Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan kesempurnaan


dibandingkan makhluk lain, maka dari itu ada beberapa manusia yang memang
menggunakan akalnya untuk mengkaji hal-hal yang belum ada sebagai rasa
keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan mengkaji yaitu
diantaranya tentang Konsep Ketuhanan dalam Islam, yang berisi dari berbagai
sumber.

Tuhan ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa,


sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, di agungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kegembiraan atau rahmatnya dan juga merupakan sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya bila melanggar perintahnya. Ibnu Taimayah memberikan
definisi tuhan sebagai sesuatu yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk
kepadanya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertakwa kepada-Nya untuk keselematan
dirinya di dunia dan akherat, dan juga tempat untuk meminta perlindungan
kepada-Nya.

Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis
yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai
ajaran akidah yang benar dan lurus.

1
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah
dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan
selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari
sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar
pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari
ajaran spiritualitas Islam.

I.2 Ruang Lingkup Materi

Berdasarkan latar belakang pembahasan makalah ini, penulis akhirnya


berinisiatif membahas beberapa persoalan dalam tema ini, yaitu :

1. Tuhan (Allah SWT.)


2. Pemikiran Umat Islam Tentang Tuhan
3. Konsep Ketuhanan dalam Islam
4. Bukti Adanya Tuhan
5. Keimanan dan Ketakwaan

I.3 Tujuan

Dengan pemilihan tema dan penyusunan makalah ini, penulis bertujuan


untuk :

1. Para pembaca dan penulis sendiri mampu memahami konsep ketuhanan


dalam islam yang telah dijelaskan dalam makalah ini;
2. Memperdalam pengetahuan tentang tauhid;
3. Mengkaji hal-hal yang belum diketahui sebagai rasa keingintahuan;
4. Dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Tuhan (Allah SWT.)

Cendekiawan muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi


"God" dalam bahasa Inggris. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa
Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus
dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan gender
(berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk
feminin Goddess dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya
penerjemahan Al-Qur'an.

Beberapa teori mencoba menganalisa etimologi dari kata "Allah". Salah


satunya mengatakan bahwa kata Allāh (‫ )هللا‬berasal dari gabungan dari kata al-
(sang) dan ʾilāh (tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini
menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah
adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa
Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi
dalam Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad
dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah. Kedua penulis tersebut
bukannya menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai
bentuk ma'rifat dari ilah. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata
benda atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua)
dan jamak, maka isim ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan
jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk
ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat
baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah).
Dengan demikian, kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap
yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh

3
manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di
dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain
Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti :
patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah.
Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai
berikut:

ِ‫َّللا‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫َّللاِ أ َ ْندَادًا يُ ِحبُّونَ ُه ْم َك ُح‬ ِ ‫اس َم ْن يَت َّ ِخذُ ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ ِ َّ‫َو ِم َن الن‬
“Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan
terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.”

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut


konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari
ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara
ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan
Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-
kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba
Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-
Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah
dan lain-lain, telah mantap.

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an


dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan
manusia, dan juga perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’:
aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti
tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah
sebagai berikut :

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan

4
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “Tidak Ada Tuhan”, kemudian
baru diikuti dengan suatu penegasan “Melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa
seorang muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah SWT, Zat Yang
Maha Mutlak.

Dalam agama Islam, Asmaa'ul husna (bahasa Arab: ‫أسماء هللا الحسنى‬, asmāʾ
allāh al-ḥusnā) adalah nama-nama Allah yang indah dan baik. Asma berarti nama
dan husna berarti yang baik atau yang indah, jadi asma'ul husna adalah nama
nama milik Allah yang baik lagi indah. "Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia". (Al-Ikhlas 112:1-4). Para ulama menekankan bahwa Allah adalah
sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada namanya. Semua nilai kebenaran mutlak
hanya ada (dan bergantung) pada-Nya. Dengan demikian, Allah Yang
Memiliki Maha Tinggi. Tapi juga Allah Yang Memiliki Maha
Dekat. Allah Memiliki Maha Kuasa dan juga Allah Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Sifat-sifat Allah dijelaskan dengan istilah Asmaaul Husna, yaitu
nama-nama, sebutan atau gelar yang baik.

Berikut adalah beberapa terjemahan dalil yang terkandung di dalam Al-


Qur'an dan Hadits tentang asmaa'ul husna :

1. "Dialah Allah, tidak ada Tuhan/Ilah (yang berhak disembah) melainkan


Dia, Dia mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang baik)." (Thaa-
Haa 20:8)
2. Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang
mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaa'ul husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu" (Al-Israa' 17:110)

5
3. "Allah memiliki Asmaa' ulHusna, maka memohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama yang baik itu..." (Al-A'raaf :180)

Gambar II.1 Asmaa’ul Husna

II.2 Pemikiran Umat Islam Tentang Tuhan

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan.


Satu kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di
lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang
mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam
masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-
integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah
yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada
zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan
Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara
aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh
Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

6
Pemikiran umat Islam tentang Tuhan dimulai dari embrio ketegangan
politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga
antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin
yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap
khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan
politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir)
pada masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan
warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman
sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah
berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam
bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi
kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan,
antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi
kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara
pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi)
tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan
pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu :
kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar,
namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut
dengan kelompok syiah, dan kelompok kedua disebut dengan khawarij. Dengan
demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok
Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka


tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai
mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat

7
perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak
Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali
dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti
tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali
dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َّ ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْح ُك ْم ِب َما أ َ ْن َز َل‬


َ ‫َّللاُ فَأُولَ ِئكَ ُه ُم ا ْلكَافِ ُر‬
‫ون‬
“Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah
(Al-Quran), maka mereka adalah orang-orang kafir.”

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan


kelompok lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu
mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada
gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan
adanya perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak
Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang
mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang
melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin
berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang


dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama
Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin
dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina
pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya
bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik
lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut

8
Wasil bersama beberapa orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari
kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung
bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah
memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan
pendukungnya disebut kelompok muktazilah. (Lebih jelasnya lihat Harun
Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan


dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh
penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai
kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul
al-khamsah) yaitu:

1. Meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan


kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban
memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat
ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini
menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini
dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan


mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki
kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia
mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya
mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki.
Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.

9
II.3 Bukti Adanya Tuhan

1. Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan

Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam Teologi Islam,


yaitu Khalik dan makhluk. Khalik adalah pencipta, yakni Allah swt, hanya Dialah
Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Sedangkan makhluk adalah yang
diciptakan, berdimensi ruang dan waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan,
manusia, jin, malaikat langit dan bumi, surga dan neraka. Adanya alam semesta
organisasinya yang menakjubkan bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa
rahasia-rahasianya yang unik, semuanya memberikan penjelasan bahwa ada
sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya. Setiap manusia normal akan
percaya bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa alam ini juga ada. Jika kita
percaya tentang eksistensinya alam, secara logika kita harus percaya tentang
adanya penciptaan alam semesta. Pernyataan yang mengatakan “Percaya adanya
makhluk, tetapi menolak adanya khalik, adalah suatu pernyataan yang tidak
benar”. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penciptanya, dan
pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan Tuhan yang kita yakini sebagai pencipta
alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah Swt.

2. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika

Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali. Dalam pengertian
lain alam ini mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak mungkin, karena
bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Hukum ini dikenal dengan
hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas yang
membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali. Hukum tersebut
menerangkan energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi
tidak panas, sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak
mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas berubah menjadi panas.
Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada. Dengan bertitik tolak
dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika terus berlangsung, serta
kehidupan tetap berjalan. Hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah

10
bersifat azali. Jika alam ini azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan
sesuai hukum tersebut tentu tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.

3. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi

Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit saperti banyaknya


butiran pasir yang ada di pantai seluruh dunia. Benda yang dekat dengan bumi
adalah bulan, yang jaraknya dengan bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak
mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama 20 hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar dari
porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis edarnya
sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet tata surya
termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan yang luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama dengan
planet-planet dan asteroid-asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan
600.00 mil perjam. Disamping itu masih ada ribuan sistem selain sistem tata surya
kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-
galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy sistem matahari kita,
beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000
tahun cahaya. Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan
organisasi yang teliti. Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan
sendirinya. Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti ada
kekuatan yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu,
kekuatan maha besar itu adalah Tuhan.

4. Argumentasi Qur’ani

Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang


terjemahya “Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah Swt.
Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la ayat 2-3,
yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan, yang
menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Dari ayat tersebut
jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan ciptaannya, yaitu alam semesta,
menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan memberi petunjukterhadap

11
ciptaannya. Jadi, adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi dengan
sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan dan mengatur yaitu Allah Swt.
Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu adalah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah
jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati ayyam berarti enam periode
dan tentunya membutuhkan proses waktu yang sangat panjang. Dalam
menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun Fayakun yang artinya
jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda sampai
kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal ini agar manusia dapat
meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga muncul atau lahir
berbagai macam ilmu pengetahuan.

II.4 Konsep Ketuhanan dalam Islam

Banyak filosof yang membicarakan tentang ketuhanan, diantaranya :

1. Al-Kindi
Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan, antara lain Fi al-
Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al-‘Alam. Dari
tulisan-tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang
ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Islam dan bertentangan dengan
pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah adalah wujud yang
sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada
dan selalu ada dan aka nada selamanya. Allah adalah wujud yang
sempurna dan tidak didahului wujud lain.
2. Al-Farabi
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan
antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal
(Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini
tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam.
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wajib
al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Akan

12
tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga
tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri (Wajib al-wujud,
Mumkin al-wujud, Mumtani’ al-wujud).
4. Ibnu Miskawaih

Tuhan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah zat yang tidak berijisim,


azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi
dan tidak mengundang kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-
Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidk bergantung kepada yang lain.

5. Ikhwan Al-Shafa’
Dalam pembahasan masalah ketuhanan, Ikhwan Al-Shafa’
melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka
ilmu bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan
meniadakan sifat dan tasybih serta dapat menolak atas orang yang
mengingkari keesaan Allah Swt.

Menurut akidah islam, konsepsi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa


disebut Tauhid.Ilmunya adalah ilmu tauhid. Menurut Osman Raliby ajaran Islam
tentang Kemaha Esaan Tuhan adalah :

1. Allah Maha Esa dalam Zat-Nya


2. Allah Maha Esa dalam Sifat-sifat-Nya
3. Allah Maha Esa dalam Perbuatan-perbuatan-Nya
4. Allah Maha Esa dalam Wujud-Nya
5. Allah Maha Esa dalam Menerima Ibadah
6. Allah Maha Esa dalam Menerima Hajat dan Hasrat Manusia
7. Allah Maha Esa dalam Memberi Hukuman

Inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan
ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta. Pernyataan lugas dan
sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban
atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah

13
yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah
sebagai Uswah hasanah.

Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua : konsep


ketuhanan yang berdasar Al-Quran dan hadis secara harafiah dengan sedikit
spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan
konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang
bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

AL-QUR’AN DAN HADITS

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Quran (Al-'Alaq 96:1-5),


Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan
manusia berbagai hal termasuk di antaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim
percaya Al-Quran adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam
al-Quran merupakan "penuturan Allah tentang diri-Nya."

Selain itu menurut Al-Quran sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada
dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan. Ketika masih dalam
bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia
terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga
menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia
memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis
akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Quran menegaskan ini dalam surah Az-
Zumar 39:8 dan surah Luqman 31:32.

Al-QUR’AN SURAH AL-IKHLAS

Gambar II.2 Surah Al-Ikhlas

14
Surat Al-Ikhlas – pondasi penting teologi:
Surat Al-Ikhlas (surat ke-112) Al-qur’an, adalah pondasi penting teologi. 'Theo'
dalam bahasa Yunani berarti Tuhan dan 'logi' berarti studi. Jadi Teologi berarti
studi tentang Tuhan, dan umat Islam menganggap empat ayat tentang Tuhan
dalam surat Al-Ikhlas berfungsi sebagai pondasi penting untuk mengenal Tuhan.
Setiap kandidat keilahian harus diuji dengan tes ini. Orang yang berpura-pura
sebagai tuhan dapat dengan mudah dieliminasi dengan menggunakan ayat-ayat
dari Surat Al-Ikhlas ini.

Bagaimana pandangan Islam tentang “tuhan berwujud manusia?”


India sering disebut sebagai negerinya para tuhan berwujud manusia. Banyak dari
para ‘orang suci’ ini memiliki banyak pengikut di banyak negara, dimana para
pengikut mereka menganggap mereka memiliki sifat ketuhanan/sifat ilahi. Islam
menentang setiap manusia yang mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Mari kita analisis
seseorang yang mengaku punya sifat ilahi, yaitu 'Bhagwan' Rajneesh dengan Surat
Al-Ikhlas yang sebagai pondasi penting teologi.

(1). ‫قُ ْل ُه َو الَّهُ أَ َحد‬


Artinya: Katakanlah: `Dialah Allah, Yang Maha Esa (QS.Al-Ikhlas:1)

Persyaratan pertama adalah "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa." Apakah


Rajneesh bersifat maha esa (hanya satu-satunya)? Tidak! Rajneesh adalah salah
satu di antara banyak 'guru spiritual' yang ada di India. Meski begitu, murid dari
Rajneesh mungkin masih berpendapat bahwa Rajneesh adalah satu-satunya. Pada
ayat ini Allah menyuruh Nabi-Nya menjawab pertanyaan orang-orang yang
menanyakan tentang sifat Tuhannya, bahwa Dia adalah Allah Yang Maha Esa,
tidak tersusun dan tidak berbilang, karena berbilang dalam susunan zat berarti
bahwa bagian kumpulan itu memerlukan bagian yang lain, sedang Allah sama
sekali tidak memerlukan sesuatu apapun.

Tegasnya keesaan Allah itu meliputi tiga hal:


1. Dia Maha Esa pada zat-Nya,
2. Maha Esa pada sifat-Nya dan
3. Maha Esa pada afal-Nya.

15
(2). َّ ‫الَّهُ ال‬
‫ص َم ُد‬
Artinya: Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu.(QS.Al-Ikhlas:2)
Persyaratan kedua adalah, “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu.” Kita tahu dari biografi Rajneesh bahwa ia menderita
diabetes, asma, dan sakit punggung kronis. Dia menuduh bahwa Pemerintah AS
memberinya racun dalam penjara. Bayangkanlah Tuhan diracuni! Dengan
demikian, segala sesuatunya tidak bergantung pada Rajneesh karena dia
membutuhkan bantuan orang lain untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang
dialaminya. Pada ayat ini Allah menambahkan penjelasan tentang sifat Tuhan
Yang Maha Esa itu, yaitu Dia adalah Tuhan tempat meminta dan memohon.

(3). ‫لَ ْم يَ ِل ْد َولَ ْم يُولَ ْد‬


Artinya: Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,(QS.Al-Ikhlas:3)
Persyaratan ketiga adalah 'Dia tidak beranak, tidak pula diperanakkan'.
Kita tahu bahwa Rajneesh lahir di Jabalpur di India dan memiliki seorang ibu
serta ayah yang kemudian menjadi muridnya. Dalam ayat ini Allah menegaskan
bahwa Maha Suci Dia dari mempunyai anak. Ayat ini juga menentang dakwaan
orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah
anak-anak perempuan Allah dan dakwaan orang Nasrani bahwa Isa anak laki-laki
Allah.

(4). ‫َولَ ْم َيك ُْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َحد‬


Artinya: dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia `.(QS.Al-
Ikhlas:4)
Tes keempat, yang merupakan tes paling ketat adalah, "Tidak ada yang
serupa dengan-Nya". Tepat pada momen Anda bisa membayangkan atau
membandingkan ‘Tuhan’ dengan apapun, maka ia (kandidat tersebut) bukanlah
Tuhan. Hal ini dikarenakan tidak mungkin manusia bisa membayangkan
gambaran dari Tuhan Yang Sejati. Kita tahu bahwa Rajneesh adalah seorang
manusia, memiliki dua mata, dua telinga, hidung, mulut dan memiliki janggut
putih. Foto-foto dan poster Rajneesh tersedia di banyak tempat. Tepat pada

16
momen Anda bisa membayangkan atau mengilustrasikan suatu entitas, maka
entitas itu bukanlah Tuhan. Dalam ayat ini Allah menjelaskan lagi bahwa tidak
ada yang setara dan sebanding dengan Dia dalam zat, Sifat dan perbuatan-Nya. Ini
adalah tantangan terhadap orang-orang yang beriktikad bahwa ada yang setara dan
menyerupai Allah dalam perbuatannya, sebagaimana pendirian orang-orang
musyrik Arab yang menyatakan bahwa malaikat itu adalah sekutu Allah.

SUFISME

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu,


perbedaan tersebut belum sampai mendistorsi Al-Quran. Pendekatan yang bersifat
spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai
dari rasionalitas hingga agnostisisme,panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga
ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat
oleh ulama terutama ulama syariat.

Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk


ke dalam konsep tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat
spekulatif di antaranya adalah Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.

1. Hulul

Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia"
adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa
seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini,
aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan
aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga
dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri
masing-masing.

Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan


gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus
disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini
menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh
Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.

17
Mansur al-Hallaj menggunakan ayat Al-Quran semisal surah Al-
Baqarah ayat 34 untuk menjelaskan pahamnya. Dalam ayat itu berbunyi,
"Sujudlah wahai para malaikat kepada Adam...". Al-Hallaj menjelaskan bahwa
mengapa Allah memerintahkan bersujud kepada Adam padahal seharusnya hanya
bersujud kepada Allah dikarenakan saat itu Allah telah mengambil tempat dalam
diri Adam sehingga Adam memiliki kemuliaan Allah. Al-Hallaj juga
menyebutkan hadits yang mendukung pendapatnya, seperti, "Sesungguh-Nya
Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya," dan juga menurutnya hulul pernah
terjadi pada diri Isa, di mana Allah mengambil tempat pada dirinya.

2. Ittihad

Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-


Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham
ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur
dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa,
bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus
melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-
sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu
menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya
Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadaran ilahi". Berbeda
dengan Hulul, jika dalam Hulul "Tuhan turun dan melebur dalam diri manusia",
maka dalam Ittihad manusia-lah yang naik dan melebur dalam diri Tuhan.

3. Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi. Wahdatul


Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka
mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal
jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan penampakan lahir Tuhan.

Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang


mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan
sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta

18
mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan
alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi
berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur
dalam diri Allah.

Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada Allah dapat dibawa


dalam kutipan di bawah ini :

1. Surat Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang


Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya,
bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku”.
Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw Rasul terakhir.
Ajaran Islam yang tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya
adalah Tauhidullah atau monotheisine murni. Sedangkan lafadz kalimat
tauhid itu adalah laa ilaha illa Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan
yang ada asalnya dari agama wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia
mengubah ajaran tersebut. Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang
besar (dhulmun’adhim).
2. Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah
Allah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang
mempersekutukan Allah, maka Allah pasti mengharamkan baginya surga
dan tempatnya adalah neraka”.
3. Surat Al-Baqarah : 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak
ada Tuhan kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang mutlak
keesaannya. Lafadz Allah swt adalah isim jamid, personal nama,
atau isim a’dham yang tidak dapat diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan
dengan yang lain. Seseorang yang telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan
kalimat Syahadat Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) berate telah
memiliki keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak.
Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan Allah Swt sebagai prioritas
utama dalam setiap aktivitas kehidupan.

19
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan
spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya
pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya
dua hal tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-
Rum: 30)

II.5 Keimanan dan Ketakwaan

Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat


Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

‫س َوا ْل َق َم َر لَيَقُولُ َّن‬


َ ‫س َّخ َر الش َّْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ َّ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخ َلقَ ال‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫َولَئِ ْن‬
َ ‫َّللاُ فَأَنَّى يُ ْؤفَك‬
‫ُون‬ َّ
“Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.”

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu


berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.

II.5.1 Definisi Iman dan Takwa

Kata iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan yang


secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165, yang
artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.
Iman berawal dari keyakinan kepada Zat Mutlak Yang Maha Esa yang disebut
Allah Swt. Allah Maha Esa dalam zat, sifat, perbuatan, dan wujud-Nya.
Kemahaesaan disebut Tauhid (Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa). Iman
kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang
beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja untuk
mewujudkan harapan dan kemauan yang menuntut Allah kepadanya.

Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut, menjaga,


memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara keimanan yang

20
diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh dan konsisten
(istiqomah). Pengertian taqwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits.
Yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua
larangan_Nya (imtitsalu bi’awamirillahi wajtinabu annawahihi). Dalam surat Al-
Baqarah :117 Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa, yang secara umun
dikelompokkan menjadi lima indikator ketaqwaan.

1. Beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Indikator
taqwa yang pertama adalah memelihara fitrah iman.
2. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak yatim, orang-
orang miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang minta-minta dana,
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memerdekakan hamba
sahaya. Indikator taqwa yang kedua adalah mencintai sesama umat
manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan salat dan menunaikan zakat. Indikator taqwa yang ketiga
adalah memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji. Indikator taqwa yang keempat adalah memelihara
kehormatan atau kesucian diri.
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan pada waktu jihad. Indikator kelima
adalah memiliki semangat perjuangan.

Indikator taqwa berdasarkan ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa taqwa


itu adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang merupakan buah dan
hasil didikan ibadah-ibadah formal. Sedangkan ibadah-ibadah itu sendiri adalah
pancaran dari pada iman. Dapatlah dipahami bahwa taqwa itu adalah hasil dari
ibadah kepada Allah, karna tidak mungkin ada taqwa tanpa ada amal ibadah.

II.5.2 Proses Terbentuknya Iman

Sejak awal seluruh Roh manusia telah mengambil kesaksian bahwa Rabb-
nya Allah Swt. Ini berarti setiap manusia telah memiliki benih iman. Sebagaimana
dalam firman Allah Swt. yang artinya :

21
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.” (Qs.Al-A’raf:172)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (Qs.Ar-Rum:30)

Bahwa setiap ciptaan Allah dan dalam hal ini manusia fitrahnya adalah
mengesakan Allah. Artinya, fitrahnya berarti beriman kepada Allah dan berarti
pula fitrahnya adalah Islam. Potensi fitrah atau iman Islam tersebut perlu
ditindaklanjuti dan yang paling berkompeten menumbuhkan potensi iman Islam
tersebut adalah kedua orang tua. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi
Muhammad Saw yang artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi”. Pada kenyataannya bermacam agama atau kepercayaaan yang
dipeluk dan dianut manusia.Dan apabila dalam diri seseorang telah terikat dengan
tatanan iman,harus dikembangkan untuk mencapai iman yang kokoh. Dalam Al-
Qur’an Surat Ali Imron : 190-191 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah
kami dari siksa neraka”.

22
II.5.3 Tanda-Tanda Orang Beriman

Di dalam Al-Qur’an telah banyak menjelaskan tanda-tanda orang yang


beriman.

1. Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang diterjemahkan “ialah


mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
2. Bertambah keimanannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah.Baik ayat
Qur’aniyah(Al-Qur’an) maupun ayat Kauniyah (alam semesta), kemudian
bergejolak hatinya untuk segera mewujudkannya atau melaksanakannya.
3. Senantiasa bertawakal kepada Allah. Artinya secara lahiriyah mereka
bersungguh-sungguh atau berusaha keras dan secata batiniyah dengan
banyak berdo’a memohon dengan penuh harap kepada Allah kemudian
berhasil dan tidak menyombongkan diri dan jika gagal ia bersabar.
Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali
salah satu dari dua kebaikan dan kami menunggu-nunggu bagi kamu
bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya.
sebab itu tunggulah, Sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.”
4. Mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki. Mereka rajin dalam
menunaikan sunnah serta menafkahkan sebagian rezekinya untuk
kepentingan kemaslahatan umat dijalan yang diridhai Allah. Qs. Al-Anfal :
3 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.
5. Memelihara amanah dan menepati janji, seorang mukmin tidak akan
mudah berkhianat atas amanah yang telah dipikulnya. Akan tetapi, akan
senantiasa memegang amanah dan menepati janjinya. Qs. Al-mu’minun : 6
yang artinya “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
memiliki; Maka sesungguhnya mereka dalam hal inii tiada tercela.”
6. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezki (nikmat) yang mulia.

23
Akidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan akan
mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu Ala Al Maududi menyebutkan
bahwa tanda-tanda orang yang beriman adalah sebagai berikut:

1. Menjauhkan dari pandangan yang sempit dan picik.


2. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri.
3. Mempunyai sifat rendah hati.
4. Senantiasa jujur, adil dan amanah.
5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan
dan situasi dalam hidup.
6. Mempunyai pendirian teguh, sabar, tabah, dan optimis.
7. Mempunyai sifat satria, semangat, berani tidak gentar menghadapi resiko
bahkan tidak takut terhadap maut.
8. Mempunyai sifat hidup damai dan ridha.
9. Patuh, taat, disiplin menjalankan peraturan agama.
II.5.4 Tanda-tanda Orang Bertakwa

Adapun tanda-tanda orang bertakwa, antara lain:

1. Tidak suka bergaul kecuali bergaul dengan orang-orang yang


sholeh/sholehah, yang menjaga lisannya. Bergaul dengan orang-orang
sholeh karena kita akan mendapatkan banyak dakwah, masukan, kritik
yang membangun dan ketenangan bila mendapatkannya dari orang-orang
yang hanya mengucap kebenaran;
2. Jika mendapat musibah duniawi, ia menganggapnya sebagai ujian dari
Allah SWT. Salah satu yang mengangkat diri kita di mata Allah adalah
lulusnya kita dari ujian yang diberikanNya. Ujian bukan hanya yang
bersifat bala musibah, namun kenikmatan dalam hidup ini adalah ujian
yang lebih besar. Bila diberikan musibah orang lebih mudah ingat kepada
Allah namun saat diberi ujian kenikmatan, saat itulah Allah benar-benar
sedang menguji kita;
3. Jika mendapat musibah dalam urusan agama ia akan sangat menyesalinya.
Teringat cerita Syaidina Umar bin Khattab yang ketinggalan satu rakaat
shalat Ashar di Masjid hanya karena beliau sedang asyik berada dalam

24
kebun kurmanya. Mengetahui dirinya telah tertinggal satu rakaat dalam
berjamaah, Syaidina Umar pun begitu menyesali perbuatannya sehingga
kebun kurma yang dianggap sebagai penyebab musibah itu akhirnya
dijual;
4. Tidak suka memenuhi perutnya dengan makanan haram & tidak sampai
kenyang. Ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah yang berbunyi
‘Makanlah sebelum engkau lapar dan berhentilah makan sebelum
kenyang’. Sungguh suatu perintah yang seakan-akan mudah dilaksanakan
namun saat mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari betapa sulitnya
melakukan hal itu. Dari sinilah bentuk ketakwaan seorang mukmin
dibentuk;
5. Apabila memandang orang lain, orang itu lebih sholeh dari dirinya. Tapi
bila memandang diri sendiri, dirinya adalah orang yang penuh dosa;
6. Beriman kepada Allah dan yang ghaib;
7. Sholat, zakat, puasa;
8. Infak disaat lapang dan sempit;
9. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain;
10. Takut pada Allah;
11. Menepati janji.

II.5.5 Cara Menanamkan Iman Kepada Seseorang


Penanaman Iman harus dilakukan sejak dini pada saat anak-anak. Anak
adalah anugerah termahal bagi setiap orang tua. Selain sebagai anugerah dari
Yang Maha Kuasa, anak diberikan sebagai amanah untuk diasuh, dididik, dan
dibina menjadi anak-anak yang berkualitas, memiliki kekuatan dan ketahanan
sebagai bekal mengarungi hidup di masa dewasanya, shingga mereka dapat
menapaki langkah hidupnya dengan mantap dan penuh percaya diri, juga tumbuh
menjadi orang-orang (muslim) yang istiqomah, taat dan tunduk serta patuh kepada
Allah Swt. yang memberinya kehidupan, serta mengembangkan sayapnya untuk
menebar kebaikan dimuka bumi dengan akhlaqul karimah, dan menegakkan

25
kewajiban dakwah. Maka dari itu, setidaknya ada tujuh hal penting yang harus
ditanamkan kepada anak, yaitu : pendidikan, keimanan, akhlaq, sosial, psikis,
intelektual, fisik, dan pendidikan sex. Orang tua bertanggung jawab membimbing
anaknya atas dasar pemahaman dan pendidikan iman sesuai ajaran Islam dengan
cara membuka kehidupan anak dengan kalimat “Laa ilaha illa Allah” ketika
lahir, mengenalkan rukun iman, mengenalkan hokum halal dan haram,
mengajarkan tatacara beribadah (sholat, puasa, zakat), mendidik anak untuk
mencitai nabi dan ahli baitnya dengan cara membacakan shiroh nabi
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam penanaman keimanan ini adalah :
1. Membina anak-anak untuk beriman kepada Allah Swt. dengan cara
mengenalkan kekuasaan Allah Swt. atas diri anak-anak;
2. Menanamkan perasaan khusyu’, takwa, dan ‘ubudiyah dengan cara
mengajak anak memperhatikan cipataan-ciptaan Allah Swt. yang demikian
menakjubkan di alam semesta ini, kemudian melatih anak untuk
melakukan sholat dengan baik;
3. Menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt. dengan cara melatih
anak untuk selalu ingat kepada Allah Swt. dengan cara melatih anak untuk
selalu ikhlas dalam perbuatannya adalah semata-mata untuk meraih
keridhaan-Nya
4. Menanamkan perasaan selalu diawasi Allah Swt. karena Allah Swt. selalu
berada bersama mereka dengan cara melatih anak untuk selalu berkata dan
berperilaku jujur walaupun tidak ada orang lain yang melihat tingkah
lakunya hanya untuk mendapat ridha Allah Swt.;
5. Menjelaskan kepada anak tentang buah keimanan Allah Swt., agar anak
bersemangat, dan istiqomah dalam beriman kepada-Nya.

II.5.6 Manfaat Iman dan Takwa

Manfaat iman dalam kehidupan seseorang muslim:

1. Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda;


2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut;
3. Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan;

26
4. Iman memberikan ketentraman jiwa;
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah);
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen;
7. Iman memberikan keberuntungan dalam kehidupan.

Manfaat takwa dalam kehidupan seseorang muslim:

1. Allah menjadikan orang-orang yang bertakwa itu furqan, ialah


kemampuan membedakan antara yang hak dan yang bathil;
2. Dihapuskannya dosa-dosa kecil;
3. Diampuninya dosa-dosa besar;
4. Diberikan jalan keluar dari kesulitan hidup.

Demikianlah manfaat iman dan takwa dalam kehidupan manusia. Iman


bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat
menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup
Islami. Apabila suatu masyarakat terdiri dan orang-orang yang beriman, akan
terbentuk masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.

II.5.7 Korelasi antara Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya


keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat
meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima
oleh Allah tanpa didasari oleh Iman. Semua bentuk ketakwaan seperti salat, puasa,
zakat, dan haji merupakan bagian dan kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh
tersebut merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang harus menterjemahkan
keyakinannya menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya untuk
mengembangkan amal saleh.

Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara “orang


yang beriman” dengan “orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh atau
iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang kalau
tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan bahwa
ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang

27
menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya. Keterkaitan antara iman dan
taqwa ini, juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun
walibasuhu at-taqwa” (iman itu telanjang dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud
hadits ini adalah iman harus diikuti dengan melakukan amal saleh (taqwa). Iman
tanpa disertai amal saleh maka imannya masih telanjang tanpa pakaian.

Oleh karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa apabila


telah punya keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan kalimat
tauhid dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.

28
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa


dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “Tidak Ada Tuhan”, kemudian baru
diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada
dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah SWT. Konsep Ketuhanan
dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting
oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Filsafat
Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini
harus dilaksanakan secara intensif. Konsep ketuhanan dalam Islam juga
digolongkan menjadi dua : konsep ketuhanan yang berdasar Al-
Quran dan hadis secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar
ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat
spekulasi berdasarkan penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis,
bahkan mistis. Keesaan Allah atau Tauḥīd adalah mempercayai dan mengimani
dengan sepenuh hati bahwa Allah itu Esa dan (wāḥid). Al-Qur'an menegaskan
keberadaan kebenaran-Nya yang tunggal dan mutlak yang melebihi alam semesta
sebagai; Zat yang tidak tampak dan wahid yang tidak diciptakan.

III.2 Saran

Setelah menyelesaikan makalah ini, saran penulis adalah sebagai seorang


muslim yang paripurna, kita harus menggunakan akal untuk mencerna dan
mengkaji hal-hal yang belum diketahui sebagai rasa keingintauan seperti halnya
pada makalah ini tentang Konsep Ketuhanan dalam Islam, yang berisi dari
berbagai sumber.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ali Daud, M. (1997). Pendidikan Agama Islam cetakan ke-9. Jakarta:


Rajawali Pers
Nur Istiqomah. (2013, 5 Oktober). Makalah P.A.I "Konsep Ketuhanan Dalam
Islam”. Diperoleh pada 3 Maret 2017, dari
https://nuristiar.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pai-konsep-ketuhanan-dalam-
islam.html
Pendidikan Agama Islam . (2014, 27 Maret). Konsep Ketuhanan dalam
Islam. Diperoleh pada 27 Februari 2017, dari
https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

Wikipedia. (2017, 21 Januari). Tuhan dalam Islam. Diperoleh pada 28


Februari 2017, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_dalam_Islam

Zar, S. (2004). Filsafat Islam filosof dan filsafatnya. Padang: Rajawali Pers

30
Lampiran :

CATATAN NOTULEN
Moderator : M. Fauzy Ridwan

Notulen : Berliana Syafitri

Sesi Tanya Jawab :

1. Penanya : Vicky Wisma Ria


Asal Kelompok : Kelompok 5
Penjawab : Achmad Setiawan Dwicahya
Muhammad Dwi Syaputra
Pertanyaan : Bukankah sebagai umat Islam, kita tahu bahwa Allah
Swt. telah mengatur semuanya. Jadi, bagaimana pandangan menurut
kelompok satu tentang paham Qodariyah ?
Jawaban : Qodariyah adalah paham yang meyakini bahwa kita
sebagai manusia bisa merubah takdir kita tetapi harus tetap ingat dan
percaya bahwa Allah Swt. telah mengatur semua takdir. Manusia bisa
merubahnya dengan usaha dan doa yang selalu di panjatkan dan
insyaAllah bisa berubah atas izin Allah Swt. Contohnya ada pada zaman
sekarang dimana umat manusia telah didoktrin dengan keyakinan bahwa
dirinya sendiri bisa merubah takdir dengan usaha.
Sanggahan : Bukankah takdir itu sudah ditetapkan dan bukannya
proses dari awal hingga akhir di dunia ini sudah termasuk takdir yang telah
dibuat oleh Allah Swt. ?
Jawaban : Takdir itu terbagi menjadi dua, yaitu takdir yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt. yang tidak bisa diubah dan takdir yang bisa
diubah oleh manusia atas izin Allah Swt. Takdir yang bisa diubah inilah
yang menjadi dasar beberapa umat manusia mengikuti paham Qodariyah.
Sanggahan : Apakah manusia bisa merubah takdirnya sementara
semua takdir itu telah disusun oleh Allah Swt. ?
Jawaban : Ya. Tetapi yang kita tahu bahwasanya Allah Swt.
sebagai sutradara mempunyai hak atas pemeran film-Nya (manusia dan

31
makhluk yang lainnya). Manusia sebagai pemeran yang hanya bisa
mengikuti takdir yang telah ditetapkan. Namun, sebagai pemeran tentu
bisa meminta kepada sutradara jika si pemeran menginginkan peranan
yang lain. Tentu hal itu bisa terwujud dengan izin sutradara dan beberapa
cara yaitu do’a dan usaha. Sama halnya dengan apa yang diinginkan
manusia untuk takdirnya, manusia bisa merubah beberapa takdirnya
dengan do’a dan usaha serta dengan izin Allah Swt.

2. Penanya : Slamet Jatmiko


Asal Kelompok : Kelompok 9
Penjawab : Arista Widya Iryani
Pertanyaan : Bagaimana cara yang kontinu bagi seorang muslim
untuk tetap meningkatkan keimanan terhadap Allah Swt. ?
Jawaban : Sebagai seorang muslim, ada beberapa cara untuk
meningkatkan keimanan terhadap Allah Swt., diantaranya :
1. Perbanyak menyimak dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an;
2. Rasakan keagungan Allah Swt., bahwasanya Allah Swt. Maha
Melihat;
3. Carilah ilmu yang syar’i;
4. Selalu mengikuti majelis ilmu;
5. Berkumpullah dengan orang-orang yang sholeh/sholehah;
6. Perbanyaklah amal sholeh;
7. Taatkanlah ibadah;
8. Selalu mengingat akan kematian;
9. Mengingat akan adanya hari akhirat;
10. Cobalah untuk berinteraksi dengan ayat-ayat yang berkaitan
dengan fenomena alam;
11. Perbanyak dzikir;
12. Tinggalkan angan-angan yang lebih tentang duniawi;
13. Memikirkan kehinaan dunia;
14. Menguatkan sikap saling tolong menolong;
15. Bersikap tawadhu.

32

Anda mungkin juga menyukai