1
Wahdaniyyah adalah salah satu dari sifat Allah Swt. Ia memiliki
pengertian yang berbeda dengan Tauhid. Secara syari’at, Tauhid
berarti hanya menyembah kepada Allah disertai dengan keyakinan
akan keesaanNya, baik pada Dzat, sifat dan af’alNya (at-Tauhīd asy-
syar’ī huwa ifrādu al-ma’būd bi al-‘ibādah ma’a I’tiqādi wahdatihi
dzātan wa shifātin wa af’ālan).
Imam al-Jurjāni menjelaskan; secara bahasa, Tauhid adalah ketetapan
akan keesaan sesuatu dan mengetahui akan keesaan Allah (al-hukmu
bianna asy-syai’ waāhidun wa al-‘ilma biannahū wāhidun). Secara
istilah Tauhid berarti membebaskan Dzat ketuhanan dari segala
sesuatu yang tergambar dalam pemahaman (sehingga mengesankan
Tuhan memiliki bentuk tertentu) dan melepaskan DzatNya dari segala
sesuatu yang terbayangkan dalam angan dan pikiran (tajrīdu adz-dzāti
al-ilāhiyyah ‘an kulli mā yatashawwaru fi al-afhām wa yatakhayyalu fi
al-auhām wa la-adzhān). Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-
Sanūsiyyah, hlm 49
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Wahdaniyyah adalah sifat
Allah Swt, sementara Tauhid adalah sikap dan perilaku seseorang
berdasarkan keyakinan akan keesaan Dzat, sifat dan af’alNya.
2
Sayyid Husain Afandi, al-Husūn al-Hamīdiyah li al-Muhāfadzah ‘alā
al-‘Aqāidi al-Islāmiyah, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
35
1
af’āl/perbuatanNya4 serta mustahil Dia memiliki sifat
ta’addud (lebih dari satu/berbilang). Wahdaniyyat sendiri
berarti Esa. Agaknya pemaknaan seperti ini lebih cocok
dibanding makna satu, sebab kata esa tidak menyisakan
kesan keberbilangan, sementara satu termasuk bilangan.
Akan tetapi, apapun makna yang ditetapkan, pada intinya
maksud keesaan Allah adalah menghilangkan berbagai
bentuk keberbilangan (‘adam at-ta’addud).
3
“Satu” memiliki beberapa makna; 1). al-wāhid al-haqīqiy (satu yang
hakiki), 2). al-wāhid bi asy-syakhsh (satu secara individu), 3). al-wāhid
bi al-Jins (ke-satu-an genus), 4). al-wāhid bi an-nau’ (ke-satu-an
spesies) 5). al-wāhid bi al-fashl (ke-satuan diferensia), 6). al-wāhid bi
al-‘aradh (ke-satu-an aksiden). Selengkapnya lihat Imam as-Sanūsī,
Syarh al-‘Aqīdatu al-Kubrā, (Damaskus: Dar at-Taqwa, 2019) Hlm 410
Pertama, adalah yang tidak menerima pembagian sama sekali,
sebagaimana Dzat Allah Swt.
Kedua, yang tidak terdiri dari banyak individu, seperti Zaid.
Maksudnya, dari sekian banyak individu terdapat satu individu yang
bernama Zaid yang terbedakan dengan ciri-ciri tertentu, seperti tinggi-
pendek. Dengan demikian, maka satu bagi Allah tidak sebagaimana
satunya Zaid, karena satunya Zaid memiliki memiliki volume tertentu,
seperti tinggi-pendek dan ia juga tersusun dari anggota tubuh yang
berbeda-beda, yakni kepala, kaki, tangan dll.
Ketiga, ialah seperti genus “hewan” yang mengimpun manusia, kuda,
kucing dll dengan hakikat yang berbeda satu sama lain. Manusia, kuda,
kucing disebut “hewan” karena mereka memiliki satu titik kesamaan,
yakni tumbuh dan berkembang biak. Dengan demikian, satu bagi Allah
tidak sebagaimana satunya genus, sebab ia masih menghimpun
berbagai hakikat yang berbeda-beda.
Keempat, seperti spesies “manusia” yang menghimpun Ahmad, Umar,
Zaid yang masing-masing sama hakikatnya. Atau spesies “binatang”
yang menghimpun kuda, kucing, ayam. Sementara satunya Allah tidak
sama dengan satunya spesies, sebab ia masih menghimpun berbagai
hakikat yang sama.
2
Barangkali kita pernah menemui konsep keesaan pada
agama lain yang diklaim oleh penganutnya, tetapi konsep
keesaan di luar agama Islam berbeda dengan konsep keesaan
yang ada pada agama Islam. Agama Kristen misalnya, ia
meyakini keesaan Tuhan, hanya saja konsepnya berbeda
dengan keesaan dalam agama Islam. Keesaan pada Agama
Kristen disebut dengan istilah Tritunggal atau Trinitas.
Artinya Tuhan itu esa, tetapi ia memilki tiga pribadi, yakni
3
Bapa, Anak dan Roh Kudus. Konsep ini biasanya dianalogikan
dengan segitiga. Segitiga itu satu, tetapi ia memiliki tiga
sudut. Meskipun demikian, segitiga tetaplah satu dan tidak
akan disebut tiga hanya karena ia memiliki tiga sudut 5. Pun
juga dalam keyakinan agama Kristen. Meskipun mereka
meyakini Bapa, Anak dan Roh Kudus, tetapi Tuhan tetaplah
satu. Untuk itu, mengatakan “Tuhan tetap esa, meskipun
memiliki tiga pribadi” sama halnya dengan menyebutkan
• Konsep seperti ini bisa dibenarkan, dalam arti Allah lah Tuhan yang
menciptakan alam semesta. Tetapi masalahnya adalah, di balik konsep
ini, ada maksud dan tujuan tersendiri yang ingin diutarakan. Inilah
yang kami persoalkan.
Tujuan dan konsekuensinya; jika konsep ini diterima, maka
konsekuensi logisnya adalah sejatinya seluruh manusia telah meyakini
bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Orang yang
beragama Kristen, misalnya, tetap menerima Allah sebagai Tuhan
pencipta alam, hanya saja mereka menyelingkuhi Allah dengan cara
menganggap Yesus sebagai tuhan juga. Dengan demikian, kaum
Nasrani telah bertauhid Rububiyyah ini. Intinya, Jika seseorang,
siapapun dan apapun agamanya, menerima Allah sebagai pencipta dan
pengatur alam semesta, meskipun ia masih menganggap ada Tuhan
selain Allah, maka ia telah bertauhid Rububiyyah. Jika tidak, maka ia
telah kafir atau ateis. Jadi, catatannya, yang bermasalah dalam
pandangan mereka adalah pada sisi misi dan konsekuensi logisnya.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah.
• Tauhid Uluhiyyah adalah konsep yang menjelaskan tentang ajaran
untuk menyembah, berdoa dan cinta hanya kepada Allah semata.
Inilah yang Wahabi anggap sebagai misi utama Nabi Muhammad saw.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logisnya, setiap orang yang sudah
bertauhid Rububiyyah, tetapi tidak bertauhid Uluhiyyah, maka ia
belum disebut muslim. Sebab, dalam pandangan mereka, meskipun
seseorang beragama Kristen dan meyakini Allah sebagai pencipta,
maka ia telah bertauhid Rububiyyah, tetapi mereka tidak dapat disebut
muslim, karena mereka belum bertauhid Uluhiyyah. Untuk itu,
seseorang dianggap telah beragama Islam setelah mereka bertauhid
4
“segitiga tetap satu, meskipun ia memiliki tiga sisi” Sementara
konsep keesaan dalam Agama Islam tidak seperti itu.
5
Pertama, keesaan Allah berarti tidak berbilang, baik
pada sisi Dzat, sifat dan af’alNya serta tidak ada satupun yang
menyerupai diriNya dari ketiga aspek tersebut. Imam as-
Sanusi menjelaskan6:
"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang
nyata, karena kita mempersamakan kalian (para berhala) dengan
Tuhan (Rabb) semesta alam". (QS. Asy-Syu'ara: 97-98).
Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang
disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan
“Rabb al-‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah
Allah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pembedaan istilah
“tauhid rububiyah” dan “tauhid uluhiyah” hanyalah benar dalam
tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi yang murni teoritis.
Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa dipisahkan.
Untuk itu, anggapan bahwa kaum Nasrani telah bertauhid Rububiyyah,
tetapi tidak bertauhid Uluhiyyah merupakan anggapan yang keliru.
Kedua, mereka menjadikan kesaksian akan Tauhid Rububiyyah dan
Uluhiyyah sebagai syarat menjadi muslim, sementara hal ini
bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad Saw;
ّٰل ّٰل
َف ِإ َذا َفَعُل ْو ا َذِل َك،ُأِم ْر ُت َأْن ُأَقاِت َل الَّناَس َح َّتى َيْش َه ُد ْو ا َأْن َال ِإَل َه ِإَّال ال ُه َو َأِّني َرُس ْو ُل ال ِه
.َعَصُمْو ا ِم ِّني ِد َم اَءَه ْم َو َأْم َو اَلُه ْم ِإَّال ِبَح ِّقَه ا
”Aku diperintahkan untuk ‘memerangi’ manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku (Muhammad)
adalah utusan Allah. Untuk itu, apabila mereka telah melakukan itu
semua, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka
dariku, kecuali dengan hak Islam"
Hadist ini menjelaskan bahwa seseorang yang sudah bersaksi akan
keesaan Allah dalam aspek Uluhiyyah dan menyifati kerasulan Nabi
Muhammad akan dilindungi darah dan hartanya oleh Nabi. Artinya,
Nabi Muhammad tidak mensyaratkan kedua Tauhid ala Wahabi itu
6
ِق يَق ُة اْل ْح َد اِنَّي ِة ِع ا ٌة َع ْف ِي الَّت ُّد ِد ِفي الَّذ اِت الِّص َف اِت
َو َع َب َر ْن َن َو َو َح
َفُه َو ُس ْبَح اَنُه اَل َش ِبيَه َل ُه ِفي َذاِتِه َو اَل ِفي ِص َف اِتِه َو اَل ِفي، َو اَأْلْفَع اِل
َأ اِلِه.
ْفَع
7
“Hakikat wahdaniyyat adalah ungkapan tentang peniadaan
keberbilangan dalam Dzat, sifat dan perbuatan. Tidak ada
satupun yang serupa denganNya, baik dari sisi Dzat, sifat dan
perbuatanNya”
8
َو اْح َتَر َز ِبَه َذ ا الَّتْف ِس يِر َعِن اْلَو ْح َد اِنَّيِة اَل ِبَه َذ ا اْلَم ْعَنى َك َو ْح َد ِة اْلِج ْنِس
ِإْذ َلْيَس َل ُه َتَع اَلى ِج ْنٌس َو اَل َنْو ٌع، َو َو ْح َد ِة الَّنْو ِع َو َو ْح َد ِة الَّش ْخ ِص
َح َّتى َيَّتِح َد َم َع َغْي ِر ِه ِفيِه ا اَل ُمَش َّخ َص اٌت ُتَعِّيُنُه َعْن َغْي ِر ِه َك ُط وٍل
َم َو
َو َقْص ٍر ؛ َبِق َي َأَّن ِفي َه َذ ا الَّتْف ِس يِر ُقُص وًر ا َأِلَّن ُه اَل َيْش َم ُل َنْف َي اْلَك ِّم
ِد ِم ِل ِت ِص ِف
اْلُم َر اُد ْن َذ َك َع َد ُم الَّتَع ُّد َم َع: ِإاَّل َأْن ُيَق اَل، اْلُم َّت ِل ي الَّذ ا
. َفْلُيَتَأَّم ْل. اِإْل ْتَص اِل َأْو ااِل ْنِف َص اِل
9
penjelasan yang cacat, karena hal itu tidak dapat mencakup
peniadaan kam muttashil fi adz-dzāt (keberbilangan internal
pada DzatNya), meskipun ia dikatakan: ‘maksud dari hal
tersebut ialah ketiadaan keberbilangan, baik secara ittishāl
maupun infishāl10, renungikanlah dengan baik’”
10
Artinya, jika ada yang berpendapat bahwa keesaan Allah
sebagaimana kesatuan genus, maka hal itu tetap saja menunjukkan
adanya keberbilangan, meskipun ia membela diri dengan mengatakan
“Allah tidak berbilang, baik secara ittishāl maupun infishāl”.
Mustahil bagi Allah mengalami ittishāl, baik pada DzatNya maupun
ittishāl dengan selain diriNya. Maksud dari ittishāl pada DzatNya
adalah ketersusunan Dzat yang menghubungkankan antara satu
bagian dengan bagian yang lain (bi an yakūna murakkaban tattashilu
ajzāuhu biba’dhihā), seperti tubuh manusia yang tersusun dari kepala,
badan, tangan dll yang masing-masing saling terhubung. Maksud dari
ittishāl dengan selain diriNya adalah seperti kemenyatuan Allah
dengan alam, baik sebentar ataupun terus-menerus (muttashil bi
al-‘ālam bihaitsu yakūnu hālan aw sāriyan fīhi). Lihat Syeikh Ahmad bin
Muhammad ad-Dardir, Syarh al-Kharidah al-Bahiyah fi ‘Ilmi at-Tauhid.
(Beirut: Dar al-Bairuti, Tth) hlm 70
Allah Swt juga mustahil mengalami infishāl. Secara sederhana, maksud
dari infishāl adalah adanya dzat yang serupa dengan dzatNya. Untuk
itu, konsep trinitas dalam agama Kristen yang menyebutkan ketuhanan
Yesus dengan sendirinya tertolak. Sebab dzat Yesus tidaklah sama
dengan Dzat Allah. Jadi bagaimana bisa ia disebut Tuhan?.
11
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 49
10
َأْي َح َّتى َو ِإْن،ُمْطَل ُق الَّتْر ِكيِب َم ْعَن اُه َج َو اُز اْنِق َس اِم الَّذ اِت َو َل ْو ِذ ْهًن ا
ِن ِل ِف ِف ِس
َلْم َتْنَق ْم ِباْل ْع ِل ؛ َف ِإ َّن ُمَج َّر َد ِإْم َك ا َذ َك ي الِّذ ْه ِن َيْس َتْلِز ُم
. الَّتْر ِكيَب
“Makna ketersusunan mutlak ialah dzat yang masih bisa
dibagi, meskipun pembagian tersebut terjadi di dalam pikiran,
bahkan sekalipun ia tidak dapat dibagi di realitas. Dengan
begitu, hanya karena ia bisa dibagi di dalam pikiran, maka ia
meniscayakan ketersusunan”
11
(taghāyuru mafhūmaini dzihnan wa taghāyuru juz’aini walau
dzihnan)12.
12
ini, tidak lain, untuk menunjukkan bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Jika ada yang bertanya: “jika dzat dan sifat tidak terpisah,
lantas apa bedanya dengan konsep trinitas?”
13
Dengan kata lain, meskipun akal dapat memahami “ini
dzat” dan “ini sifat”, tetapi akal tidak dapat membayangkan
keterpisahan keduanya. Berbeda dengan manusia, akal dapat
memahami “ini kepala” dan “ini tangan”, tetapi akal bisa
membayangkan keterpisahan antara satu dengan yang lain.
14
Allah tidak tersusun dari substansi dan aksiden karena substansi
meniscayakan kebertempatan dan aksiden meniscayakan
kebergantungan pada yang lain.
15
Kata “materi” di sini adalah terjemah dari “hayūlā”, sedangkan
“bentuk” terjemah dari “shūrah”. Yang perlu diketahui, dalam tradisi
filsafat, maksud dari materi dan bentuk di sini tidak dipahami
14
terdiri dari hal lain yang bisa diasumsikan ketersusunannya 16
(fa al-muttashil an takūna dzātuhu murakkabatan min
jawāhir wa a’rādh, aw takūna murakkabatan muthlaqan
walau min ghairi al-jauhar wa al-‘aradh ka al-hayūlā wa ash-
shūrah aw ay amrin ākhar muftaradh)17.
15
Jawaban: jelas tidak bisa, sebab, sebagaimana yang
pernah kami singgung di tulisan sebelumnya, bahwa adanya
sifat pada dzat tidak bisa dikatakan tersusun, sebab, sifat
bukan selain dzat18. Sementara, sifat dikatakan bukan selain
dzat karena sifat tidak bisa dipisahkan dari dzat. Di sini
pentingnya kita mengetahui hubungan antara sifat dan dzat.
Untuk itu, apabila ada tuduhan bahwa Allah tersusun karena
Dia memiliki berbagai sifat dan itu menunjukkan
keberbilanganNya, maka sejatinya ia belum memahami
tentang hubungan keduanya.
18
Ibid, hlm 49
19
Syeikh Muhammad bin Ahmad ad-Dasūkī, Hāsyiyah ad-Dasūkī ‘ala
Syarh Umm al-Barāhīn. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
154
16
Dengan begitu maka dapat kita tarik suatu kesimpulan
bahwa maksud dari keesaan Dzat Allah Swt adalah; (i) Allah
tidak tersusun dari substansi-aksiden, materi-bentuk, atau
apapun yang dapat dibayangkan ketersusunannya (ii) Tidak
ada satupun dzat yang menyerupai DzatNya. Kedua makna ini
harus senantiasa disandingkan, sebab matahari dan bulan
hanya ada satu, tetapi ia tersusun. Berbeda dengan Allah. Dia
adalah satu-satunya Tuhan, dan DzatNya tidak tersusun20.
20
Ibid, hlm 154
17
Jika ada yang bertanya: “bukankah makhluk dan Allah
tetap saja memiliki keserupaan, yakni sama-sama memiliki
sifat?”
21
Penjelasan seperti ini perlu disampaikan untuk menghilangkan
angggapan bahwa Allah mengetahui sesuatu setelah sesuatu itu
terjadi. Misalnya, ketika dikisahkan satu kejadian dimana terjadi tawar-
menawar antara Allah dan Nabi Muhammad tentang jumlah waktu
solat pada momen Mi’raj. Dari peristiwa ini, memberikan kesan bahwa
Allah seolah baru mengetahui terjadinya tawar menawar tentang
jumlah waktu solat pada saat itu. Padahal yang benar, Allah telah
mengetahui semua itu. Tetapi yang menjadi pertanyaan, jika Allah
telah mengetahuinya, lantas mengapa Allah mula-mula menetapkan
lima puluh waktu? Kenapa tidak langsung ditetapkan lima waktu saja?
Syeikh al-Bujairami pernah memberikan jawaban tentang hikmah di
balik kejadian itu. Beliau menjelaskan;
18
Selain itu, Imam al-Ghazali menjelaskan tentang rumus
untuk menjelaskan keberbedaan dua hal yang tampak sama
dengan keterangan sebagaimana berikut23:
َلْم َتُك ِن اِإْل ْثَنْيِنَّي ُة، َف ِإ ْن َلْم َيُك ْن َتَغ اُيٌر، َأَّن ُك َّل اْثَنْيِن ُه َم ا ُمَتَغ اِيَر اِن
َأْو ِفي َمَح ٍّل َو اِح ٍد ِفي، َم ْع ُقوَلًة؛ َفِإ َّنا اَل َنْع ِق ُل َس َو اَد يِن ِإاَّل ِفي َمَح َّلْيِن
َو ُمَباِيًن ا َل ُه َو ُمَغ اِيًر ا؛ ِإَّم ا ِفي، َفَيُك وُن َأَح ُد ُه َم ا ُمَف اِر ًق ا ِلآْل َخ ِر، َو ْقَتْيِن
َو الَّش ْيَئاِن َيَتَغ اَيَر اِن َت اَر ًة ِبَتَغ اُيِر اْلَح ِّد، اْلَمَح ِّل َو ِإَّم ا ِفي اْل َو ْقِت
َو اْلَح ِق يَق ِة؛ َك َتَغ اُيِر اْلَح َر َك ِة َو الَّل ْو ِن ؛ َفِإ َّنُه َم ا َو ِإِن اْجَتَم َع ا ِفي َمَح ٍّل
َفُه َم ا اْثَن اِن ؛ ِإْذ َأَح ُد ُه َم ا ُمَغ اِيٌر ِلآْل َخ ِر، َو اِح ٍد ِفي َو ْقٍت َو اِح ٍد
.ِبَح ِق يَق ِتِه
19
“Setiap ada dua hal, maka keduanya pasti berbeda, jika tidak
berbeda, maka ia bukan dua secara akal. Untuk itu, kami tidak
akan bisa membayangkan dua warna hitam kecuali ia berada
di dua tempat, atau ia berada dalam satu tempat (tetapi
berada) dalam dua waktu (yang berbeda). Maka dari itu, yang
satu menjadi terpisah, kontras dan berbeda dengan yang lain.
Sementara terjadinya perbedaan; (1) adakalanya dalam aspek
tempat, (2) adakalanya dalam aspek waktu, dan terkadang
dua hal menjadi berbeda dengan (3) perbedaan esensi dan
hakikatnya, seperti gerak dan warna. Keduanya berkumpul
dalam satu tempat dan satu waktu, lalu tetapi dikatakan dua,
karena yang satu dengan yang lain berbeda dalam aspek
hakikat24”
24
Dua hal dalam dua tempat; kita bisa bayangkan dua papan tulis di
depan kita dan keduanya berwarna putih. Pertanyaannya, apakah
kedua warna putih pada dua papan tulis itu berbeda? jelas berbeda.
Kenapa? karena putih berada di dua tempat, yakni dua papan tulis.
Dua hal dalam satu tempat, tetapi berbeda waktu; Ahmad duduk di
atas kursi A, lalu Ahmad pergi sebentar dan duduk lagi di sana.
Meskipun di Ahmad berada di tempat yang sama, tetapi ia berbeda
dalam aspek waktu.
Dua hal yang ada pada tempat yang sama, waktu yang sama, tetapi
berbeda hakikat; gerak dan warna yang ada pada Hp. Meskipun sama-
sama ada pada Hp di waktu yang sama, tetapi keduanya berbeda
dalam aspek hakikatnya.
20
Kelima, kam munfashil fi al-af’āl maksudnya “ada
af’āl/perbuatan yang bisa memberikan dampak (atsar) selain
perbuatan Allah”. Dampak atau atsar yang dimaksud di sini
adalah mengadakan sesuatu yang pada mulanya tiada atau
peniadaan sesuatu yang sebelumnya ada (anna al-atsar
ma’nāhu an yūjada amrun kāna ma’dūman aw yu’damu amrun
kāna maujūdan)25. Sementara sifat wahdaniyyat meniadakan
hal itu, yakni kam munfashil fi al-af’āl. Artinya tidak ada
satupun makhluk yang memiliki af’al/perbuatan. Semua yang
terjadi dan yang dilakukan oleh makhluk, pada hakikatnya
adalah perbuatan Allah Swt. Pun juga yang membuat api
dapat membakar sesuatu, makanan bisa menghilangkan rasa
lapar, air mineral bisa melenyapkan dahaga dsb, semuanya
adalah perbuatan Allah; artinya membakar bukanlah
perbuatan api, menghilangkan lapar bukanlah perbuatan
makanan, melenyapkan dahaga bukanlah perbuatan air,
namun itu semua berpulang pada perbuatan Allah Swt. Untuk
itu, jika seseorang ingin berdiri, misalnya, maka yang
membuat ia ingin berdiri adalah Allah, yang menciptakan
perbuatan berdiri padanya juga Allah Swt, bukan dirinya.26.
25
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 52
26
Dengan penjelasan ini, kita harus benar-benar memperhatikan
bagaimana kita meyakini suatu kejadian, sebab keyakinan tersebut
dapat melahirkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda, yakni; 1)
Barang siapa yang meyakini bahwa api dapat membakar sesuatu
dengan dirinya sendiri, maka para Ulama sepakat akan kekafirannya. 2)
Barang siapa yang meyakini bahwa api dapat membakar dengan
kekuatan yang Allah titipkan padanya, atau yang meyakini bahwa
perbuatan manusia dapat terwujud karena kekuatan yang dititipkan
Allah padanya, maka ia telah fasik. 3) Barang siapa yang meyakini
bahwa api tidak dapat membakar, yang membakar adalah Allah, tetapi
hal itu terjadi secara pasti (keniscayaan rasional), maka ia termasuk
21
Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya kita
mengetahui terlebih dahulu definisi dari beberapa istilah
kunci terkait dengan pembahasan ini, sebab ketidakpahaman
akan sesuatu bermula dan bermuara pada definisi. Beberapa
istilah tersebut adalah fi’lullāh, khalq, atsar, af’āl al-
Ikhtiyāriyyah, af’āl al-idhthirāriyyah, majbūr dan kasb.
22
dapat memberikan dampak/atsar. Yang dapat mengadakan
sesuatu dari ketiadaan hanya Allah Swt.
29
Syeikh Abdurrauf al-Munawi, at-Tawqīf ‘alā Muhimmāt at-Ta’ārīf,
(Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1990), hlm 38
30
Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, (Yordania:
Dar an-Nur al-Mubin li ad-Dirasat wa an-Nasyr, 2016) hlm 84
23
ikhtiyārun wa lā qudratun kaharakati al-irti’āsy). Pengertian
ini tidak jauh berbeda dengan definisi majbūr31, yakni
terjadinya suatu tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan
(hushūl al-fi’li ‘alā khilāf al-irādah).32 Gemetar adalah salah
satu kondisi yang tidak kita inginkan, tetapi ia tetap terjadi
dan kita tidak memiliki kemampuan untuk menghentikannya.
24
Setelah menjelaskan beberapa istilah kunci di atas, maka
kita perlu memahami keterkaitan konteks antara yang satu
dengan yang lain. Untuk itu, kita dapat ilustrasikan seperti
ini;
25
bahwa apapun yang dilakukan oleh hamba, termasuk juga
kecenderungan memilih tindakan tertentu merupakan
perbuatan yang diciptakan oleh Allah Swt. inilah yang
dimaksud dengan wahdaniyyāh fi al-af’āl. Fase dari contoh di
atas adalah sebagai berikut36;
َو ِه َي ِص َفٌة، َو َخ َلَق َلُه َم َعُه ُقْد َر ًة، َفِإ َذا اْخ َتاَر ُه َو َتَو َّج َه ِإَلْيِه َخ َلَق ُه الَّلُه ِفيِه،ِإَر اَدُتُه َلُه َو َمْيِلِه ِإَلْيِه
ِف ِه ِث ِبِه ِم ِب ِت ِب ِف ِد
َأْي َتْر َت ُط َو َتْق َتِر ُن ْن َغْيِر َأْن َيُك وَن َلَه ا ي َتْأ يٌر، ُوُج و َّيٌة َتَتَعَّلُق اْل ْع ِل اِإْل ْخ َياِر ِّي
“Penjelasannya; ketika Allah ingin menciptakan tindakan memilih
pada seorang hamba, seperti berdiri, duduk dan berlari, maka Allah
membesitkannya dalam benak hamba dan menjadikannya (tindakan
memilih yang Allah ciptakan) sebagai sebab atas pilihan yang
ditetapkan oleh hamba. Artinya Allah yang menghendaki seorang
hamba dan membuatnya bisa cenderung pada perbuatan itu. Ketika ia
telah memilih dan cenderung pada perbuatan tersebut, maka Allah
menciptakan perbuatan itu padanya bersamaan dengan qudrah —
sifat yang eksis yang berhubungan dengan tindakan memilih— dalam
arti dihubungan dan digabungkan (qudrah tersebut) dengan tindakan
memilih tanpa bisa memberikan dampak.” Lihat Syeikh Saīd Faudah,
Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, (Yordania: Dar an-Nur al-Mubin li ad-
Dirasat wa an-Nasyr, 2016) hlm 84
36
Yang perlu diketahui, fase-fase ini dijelaskan dalam rangka agar
dapat mempermudah saja.
26
Fase 1
Allah mengetahui sejak azali tentang
apa yang akan dipilih dan dilakukan
oleh Zaid pada waktu tertentu setelah
Zaid diciptakan
Fase 3 Fase 4
Fase 2 Allah menciptakan
Zaid memilih berdiri
Allah dan ia bisa memilih tindakan yang telah
menginformasikan/ itu karena Allah dipilih bersamaan
membesitkan opsi menciptakan af'āl al- dengan kemampuan
tindakan (duduk, ikhtiyāri . (qudrah) pada Zaid.
berdiri, berlari) Seandainya Allah Keterhubungan af'āl
dalam benak Zaid Swt tidak al-ikhtiyāri dan
dan menciptakan menciptakan af'āl al- qudrah pada Zaid
af'āl al-ikhtiyārī ikhtiyāri pada Zaid, yang tidak bisa
kepadanya agar ia maka Zaid tidak memberikan
dapat memilih akan bisa memilih dampak disebut
apapun kasb
27
Jawaban: Zaid memang memiliki sifat qudrah, sifat
tersebut, tentu saja diciptakan oleh Allah padanya. Hanya saja
sifat itu tidak dapat memberikan dampak sama sekali,
bahkan untuk sekedar berdiri. Untuk itu, Allah menciptakan
perbuatan berdiri bersamaan dengan sifat qudrah yang tidak
bisa memberikan dampak apapun. Di sini, catatannya adalah
perwujudan perbuatan berdiri diciptakan oleh Allah
bersamaan dengan sifat qudrah Zaid, bukan disebabkan
oleh sifat qudrah Zaid. Pun juga yang terjadi pada asbāb
al-‘ādiyyah (sebab yang bersandar pada kebiasaan, seperti api
dapat membakar dll). Allah lah yang menciptakan terbakar
bersamaan dengan asbāb al-‘ādiyyah, yakni api, bukan
disebabkan oleh asbāb al-‘ādiyyah itu sendiri. Dengan begitu,
selama tindakan yang kita pilih dalam kehidupan sehari-hari
masih terjadi, maka proses seperti ini juga akan selalu terjadi.
28
peluang; berhasil atau gagal. Sementara berdiam diri hanya
akan mengantarkan kita pada kegagalan.
َٰذ ِلُك ُم الّٰل ُه َر ُّبُك ْم ۖ اَل ِإٰلَه ِإاَّل ُه َو ۖ َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء َفاْع ُبُد وُهۚ َو ُه َو َعَلى
ٍء ِك
ُك ِّل َش ْى َو يٌل
37
Redaksinya sebagai berikut:
َأِلَّنُه َيْق َتِض ي َأَّنُه ِلَغْي ِر، َلْيَس ِلَغْي ِر الّٰل ِه ِفْع ٌل َك ِف ْع ِلِه: َو اَل ُتَفَّس ُر اْلَو ْح َد ُة ِفي اَأْلْفَع اِل َكَق ْو ِلَك
ِط ِف ّٰل ِه ّٰل ِه ِف ِك
َو ُه َو َبا ٌل، ال ْع ٌل َل َّنُه َلْيَس َك ْع ِل ال
“Keesaan perbuatan Allah tidak dijelaskan dengan pernyataanmu;
‘selain Allah, tidak ada yang memiliki perbuatan seperti
perbuatanNya’ karena hal itu menunjukkan bahwa selain Allah
memiliki perbuatan, tetapi perbuatannya tidak seperti perbuatan
Allah, sementara hal itu keliru”. Syeikh Muhammad al-Fudhālī,
Kifāyatu al-‘Awām, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008) hlm 19
29
“(Yang memiliki sifat-sifat) demikian itu ialah Allah Tuhan
kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu,
maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala
sesuatu. (QS. al-An'am: 6: 102)
38
Syeikh Muhammad bin Ahmad ad-Dasūkī, Hāsyiyah ad-Dasūkī ‘ala
Syarh Umm al-Barāhīn. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
158
39
Mengenai makna “sya’i” di sini memang perlu dijelaskan, sebab
terdapat suatu kelompok yang mencoba untuk menanamkan
pemikiran sesatnya dengan mengajukan pertanyaan; “jika segala
sesuatu diciptakan, apakah Tuhan juga disebut sesuatu?. Jika Dia
bukan sesuatu, berarti Dia tidak ada, sebab ketiadaan tidak bisa
disebut sesuatu. Jika Dia sesuatu, berarti Dia diciptakan, sebab segala
sesuatu diciptakan”. Padahal maksud dari “kulli sya’i” di sini adalah
segala sesuatu selain Dzat dan sifatNya. Atau “sya’i” di sini bermakna
“al-masyī’”, yakni sesuatu yang dikehendaki. Dengan demikian, maka
ia bermakna “Allah menciptakan segala yang ia kehendaki”, sementara
kehendakNya berelasi dengan mumkināt (segala yang mungkin). Untuk
itu, memasukkan Tuhan dalam kategori “sesuatu” pada pernyataan
“segala sesuatu diciptakan” menjadi suatu pemahaman yang benar-
benar keliru.
30
Jika ada yang bertanya: “bagaimana dengan peniadaan
kam muttashil fi ash-shifāt? Apakah ayat tersebut dapat
dijadikan sebagai dalil?”
40
Imam as-Sanūsī, Syarh al-‘Aqīdatu al-Wusthā, (Damaskus: Dar at-
Taqwa, 2019), hlm 355
31
Keterangan Imam as-Sanusi ini juga menunjukkan bahwa
apabila terjadi sesuatu pada dzat, maka hal tersebut juga
terjadi pada sifat.
41
Untuk penjelasan tentang kemustahilan dari dua konsekuensi ini
akan kami sertakan pada lembar dalil aqli.
32
yang dijelaskan pada ayat di atas disebabkan karena
keberbedaan kehendak tuhan yang satu dengan tuhan yang
lain. Maksudnya, tuhan yang satu ingin menciptakan alam,
sementara tuhan yang lain ingin meniadakannya, sehingga
hal itu akan berdampak pada kebinasaan alam.
ّٰل ِلّٰل
َأْم َجَعُل وا ِه ُش َر َك ٓاَء َخ َلُق وا َك َخ ْلِقِهۦ َفَتٰش َبَه اْلَخ ْل ُق َعَلْيِه ْم ۚ ُق ِل ال ُه
ِح ٍء ِل
ٰخ ُق ُك ِّل َش ْى َو ُه َو اْلَو ا ُد اْلَق ّٰه ُر
“Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaanNya sehingga
kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?"
Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan
Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa" (QS. ar-
Ra'd: 13: 16).
33
ٰٓيَأُّي ا الَّن ا اْذُك وا ِنْع َت الّٰل ِه َعَل ُك ۚ َه ِم َخ اِلٍق َغ الّٰل ِه
ْيُر ْي ْم ْل ْن ُر َم ُس َه
َيْر ُزُقُك ْم ِم َن الَّس َم ٓاِء َو اَأْلْر ِض ۚ ٓاَل ِإٰلَه ِإاَّل ُه َو ۖ َفَأَّنٰى ُتْؤ َفُك وَن
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu.
Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki
kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka mengapakah kamu berpaling?” (QS. Fathir: 35: 3).
َأَفَمْن َيْخ ُلُق َك َمْن اَّل َيْخ ُلُق ۗ َأَفاَل َتَذ َّك ُر وَن
"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan
yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran" (QS. an-Nahl: 16: 17).
ّٰل
اَّل ُيَؤ اِخ ُذ ُك ُم ال ُه ِب الَّلْغِو ِفٓى َأْيٰم ِنُك ْم َو ٰلِكْن ُيَؤ اِخ ُذ ُك ْم ِبَم ا َك َس َبْت
ِل ّٰل
ُقُلوُبُك ْم ۗ َو ال ُه َغُفوٌر َح يٌم
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum
kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja oleh hatimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun" (QS. al-
Baqarah: 2: 225).
34
ّٰل
َو اَّتُق وا َيْو ًم ا ُتْر َجُع وَن ِفيِه ِإَلى ال ِهۖ ُثَّم ُتَو َّفٰى ُك ُّل َنْف ٍس َّم ا َك َس َبْت
َو ُه ْم اَل ُيْظَلُم وَن
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari
yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)" (QS. al-
Baqarah: 2: 281).
ۗ اَل ُيَك ِّلُف الّٰل ُه َنْف ًس ا ِإاَّل ُو ْسَعَه اۚ َلَه ا َم ا َك َس َبْت َو َعَلْيَه ا َم ا اْك َتَس َبْت
"Allah tidak membebani seseorang (dengan aturan-aturan
syari’at) melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya" (QS. al-Baqarah: 2: 286).
35
sifat-sifat Allah Swt (seperti qudrah, iradah dst) 1)
adakalanya eksis pada setiap bagian, 2) adakalanya eksis
pada beberapa bagian saja, 3) adakalanya eksis secara
menyeluruh43. Ketiga konsekuensi ini jelas mustahil terjadi
dengan beberapa alasan;
36
yang disifati, sementara bagian lain yang tidak dilekati oleh
sifat tidak memiliki keutamaan. Jika begitu, maka akan
meniscayakan kelemahan pada setiap bagiannya, karena
bagian-bagian tersebut merupakan satu sesatuan. Artinya,
adanya kelemahan pada bagian tertentu menunjukkan akan
kelemahan pada keseluruhannya.
44
Sebagaimana meja akan mendapatkan sifat kokoh apabila bagian-
bagiannya telah menyatu. Jika bagian-bagianya terpisah, maka ia
sudah tidak kokoh lagi.
37
menyaksikan bahwa alam semesta tidak binasa. Penalaran
rasionalnya adalah sebagaimana berikut;
45
Dalam Ilmu Kalam, argumentasi yang mengandaian akan
kesepakatan dua tuhan ini disebut burhān at-tawārud. Sementara
argumentasi yang mengandaikan ketidaksepakatan kedua Tuhan
disebut burhān at-tamānu’.
46
Syeikh muhammad Fudhali, Kifayatu al-’Awam, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm 20
47
Yang dimaksud dengan satu dampak adalah adanya alam ini.
Sementara pengertian dari alam adalah segala sesuatu selain Allah
yang awalnya tiada lalu diadakan.
38
pengertian alam adalah segala sesuatu selain Allah yang
awalnya tiada lalu diadakan. Untuk itu, kalaupun anggapan
para ilmuan sains tentang multiverse 48 benar-benar ada,
maka hal itu tidak menggugurkan kebenaran penjelasan di
atas, sebab multiverse adalah selain Allah, dan selain Allah
disebut alam. Jadi, ia tetap terhitung sebagai satu dampak.
Kenapa? karena multiverse diciptakan (ījad).
48
Multiverse adalah teori yang menjelaskan tentang adanya alam
semesta yang lebih dari satu. Teori ini dicetuskan setelah para ilmuan
sains melakukan serentetan penelitian tentang perilaku aneh pada
atom yang menjadi bagian penyusun alam semesta.
49
Pertanyaan ini dilihat dari sisi “satu sebab” dari pernyataan “satu
sebab hanya menghasilkan satu akibat”.
39
menjelaskan bahwa alam diciptakan oleh dua Tuhan
dengan proses seperti ini!.
40
Jika ada yang bertanya: “bagaimana dengan semua yang
terjadi di alam semesta ini?. Bukankah itu semua disebabkan
oleh Allah semata?. Artinya, bukankah banyaknya akibat itu
berasal dari satu sebab, yakni Allah?51”
51
Pertanyaan ini mencoba untuk kembali ke pembahasan utama, yakni
tentang wahdanyyat fi al-af’āl.
52
Syeikh Said Faudah menjelaskan bahwa segala perbuatan tersebut
berasal dari Allah Swt, karena Dia adalah Dzat yang berkuasa,
berkehendak, mengetahui dengan ilmu, kuasa, kehendak dan dzatNya
yang satu. Dengan begitu, kemunculan banyak hal dari yang satu
bukanlah sesuatu yang mustahil (wa kullu hadzihi al-af’āl shādiratun
‘anhu ta’ālā, liannahu qadīrun murīdun ‘ālimun ma’a kauni ‘ilmihi wa
qudratihi wa irādatihi wa dzātihi wāhidatan, fashudūr al-katsīr ‘an al-
wāhid laisa mustahīlan). Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-
Sanūsiyyah, hlm 50
41
Catatannya, dengan analogi ini, bukan berarti kami
meyakini bahwa Zaid memiliki perbuatan, tidak sama sekali.
Semua itu tetap perbuatan Allah Swt. ini hanyalah upaya
penyederhanaan saja agar lebih mudah dipahami.
53
Tahshīlul hāshil menjadi mustahil karena ia bertentangan dengan
prinsip identitas. Artinya, yang disebut “menciptakan” berarti
“membuat sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada”, bukan
“membuat sesuatu yang sudah ada menjadi ada”. Misalnya, alam
semesta sudah ada, lalu alam semesta yang sudah ada itu diadakan
atau diciptakan lagi, sementara yang dimaksud menciptakan adalah
42
jika alam sudah diciptakan oleh Tuhan A, lantas kenapa alam
tersebut harus diciptakan lagi, kan alamnya sudah ada?.
43
Kedua, jika Tuhan A ingin menciptakan alam, sementara
Tuhan B ingin meniadakan alam, lalu keinginan keduanya
tidak tercapai, maka kedua Tuhan lemah.
54
Imam al-Ghazālī, al-Iqtishād fī al-I'tiqād, hlm 197
55
Syeikh Mahmud Abū Daqīqah, al-Qaul as-Sadīd fī Ilmi at-Tauhīd,
(Kairo: al-Azhar al-Sharif), Juz 1, hlm 267-268
44
pertama sudah cukup untuk menciptakan sesuatu yang
mungkin, maka sifat qudrah yang kedua menjadi tidak
berguna. Jika satu sifat qudrah tidak cukup untuk
menciptakan sesuatu yang mungkin, maka ia butuh pada sifat
qudrah yang kedua, sedangkan di sisi lain, jika demikian,
maka hal ini akan menunjukkan kekurangan dan kecacatan,
dan ini mustahil terjadi.
56
Imam al-Ghazālī, Maqshadu al-Asnā fi Syarh Asmāillāhi al-Husnā,
(Beirut: Dar al-Minhaj, 2018), hlm 213
45
ٍد
َفُك ُّل َمْو ُج و َم ْقُط وٌع ِبَع َد ٍم َس اِبٍق َأْو، َدَو اُم ُه َأَز اًل َو َأَب ًد ا:َأَح ُد ُه َم ا
. اَل ِح ٍق َفُه َو َناِقٌص
46
Peniadaan kam munfashil fi ash-shifat: jika makhluk
memiliki sifat yang sama dengan Allah, maka hal ini jelas
mustahil, sebab Allah itu wajib al-wujūd dan Qadim,
sementara makhluk mumkin al-wujūd dan ia juga hadist. Di
sisi lain kami sudah menjelaskan bahwa sifat akan mengikuti
dzat yang dilekatinya. Jika dzatnya qadim, maka sifatnya juga
qadim, pun juga sebaliknya. Untuk itu, bagaimana bisa sifat
yang qadim melekat pada dzat yang hadist?
47
Seandainya jawaban ini juga sulit untuk dicerna, jawaban
yang paling sederhana adalah “mustahil ada sifat makhluk
yang serupa dengan sifat Allah Swt, karena sifat mengikuti
dzatnya. Jika dzatnya qadim, maka sifatnya juga qadim.
Apabila dzatnya hadist, maka sifatnya juga hadist”. Kita tau
bahwa dzat makhluk itu hadist, maka sifatnya juga hadist dan,
tentu saja, tidak sama dengan sifat Allah Swt.
57
Jika dijelaskan dengan format silogisme, maka akan menjadi seperti
ini;
Premis Minor: Perbuatan makhluk itu mungkin
Premis Mayor: segala sesuatu yang mungkin dikuasai oleh Allah
Kesimpulan: Perbuatan makhluk dikuasai oleh Allah
Lihat Syeikh Mahmud Abū Daqīqah, al-Qaul as-Sadīd fī Ilmi at-Tauhīd,
(Kairo: al-Azhar al-Sharif), Juz 2, hlm 13
58
Lihat di Syeikh Abdullāh al-Hararī, asy-Syarh al-Qawīm fī Halli Alfāzhi
ash-Shirāth al-Mustaqīm, (Beirut, Dar al-Masyari’, 2022), hlm 326-328
48
kepada segala sesuatu yang mungkin. Artinya, Allah
mengetahui segala sesuatu, menguasai dan menghendaki
segala sesuatu yang mungkin. Jika makhluk memiliki
perbuatan, maka hal itu menunjukkan keterbatasan qudrah,
iradah dan ilmuNya. Allah tidak mengetahui bahwa
perbuatan yang akan Dia ciptakan pada makhluk akan
menjadi sia-sia, sebab ternyata makhluk sudah memiliki
perbuatan. Qudrah dan iradahnya pun terbatas, karena ada
sesuatu yang berada di luar jangkauan kuasa dan
kehendakNya, yakni perbuatan makhluk. Dengan
mempertimbangkan konsekuensi ini, maka akal akan
menetapkan dengan tegas akan kemustahilannya.
49