Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
I.I

Latar Belakang
Pada dasarnya fitrah manusia telah mengakui tentang adanya Tuhan,

walaupun ia sendiri telah menyatakan diri sebagai seorang atheis atau komunis.
Seorang atheis dan komunis mengatakan tidak ada Tuhan yang berarti, dibalik
ucapanya itu ia mengatakan ada Tuhan tetapi dalam ketiadaanya. Ketika pecah perang
dunia kedua ada suatu ungkapan yang popular bahwa didalam lubanglubang
perlindungan tidak ada penganut atheism. Ungkapan ini berarti bahwa jika manusia
terjebak dalam situasi yang membahayakan jiwanya, tentu ia mengakui adanya
Tuhan.
Beriman bahwa Tuhan itu ada adalah iman yang paling utama. Jika seseorang
sebagai seorang manusia sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu benar- benar ada,
maka sesungguhnya orang itu dalam kesesatan yang nyata. Namun sering kita
bertanya benarkah Tuhan itu ada? Padahal kita tidak pernah sama sekali melihat
Tuhan. Kita juga tidak pernah sama sekali bercakap-cakap dengan Tuhan. Karena itu,
tidak heran jika orang-orang atheist menganggap Tuhan itu tidak ada. Cuma khayalan
orang-orangbelaka.
Munculnya berbagai pertanyaan tentang Tuhan merupakan pencerminan
kebutuhan manusia kepada Tuhan, kelemahan manusia dalam mengatasi persoalanya
sendiri, dan juga ketidakmampuan manusia dalam mempersepsi dirinya sendiri.
Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang pengertian Tuhan
dan bukti-bukti adanya Tuhan.
Pada makalah ini juga dibahas mengenai Tauhid sebagai konsep dasar
ketuhanan islam. Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah, Uluhiyah, dan

Asma wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa Arab wahhada-yuwahhidutauhiidan, artinya mengesakan atau menunggalkan dari sekian banyak yang ada.
Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari mengenai kepercayaan tentang
Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti termasuk didalamnya soal wujudNya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh mengatakan bahwa, ilmu
tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan wujud Tuhan, sifat-sifat yang
mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak
mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan
mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak
mungkin terdapat pada mereka.
II.II

Rumusan Masalah
Makalah ini akan berfokus pada rumusan masalah sebagai berkut:

1. Bagaimana konsep Tuhan dan bukti eksistensi-Nya dalam islam dan


kefilsafatan?
2. Apa dalil yang mendukung eksistensi Tuhan?
3. Mengapa tauhid menjadi dasar dalam konsep ketuhanan islam?

II.III

Tujuan
Penulisan makalah ini dengan bertujuan untuk:

1. Menelaah dan mencermati eksistensi Tuhan demi meningkatkan iman


2. Mengetahui dalil-dalil tentang eksistensi Tuhan
3. Mengetahui arti tauhid dalam agama islam

BAB II
PEMBAHASAN
II.I Eksistensi Tuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang di yakini, di
puja , di sembah oleh manusia , sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan lain
sebagai nya. Kalimat Tuhan dapat di pergunakan untuk apa saja yang dipuja dan
disembah oleh manusia. baik persembahan yang benar atau yang salah. Dalam AlQur'an Allah Berfirman:"





Artinya: "Maka pernahkah kamu melihat, orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai ilahnya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya,
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk, sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." (Q.S AlJaatsiyah 45:23)
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Firaun untuk dirinya
sendiri: Dan Firaun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun
benda nyata (Firaun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam
Al-Quran

juga

dipakai

dalam

bentuk

tunggal

(mufrad:

ilaahun),

ganda

(mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak

mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Selanjutnya, kalimat" Tuhan" itu dapat di artikan dan di pergunakan untuk
menamakan persembahan yang sebenarnya. Iyalah Tuhan pencipta alam semesta, ini
tercantum dalam Al-Qur'an.
Firman Allah :

Artinya: Maka ketahuilah!! bahwasanya " tidak ada Tuhan selain dari Allah". dan
mohonlah ampunan (dari-Nya) semua kesalahanmu dan kesalahan orang-orang
yang beriman baik pria maupun wanita ! Allah Maha Mengetahui tempat bekerjamu
dan tempat istirahatmu" (Q.S. Muhammad : 19 )"
Dalam upaya kita mengetahui hakikat keberadaan Tuhan, yang harus kita ketahui
bukanlah apa yang seyogyanya merupakan benda semata, akan tetapi apa yang
sesungguhnya ada. Tuhan itu Maha Ada. Dia ada dari diri-Nya sendiri, Self Existent.
Tuhan tidak bergantung pada sesuatu yang lain demi menjadi Tuhan. Sementara kita
berada karena Tuhan telah menciptakan kita. Tuhan berada karena Ia ada.
Tuhan bersifat abadi, tanpa awal dan akhir. Tuhan selalu berada di mana-mana.
Kemanapun dan dimanapun kita berada, Tuhan akan selalu menyertai kita. Tiada
sedikit pun ruang tanpa kehadiran-Nya. Kita juga tidak perlu mencari dimana Dia
berada, yang diperlukan hanyalah kesadaran kita akan hakikat keberadaan-Nya dan
bukti-bukti Kekuasaan-Nya. Menurut para agamawan, apabila kita masih belum juga

menyadari kehadiran-Nya, mungkin mata hati kita yang masih tertutup, sehingga kita
tidak menyadari kehadiran-Nya. Padahal Tuhan itu sangat dekat dengan kita, bahkan
lebih dekat dari pada urat leher kita!
Dengan demikian, tanpa melihat dzat-Nya yang Maha Agung, kita telah dapat
mengungkap hakikat keberadaan-Nya melalui segala ciptaan-Nya yang ada, tidak
terkecuali pada diri kita sendiri. Begitu banyak hal yang dapat kita jadikan bukti akan
hakikat keberadaan-Nya. Apa yang ada pada diri kita sendiri dan semua yang ada di
alam semesta ini, tanpa kecuali, dapat dijadikan bukti akan hakikat keberadaan-Nya.
Tuhan telah memberikan bekal kepada manusia berupa akal, dan dengan akal itu
manusia dapat memikirkan segala hal yang ada di dalam kehidupannya, sampai
akhirnya dia dapat mengetahui tentang hakikat adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya?
Kemudian Tuhan melengkapinya dengan menurunkan wahyu-wahyu-Nya kepada
beberapa manusia pilihan-Nya (rasul), untuk kemudian disampaikan kepada umat
manusia lainnya sebagai petunjuk jalan yang benar. Jadi melalui keduanya, baik akal
maupun agama, kita akan dapat mengetahui hakikat keberadaan-Nya.
Seorang filsuf, Al-Ghazali, juga telah mengemukakan hubungan saling
keterkaitan antara agama dan akal. Menurutnya, agama dan akal bagaikan cahaya dan
mata. Cahaya tak akan banyak berguna bila dilihat dengan mata tertutup, sebaliknya
mata akan tertipu dan tak berdaya bila melihat tanpa cahaya. Jadi, Tuhan memberikan
akal agar manusia dapat memahami agama dengan benar dan menghadirkan agama
sebagai petunjuk jalan yang benar bagi manusia dalam menggunakan akalnya.
Oleh karena itu, bagi kita yang telah percaya akan keberadaan-Nya sebagai Sang
Pencipta alam semesta yang maha luas ini, maka tidaklah cukup bagi kita dengan
hanya percaya bahwa Tuhan itu sesungguhnya memang ada. Akan tetapi kita juga
meyakini-Nya sebagai satu-satunya yang dapat dipertuhankan, serta tidak
memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apapun yang lain.

Atas segala nikmat dan anugerah-Nya pula, sudah sepantasnya kita bersyukur,
berserah diri, dan melaksanakan segala perintah-Nya dengan penuh cinta dan
keikhlasan hanya kepada-Nya. Kita pun wajib menjauhi segala larangan-Nya dengan
penuh ketaatan.
Kita menyembah-Nya bukan karena mengharapkan pahala seperti para pedagang
yang selalu melakukan sesuatu atas dasar untung-rugi. Kita menjauhi segala laranganNya, juga bukan karena rasa takut akan neraka seperti para budak yang melakukan
sesuatu agar tidak dimarahi majikannya, akan tetapi kita melakukannya semata-mata
karena rasa syukur dan cinta kita kepada-Nya.
Sebagaimana yang telah kita pahami, salah satu penghayatan doktrin agama
adalah bahwa Tuhan itu Omnipresent, Maha Dekat, sehingga segala tindakan yang
tidak terpuji, tidak akan pernah kita lakukan, apabila kita telah menyadari bahwa
Tuhan itu Maha Dekat, mengawasi, dan bersama kita setiap saat, di manapun kita
berada.
Adanya Allah swt adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang
kebenarannya telah diakui, tanpa perlu pembuktian yang bertele-tele). Namun, di sini
akan dikemukakan dalil-dalil yang menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk
memberikan pengertian secara rasional. Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa
Taala Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah,akal,syara,dan indera.
1. Dalil Fitrah
Manusia diciptakan dengan fitrah bertuhan, sehingga kadangkala disadari atau
tidak, disertai belajar ataupun tidak naluri berketuhanannya itu akan bangkit. Firman
Allah

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam


dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Al-Araf:172)



Artinya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan sesungguhnya kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Al
Bukhari)
Ayat dan hadis tersebut menjelaskan kondisi fitrah manusia yang bertuhan.
Ketuhanan ini bisa difahami sebagai ketuhanan Islam, karena pengakuannya bahwa
Allah swt adalah Tuhan. Selain itu adanya pernyataan kedua orang tua yang
menjadikannya sebagai Nasrani, Yahudi atau Majusi, tanpa menunjukkan kata
menjadikan Islam terkandung maksud bahwa menjadi Islam adalah tuntutan fitrah.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa secara fitrah, tidak ada manusia yang menolak
adanya Allah sebagai Tuhan yang hakiki, hanya kadang-kadang faktor luar bisa
membelokkan dari Tuhan yang hakiki menjadi tuhan-tuhan lain yang menyimpang.
2. Dalil Akal
Akal yang digunakan untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia
dapat membuktikan adanya Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk
membuktikan adanya Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;

a. Teori Sebab.
Segala sesuatu pasti ada sebab yang melatar belakanginya. Adanya sesuatu
pasti ada yang mengadakan, dan adanya perubahan pasti ada yang mengubahnya.
Mustahil sesuatu ada dengan sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan.
Pemikiran tentang sebab ini akan berakhir dengan teori sebab yang utama (causa
prima), dia adalah Tuhan.
b. Teori Keteraturan.
Alam semesta dengan seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan
bintang-bintang bergerak dengan sangat teratur. Keteraturan ini mustahil berjalan
dengan sendirinya, tanpa ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam
semesta ini selain dari Tuhan?
c. Teori Kemungkinan (Problabyitas)
Adakah kemungkinan sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam
keadaan menyala. Tiba-tiba datang dua ekor tikus bermain-main di atas tuts keyboard,
dan setelah beberapa saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh
makna?
Dalam pelajaran matematika, bila sebuah dadu dilempar kemungkinan muncul
angka 6 adalah 1/6. Dan bila dua dadu dilempar kemungkinan munculnya angka 5
dan 5 adalah 1/36. Bila ada satu set huruf dari a sampai z diambil secara acak,
kemungkinan muncul huruf a adalah 1/26. Bila ada lima set huruf diambil secara
acak, kemungkinan terbentuknya sebuah kata T-U-H-A-N adalah 1/265 (satu per
duapuluh enam pangkat lima) =1/11881376. Andaikata puisi di layar komputer itu
terdiri dari 100 huruf saja, maka kemungkinannya adalah 1/26100. Dengan angka
kemungkinan sedemikian orang akan menyatakan tidak mungkin, lalu bagaimanakah
alam raya yang terdiri dari sekian jenis atom, sekian banyak unsur, sekian banyak
benda, berapa kemungkinan dunia ini terjadi secara kebetulan? Kemungkinannya

adalah 1/~ (satu per tak terhingga), atau dengan kata lain tidak mungkin. Jika alam ini
tidak mungkin terjadi dengan kebetulan maka tentunya alam ini ada yang
menciptakannya, yaitu Allah.
3. Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap adanya
Tuhan, namun manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah swt untuk mengenal
dzat-Nya. Sebab akal dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya.
Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Quran;

Artinya: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam".(al-Araf:54)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta semesta alam dan
seisinya, dan Dia pulalah yang mengaturnya.
4. Dalil Inderawi
Bukti inderawi tentang wujud Allah swt dapat dijelaskan melalui dua fenomena:
a) Fenomena Pengabulan doa
Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang
berdoa serta memohon pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang

mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Swt.
Allah berfirman:


Artinya:Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami
memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari
bencana yang besar.
(Al-Anbiya: 76)


Artinya: (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan
kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut" (Al Anfaal: 9)
b) Fenomena Mukjizat
Kadang-kadang para nabi diutus dengan disertai tanda-tanda adanya Allah
secara inderawi yang disebut mukjizat. Mukjizat ini dapat disaksikan atau didengar
banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengurus para nabi
tersebut, yaitu Allah swt. Karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia,
Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul. Ketika Allah
memerintahkan Nabi Musa as. Agar memukul laut dengan tongkatnya, Musa
memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering,
sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung.
Allah berfirman,

Artinya: "Lalu Kami wahyukan kepada Musa: Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu,Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung
yang besar. (Asy Syuaraa: 63)
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. ketika menghidupkan orang-orang
yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah. Allah swt
berfirman:

Artinya: Allah mengutuskan sebagai Rasul kepada Bani Israil seraya berkata
kepada mereka,
Sesungguhnya aku datang kepada kalian membawa mukjizat dari Rabb kalian,
sesungguhnya aku membuat burung dari tanah liat untuk kalian lalu aku meniup
padanya dan ia menjadi burung hidup dengan izin Allah, aku menyembuhkan orang
buta dan orang sopak, aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, aku
memberitahu kalian tentang apa yang kalian makan dan kalian simpan di rumah
kalian. Sesungguhnya dalam semua itu mengandung tanda bagi kekuasaan Allah bila
kalian beriman. (Ali Imran: 49)
Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu
adalah bukti pasti wujud-Nya.
Bukti lainnya tentang adanya Allah berdasarkan teori kefilsafatan antara lain:
a. Dalil cosmological, yang sering dikemukakan erhubungan dengan ide tentang
sebab (causality). Plato dalam bukunya Timeaus mengatakan bahwa tiap-

tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan. Dalam dunia kita tiap-tiap
kejadian mesti didahului oleh sebab-sebab dalam benda-benda yang terbatas
(finite) rangkaian sebab adalah terus menerus, akan tetapi dalam logika
rangkaian yang terus menerus itu mustahil.
b. Dalil moral, argument ini sering dihubungkan dengan nama Immanuel Kant.
Menurut Kant, manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati
sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi
perbuatan yang buruk dan melaksanakan perbuatan yang baik. Manusia
melakukan hal itu hanya semata-mata karena perintah yang timbul dari dalam
lubuk hati nuraninya. Perintah ini bersifat universal dan absolute. Dorongan
seperti ini tidak diperoleh dari pengalaman, akan tetapi manusia lahir dengan
perasaan itu.
II.II

Tauhid Sebagai Konsep Dasar Ketuhanan Islam

II.II.I Pengertian Tauhid


Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa
tauhid bermakna menunggalkan atau mengesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti
istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat,
nama, sifat dan perbuatan-Nya (afal).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid Itiqadi ilmi
(keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid Itiqadi amali suluki (keyakinan yang
bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis
berupa marifat (pengetahuan), Itiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan).
Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), alqashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan sesorang
tidak dapat diterima disisi allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan
secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).

Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui


terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat
firman-Nya yang terdapat dalam al-quran al-karim. Oleh karena itu kalau dalam
mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa
diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu
dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut
sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna
(tammah) kalau di dalamnya terdapatv tiga unsure yang bulat dan padu, yaitu
meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi
al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi alarkani).
II.II.II Paradigma Keyakinan Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara
obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur
mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid
sifatiyah (al-asma was-shifat).
a. Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk.
Menurut Abul Ala al-Maududi ia dapat bearti antara lain mendidik, membimbing,
membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki,
memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40).
Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan
bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan
penguasa seleuruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan
bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertia sebagaimana di bawah ini:
1) Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.

2) Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas


mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3) Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki
keadaan.
4) Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubah sebagi pusat
tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5) Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya
dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih
dan menentukan kebijaksanaan.
6) Raja yang dipertuan.
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang
dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah
satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh
isinya (rabbul alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh,
memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang
mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu
yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan
diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan
kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.
b. Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki berakar dari akar
kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna
yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang
dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau
bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma
mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi
menjualnya.

Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki
alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya
terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini allah swt adalah malik (raja) dan alam
semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayatayat al-quran yang menjelaskan bahwa allah swt adalah pemilik dan raja langit dan
bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan
sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid
rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan
ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama
sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu
apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya.
Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja
yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus
mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan
(hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
a) Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya
Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja.
Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya
wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia,
maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja symbol atau raja
boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang
sangat tidak menentukan system kehidupan atau system pemerintahan. Seorang raja
baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di
kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau
karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila

berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya


didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi
perselisihan dia yang akan menyelesaikan.
b) Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima
Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional
sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang
berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah
sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum
dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-quran bahwa hak yang
menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS alAnam (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, zalimun, dan kafirun
kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat
dilihat dalam QS Al-maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan
hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi
kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena
menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan
dirinya sendiri, dan disebut zalim manakala merugikan oran lain.
c) Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata
Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang
menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan
kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allahlah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-Anam (6):
162).

c. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-maluh yakni sesuatu yang disembah
dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar
Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan
tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepadaNya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada
dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di
saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah
semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri
mendifinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt
dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987:
22).
d. Tauhid Sifatiyah (al-Asma wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas
nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam alQuran dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah,
yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1) Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma was-sifat
(nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya:
Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan
lain-lain.
2) Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang
menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk

yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt
dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah
rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama
dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh
rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan tathil (penolakan), tahrif (perubahan dan
penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu
jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
secara lebih khusus, yaitu:
1) Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di
dalam al-Quran dan Sunnah. Lihat QS al-Araf (7): 180.
2) Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifatsifat dan afal (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42):
11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3) Mengimani al-Asma was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan
atau mempertanyakan bagaimananya (kaifiyat).
4) Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari,
Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
5) Di samping istilah al-Asma al-husna ada lagi istilah ismullah al-azam yaitu
nama-nama allah swt yang dirangkai dalam doa. Rasulullah saw mengatakan bahwa
siapa yang berdoa dengan ismullah al-azam, doanya akan dikabulkan, permintaanya
akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).

BAB III
PENUTUP
III.I

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan materi pada makalah di atas

adalah sebagai berikut:


1. Tuhan ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Kita sebagai hamba yang telah diciptakan-Nya harus mempercayai dan
mengimani akan keberadaan Tuhan itu sendiri sebagai zat yang menciptakan,
mengatur, mengabulkan, merencanakan dan yang pantas disembah dan
diagung-agungkan.
2. Tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan
perbuatan-Nya

(afal).

Meyakini terhadap eksistensi Allah

haruslah

mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan


Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam
al-quran al-karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya
sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan
perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat
dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya

III.II

Saran
Adapun dari penyusunan makalah ini, penyusun meminta sebaiknya pembaca

dengan luang hati dapat memberikan feedback atau umpan balik, baik berupa saran
dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adiluhur,

Taufik.2012.Eksistensi

Keberadaan

Tuhan

dalam

Islam.

http://towek.mywapblog.com/eksistensi-keberadaan-tuhan-dalamislam.xhtml. Diakses pada 9 Februari 2016.


Miswanto,

Agus.2010.Tauhid:

Konsep

Ketuhanan

Dalam

Islam.

http://agusnotes.blogspot.co.id/2010/01/tauhid-konsep-ketuhanan-dalamislam.html. Diakses pada 9 Februaru 2016.


Usman

Salleang,

dkk.2013.Pengembangan

Kepribadian

Islam.Makassar:UPT MKU Universitas Hasanuddin.

Pendidikan

Agama

Anda mungkin juga menyukai