya. 3. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT Rukun nikah ada lima macam, yaitu : a. Calon suami Calon suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut : 1) Beragama Islam 2) Benar - benar pria 3) Tidak dipaksa 4) Bukan mahram calon istri 5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh

6) Usia sekurang - kurangnya 19 Tahun b. Calon istri Calon istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut : 1) Beragama Islam 2) Benar - benar perempuan 3) Tidak dipaksa, 4) Halal bagi calon suami 5) Bukan mahram calon suami 6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh 7) Usia sekurang - kurangnya 16 Tahun c. Wali Wali harus memenuhi syarat - syarat sebagi berikut : 1) Beragama Islam 2) Baligh (dewasa) 3) Berakal Sehat 4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh 5) Adil (tidak fasik) 6) Mempunyai hak untuk menjadi wali 7) Laki - laki d. Dua orang saksi Dua orang saksi harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut : 1) Islam 2) Baligh (dewasa)

3) Berakal Sehat 4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh 5) Adil (tidak fasik) 6) Mengerti maksud akad nikah 7) Laki - laki Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. : Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (Riwayat Ahmad.) e. Ijab dan Qabul ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim). 4. HIKMAH DAN TUJUAN 1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin. Firman Allah SWT : Dan diantara tanda - tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri - istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. (Ar Rum/30:21) 2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad. Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan pebuatan maksiad. 3.Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari

yang satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan. Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai kemanusiaan. Pengertian Jinayat Jinayah menurut fuqaha ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja. Pentarifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat. Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau tazir. Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya 2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh. 3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain. 4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri. 5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan Bab 2 : Bentuk Hukuman Yang Dikenakan Ke Atas Penjenayah Mengikut peruntukan hukum syara yang disebutkan di dalam Al-Quran dan Al-Hadith dan yang dikuatkuasakan dalam undang-undang jinayah syariyyah, penjenayahpenjenayah yang didakwa di bawah kes jinayah syariyyah apabila sabit kesalahannya di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau tazir. Hukuman-hukuman ini adalah tertakluk kepada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penjenayah-penjenayah tersebut.

1. Hukuman Hudud Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam AlQuran dan Al-Hadith. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: Dan sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orangorang yang zalim. (Surah Al-Baqarah, 2:229). Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud ialah: a) Berzina, iaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syara. b) Menuduh orang berzina (qazaf), iaitu membuat tuduhan zina ke atas orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi. c) Minum arak atau minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak, mabuk ataupun tidak. d) Mencuri, iaitu memindahkan secara sembunyi harta alih dari jagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya dengan niat untuk menghilangkan harta itu dari jagaan atau milik tuannya. e) Murtad, iaitu orang yang keluar dari agama Islam, sama ada dengan perbuatan atau dengan perkataan, atau dengan itiqad kepercayaan. f) Merompak (hirabah), iiatu keluar seorang atau sekumpulan yang bertujuan untuk mengambil harta atau membunuh atau menakutkan dengan cara kekerasan. g) Penderhaka (bughat), iaitu segolongan umat Islam yang melawan atau menderhaka kepada pemerintah yang menjalankan syariat Islam dan hukum-hukum Islam. 2. Hukuman Qisas Hukuman qisas adalah sama seperti hukuman hudud juga, iaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Quran dan Al-Hadith. Hukuman qisas ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan, mencederakan dibalas dengan mencederakan. Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman qisas ialah:

a) Membunuh orang lain dengan sengaja. b) Menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain dengan sengaja. c) Melukakan orang lain dengan sengaja. Hukuman membunuh orang lain dengan sengaja wajib dikenakan hukuman qisas ke atas si pembunuh dengan dibalas bunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kamu menjalankan hukuman qisas (balasan yang seimbang) dalam perkara orang-orang yang mati dibunuh. (Surah AlBaqarah, 2:178) Hukuman menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain atau melukakannya wajib dibalas dengan hukuman qisas mengikut kadar kecederaan atau luka seseorang itu juga mengikut jenis anggota yang dicederakan dan dilukakan tadi. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalam kitab Taurat itu, bahawasanya jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dibalas dengan mata, dan hidung dibalas dengan hidung, dan telinga dibalas dengan telinga, dan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka juga hendaklah dibalas (seimbang). Tetapi sesiapa yang melepaskan hak membalasnya, maka menjadilah ia penebus dosa baginya. Dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Surah Al-Maidah: 45) 3. Hukuman Diyat Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh penjenayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jenayah yang dilakukan oleh penjenayah ke atas mangsanya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan dengan kesalahan qisas dan ia sebagai gantirugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan atau melukakannya. Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah: a) Pembunuhan yang serupa sengaja. b) Pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja). c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau waris orang yang dibunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: Maka sesiapa (pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaranya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yang baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran

ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. Sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab siksa yang tidak terperi sakitnya. (Surah Al-Baqarah, 2:178) 4. Hukuman Tazir Hukuman tazir ialah kesalahan-kesalahan yang hukumannya merupakan dera, iaitu penjenayah-penjenayah tidak dijatuhkan hukuman hudud atau qisas. Hukuman tazir adalah hukuman yang tidak ditentukan kadar atau bentuk hukuman itu di dalam Al-Quran dan AlHadith. Hukuman tazir adalah dera ke atas penjenayah-penjenayah yang telah sabit kesalahannya dalam mahkamah dan hukumannya tidak dikenakan hukuman hudud atau qisas kerana kesalahan yang dilakukan itu tidak termasuk di bawah kes yang membolehkannya dijatuhkan hukuman hudud atau qisas. Jenis, kadar dan bentuk hukuman tazir itu adalah terserah kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih hukuman yang patut dikenakan ke atas penjenayah-penjenayah itu kerana hukuman tazir itu adalah bertujuan untuk menghalang penjenayah-penjenayah mengulangi kembali kejahatan yang mereka lakukan tadi dan bukan untuk menyiksa mereka. Assalamualaikum Warohmatullah Wabarokatuh Bismillahirrohmanirrohim Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan 3 orang ikhwah mengenai kufu dalam pernikahan. Dari pendapat saya sempat terlontar bahwa setiap orang pada dasarnya sekufu selama yang bersangkutan adalah seorang muslim. Pendapat ini dinukil dari pendapat Imam Ali bin Abi Tholib r.a. bahwa : Manusia itu satu sama lain adalah kufu, mereka yang Arab, yang bukan Arab, yang Kuraisy dan yang Hasyimi kalau sudah masuk Islam dan sudah beriman Namun untuk masalah kufu ditinjau dari segi Fiqih Munakahat sendiri, sudah dijabarkan cukup jelas. Berikut adalah penjelasan kufu dalam Fiqih Munakahat. Sekufu dalam arti bahasa adalah sepadan, sama atau menyerupai. Yang dimaksud dengan sepadan dan menyerupai di sini adalah persamaan antara kedua calon mempelai dalam 5 perkara : Pertama, dalam agamanya. Seorang laki-laki fasik yang keji tidaklah sepadan dengan seorang wanita yang suci dan adil. Karena laki-laki fasikdalam persaksian dan beritanya tidak dapat diterima. Ini merupakan salah satu kekurangan yang sangat manusiawi.

Kedua, keturunan atau segi keluarga. Orang asing (bukan keturunan Arab) tidak sepadan dengan orang yang keturunan dari bangsa Arab. Ketiga, merdeka. Orang yang mempunyai status sebagai hamba sahaya atau seorang budak belia tidaklah sepadan dengan orang yang merdeka. Karena ia memiliki kekurangan yaitu statusnya dalam kepemilikan orang lain. Keempat, profesi. Orang yang memiliki profesi yang rendah seperti tukang bekam atau tukang tenun, tidaklah sepadan dengan putri seorang yang memiliki profesi besar seperti saudagar dan pedagang kaya. Kelima, memenuhi permintaan dari pihak wanita. Yaitu, bisa memberikan mahar yang diminta dan nafkah yang ditentukan dari pihak wanita tersebut. Demikian juga dengan orang serba susah hidupnya, tidaklah sepadan dengan wanita yang biasa hidup bergelimangan harta. Karena hal ini bisa menimbulkan bahaya yang tidak sedikit jika tidak terpenuhi nafkah yang ia butuhkan. Jika didapati dari salah satu calon mempelai memiliki satu dari lima kategori di atas, maka kesamaan tersebut telah dianggap terpenuhi. Hal ini tidak berpengaruh pada keabsahan atau sahnya akad nikah yang dilakukan. Karena, sesungguhnya sekufu itu tidak termasuk syarat sah nikah, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan Fatimah binti Qois untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Dan Fatimah pun menikah dengannya. Demikian yang dijelaskan dalam hadist riwayat muttafaq alaih.

PENGERTIAN JUAL BELI

Bahasa : saling menukar Istilah : pertukaran harta atas dasar saling rela atau ridho dengan cara dan syarat tetentu. Penjual = Baialah Pembeli = Musytari Dasar Hukum Jual Beli = Mubah (boleh) Dalil Jual Beli : 1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisaa : 29) 2. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqoroh : 275)

UTANG PIUTANG

PENGERTIAN DAN HUKUM o Pengertian :

Utang : yang dipinjam dari orang lain Piutang : yg dipinjamkan kpd oang lain Utang Piutang = Addain
o

Hukum :

- Sunat - wajib, spt kelaparan, utk menebus obat, dll QS. AL-BAQOROH : 282

Utang piutang ditulis dengan baik dan benar Notulen jangan enggan menulis pinjaman utang, baik jumlah besar ataupun kecil Yg berutang membacakan apa yg ditulis atau dibacakan oleh walinya dg jujur Yg berutang tdk boleh mengurangi utangnya sedikitpun Disaksikan oleh 2 orang saksi laki-laki atau 1 orang lk dan 2 orang perempuan, atau 4 orang pr Antara saksi dan notulen saling memudahlan GADAI Gadai ialah pinjam meminjam uang dalam batas waktu tertentu dg menyerahkan barang sebagai tanggungan utang (agunan) Hukum gadai = Mubah Ketentuan Gadai :

* yg melakukan gadai berakal sehat * agunan/gadaian hrs ada saat transaksi * agunan dipegang oleh yg terima gadaian * tdk boleh memanfaatkan agunan mati * boleh memanfaatkan agunan hidup

* jika batas waktu habis, yg pegang gadai boleh menjualnya * anak barang gadaian(sapi,dsb) jadi milik yg menggadaikan (biaya jadi tanggungan penggadai)

UPAH Upah (Ajru) = gaji / imbalan : ialah uang/harta yg dibayarkan sbg balas jasa atau sbg pembayar tenaga yg sdh dikeluarkan utk mengerjakan sesuatu. Dalilnya :

1. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu utkmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya(QS.Ath-tholaq:6) 2. Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah)

Rukun dan Syarat Upah :

1. Ijab dan Qabul 2. Pengupah atau penerima Upah dg syarat : - Berakal - kehendak sendiri - balig 3. Bermanfaat

SEWA Sewa / Ijaroh : ialah uang yg dibayarkan karena memakai/meminjam sesuatu. Rukun dan Syarat sewa :

1. Ijab dan Qabul 2. Penyewa atau yg menyewakan 3. Bermanfaat * Sewa yg Haram : menyewa pembunuh bayaran, menyewa utk menyebar fitnah

RIBA Riba (tambahan) : yaitu keuntungan yg diperoleh dengan meminjamkan uang atau benda yg disyaratkan pengembaliannya harus lebih

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279)

Riba hukumnya : HARAM termasuk dosa besar

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.2 : 278)

Macam-macam Riba :

* Riba Fadhal : tukar menukar barang yg sejenis dengan ada kelebihan di salah satu pihak * Riba Yad : antara penjual dan pembeli belum serah terima, lalu barang tsb dijual kpd orang lain * Riba Qiradh : kelebihan pembayaran * Riba Nasiah : jual beli atau pinjaman uang yg dilambatkan pembayarannya dg pembayaran lebih. nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

Daftar isi

1 Hikmah Pernikahan 2 Pemilihan calon o 2.1 Ciri-ciri bakal suami 3 Penyebab haramnya sebuah pernikahan 4 Peminangan 5 Nikah o 5.1 Rukun nikah o 5.2 Syarat calon suami o 5.3 Syarat bakal istri o 5.4 Syarat wali o 5.5 Jenis-jenis wali o 5.6 Syarat-syarat saksi o 5.7 Syarat ijab

o 5.8 Syarat qobul 6 Wakil Wali/ Qadi 7 Lihat juga 8 Referensi

9 Pranala luar

Hikmah Pernikahan

Cara yang halal untuk menyalurkan nafsu seks melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang amat merugikan. Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman Memelihara kesucian diri Melaksanakan tuntutan syariat Membuat keturunan Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anakanak Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab Dapat mengeratkan silaturahim

Pemilihan calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduanpanduan ini.

Ciri-ciri bakal suami

Sekadar gambar hiasan : Sebuah acara pernikahan di Indonesian dan diadakan dengan budaya Jawa

beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t bertanggungjawab terhadap semua benda memiliki akhlak-akhlak yang terpuji

berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.

Penyebab haramnya sebuah pernikahan

Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.: o Ibu o Nenek dari ibu maupun bapak o Anak perempuan & keturunannya o Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu o Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak saudara perempuan

Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah: o Ibu susuan o Nenek dari saudara ibu susuan o Saudara perempuan susuan o Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan o Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah: o Ibu mertua o Ibu tiri o Nenek tiri o Menantu perempuan o Anak tiri perempuan dan keturunannya o Adik ipar perempuan dan keturunannya o Sepupu dari saudara istri Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus

dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja. Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang: "Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya? jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai) Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan: "Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))

Nikah
Rukun nikah

Pengantin laki-laki Pengantin perempuan Wali Dua orang saksi laki-laki Ijab dan kabul (akad nikah)

Syarat calon suami


Islam Laki-laki yang tertentu Bukan lelaki muhrim dengan calon istri Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut Bukan dalam ihram haji atau umroh Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

Syarat bakal istri


Islam Perempuan yang tertentu Bukan perempuan muhrim dengan calon suami Bukan seorang banci Bukan dalam ihram haji atau umroh Tidak dalam iddah Bukan istri orang

Syarat wali

Islam, bukan kafir dan murtad Lelaki dan bukannya perempuan Telah pubertas Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Bukan dalam ihram haji atau umroh Tidak fasik Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya Merdeka Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya

Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.

Jenis-jenis wali

Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan) Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali Wali abad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali abad ini akan digantikan oleh wali abad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi. Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

Syarat-syarat saksi

Sekurang-kurangya dua orang Islam Berakal Telah pubertas Laki-laki Memahami isi lafal ijab dan qobul Dapat mendengar, melihat dan berbicara Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosadosa kecil) Merdeka

Syarat ijab

Pernikahan nikah ini hendaklah tepat Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran Diucapkan oleh wali atau wakilnya Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah) Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)

Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".

Syarat qobul

Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab Tidak ada perkataan sindiran Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu) Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak) Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan) Menyebut nama calon istri Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku". Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.

Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu. Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

Wakil Wali/ Qadi


Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.

Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan)[1]. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3). [2]

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki.

Daftar isi

1 Ragam pandangan 2 Praktik poligami oleh Nabi Muhammad 3 Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib 4 Referensi

Ragam pandangan
Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh , Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan (ketiganya ulama terkemuka Al Azhar Mesir) lebih memilih memperketat penafsirannya. Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu (tahun 1899), memilih mengharamkan poligami. Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil.[3].Saat ini negara Islam yang mengharamkan poligami hanya Maroko [4]. Namun sebagian besar negara-negara Islam di dunia hingga kini tetap membolehkan poligami, termasuk UndangUndang Mesir dengan syarat sang pria harus menyertakan slip gajinya. [5]

Praktik poligami oleh Nabi Muhammad


Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar). Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi sosial [6]. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Kontroversi Poligami oleh Ali bin Abi Thalib


Nabi Muhammad saw marah besar ketika mendengar putrinya, Fatimah , akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: [7]

Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.

Penentang poligami kerap menggunakan hadits diatas untuk menolak dibolehkannya poligami, namun sebenarnya, hadits tentang kejadian yang sama dalam versi yang lebih lengkap menceritakan bahwa marahnya Nabi Muhammad saw dikarenakan oleh calon yang hendak diperistri Ali adalah putri dari Abu Jahal, yakni salah satu musuh Islam saat itu.[8][9]

Abu Yamn meriwayatkan kepada kami dari Syu'aib dari Zuhri dia berkata, Ali ibn Husain meriwayatkan kepadaku bahwa Miswar ibn Makhramah berkata, Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal." Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri, maka dia pun berdiri. Kemudian aku mendengarkan Beliau ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, "Amma Ba'd, Aku telah menikahkan Abu sh ibn Rab' kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah s.a.w. dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki." Kemudian Ali meninggalkan pinangannya.

HUKUM POLIGAMI Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] : Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya [An-Nisa : 3]

Dan praktek Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan. Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. [An-Nisa : 3] TAFSIR AYAT POLIGAMI Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja [An-Nisa : 3] Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Taala berfirman Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian [An-Nisa : 129] Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ? Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan [Fatawa Mar'ah. 2/62] : Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Taala Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian [An-Nisa : 129] Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Taala dalam doa: Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim] KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA

Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] : Jika realitasnya kita sanggup untuk menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Taala Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja [An-Nisa : 3] Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya [Muttafaq Alaih] Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban] Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Taala telah berfirman Dan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa [Al-Maidah : 2] Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya [Riwayat Imam Muslim] Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik. BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAKANAK YATIM

Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat [An-Nisa : 3] Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83] : Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya. Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyariatkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik [Al-Ahzab : 21] Hanya saja Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau. Poligami dan kawin sirri, sebuah istilah yang tak kunjung basi mewakili keadaan yang tak lekang dibahas hingga kini. Dengan perubahan keragaman jaman dan sudut pandang, hal yang satu ini menjadi tak bosan tuk dijadikan bahan pembicaraaan. Berikut kami share sebuah tulisan yang diambil langsung dari Note sahabat kami di FB, Gus Im (Imam Puji Hartono), yang mana tulisan ini Beliau dokumentasikan dari hasil karya dari Ustadz Quraish Shihab tentang Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam. Tulisan yang diambil dari makalah beliau pada Semiloka Sehari Poligami di Mata Kita yang diselenggarakan di Denpasar tahun 2007 lalu. Semoga menjadi tambahan referensi dan penjelasan dari

informasi yang selama ini kita dapatkan tentang poligami dan kawin sirri menurut Islam. Selamat Membaca. POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM Oleh : M. Quraish Shihab Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman). PENDAHULUAN Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki. Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami. Makalah ini akan membahas poligami secara terbatas, bukan poliandri, bukan saja karena secara umum orang memahami kata poligami dalam arti terbatas itu, tetapi juga karena poliandri tidak dikenal dalam masyarakat beradab, apalagi masyarakat Indonesia. Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki? Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik kalau enggan berkata lebih buruk daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Namun demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu ? Seandainya mereka dahulu atau kini tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit. Agaknya poligami marak pada masa lalu karena nurani dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini rasa keadilan berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan

pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang. POLIGAMI & AGAMA-AGAMA Secara umum dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agamaagama. Dalam Perjanjian Lama misalnya disebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Baca Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya. Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur. Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stess atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baikbaik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan sehingga bisa saja diterima atau ditolak sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya. ISLAM dan POLIGAMI Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nis[4}: 3 ). Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan. Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda apalagi Tuhan menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti. Kedua, firman-Nya jika kamu takut mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami. Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja? Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot.

Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu. Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudhrat yang bukan saja menimpa isteriisteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak. Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan. Di sini kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, maka kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami. TUJUAN & TALI TEMALI PERKAWINAN Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai aqd nikah. Kata aqd berarti ikatan, sedang nikh berarti penyatuan. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Karena itu, yang bersemai mawaddah dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Kedua, Rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan. Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri

tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi, juga ada unsur lain katakanlah kelahiran anak yang menjadikan mawaddah mengalami erosi . Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan. Rahmat walau tanpa cinta mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya, maka rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan tersebut. Ketika itu, si suami akan berkorban demi mawaddah dan kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan menutup mata. Ketiga, Amanah. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata aman, yang bermakna tenteram. Juga, sama dengan kata iman yang berarti percaya. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu. Isteri adalah amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa. Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah (ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa keadilannya. Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwl Asy-Syakhshiyyah menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan. Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu. Yang ingin penulis kemukakan dengan kutipan di atas, bahwa banyak jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya.

KAWIN SIRRI Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan, tapi bila berpusa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan. Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan. Dengan diumumkannya perkawinan, maka tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam. Demikian. Wa Allah Alam, Semoga bermanfaat. Sumber : Dari Note Sahabat kami, Gus Im (Imam Puji Hartono)-Jakarta, 2 Maret 2010, setelah proses sunting tanpa izin dari dari makalah M. Quraish Shihab pada Semiloka Sehari Poligami di Mata Kita yang diselenggarakan di Denpasar oleh BKOW Daerah Bali pada tanggal 26 Mei 2007 dalam rangka Hari Kartini.

Anda mungkin juga menyukai