Anda di halaman 1dari 26

Konsep Pernikahan dalam Islam

Juli 1, 2007 at 1:15 pm 103 komentar

Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.

KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam
kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak
kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup,
hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan
bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.
Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena
dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang
kemudian dari persilangan syar’itersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran
bumi ini menjadi semakin semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan
penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat
yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta’an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya
menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah
tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam
mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul
amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah
sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-
sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan.
Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta
memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh
Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-
aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu
tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia
berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah
(naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan
syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami.
Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras
kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku
dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan
beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya,
akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin
selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan
taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari
dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata
Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak
mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas
dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya
hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan
rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan,
namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara
dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun
spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti
melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut
miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan
manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila
punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki
kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba
yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits
Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama
hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah
daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara
orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan
diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan
kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan
pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari
kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu
lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup
menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin
membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa
di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja.
Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan
adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan
terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status
sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya.
Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda
dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah
telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan
(tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada
kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut
pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih
yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat
keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan
mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi :
“Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits
Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani
Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk
generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi
isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena
pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan
yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai
dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain
(Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi
No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti
makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk
makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-
orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1.
Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai
masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah
dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang
memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama
mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin
Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi
Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena
riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam,
maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat
setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti
mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di
Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan
Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib
nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin
Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam
melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan
melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
(Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang
mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudah-
mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia
mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183,
Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki
dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari
semuanya. 7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta)
dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah
tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan
dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup
tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal,
maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib
meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah
kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.
===================================================================
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat
gandakan pahala baginya.
(QS.At-Thalaq:2-6)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
(QS.Ali-Imraan:102)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pernikahan


Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari
segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang
berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul".
Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah
ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi
ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad
nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan
(antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan
Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian
Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para
Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua
orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu
mudahnya mengucapkan kata cerai.
Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak
istrinya dengan firmannya : "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah
berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian
perjanjian yang berat "Mitsaqon gholizho"." (Q.S An-Nisaa : 21).Aqad nikah dapat menjadi sunnah,
wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena :
1. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan :
a. Siap dan mampu menjalankan keinginan biologi,
b. Siap dan mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.
2. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk
menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah
mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Q.S An-Nur : 33.
3. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walo
seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu
menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah
tangga.
4. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya
juga keturunannya.
Sebaiknya sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk memastikan dengan benar, bahwa kita
dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila yang mengidap penyakit berbahaya meneruskan
pernikahannya, dia akan mendapat dosa karena dengan sengaja menularkan penyakit kepada
pasangannya.
Bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib dan sunnah, berarti dia telah
melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila perjanjian itu dilanggar, Allah akan mengutuknya.
Apabila perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan dimuliakan oleh Allah SWT, dan
ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah.

2.2 Anjuran Untuk Menikah


“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nuur : 32)
Ayat di atas menganjurkan kepada umat Islam untuk menikah, dan Allah SWT menegaskan
bahwa menikah bukanlah sebagai penyebab sebuah kemiskinan. Menikah adalah pembuka dari pintu-
pintu rizki dan membaawa berkah dan rahmah dari Allah. Dengan menikah, Allah akan menambah rizki
dan karuniaNya terhadap hambanya yang yakin terhadap Ayat-ayat Allah.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk
membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-
sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata
:"Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Barangsiapa menikah, maka
ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam
memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim].
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan
cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil
(menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang
harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah
serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang
bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang
benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan,
dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman,
dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya,
juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua
keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana
dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi
pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader
perjuangan dakwah masa depan.

2.3 Tujuan Pernikahan


Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu
sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek
kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum
muslimin dan eksistensi umat Islam.

2.3.1 Membentengi Martabat Manusia dari Perbuatan Kotor dan Keji


Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan
meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga
sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Wahai para pemuda!
Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih
Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

2.3.2 Rumah Tangga Yang Islami


Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh
karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami. Rumah tangga
yang islami adalah rumah tangga yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam secara total
(kaffah)

2.3.3 Karena Menikah itu Ibadah


Sebagai seorang manusia yang sadar betul kehambaanya, manusia harus mengabdi dan
memberikan hidupnya hanya kepada Allah dan selalu menghabiskan hari-harinya dengan ibadah kepada
Allah semata. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan
amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain.

2.3.4 Mencari Keturunan Yang Shalih


Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah
berfirman : "Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu
dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" [An-Nahl : 72].
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan
bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang
benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak
Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan
karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan
mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

2.4 Calon Pasangan Yang Ideal


a). Harus Kafa’ah
b). Shalihah

2.4.1 Kafa’ah Menurut Konsep Islam


Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang
tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan
agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang
sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk
mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut
Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan
dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab,
miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat :
13). “Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang
paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-
Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan
adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal :
Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah
kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”.
(Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
2.4.2 Kriteria Memilih Calon Suami dan Istri Yang Salihah
1). Kriteria Calon Istri yang Shalihah
* Beragama islam (muslimah). Ini adalah syarat yang utama dan pertama.
* Memiliki akhlak yang baik. Wanita yang berakhlak baik insya Allah akan mampu menjadi
ibu dan istri yang baik.
* Memiliki dasar pendidikan Islam yang baik. Wanita yang memiliki dasar pendidikan
Islam yang baik akan selalu berusaha untuk menjadi wanita sholihah yang akan selalu dijaga oleh Allah
SWT. Wanita sholihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
* Memiliki sifat penyayang. Wanita yang penuh rasa cinta akan memiliki banyak sifat
kebaikan.
* Sehat secara fisik. Wanita yang sehat akan mampu memikul beban rumah tangga dan
menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik.
* Dianjurkan memiliki kemampuan melahirkan anak. Anak adalah generasi penerus yang
penting bagi masa depan umat. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita
yang mampu melahirkan banyak anak.
* Sebaiknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah
menikah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan lain.

2). Kriteria Calon Suami yang Shalihah

 Beragama Islam (muslim). Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk dapat
selamat di dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
 Memiliki akhlak yang baik. Laki-laki yang berakhlak baik akan mampu membimbing
keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
 Sholih dan taat beribadah. Seorang suami adalah teladan dalam keluarga, sehingga tindak
tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
 Memiliki ilmu agama Islam yang baik. Seorang suami yang memiliki ilmu Islam yang baik
akan menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara memperlakukan istri,
mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah
tangga secara halal dan baik.
2.5 Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih.

2.5.1 Mengenal calon pasangan hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal
terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki
yang berhasrat menikahinya.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya,
asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan.
Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita
ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan
setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-
menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf,
yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin
Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara
seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang
laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah
diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang
ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi
dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita,
antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya
untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah
kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ض َوق ْلنَ قَ ْوالً َم ْعروفًا‬


ٌ ‫ط َم َع الَّذِي فِي قَ ْل ِب ِه َم َر‬
ْ َ‫ض ْعنَ ِب ْالقَ ْو ِل فَي‬
َ ‫فَالَ ت َ ْخ‬

Artinya:“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan
jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

2.5.2 Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)


Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:

َ َّ‫صعَّدَ الن‬
‫ظ َر‬ َ َ‫ فَن‬.‫ ِجئْت أَهَب لَ َك نَ ْفسِي‬،ِ‫يا َ َرس ْو َل هللا‬
َ َ‫ظ َر ِإلَ ْي َها َرس ْول هللاِ صلى هللا عليه وسلم ف‬
َ ْ‫طأ َ َرس ْول هللاِ صلى هللا عليه وسلم ًرأ‬
‫سه‬ َ ْ ‫طأ‬
َ ‫ ث َّم‬،‫ص َّوبَه‬
َ ‫فِ ْي َها َو‬

Artinya: “Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan
pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087
dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan
baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menasihatinya:

ِّ ِ ‫ َي ْعنِي ال‬،‫ش ْيئًا‬


‫صغ ََر‬ َ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ فَإ ِ َّن ِفي أَعْي ِن ْاْل َ ْن‬،‫ا ْنظ ْر ِإلَ ْي َها‬

Artinya:“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau
maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang
kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ فَإِنَّه أ َ ْح َرى أ َ ْن يؤْ دَ َم بَ ْينَك َما‬،‫ا ْنظ ْر إِلَ ْي َها‬


Artinya:“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan
hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga
tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia
tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki
pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita,
maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.”
Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau
adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ْ ‫ فَالَ َبأ‬،ٍ‫ط َبةَ ْام َرأَة‬


‫س أ َ ْن يَ ْنظ َر ِإلَ ْي َها‬ ْ ‫ئ ِخ‬ ِ ‫ِإذَا أ َ ْلقَى هللا في ِ قَ ْل‬
ٍ ‫ب ا ْم ِر‬

Artinya:“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka
tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun
si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ْ ‫ فَالَ جنَا َح َعلَ ْي ِه أ َ ْن يَ ْنظ َر ِإلَ ْي َها ِإذَا َكانَ ِإنَّ َما يَ ْنظر ِإلَ ْي َها ِل ِخ‬،ً‫ب أ َ َحدكم ْام َرأَة‬
‫ َوإِ ْن‬،‫طبَتِ ِه‬ َ ‫ط‬َ ‫ِإذَا َخ‬
‫َت الَ ت َ ْعلَم‬ْ ‫َكان‬

Artinya: “Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya
melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak
mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa
seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak
menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si
wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh
melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya.
(Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari
9/158)

2.5.3 Khithbah (peminangan)


Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang
wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

ْ ‫الرجل َعلَى ِخ‬


‫طبَ ِة أ َ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح أ َ ْو يَتْر َك‬ َّ ‫الَ يَ ْخطب‬

Artinya:“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-
Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

ْ ‫ب َعلَى ِخ‬
‫ط َب ِة أ َ ِخ ْي ِه‬ َ ‫ فَالَ َي ِح ُّل ِل ْلمؤْ ِم ِن أ َ ْن َي ْبتَا‬،‫ْالمؤْ ِمن أَخو ْالمؤْ ِم ِن‬
َ ‫ع َعلى بَيْعِ أ َ ِخ ْي ِه َوالَ َي ْخط‬
‫َحتَّى َيذَ َر‬

Artinya:“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya
menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang
telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta
pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi
permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama
membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi,
2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan
dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan
berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah
seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

2.5.4 Akad nikah


Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan
dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama
si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal
dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

‫ت‬ َ ‫ َونَع ْوذ ِباهللِ ِم ْن شر ْو ِر أ َ ْنف ِسنَا َو‬،‫ِإ َّن ْال َح ْمدَ ِلِلِ ن َْح َمده َونَ ْست َ ِعيْنه َونَ ْست َ ْغ ِفره َونَتوب ِإلَ ْي ِه‬
ِ ‫س ِيِّئَا‬
َ‫ َوأ َ ْش َهد أَالَّ ِإلَهَ إالَّ هللا َو ْحدَه ال‬،‫ِي لَه‬ َ ‫ض ِل ْل فَ َال هَاد‬ ْ ‫ َو َم ْن ي‬،‫ض َّل لَه‬ ِ ‫ َم ْن َي ْه ِد ِه هللا فَالَ م‬،‫أ َ ْع َما ِلنَا‬
‫ َوأ َ ْش َهد أ َ َّن م َح َّمدًا َعبْده َو َرس ْوله‬،‫ش َِري َْك لَه‬.
102 :‫ (آل عمران‬. َ‫)يَاأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا اتَّقوا هللاَ َح َّق تقَاتِ ِه َوالَ تَموت َّن ِإالَّ َوأ َ ْنت ْم م ْس ِلمون‬
ً‫ث ِم ْنه َما ِر َجاال‬ ِ ‫يَاأَيُّ َها النَّاس اتَّقوا َربَّكم الَّذِي َخلَقَك ْم ِم ْن نَ ْف ٍس َو‬
َّ َ‫احدَةٍ َو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬
1 :‫ (النساء‬.‫رقِيبًا‬ َ ‫ام ِإ َّن هللاَ َكانَ َعلَيْك ْم‬َ ‫سا َءلونَ ِب ِه َو ْاْل َ ْر َح‬َ َ ‫سا ًء َواتَّقوا هللاَ الَّذِي ت‬ ً ِ‫) َكث‬
َ ِ‫يرا َون‬
َ
ِ‫ص ِل ْح لَك ْم أ ْع َمالَك ْم َو َي ْغ ِف ْر لَك ْم ذنو َبك ْم َو َم ْن ي ِطع‬ ْ ‫ ي‬.‫سدِيدًا‬ َ ً‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا اتَّقوا هللاَ َوقولوا قَ ْوال‬
71-70 :‫ (اْلحزاب‬.‫ظي ًما‬ ِ ‫)هللاَ َو َرسولَه فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا َع‬

2.5.5 Walimatul ‘urs


Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi
pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa
dirinya telah menikah:

ٍ‫أ َ ْو ِل ْم َولَ ْو بِشَاة‬

Artinya:“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-
Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-
istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
ٍ‫ أ َ ْولَ َم ِبشَاة‬،‫َب‬ َ ‫سائِ ِه َما أ َ ْولَ َم َع‬
َ ‫لى زَ ْين‬ َ ِ‫َيءٍ ِم ْن ن‬
ْ ‫لى ش‬ ُّ ‫َما أ َ ْولَ َم النَّ ِب‬
َ ‫ي صلى هللا عليه وسلم َع‬
Artinya:“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-
istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih
kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

2.5.6 Setelah Akad


Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui
istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium
aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini
lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari
perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui
istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan
dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman
ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau
segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.”
Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458
secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari
mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫س ِ ِّم هللاَ عز وجل َو ْليَ ْدع ِب ْالبَ َر َك ِة‬ ِ ‫ِإذَا ت َزَ َّو َج أ َ َحدكم ْام َرأَة ً أ َ ِو ا ْشت َ َرى خَا ِد ًما فَ ْليَأْخ ْذ ِبن‬
َ ‫َاصيَتِ َها َو ْلي‬
‫ اللِّه َّم إِنِِّي أ َ ْسأَل َك ِم ْن َخي ِْرهَا َو َخي ِْر َما َجبَ ْلت َ َها َعلَ ْي ِه َوأَع ْوذ بِ َك ِم ْن ش ِ َِّرهَا َوش ِ َِّر َما َجبَ ْلت َ َها‬:‫َو ْليَق ْل‬
‫َعلَ ْي ِه‬

Artinya:“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka
hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan
keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa
yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan
kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi
baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid
Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku
mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud,
Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa
demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam
keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui
istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya
dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata
dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

2.6 Pernikahan yang Dilarang dalam Islam


Islam melarang beberapa bentuk pernikahan, Insya Allah penulis akan menyampaikan beberapa
pernikahan yang dilarang dalam ajaran agama Islam :

2.6.1 Nikah Mut’ah


Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenag-
bersenang dan hanya untuk jangka waktu tertentu saja, mungkin dapat diistilahkan dengan ungkapan
nikah kontrak.
Pada awalnya nikah ini diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, karena pada saat itu kaum muslimin
sedang mengalami peperangan yang berkepanjangan dan jauh dari isteri mereka, pertimbangannya agar
kaum muslimin yang berada di medan peperangan terhindar dari bahaya dan kehinaan zina.
Setelah itu Rasulullah SAW melarang pernikahan jenis ini, karena dikhawatirkan terdapat unsure
pelecehan terhadap wanita, dan tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.

2.6.2 Nikah Muhallil


Nikah Muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seseorang laki-laki terhadap perempuan yang
telah di talak tiga, dengan maksud agar mantan suaminya yang mentalak isterinya tadi dapat menikahinya
lagi.
Nikah seperti ini dilarang oleh agama, bahkan dilaknak oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW bersabda : “Dari Ibnu Mas’ud ia berkata : Rasulullah SAW mengutuk laki-laki
yang Muhallil dan Muhallal Lahu (HR.Tarmidzi dan Nasai).

2.6.3 Pernikahan Silang ( Beda Agama )


Pernikahan silang adalah pernikahan lintas agama atau pernikahan antara laki-laki dan perempuan
yang berbeda keyakinan dan berbeda agama. Dan Islam melarang pernikahan silang ini seperti yang
disebutkan dalam firman Allah :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.(QS. Al Baqarah : 221)

2.6.4 Pernikahan Khadan


Khadan mempunyai arti gundik atau piaraan, baik laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai
gundiknya atau sebaliknya. Pernikahan Khadan merupakan tradisi jahiliyah dan di dunia modern istilah
khadan berganti dengan istilah “kumpul kebo”. Pernikahan atau cara yang seperti ini dilarang oleh agama
dan melecehkan nilai-nilai dari rumah tangga yang sacral dan suci.

2.7 Hikmah Pernikahan


Keluarga dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap
manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan
mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah tujuan luhur.
Seorang manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang
dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T. berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”
Pun seseorang—laki-laki maupun perempuan—dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan
memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W.
bersabda,
“Wahai para pemuda, kalau ada di antara kalian yang sudah mampu menikah, segeralah menikah.
Sebab, pernikahan bisa menahan penglihatan dan menjaga kemaluan. Tapi, kalau ada yang belum
mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah peredam gejolak syahwat.”

2.7.1 Meninggikan Harkat dan Martabat Manusia.


Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa
melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu
yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang
menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang
apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.

2.7.2 Memuliakan Kaum Wanita.


Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali
oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat
memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.

2.7.3 Cara untuk Melanjutkan Keturunan.


Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan
mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah
keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh
sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang.

2.7.4 Wujud Kecintaan Allah SWT.


Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara kepada mahkluk-Nya
untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud kecintaan itu,
dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan.
Allah menjadikan mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta
dan kasih sayang.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Allah berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan
diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". [QS. Ar Ruum : 21].
Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita dalam
suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama dalam usaha mencar rumah tangga yang ideal. Rumah
tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa),
Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-
masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan
perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat
kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu
mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan
bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.

3.2 Saran
 Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat mebentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah, dunia dan akhirat.
 Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru, yang kedepannya
diharapkan mempunyai kehidupan dan masadepan yang lebih baik.
 Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera keluarga, kehidupan diharapkan menjadi
lebih bermakna, dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di
jalan Allah. Amin!

MACAM/JENIS/BENTUK PERKAWINAN/PERNIKAHAN - POLIGINI, POLIANDRI, ENDOGAMI,


EKSOGAMI, DLL
godam64 03:19 Komentari

Perkawinan atau pernikahan merupakan legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama,
pemerintah atau kemasyarakatan. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk perkawinan beserta pengertian / arti definisi :

A. Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Istri / Suami

1. Monogami

Monogami adalah suatu bentuk perkawinan / pernikahan di mana si suami tidak menikah dengan perempuan lain dan si isteri tidak
menikah dengan lelaki lain. Jadi singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita tanpa ada
ikatan penikahan lain.

2. Poligami

Poligami adalah bentuk perkawinan di mana seorang pria menikahi beberapa wanita atau seorang perempuan menikah dengan
beberapa laki-laki.

Berikut ini poligami akan kita golongkan menjadi dua jenis :


a. Poligini : Satu orang laki-laki memiliki banyak isteri.
Disebut poligini sororat jika istrinya kakak beradik kandung dan disebut non-sororat jika para istri bukan kakak adik.
b. Poliandri : Satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik
kandung.

B. Bentuk Perkawinan Menurut Asal Isteri / Suami

1. Endogami

Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama.

2. Eksogami
Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogami dapat dibagi
menjadi dua macam, yakni :

a. Eksogami connobium asymetris terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau penerima gadis seperti
pada perkawinan suku batak dan ambon.

b. Eksogami connobium symetris apabila pada dua atau lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda.

Eksogami melingkupi heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda seperti misalnya
anak bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan antara kelas golongan sosial yang sama seperti
contoh pada anak saudagar / pedangang yang kawin dengan anak saudagar / pedagang.

C. Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan Persepupuan

1. Cross Cousin

Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang berbeda jenis kelamin.

2. Parallel Cousin

Cross Cousin adalah bentuk perkawinan anak-anak dari kakak beradik yang sama jenis kelaminnya.

D. Bentuk Perkawinan Menurut Pembayaran Mas Kawin / Mahar

Mas kawin adalah suatu tanda kesungguhan hati sebagai ganti rugi atau uang pembeli yang diberikan kepada orang tua si pria atau
si wanita sebagai ganti rugi atas jasa membesarkan anaknya.

1. Mahar / Mas Kawin Barang Berharga


2. Mahar / Mas Kawin Uang
3. Mahar / Mas Kawin Hewan / Binatang Ternak, dan lain-lain.

BENTUK PERNIKAHAN
Pernikahan ialah legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri oleh institusi agama, pemerintah
atau kemasyarakatan. Dan pernikahan mempunyai banyak bentuk beserta pengertiannya, diantaranya ialah:

1. Bentuk Pernikahan Menurut Jumlah Istri atau Suami

a. Monogami

Monogami ialah suatu bentuk pernikahan yang dimana sang suami tidak menikah dengan perempuan lain dan sang
istri tidak menikah dengan laki-laki lain. Jadi singkatnya monogami yaitu nikah antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita tanpa adanya ikatan pernikahan lain.

b. Poligami

Poligami ialah bentuk pernikahan dimana seorang laki-laki menikahi beberapa orang wanita atau seorang perempuan menikah
dengan beberapa orang laki-laki. Dan poligami terbagi menjadi 2 jenis yaitu:

 Poligini yaitu satu orang laki-laki memiliki banyak isteri. Disebut dengan poligini sororat jika istrinya kakak beradik
kandung dan disebut non-sororat jika para istri bukan kakak adik.

 Poliandri yaitu satu orang perempuan memiliki banyak suami. Disebut poliandri fraternal jika sang suami beradik kakak
dan disebut non-fraternal jikasuami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.

2. Bentuk Pernikahan Menurut Asal Isteri atau Suami

a. Endogami
Endogami ialah suatu pernikahan antara etnis, klan, suku, kekerabatan didalam lingkungan yang sama.

b. Eksogami
Eksogami ialah suatu pernikahan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang
berbeda. Dan eksogami dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

 Eksogami connobium asymetris terjadi apabila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau
penerima gadis seperti pada pernikahansuku batak dan ambon.

 Eksogami connobium symetris terjadi apabila pada dua atau lebih lingkungan yang saling tukar-menukar
jodoh bagi para pemuda.

Eksogami terdiri dari 2 macam yaitu heterogami dan homogami. Heterogami ialah pernikahan antar kelas
sosial yang berbeda statusnya seperti anak bangsawan yangmenikah dengan anak
petani. Sedangkan Homogami ialah pernikahan antara kelas golongan sosial yang sama statusnya seperti
anak seorang saudagar atau pedangang yang menikah dengan
anak seorang saudagar atau pedagang juga.

3. Bentuk Pernikahan Menurut Hubungan Kekerabatan Persepupuan


a. Cross Cousin
Cross Cousin ialah bentuk pernikahan anak-anak dari kakak beradik yang berbeda dari jenis kelaminnya.
b. Parallel Cousin
Parallel Cousin ialah bentuk pernikahan anak-anak dari kakak beradik yang sama dari jenis kelaminnya.
4. Bentuk Pernikahan Menurut Pembayaran Mas Kawin atau Mahar

Mas kawin ialah suatu tanda kesungguhan hati sebagai ganti rugi atau uang pembeli yang diberikan
kepada orang tua sang lelaki atau sang wanita sebagai ganti rugi atas jasa membesarkan anaknya.

a. Mahar atau Mas Kawin yang berupa Barang Berharga.

b. Mahar atau Mas Kawin yang berupa Uang

c. Mahar atau Mas Kawin yang berupa Hewan atau Binatang Ternak, dan lain-lain.

Hukum Perceraian dalam Islam beserta Dalilnya


Dalam hubungan berumah tangga, pastilah kita mengharapkan hubungan yang langgeng, bahagia dan terus bersama hingga
maut memisahkan. Masalah dalam kehidupan berumah tangga memang pasti ada. Namun, sebagai pasangan suami istri yang
telah berkomitmen di hadapan Allah haruslah berusaha untuk menyelesaikan segala permasalahan rumah tangga bersama-
sama. Sayangnya, dewasa ini makin banyak pasangan suami istri yang merasa bahwa permasalahan mereka tidak akan
terselesaikan kecuali dengan bercerai.
ads

Perceraian atau bisa juga disebut talak adalah pemutusan hubungan suami istri dari hubungan pernikahan yang sah menurut
aturan agama Islam dan negara. Perceraian dianggap sebagai cara terakhir yang bisa diambil oleh pasangan suami istri untuk
menyelesaikan masalah yang mungkin mereka miliki. Padahal tidak menutup kemungkinan jika keputusan bercerai yang
mereka ambil akan membawa masalah berikutnya, terutama ang berkaitan dengan hak asuh anak. Oleh karena itu, sebaiknya
kita sebisa mungkin berusaha untuk mencegah terjadinya perceraian ini.

baca juga:

 Konflik dalam Keluarga


 Keluarga Harmonis Menurut Islam
 Rumah Ideal Menurut Islam
 Muhrim Dalam Islam
 Keluarga Sakinah Dalam Islam

Definisi Perceraian
Menurut syariat Islam, cerai adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.
dengan adanya perceraian ini, maka gugurlah hak dan kewajiban mereka sebagai suami dan istri. artinya, mereka tidak lagi
boleh berhubungan sebagai suami istri, menyentuh atau berduaan, sama seperti ketika mereka belum menikah dulu.

Perceraian berdasarkan al Quran


Islam telah mengatur segala sesuatu dalam al Quran. Tidak hanya aturan dalam beribadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji
dan lain-lain, Islam juga memberi aturan pada manusia dalam kehidupannya bersosialisasi. Bahkan, al Quran juga mengatur
adab dan aturan dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jik ada masalah yang tak terselesaikan dalam rumah tangga
tersebut.

Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membenci perceraian itu. Itu artinya, bercerai adalah pilihan terakhir bagi
pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan keluar lainnya. Dalam surat al Baqarah ayat 227 disebutkan, “Dan jika
mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Ayat tentang
hukum perceraian ini berlanjut pada surat al Baqarah ayat 228 hingga ayat 232.

Dalam ayat-ayat surat al Baqarah di atas, diterangkan aturan-aturan mengenai hukum talak, masa iddah bagi istri, hingga
aturan bagi wanita yang sedang dalam masa iddahnya. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa agama Islam memberi aturan
yang sangat lengkap tentang hukum perceraian. Tentu saja aturan-aturan ini sangat memperhatikan kemaslahatan pihak suami
dan istri dan mencegah adanya kerugian di salah satu pihak.

Tidak hanya di surat al Baqarah, di surat ath-Thalaq ayat 1-7 juga dibahas aturan-aturan dalam berumah tangga. Di situ
disebutkan tentang kewajiban suami terhadap istri hingga bagaimana aturan ketika seorang istri berada dalam masa iddah. Dari
beberapa ayat yang telah dibahas, maka kita ketahui bahwa dalam Islam perceraian itu tidak dilarang, namun harus mengikuti
aturan-aturan tertentu.

baca juga:

 Ibu Rumah Tangga dalam Islam


 Peran Ayah Dalam Keluarga
 Membangun Rumah Tangga Dalam Islam
 Kunci Rumah Tangga Bahagia
 Keluarga Bahagia Menurut Islam

Sponsors Link

Jenis-jenis Cerai
Mungkin sebelumnya kita telah sedikit mengetahui bahwa perceraian atau talak bisa dilakukan oleh suami, atau istri yang
menuntut cerai suaminya. Berikut ini akan dibahas jenis-jenis cerai yang bisa dibedakan dari siapa kata cerai tersebut terucap.

A. Cerai Talak oleh Suami


Perceraian ini yang paling umum terjadi, yaitu si suami yang menceraikan istrinya. Hal ini bisa saja terjadi karena berbagai
sebab. Dengan suami mengucapkan kata talak pada istrinya, masa saat itu juga perceraian telah terjadi, tanpa perlu menunggu
keputusan pengadilan. (Baca juga: Talak)

 Talak Raj’i

Pada talak raj’I, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Suami boleh rujuk kembali dengan istrinya
ketika masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan
akad nikah baru. (Baca juga: Perbedaan Talak Satu, Dua dan Tiga)

 Talak Bain

Talak Baik adalah perceraian dimana suami mengucapkan talak tiga kepada istrinya. Dalam kondisi ini, istri tidak boleh dirujuk
kembali. Suami baru akan boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan berhubungan suami
istri dengan suami yang baru lalu diceraikan dan habis masa iddahnya. (Baca juga: Hukum Talak Dalam Pernikahan)

 Talak Sunni

Talak sunni ini adalah ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya yang masih suci dan belum melakukan hubungan
suami istri saat masih suci tersebut.

 Talak Bid’i

Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun
sudah disetubuhi.

 Talak Taklik

Pada talak taklik, seorang suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab
yang ditentukan itu berlaku, maka terjadilah perceraian atau talak.

B. Gugat Cerai Istri


Berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai istri ini harus menunggu keputusan dari pengadilan. (Baca
juga: Hukum Wanita Minta Cerai)
 Fasakh

Fasakh merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke suami akibat beberapa perkara, antara lain suami
tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan berturut-turut, suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa
kabar, suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah (baik sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya
hubungan suami istri, atau adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya. (Baca juga: Ciri Suami Durhaka Terhadap Istri)

 Khulu’

Adalah perceraian yang merupakan buah kesepakatan antara suami dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari
istri kepada suami. Terkait dengan hal ini terdapat pada surat al Baqarah ayat 229.

baca juga:

 Kewajiban dalam Rumah Tangga


 Tips Mengatur Keuangan Rumah Tangga
 Cara Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga Menurut Islam
 Perselingkuhan dalam Rumah Tangga
 Kewajiban Istri Terhadap Suami dalam Islam

ads

Hukum Perceraian
Hukum perceraian dalam Islam bisa beragam. Berdasarkan akar masalah, proses mediasi dan lain sebagainya, perceraian bisa
bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, hingga haram. Berikut ini akan dibahas perincian hukum perceraian dalam Islam:

1. Perceraian Wajib

Sebuah perceraian bisa memiliki hukum wajib, jika pasangan suami istri tersebut tidak lagi bisa berdamai. Mereka berdua
sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain bercerai untuk menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua orang
wakil dari pihak suami dan istri, permasalahan rumah tangga tersebut tidak kunjung selesai dan suami istri tidak bisa berdamai.
Biasanya, masalah ini akan dibawa ke pengadilan dan jika pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah keputusan
yang terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.

Selain adanya permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, ada lagi alasan lain yang membuat bercerai menjadi wajib
hukumnya. Yaitu ketika si istri melakukan perbuatan keji dan tidak lagi mau bertaubat, atau ketika istri murtad atau keluar dari
agama Islam. Dalam masalah ini, seorang suami menjadi wajib untuk menceraikannya. (Baca juga: Hukum Istri Melawan Suami
Menurut Islam)

2. Perceraian Sunah

Ternyata, perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah ketika terjadi syarat-syarat tertentu. Salah satu penyebab
perceraian menjadi sunnah hukumnya adalah ketika seorang suami tidak mampu menanggung kebutuhan istrinya. Selain itu,
ketika seorang istri tidak lagi menjaga martabat dirinya dan suami tidak mampu lagi membimbingnya, maka disunnahkan untuk
seorang suami menceraikannya. (Baca juga: Hukum Suami Tidak Menafkahi Istri Dalam Islam)

3. Perceraian Makruh

Jika seorang istri memiliki akhlak yang mulia, mempunyai pengetahuan agama yang baik, maka hukum untuk menceraikannya
adalah makruh. Inilah hukum asal dari perceraian. Hal ini dianggap suami tersebut sebenarnya tidak memiliki sebab yang jelas
mengapa harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga mereka sebenarnya masih bisa diselamatkan. (Baca juga: Ciri Istri
Durhaka Terhadap Suami)

4. Perceraian Mubah

Ada beberapa sebab tertentu yang menjadikan hukum bercerai adalah mubah. Misalnya, ketika suami sudah tidak lagi memiliki
keinginan nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah putus haidnya.

5. Perceraian Haram

Ada kalanya perceraian yang dilakukan memiliki hukum haram dalam Islam. Hal ini terjadi jika seorang suami menceraikan
istrinya pada saat si istri sedang haid atau nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat suci tersebut suami telah berjimak
dengan istrinya. Selain itu, seorang suami juga haram untuk menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah istrinya
menuntut hartanya. Tidak hanya itu, diharamkan juga untuk mengucapkan talak lebih dari satu kali.

baca juga:

 Pernikahan Beda Agama


 Pahala Wanita Shalat di Rumah
 Peran Wanita Dalam Islam

Rukun Perceraian
Dalam proses perceraian pun, Islam telah memiliki aturan atau rukun sendiri yang harus dipenuhi. Hal ini merupakan syarat
sahnya perceraian, sehingga jika tidak dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut. Berikut ini adalah rukun
perceraian yang harus diketahui:

 Rukun Perceraian untuk Suami

Perceraian tersebut akan menjadi sah, apabila seorang suami berakal sehat, baligh dan dengan kemauan sendiri. Maka, jika
suami tersebut menceraikan istrinya karena ada paksaan dari pihak lain, seperti orang tua ataupun keluarganya, maka
perceraian tersebut menjadi tidak sah.

 Rukun Perceraian untuk Istri

Sementara itu, seorang istri akan sah perceraiannya, jika akad nikahnya dengan suami sah dan dia belum diceraikan dengan
talak tiga oleh suaminya.

Semoga keluarga kita selalu dalam lindungan Allah, ya!

Talak satu dan dua merupakan talak dimana diperkenankan untuk rujuk kembali atau
kawin kembali antara kedua bekas suami isteri itu. Talak satu dan dua ini disebut juga
sebagai talak raj'i, yakni suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Sedangkan
talak tiga adalah talak dimana jika suami telah menjatuhkan talak tiga kepada
istrinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk mengawininya sebelum
perempuan itu kawin dengan laki-laki lain.

Perbedaannya adalah bagaimana akibat dari masing-masing talak dan bagaimana cara
rujuk atau kawin kembali di antara suami dan istri tersebut. Lalu apakah talak satu, dua,
dan tiga itu harus dijatuhkan secara berurutan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak
dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Arti Talak Secara Umum


Dalam Islam, salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yang
tidak memungkinkan lagi bagi suami istri meneruskan hidup berumah tangga disebut thalaq/talak.
Demikian antara lain yang dijelaskan oleh Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. dalam bukunya Hukum
Perkawinan Nasional (hal. 128).

Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.[1]

Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131 KHI. Pasal 129 KHI
berbunyi:

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di
Pengadilan Agama.

Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah
menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena
tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrullah, akibat dari talak yang dilakukan di luar
pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.

Talak Satu dan Talak Dua


Soal talak satu dan talak dua, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Talak Tiga Karena Emosi,
Lalu Ingin Rujuk Lagi, berpedoman pada pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan
Indonesia (hal. 100), dikatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 mengatur hal talak, yaitu
talak hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara kedua
bekas suami istri itu. Jadi apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya
itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu.

Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami istri antara seorang suami yang telah
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-nya itu dengan cara yang sederhana.
Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu” oleh si suami di hadapan dua orang
saksi laki-laki yang adil. Sedangkan arti kawin kembali ialah kedua bekas suami istri memenuhi
ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan
mereka menjadi suami istri kembali. Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang
selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga (Ibid, hal. 101).

Mengenai talak satu atau talak dua ini disebut juga talak raj’i atau talak ruj’i, yaitu talak yang masih boleh
dirujuk (Ibid, hal. 103) yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 118 KHI yang berbunyi:

“Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa
iddah.”

Jadi, akibat dari talak kesatu dan kedua ini adalah suami istri dapat rujuk atau kawin kembali.

Soal talak raj’i, Sudarsono menjelaskan bahwa (hal. 132-133) pada hakekatnya talak ini dijatuhkan satu
kali oleh suami dan suami dapat rujuk kembali dengan istri yang ditalaknya tadi. Dalam syariat Islam,
talak raj’i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain: talak satu, talak dua dengan menggunakan pembayaran
tersebut (iwadl). Akan tetapi dapat juga terjadi talak raj’i yang berupa talak satu, talak dua dengan tidak
menggunakan iwadl juga istri belum digauli.

Masa Iddah
Adapun yang dimaksud dengan masa iddah (waktu tunggu) adalah waktu yang berlaku bagi seorang istri
yang putus perkawinannya dari bekas suaminya.[2]

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:[3]


a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.

Talak Tiga
Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230, kalau seorang suami telah menjatuhkan talak yang
ketiga kepada istrinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk mengawininya sebelum
perempuan itu kawin dengan laki-laki lain.

Selengkapnya bunyi Surat Al-Baqarah ayat 230:

“Jika dia menceraikan perempuannya (sesudah talak dua kali), maka tiadalah halal perempuan
itu baginya, kecuali jika perempuan itu telah kawin dengan lelaki yang lain. Dan jika diceraikan
pula oleh lelaki lain itu, tiada berdosa keduanya kalau keduanya rujuk kembali, jika keduanya
menduga akan menegakkan batas-batas Allah. Demikian itulah batas-batas Allah,
diterangkannya kepada kaum yang akan mengetahuinya.”

Maksudnya ialah kalau sudah talak tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali antara
pasangan suami isteri pertama. Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan. Maksudnya ialah si istri
harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya itu
sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan. Laki-laki lain itulah yang disebut muhallil. Kalau
pasangan suami istri ini bercerai pula, maka barulah pasangan suami istri semula dapat kawin kembali
(Ibid. hal. 101-102).

Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui dalam Pasal
120 KHI yang berbunyi:

“Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis
masa iddahnya.”

Soal talak tiga ini, Sudarsono menjelaskan bahwa (hal. 128-129) perempuan yang telah dijatuhi talak tiga
ini harus sudah menikah dengan laki-laki lain kemudian bercerai. Dalam keadaan demikian, perempuan
tadi tidak dilarang dinikahi lagi oleh laki-laki bekas suami pertama; hukum perkawinan tersebut tetap
halal.

Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa apabila terjadi seorang diupah oleh bekas suaminya pertama
agar menikah dengan bekas istrinya, kemudian mentalaknya dan oleh karena sesudah ditalak oleh laki-
laki yang diberi upah itu, bekas suami pertama (yang mengupah) mengawini perempuan itu lagi. Keadaan
seperti ini tidak dibenarkan di dalam syari’at Islam.

Waktu Penjatuhan Talak, Haruskah Berurutan?


Apabila seorang istri dijatuhkan talak satu atau talak dua oleh suaminya, maka suami istri tersebut
diperintahkan tetap tinggal satu rumah. Demikianlah ajaran islam, karena dengan demikian suami
diharapkan bisa menimbang kembali dengan melihat istrinya yang tetap di rumah dan mengurus
rumahnya. Demikian juga istri diharapkan mau ber-islah karena melihat suami tetap memberi nafkah dan
tempat tinggal. Demikian berdasarkan informasi dari dalam artikel Baru Talak Satu Dan Dua, Jangan
Segera Berpisah, Ia Masih Istrimu! yang kami akses dari laman muslimafiyah.com, situs berinfokan
agama Islam dan kesehatan yang diasuh dokter Raehanul Bahraen.

Lalu timbul pertanyaan, apakah talak satu, dua, dan tiga ini harus dijatuhkan berurutan atau akumulatif?

Sebagai contoh yang kami dapatkan dari laman tausyiah275.wordpress.com -blog berisikan kumpulan
tausiyah atau nasehat keagamaan- dalam tulisan Penjelasan Mengenai Talak 1, 2, dan 3, misalkan suami
(A) dan istri (B) menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut talak 1. Setelah 4 bulan, mereka rujuk. Lalu
karena satu dan lain hal, A kembali mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih
boleh rujuk dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis menjadikan talak 3 telah jatuh,
maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B menikah dahulu dengan X, berhubungan intim, lalu si
X mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis masa iddahnya.

Kemudian pertanyaan lain, bolehkah sekali talak langsung talak 3? Masih bersumber dari laman yang
sama, pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” pada Al Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 229, banyak ulama yang berpendapat bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan setelah 2 kali talak dan 2
kali rujuk.

Meski demikian, ada yg berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak 3 dengan merujuk pada hadits:

“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan
talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa
dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak
itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa
mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap
dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim no 1472)

Merujuk pada hadits di atas, boleh saja seorang suami langsung menjatuhkan talak 3 sekaligus. Namun,
seperti yang Umar katakan, bahwa perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yang tergesa-gesa dan tidak
sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2 kali talak dan 2 kali rujuk.

Jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari menyesal dan ingin rujuk, maka
seperti penjelasan di atas, TIDAK DIPERBOLEHKAN RUJUK kecuali si istri telah menikah dengan
orang lain, disetubuhi suami barunya, dan diceraikan (ditalak).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai