Anda di halaman 1dari 49

Wahdaniyah1

‫وُد اْل اَلِم َغ َفاِس ٍد‬


‫ُوُج َع ْيُر‬
(Adanya alam yang tidak rusak)2

A. Argumentasi Keesaan Allah Swt

Sifat keenam yang wajib bagi Allah Swt adalah


wahdaniyyat3, baik dalam aspek dzat, sifat dan

1
Wahdaniyyah adalah salah satu dari sifat Allah Swt. Ia memiliki
pengertian yang berbeda dengan Tauhid. Secara syari’at, Tauhid
berarti hanya menyembah kepada Allah disertai dengan keyakinan
akan keesaanNya, baik pada Dzat, sifat dan af’alNya (at-Tauhīd asy-
syar’ī huwa ifrādu al-ma’būd bi al-‘ibādah ma’a I’tiqādi wahdatihi
dzātan wa shifātin wa af’ālan).
Imam al-Jurjāni menjelaskan; secara bahasa, Tauhid adalah ketetapan
akan keesaan sesuatu dan mengetahui akan keesaan Allah (al-hukmu
bianna asy-syai’ waāhidun wa al-‘ilma biannahū wāhidun). Secara
istilah Tauhid berarti membebaskan Dzat ketuhanan dari segala
sesuatu yang tergambar dalam pemahaman (sehingga mengesankan
Tuhan memiliki bentuk tertentu) dan melepaskan DzatNya dari segala
sesuatu yang terbayangkan dalam angan dan pikiran (tajrīdu adz-dzāti
al-ilāhiyyah ‘an kulli mā yatashawwaru fi al-afhām wa yatakhayyalu fi
al-auhām wa la-adzhān). Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-
Sanūsiyyah, hlm 49
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Wahdaniyyah adalah sifat
Allah Swt, sementara Tauhid adalah sikap dan perilaku seseorang
berdasarkan keyakinan akan keesaan Dzat, sifat dan af’alNya.
2
Sayyid Husain Afandi, al-Husūn al-Hamīdiyah li al-Muhāfadzah ‘alā
al-‘Aqāidi al-Islāmiyah, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
35

1
af’āl/perbuatanNya4 serta mustahil Dia memiliki sifat
ta’addud (lebih dari satu/berbilang). Wahdaniyyat sendiri
berarti Esa. Agaknya pemaknaan seperti ini lebih cocok
dibanding makna satu, sebab kata esa tidak menyisakan
kesan keberbilangan, sementara satu termasuk bilangan.
Akan tetapi, apapun makna yang ditetapkan, pada intinya
maksud keesaan Allah adalah menghilangkan berbagai
bentuk keberbilangan (‘adam at-ta’addud).

3
“Satu” memiliki beberapa makna; 1). al-wāhid al-haqīqiy (satu yang
hakiki), 2). al-wāhid bi asy-syakhsh (satu secara individu), 3). al-wāhid
bi al-Jins (ke-satu-an genus), 4). al-wāhid bi an-nau’ (ke-satu-an
spesies) 5). al-wāhid bi al-fashl (ke-satuan diferensia), 6). al-wāhid bi
al-‘aradh (ke-satu-an aksiden). Selengkapnya lihat Imam as-Sanūsī,
Syarh al-‘Aqīdatu al-Kubrā, (Damaskus: Dar at-Taqwa, 2019) Hlm 410
Pertama, adalah yang tidak menerima pembagian sama sekali,
sebagaimana Dzat Allah Swt.
Kedua, yang tidak terdiri dari banyak individu, seperti Zaid.
Maksudnya, dari sekian banyak individu terdapat satu individu yang
bernama Zaid yang terbedakan dengan ciri-ciri tertentu, seperti tinggi-
pendek. Dengan demikian, maka satu bagi Allah tidak sebagaimana
satunya Zaid, karena satunya Zaid memiliki memiliki volume tertentu,
seperti tinggi-pendek dan ia juga tersusun dari anggota tubuh yang
berbeda-beda, yakni kepala, kaki, tangan dll.
Ketiga, ialah seperti genus “hewan” yang mengimpun manusia, kuda,
kucing dll dengan hakikat yang berbeda satu sama lain. Manusia, kuda,
kucing disebut “hewan” karena mereka memiliki satu titik kesamaan,
yakni tumbuh dan berkembang biak. Dengan demikian, satu bagi Allah
tidak sebagaimana satunya genus, sebab ia masih menghimpun
berbagai hakikat yang berbeda-beda.
Keempat, seperti spesies “manusia” yang menghimpun Ahmad, Umar,
Zaid yang masing-masing sama hakikatnya. Atau spesies “binatang”
yang menghimpun kuda, kucing, ayam. Sementara satunya Allah tidak
sama dengan satunya spesies, sebab ia masih menghimpun berbagai
hakikat yang sama.

2
Barangkali kita pernah menemui konsep keesaan pada
agama lain yang diklaim oleh penganutnya, tetapi konsep
keesaan di luar agama Islam berbeda dengan konsep keesaan
yang ada pada agama Islam. Agama Kristen misalnya, ia
meyakini keesaan Tuhan, hanya saja konsepnya berbeda
dengan keesaan dalam agama Islam. Keesaan pada Agama
Kristen disebut dengan istilah Tritunggal atau Trinitas.
Artinya Tuhan itu esa, tetapi ia memilki tiga pribadi, yakni

Kelima, memuat perbedaan antara satu spesies dengan spesies yang


lain. Seperti “berpikir” yang dimiliki oleh spesies manusia tetapi tidak
dimiliki oleh spesies binatang. Sementara satunya Allah tidak
sebagaimana satunya diferensia, sebab “berpikir” juga menghimpun
Ahmad, Umar dan Zaid yang membedakannya dengan kuda kucing dan
ayam.
Keenam, yang dimaksud aksiden di sini adalah yang memuat ciri-ciri
umum atau ciri-ciri khusus pada sesuatu. Contoh ciri-ciri umum,
seperti “putih” yang ada pada kapas, salju dan awan. Sementara
contoh ciri-ciri khusus, seperti “tertawa dan penulis” yang ada pada
manusia tetapi tidak ada pada binatang. Satunya Allah tidak
sebagaimana satunya aksiden, sebab sejak awal Allah Swt bukan
aksiden, sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya. Di samping
itu, ia juga masih memuat berbagai macam hal, sementara satunya
Allah berarti ketunggalan mutlak yang tidak menerima himpunan
sebagaimana di atas.
4
Ini adalah konsep Tauhid yang dijelaskan oleh para ulama Asya’irah
dan Maturidiyyah. Sementara konsep Tauhid ala Salafi-Wahabi
mengacu kepada penjelasan Ibnu Taimiyyah. Berikut penjelasannya;
Pertama, Tauhid Rububiyyah.
• Tauhid Rububiyyah adalah konsep yang menjelaskan akan keyakinan
bahwa pencipta dan pengatur alam hanyalah Allah swt. Oleh sebab itu,
sebagai konsekuensi logisnya, setiap manusia sudah bertauhid dalam
level ini karena tidak ada dari mereka yang menilai bahwa
sesembahan/berhala mereka adalah sekutu Allah, tetapi berhala
adalah perantara untuk sampai pada Allah.

3
Bapa, Anak dan Roh Kudus. Konsep ini biasanya dianalogikan
dengan segitiga. Segitiga itu satu, tetapi ia memiliki tiga
sudut. Meskipun demikian, segitiga tetaplah satu dan tidak
akan disebut tiga hanya karena ia memiliki tiga sudut 5. Pun
juga dalam keyakinan agama Kristen. Meskipun mereka
meyakini Bapa, Anak dan Roh Kudus, tetapi Tuhan tetaplah
satu. Untuk itu, mengatakan “Tuhan tetap esa, meskipun
memiliki tiga pribadi” sama halnya dengan menyebutkan
• Konsep seperti ini bisa dibenarkan, dalam arti Allah lah Tuhan yang
menciptakan alam semesta. Tetapi masalahnya adalah, di balik konsep
ini, ada maksud dan tujuan tersendiri yang ingin diutarakan. Inilah
yang kami persoalkan.
Tujuan dan konsekuensinya; jika konsep ini diterima, maka
konsekuensi logisnya adalah sejatinya seluruh manusia telah meyakini
bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Orang yang
beragama Kristen, misalnya, tetap menerima Allah sebagai Tuhan
pencipta alam, hanya saja mereka menyelingkuhi Allah dengan cara
menganggap Yesus sebagai tuhan juga. Dengan demikian, kaum
Nasrani telah bertauhid Rububiyyah ini. Intinya, Jika seseorang,
siapapun dan apapun agamanya, menerima Allah sebagai pencipta dan
pengatur alam semesta, meskipun ia masih menganggap ada Tuhan
selain Allah, maka ia telah bertauhid Rububiyyah. Jika tidak, maka ia
telah kafir atau ateis. Jadi, catatannya, yang bermasalah dalam
pandangan mereka adalah pada sisi misi dan konsekuensi logisnya.
Kedua, Tauhid Uluhiyyah.
• Tauhid Uluhiyyah adalah konsep yang menjelaskan tentang ajaran
untuk menyembah, berdoa dan cinta hanya kepada Allah semata.
Inilah yang Wahabi anggap sebagai misi utama Nabi Muhammad saw.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logisnya, setiap orang yang sudah
bertauhid Rububiyyah, tetapi tidak bertauhid Uluhiyyah, maka ia
belum disebut muslim. Sebab, dalam pandangan mereka, meskipun
seseorang beragama Kristen dan meyakini Allah sebagai pencipta,
maka ia telah bertauhid Rububiyyah, tetapi mereka tidak dapat disebut
muslim, karena mereka belum bertauhid Uluhiyyah. Untuk itu,
seseorang dianggap telah beragama Islam setelah mereka bertauhid

4
“segitiga tetap satu, meskipun ia memiliki tiga sisi” Sementara
konsep keesaan dalam Agama Islam tidak seperti itu.

Untuk mengetahui perbedaannya, maka berikut ini


adalah beberapa poin penting tentang konsep keesaan Allah
dalam agama Islam;

Rubibiyyah dan Uluhiyyah.


• Konsep ini masih bisa dibenarkan dalam arti Allah lah satu-satunya
Tuhan yang pantas disembah, tetapi maksud di balik konsep ini yang
bermasalah. Maksudnya adalah; jika ia diterima, maka tidak ada
satupun yang pantas disembah, dimintai doa dan dicintai selain Allah.
Untuk itu, apabila seseorang melakukan tawasul, tahlil, ziarah kubur
dll, demikian, maka ia telah musyrik, karena ia dianggap telah
menyembah, meminta doa, atau cinta kepada selain Allah.
Ketiga, Tauhid Asmā' wa Shifāt.
• Tauhid Asmā' wa ash-Shifāt adalah konsep yang menjelaskan tentang
ajakan untuk meyakini nama-nama dan sifat Allah yang telah
ditetapkan dalam al-Qur'an dan Hadist.
• Konsep ini masih bisa dibenarkan dalam arti Allah memiliki berbagai
nama dan sifat yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an-Hadist, tetapi
maksud di balik konsep ini yang kami permasalahkan. Maksud
terselubung di balik konsep ini; jika ia diterima, maka setiap orang
harus menerima makna dari seluruh nama dan sifat Allah Swt secara
tekstual, tanpa melakukan tafsir atau takwil. Jika tidak, maka ia telah
melakukan kebatilan.
KEKELIRUAN KONSEP IBNU TAIMIYAH
Pertama, Sebagai konsep ilmiah, ketiga Tauhid ini memang bisa
diklasifikasi. Tetapi pada praktiknya, sisi Uluhiyyah dan Rububiyyah
tidak bisa dipisahkan. Artinya sesuatu yang mereka anggap sebagai
pencipta (Rubbubiyyah) juga akan mereka sembah (uluhiyyah).
Kemudian, anggapan bahwa setiap manusia sudah bertauhid pada
level Rububiyyah adalah keliru, karena Allah swt telah berfirman:
‫ِم‬ ‫ِب‬ ‫ِف َٰل ِب‬ ‫ّٰل ِه‬
‫َتٱل ِإْن ُك َّنا َل ى َض ٍۢل ُّم يٍن ِإْذ ُنَس ِّو يُك م َر ِّب ٱْلَٰع َل يَن‬

5
Pertama, keesaan Allah berarti tidak berbilang, baik
pada sisi Dzat, sifat dan af’alNya serta tidak ada satupun yang
menyerupai diriNya dari ketiga aspek tersebut. Imam as-
Sanusi menjelaskan6:

"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang
nyata, karena kita mempersamakan kalian (para berhala) dengan
Tuhan (Rabb) semesta alam". (QS. Asy-Syu'ara: 97-98).
Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang
disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan
“Rabb al-‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah
Allah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pembedaan istilah
“tauhid rububiyah” dan “tauhid uluhiyah” hanyalah benar dalam
tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi yang murni teoritis.
Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa dipisahkan.
Untuk itu, anggapan bahwa kaum Nasrani telah bertauhid Rububiyyah,
tetapi tidak bertauhid Uluhiyyah merupakan anggapan yang keliru.
Kedua, mereka menjadikan kesaksian akan Tauhid Rububiyyah dan
Uluhiyyah sebagai syarat menjadi muslim, sementara hal ini
bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad Saw;
‫ّٰل‬ ‫ّٰل‬
‫ َف ِإ َذا َفَعُل ْو ا َذِل َك‬،‫ُأِم ْر ُت َأْن ُأَقاِت َل الَّناَس َح َّتى َيْش َه ُد ْو ا َأْن َال ِإَل َه ِإَّال ال ُه َو َأِّني َرُس ْو ُل ال ِه‬
.‫َعَصُمْو ا ِم ِّني ِد َم اَءَه ْم َو َأْم َو اَلُه ْم ِإَّال ِبَح ِّقَه ا‬
”Aku diperintahkan untuk ‘memerangi’ manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku (Muhammad)
adalah utusan Allah. Untuk itu, apabila mereka telah melakukan itu
semua, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka
dariku, kecuali dengan hak Islam"
Hadist ini menjelaskan bahwa seseorang yang sudah bersaksi akan
keesaan Allah dalam aspek Uluhiyyah dan menyifati kerasulan Nabi
Muhammad akan dilindungi darah dan hartanya oleh Nabi. Artinya,
Nabi Muhammad tidak mensyaratkan kedua Tauhid ala Wahabi itu

6
‫ِق يَق ُة اْل ْح َد اِنَّي ِة ِع ا ٌة َع ْف ِي الَّت ُّد ِد ِفي الَّذ اِت الِّص َف اِت‬
‫َو‬ ‫َع‬ ‫َب َر ْن َن‬ ‫َو‬ ‫َو َح‬
‫ َفُه َو ُس ْبَح اَنُه اَل َش ِبيَه َل ُه ِفي َذاِتِه َو اَل ِفي ِص َف اِتِه َو اَل ِفي‬، ‫َو اَأْلْفَع اِل‬
‫َأ اِلِه‬.
‫ْفَع‬

agar seseorang dihukumi Islam. Lihat di Syeikh Abdullāh al-Hararī, asy-


Syarh al-Qawīm fī Halli Alfāzhi ash-Shirāth al-Mustaqīm, (Beirut, Dar
al-Masyari’, 2022), hlm 174.
Selain itu, bertawassul (berwasilah) tidak berkonsekuensi pada
kesyirikan, karena bertawassul berarti mengharapkan manfaat dan
tertolaknya marabahaya kepada Allah dengan perantara menyebut
nama Nabi atau waliyullāh sebagai bentuk pemuliaan (at-tawassul
huwa thalabu hushūli manfa’atin aw indifā’ mudharratin min Allāh bi
dzikri ismi nabiy aw waliy ikrāman li al-mutawassali bihi). Hal ini
disebutkan dalam al-Qur’an;
‫ٰٓيَأُّيَه ا اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا الّٰل َه َو اْبَتُغٓو ا ِإَلْيِه اْلَو ِس يَلَة َو ٰج ِه ُد وا ِفى َس ِبيِلِهۦ َلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح وَن‬
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri (berwasilah) kepadaNya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan" (QS. al-
Maidah: 5: 35).
Dengan begitu, tidak ada dalil hakiki yang menunjukkan tidak
diperbolehkannya bertawassul/berwasilah dengan para Nabi dan para
Wali Allah, baik saat tidak hadirnya mereka maupun setelah mereka
meninggal, dengan dalih bahwa hal itu dianggap sebagai ibadah
kepada selain Allah Swt. Ibid, hlm 451-452.
Ketiga, secara tidak langsung, mereka menganggap bahwa mentakwil
nama-nama dan sifat Allah sama dengan menolak keduanya. Padahal,
mentakwil keduanya tidak sinonim dengan menolak. Mentakwil berarti
menentukan makna yang pantas untukNya tanpa menolak teks yang
ada. Artinya, kita menerima bahwa Allah memiliki Nama al-Kabīr (Allah
Maha Besar) dalam asmāul husnā, tetapi maknanya yang perlu
ditakwil ke arah makna yang tidak berkonsekuensi pada

7
“Hakikat wahdaniyyat adalah ungkapan tentang peniadaan
keberbilangan dalam Dzat, sifat dan perbuatan. Tidak ada
satupun yang serupa denganNya, baik dari sisi Dzat, sifat dan
perbuatanNya”

Kedua, keesaanNya tidak sebagaimana kesatuan genus,


spesies7 dan individu. Syeikh Ibrahim al-Baijuri menjelaskan8;

keserupaanNya dengan makhluk.


Wallāhu a’lam…
5
Persoalannya, jika konsep mereka dianalogikan dengan segitiga,
maka tiga sudut pada segitiga tersebut adalah bagian yang menyusun
segitiga. Untuk itu, meskipun segitiganya satu, tetapi ia terdiri dari
bagian-bagian, sementara konsep keesaan dalam Islam tidak seperti
itu.
Di samping itu, penggunaan analogi ini keliru, sebab mereka
menganggap Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagai pribadi yang berbeda
satu sama lain. Sementara, tiga sisi pada segitiga merupakan bagian
yang menyusun segitiga.
6
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 49
7
Dalam ilmu logika, himpunan sesuatu yang menunjukkan hakikat
yang berbeda tetapi terpadu oleh suatu kesamaan disebut genus.
Sementara yang dihimpun dalam genus disebut spesies. Contoh genus
adalah himpunan yang terdiri dari Ahmad, Dandi, kucing, kambing, sapi
dll. Mereka memiliki hakikat yang berbeda-beda, tetapi terpadu oleh
suatu kesamaa, yakni “hewan”. Hewan inilah yang menjadi genus.
Sementara masing-masing dari mereka disebut spesies. Ahmad dan
Dandi adalah satu spesies, yakni manusia. Sementara kucing, kambing
dan sapi juga satu spesies, yakni binatang.
Jika kembali ke persoalan di atas, maka keesaan Allah tidak
sebagaimana kesatuan genus dan spesies, karena keduanya
merupakan himpunan dari banyak hal. Spesies manusia menghimpun
Ahmad dan Dandi, sementara spesies binatang menghimpun kucing,
kambing dan sapi. Jika keesaan Allah sebagaimana kesatuan genus,
maka sejatinya Dia tidaklah esa, sebab hal itu menunjukkan adanya

8
‫َو اْح َتَر َز ِبَه َذ ا الَّتْف ِس يِر َعِن اْلَو ْح َد اِنَّيِة اَل ِبَه َذ ا اْلَم ْعَنى َك َو ْح َد ِة اْلِج ْنِس‬

‫ ِإْذ َلْيَس َل ُه َتَع اَلى ِج ْنٌس َو اَل َنْو ٌع‬، ‫َو َو ْح َد ِة الَّنْو ِع َو َو ْح َد ِة الَّش ْخ ِص‬
‫َح َّتى َيَّتِح َد َم َع َغْي ِر ِه ِفيِه ا اَل ُمَش َّخ َص اٌت ُتَعِّيُنُه َعْن َغْي ِر ِه َك ُط وٍل‬
‫َم َو‬
‫َو َقْص ٍر ؛ َبِق َي َأَّن ِفي َه َذ ا الَّتْف ِس يِر ُقُص وًر ا َأِلَّن ُه اَل َيْش َم ُل َنْف َي اْلَك ِّم‬
‫ِد‬ ‫ِم ِل‬ ‫ِت‬ ‫ِص ِف‬
‫ اْلُم َر اُد ْن َذ َك َع َد ُم الَّتَع ُّد َم َع‬: ‫ ِإاَّل َأْن ُيَق اَل‬، ‫اْلُم َّت ِل ي الَّذ ا‬
. ‫ َفْلُيَتَأَّم ْل‬. ‫اِإْل ْتَص اِل َأْو ااِل ْنِف َص اِل‬

“Hati-hati dengan penjelasan ini (tidak ada keberbilangan dari


Dzat, sifat dan af’alNya) dari sifat wahdaniyyat, ia tidak
bermakna sebagaimana kesatuan genus, kesatuan spesies dan
kesatuan individu, karena bagiNya tidak ada genus dan spesies
sehingga mempersatukan Allah dengan selain diriNya. Tidak
ada pula kesatuan individu bagiNya yang membatasiNya dari
selain diriNya, seperti tinggi dan pendek 9. Ini merupakan

himpunan yang memiliki hakikatnya berbeda tetapi terpadu oleh suatu


kesamaan. Jika keesaan Allah sebagaimana kesatuan spesies, maka
sejatinya Dia tidak esa, sebab hal itu menunjukkan adanya himpunan
yang serupa denganNya.
8
Syeikh Ibrāhim al-Baijūrī, Tahqīqu al-Maqām ‘ala Kifāyati al-‘Awām fī
‘Ilmi al-Kalām, hlm 70
9
Maksudnya, Allah tidak sebagaimana individu tertentu yang dapat
dibedakan dengan ciri-ciri tinggi atau pendeknya, karena ciri-ciri
seperti itu hanya ada pada makhluk. Pun juga dengan besar dan kecil.
Untuk itu, memaknai “Allāhu akbar” sebagai Allah memiliki bentuk
yang besar adalah pemaknaan yang jauh dari kebenaran. Pun juga
dengan keyakinan bahwa Allah berada di atas Arsy yang menunjukkan
bahwa Allah lebih kecil dari Arsy.

9
penjelasan yang cacat, karena hal itu tidak dapat mencakup
peniadaan kam muttashil fi adz-dzāt (keberbilangan internal
pada DzatNya), meskipun ia dikatakan: ‘maksud dari hal
tersebut ialah ketiadaan keberbilangan, baik secara ittishāl
maupun infishāl10, renungikanlah dengan baik’”

Ketiga, keesaanNya merupakan keesaan yang tidak bisa


dibagi-bagi, meskipun di dalam pikiran. Syeikh Said Faudah
menjelaskan11;

10
Artinya, jika ada yang berpendapat bahwa keesaan Allah
sebagaimana kesatuan genus, maka hal itu tetap saja menunjukkan
adanya keberbilangan, meskipun ia membela diri dengan mengatakan
“Allah tidak berbilang, baik secara ittishāl maupun infishāl”.
Mustahil bagi Allah mengalami ittishāl, baik pada DzatNya maupun
ittishāl dengan selain diriNya. Maksud dari ittishāl pada DzatNya
adalah ketersusunan Dzat yang menghubungkankan antara satu
bagian dengan bagian yang lain (bi an yakūna murakkaban tattashilu
ajzāuhu biba’dhihā), seperti tubuh manusia yang tersusun dari kepala,
badan, tangan dll yang masing-masing saling terhubung. Maksud dari
ittishāl dengan selain diriNya adalah seperti kemenyatuan Allah
dengan alam, baik sebentar ataupun terus-menerus (muttashil bi
al-‘ālam bihaitsu yakūnu hālan aw sāriyan fīhi). Lihat Syeikh Ahmad bin
Muhammad ad-Dardir, Syarh al-Kharidah al-Bahiyah fi ‘Ilmi at-Tauhid.
(Beirut: Dar al-Bairuti, Tth) hlm 70
Allah Swt juga mustahil mengalami infishāl. Secara sederhana, maksud
dari infishāl adalah adanya dzat yang serupa dengan dzatNya. Untuk
itu, konsep trinitas dalam agama Kristen yang menyebutkan ketuhanan
Yesus dengan sendirinya tertolak. Sebab dzat Yesus tidaklah sama
dengan Dzat Allah. Jadi bagaimana bisa ia disebut Tuhan?.
11
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 49

10
‫ َأْي َح َّتى َو ِإْن‬،‫ُمْطَل ُق الَّتْر ِكيِب َم ْعَن اُه َج َو اُز اْنِق َس اِم الَّذ اِت َو َل ْو ِذ ْهًن ا‬
‫ِن ِل ِف‬ ‫ِف‬ ‫ِس‬
‫َلْم َتْنَق ْم ِباْل ْع ِل ؛ َف ِإ َّن ُمَج َّر َد ِإْم َك ا َذ َك ي الِّذ ْه ِن َيْس َتْلِز ُم‬
. ‫الَّتْر ِكيَب‬
“Makna ketersusunan mutlak ialah dzat yang masih bisa
dibagi, meskipun pembagian tersebut terjadi di dalam pikiran,
bahkan sekalipun ia tidak dapat dibagi di realitas. Dengan
begitu, hanya karena ia bisa dibagi di dalam pikiran, maka ia
meniscayakan ketersusunan”

Penjelasan di atas dapat dipahami dengan ilustrasi


berikut; atom adalah benda terkecil dan ia tidak bisa dibagi-
bagi lagi di realitas. Sementara di dalam pikiran, kita masih
bisa membayangkan atom tersebut dibagi-bagi lagi menjadi
beberapa bagian. Karena atom masih bisa dibagi-bagi di
dalam pikiran, meskipun di realitas ia tidak bisa dibagi lagi,
maka sejatinya ia masih dikatakan tersusun. Walhasil,
tersusun tidak hanya bermakna “yang dapat dibagi
direalitas”, tetapi ia juga bermakna “bisa dibagi di dalam
pikiran”.

Jika ada yang bertanya: bagaimana dengan dzat dan sifat


Allah Swt? Bukankah ketika kita mengatakan bahwa “ini dzat”
dan “ini sifat” menunjukkan adanya pembagian?

Jawaban: untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu


memahami dua hal; (a) membedakan dua pemahaman di
dalam akal, (b) membedakan dua bagian di dalam pikiran

11
(taghāyuru mafhūmaini dzihnan wa taghāyuru juz’aini walau
dzihnan)12.

Maksud dari yang pertama; akal dapat membedakan


dan menghukumi antara dua hal bahwa “pemahaman yang
ini” bukan “pemahaman yang itu”. Contohnya seperti dzat
dan sifat. Akal dapat memahami bahwa dzat bukan sifat dan
sifat bukanlah dzat. Sementara ini bukanlah maksud dari
pembagian dalam pikiran yang dijelaskan di atas. Artinya,
ketika akal membedakan dzat dan sifat, maka hal itu tidak
meniscayakan adanya pembagian, sebab hubungan dzat dan
sifat tidak dibangun berdasarkan hubungan kuantitas. Akal
hanya membedakannya, bukan membaginya. Kenapa
demikian? Karena sejak awal dzat dan sifat memang bukan
bagian-bagian yang dapat terpisah satu sama lain,
sebagaimana yang telah kami jelaskan pada bab-bab
sebelumnya. Oleh karena itu, mengenai sifat dan dzat, para
Ulama Asya’irah mengatakan “sifat bukanlah dzat, tapi sifat
juga bukan selain dzat” (lā ‘ain adz-dzā t wa lā ghairihā )13. Hal
12
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 49-40
13
Setelah menjelaskan masing-masing dari makna satu di atas, kita
juga perlu mengetahui bahwa “tidak setiap perbedaan dalam
pemahaman meniscayakan ketersusunan di realitas” (annahu laisa
kullu taghāyur fī mafhūm yalzamu at-tarkību al-khātijī). Misalnya,
“manusia” tersusun dari dua pemahaman di dalam akal, yakni
“hewan” dan “berpikir”. Pada saat yang sama kita tidak bisa
mengatakan; “manusia tersusun di realitas”. Untuk itu, yang benar
adalah “di dalam akal, manusia tersusun dari dua pemahaman, yakni
hewan dan berpikir, sementara di realitas, ia tersusun dari anggota
tubuh”. Jadi, yang membuat manusia dikatakan tersusun di realitas
bukan karena dua pemahaman tersebut, tetapi karena terdiri dari
anggota tubuh. Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah,
hlm 49

12
ini, tidak lain, untuk menunjukkan bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.

Jika ada yang bertanya: “jika dzat dan sifat tidak terpisah,
lantas apa bedanya dengan konsep trinitas?”

Jawaban: dalam konsep trinitas, Bapa, Anak dan Roh


Kudus hadir sebagai substansi, sementara qudrah, iradah dll
hadir sebagai sifat. Sebagaimana yang telah kami bahas
sebelumnya bahwa substansi tidak menempati substansi
yang lain. Selain itu, substansi yang satu dengan yang lain
memang terpisah. Oleh karena itu, ia tidak lagi disebut esa.
Hal ini tentu saja berbeda dengan relasi dzat-sifat.

Maksud dari yang kedua; akal membedakan antara


satu bagian dengan bagian yang lain. Misalnya manusia. Akal
dapat membedakan bahwa ini kepala, ini leher, ini tangan, ini
tubuh dan ini kaki. Pembedaan ini terjadi berdasarkan
hubungan kuantitas. Artinya pembedaan tersebut
berdasarkan pada bagian-bagian yang ada pada manusia dan
ia yang memang tersusun dari bagian-bagian tersebut. Jika
kita cermati dengan baik, pembedaan jenis pertama dan
kedua ini merupakan pembedaan yang berpijak pada
hubungan yang tidak serupa. Yang pertama tidak
berdasarkan hubungan kuantitas karena keduanya, yakni
dzat-sifat, memang tidak dapat dipisahkan. Akal hanya
mampu menilai bahwa dzat bukanlah sifat dan sebaliknya
tanpa bisa membayangkan keterpisahan keduanya.
Sementara yang kedua berdasarkan hubungan kuantitas,
karena sesuatu yang dibedakan memang terdiri dari bagian-
bagian dan dapat dibayangkan keterbagiannya di dalam akal.

13
Dengan kata lain, meskipun akal dapat memahami “ini
dzat” dan “ini sifat”, tetapi akal tidak dapat membayangkan
keterpisahan keduanya. Berbeda dengan manusia, akal dapat
memahami “ini kepala” dan “ini tangan”, tetapi akal bisa
membayangkan keterpisahan antara satu dengan yang lain.

Dengan demikian, sekali lagi, jika terdapat sesuatu yang


bisa menerima pembagian, dapat memecahnya menjadi
beberapa bagian tertentu di dalam akal, meskipun di realitas
sudah tidak dapat dibagi-bagi lagi, maka sejatinya ia masih
dikatakan tersusun, sementara dzat Allah Swt tidaklah seperti
itu.

Sifat wahdaniyyat meniadakan keberbilangan. Sementara


macam-macam dari keberbilangan yang ditiadakan oleh sifat
ini ialah; (i) kam muttashil fi adz-dzāt, (ii) kam munfashil fi
adz-dzāt, (iii) kam muttashil fi ash-shifāt, (iv) kam munfashil
fi ash-shifāt, (v) kam munfashil fi al-af’āl.

Pertama, kam muttashil fi adz-dzāt maksudnya


“keberbilangan internal pada Dzat Allah”, sementara sifat
wahdaniyyat meniadakan hal ini. Maksudnya, sifat
wahdaniyyat meniadakan akan adanya keberbilangan bagi
Dzat Allah. Penting dicatat, bahwa maksud dari keesaan Dzat
Allah di sini adalah DzatNya tidak tersusun dari substansi dan
aksiden14, tidak terdiri dari materi dan bentuk 15 atau tidak

14
Allah tidak tersusun dari substansi dan aksiden karena substansi
meniscayakan kebertempatan dan aksiden meniscayakan
kebergantungan pada yang lain.
15
Kata “materi” di sini adalah terjemah dari “hayūlā”, sedangkan
“bentuk” terjemah dari “shūrah”. Yang perlu diketahui, dalam tradisi
filsafat, maksud dari materi dan bentuk di sini tidak dipahami

14
terdiri dari hal lain yang bisa diasumsikan ketersusunannya 16
(fa al-muttashil an takūna dzātuhu murakkabatan min
jawāhir wa a’rādh, aw takūna murakkabatan muthlaqan
walau min ghairi al-jauhar wa al-‘aradh ka al-hayūlā wa ash-
shūrah aw ay amrin ākhar muftaradh)17.

Jika ada yang bertanya: “bukankah Allah memiliki sifat?


Dengan begitu bisakah dikatakan bahwa Dia adalah Dzat yang
tersusun dengan sifat?”

sebagaimana dalam konteks sehari-hari, seperti materi dipahami


sebagai sesuatu yang terindra atau yang bisa diraba, dan bentuk
dipahami sebagai kotak, bulat, lonjong dll. Tetapi yang dimaksud dari
kedua istilah tersebut adalah; (i) materi merupakan substansi yang
memiliki potensi (al-quwwah). (ii) bentuk adalah substansi yang
memiliki perwujudan/aktualisasi (al-fi’il).
Misalnya buku. Ia adalah substansi yang memiliki potensi, artinya buku
tersebut bisa menjadi sesuatu yang lain, misalnya jadi abu setelah
dibakar. Nah, dalam tradisi filsafat, buku itu disebut materi bukan
karena ia bisa dilihat dan diraba, tetapi karena ia yang memiliki
potensi. Sementara maksud dari bentuk yang ada pada buku bukan
kotak itu sendiri, tetapi ia yang memiliki perwujudan/aktual dari
sesuatu yang lain. Walhasil, jika buku dilihat dari sisi ia yang memiliki
potensi, maka buku disebut materi. Jika buku dilihat dari sisi ia yang
memiliki perwujudan/aktualitas, maka buku disebut bentuk. Jadi,
kepemilikan potensi dan perwujudan itulah yang membuat buku
disebut materi dan bentuk. Jadi kesimpulannya; Allah tidak tersusun
dari materi dan bentuk, karena Allah tidak memiliki potensi yang dapat
membuat diriNya berubah menjadi yang lain, dan Dia juga bukan
wujud yang aktual dari sesuatu yang lain. Selengkapnya liat di
Muhammad Nuruddin, Ilmu Maqulat; dan Esai-Esai Pilihan Seputar
Logika, Kalam dan Filsafat, (Depok: Keira, 2020), hlm 50-54
16
Keesaan Allah tidak sebagaimana kesatuan genus, spesies dll, karena
akal dapat membayangkan ketersusunannya.
17
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 49-50

15
Jawaban: jelas tidak bisa, sebab, sebagaimana yang
pernah kami singgung di tulisan sebelumnya, bahwa adanya
sifat pada dzat tidak bisa dikatakan tersusun, sebab, sifat
bukan selain dzat18. Sementara, sifat dikatakan bukan selain
dzat karena sifat tidak bisa dipisahkan dari dzat. Di sini
pentingnya kita mengetahui hubungan antara sifat dan dzat.
Untuk itu, apabila ada tuduhan bahwa Allah tersusun karena
Dia memiliki berbagai sifat dan itu menunjukkan
keberbilanganNya, maka sejatinya ia belum memahami
tentang hubungan keduanya.

Kedua, kam munfashil fi adz-dzāt maksudnya


“keberbilangan eksternal pada Dzat Allah” atau dalam bahasa
lain “ada dzat yang serupa dengan Dzat Allah”, sementara hal
ini ditiadakan oleh sifat wahdaniyyat. Artinya tidak ada
satupun dzat yang serupa dengan DzatNya. Atau dengan kata
lain, tidak ada satupun Tuhan selain Allah Swt. Sampai di sini,
maka ketahuilah bahwa peniadaan kam muttashil fi adz-dzāt
adalah bentuk penolakan atas paham mujassimah (golongan
yang memahami bahwa Allah terdiri dari anggota tubuh).
Sementara peniadaan kam munfashil fi adz-dzāt adalah
bentuk penolakan atas paham kelompok tertentu yang
menyatakan bahwa Allah memiliki sekutu atau ada Tuhan
selain Allah (wa’lam anna fī nafyi al-kammi al-muttashil fī
adz-dzāt raddan ‘alā al-mujassimah, wa fī nafyi al-kammi al-
munfashil fīhā raddan ‘alā ats-tsanawiyyah al-musyrikīn)19.

18
Ibid, hlm 49
19
Syeikh Muhammad bin Ahmad ad-Dasūkī, Hāsyiyah ad-Dasūkī ‘ala
Syarh Umm al-Barāhīn. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
154

16
Dengan begitu maka dapat kita tarik suatu kesimpulan
bahwa maksud dari keesaan Dzat Allah Swt adalah; (i) Allah
tidak tersusun dari substansi-aksiden, materi-bentuk, atau
apapun yang dapat dibayangkan ketersusunannya (ii) Tidak
ada satupun dzat yang menyerupai DzatNya. Kedua makna ini
harus senantiasa disandingkan, sebab matahari dan bulan
hanya ada satu, tetapi ia tersusun. Berbeda dengan Allah. Dia
adalah satu-satunya Tuhan, dan DzatNya tidak tersusun20.

Ketiga, kam muttashil fi ash-shifāt maksudnya


“keberbilangan internal pada sifat Allah” atau dalam bahasa
lain “adanya keberbilangan dari masing-masing sifat Allah”,
seperti sifat qudrah Allah ada dua, sifat iradahNya ada dua,
begitu seterusnya. Inilah yang ditiadakan oleh sifat
wahdaniyyat. Maksudnya sifat qudrah Allah hanya satu, sifat
iradahNya juga hanya satu, pun juga dengan sifat-sifat yang
lain. Hal ini penting untuk dijelaskan demi meniadakan
asumsi; “karena Allah menguasai, menghendaki dan
mengetahui banyak hal, maka sifat qudrah, iradah dan sifat
ilmuNya juga banyak”.

Keempat, kam munfashil fi ash-shifat maksudnya


“keberbilangan eksternal pada sifat Allah” atau dalam bahasa
lain “ada sifat makhluk yang serupa dengan sifat Allah”.
Karena salah satu penjelasan dari sifat wahdaniyyat adalah
tidak ada satu makhlukpun yang memiliki sifat yang serupa
dengan Allah Swt, maka kam muttashil fi ash-shifāt ini
tersingkirkan dengan sendirinya. Artinya mustahil ada sifat
makhluk yang serupa dengan sifat Allah Swt.

20
Ibid, hlm 154

17
Jika ada yang bertanya: “bukankah makhluk dan Allah
tetap saja memiliki keserupaan, yakni sama-sama memiliki
sifat?”

Jawaban: memang benar, Allah memiliki sifat dan


makhluk juga memiliki sifat, tetapi bukan ini yang menjadi
maksud dari penjelasan di atas. Keserupaan dalam
penyebutan, yakni dari aspek “sama-sama memiliki sifat”
bukanlah sesuatu yang menjadi persoalan. Yang menjadi
persoalan adalah ketika dikatakan bahwa hakikat sifat Allah
dan sifat makhluk merupakan dua hal yang serupa.

Misalnya, hakikat sifat ilmu yang dimiliki oleh Allah dan


makhluk. Keduanya jelas berbeda. Ilmu makhluk diperoleh
melalui pengalaman atau perasaan dengan cara tertentu, atau
melalui impresi indrawi (efek yang muncul pada pikiran atau
perasaan setelah indra bekerja). Sementara ilmu Allah tidak
seperti itu. Bahkan Allah telah mengetahui sebelum segala
sesuatu tercipta21. Ilmu makhluk hādist/baru dan memiliki
tahap tertentu, sementara ilmu Allah tidak seperti itu22.

21
Penjelasan seperti ini perlu disampaikan untuk menghilangkan
angggapan bahwa Allah mengetahui sesuatu setelah sesuatu itu
terjadi. Misalnya, ketika dikisahkan satu kejadian dimana terjadi tawar-
menawar antara Allah dan Nabi Muhammad tentang jumlah waktu
solat pada momen Mi’raj. Dari peristiwa ini, memberikan kesan bahwa
Allah seolah baru mengetahui terjadinya tawar menawar tentang
jumlah waktu solat pada saat itu. Padahal yang benar, Allah telah
mengetahui semua itu. Tetapi yang menjadi pertanyaan, jika Allah
telah mengetahuinya, lantas mengapa Allah mula-mula menetapkan
lima puluh waktu? Kenapa tidak langsung ditetapkan lima waktu saja?
Syeikh al-Bujairami pernah memberikan jawaban tentang hikmah di
balik kejadian itu. Beliau menjelaskan;

18
Selain itu, Imam al-Ghazali menjelaskan tentang rumus
untuk menjelaskan keberbedaan dua hal yang tampak sama
dengan keterangan sebagaimana berikut23:

‫ َلْم َتُك ِن اِإْل ْثَنْيِنَّي ُة‬، ‫ َف ِإ ْن َلْم َيُك ْن َتَغ اُيٌر‬، ‫َأَّن ُك َّل اْثَنْيِن ُه َم ا ُمَتَغ اِيَر اِن‬
‫ َأْو ِفي َمَح ٍّل َو اِح ٍد ِفي‬، ‫َم ْع ُقوَلًة؛ َفِإ َّنا اَل َنْع ِق ُل َس َو اَد يِن ِإاَّل ِفي َمَح َّلْيِن‬
‫ َو ُمَباِيًن ا َل ُه َو ُمَغ اِيًر ا؛ ِإَّم ا ِفي‬، ‫ َفَيُك وُن َأَح ُد ُه َم ا ُمَف اِر ًق ا ِلآْل َخ ِر‬، ‫َو ْقَتْيِن‬
‫ َو الَّش ْيَئاِن َيَتَغ اَيَر اِن َت اَر ًة ِبَتَغ اُيِر اْلَح ِّد‬، ‫اْلَمَح ِّل َو ِإَّم ا ِفي اْل َو ْقِت‬
‫َو اْلَح ِق يَق ِة؛ َك َتَغ اُيِر اْلَح َر َك ِة َو الَّل ْو ِن ؛ َفِإ َّنُه َم ا َو ِإِن اْجَتَم َع ا ِفي َمَح ٍّل‬
‫ َفُه َم ا اْثَن اِن ؛ ِإْذ َأَح ُد ُه َم ا ُمَغ اِيٌر ِلآْل َخ ِر‬، ‫َو اِح ٍد ِفي َو ْقٍت َو اِح ٍد‬
.‫ِبَح ِق يَق ِتِه‬

‫ِء ِس‬ ‫ِف ِل‬ ‫ِح‬ ‫ِل‬ ‫ِق ِه ِف ِع ّٰل ِه ِف‬


‫ َفَم ا اْل ْك َم ُة ي َج ْع َه ا َلْيَل َة اِإْل ْس َر ا َخ ْم يَن‬، ‫َفِإ ْن يَل َي ي ْلِم ال ي اَأْلَز َخ ْم ٌس‬
‫ َأَّنُه ِإَّنَم ا َفَر َض َه ا ُسْبَح اَنُه َو َتَع اَلى َخ ْم ِس يَن َم َع ِع ْلِم ِه ِفي‬: ‫ُثَّم َنَس َخ َه ا ِإَلى اْلُخ ْم ِس ؟ َو اْلَجَو اُب‬
. ‫اَأْلَز ِل َأَّنَه ا َخ ْم ٌس ِلَيْظَه َر َش َر ُف الَّنِبِّي ِبَق ُبوِل َش َف اَعِتِه ِفي الَّتْخ ِف يِف‬
“Jika ada pertanyaan, ‘Dalam ilmu Allah yang azali, solat hanya lima
waktu. Lalu apa hikmah membuat lima puluh waktu solat pada malam
Isra’ lalu menggantinya menjadi lima waktu?’. Jawabnya, Allah tetap
mewajibkan lima puluh waktu, meskipun dalam ilmuNya yang azali
solat tetap lima waktu, hal itu untuk menyebutkan kemuliaan Nabi
Muhammad Saw dengan penerimaan syafaatnya tentang keringanan
jumlah solat”. Lihat di Syekh Sulaimān al-Bujairimī, Bujairimī ‘alā
Khatīb, (Beirut, Darul Fikr: 2007), Juz 1, hlm 383).
22
Syeikh Saīd Faudah, Hāsyiyah ‘alā Tahżīb Syarh al-Kharīdah al-
Bahiyah (Yordania: al-Ashlain li ad-Darsat wa Nasyr, 2017), hlm 83-84
23
Imam al-Ghazālī, al-Iqtishād fī al-I'tiqād, hlm 197

19
“Setiap ada dua hal, maka keduanya pasti berbeda, jika tidak
berbeda, maka ia bukan dua secara akal. Untuk itu, kami tidak
akan bisa membayangkan dua warna hitam kecuali ia berada
di dua tempat, atau ia berada dalam satu tempat (tetapi
berada) dalam dua waktu (yang berbeda). Maka dari itu, yang
satu menjadi terpisah, kontras dan berbeda dengan yang lain.
Sementara terjadinya perbedaan; (1) adakalanya dalam aspek
tempat, (2) adakalanya dalam aspek waktu, dan terkadang
dua hal menjadi berbeda dengan (3) perbedaan esensi dan
hakikatnya, seperti gerak dan warna. Keduanya berkumpul
dalam satu tempat dan satu waktu, lalu tetapi dikatakan dua,
karena yang satu dengan yang lain berbeda dalam aspek
hakikat24”

Dengan demikian, meskipun Allah dan makhluk sama-


sama memiliki sifat, keduanya tetaplah berbeda. Sifat yang
satu ada pada Allah, qadim, hakikatnya jelas berbeda dan
yang lain ada pada makhluk, diciptakan dan hakikatnya yang
jauh lebih rendah.

24
Dua hal dalam dua tempat; kita bisa bayangkan dua papan tulis di
depan kita dan keduanya berwarna putih. Pertanyaannya, apakah
kedua warna putih pada dua papan tulis itu berbeda? jelas berbeda.
Kenapa? karena putih berada di dua tempat, yakni dua papan tulis.
Dua hal dalam satu tempat, tetapi berbeda waktu; Ahmad duduk di
atas kursi A, lalu Ahmad pergi sebentar dan duduk lagi di sana.
Meskipun di Ahmad berada di tempat yang sama, tetapi ia berbeda
dalam aspek waktu.
Dua hal yang ada pada tempat yang sama, waktu yang sama, tetapi
berbeda hakikat; gerak dan warna yang ada pada Hp. Meskipun sama-
sama ada pada Hp di waktu yang sama, tetapi keduanya berbeda
dalam aspek hakikatnya.

20
Kelima, kam munfashil fi al-af’āl maksudnya “ada
af’āl/perbuatan yang bisa memberikan dampak (atsar) selain
perbuatan Allah”. Dampak atau atsar yang dimaksud di sini
adalah mengadakan sesuatu yang pada mulanya tiada atau
peniadaan sesuatu yang sebelumnya ada (anna al-atsar
ma’nāhu an yūjada amrun kāna ma’dūman aw yu’damu amrun
kāna maujūdan)25. Sementara sifat wahdaniyyat meniadakan
hal itu, yakni kam munfashil fi al-af’āl. Artinya tidak ada
satupun makhluk yang memiliki af’al/perbuatan. Semua yang
terjadi dan yang dilakukan oleh makhluk, pada hakikatnya
adalah perbuatan Allah Swt. Pun juga yang membuat api
dapat membakar sesuatu, makanan bisa menghilangkan rasa
lapar, air mineral bisa melenyapkan dahaga dsb, semuanya
adalah perbuatan Allah; artinya membakar bukanlah
perbuatan api, menghilangkan lapar bukanlah perbuatan
makanan, melenyapkan dahaga bukanlah perbuatan air,
namun itu semua berpulang pada perbuatan Allah Swt. Untuk
itu, jika seseorang ingin berdiri, misalnya, maka yang
membuat ia ingin berdiri adalah Allah, yang menciptakan
perbuatan berdiri padanya juga Allah Swt, bukan dirinya.26.
25
Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, hlm 52
26
Dengan penjelasan ini, kita harus benar-benar memperhatikan
bagaimana kita meyakini suatu kejadian, sebab keyakinan tersebut
dapat melahirkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda, yakni; 1)
Barang siapa yang meyakini bahwa api dapat membakar sesuatu
dengan dirinya sendiri, maka para Ulama sepakat akan kekafirannya. 2)
Barang siapa yang meyakini bahwa api dapat membakar dengan
kekuatan yang Allah titipkan padanya, atau yang meyakini bahwa
perbuatan manusia dapat terwujud karena kekuatan yang dititipkan
Allah padanya, maka ia telah fasik. 3) Barang siapa yang meyakini
bahwa api tidak dapat membakar, yang membakar adalah Allah, tetapi
hal itu terjadi secara pasti (keniscayaan rasional), maka ia termasuk

21
Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya kita
mengetahui terlebih dahulu definisi dari beberapa istilah
kunci terkait dengan pembahasan ini, sebab ketidakpahaman
akan sesuatu bermula dan bermuara pada definisi. Beberapa
istilah tersebut adalah fi’lullāh, khalq, atsar, af’āl al-
Ikhtiyāriyyah, af’āl al-idhthirāriyyah, majbūr dan kasb.

Maksud dari fi’lullāh (perbuatan Allah) adalah ungkapan


yang menggambarkan tentang penciptaan suatu objek, yakni
menciptakan suatu objek dari yang awalnya tiada menjadi
ada (fi’lullāh ta’ālā ‘ibāratun ‘an khalqi li al-maf’ūl, ay ījād li
al-maf’ūl min al-‘adam ila al-wujūd)27.

Maksud dari khalq ialah mengadakan sesuatu dari


ketiadaan, bukan dari sifat yang disematkan pada sesuatu,
tetapi ia merupakan penciptaan secara mutlak (anna al-khalq
huwa al-ījād min al-‘adam lā ‘alā sabīli al-ittishāf, bal huwa
muthlaq al-ījād)28. Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa
meskipun Allah menyematkan sifat qudrah pada makhluk,
tetapi ia tidak dapat menciptakan tindakan apapun yang

orang yang bodoh, sebab tidak mengetahui hakikat hukumnya, atau


boleh jadi keyakinan tersebut dapat menyeretnya pada kekafiran,
sebab dengan begitu ia akan mengingkari mukjizat para Nabi, seperti
api yang tidak membakar Nabi Ibrahim. Keyakinan yang benar; 4)
barang siapa yang meyakini bahwa yang membakar adalah Allah,
bukan api, dan hal itu mumkin terjadi secara rasional, maka ia
termasuk mukmin yang selamat. Lihat di Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb
Syarh as-Sanūsiyyah, (Yordania: Dar an-Nur al-Mubin li ad-Dirasat wa
an-Nasyr, 2016) hlm 83
27
Syeikh Saīd Faudah, Hāsyiyah ‘alā Tahżīb Syarh al-Kharīdah al-
Bahiyah (Yordania: al-Ashlain li ad-Darsat wa Nasyr, 2017), hlm 84
28
Ibid, hlm 84

22
dapat memberikan dampak/atsar. Yang dapat mengadakan
sesuatu dari ketiadaan hanya Allah Swt.

Maksud dari atsar adalah munculnya suatu hal yang


menunjukkan akan keberadaan hal lain dan akibat yang
ditimbulkan darinya (hushū lu mā yadullu ‘alā wujū di asy-
syai’ wa an-natījah)29. Untuk itu, apapun yang terjadi di alam
semesta juga disebut atsar karena ia menunjukkan
keberadaan dan ketelibatan Allah.

Maksud dari af’al al-ikhtiyāriyyah adalah apa yang Allah


ciptakan dalam diri yang hidup, seperti seorang hamba. Ia
dapat memilih atas suatu tindakan dan Allah menciptakan
tindakan tersebut bersamaan dengan kemampuan (al-af’āl
al-ikhtiyāriyyah fahiya allatī yakhluquhā allāhu fi al-hayyi ka
al-‘abdi, wa yakūnu lahu fīhā ikhtiyār, wa khalaqallāhu
ma’ahā qudratan)30.

Dari definisi ini kita dapat memahami bahwa Allah Swt


tidak hanya menciptakan atau mewujudkan tindakan yang
telah kita pilih, tetapi Dia juga menciptakan sesuatu yang
dapat membuat kita bisa memilih. Sesuatu yang membuat
kita bisa memilih inilah disebut af’āl al-ikhtiyāriyyah.

Maksud dari af’āl al-idhthirāriyyah adalah apa yang Allah


ciptakan dalam diri yang hidup tanpa memiliki pilihan dan
kemampuan, seperti gemetar (af’āl al-idhthirāriyyah hiya
allatī yakhluquhā allāhu fi al-hayyi, wa lā yakūnu lahu fīhā

29
Syeikh Abdurrauf al-Munawi, at-Tawqīf ‘alā Muhimmāt at-Ta’ārīf,
(Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1990), hlm 38
30
Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, (Yordania:
Dar an-Nur al-Mubin li ad-Dirasat wa an-Nasyr, 2016) hlm 84

23
ikhtiyārun wa lā qudratun kaharakati al-irti’āsy). Pengertian
ini tidak jauh berbeda dengan definisi majbūr31, yakni
terjadinya suatu tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan
(hushūl al-fi’li ‘alā khilāf al-irādah).32 Gemetar adalah salah
satu kondisi yang tidak kita inginkan, tetapi ia tetap terjadi
dan kita tidak memiliki kemampuan untuk menghentikannya.

Maksud dari kasb adalah keterhubungan antara 1)


kemampuan (qudrah) dan kehendak (irādah) hadist dan 2)
perbuatan hadist yang ada pada seorang hamba tanpa bisa
menciptakan sesuatu (al-iqtirān baina al-qudrah al-hāditsah
wa al-irādah al-hāditsah wa baina al-fi’il al-hādits al-qāim bi
al-‘abdi innamā yusammā kasban aw fi’lan ay lā ‘ala sabīl al-
khlaq)33. Artinya, ketika Allah menciptakan kemampuan,
kehendak dan perbuatan pada hamba dan ketiganya
terhubung satu sama lain, maka keterhubungan itulah yang
disebut kasb. Yang perlu diperhatikan di sini adalah
keterhubungan di atas tidak memberikan dampak apapun,
baik mengadakan atau meniadakan sesuatu. Mengadakan dan
meniadakan hanya bisa dilakukan oleh Allah Swt.
31
Terdapat salah satu aliran Islam yang kemudian disebut Jabariyyah.
Mereka memiliki pandangan bahwa apapun yang terjadi pada
manusia, tidak lain dan tidak bukan, karena jabr (paksaan) dari Allah.
Artinya, manusia memiliki keinginan, tetapi ia tidak dapat memilih dan
Allah malah mewujudkan sesuatu yang berbeda dengan keinginannya.
Untuk itu, menganalogikan pemahaman Jabariyyah dengan wayang
yang dikendalikan oleh si dalang adalah analogi yang kurang tepat,
sebab wayang tidak memiliki keinginan. Sementara Ahlussunnah
memahami bahwa manusia memiliki keinginan, Allah membuat
manusia dapat memilih apa yang diinginkan, Dia juga yang
mewujudkan pilihan tersebut.
32
Ibid, hlm 84
33
Ibid, hlm 84

24
Setelah menjelaskan beberapa istilah kunci di atas, maka
kita perlu memahami keterkaitan konteks antara yang satu
dengan yang lain. Untuk itu, kita dapat ilustrasikan seperti
ini;

Allah Swt telah mengetahui dengan ilmuNya yang azali


tentang apa yang akan dilakukan oleh Zaid. Allah mengetahui
bahwa perbuatan itu dilakukan oleh Zaid sesuai dengan
keinginannya pada waktu tertentu setelah Zaid diciptakan.
Kemudian, Allah menciptakan suatu yang dapat membuatnya
memilih dan menciptakan perbuatan padanya, yang mana
Allah telah mengetahui bahwa Zaid akan menginginkannya34.

Untuk itu, misalnya, Zaid dihadapkan dengan tiga opsi


perbuatan, yakni duduk, berdiri dan berjalan. Sementara opsi
perbuatan tersebut diinformasikan oleh Allah dalam
benaknya ketika Allah ingin menciptakan af’āl al-ikhtiyārī.
Lalu, dari ketiga opsi itu, Zaid memilih untuk berdiri, dan
yang membuat Zaid bisa memilih perbuatan berdiri adalah
Allah, kenapa? karena, Allah menciptakan af’āl al-ikhtiyārī
kepada Zaid. Seandainya Allah tidak menciptakan af’āl al-
ikhtiyārī tersebut, maka Zaid tidak akan bisa memilih.
Kemudian, setelah Zaid memilih untuk berdiri, maka Allah
yang menciptakan perbuatan berdiri bersamaan dengan
kemampuan (qudrah) pada Zaid35. Dari sini menunjukkan
34
Syeikh Saīd Faudah, Hāsyiyah ‘alā Tahżīb Syarh al-Kharīdah al-
Bahiyah (Yordania: al-Ashlain li ad-Darsat wa Nasyr, 2017), hlm 87
35
Ini merupakan upaya penyederhanaan dari keterangan Imam as-
Sanūsī. Berikut penjelasannya;
‫َو َبَياُن َذِلَك َأَّن الّٰل َه َتَع اَلى ِإَذا َأَر اَد َخ ْل َق ِفْع ٍل اْخ ِتَي اِر ٍّي ِفي اْلَعْب ِد َك اْلِق َي اِم َو اْلُقُع وِد َو اْلَم ْش ِي‬
‫ِت ِل ِل ِف‬ ‫ِل ِقِه‬ ‫ِد‬ ‫ِط‬
‫ َأْي‬، ‫ َو َيْجَعُل َخ ْل َس َبًبا َو ُه َو اْخ َياُر ُه َذ َك اْل ْع ِل‬، ‫ َفِإ َّنُه َج َّل َو َعاَل ُيْخ ُر ُه ِبَباِل اْلَعْب‬، ‫َم َثاًل‬

25
bahwa apapun yang dilakukan oleh hamba, termasuk juga
kecenderungan memilih tindakan tertentu merupakan
perbuatan yang diciptakan oleh Allah Swt. inilah yang
dimaksud dengan wahdaniyyāh fi al-af’āl. Fase dari contoh di
atas adalah sebagai berikut36;

‫ َو ِه َي ِص َفٌة‬،‫ َو َخ َلَق َلُه َم َعُه ُقْد َر ًة‬،‫ َفِإ َذا اْخ َتاَر ُه َو َتَو َّج َه ِإَلْيِه َخ َلَق ُه الَّلُه ِفيِه‬،‫ِإَر اَدُتُه َلُه َو َمْيِلِه ِإَلْيِه‬
‫ِف ِه ِث‬ ‫ِبِه ِم‬ ‫ِب‬ ‫ِت‬ ‫ِب ِف‬ ‫ِد‬
‫ َأْي َتْر َت ُط َو َتْق َتِر ُن ْن َغْيِر َأْن َيُك وَن َلَه ا ي َتْأ يٌر‬، ‫ُوُج و َّيٌة َتَتَعَّلُق اْل ْع ِل اِإْل ْخ َياِر ِّي‬
“Penjelasannya; ketika Allah ingin menciptakan tindakan memilih
pada seorang hamba, seperti berdiri, duduk dan berlari, maka Allah
membesitkannya dalam benak hamba dan menjadikannya (tindakan
memilih yang Allah ciptakan) sebagai sebab atas pilihan yang
ditetapkan oleh hamba. Artinya Allah yang menghendaki seorang
hamba dan membuatnya bisa cenderung pada perbuatan itu. Ketika ia
telah memilih dan cenderung pada perbuatan tersebut, maka Allah
menciptakan perbuatan itu padanya bersamaan dengan qudrah —
sifat yang eksis yang berhubungan dengan tindakan memilih— dalam
arti dihubungan dan digabungkan (qudrah tersebut) dengan tindakan
memilih tanpa bisa memberikan dampak.” Lihat Syeikh Saīd Faudah,
Tahdzīb Syarh as-Sanūsiyyah, (Yordania: Dar an-Nur al-Mubin li ad-
Dirasat wa an-Nasyr, 2016) hlm 84
36
Yang perlu diketahui, fase-fase ini dijelaskan dalam rangka agar
dapat mempermudah saja.

26
Fase 1
Allah mengetahui sejak azali tentang
apa yang akan dipilih dan dilakukan
oleh Zaid pada waktu tertentu setelah
Zaid diciptakan

Fase 3 Fase 4
Fase 2 Allah menciptakan
Zaid memilih berdiri
Allah dan ia bisa memilih tindakan yang telah
menginformasikan/ itu karena Allah dipilih bersamaan
membesitkan opsi menciptakan af'āl al- dengan kemampuan
tindakan (duduk, ikhtiyāri . (qudrah) pada Zaid.
berdiri, berlari) Seandainya Allah Keterhubungan af'āl
dalam benak Zaid Swt tidak al-ikhtiyāri dan
dan menciptakan menciptakan af'āl al- qudrah pada Zaid
af'āl al-ikhtiyārī ikhtiyāri pada Zaid, yang tidak bisa
kepadanya agar ia maka Zaid tidak memberikan
dapat memilih akan bisa memilih dampak disebut
apapun kasb

Jika ada yang bertanya: “pada keterangan sebelumnya


dijelaskan bahwa sifat qudrah Allah tidak sama dengan
makhluk. Hal ini menunjukkan bahwa Zaid memiliki sifat
qudrah. Lantas mengapa tidak dikatakan bahwa sifat qudrah
Zaid yang menyebabkan ia bisa berdiri?”

27
Jawaban: Zaid memang memiliki sifat qudrah, sifat
tersebut, tentu saja diciptakan oleh Allah padanya. Hanya saja
sifat itu tidak dapat memberikan dampak sama sekali,
bahkan untuk sekedar berdiri. Untuk itu, Allah menciptakan
perbuatan berdiri bersamaan dengan sifat qudrah yang tidak
bisa memberikan dampak apapun. Di sini, catatannya adalah
perwujudan perbuatan berdiri diciptakan oleh Allah
bersamaan dengan sifat qudrah Zaid, bukan disebabkan
oleh sifat qudrah Zaid. Pun juga yang terjadi pada asbāb
al-‘ādiyyah (sebab yang bersandar pada kebiasaan, seperti api
dapat membakar dll). Allah lah yang menciptakan terbakar
bersamaan dengan asbāb al-‘ādiyyah, yakni api, bukan
disebabkan oleh asbāb al-‘ādiyyah itu sendiri. Dengan begitu,
selama tindakan yang kita pilih dalam kehidupan sehari-hari
masih terjadi, maka proses seperti ini juga akan selalu terjadi.

Perbuatan yang disandarkan kepada Allah disebut nisbat


al-khalq (nisbat penciptaan), sebab hanya Dia yang dapat
menciptakan dan meniadakan. Sementara perbuatan yang
disandarkan kepada makhluk disebut nisbat al-kasb (nisbat
kasb) karena adanya keikutsertaan kita dalam memilih dan
melakukan sesuatu. Maksud dari “keikutsertaan” di sini
adalah Allah menciptakan fi’l al-ikhtitiyār, qudrah-iradah dan
perwujudan tindakan yang kita pilih kepada diri kita.

Jika ada yang bertanya: “jika semuanya adalah perbuatan


Allah, lantas apa gunanya kita berusaha?”

Jawaban: secara sederhana, alasan kepada kita tetap


harus berusaha adalah karena kita tidak mengetahui apa yag
akan terjadi pada diri kita di masa depan. Yang jelas, ketika
kita berusaha, maka kita akan berhadapan dengan dua

28
peluang; berhasil atau gagal. Sementara berdiam diri hanya
akan mengantarkan kita pada kegagalan.

Mengenai wahdaniyyat fi al-af’āl, Syeikh al-Fudhali


mencoba mengingatkan bahwa pemahaman ini berbeda
dengan wahdaniyyat fī adz-dzāt yang menjelaskan bahwa
makhluk memiliki dzat, hanya saja dzat mereka sama sekali
berbeda dengan Dzat Allah Swt. Pemahaman ini juga berbeda
dengan wahdaniyyat fī ash-shifāt yang menjelaskan bahwa
makhluk memiliki sifat, tetapi sifat mereka sama sekali
berbeda dengan sifat Allah Swt. Dalam wahdaniyyat fi al-af’āl
menetapkan bahwa hanya Allahlah yang memiliki
perbuatan/af’āl, makhluk tidak memilikinya sama sekali37.

Adapun argumentasi akan kebenaran penjelasan ini


adalah sebagaimana berikut;

Dalil naqli, Allah Swt berfirman bahwa Dialah yang


menciptakan segala sesuatu;

‫َٰذ ِلُك ُم الّٰل ُه َر ُّبُك ْم ۖ اَل ِإٰلَه ِإاَّل ُه َو ۖ َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء َفاْع ُبُد وُهۚ َو ُه َو َعَلى‬
‫ٍء ِك‬
‫ُك ِّل َش ْى َو يٌل‬
37
Redaksinya sebagai berikut:
‫ َأِلَّنُه َيْق َتِض ي َأَّنُه ِلَغْي ِر‬،‫ َلْيَس ِلَغْي ِر الّٰل ِه ِفْع ٌل َك ِف ْع ِلِه‬: ‫َو اَل ُتَفَّس ُر اْلَو ْح َد ُة ِفي اَأْلْفَع اِل َكَق ْو ِلَك‬
‫ِط‬ ‫ِف ّٰل ِه‬ ‫ّٰل ِه ِف ِك‬
‫ َو ُه َو َبا ٌل‬، ‫ال ْع ٌل َل َّنُه َلْيَس َك ْع ِل ال‬
“Keesaan perbuatan Allah tidak dijelaskan dengan pernyataanmu;
‘selain Allah, tidak ada yang memiliki perbuatan seperti
perbuatanNya’ karena hal itu menunjukkan bahwa selain Allah
memiliki perbuatan, tetapi perbuatannya tidak seperti perbuatan
Allah, sementara hal itu keliru”. Syeikh Muhammad al-Fudhālī,
Kifāyatu al-‘Awām, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008) hlm 19

29
“(Yang memiliki sifat-sifat) demikian itu ialah Allah Tuhan
kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu,
maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala
sesuatu. (QS. al-An'am: 6: 102)

Mengenai ayat ini, Imam ad-Dasuki menjelaskan 38 bahwa


ia menunjukkan akan peniadaan banyaknya Dzat Allah, tidak
ada satupun dzat yang serupa dengan DzatNya dan ia juga
menunjukkan bahwa hanya Allah yang memiliki perbuatan;
yakni mengadakan dan meniadakan. Sementara yang
dimaksud “kulli sya’i” pada ayat tersebut ialah selain Dzat dan
sifatNya. Ia merupakan redaksi umum dengan maksud yang
khusus. Atau yang dimaksud “sya’i” ialah sesuatu yang
dikehendaki (anna asy-sya’i bima’na al-masyī’, wa al-masyī’
huwa al-murād)39.

38
Syeikh Muhammad bin Ahmad ad-Dasūkī, Hāsyiyah ad-Dasūkī ‘ala
Syarh Umm al-Barāhīn. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm
158
39
Mengenai makna “sya’i” di sini memang perlu dijelaskan, sebab
terdapat suatu kelompok yang mencoba untuk menanamkan
pemikiran sesatnya dengan mengajukan pertanyaan; “jika segala
sesuatu diciptakan, apakah Tuhan juga disebut sesuatu?. Jika Dia
bukan sesuatu, berarti Dia tidak ada, sebab ketiadaan tidak bisa
disebut sesuatu. Jika Dia sesuatu, berarti Dia diciptakan, sebab segala
sesuatu diciptakan”. Padahal maksud dari “kulli sya’i” di sini adalah
segala sesuatu selain Dzat dan sifatNya. Atau “sya’i” di sini bermakna
“al-masyī’”, yakni sesuatu yang dikehendaki. Dengan demikian, maka
ia bermakna “Allah menciptakan segala yang ia kehendaki”, sementara
kehendakNya berelasi dengan mumkināt (segala yang mungkin). Untuk
itu, memasukkan Tuhan dalam kategori “sesuatu” pada pernyataan
“segala sesuatu diciptakan” menjadi suatu pemahaman yang benar-
benar keliru.

30
Jika ada yang bertanya: “bagaimana dengan peniadaan
kam muttashil fi ash-shifāt? Apakah ayat tersebut dapat
dijadikan sebagai dalil?”

Jawaban: tidak hanya ayat di atas, bahkan ayat-ayat lain


yang menjelaskan tentang keesanNya juga sekaligus
menjelaskan tentang kemustahilan kam muttashil fi ash-
shifāt, karena keterkaitan antara dzat dan sifat. Yang
dimaksud keterkaitan dzat dan sifat di sini adalah apapun
yang terjadi pada dzat, juga akan terjadi pada sifat.
Artinya, jika telah terbukti bahwa Dzat Allah esa, maka sifat
Allah juga esa. Imam as-Sanusi menjelaskan40:

‫ِم‬ ‫ِف ِت ِه‬


‫ َلْم‬,ِ ‫َفَل ْو َو َق َع الَّتَع ُّد ُد ي َذا اِإْل َل ؛ ِب َأْن َيَتَر َّك َب ْن ُج ْز َأْيِن َف َأْك َثِر‬
‫ ِإَّم ا َأْن َتُق وَم ِص َف اُت اُأْلُلوِه َّي ِة؛ ِم َن اْلُق ْد َر ِة َو اِإْل َر اَدِة َو اْلِعْلِم‬:‫َيْخ ُل‬
‫ ِبُك ِّل ْز ٍء ِم َأ اِء اِإْل َل ِه‬،‫ َن ِو َه ا ِم ِص َف اِت اِإْل َل ِه‬، ‫اْل اَّمِة الَّت ُّلِق‬
‫ُج ْن ْج َز‬ ‫ْن‬ ‫َع َو ْح‬ ‫َع‬
. ‫ َأْو َتُقوُم ِتْلَك الِّص َف اُت ِبُج ْز ٍء َو اِح ٍد‬،‫اْلَم ْف ُر وِض َترُّك ُبُه‬
“Apabila keberbilangan Dzat Tuhan terjadi; tersusun dari dua
bagian atau lebih, maka ia tidak akan lepas dari dua
konsekuensi; adakalanya sifat-sifat ketuhanan, seperti qudrah,
iradah, ilmu yang terkait dan sifat Tuhan lainnya, eksis pada
setiap bagian yang ketersusunannya telah ditetapkan, atau
adakalanya sifat tersebut hanya eksis pada satu bagian
tertentu saja41”

40
Imam as-Sanūsī, Syarh al-‘Aqīdatu al-Wusthā, (Damaskus: Dar at-
Taqwa, 2019), hlm 355

31
Keterangan Imam as-Sanusi ini juga menunjukkan bahwa
apabila terjadi sesuatu pada dzat, maka hal tersebut juga
terjadi pada sifat.

Untuk memahami keterkaitan dzat dan sifat di atas, kita


bisa ilustrasikan seperti ini. Papan tulis adalah dzat,
sedangkan putih yang melekat padanya adalah sifat. Jika
papan tulis itu hanya satu, maka sifat putih yang ada padanya
juga satu. Apabila papan tulis itu kita belah menjadi dua,
maka sifatnya juga akan mengikuti apa yang terjadi pada
dzatnya, yakni menjadi dua. Untuk itu, dengan ilustrasi ini
menunjukkan bahwa sifat akan mengikuti dzat yang
dilekatinya.

Dalil naqli yang menunjukkan bahwa jika Allah memiliki


sekutu, maka alam semesta akan hancur;

ۚ‫َلْو َك اَن ِفيِه َم ٓا ٓأِلَه ٌة ِإاَّل الُّلُه َلَف َس َدَتا‬


“Seandainya di langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa” (QS. al-Anbiya': 21:
22).

Jika ada yang bertanya: “jika dikatakan bahwa adanya


sekutu bagi Allah akan berdampak pada kebinasaan alam,
maka bagaimana ketika kiamat, apakah itu menunjukkan
bahwa pada saat itu ada tuhan selain Allah?”

Jawaban: jelas tidak, sebab kehancuran alam pada hari


kiamat terjadi atas kehendakNya, sementara kebinasaan alam

41
Untuk penjelasan tentang kemustahilan dari dua konsekuensi ini
akan kami sertakan pada lembar dalil aqli.

32
yang dijelaskan pada ayat di atas disebabkan karena
keberbedaan kehendak tuhan yang satu dengan tuhan yang
lain. Maksudnya, tuhan yang satu ingin menciptakan alam,
sementara tuhan yang lain ingin meniadakannya, sehingga
hal itu akan berdampak pada kebinasaan alam.

Jika ada yang bertanya: “bagaimana jika kedua tuhan


sepakat untuk menciptakan alam? dengan begitu, alam
semesta tidak binasa”

Jawaban: berarti keduanya lemah, sebab mereka telah


bekerja sama untuk menciptakan alam. Penjelasan ini akan
kami uraikan nanti, Insyā Allāh.

Selanjutnya, dalil naqli yang menunjukkan bahwa khalq


(penciptaan) hanya dimiliki oleh Allah Swt dan
menegasikannya pada makhluk terdapat pada beberapa ayat
berikut;

‫ّٰل‬ ‫ِلّٰل‬
‫َأْم َجَعُل وا ِه ُش َر َك ٓاَء َخ َلُق وا َك َخ ْلِقِهۦ َفَتٰش َبَه اْلَخ ْل ُق َعَلْيِه ْم ۚ ُق ِل ال ُه‬
‫ِح‬ ‫ٍء‬ ‫ِل‬
‫ٰخ ُق ُك ِّل َش ْى َو ُه َو اْلَو ا ُد اْلَق ّٰه ُر‬
“Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaanNya sehingga
kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?"
Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan
Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa" (QS. ar-
Ra'd: 13: 16).

33
‫ٰٓيَأُّي ا الَّن ا اْذُك وا ِنْع َت الّٰل ِه َعَل ُك ۚ َه ِم َخ اِلٍق َغ الّٰل ِه‬
‫ْيُر‬ ‫ْي ْم ْل ْن‬ ‫ُر َم‬ ‫ُس‬ ‫َه‬
‫َيْر ُزُقُك ْم ِم َن الَّس َم ٓاِء َو اَأْلْر ِض ۚ ٓاَل ِإٰلَه ِإاَّل ُه َو ۖ َفَأَّنٰى ُتْؤ َفُك وَن‬
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu.
Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki
kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka mengapakah kamu berpaling?” (QS. Fathir: 35: 3).

‫َأَفَمْن َيْخ ُلُق َك َمْن اَّل َيْخ ُلُق ۗ َأَفاَل َتَذ َّك ُر وَن‬
"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan
yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran" (QS. an-Nahl: 16: 17).

Kemudian, dalil naqli yang menunjukkan tentang


penisbatan kasb kepada manusia ada pada beberapa ayat
berikut;

‫ّٰل‬
‫اَّل ُيَؤ اِخ ُذ ُك ُم ال ُه ِب الَّلْغِو ِفٓى َأْيٰم ِنُك ْم َو ٰلِكْن ُيَؤ اِخ ُذ ُك ْم ِبَم ا َك َس َبْت‬
‫ِل‬ ‫ّٰل‬
‫ُقُلوُبُك ْم ۗ َو ال ُه َغُفوٌر َح يٌم‬
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum
kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja oleh hatimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun" (QS. al-
Baqarah: 2: 225).

34
‫ّٰل‬
‫َو اَّتُق وا َيْو ًم ا ُتْر َجُع وَن ِفيِه ِإَلى ال ِهۖ ُثَّم ُتَو َّفٰى ُك ُّل َنْف ٍس َّم ا َك َس َبْت‬
‫َو ُه ْم اَل ُيْظَلُم وَن‬
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari
yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)" (QS. al-
Baqarah: 2: 281).

ۗ ‫اَل ُيَك ِّلُف الّٰل ُه َنْف ًس ا ِإاَّل ُو ْسَعَه اۚ َلَه ا َم ا َك َس َبْت َو َعَلْيَه ا َم ا اْك َتَس َبْت‬
"Allah tidak membebani seseorang (dengan aturan-aturan
syari’at) melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya" (QS. al-Baqarah: 2: 286).

Dalil aqli, pembuktian akan keesaan Allah Swt dapat


dijelaskan secara rasional. Ia tidak sebagaimana anggapan
sebagian kalangan yang mengklaim bahwa konsep ketuhanan
dalam agama Islam harus diterima secara “paksa” tanpa
boleh mengajukan sebilah tanya. Untuk itu, akan kami ulas
satu persatu;

Wahdaniyyat fi adz-dzāt42; peniadaan kam muttashil fi


adz-dzat: jika Dzat Allah tersusun dari beberapa bagian, maka
42
Lihat Syeikh Muhammad bin Ahmad ad-Dasūkī, Hāsyiyah ad-Dasūkī
‘ala Syarh Umm al-Barāhīn. (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012),
hlm 280

35
sifat-sifat Allah Swt (seperti qudrah, iradah dst) 1)
adakalanya eksis pada setiap bagian, 2) adakalanya eksis
pada beberapa bagian saja, 3) adakalanya eksis secara
menyeluruh43. Ketiga konsekuensi ini jelas mustahil terjadi
dengan beberapa alasan;

Konsekuensi pertama, jika sifat-sifat Allah eksis pada


setiap bagian yang menyusun DzatNya, maka semua bagian
yang menyusun dzat tersebut menjadi Tuhan. Alasannya
sangat rasional, karena yang disebut Tuhan itu pasti memiliki
sifat qudrah, iradah dst. Jika masing-masing dari bagian yang
menyusun dzat memiliki sifat tersebut, maka semua bagian
itu adalah Tuhan. Ini jelas mustahil terjadi.

Konskuensi kedua, apabila sifat-sifat Allah hanya eksis


pada bagian tertentu yang menyusun dzat, maka hal ini
menunjukkan akan adanya keutamaan pada bagian tertentu
43
Maksudnya dari kosekuensi pertama, sifat-sifat Allah eksis pada
setiap bagian yang menyusun Dzat Allah. Artinya masing-masing
bagiannya memiliki sifat qudrah, iradah dst. Dengan demikian, jika
Dzat Allah tersusun dari sepuluh bagian, maka sifat qudrah, iradah dst
juga ada pada sepuluh bagian itu, karena sifat-sifat tersebut melekat
pada masing-masing Dzat.
Maksud dari kosekuensi kedua, sifat-sifat Allah hanya eksis pada
sebagian Dzatnya saja. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pada bagian-
bagian tetentu yang menyusun Dzat Allah memiliki sifat qudrah, iradah
dst, sementara pada bagian yang lain tidak.
Sedangkan maksud dari kosekuensi ketiga, satu sifat Allah eksis pada
semua bagian yang menyusun Dzat Allah. Jika pada konsekuensi
pertama menunjukkan eksisnya sifat qudrah, iradah dst pada masing-
masing bagian dzat, maka pada konsekuensi ketiga menunjukkan
bahwa sifat qudrah yang eksis hanya satu, meskipun dzatnya tersusun
dari beberapa bagian, sebagaimana satu sifat kokoh yang ada pada
meja yang tersusun dari beberapa bagian.

36
yang disifati, sementara bagian lain yang tidak dilekati oleh
sifat tidak memiliki keutamaan. Jika begitu, maka akan
meniscayakan kelemahan pada setiap bagiannya, karena
bagian-bagian tersebut merupakan satu sesatuan. Artinya,
adanya kelemahan pada bagian tertentu menunjukkan akan
kelemahan pada keseluruhannya.

Konsekuensi ketiga, seandainya sifat-sifat Allah eksis


secara menyeluruh pada dzat yang tersusun dari beberapa
bagian itu, maka akan meniscayakan kelemahan pada
masing-masing bagiannya, karena sifat qudrah akan dimiliki
oleh bagian-bagian tersebut jika bagian-bagian tersebut telah
menyatu44.

Peniadaan kam munfashil fi adz-dzāt; jika ada dzat yang


serupa dengan Dzat Allah, maka hal itu menunjukkan akan
adanya Tuhan selain Allah, sementara hal ini mustahil terjadi
dengan dalil naqli;

ۚ‫َلْو َك اَن ِفيِه َم ٓا ٰأِلَه ٌة ِإاَّل الّٰل ُه َلَف َس َدَتا‬


"Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain
Allah, maka pasti keduanya akan rusak binasa" (QS. al-
Anbiya': 21: 22)

Berdasarkan ayat ini, kita akan mengetahui bahwa


kerusak-binasaan alam semesta adalah akibat yang terjadi
jika ada tuhan selain Allah Swt. Sementara saat ini kita bisa

44
Sebagaimana meja akan mendapatkan sifat kokoh apabila bagian-
bagiannya telah menyatu. Jika bagian-bagianya terpisah, maka ia
sudah tidak kokoh lagi.

37
menyaksikan bahwa alam semesta tidak binasa. Penalaran
rasionalnya adalah sebagaimana berikut;

Jika ada Tuhan selain Allah, maka akan ada dua


konsekuensi: adakalanya kedua Tuhan sepakat, adakalanya
kedua Tuhan tidak sepakat/tidak sependapat45.

A) Seandainya kedua Tuhan sepakat, maka akan ada


beberapa pengandaian;

Pertama, jika keduanya sepakat menciptakan alam,


maka hal itu meniscayakan akan adanya dua sebab yang
menghasilkan satu akibat/dampak dan ini mustahil (lazima
ijtimā’u muatstsiraini ‘alā atsarin wāhidin, wahuwa
muhālun)46, sebagaimana satu sabitan pisau pasti
menghasilkan satu goresan saja. Dengan kata lain, bagaimana
mungkin dua Tuhan hanya bisa memberikan satu dampak
saja. Seharusnya, jika ada dua Tuhan, maka dampaknya juga
ada dua47.

Yang dimaksud “satu dampak” di sini adalah ījad aw


i’dām (mengadakan atau meniadakan). Sekarang, kita bisa
menyaksikan keberadaan alam. Dengan begitu, adanya alam
semesta ini adalah satu dampak yang dimaksud. Sementara

45
Dalam Ilmu Kalam, argumentasi yang mengandaian akan
kesepakatan dua tuhan ini disebut burhān at-tawārud. Sementara
argumentasi yang mengandaikan ketidaksepakatan kedua Tuhan
disebut burhān at-tamānu’.
46
Syeikh muhammad Fudhali, Kifayatu al-’Awam, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm 20
47
Yang dimaksud dengan satu dampak adalah adanya alam ini.
Sementara pengertian dari alam adalah segala sesuatu selain Allah
yang awalnya tiada lalu diadakan.

38
pengertian alam adalah segala sesuatu selain Allah yang
awalnya tiada lalu diadakan. Untuk itu, kalaupun anggapan
para ilmuan sains tentang multiverse 48 benar-benar ada,
maka hal itu tidak menggugurkan kebenaran penjelasan di
atas, sebab multiverse adalah selain Allah, dan selain Allah
disebut alam. Jadi, ia tetap terhitung sebagai satu dampak.
Kenapa? karena multiverse diciptakan (ījad).

Jika ada yang bertanya: “bagaimana bisa hal itu mustahil


terjadi?. Adanya dua sebab yang menghasilkan satu akibat
adalah sesuatu yang mungkin terjadi, sebagaimana satu meja
yang dihasilkan oleh dua pekerja49”

Jawaban: memang benar, di realitas kita bisa


menyaksikan dua pekerja yang dapat menghasilkan satu
meja. Tetapi jika kita teliti kembali pada proses
pembuatannya, tentu kita tidak akan berkesimpulan
demikian. Misalnya, perkerja pertama membuat meja bagian
kanan, pekerja kedua membuat meja bagian kiri. Bukankah
ini menunjukkan bahwa masing-masing pekerja justru
menghasilkan akibatnya sendiri? Meja bagian kanan
disebabkan oleh pekerja pertama, meja bagian kiri dihasilkan
oleh pekerja kedua. Jadi, pada intinya, sisi yang ingin
dijelaskan pada penyampaian ini adalah untuk menegaskan
bahwa “satu sebab menghasilkan satu akibat”, bukan untuk

48
Multiverse adalah teori yang menjelaskan tentang adanya alam
semesta yang lebih dari satu. Teori ini dicetuskan setelah para ilmuan
sains melakukan serentetan penelitian tentang perilaku aneh pada
atom yang menjadi bagian penyusun alam semesta.
49
Pertanyaan ini dilihat dari sisi “satu sebab” dari pernyataan “satu
sebab hanya menghasilkan satu akibat”.

39
menjelaskan bahwa alam diciptakan oleh dua Tuhan
dengan proses seperti ini!.

Jika ada yang bertanya: “bagaimana dengan contoh


percikan api yang berdampak pada kebakaran hutan, polusi
udara dan sesak nafas yang dialami oleh warga sekitar?
Bukankah percikan api tersebut tidak hanya menghasilkan
satu akibat/dampak?”50.

Jawaban: pada contoh tersebut, api hanya menghasilkan


satu akibat, yakni hutan yang terbakar. Kebakaran pada
hutan menghasilkan satu akibat, yakni munculnya polusi
udara. Sementara polusi udara tersebut menghasilkan satu
dampak, yakni sesak nafas. Dengan kata lain, sebab dari
terbakarnya hutan adalah percikan api. Sebab dari adanya
polusi udara adalah kebakaran hutan dan sebab dari sesak
nafas adalah adanya polusi udara. Jadi, tetap saja, contoh ini
tidak menggugurkan kebenaran tentang kaidah “satu sebab
hanya menghasilkan satu akibat”. Memang benar, semuanya
bermula dari percikan api, tapi hanya karena terjadi efek
beruntun bukan berarti bisa dikatakan “satu sebab
menghasilkan banyak akibat”, karena pada setiap efek
beruntun tersebut memiliki sebabnya masing-masing.

Selain itu, dalam konteks kehidupan sehari-hari, ketika


ada kejadian seperti itu, maka kita akan segera menyimpukan
“sebab dari semua itu adalah satu, yakni adanya percikan api”.
Yang perlu dipahami, kesimpulan tersebut menjelaskan
tentang asal muasal suatu kejadian, bukan menjelaskan “satu
sebab menghasilkan banyak akibat”.
50
Pertanyaan ini dilihat dari sisi “satu akibat” dari pernyataan “satu
sebab hanya menghasilkan satu akibat”

40
Jika ada yang bertanya: “bagaimana dengan semua yang
terjadi di alam semesta ini?. Bukankah itu semua disebabkan
oleh Allah semata?. Artinya, bukankah banyaknya akibat itu
berasal dari satu sebab, yakni Allah?51”

Jawaban: memang benar, semua yang terjadi di alam


semesta ini disebabkan oleh Allah. Tetapi, dalam konteks ini
kita perlu memahaminya seperti ini;

Allah memiliki satu sifat qudrah (kuasa). Dari satu sifat


tersebut lahirlah berbagai macam perbuatan/af’āl yang
masing-masing memberikan dampaknya sendiri 52. Jadi, tetap
saja, sebabnya adalah Allah. Lahirnya banyak perbuatan dari
satu sifat bukanlah sesuatu yang mustahi. Analoginya seperti
Zaid. Ia memiliki sifat kuasa, yang mana, dari sifat tersebut
lahirlah berbagai macam perbuatan, seperti mengangkat
buku, menggenggam spidol, memukul tembok dll.
Pertanyaannya, siapakah sebab di balik semua perbuatan itu?
Yaa si Zaid, karena berbagai perbuatan tersebut berasal
darinya.

51
Pertanyaan ini mencoba untuk kembali ke pembahasan utama, yakni
tentang wahdanyyat fi al-af’āl.
52
Syeikh Said Faudah menjelaskan bahwa segala perbuatan tersebut
berasal dari Allah Swt, karena Dia adalah Dzat yang berkuasa,
berkehendak, mengetahui dengan ilmu, kuasa, kehendak dan dzatNya
yang satu. Dengan begitu, kemunculan banyak hal dari yang satu
bukanlah sesuatu yang mustahil (wa kullu hadzihi al-af’āl shādiratun
‘anhu ta’ālā, liannahu qadīrun murīdun ‘ālimun ma’a kauni ‘ilmihi wa
qudratihi wa irādatihi wa dzātihi wāhidatan, fashudūr al-katsīr ‘an al-
wāhid laisa mustahīlan). Lihat Syeikh Saīd Faudah, Tahdzīb Syarh as-
Sanūsiyyah, hlm 50

41
Catatannya, dengan analogi ini, bukan berarti kami
meyakini bahwa Zaid memiliki perbuatan, tidak sama sekali.
Semua itu tetap perbuatan Allah Swt. ini hanyalah upaya
penyederhanaan saja agar lebih mudah dipahami.

Pun juga pada contoh sebelumnya tentang api yang


membakar hutan, polusi udara dan sesak nafas yang di alami
warga. Semuanya disebabkan oleh Allah. Dia menciptakan
semua itu bersamaan dengan asbāb al-‘ādiyyah (sebab yang
bersandar pada kebiasaan), bukan disebabkan oleh asbāb
al-‘ādiyyah.

Kesimpulannya; semua yang terjadi, mulai dari


peristiwa luar biasa, hingga yang dianggap biasa ialah karena
perbuatanNya. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik
dari awal penciptaan pertama kali, perubahan dan
berkembangannya, hingga peniadaannya suatu saat nanti
adalah disebabkan oleh perbuatanNya. Semua perbuatanNya
bersumber dari satu sifat qudrah dan sifat qudrah yang
dimiliki oleh Allah Swt.

Kedua, jika diandaikan bahwa Tuhan A menciptakan


alam dan Tuhan B menciptakan lagi alam yang sudah
diciptakan oleh Tuhan A, maka akan berkonsekuensi pada
tahshilul hasil (mengadakan sesuatu yang sudah ada) dan ia
mustahil. Kenapa tahshīlul hā shil mustahil?53. Sederhananya,

53
Tahshīlul hāshil menjadi mustahil karena ia bertentangan dengan
prinsip identitas. Artinya, yang disebut “menciptakan” berarti
“membuat sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada”, bukan
“membuat sesuatu yang sudah ada menjadi ada”. Misalnya, alam
semesta sudah ada, lalu alam semesta yang sudah ada itu diadakan
atau diciptakan lagi, sementara yang dimaksud menciptakan adalah

42
jika alam sudah diciptakan oleh Tuhan A, lantas kenapa alam
tersebut harus diciptakan lagi, kan alamnya sudah ada?.

Ketiga, jika kedua Tuhan sepakat untuk berbagi tugas;


Tuhan A menciptakan alam A dan Tuhan B menciptakan alam
B, maka wilayah kekuasaan Tuhan terbatas pada masing-
masing alam yang diciptakannya. Atau kita bisa
mempertanyakan “apakah Tuhan A bisa menguasai alam B?”.
Jika bisa, maka Tuhan B lemah, karena alam ciptaannya dapat
dikuasai oleh Tuhan A. Jika tidak bisa, maka Tuhan A yang
lemah karena ia tidak bisa menguasai alam B.

Keempat, jika kedua Tuhan sepakat untuk bekerja sama


menciptakan alam, maka kedua Tuhan lemah, karena alam
semesta diciptakan dengan cara gotong royong.

Kelima, jika kedua Tuhan sepakat; bahwa Tuhan A yang


menciptakan alam, sementara Tuhan B tidak menciptakan
alam, maka Tuhan B yang lemah.

B) Jika kedua Tuhan tidak sepakat/tidak sependapat,


maka akan ada dua pengandaian;

Pertama, jika Tuhan A ingin menciptakan alam,


sementara Tuhan B ingin meniadakan alam, lalu kita bisa
saksikan sekarang bahwa alam telah tercipta, maka Tuhan B
lemah.

mengadakan sesuatu yang sebelumnya tiada. Dengan begitu,


bagaimana mungkin penciptaan bisa terjadi pada sesuatu yang sudah
ada?.

43
Kedua, jika Tuhan A ingin menciptakan alam, sementara
Tuhan B ingin meniadakan alam, lalu keinginan keduanya
tidak tercapai, maka kedua Tuhan lemah.

Wahdaniyyat fi ash-shifāt; peniadaan kam muttashil fi


ash-shifāt: sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali yang
telah kami kutip sebelumnya; jika ada dua hal, maka
keduanya pasti memiliki perbedaan, boleh jadi dari sisi
tempatnya, waktunya atau hakikatnnya. Apabila ia sama dari
ketiga sisi ini, maka ia tidak bisa disebut dua secara rasional.

Berdasarkan kaidah ini, kita bisa menetapkan bahwa


sifat qudrah Allah Swt hanya satu. Jika sifat qudrah ada dua,
maka keduanya harus berbeda. Perbedaan dari sisi tempat
dan waktu jelas tidak mungkin terjadi, karena sifatNya qadim,
apalagi mengandaikan kesamaan pada sisi hakikatnya, ini
benar-benar mustahil54.

Selain itu, Syeikh Mahmud Abu Daqiqah juga pernah


menjelaskan tentang keesaan sifat Allah55: seandainya Allah
Swt memiliki dua sifat yang sama, maka a) adakalanya sifat
tersebut berkaitan dengan keberadaan segala sesuatu yang
mungkin, seperti qudrah, b) adakalanya sifat tersebut hanya
berkaitan dengan sifat-sifat kesempurnaanNya dan tidak
berkaitan dengan sifat yang terlibat dalam menciptakan
sesuatu yang mungkin, seperti sifat bashar dan sama’.

Adapun yang pertama, Jika Allah memiliki dua sifat


qudrah, maka hal itu mustahil, sebab jika sifat qudrah yang

54
Imam al-Ghazālī, al-Iqtishād fī al-I'tiqād, hlm 197
55
Syeikh Mahmud Abū Daqīqah, al-Qaul as-Sadīd fī Ilmi at-Tauhīd,
(Kairo: al-Azhar al-Sharif), Juz 1, hlm 267-268

44
pertama sudah cukup untuk menciptakan sesuatu yang
mungkin, maka sifat qudrah yang kedua menjadi tidak
berguna. Jika satu sifat qudrah tidak cukup untuk
menciptakan sesuatu yang mungkin, maka ia butuh pada sifat
qudrah yang kedua, sedangkan di sisi lain, jika demikian,
maka hal ini akan menunjukkan kekurangan dan kecacatan,
dan ini mustahil terjadi.

Jika ada yang bertanya: “kenapa kekurangan pada sifat


Tuhan menjadi mustahil?”

Jawaban: karena sifat itu mengikuti kedudukan suatu


wujud (liana ash-shifāt tābi’atun limartabati al-wujūd).
Artinya, jika wujudnya sempurna, maka sifatnya juga
sempurna, sementara wujud Tuhan adalah wujud yang paling
sempurna. Dengan begitu, mustahil Tuhan memiliki sifat yang
tidak sempurna.

Jika ada yang bertanya: “dari mana anda mengetahui


bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang sempurna?”

Jawaban: karena keberadaanNya tidak diciptakan, abadi


segala sesuatu yang maujud diciptakan olehNya. Imam al-
Ghazali menjelaskan56;

‫َو َك َم اُل اْلُو ُج وِد َيْر ِج ُع ِإَلى َش ْيَئْيِن ؛‬

56
Imam al-Ghazālī, Maqshadu al-Asnā fi Syarh Asmāillāhi al-Husnā,
(Beirut: Dar al-Minhaj, 2018), hlm 213

45
‫ٍد‬
‫ َفُك ُّل َمْو ُج و َم ْقُط وٌع ِبَع َد ٍم َس اِبٍق َأْو‬،‫ َدَو اُم ُه َأَز اًل َو َأَب ًد ا‬:‫َأَح ُد ُه َم ا‬
. ‫اَل ِح ٍق َفُه َو َناِقٌص‬

‫ َأَّن وَدُه ُه اْل وُد اَّلِذ ي ْص ُد َعْنُه وُد ُك ِّل وٍد‬:‫الَّثاِني‬


‫َمْو ُج‬ ‫َي ُر ُوُج‬ ‫َو ُو ُج‬ ‫ُوُج‬ ‫َو‬
“Kesempurnaan wujud berpulang pada dua hal;
Pertama: Dzat yang senantiasa ada tanpa permulaan
dan abadi. Untuk itu, segala sesuatu yang memiliki permulaan
dan akhir, maka ia tidak sempurna.

Kedua: wujudnya merupakan wujud (keberadaan) yang


dapat menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta”

Adapun yang kedua, jika sifat bashar Allah ada dua,


maka hal ini mustahil, sebab, apabila Allah sudah sempurna
dengan satu sifat bashar, maka sifat bashar yang lain menjadi
tidak berguna, karena Allah sudah sempurna dengan satu
sifat bashar.

Jika ada yang bertanya: “bukankah jika sifat bashar ada


dua justru akan menambah kesempurnaanNya? Mengapa
tidak ditetapkan dua sifat bashar saja?”

Jawaban: jika sifat bashar yang lain akan lebih


menambah kesempurnaanNya, maka sejatinya Dia tidak
sempurna. Sebab yang disebut sempurna berarti tidak butuh
pada yang lain. Untuk itu, dengan penjelasan di atas
menunjukkan bahwa masing-masing dari sifat Allah itu esa.

46
Peniadaan kam munfashil fi ash-shifat: jika makhluk
memiliki sifat yang sama dengan Allah, maka hal ini jelas
mustahil, sebab Allah itu wajib al-wujūd dan Qadim,
sementara makhluk mumkin al-wujūd dan ia juga hadist. Di
sisi lain kami sudah menjelaskan bahwa sifat akan mengikuti
dzat yang dilekatinya. Jika dzatnya qadim, maka sifatnya juga
qadim, pun juga sebaliknya. Untuk itu, bagaimana bisa sifat
yang qadim melekat pada dzat yang hadist?

Jika ada yang bertanya: “bagaimana jika diandaikan ada


makhluk yang over power, dalam arti memiliki sifat kuasa dan
kehendak layaknya Tuhan. Jadi di mana sisi mustahilnya?”

Jawaban: jika makhluk yang pernah tiada memiliki sifat


yang senantiasa ada, sebagaimana sifat kuasa dan kehedak
Tuhan, maka ketika makhluk tersebut belum diciptakan,
lantas kepada apa sifat itu akan menetap?, Sementara di sisi
lain mustahil ada sifat yang tidak diiringi dengan dzat. Jika
jawaban seperti ini sulit dicerna, kita bisa tawarkan jawaban
lain.

Seandainya, sekali lagi seandainya, hakikat sifat yang


dimiliki makhluk sama persis dengan sifat Tuhan, maka
pertanyaannya “siapakah yang menciptakan dzat makhluk
itu?”. Jika dia menciptakan dirinya sendiri, maka hal itu
mustahil, sebab untuk bisa menciptakan, ia harus ada terlebih
dahulu. Jika yang menciptakan adalah Tuhan, maka sejatinya
ia tidak disebut memiliki kuasa dan kehendak yang
menyerupai Tuhan, karena ia, yang memiliki kuasa dan
kehendak, tidak mampu mengadakan dirinya sendiri. Untuk
itu, tetap saja, mustahil ada makhluk yang memiliki sifat
serupa dengan Tuhan.

47
Seandainya jawaban ini juga sulit untuk dicerna, jawaban
yang paling sederhana adalah “mustahil ada sifat makhluk
yang serupa dengan sifat Allah Swt, karena sifat mengikuti
dzatnya. Jika dzatnya qadim, maka sifatnya juga qadim.
Apabila dzatnya hadist, maka sifatnya juga hadist”. Kita tau
bahwa dzat makhluk itu hadist, maka sifatnya juga hadist dan,
tentu saja, tidak sama dengan sifat Allah Swt.

Wahdaniyyat fi al-af’al; jika makhluk memiliki


perbuatan, dalam arti mengadakan dan meniadakan sesuatu,
maka hal ini jelas mustahil, karena perbuatan makhluk adalah
sesuatu yang mungkin bagi akal, sementara segala sesuatu
yang mungkin bagi akal dikuasai oleh Allah. Dengan begitu,
perbuatan makhluk termasuk sesuatu yang dikuasai oleh
Allah57. Jika tidak demikian, maka akan ada beberapa
konsekuensi58;

Pertama, ketika Allah menciptakan sesuatu, maka sifat


yang terlibat dalam penciptaan tersebut adalah sifat qudrah,
iradah, dan ilmu. Allah mengetahui apa yang akan Dia
ciptakan, menetapkan keterciptaan sesuatu itu dengan
iradahNya dan mewujudkan ketetapan yang telah ditentukan
dengan qudrahNya. Ketiga sifat ini memiliki jangkauan

57
Jika dijelaskan dengan format silogisme, maka akan menjadi seperti
ini;
Premis Minor: Perbuatan makhluk itu mungkin
Premis Mayor: segala sesuatu yang mungkin dikuasai oleh Allah
Kesimpulan: Perbuatan makhluk dikuasai oleh Allah
Lihat Syeikh Mahmud Abū Daqīqah, al-Qaul as-Sadīd fī Ilmi at-Tauhīd,
(Kairo: al-Azhar al-Sharif), Juz 2, hlm 13
58
Lihat di Syeikh Abdullāh al-Hararī, asy-Syarh al-Qawīm fī Halli Alfāzhi
ash-Shirāth al-Mustaqīm, (Beirut, Dar al-Masyari’, 2022), hlm 326-328

48
kepada segala sesuatu yang mungkin. Artinya, Allah
mengetahui segala sesuatu, menguasai dan menghendaki
segala sesuatu yang mungkin. Jika makhluk memiliki
perbuatan, maka hal itu menunjukkan keterbatasan qudrah,
iradah dan ilmuNya. Allah tidak mengetahui bahwa
perbuatan yang akan Dia ciptakan pada makhluk akan
menjadi sia-sia, sebab ternyata makhluk sudah memiliki
perbuatan. Qudrah dan iradahnya pun terbatas, karena ada
sesuatu yang berada di luar jangkauan kuasa dan
kehendakNya, yakni perbuatan makhluk. Dengan
mempertimbangkan konsekuensi ini, maka akal akan
menetapkan dengan tegas akan kemustahilannya.

Kedua, kekuasaan Allah berkaitan dengan segala sesuatu


yang mungkin akal. Jika makhluk memiliki perbuatan, maka
hal itu menunjukan bahwa perbuatannya bukanlah sesuatu
yang mungkin akal, melainkan wajib akal. Menciptakan
sesuatu yang sudah ada adalah tahshīlul hāshil. Sementara hal
itu mustahil terjadi.

Ketiga, ketika disebutkan bahwa Allah menguasai segala


sesuatu yang mungkin, maka hal itu juga mencakup tubuh
dan perbuatan kita. Dengan demikian, maka bagaimana
mungkin Dia hanya menguasai tubuh kita tanpa menguasai
perbuatan kita?.

Keempat, telah dikatakan bahwa segala sesuatu yang


mungkin butuh pada pencipta. Sementara perbuatan
makhluk termasuk sesuatu yang mungkin. Untuk itu,
bagaimana bisa ia tidak butuh pada pencipta, yakni Allah
Swt?.

49

Anda mungkin juga menyukai