Anda di halaman 1dari 164

KEGIATAN BELAJAR 1:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Menguasai, Memahami, menghayati dan menerapkan makna Akidah Islam tentang


Al-Asmā al-Husnā yaitu: 1) Allāh; 2) al-Rahmān; al-Rahīm; 4) dan al-Mālik dengan
berbagai aspeknya, serta mengidentifikasi ruang lingkup akidah Islam.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami Pengertian Al-Asmā al-Husnā.


2. Memahami konsepsi tentang Allah.
3. Memahami konsepsi tentang Al-Rahman dan al-Rahim.
4. Memahami konsepsi tentang al-Malik.
5. Memahami konsepsi al-Asma Al-Husna dalam lingkup Pancasila.

POKOK-POKOK MATERI

1. Pengertian Al-Asmā al-Husnā.


2. Memahami konsepsi tentang Allah.
3. Memahami konsepsi tentang Al-Rahman dan al-Rahim.
4. Memahami konsepsi tentang al-Malik.
5. Memahami konsepsi al-Asma Al-Husna dalam lingkup Pancasila.

URAIAN MATERI
A. Pengertian Al-Asmā Al-Husnā
ْ ‫ )األ َ ْس َما ُء ْال ُح‬secara bahasa
Nama-nama Allah yang Indah atau Al-Asmā al-Husnā (‫سنَى‬
terdiri dari dua suku kata, yaitu al-asmā dan al-husnā. Kata asmā merupakan bentuk jamak

1
dari mufrad (tunggal) ism yang berarti nama diri atau lafẓun yu’ayyinu syakhṣan au ḥayawānan
au syaian (nama diri seseorang, binatang, atau sesuatu), sedangkan al-husnā berarti yang paling
bagus, baik, cantik, jadi secara bahasa al-Asmā' al- Ḥusnā berarti nama-nama yang terbaik.
Namun secara langsung, Atabik Ali dan Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab
Indonesia mengartikan al-Asmā' al-Ḥusnā dengan nama-nama Allah yang berjumlah 99
(sembilanpuluh Sembilan). Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan
bahwa Allah mempunyai berbagai nama yang terbaik, melalui nama itu, umat Islam bisa
mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama-nama tersebut ketika berdo’a atau
mengharap kepada-Nya. Selain itu, kata al-ḥusnā menunjukkan bahwa nama-nama yang
disandang Allah menunjukkan sifat-sifat yang amat sempurna dan tidak sedikitpun tercemar
dengan kekurangan. Sebagai contoh, bagi manusia kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang
bersifat materi seperti otot-otot yang berfungsi dengan baik, dengan kata lain manusia
membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan, dengan meneladani Allah Yang Maha
Kuat (al-Qawiyyu).
Bekenaan dengan jumlah bilangan al- Asmā' al-Ḥusnā, para ulama yang merujuk
kepada al-Qur’an mempunyai hitungan yang berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar
Tafsir dari Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, bahwa al-Thabathabai dalam tafsirnya Al-
Mīzān menyatakan bahwa jumlah al-Asmā' al-Ḥusnā itu ada sebanyak 127 (seratus dua puluh
tujuh) nama. Ibnu Barjam al-Andalusi lebih sedikit banyak dari al-Thabathabai menyebutkan
dalam karyanya Syarh al-Asmā' Al-Husnā dengan menghimpun 132 nama populer yang
termasuk dalam al-Asmā' al-Husnā. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia
menghimpun dalam bukunya Al-Kitab al-Asna fī Syarh al-Asmā' al-Husnā, hingga mencapai
lebih dari dua ratus nama, baik yang sudah disepakati, maupun yang masih diperselisihkan dan
yang bersumber dari ulama-ulama sebelumnya. Adapun Riwayat yang populer menyebutkan
bahwa bilangan al-Asmā' al-Ḥusnā adalah sembilan puluh sembilan. Pada subbab di bawah ini,
akan dipaparkan empat al-Asmā' al-Ḥusnā saja dari sembilanpuluh Sembilan, yaitu Allah, al-
Rahman, al-Rahim, dan al-Malik.

B. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Allah


Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kata Allah (‫ )هللا‬berasal dari kata al-Ilāh. Kata
al-Ilāh (‫ )إله‬berarti menyembah (‫)عبد‬. Kata al-Ilāh juga dapat diderivasi dari kata alih (‫ )أله‬yang
berarti ketenangan (‫)سكن‬, kekhawatiran (‫ )فزع‬dan rasa cinta yang mendalam (‫)ولع‬. Ketiga makna
kata alih (‫ )أله‬mengarah kepada makna keharusan untuk tunduk dan mengagungkan.

2
Selain itu, kata Allah bisa dilacak dari kata ilāhun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam,
ha, sebagai pecahan dari kata laha –yalihu– laihan, yang berarti Tuhan yang Maha Pelindung,
Maha Perkasa. Ilāhun, jamaknya ālihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya
sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilāhun artinya sama dengan
ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau hamba atau budak.
Dalam kamus besar bahasa Arab Lisān Al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata kata ilāhun masih
umum, ketika ditambah dengan lam ma‘rifah, maka menjadi Al-ilāhun yang tiada lain adalah
Allah Swt, yaitu zat yang disembah oleh semua selain-Nya, jamaknya ālihatun. Dengan
demikian ilāhun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi. Quraish Shihab mengatakan
kata Ilāh (‫ )إله‬disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk
tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk jamak disebut ulang sebanyak 34 kali. Kata ilāh
(tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.
Dalam al-Quran kata ilāhun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, ataupun
dewa-dewa. Semua istilah tersebut dalam al-Quran menggunakan kata ilāhun, jamaknya
ālihatun. Allah Swt. menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir sebagai ilāhun (QS. Al-
Furqan, 25: 43). Allah Swt. menyatakan sesembahan orang musyrik sebagai ilāhun (QS. Hud,
11: 101). Kata ilāhun dan rabbun sesungguhnya warisan bahasa Arab Kuna yang
dipertahankan penggunaannya dalam al-Quran, sebagaimana contoh di atas. Orang-orang Arab
sebelum Islam, memahami makna kata ilāhun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan
dalam percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka
mereka mengatakan ilāhun al-ḥubbi, dan ilāhatun al-ḥubbi untuk menyebut dewi cinta. Kaum
penyembah berhala (animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita sekarang, sebagaimana
orang-orang Arab jahiliyah, menganggap tuhan mereka berjenis kelamin, laki dan perempuan.
Kata pertama yang dicatat sejarah dalam pengekspresian ketuhanan adalah kata ilāhah
(‫)إالهة‬. Kata ini merupakan nama bagi dewa matahari yang disembah oleh masyarakat Arab.
Kata ilāhah (‫ )إالهة‬selanjutnya digunakan untuk mengekspresikan sifat-sifat matahari. Salah
satunya adalah kata ulāhah (‫ )األلهة‬yang berarti terik matahari yang panas. Kata ilāhah (‫)إالهة‬
juga tidak lepas dari makna keagungan, ketundukan dan bahkan penyembahan. Sebagaimana
dicatat oleh Ibnu Manzhur bahwa masyarakat menamakan matahari dengan ilāhah (‫)إالهة‬
karena mereka menyembah dan mengagungkan matahari. Dapat disimpulkan bahwa kata ilāh
(‫ )إله‬pada awalnya berasal dari kata wilāh (‫)واله‬, yang berarti ketundukan, pengagungan, dan
ungkapan penghambaan. Selanjutnya dari kata wilāh (‫ )واله‬diderivasikanlah kata ilāhah (‫)إالهة‬
yang menjadi nama bagi dewa matahari. Nama dari dewa matahari tersebut selanjutnya
3
berevolusi menjadi kata Allah. Menurut Ahmad Husnan, kata Ilāh yang berbentuk kata Allah
mempunyai arti mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan/ciptaan-Nya
menakjubkan atau karena bila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidaktahuan
makhluk tentang hakikat zat yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak
menyangkut hakikat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat
yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir
tentang zat-Nya”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Allah ‫هللا‬, terulang dalam al-Quran sebanyak
2.698 kali. Ada yang berpendapat bahwa kata "Allah" disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-
Quran. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilāh (‫ )إله‬disebut ulang sebanyak
111 kali dalam bentuk mufrad, ilāhaini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ālihah dalam bentuk
jama' disebut ulang sebanyak 34 kali. Hal ini juga menjadi refleksi dari tauhid Uluhiyah dimana
kita mengesakan Allah dengan ibadah, dimana tidak menjadi hamba bagi selain-Nya, tidak
menyembah malaikat, nabi, wali, bapak-ibu, kita tidak menyembah kecuali Allah semata.
Ibadah kepada Allah berpijak kepada dua hal, yaitu cinta dan pengagungan. Dengan kecintaan
akan memunculkan keinginan untuk melaksanakan dan pengagungan akan timbul rasa takut
dan khawatir akan dicampakkan, dihinakan dan disiksa-Nya. Kata “Allah” merupakan nama
Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata
Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang paling tinggi dalam Islam, selain bermakna
kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa kata Allah mewajibkan
seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan, kata Allah juga
merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang berhak untuk mendapatkan segala bentuk
pujian. Sedangkan kata ahad merupakan sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam
keesaannya.
Ibnu al-‘Arabi (560-638 H) menyebut dan membedakan Tuhan yang dipercayai
manusia saat ini meliputi “Tuhan kepercayaan” (ilāh al-mu’taqad), “Tuhan yang dipercayai”
(al-ilāh al-mu’taqad), “Tuhan dalam kepercayaan” (al- ilāh fī al-i’tiqad) “Tuhan
Kepercayaan” (al-haqq al-i’tiqad), Tuhan yang dalam kepercayaan” (al-haqq al-ladzī fī al-
mu’taqad) dan “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan” (al-haqq a-Makhlūq fī al-i’tiqad).
Allah Swt dalam pandangan Islam adalah Allāh Aḥad, bermakna bahwa Tuhan esa dalam
segala aspek, dan tak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi,
sebagai mana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real, sebagai mana
yang nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga menegasikan dan mensucikan Tuhan dari

4
hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk, kualitas, kuantitas, warna dan
segala jenis gambaran akal yang mampu merusak kebersahajaan yang satu. Demikian juga,
Ahad mengindikasikan bahwa tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan Yang Maha Esa merupakan titik lokus
utama ajaran agama Islam dalam segala aspeknya, termasuk akidah dan kalam atau teologi.
Oleh karenanya tidaklah berlebihan, jika khususnya umat Islam Indonesia wajib menjaga
Konstitusi Pancasila. Karena semua sila yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah, terutama Sila Kesatu,
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi
setiap agama yang ada, tak terkecuali dengan Islam. Dari konsep Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Esa tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep
tentang wahyu, konsep kenabian, konsep tentang Mu’jizat, konsep alam, konsep manusia,
konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya.
Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama
apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Tuhan diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan pengertian sebagai
sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Mahakuasa,
Mahaperkasa, dan sebagainya. Konsepsi teologi Islam tentang ketuhanan terangkum dalam
QS. al-Nās/114: 1-3:

ۡ ِ َّ‫ۡۡ ِإۡلَ ِۡهۡٱلن‬٢ۡ‫اس‬


ۡۡ٣ۡ‫اس‬ ۡ ِ َّ‫كۡٱلن‬ ۡ ِ َّ‫بۡٱلن‬
ِۡ ‫ۡۡ َم ِل‬١ۡ‫اس‬ ُ َ ‫قُلۡۡأ‬
ِۡ ‫عو ۡذُۡ ِب َر‬
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia;
Raja manusia; Sembahan manusia (QS. al-Nas/114: 1-3).
Berdasarkan penjelasan dalil naqli di atas, konsep ketuhanan dalam teologi Islam
dikenal dengan tiga istilah, yaitu: Rab (Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilāh (Sesembahan).
Kesemua sebutan tersebut untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kata "Allah" dalam al-Qur'an terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata
semacam wahid, ahad, al-Rabb, Al-Ilāh atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya
dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum atatu kewajaran beribadah kepada selain-
Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelesan tentang tauhid.
Menurut konsep Islam Tuhan adalah Zat yang Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa. Ia adalah
Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Dia abadi yang menentukan takdir dan hakim
semesta Alam, Tuhan dikonseptualisasikan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa, hal ini

5
tercantum dalam surat Q.S. Al-Ihlas Menurut Maulana Muhammad Ali, Islamolog asal Lahore
Pakistan, kata nama Allah merupakan isim jamid, tak digubah dari perkataan lain.
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat Esa, merupakan keunikan dan final sesuai dengan
Pancasila, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen,
Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, meskipun sama-sama meyakini Ketuhanan. Hal tersebut
juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik
Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Syed Naquib al-Attas bahwa:
“The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God
Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the
conceptions of God understood in Greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as
the conceptions of God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in
that of Occidental and Oriental mystical traditions”.

Konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang
juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah Yang Maha Esa, Shalih fi kulli
zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Attas menjelaskan “The nature of
God as revealed in Islam is Derived from Revelation”. Konsep Tuhan dalam Islam bersifat
“haq”. Bukan Tuhan hasil personifikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai juru
penyelamat dengan beragam manifestasi namanya, maupun sebagai penebus dosa, Tuhan
Bapa, Tuhan Anak, Ruh Qudus dan sebagainya. Bukan pula seperti Tuhan dalam konsepsi
Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak,
Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir
Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada. Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama
sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan
dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Allah Yang
Maha Esa sebagai Dzat Pencipta makhluk.
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan
dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat
menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat
problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat
Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam
Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan
tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami

6
perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal, yaitu
Tuhan umat Islam adalah Allah Yang Maha Esa tiada berbilang.
Allah SWT, merupakan kata agung (Lafadz al-Jalalah), nama diri (Ism Al-Dzat) Tuhan,
nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf, yaitu ‫هللا‬. Jika huruf pertama,
alif dihilangkan, tiga huruf lainnya merupakan simbol alam semesta, wujud, yang mencakup
alam nyata (dunia) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh)
dan surga; akhirat (akhirah). Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf
terakhir, ha (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu.
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang
disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif dan lām di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah
dari kata al-ilāh dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta
Alam semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Kata Allah adalah satu-satunya Ism ‘Alam atau kata
yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci.
Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu
menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam
dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di
sini terlihat orang-orang Arab pra-Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang
mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan
kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah” berarti Tuhan
dalam konsepsi Injil, yang terdiri atas beberapa aknum. Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab
jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal
ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar
menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah ke arah monoteisme.
Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat
diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang
memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat
menggantungkan harapan.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Qur’an adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain
dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-
Qur’an diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum
Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-

7
Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat
46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Qur’an, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan
adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui
wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul
Adam di muka bumi. Esa menurut al-Qura’n adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak
berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah
adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat
Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah
sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa
Allah yang bersumber dari al-Qur’an memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam
sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud
tertinggi, terunik; zat yang maha suci, yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan
kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain
dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak,
Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap
puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling
awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilāh (Tuhan yang
disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan
penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari
kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam
semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang
dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika
menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah
mempunyai sifat perkasa.
Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan
kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa
Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya.
Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid).
Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah:

8
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-‘asmā al-husnā. Pengertian “Allah Ahad’ adalah
Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan
sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu
satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Sebagian filsuf Arab, di antaranya Ibnu
Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam
ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam
sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak
akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah. Menurut sebagian pakar bahasa, Allah
SWT Berfirman, Qul huwa Allahu Ahad, bukan Qul huwa Allahu Wahīd, karena kata Wahīd
termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya.
Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-
Nya.
Dalam tradisi Ibrani atau Yahudi, Allah disebut dengan nama Yahweh. Kata ini
dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah. Dalam
kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang disebut sebagai Yahweh dipermasalahkan.
Herlianto mengutip pernyataan Freedman, menyatakan bahwa ternyata asal-usul nama Yahweh
itun tidak jelas, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit
yang pagan. Dengan adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman
orang Israel, dan menyatakan bahwa nama Yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi.
Sehingga banyak menimbulkan kontroversi di antara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi
masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak
menggunakan kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum
yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha Syem. Akan tetapi penggunaan nama
inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut
dalam pengucapannya terkadang disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa
tempat tertentu diartikan sebagai Tuan, bukan Tuhan.
Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan
sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan
mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai
nama diri atau nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan
Tuhan orang Israel. Dalam The Interpreters Dictionary of Bible, kata El, digunakan sebagai

9
sinonim Yahweh. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam
bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di
artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam
Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata
Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetragramaton) saja, yaitu Y-H-W-H. Karena
terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari
berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca Yahweh, ada pula yang
menyebut Yehova. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada
ungkapan “Halelu-Yah” (Terpujilah Yah).
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen
tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen
menyebut Tuhannya dengan Allah, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen
menyebut Tuhannya dengan God atau Lord. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun
di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral
kedudukannya dalam bahasa Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap
sebagai nama diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan
berbagai panggilan.
Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ism dzat (nama diri). Buktinya,
masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama Kristen.
Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred
Name Movement), menolak pemakain kata Allah dalam Bible, kemudian mengganti dengan
nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi
Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7 Masehi. Oleh
karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus
diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah dengan
kata Elohim, kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah.
Sebagaimana tradisi Yahudi, tradisi Kristen juga tidak hanya mengalamai problem
dengan nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus. Dalam pemikiran
Paulus, ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang
saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan Bapaku (Tuhan)
adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan. Para teolog Kristen pun
tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan

10
yang transenden. Misalnya, dalam Kitab Kejadian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri
Tuhan.
Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar
yang kemudian dalam konsili Nicea 325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan
Bapak, Anak dan Ruhul Qudus merupakan Tuhan Kristen yang mereka sebut dengan Trinitas.
Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah
Konsili Konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi mengenai status
Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius
hingga kini.
Konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen inilah yang dikoreksi oleh Islam.
Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan
bahwa: tiada Tuhan selain Allah. Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan
bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama
lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten”. Kekeliruan Yahudi dan
Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta
Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah:
18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”,
menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s.
Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat
bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di
dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa
haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-
Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi
yang benar yang otoritatif (khabar shadiq). Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels-
jels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif.
Dalam ajaran al-Qur’an, Allah merupakan Rab (Tuhan Pemelihara) manusia dan
seluruh makhluk di alam raya ini. Muhammad Ismail Ibrahim di dalam buku Mu’jam al-Alfāzh
wa al-A’lām al-Qur’āniyyah menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb, di
antaranya rabb al-walad, artinya “memelihara anak dengan memberi makan dan
mengasuhnya”, rabb asy-syai’, artinya “mengumpulkan dan memilikinya”, serta rabb al-amr,
“memperbaikinya”. Adapun al-Rabb adalah Tuhan dan merupakan salah satu dari nama Allah
yang jamaknya arbāb. dalam bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”, “yang
menguasai”, “yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”,

11
“yang merubah”. Menurut Izutsu Tuhan (Allah) dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud
yang pantas disebut “wujud”, realitas di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat
melawan-Nya. Secara semantik rabb adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an,
yang menguasai seluruh medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini
dilawankan dengan kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan,
psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran al-Qur'an. Dalam
hal ini, bagaimana manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama.
Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim
dan selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam al-Qur'an di
sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah rabbani sama dengan
rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang
berarti Tuhan. Rabba berasal ‫ يرب‬- ‫ رب‬yang berarti:
‫نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام‬

(Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada
keadaan yang sempurna).

Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan).
Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT. Yaitu orang yang alim
dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata
rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani
(orang yang dididik Tuhan) atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti
dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat,
tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya. Menurut Toshiko Izutsu, ia juga
menemukan suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain
terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara,
mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui
kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan,
ia juga bermakna raja dan pemilik. Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya.
Kata rabb menunjukkan adanya pemaknaan mengenai tauhid Rububiyah dimana
adanya unsur mengesakan Allah Swt, dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta
(Q.S: Al-Zumar: 62; al-Fathir: 3; al-Mulk: 1; al-A’raf: 54). Menurut Ibnu Qoyyim konsekuensi
Rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik
dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Rabb adalah"Tuhan Sang

12
Maha Pencipta", yang meciptakan keseluruhan alam ini tidak hanya sekedar menciptakan tetapi
juga di maksudkan sebagai " Sang Maha Pemelihara". Dan juga setiap kejadian tidak lepas dari
kekuasaan-Nya sebagai" Sang Maha Pengatur". Dari sisi pengakuan, tidak hanya kaum
muslimin yang mengakui adanya Rabb. Banyak orang di dunia barat tidak secara formal
beragama tetapi mereka mengakui adanya "Dia" Tuhan Yang Maha Pencipta.

C. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Rahmān dan Al-Rahīm


Kata al-Rahmān (‫ )الرخمن‬berasal dari kata Rahīma (‫ )رخيم‬yang artinya menyayangi atau
mengasihi yang terdiri dari huruf Rā, Hā, dan Mim, yang mengandung makna
kelemahlembutan, kasih sayang, dan kehalusan. Di dalam al-Qur’an kata al-Rahmān terulang
sebanyak 57 kali, sedangkan al-Rahīm (‫ )الرخيم‬sebanyak 95 kali. Apa arti al-Rahmān? Dalam
bahasa Inggris, seringkali kata yang digunakan untuk menerjemahkan al-Rahmān adalah
merciful atau benefactory. Namun ada yang perlu kita pahami, bahwa kedua kata tersebut tidak
bisa untuk secara sempurna menggantikan makna kata al-Rahmān. Mercy itu maknanya kasih
yang diberikan ketika seseorang melakukan suatu kesalahan, padahal al-Rahmān itu tidak
hanya diberikan setelah seseorang melakukan kesalahan. Lalu kata benefactory sendiri, hampir
tidak pernah dipakai di keseharian, padahal seharusnya terjemahan membuat kita lebih paham.
Al-Rahmān salah satunya berasal dari akar kata al-Rahm, saat seorang perempuan hamil,
tempat janin bayinya disebut dengan rahim. Disebut rahim karena janin tersebut dirawat,
dilindungi, disayangi dalam berbagai hal. Hubungan sang ibu dan sang bayi kurang lebih
seperti ini: 1) Apakah bayi tersebut mengenal/tahu ibunya? Tidak. 2) Apakah bayi tersebut
sudah punya rasa cinta/sayang ke ibunya? Tidak. 3)Apakah ibunya sudah memperhatikan,
melindungi dan merawat bayinya? Yes, in every way. The entire life of the child is taken care
of by the mother. Dan bayi tersebut tidak tahu sama sekali bahwa ia sangat disayangi, bahwa
ibunya mau melakukan banyak hal untuk bayinya, juga melindunginya dari setiap bahaya.
Kata rahim tersebut melahirkan kata al-Rahmān. Seseorang yang memiliki rahmah,
adalah seseorang yang memiliki rasa kasih sayang kepadamu (have compassion towards you),
seseorang yang lembut dan mempermudah dirimu (want to be soft and easy with you). Ada
saat-saat dimana kita akan mempertanyakan kasih sayang Allah kepada kita. Saat itu, mungkin
adalah hari berat dalam hidup kita, saat itu, mungkin iman kita sedang begitu rendah. Saat itu,

13
mungkin juga kamu perlu lagi menengok makna al-Rahmān, mencoba berbaik sangka dan
memikirkan kasih sayang dalam bentuk apa yang Allah sedang berikan kepada kita, juga
memikirkan betapa banyak hal buruk yang bisa terjadi pada kita, namun Allah menjaga kita
dari hal-hal tersebut.
Lafaz al-Rahmān dan al-Rahīm keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk
masdar al-Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz al-Rahmān lebih balig (kuat) daripada
lafaz al-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan
adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian
ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang
telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah
mengatakan, " al-Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan al-
Rahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat." Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang
menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak
dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:

‫َوكانَ بِ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ِحيما‬


Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).

Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa al-
Rahmān adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab
Ma'ani Al-Qur'an, bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, al-Rahīm adalah nama Arab, dan al-
Rahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan,
pendapat ini tidak disukai. Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz
al-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi
dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

‫ص ْلتُهُ َو َم ْن‬ َ ‫شقَ ْقتُ َل َها اسْما ِمنَ اس ِْمي فَ َم ْن َو‬


َ ‫صلَ َها َو‬ ‫ أَنَا ه‬:‫َّللاُ تَعَالَى‬
‫الر ْح َم ُن َخلَ ْقتُ ه‬
َ ‫الر ِح َم َو‬ ‫قَا َل ه‬
َ َ‫ط َع َها ق‬
ُ‫ط ْعتُه‬ َ َ‫ق‬

Allah Swt. berfirman, "Akulah al-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah
menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang

14
siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan
barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis di atas mengandung isytiqaq (pengasalan


kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang-
orang Arab ingkar terhadap nama al-Rahmān karena kebodohan mereka terhadap Allah dan
apa-apa yang diwajibkannya. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat
lain lafaz al-Rahmān dan al-rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan
lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah
isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana
hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapan “rajulun
gadbanu” ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya
menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful.
Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa al-Rahmān adalah isim yang mengandung makna
umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan al-
rahīm hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung
di dalam firman-Nya:

‫َو َكانَ ِب ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ِحيما‬


Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43).

Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna
lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni
lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain. Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan
lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka
mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang
terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:

ِ ‫علَى ْالعُ ْن‬


‫ف‬ ِ ‫الر ْف‬
َ ‫ق َما َال يُ ْع ِطي‬ َ ‫الر ْفقَ ويعطي‬
ِ ‫علَى‬ ٌ ‫َّللاَ َر ِف‬
ِ ُّ‫يق ي ُِحب‬ ‫ِإ هن ه‬
Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara,
dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan
kepada sikap yang kasar.

Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan
makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis

15
yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-
Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
‫َم ْن لَ ْم يَسْأ َ ِل ه‬
َ ‫َّللاَ َي ْغ‬
‫ضبْ عليه‬
Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka
terhadapnya.
Salah seorang penyair mengatakan:

‫ي آدَ َم حين يسأل يغضب‬ َ ُ‫س َؤالَه‬


ُّ ‫وبُ َن‬... َ ‫ب ِإ ْن ت َ َر ْك‬
ُ ‫ت‬ َ ‫َّللاُ َي ْغ‬
ُ ‫ض‬ ‫ه‬
Allah murka bila kamu tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta
pasti marah.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-
Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, " al-Rahmān
artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin),
sedangkan al-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin." Mereka (para ulama ahli tafsir)
mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:

‫علَى ْالعَ ْر ِش‬


َ ‫ث ُ هم ا ْستَ َوى‬
Kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan:
59).
Di dalam firman lainnya disebutkan pula:

‫علَى ْال َع ْر ِش ا ْستَوى‬ ُ ‫الر ْح‬


َ ‫من‬ ‫ه‬
Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5).

Allah menyebut nama al-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua
makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman:
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43). Maka Dia
mengkhususkan nama al-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan
bahwa lafaz al-Rahmān mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih-sayang, mengingat
kasih sayang bersifat umum —baik di dunia maupun di akhirat— bagi semua makhluk-Nya.
Sedangkan lafaz al-Rahīm dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang

16
di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang
Maha Penyayang di dunia dan di akhirat".
Nama al-Rahmān hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak
menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:

‫عوا فَلَهُ ْاألَسْما ُء ْال ُحسْنى‬


ُ ‫الر ْحمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬
‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).

Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman:

َ‫من آ ِل َهة يُ ْعبَد ُون‬


ِ ‫الر ْح‬ ِ ‫س ِلنا أ َ َجعَ ْلنا ِم ْن د‬
‫ُون ه‬ ُ ‫س ْلنا ِم ْن َق ْب ِل َك ِم ْن ُر‬
َ ‫َو ْسئ َ ْل َم ْن أ َ ْر‬
Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu,
"Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha
Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45).

Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia


menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan
membuatnya terkenal dengan julukan al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut
melainkan dengan panggilan Musailamah al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai
peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan
serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara. Sebagian ulama
menduga bahwa lafaz al-Rahīm lebih balig dari-pada lafaz al-Rahmān, karena lafaz al-Rahīm
dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid
(penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan.
Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke
dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya
tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz al-Rahmān tidak layak disandang
selain Allah Swt. Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya al-Rahmān hingga
selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini. sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam
firman-Nya: Katakanlah,

‫عوا فَلَهُ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬


ُ ‫الر ْح َمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬
‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬

17
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru,
Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).

Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani


menamakan dirinya dengan sebutan "al-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau
mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia. Adapun lafaz al-Rahīm, maka Allah
Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam
firman-Nya:

ٌ ‫علَ ْي ُك ْم بِ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ُؤ‬


‫ف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫علَ ْي ِه َما َعنِت ُّ ْم َح ِر‬
َ ‫يص‬ َ ‫سو ٌل ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم‬
ٌ ‫ع ِز‬
َ ‫يز‬ ُ ‫لَقَ ْد جا َء ُك ْم َر‬
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri,
berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin. (At-Taubah: 128).
Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya.
seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

‫صيرا‬ َ ُ‫ط َف ٍة أ َ ْمشاجٍ نَ ْبت َ ِلي ِه َف َجعَ ْلناه‬


ِ َ‫س ِميعا ب‬ ْ ُ‫اْل ْنسانَ ِم ْن ن‬
ِ ْ ‫إِنها َخلَ ْقنَا‬

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2).
Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang
oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, al-
Rahmān, al-Razīq, dan al-Khalīq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan
sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan al-Rahmān karena lafaz ini lebih khusus dan
lebih makrifat daripada lafaz al-Rahīm. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan
dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus. Jika
ditanyakan, "Bila lafaz al-Rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz al-Rahīm juga
disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut al-Rahmān saja?" Telah diriwayatkan dari Ata
Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya
dengan sebutan al-Rahmān selain Dia, maka didatangkanlah lafaz al-Rahīm untuk membantah
dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati
dengan julukan al-rahmānirrahīm kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan

18
oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya. Tetapi sebagian dari
kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal
kata al-Rahmān sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-
Nya:

‫عوا فَلَهُ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬


ُ ‫الر ْح َمنَ أَيًّا َما ت َ ْد‬ ُ ‫َّللاَ أ َ ِو ا ْد‬
‫عوا ه‬ ‫عوا ه‬ُ ‫قُ ِل ا ْد‬
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110).

Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan


—yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian)
kata bismillāhirrahmānirrahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang)?"— mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal al-Rahmān, tidak pula al-Rahīm."
Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka
adalah, "Kami tidak mengenal al-Rahmān kecuali Rahmān dari Yamamah" (maksudnya
Musailamah Al-Kazzab).
Allah Swt. telah berfirman:

‫من أ َ َن ْس ُجد ُ ِلما تَأ ْ ُم ُرنا َوزادَ ُه ْم نُفُورا‬ ‫من قالُوا َو َما ه‬
ُ ‫الر ْح‬ ‫َوإِذا قِي َل لَ ُه ُم ا ْس ُجد ُوا ِل ه‬
ِ ‫لر ْح‬
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman
(Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami
akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan
(perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60).

Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan
sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena
sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan
istilah Rahmān. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan
syair berikut:

‫الر ْح َم ُن َر ِبي يَ ِمي َن َها‬


‫ب ه‬ َ َ‫ أ َ َال ق‬... ‫ت تِ ْل َك ْالفَتَاة ُ ه َِجي َن َها‬
َ ‫ض‬ َ ‫أ َ َال‬
ْ َ‫ض َرب‬

Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman
Rabbku berada di tangan kanannya?

19
Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

‫ق‬ ْ ‫الر ْح َم ُن يَ ْع ِقد ُ َوي‬


ِ ‫ُط ِل‬ ‫ش ِأ ه‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ َ‫و َما ي‬... َ ‫عجلتم علينا إذ عجلنا‬
Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian,
padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus
hubungan).

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu
Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa Rahmān adalah wazan fa'lana dari lafaz Rahmān, dan ia termasuk
kata-kata Arab. Ibnu Jarir mengatakan, al-rahmānirrahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut
lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap
orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni
mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf,
dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah isim yang dilarang bagi selain Dia
menyandangnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah
menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rahmān adalah
isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya
dengan isim ini.
Muhammad Quraish Shihab menyatakan cenderung menguatkan pendapat yang
menyatakan baik al-Rahmān maupun al-Rahīm terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah
satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “Aku adalah al-Rahmān, Aku
menciptakan rahīm, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang
menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang
memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (HR. Abudaud dan Attirmizi melalui
Abdurrahman bin ‘Áuf). Quraish menguatkan pendapatnya dengan mengetengahkan pendapat
menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’
dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan
silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang

20
melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin
diantara anggota-anggotanya. Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang
dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak
dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi
secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak
terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi
kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian
ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh
jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang
dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak
demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna
rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa
pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada
di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang
dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang
bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat.
Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang
menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan
kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat
saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia
mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan
ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi
kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak
pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati.
Demikianlah Rahmat Allah Swt.
Masih menurut Quraish Shihab, menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh al-
Rahmān pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang
kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk
mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara
lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan
kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam
raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya
apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejewantahan dari

21
rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari
sisi-Nya”. Sedang buah al-Rahīm menurut Al-Ghazali adalah, “Tidak membiarkan seorang
yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir
disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik
kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga
terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia
membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas
penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa
dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.
Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah al-
Rahmān (Pemberi Rahmat) karena Dia al-Rahīm (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan
berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri
kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu
kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan
serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup
maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan
cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan
dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi
penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi
memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari
bacaan al-Rahmān dan al-Rahīm.
Sejak kecil kita sudah diajarkan oleh orang tua atau guru kita untuk memulai segala
sesuatu dengan membaca Bismillah, namun Bismillah yang kita baca tidak lebih dari sebuah
keyaqinan kita tentang keagamaan yang paling terkesan dimasa kanak-kanak dan merupakan
kebiasaan yang kita bawa hingga dewasa dan naïfnya kebiasan itu tetap stagnan tanpa
pemahaman lebih mengenai makna Bismillah yang sesungguhnya. Padahal Bismillah bukan
hanya ajaran Islam semata, bukan doktrin yang tanpa makna, melainkan adalah sebuah kalimat
yang sarat akan makna dan tersaji husus untuk ummat Muhammad demi kebaikan ummatnya.
Rosulullah meskipun bergelar al-ummi tapi beliau tidak bodoh. Karena ada Tuhan Allah Yang
Maha Cerdas, Maha Baik dan bijaksana dibalik semua ajaran dan anjurannya. Sehingga dalam
memerintahkan segala sesuatu pasti ada hikmah dan tujuannya yang tentu saja untuk kebaikan
kita sebagai ummatnya, termasuk didalamnya adalah perintah berbismillah dalam memulai
setiap aktivitas atau kegiatan yang kita lakukan.

22
Berangkat dari itu maka rasionalisasi bismillah menjadi sangat penting. Rasionalisasi
yang saya maksudkan adalah bagaimana konsep membaca bismilah sebelum melakukan
aktivitas seperti yang di anjurkan dalam Islam adalah sebuah teory yang logis dalam
menghasilkan energy positif bagi manusia yang produktif, khususnya sebagai khalifah di atas
bumi ini. Rasionalisasi bismillah adalah proses dimana bismillah ternyata adalah konsep yang
pas bahkan bagi manusia yang mendewakan logika modernitas. Salah satunya adalah bahwa
bismilah ternyata bersinergi dengan konsep ilmu perencanaan, bahkan lebih komplit dalam
cara pandangnya karena harus melibatkan kekuatan memandang dengan mata pikiran dan mata
hati. Sebab ketika Bismillah menjadi point penting dari prilaku dan akhlaq nabi Muhammad,
maka pastilah mengandung kebaikan bagi ummatnya dan itu berlaku tak kenal waktu tak
pandang sekarang nanti atau dulu.
Kebaikan dan efektifivas Bismillah bukan saja mengantar kita pada ke Khusu’an
beribadah, tapi juga dalam memberi pencerahan pemikiran dan kepribadian yang kita butuhkan
untuk sampai pada gerbang kesuksesan baik financial maupun spiritual. Seorang Maxwell
Maltz menuturkan bahwa kita harus mengusahakan diri kita memiliki ke-7 ciri kepribadian
untuk bisa menjadi manusia yang sukses menjalani hidup di dunia. Diantaranya adalah Sense
of Direction, Understanding, Courage, Chairty, Self-Acceptance, Self-Confidence. Esteem
(Self-Esteem). Dari ketujuh pandangan Maxwell Maltz tersebut sebenarnya secara tersirat
sudah diajarkan oleh Bismillah yang kita baca setiap harinya. Bahkan bismillah jauh lebih
sempurna memandang arti kesuksesan itu, karena bismillah juga mengajarkan kita bagaimana
kita mampu menikmati kesuksesan tersebut dengan konsep bahagia dalam hidup bahkan
membawanya hingga ke surga yang kita yaqini adanya. Bismillah seperti kunci gerbang utama
menuju kesempurnaan akhlak kita sehingga dengan kunci itu kita bisa membuka pintu sukses
kepribadian kita untuk menjadi kaya, bahagia dan masuk surga. Dalam prakteknya untuk bisa
sampai pada titik pengertian itu memang dibutuhkan kemampuan berfikir dan kematangan
memaknai bismillah itu sendiri, dan buku ini setidaknya akan membawa kita pada ranah
pemikiran dan pemaham tersebut. Singkat memang, tapi setidaknya akan dapat membuka
cakrawala berfikir kita di dalam ruang-ruang tafakkur kita.
Soekarno, Presiden Pertama Indonesia berpendapat bahwa kata-kata rahman, rahim yang
merupakan sifat prerogatif Tuhan menunjukkan pada kasih sayang Tuhan, namun makna yang
jauh berbeda. Kata-kata al-Rahman menurutnya berarti ‘pemurah’ atau kemurahan Tuhan
untuk memberikan sesuatu kepada manusia sekalipun manusia tidak beramal kepada Tuhan.
Dengan kata lain, al-Rahim menunjukkan kepada pemberian Tuhan sebagai ganjaran dari amal

23
yang diperbuat manusia. Tanpa amalan maka manusia tidak akan memperoleh ganjaran apa-
apa. Soekarno memberi contoh dari sifat al-Rahman Tuhan sebagai berikut:
“Misalnya kita diberi tanah air oleh Tuhan. Kita di-procotkan (dilahirkan, pen.) dari gua qardha ibu,
tidak didasar laut, atau tidak di awang-awang, dirgantara. Tidak dirgantara itu angkasa, itu yang
dinamakan oleh Ki Dalang Dirgantara. Tidak, kita dilahirkan dalam suatu keadaan yang di situ ada
buminya, yang kita bisa hidup di atasnya, yang di situ ada air yang kita bisa hidup. Pendek kata yang dengan
satu perkataan, kita simpulkan dengan perkataan tanah air. Salah satu kerahmanan Tuhan kepada kita”.

Dapat disebut bahwa bagi Soekarno tanah air adalah merupakan pemberian Tuhan sebagai
aplikasi dari rahmān Tuhan. Oleh karenanya, manusia berkewajiban memelihara dan
mempertahankannya. Pemikiran Soekarno tersebut dapat dipahami bahwa Soekarno ingin
membangkitkan dan membakar semangat juang rakyatnya dalam membela negara. Hal ini
sangat beralasan karena dalam lanjutan pidatonya, Soekarno menyebutkan, “Tanah air ini,
saudara-saudara diancam bahaya. Tuhan perintahkan kepada kita, hai buatlah tanah airmu
ini terhindar dari bahaya, tanah air ini adalah satu amanah Tuhan dan diancam tanah air ini
oleh bahaya, kewajiban kita untuk menyelamatkannya dari bahaya”. Selain itu Soekarno juga
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kesenangan, karena kesenangan menjalankan sifatnya
itu pulalah Tuhan menurunkan agama, oleh karenanya manusia berkewajiban membuat senang
kepada Tuhan, yakni dengan cara menjalankan agama, dan menjalankan amar ma’rūf nahī
munkar sebagai kewajiban yang diperintahkan Allah. Tuhan bisa menjalankan rahmaniah-Nya.
Antara lain terhadap tanah air dan masyarakat ini.

D. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā Tentang Al-Malik


Setelah al-Rabb, maka sifat Allah yang menyusul adalah al-Malik (‫)الملك‬, yang secara
umum diartikan raja atau penguasa. Penempatan susunannya seperti ini sejalan dengan
penempatannya dengan sekian banyak ayat al-Qur'an, antara lain pada surah al-Fatihah dan
surah al-Hasyar. Oleh karena rahmat yang dicurahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan
yang dilukiskan dengan kata Raḥmān itu disebabkan karena Dia juga Raḥīm, memiliki sifat
Raḥmān yang melekat pada diriNya. Namun siapa yang memiliki sifat rahmat, belum tentu
memiliki sifat kekuasaan dan hanya Allah yang memiliki yakni memiliki kekuasaan dan
kerajaan serta kepemilikan. Kata "Malik" mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu
disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Kata "Malik" yang biasa
diterjemahkan raja adalah yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah
dan pencabutan. Karena itu, biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang

24
yang sifatya tidak dapat menerima perintah dan larangan. Salah satu kata "Malik" dalam al-
Qur'an adalah yang terdapat dalam surah al-Nās, yakni "Malik al-nās" (Raja manusia).
Dalam Al-Qur'an, tanda-tanda kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak
kepadaNya untuk bermohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalan-
persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Allah SWT melukiskan betapa Yang Maha Kuasa
itu melayani kebutuhan makhlukNya. Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur'an: "Setiap
yang di langit dan di bumi bermohon kepadaNya. Setiap saat dia dalam kesibukan (memenuhi
kebutuhan mereka) (QS. al-Rahmān ayat 29). Kata "Malik" terdiri dari tiga huruf yakni Mim,
Lam, dan Ka. Yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata Malik
pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata Malik terulang di dalam al-Qur'an sebanyak
5 (lima) kali, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata "hak" dalam arti yang "pasti dan
sempurna," yaitu terdapat dalam surah Thaha ayat 114 dan surah al-Mukminun ayat 122, “Dan
adapun kerajaan Allah mencakup kerajaan lagit dan bumi.” Allah berfirman dalam surah al-
Zukhruf ayat 85: "Maha suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan
apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada-
Nya kamu di kembalikan". Demikian pula Allah juga pemilik kerajaan akhirat, hal tersebut
terdapat dalam surah al-an'am ayat 73 dan surah al-Hajj ayat 56: "Dan milikNya
kerajaan/kekuasaan pada hari ditiup sangkakala " "Kerajaan pada hari itu (kiamat) adalah milik
Allah".
Imam Al-Gazali menjelaskan arti "Malik" yang berarti raja yang merupakan salah satu
nama Asmaul Husna dengan menyatakan bahwa "Malik" adalah yang tidak butuh pada zat dan
sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepadaNya segala sesuatu yang
menyangkut segala sesuatu, baik pada zatNya, sifatNya, wujudNya dan kesinambungan
eksistensinya. Bahkan wujud segala sesuatu, bersumber dari-Nya, atau dari sesuatu bersumber
dari-Nya. maka segala sesuatu selain-Nya menjadi milikNya dalam zat dan sifatnya dan
membutuhkanNya. Demikianlah itu raja yang mutlak". Disini terlihat perbedaan antara
"Malik" yang berarti "Raja" dan "Maalik" yang diartikan "pemilik". Seseorang pemilik belum
tentu menjadi raja, sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik
yang bukan raja. Oleh karenanya, Allah adalah raja sekaligus pemilik. Kepemilikan Allah
berbeda dengan kepemilikan makhluk/manusia. Allah swt berwewenang penuh untuk
melakukan apa saja terhdap apa yang dimilikiNya.
Al-Mulku berakar pada kata mim, lam, dan kaf yang mengandung makna pokok “keabsahan
dan kemampuan”. Dari makna yang pertama terbentuk kerja malaka – yamliku – mulkan
artinya menguasai. Dari sini diperoleh kata malik dan mulk masing-masing artinya raja dan

25
kekuasaan. Dalam al-Qur’an penggunaannya bisa dilihat pada surat Al-Baqaraah ayat 247.
“Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh telah membangkitkan untuk
kamu Thalut sebagai “malik” Mereka menjawab, “Bagaimana ia mempunyai mulku atas kami,
padahal kami lah yang berhak memegang mulki darinya, karena ia tidak memiliki kekayaan”.
Ayat ini menceritakan penolakan Bani Israil atas kepemimpinan Thalut, karena memandang
Thalut tidak memiliki apa yang menurut mereka menjadi syarat kepemimpinan. Menurut ilmu
politik dan ilmu Negara sendiri malik, dalam hal ini adalah raja, diartikan sebagai seorang yang
mewarisi kekuasaan dari penguasa sebelumnya, kekuasaannya disebut mulk, kerajaan.
Pengertian Malik menurut al-Qur’an adalah lebih luas, ia bermakna raja, tapi juga pemilik
kekuasaan, artinya bukan hanya penguasaan akan tetapi juga kepemilikan. Pengertian tersebut
dapat di lihat dalam QS. 3: 26; “Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Tuhan yang
memiliki kekuasaan! Engkaulah yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau
kehendaki, dan Engkaulah yang mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki.
Engkaulah juga yangmemuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang
menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkau sajalah adanya segala
kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Dalam ayat tersebut
digambarkan bahwa Alloh pemilik dari kekuasaan (malik-ul mulki) dan memberikan dan
mencabut kekuasaan tersebut kepada siapa yang dikehendakinya. Sedangkan dalam QS. 59:
23, dikatakan bahwa Alloh adalah Al-Malik. Dengan melihat ayat tersebut bisa kita simpulkan
bahwa suatu kekuasaan hakekatnya adalah milik Alloh SWT dan manusia hanyalah berkuasa
dengan izin dari Alloh SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan kata ini secara umum, artinya
tidak hanya merujuk kepada suatu kekuasaan politik saja.

E. Konsep Al-Asmā' Al-Husnā dalam Pancasila


Konsepsi teologis dalam Pancasila tidak bisa dipahami dalam vacuum, sebab konsepsi
teologis Pancasila, betapapun murni dan transendentalnya, dihasilkan oleh para pemikir yang
hidup dalam semangat zaman tertentu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila saat ini,
dirintis dalam beberapa tahapan zaman yang diwarnai oleh gerakan-gerakan sosial-politis
bahkan teologis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya. Dalam hal ini, menurut penulis,
sangat penting untuk menelusuri konsepsi teologis Pancasila menurut perumus Pancasila itu
sendiri, yaitu Soekarno, untuk dijelaskan kepada generasi penerus bangsa melalui Pancasila.
Soekarno dalam berbagai karyanya, baik ceramah maupun tulisan, banyak mengungkapkan
tentang teologi Pancasila, terlebih lagi tentang teologi Islam. Soekarno menyampaikan

26
pidatonya di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, ketika itu Soekarno menjelaskan tentang
prinsip teologi atau Ketuhanan dalam penyusunan dasar negara:
“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
pentunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW,
orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semua bertuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan
hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalannya
agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”

Bagi Soekarno, Tuhan adalah kekuatan, kekuatan yang tidak ada tandingannya. Oleh
karenanya, Soekarno menghendaki negara Indonesia merupakan negara yang memiliki teologi
ketuhanan, bukan seluleristik ataupun ateistik. Namun demikian, temuan penulis, teologi bagi
bangsa itu merupakan suatu bentuk berketuhanan yang dicirikan oleh dua corak teologi, yaitu:
berkebudayaan dan berperadaban. Teologi berkebudayaan merupakan suatu corak teologi yang
inklusifistik, dengan tiada egoisme agama. Teologi yang berkeadaban, suatu teologi yang
pluralis, saling hormat-menghormati antar satu agama ataupun keyakinan yang tumbuh-
kembang di Nusantara ini.
Uniknya, malah Soekarno menganggap suatu keanehan bahwa ada orang yang
berpendapat, orang yang intelek tidak percaya adanya Tuhan (ateistik). Karena, menurut
Soekarno, makna intelek itu adalah otak, atau orang intelek itu adalah orang yang
berpendidikan. Selanjutnya Soekarno menganggap, beliau dianggap intelek karena telah
menyandang gelar insinyur dan 16 doktor dari berbagai jurusan ilmu, serta mendapat gelar
professor. Pernah ada yang bertanya, “Bung Karno yang intelek, yang professor dan
menyandang 16 doktor, mengapa percaya adanya Tuhan? Apa bukti adanya Tuhan?” Dengan
lantang dan penuh keyakinan, Soekarno memberi jawaban:
“Ya, jikalau saya harus membuktikan kepada saudara bahwa Tuhan itu ada, saya tidak
bisa, tetapi bisa membuktikan kepada diriku sendiri, kepada ku sendiri bahwa Tuhan ada,
bahkan saya sering bercakap-cakap dengan Tuhan. Saya sering meminta kepada zat itu,
itupun belum merupakan bukti Tuhan itu ada. Bahwa saya sering meminta kepada zat itu
dan zat itu memberikan kepadaku apa yang kuminta. Nah, itulah bagiku satu bukti yang
nyata bahwa Tuhan itu ada”.

Selanjutnya Soekarno menjelaskan, beliau sering memohon sesuatu kepada zat yang
dinamakan Allah Subhanahu wata’ala, dan apa yang Soekarno minta diberikan. Oleh

27
karenanya, bagi Soekarno itu sudah merupakan bukti yang kuat, yang teguh, yang nyata, yang
tidak dapat dibantah bahwa yang Soekarno minta itu ada, bahwa Tuhan itu pasti ada.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam setiap pidatonya selalu memuji dan mengharapkan
pertolongan Tuhan. Sebagai contoh ketika Soekarno berceramah dihadapan para mahasiswa di
Universitas Katolik Bandung, tanggal 16 Januari 1961:
“Nah, saya yang di dalam hal yang demikian itu, sebagai tadi saya katakana, selalu,
ya, mohon dari taufik hidayah daripada Tuhan, mana ada kekuatan yang lebih besar
daripada yang berasal daripada Tuhan? Saya selalu berkata di dalam pidato-pidato saya,
bahwa dengan bantuan Tuhan saya bisa menyelenggarakan ini, tanpa bantuan Tuhan
saya tidak bisa menyelenggarakan ini, saudara-saudara”.

Seandainya orang ingin menjumpai dengan Tuhan, orang itu tidak harus naik setinggi-
tingginya, cukup hanya turun ke dalam hatinya, demikian menurut Soekarno. Manusia
dianugerahkan akal atau rasio oleh Tuhan. Dengan rasionya manusia mampu menciptakan alat-
alat canggih yang dapat membawa manusia naik ke langit, dapat sampai ke planet yang
manusia inginkan. Otak manusia semakin berkembang, namun menurut Soekarno setinggi
apapun perkembangan otak manusia itu tidak akan mampu menjadikan manusia dapat bertemu
dengan Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad yang dapat berhadapan langsung dengan Tuhan,
itu pun atas seizin Allah. Menurut Soekarno sebagaimana disampaikan dalam memperingati
Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara, pada tanggal 16 Januari 1961:
“Kalau kita hendak menjumpai Tuhan saudara-saudara, meskipun kita memakai
explorer, meskipun kita memakai sputnik, meskipun kita memakai alat perkakas apapun
yang kita bisa sampai mendarat di bintang-bintangnya Bima Sakti, kalau kita tidak turun
di dalam hati kita malahan kita tidak akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala.
Profesor botak yang membikin perkakas, atau ingenieur botak yang membikin perkakas
yang membawa manusia ke bulan, belum tentu dia berjumpa dengan Tuhan; tetapi
ambillah orang yang hina-hina, kadang-kadang dia berjumpa dengan Tuhan meskipun
dengan tidak dengan dia punya pancaindera”.

Menurut Soekarno yang penting bagi manusia untuk dapat berjumpa dengan Tuhan adalah
dalam rangka meningkatkan keimanan. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan itu Esa, tetapi ada
di mana-mana. Siapa saja yang berkeinginan untuk bertemu dengan Tuhan, tidak harus
manusia naik ke langit setinggi-tingginya dengan memakai berbagai macam peralatan.
Manusia boleh saja bercita-cita untuk dapat bertemu dengan Tuhan Sang Pencipta, namun
menurut Soekarno manusia harus turun, turun ke sini (dengan penuh keyakinan sambil
Soekarno menunjuk ke dadanya), turun ke dalam hatinya. Soekarno bicara tentang hati,
berbicara soal hati berarti berbicara soal keimanan. Iman menyangkut hati seseorang,

28
menyangkut keyakinan, dengan keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan
tujuan hidup. Dengan iman, manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan
tentunya tidak mengalami penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci
hati nurani, sebagai pusat dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.
Manusia merupakan hamba Allah, berarti manusia harus selalu menyesuaikan kepada
keinginan Tuhannya. Keyakinan akan menjadikan manusia untuk selalu berbuat baik, baik
untuk dirinya, manusia, dan kepada Tuhannya. Hal ini menunjukkan penghambaan manusia
kepada Tuhan dikarenakan manusia merupakan makhluk yang dhaif. Bagi Soekarno, tanpa
adanya keyakinan pastilah seseorang tidak akan mampu bertemu dengan Tuhannya, sekalipun
memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Kemudian Soekarno juga menegaskan bahwa
manusia hanya dapat berjumpa dengan Tuhannya apabila telah mengerjakan segala yang
diperintahkan Tuhan dan meninggalkan segala larangannya. Selain itu, dapat dipahami bahwa
kalimat “berjumpa dengan Tuhan” yang dimaksud oleh Soekarno adalah mampu merasakan
bahwa Tuhan itu ada, dan yakin sekalipun manusia tidak dapat melihat Tuhan dan tentu Tuhan
melihatnya. Dengan demikian berjumpa dengan Tuhan bukanlah dalam arti yang sebenarnya,
melainkan dalam makna majazi, sebagaimana ungkapan Soekarno di atas.
Islam menghendaki agar supaya manusia sujud kepada Tuhan, mem-persatukan diri
dengan Tuhan, tetapi juga mempersatukan dengan semua manusia, dan dalam Islam bahkan
banyak hukum yang mengatur antara sesama manusia, menjadikan manusia sebagai insan
masyarakat. Manusia diberi hak oleh Tuhan untuk menjadi makhluk yang paling tinggi, bahkan
lebih tinggi dari malaikat. Islam tidak mengajarkan setiap manusia untuk mementingkan diri
sendiri, di sinilah menjadikan Islam sebagai agama kemanusiaan. Menurut Soekarno, dalam
ajaran Islam banyak sekali membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan.
Menurut agama Islam, manusia dilatih dan dididik dalam rangka mempersiapkan manusia
untuk kemasyarakatan. Oleh karenanya, manusia ditakdirkan Tuhan sebagai makhluk yang
tinggi derajat dan martabatnya. Yang mempersatukan manusia dengan Tuhannya.
Faisal Ismail dalam Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of
Muslim Acceptance of the Pancasila (1995), sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Arif,
Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menjelaskan, Bung Karno menempatkan
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Ahad sebagai basis etik keempat sila di atasnya. Sebab di
dalam pemikirannya, Pancasila memiliki dimensi politik dan etis. Dimensi politik merupakan
tugas utama Negara meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan kesejahteraan sosial.
Sisi dimensi etis bersifat religius karena sejak awal, bangsa Indonesia berketuhanan. Menurut
Bung Karno dan dalam Pancasila, kebangsaan ini tidak menegasikan atas Islam. Tapi, menjadi

29
blok historis yang memayungi semua ideologi, demi satu cita-cita: merdeka. Ini juga terkait
dengan sum-sum ide Pancasila itu sendiri yang merupakan sintesis antar-ideologi. Sintesis ini
terjadi tidak hanya demi kompromi politik antargolongan, melainkan cerminan dari cara pikir
masyarakat yang eklektik. Islam selalu memberi dan menerima dari nasionalisme dan
sebaliknya.
Menurut Syaiful Arif, konsepsi hubungan agama dan negara menurut dasar negara sangat
strategis baik bagi umat beragama maupun kalangan nasionalis. Konsepsi itu merujuk pada
hubungan toleransi kembar di mana negara dan agama saling menjaga jarak, sekaligus
mendukung di ranah masing-masing. Negara melindungi kebebasan beragama dan
memfasilitasi kehidupan sosialnya. Sementara itu, agama menguatkan negara melalui
pengembangan etika politik yang mendukung keadaban publik. Persis seperti ditegaskan Imam
al-Ghazali: Negara dan agama merupakan saudara kembar. Salah satunya tak bisa hidup, tanpa
lainnya. Agama menjadi dasar bagi masyarakat dan negara melindunginya. Keselarasan antara
konsepsi Pancasila dan Islam ini juga terdapat pada desain politik yang diawali transendensi
(ketuhanan) dan diakhiri transformasi (keadilan sosial). Inilah alasan Kuntowijoyo menyebut
demokrasi Pancasila sebagai teo-demokrasi: demokrasi berketuhanan. Di dalam desain ini,
makna politik menurut Islam dan Pancasila bertemu dalam satu kata: keadilan sosial.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila sepadan dengan worldview nilai teologi Islam
berupa prinsip tauhid. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu bentuk tanda keimanan
seluruh rakyat Indonesia. Iman menyangkut hati seseorang, menyangkut keyakinan, dengan
keimanan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah dan tujuan hidup. Dengan iman,
manusia akan memiki kembali hidupnya yang autentik dan tentunya tidak mengalami
penyimpangan. Manusia harus hidup sejalan dengan bisikan suci hati nurani, sebagai pusat
dorongan jiwa manusia untuk “bertemu” dengan Tuhan.

30
KEGIATAN BELAJAR 2:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Menguasai, Memahami, menghayati dan menerapkan makna Akidah Islam tentang:


1) Mukjizat; 2) Karomah; 3) dan Sihir dengan berbagai aspeknya, serta
mengidentifikasi ruang lingkupnya dalam akidah Islam.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami Konsepsi tentang Mukjizat.


2. Memahami konsepsi tentang Karomah.
3. Memahami konsepsi tentang Sihir.

POKOK-POKOK MATERI

1. Konsepsi tentang Mukjizat.


2. konsepsi tentang Karomah.
3. konsepsi tentang Sihir.

URAIAN MATERI
A. KONSEP TENTANG MUKJIZAT

Terma mukjizat berasal dari Bahasa Arab yang telah dibakukan ke dalam Bahasa
Indonesia, yaitu al-Mu’jizat (‫)المعجزة‬. Al-mu’jizat adalah bentuk kata mu’annas (female) dari
kata mudhakkar (male) al-mu’jiz. Al-mu’jiz adalah isim fā’il (nama atau sebutan untuk pelaku)
dari kata kerja (fi’l) a’jaza (‫)أعجز‬. Kata ini terambil dari akar kata ‘ajaza-yu’jizu-ajzan wa
‘ajuzan wa ma’jizan wa ma’jizatan/ma’jazatan (‫)عجز – يعجز – عجزا – وعجوزا – ومعجزا – ومعجزة‬,
yang secara harfiah antara lain berarti lemah, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sanggup, tidak

1
dapat (tidak bias), dan tidak kuasa. Al-‘ajzu adalah lawan dari kata al-qudrah yang berarti
sanggup, mampu, atau kuasa. Jadi, al-‘ajzu berarti tidak mampu alias tidak berdaya. Dalam
pada itu, istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al’ajib (‫)العجيب‬, maksudnya sesuatu
yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang atau pihak lain tidak ada yang
sanggup menanding atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khāriqun
lil-‘ādah (‫)أمر خارق للعادة‬, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.

Dalam al-Qur’an, kata a’jaza dalam berbagai bentuk (derivasinya) terulang sebanyak
26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat. Dan kata ‘ajaza dalam al-Qur’an digunakan untuk beberapa
pengertian, di antaranya “tidak mampu” seperti terdapat dalam QS. Al-Māidah/5: 31 dan QS.
Al-Jin/72: 12:

ِ ‫س ْوأَةَ أ َ ِخي ِه قَا َل يَا َو ْيلَتَا أَ َع َج ْزتُ أ َ ْن أَ ُكونَ ِمثْ َل َهذَا ْالغُ َرا‬
‫ب‬ َ ‫ض ِلي ُِريَهُ َكي‬
َ ‫ْف ي َُو ِاري‬ ِ ‫األر‬ ُ ‫غ َرابًا يَ ْب َح‬
ْ ‫ث فِي‬ ُ ُ‫َّللا‬
‫ث ه‬ َ َ‫فَبَع‬
ْ َ ‫س ْوأَةَ أَ ِخي فَأ‬
)٣١( َ‫صبَ َح ِمنَ النهاد ِِمين‬ َ ‫فَأ ُ َو ِار‬
َ ‫ي‬

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk


memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena
itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”

)١٢( ‫ض َولَ ْن نُ ْع ِجزَ هُ ه ََربًا‬


ِ ‫األر‬ ِ ُ‫ظنَنها أَ ْن لَ ْن ن‬
‫عجزَ ه‬
ْ ‫َّللاَ فِي‬ َ ‫َوأَنها‬

“Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat
melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat
melepaskan diri (daripada)Nya dengan lari.”

Dalam kedua ayat di atas, kata ‘ajaza digunakan untuk pengertian tidak mampu atau
tidak sanggup. Dalam kamus al-mu’jam al-Wasit}, mukjizat dirumuskan dengan:

‫أمر خارق للعادة يظهره هللا على يد نبي تأييدا لنبوته‬

“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat-kebiasaan yang ditampakkan Allah
di atas kekuasaan seseorang Nabi untuk memperkuat kenabiannya.”

Adapun yang dimaksud dengan mukjizat dalam terminologi ahli-ahli ilmu Al-Qur’an,
seperti diformulasikan Manna al-Qattan dan lain-lain ialah:

‫أمر خارق للعادة بالتعدي سالم عن المعارضة‬

2
“Sesuatu urusan (hal) yang menyalahi tradisi, dibarengi atau diiringi dengan
tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan (menang).”

Berdasarkan definisi mukjizat di atas, dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat
yaitu:

1. Unsur utama dan pertama mukjizat ialah harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan
(khariqun lil ‘adah). Sesuatu (mukjizat) yang tidak menyalahi tradisi, atau kejadiannya
sesuai dengan kebiasaan yang umum atau bahkan lazim berlaku, tidak dapat dikatakan
mukjizat. Itulah sebabnya mengapa banyak hal aneh yang dikeluarkan oleh ahli-ahli
sulap bahkan ahli-ahli sihir tidak dinyatakan sebagai mukjizat (QS. Al-Nisa/4: 171).
Mengingat pada dasarnya tidak menyalahi kebiasaan karena dia tidak sungguh-
sungguh, dan banyak orang lain yang bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih dari
itu. Berbeda dengan kemampuan Nabi ‘Isa almasih menghidupan orang mati yang tidak
pernah bisa dilakukan oleh siapa pun. Demikian pula dengan kemukjizatan tongkat
Nabi Musa as yang bisa berubah menjadi ular sunggguhan (Thu’banun mubin) (QS. Al-
A’raf /7:107 dan QS. As-Shura/26: 32). Contoh mukjizat lain ialah kemampuan Nabi
Sulaiman as berkomunikasi dengan semua hewan (QS. Al-Anbiya’/21: 81 dan QS. Al-
Ma’idah/5: 110). Begitu pula dengan ketidakterbakaran Nabi Ibrahim as saat
dilemparkan ke dalam kawah yang sedang mendidih (QS. Al-Anbiya’/21: 68-69).

Semua peristiwa yang baru disebutkan dinamakan mukjizat, karena semua peristiwa ini
memang tidak pernah mentradisi. Maksudnya, masing-masing peristiwa di atas hanya terjadi
sekali atau sesekali sepanjang zaman dan untuk orang-orang tertentu saja di tengah-tengah
sekian banyak manusia. Atas dasar ini, maka sihir, seperti disinggung di atas, tidak dapat
dikatakan sebagai mukjizat karena kejadiannya tidak sungguhan semisal lipatan kertas atau
dedaunan menjadi uang, sapu tangan menjadi burung, dan lain-lain. Demikian pula dengan
tukang sulap meskipun sering dianggap menyalahi kebiasaan. Sebab sihir, sesuai dengan salah
satu makna harfiahnya, berarti dusta alias tipu daya (tidak sesungguhnya). Sedangkan mukjizat
adalah sesuatu yang benar-benar terjadi.

2. Unsur pokok kedua dari mukjizat ialah bahwa mukjizat harus dibarengi dengan
perlawanan. Maksudnya, mukjizat harus diuji dengan melalui pertandingan atau
perlawanan sebagaimana layaknya sebuah pertandingan. Untuk membuktikan bahwa
itu mukjizat, harus ada upaya konkret lebih dulu dari pihak lain (lawan) untuk
menandingi mukjizat itu sendiri. Dan pihak yang menandingi itu harus sepadan atau

3
sebanding dengan yang ditandingi. Jika pihak yang menandingi atau melawan tidak
sebanding kelasnya, maka itu bukan lagi mukjizat namanya. Sebab, kekalahan yang
diderita pihak lawan yang tidak selevel misalnya, tidak menunjukkan kehebatan si
pemenang, dan tidak pula berarti mengisyaratkan ketidakmampuan pihak yang kalah
(lawan).

Sebagai contoh, tongkat Nabi Musa as yang dilemparkan menjadi ular sungguhan yang
dalam Al-Qur’an dibahasakan dengan thu’banun mubin, itu benar-benar ditandingi oleh
sahirin (Para penyihir) yang dikendalikan Fir’aun. Tapi, sihir-sihir yang dikerahkan seluruh
kaki tangan Fir’aun itu kemudian ternyata dikalahkan dan tidak pernah mampu mengalahkan
mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Musa as, dalam kaitan ini tongkat yang menjadi
ular.

3. Mukjizat itu tak terkalahkan. Unsur ketiga dari suatu mukjizat adalah bahwa mukjizat
itu setelah dilakukan perlawanan terhadapnya, ternyata tidak terkalahkan untuk selama-
lamanya. Jika sesuatu/seseorang memiliki kemampuan luar biasa, tetapi hanya terjadi
seketika atau dalam waktu tertentu, maka itu tidak dikatakan mukjizat. Katakanlah
misalnya seorang petinju kelas berat sekaliber siapapun, tidak dapat dikatakan memiliki
mukjizat. Selain karena mukjizat hanya diberikan kepada nabi Allah, juga dalam
kenyataannya tidak satu pun petinju kelas berat dunia yang sakti dan abadi dalam artian
terus menerus tak terkalahkan sepanjang karirnya sebagai petinju. Demikian pula
misalnya dengan pesilat, pegulat, pebulu tangkis, dan lain sebagainya.

Mukjizat sendiri dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: mukjizat yang bersifat
material indriawi lagi tidak kekal, dan mukjizat material, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang
masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka
bersifat material dan indriawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau
langsung lewat indara oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.
Contohnya, perahu Nabi Nuhas yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan
dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim
as dalam kobaran api yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi
ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain.
Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi
tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbada dengan
mukjizat Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat
dipahami oleh akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau

4
masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang mengunakan
akalnya di manapun dan kapan pun.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka
hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda
dengan Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman,
sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu
di manapun dan kapanpun mereka berada. Jika demikian halnya, tentu mukjizat tersebut tidak
mungkin bersifat meterial, karena kematerialan membatasi ruang dan waktunya. Kedua,
manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Sedangkan fungsi mukjizat sendiri
adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui
mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah benar.
Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir
telah menjadi kajian yang menarik. Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir
Ahmad Khan (1817-1898) terhadap Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam
Al-Qur’an sebagai firman Tuhan (saying of God) yang bertentangan dengan ciptaan Tuhan
(creation of God). Karena Al-Qur’an sebagai firman Tuhan tidak mungkin menyalahi hukum
alam sebagai ciptaan-Nya. Keselarasan keduanya bersifat esensial. Jika firman Tuhan
bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman Tuhan yang
suci. Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini menghantarkannya pada satu kesimpulan bahwa tidak
satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan prinsip ini,
Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti
penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Pada
akhirnya, Sir Ahmad Khan mengadopsi pendapat Ibnu Rushd yang mengatakan bahwa antara
kebenaran menurut akal (al-m’aqul) tidak boleh bertentangan dengan kebenaran menurut
wahyu (al-manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara
metaforis.
Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Rid}a (1865-1935),
mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal sehingga dengan
tegas ia mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad saw kecuali Al-Qur’an. Ia menolak
hadis-hadis sekalipun s}ah}ihyang menjelaskan tentang mukjizat Nabi Muhammad saw selain
Al-Qur’an. Penolakan itu disebabkan karena mukjizat selain Al-Qur’an tidak sesuai dengan

5
akal dan kalaupun ia menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan
menafsirkan melalui takwil sehingga bisa selaras dengan akal.
Sebetulnya, genetik pemikiran Rashid Rid}a (1865-1935) tentang mukjizat berakar
pada pemikiran gurunya, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan
menggunakan akal (al-ra’yu) dalam menafsirkan teks (al-wah}yi). Muhammad Abduh
mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat yang mutashabih, ulama tafsir terbagi
menjadi dua kelompok; pertama adalah mereka yang menafsirkannya dengan cara
menakwilkannya sehingga selaras dengan akal (al-ma’qul). Sementara kelompok kedua adalah
para ulama yang mendiamkannya (al-mauquf). Muhammad ‘Abduh, lebih cenderung memilih
pada kelompok yang pertama. Hal ini bisa dilihat dalam pendapatnya tentang malaikat,
mukjizat dan kejadiaan-kejadian luar biasa lainnya yang diceritakan dalam Al-Qur’an.

Maulana Muhammad Ali (1876-1951), seorang tokoh dan pendiri Ahmadiyah Lahore
tidak berbeda jauh dengan pola penafsiran Ahmad Khan, Muhammad ‘Abduh dan Rashid
Rid}a, yaitu memberi ruang gerak yang dominan terhadap akal sehingga mengalahkan wahyu.
Muhammad Ali berprinsip bahwa mukjizat yang terjadi pada para nabi bukanlah sesuatu yang
luar biasa dan suprarasional akan tetapi merupakan hal yang rasional. Mukjizat dalam
pengertian sesuatu yang luar biasa adalah bertentangan dengan akal manusia sehingga mustahil
terjadi.

Prinsip ini berbeda jauh dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang mukjizat, ia
mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa
“luar biasa” yang terjadi dari seseorang yang mengaku Nabi sebagai bukti kenabiannya,
sebagai tantangan terhadap orang yang meragukannya, dan orang yang ditantang tidak mampu
untuk menandingi kehebatan mukjizat tersebut. Pengertian peristiwa yang luar biasa adalah
sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang lumrah terjadi atau yang umum
dalam pandangan manusia. Menurutnya, kemustahilan terbagi menjadi dua, yaitu mustahil
dalam pandangan akal dan mustahil dalam pandangan kebiasaan. Bila dikatakan bahwa 1+1=
11 atau 1 lebih banyak dari 11 maka pernyataan ini mustahil dalam pandangan akal. Namun,
bilamana dikatakan bahwa matahari terbit dari sebelah barat, maka pernyataan ini mustahil
dalam pandangan kebiasaan.

Lebih jauh M. Quraish Shihab berpendapat bahwa secara garis besar mukjizat dapat
dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material inderawi lagi tidak
kekal, dan mukjizat immaterial, logis lagi bisa dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat Nabi-Nabi
terdahulu kesemuanya merupakan jenis mukjizat pertama. Mukjizat mereka bersifat material

6
dan inderawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat
indera oleh masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Said Aqil Munawar, bahwa mukjizat terbagi dua
yaitu mukjizat hissi (material dan iderawi) dan mukjizat ma’nawi (immateral dan logis),
karakteristik mukjizat yang kedua ini bersifat immortal, sementara mukjizat yang pertama
bersifat temporal. Dan ia mengutip pendapat ulama bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi
hal itu dikatakan mukjizat, bila salah satu dari kelima itu tidak terpenuhi, maka itu bukanlah
mukjizat; pertama mukjizat ialah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain
Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan
dengan hukum alam. Ketiga, Mukjizat harus menjadi saksi terhadap risalah ilahiyyah yang
dibawa oleh orang yang mengaku Nabi, sebagai bukti akan kebenarannya. Keempat, Terjadi
bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat
tersebut. Kelima, Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam
pertandingan tersebut.

Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat yang bersifat


material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 69 yang
berbunyi:

َ ‫علَى إِب َْرا ِه‬


)٦٩( ‫يم‬ ُ ‫قُ ْلنَا يَا ن‬
َ ‫َار ُكونِي بَ ْردًا َو‬
َ ‫سال ًما‬
“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.”

Menurut Muhammad Ali, Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan secara konkrit
bahwa Nabi Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah
mengintruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi Ibrahim as dalam Al-Qur’an surah al-
‘Ankabut: 29: 24:

‫ار ِإ هن فِي ذَ ِل َك‬ ‫اب قَ ْو ِم ِه ِإال أ َ ْن قَالُوا ا ْقتُلُوهُ أ َ ْو َح ِ ِّرقُوهُ فَأ َ ْن َجاهُ ه‬
ِ ‫َّللاُ ِمنَ النه‬ َ ‫فَ َما َكانَ َج َو‬
)٢٤( َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬
ٍ ‫آليَا‬
“Maka tidak ada jawaban kaumnya (Ibrahim), selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia”,
lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang beriman.”

Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim as memvonis untuk membunuhnya
atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran api itu. Akan tetapi dalam ayat

7
tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang secara konkrit menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim as
dibakar.

Dalam Al-Qur’an Surah al-Anbiya: 21: 70:

)٧٠( َ‫س ِرين‬ ْ ‫َوأ َ َرادُوا ِب ِه َك ْيدًا فَ َج َع ْلنَا ُه ُم‬


َ ‫األخ‬
“Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orang-
orang yang paling rugi”.

Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak memperdaya Nabi Ibrahim as akan
tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana Muhammd Ali melanjutkan pada Al-Qur’an
surah al-S{affat: 37: 98:

)٩٨( َ‫فَأ َ َرادُوا ِب ِه َك ْيدًا فَ َج َع ْلنَا ُه ُم األ ْسفَ ِلين‬


“Maka mereka bermaksud memperdayainya dengan (membakar)nya, (tetapi Allah
menyelamatkannya), lalu Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.”

Mengacu pada Al-Qur’an surah al-Anbiya: 21: 71 :

)٧١( َ‫ار ْكنَا ِفي َها ِل ْل َعالَ ِمين‬


َ ‫ض اله ِتي َب‬ ً ‫َونَ هج ْينَاهُ َولُو‬
ْ ‫طا ِإلَى‬
ِ ‫األر‬
“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lutke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk
seluruh alam.”

Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari makar mereka dan
merekapun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi Ibrahim as dan anak saudaranya Nabi Lutas
hijrah ke negara yang aman yaitu Pelestina atau Sham. Empat ayat diatas merupakan data
otoritatif dan argumentatif bahwa Nabi Ibrahim as tidak dibakar seperti dalam pemahaman
mayoritas penafsir dan kalangan umat Islam lainnya. Menurutnya, pengertian ayat yang
menjelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari api adalah menyelamatkan
dari kejahatan kaumnya dengan memerintahkan hijrah ke negara lain sebagaimana Allah
menyelamatkan Nabi Muhammad saw dari kejahatan kaum musyrik Mekkah dengan
memerintahkan hijrah ke Ethiopia dan Yathrib.

Ini berbeda jauh dengan penafsiran M. Quraish Sihab yang menafsirkan ayat-ayat
mukjizat dengan jelas. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat mukjizat berangkat
dari prinsip-prinsip penafsiran yang ia bangun, yaitu ketertundukan akal pada wahyu,
menurutnya akal dan wahyu mempunyai wilayah masing-masing. Ia meyakini bahwa peristiwa

8
pembakaran yang dialami oleh Nabi Ibrahim as itu merupakan suatu peristiwa “keluarbiasan”,
yakni diluar hukum alam yang kita kenal yaitu yang menganut hukum kebiasaan yang sering
terjadi disekitar kita, karena itu kita tidak mengetahui hakikat daripada peristiwa itu. Objek
akal adalah sesuatu yang terjadi dan sering berulang-rulang kemudian melahirkan hukum alam
atau sunnatullah, misalnya air yang mengalir ke tempat yang rendah dan api yang mempunyai
daya bakar serta matahari terbit dari barat, semua itu telah memunculkan teori tentang hukum
alam dan sebab akibat. Hal ini tentu berseberangan dengan pemaknaan mukjizat.

Penilaian bahwa sesuatu itu mustahil karena akal terpaku pada kebiasaan atau hukum
alam yang biasa terjadi di depan mata, atau yang diketahui selama ini. Sehingga, bila ada
sesuatu yang berseberangan dengan jalan yang biasa dilihat atau biasa terjadi, boleh jadi
kemudian ditolak bahkan mustahil. Dari dulu, mustahil menurut pandangan akal seorang nenek
akan melahirkan cucunya. Akan tetapi, kemustahilan itu menjadi rapuh karena kecanggihan
tekhnologi rekayasa genetik. Ia mengutip pernyataan David Hume (1711-1776), seorang
filosof terkenal dari Inggirs menyatakan bahwa cahaya yang kita lihat ketika meletusnya
meriam bukanlah sebab meletusnya meriam. Dan mengutip pendapatnya al Ghazali (1059-
1111) yang berkata bahwa ayam yang berkokok sebelum fajar bukan menjadi sebab terbitnya
fajar. Menurut sementara pemikir lain, mungkin apa yang merupakan kebetulan hari ini, bisa
jadi merupakan proses dari kebiasaan atau hukum alam. ia juga mengutip riwayat yang
mengatakan bahwa Jibril datang ketika itu dan menawarkan pertolongan akan tetapi Nabi
Ibrahim as menolaknya karena ia hanya mengharapkan pertolongan Allah swt.

1. Paradigma Saintis dan Filosof Tentang Mukjizat

Mukjizat juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan
Filosof, Salah Satunya yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa
Mukjizat merupakan suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh
faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di alam semesta ada dua bentuk keteraturan yang
berjenjang dan bertingkat.

Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari
kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda
tersebut. Namun, Tuhan juga meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua
benda di alam, benda-benda tersebut tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya
masing-masing. Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak

9
Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan
tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan
kehendak Tuhan.

David Hume (1711-1776) mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya,


dalam makalah yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada
bagian pertama dalam makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian
mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil
kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah yang walaupun bukti itu
sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional
tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya.

Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat
dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh
semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang
dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik
dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas bahwa David Hume menolak adanya
mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan
pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:

1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam
berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk
penyelesaian segala perbedaan.
2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil
dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan
realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi
mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang
kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing,
aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita
berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa
membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut
yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan
empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama
sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan
realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.

10
4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman
kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan
pembuktiannya.
Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang
kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus
dalil atau bukti lawan bukti, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan
otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan
dalil yang sempurna.
Ah}mad ibn Ish}aq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) seorang Filsuf berkebangsaan
Yahudi mengatakan Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau
sekiranya Allah swt membantu umat Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud
tidak? al-Ruwadi juga mengingkari mukjizat Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan
yang luar biasa (Khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran dengan balaghah Al-Qur’an,
karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah orang yang paling
fasih di kalangan orang Arab. Sehingga daripada membaca kitab suci lebih berguna membaca
buku Filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, Logika, serta Obat-obatan.
Berdasarkan paparan di atas, makna mukjizat mempunyai perbedaan antara para sainstis,
Filosofis, dan tokoh agama. Dengan makna yang berbeda-beda menimbulkan penafsiran yang
berbeda dalam Al-Qur’an. Makna mukjizat yang berbeda-beda disebabkan oleh sudut pandang
yang berbeda-beda mengenai sesuatu di luar nalar manusia biasa. Para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat mukjizat dalam al-Qur’an mempunyai perbedan penafsiran. Ada
mufassir yang mencoba menafsirkan dengan makna majazi seakan-akan rasional dan masuk
akal, mufassir lain menafsirkan dengan makna hakiki dan memaknai bahwa mukjizat adalah
sesuatu yang luar biasa. Namun, ketika memaknai Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasulallah saw
terdapat kerancuan, dikarenakan memaknai mukjizat para Nabi sebelumnya majazi sedangkan
Al-Qur’an secara hakiki. Menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, namun tidak menerima
perkara yang luar biasa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya sebagai mukjizat.

B. KONSEP TENTANG KAROMAH


Karomah sesungguhnya merupakan istilah yang tidak asing bagi umat muslim, dimana
karomah ini merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena hal tersebut, maka Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah mempercayai adanya karomah yang dimana karomah ini datangnya dari sisi

11
Allah. Karomah ini, mau tidak mau akan membentuk kharisma seseorang di mata umat. Islam
mengakui tentang konsep karomah. Karomah untuk kiai dan wali sesungguhnya memanglah
ada dan diperbolehkan. Hal ini dikarenakan karomah dianggap sebagai kejadian yang bersifat
asumtif dan datang bukan dengan tujuan untuk merusak akidah. Selain itu, Allah menciptakan
karomah adalah untuk kekasih-kekasih-Nya.
Salah satu keyakinan tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah yakin atau percaya
sepenuhnya akan adanya karomah, yang dimana karomah ini datang dari sisi Allah. Karomah
pada dasarnya merupakan suatu hal yang dianggap bertentangan dengan adat kebiasaan
manusia pada umumnya, dan karomah ini hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah yang
sholeh. Menurut Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, karomah adalah pemberian dari
Allah SWT dalam bentuk pertolongan-Nya yang diberikan kepada seseorang yang membela
agama Allah. Sifat Karomah adalah kejadian di luar batas kemampuan manusia pada
umumnnya atau keluar dari kebiasaan pada umumnnya. Karomah merupakan bagian dari
Mawahib (anugerah) Allah yang didapat tanpa melalui proses usaha juga terjadi hanya sesekali
saja.
Karamah berasal dari bahasa arab ‫ كرم‬berarti kemuliaan, keluhuran, dan anugerah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat
diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena
ketaqwaanya kepada Tuhan. Menurut ulama sufi, karamah berarti keadaan luar biasa yang
diberikan Allah SWT kepada para wali-Nya. Wali ialah orang yang beriman, bertakwa, dan
beramal shaleh kepada Allah SWT. Ulama’ sufi meyakini bahwa para wali mempunyai
keistimewaan, misalnya kemampuan melihat hal-hal ghaib yang tidak dimiliki oleh manusia
umumnya. Allah SWT dapat memberi karamah kepada orang beriman, takwa, dan beramal
shaleh menurut kehendaknya. Misalnya, Kejadian yang Dialami Seorang Ahli Ilmu pada masa
Nabi Sulaiman a.s. Ketika Nabi Sulaiman a.s. sedang duduk di hadapan dengan para tentaranya
yang terdiri atas manusia, hewan, dan jin, beliau meminta kepada mereka mendatangkan
singgasana Ratu Bulqis. Ada seorang yang berilmu berkata kepada Nabi Sulaiman a.s. menurut
sebuah keterangan, orang yang berilmu itu bernama Asif. Perkataan orang berilmu tersebut
diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya Q.S. an-Naml: 40,

َ ‫يك بِ ِه قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْرتَده إِلَي َْك‬


‫ط ْرفُ َك فَلَ هما َرآهُ ُم ْست َ ِق ًّرا ِع ْندَهُ قَا َل‬ َ ِ‫ب أَنَا آت‬ ِ ‫قَا َل الهذِي ِع ْندَهُ ِع ْل ٌم ِمنَ ْال ِكتَا‬
َ ‫ض ِل َربِِّي ِل َي ْبلُ َو ِني أَأ َ ْش ُك ُر أ َ ْم أ َ ْكفُ ُر َو َم ْن‬
‫ش َك َر فَإِنه َما يَ ْش ُك ُر ِلنَ ْف ِس ِه َو َم ْن َكفَ َر فَإ ِ هن َربِِّي َغنِي‬ ْ َ‫َهذَا ِم ْن ف‬
‫َك ِري ٌم‬

12
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku
untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan
barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia”.

Selain itu, kejadian yang Dialami Maryam binti Imran, Nabi Zakaria a.s. menemukan
makanan setiap hadir di mihrab Maryam binti Imran. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran:
37,

َ ‫علَ ْي َها زَ َك ِريها ْال ِم ْح َر‬


َ‫اب َو َجد‬ َ ‫سنًا َو َكفهلَ َها زَ َك ِريها ُكله َما دَ َخ َل‬
َ ‫س ٍن َوأ َ ْن َبت َ َها نَبَاتًا َح‬
َ ‫فَتَقَبهلَ َها َربُّ َها بِ َقبُو ٍل َح‬
‫ب‬
ٍ ‫سا‬ َ ‫َّللاَ َي ْر ُز ُق َم ْن َيشَا ُء ِب َغي ِْر ِح‬ ‫ت ُه َو ِم ْن ِع ْن ِد ه‬
‫َّللاِ ِإ هن ه‬ ْ َ‫ِع ْندَهَا ِر ْزقًا قَا َل َيا َم ْر َي ُم أَنهى لَ ِك َهذَا قَال‬

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya.
Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam
menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”

Peristiwa yang disaksikan Nabi Zakaria a.s. merupakan karamah yang dianugerahkan
Allah SWT kepada maryam binti Imran. Allah SWT mentakdirkan bahwa pengasuh Maryam
adalah pamannya sendiri, yakni Nabi Zakaria a.s. Karomah memang identik dengan hal-hal
yang tidak masuk nalar. Akan tetapi ia adalah nyata dan haqq, seperti halnya mukjizat para
nabi. Bedanya, jika mukjizat disertai dengan pengakuan kenabian (nubuwwah), pada karomah
hal itu tidak ada. Karomah ini oleh Allah diberikan kepada para wali yang benar-benar beriman
dan bertakwa hanya kepada Allah. Firma Allah mengenai sifat-sifat dari wali Allah ini yaitu
sebagai berikut:

َ‫علَ ۡي ِه ۡم َو َال ُه ۡم يَ ۡحزَ نُونَ ٱلهذِينَ َءا َمنُواْ َو َكانُواْ يَتهقُون‬ ‫ال إِ هن أ َ ۡو ِليَا ٓ َء ه‬
ٌ ‫ٱَّللِ َال خ َۡو‬
َ ‫ف‬ ٓ َ َ‫أ‬

13
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka
dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka
senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63).

Berdasarkan ayat di atas, diketahui bahwa sifat-sifat dari wali Allah yaitu: “Orang-
orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya
dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” Menurut Imam al-
Qusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan merasa nyaman dan peduli terhadap
karomah yang dianugerahkan kepadanya. Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya
karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu
berasal dari Allah.
Pengertian dari karomah itu sendiri menurut Abul Qasim al-Qusyairi yaitu karomah
merupakan suatu aktivitas yang dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan adat kebiasaan
manusia pada umumnya, yaitu dapat juga dianggap sebagai realitas sifat wali-wali Allah
tentang sebuah makna kebenaran dalam situasi yang dianggap kurang baik. Karomah ini juga
dapat dianggap sebagai hal yang sangat luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada kekasih-
kekasih pilihanNya. Sedangkan menurut Syeck Ibrahim Al Bajuri dalam kitabnya dijelaskan
bahwa karomah adalah sesuatu luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang
telah jelas kebaikannya yang diteyapkan karena adanya ketekunan didalam mengikuti syariat
nabi.
Selanjutnya Said Hawwa juga menjelaskan bahwa karomah memang benar-benar telah
terjadi dan akan tetap terjadi pada wilayah tasawuf. Karomah juga bisa terjadi pada orang yang
belum sempurna istiqamahnya. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar lurus, istiqamah, dan
tampak karomahnya, barangkali karomahnya tersebut identik dengan tanda kewalian. Karomah
dapat berarti juga peristiwa yang luar biasa, yang keluar dari hukum alam. Namun karomah
tersebut dapat pula berarti merupakan akibat dari suatu sebab tapi masih dalam lingkup
manifestasi taufik Allah.
Adapun dalam kitab Jauharut Tauhid karya Syaik Ibrahim al-Laqqani ini sendiri
tertulis atau tergambar berbagai macam tokoh atas bermacam-macam karomah, yaitu dimana
salah satunya ialah kisah dari pada Ashabul Kahfi yakni ketujuh orang pemuda keturunan
bangsawan dari Rum yang sangat mengkhawatirkan keimanan mereka. Peristiwa ini terjadi
sesudah zaman Nabi Isa A.S. Raja mereka tidak sepaham bahkan sangat benci sekali dengan
apa yang mereka yakini. Mereka pun keluar menjauhi kerajaan dan masuk kedalam gua lalu
tertidur didalamnya selama 309 tahun. Dan itulah salah satu dari pada bentuk karomah yang

14
ada dalam islam versi kitab Jauharut Tauhid karangan Syaikh Ibrahim Al-Laqqani. Adapun
jika kita mengambil contoh lain ialah kejadian yang dialami oleh Maryam Binti Imran R.A.
yang selalu mendapatkan makanan di Mihrab, sedangkan Maryam sendiri tidak pernah keluar
dari Mihrab. Hal ini diabadikan dalam Q.S. Al-Imran ayat 37. Selain itu, kejadian pada Amir
Bin Fuhairah ketika wafat, jasadnya diangkat oleh para malaikat dan disaksikan oleh para
sahabatnya Amir bin Thufail.
Kemudian pada buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali karya Abu Fajar
Alqalami, dijelaskan bahwa karomah atau kekeramatan disebut juga khariqul ’adah, yaitu suatu
kejadian yang dianggap luar biasa. Karomah ini diberikan oleh Allah kepada kekasih-kekasih
pilihanNya yang bertakwa, shalih sebagai hujjah agamaNya dan untuk menolong mereka dari
usuh-musuh Allah, sebagaimana mukjizat para nabi sebagai hujjah orang-orang yang ingkar
kepada Allah. Lebih lanjut lagi, dijelaskan bahwa menurut arti asalnya karomah ialah
kemuliaan atau kemurahan hati. Sedangkan menurut istilah perwalian, karomah mempunyai
makna kejadian luar biasa (khairqul’adah) yang terjadi pada wali (kekasih-kekasih Allah).
Karomah pemberian Allah itu pada dasarnya adalah sebagian dari mukjizat-mikjizat para
nabiNya. Sebagian mukjizat Nabi Muhammad SAW diantaranya yaitu Nabi Muhammad SAW
dapat membelah bulan dengan ijin Allah (HR. Bukhari dan Muslim), dan batu-batu kerikil tiba-
tiba mengucapkan tasbih ketika dipegang dan diletakkan ditelapak tangan Nabi SAW (HR.
Bazzar dari Abu Dzar). Di samping itu, ada juga sahabat-sahabat Nabi yang termasuk dalam
kategori wali Allah dan mempunyai karomah dalam dirinya. Wali Allah sama sekali tidak
pernah dengan sengaja menampakkan kekeramatannya di depan orang banyak sekedar agar
mendapat pujian. Namun kekeramatannya itu muncul karena hujjah atau dalam keadaan
terpaksa.
Adapun bilamana ada seorang wali Allah yang dimana dirinya hanya mengharapkan
untuk mendapatkan karomah, maka wali tersebut tidak termasuk dalam golongan wali yang
tinggi derajatnya. Ibnu Athaillah pernah mengatakan bahwa: “Kemahuan yang tinggi tidak
sampai menembusi tembok-tembok takdir.” Maksud dari perkataan Ibnu Athaillah ini adalah
karomah tidak akan bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan, karena semua yang
terjadi di alam raya ini baik hal biasa maupun hal yang luar biasa sumber utamanya adalah
takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Oleh karena hal tersebut, maka pada umumnya apa-
apa kemauan dari wali tidaklah pernah bertentangan dengan takdir yang telah ditetapkan
tersebut.
Selanjutnya, sebagian ciri-ciri seorang hamba yang memiliki karomah diantaranya
yaitu: (1) tidak memiliki doa-doa khusus sebagai suatu bacaan; (2) karomah hanya terjadi pada

15
seorang yang sholeh; (3) seseorang yang memiliki karomah tidak pernah secara sengaja
mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki karomah. Maksud atau tujuan dari pemberian
karomah tersebut kepada para wali ialah: (1) dapat lebih meningkatkan keimanan kepada
Allah; (2) masyarakat menjadi lebih percaya kepada seorang wali Allah, yang senantiasa
meneruskan perjuangan nabi Muhammad SAW; dan (3) karomah merupakan bukti nyata
meninggikan derajat seorang wali agar dirinya selalu tetap istiqomah di jalan Allah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti hendak
mengkaji lebih jauh mengenai konsep karomah berdasarkan kitab Jauharut Tauhid karya Syaik
Ibrahim al-Laqqani dan buku Meluruskan Pemahaman Tentang Wali Karya Abu Fajar
Alqalami. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagaimanakah konsep karomah antara
keduanya dengan dihubungkan pada kehidupan nyata sekarang ini. Dengan mengetahui konsep
karomah tersebut, diharapkan hal ini akan dapat meningkatkan keimanan serta ketaqwaan
kepada Allah SWT, serta tidak akan salah mengenai konsep karomah sesungguhnya,
mengingat di era modern ini ditemukan banyak orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya
memiliki karomah.
Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut salah membahas. Atau
diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang tersedia tidak terlalu banyak.
Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat karena yang mengajak diskusi bukan wali dan
dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu al-wali illa al-wali”, tidak mengetahui kewalian
seseorang kecuali seseorang wali”. Nampaknya memang suasana yang demikian butuh
pencerahan. Satu sisi memang positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara
individu manusia saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan harus
dihormati. Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi yang akan datang
tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal tersimpan rapat oleh generasi
tua. Bagaimana Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat)
memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah Sholeh
Darat tentang wali dan karamah adalah dalam syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim
Allaqani:

.‫واثبتن لالوليإ الكرامة ٭ ومن نفاها انبذن كالمه‬


Wali menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah)
sekedar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat kepada Allah dan menjauhi
ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiyatan berbarengan dengan
selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi.

16
Maka wali belum bisa meninggalkan ma’siyat secara penuh. Makanya mereka disebut
waliyullah. Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam
hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan
menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan taqdir Allah saja. Itulah
definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat.
Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari
sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu
menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik
secara ideologi serta perilakunya. Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak
ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut
ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu
diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang
ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.
Para ulama muhaqqiqin menyampaikan: “Barangsiapa yang tidak nampak karamanya
setelah meninggal sebagaimana karamah ketika masih hidup, maka itu tidak benar”. Imam
Sya’roni juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya Allah SWT itu selalu membuat
wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para wali, yang bertugas mengabulkan seluruh
hajat manusia”. Selain itu, seorang waliyullah juga terkadang keluar dari kuburnya untuk
mengabulkan hajat manusia yang meminta hajat sebagaimana persaksian karomah para wali
itu secara kasat mata (musyahada karamah al-auliya’). Sebagaimana Sayyid Al Aidarusi Al
Adnani, Shahib Al Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani, Sayyid Ahmad Al Badawi.
Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah Sholeh Darat dalam Kitab Sabil Al ‘Abid
adalah: “Kenapa zaman akhir para wali banyak kelihatan karomahnya? Dan kenapa zaman
Sahabat dan Tabi’in tidak nampak wujud karomah wali?” Oleh Mbah Sholeh dijawab, bahwa
zaman akhir ditunjukkan banyak karomah karena manusia di zaman akhir banyak kesalahan
(dla’if) keyakinan agamanya. Maka mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya
agar semakin kuat keyakinan agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan demikian,
generasi zaman akhir tidak mudah menghina para orang-orang sholih.
Berbeda dengan orang-orang zaman al-awwalin (periode Sahabat dan Tabi’in) yang
dalam hidupnya masih sangat yakin kepada orang-orang shalih. Sehingga karamah para wali
tidak diperlihatkan. Apalagi pada zaman Sahabat, dimana Rasulullah SAW masih hidup
bersama mereka. Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini merupakan dasar dari pemaknaan
kata wali dan karomah cukup memberikan pencerahan. Penjelasan lengkap mengenai wali
dalam karya tulis Mbah Sholeh Darat terdapat dalam Kitab Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah

17
al-Adzkiya il Thariqi al-Auliya’ (tebalnya kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa
generasi masa kini hendaknya menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat kepada orang
terkasih. Derajat wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan predikat yang dipasang secara
mandiri dan diumumkan.

1. Macam-Macam Karomah
Macam-macam Karomah itu banyak, tetapi karomah yang paling besar yang dimiliki
seorang wali adalah mendapat pertolongan untuk taat dan terjaga dari kemaksiatan dan
pertentangan. Diriwayatkan dari Sahal bin Abdullah bahwa dia berkata: “Barang siapa zuhud
di dunia ini selama empat puluh lima hari dengan betul-betul tulus keluar dari hatinya dan
ikhlas. Maka ia akan mempeoleh karomah. Barang siapa yang tidak memperoleh, maka
zuhudnya tidak benar”. Sahal pernah ditanya “Bagaimana karomah itu diperoleh” Dia
menjawab “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat
yang di kehendaki.
Dalam Iqādhul Himami sarah dari al-Hikam disebutkan karomah itu ada dua macam,
karomah hissyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air, dan karomah ma’nawiyah seperti
terbukanya hijab kelalaian, sucinya hati/kasyaf, nyatanya ‘irfan dan naik pada maqam ihsan.
Seseorang mendapatkan karomah hissiyah karena dirinya telah keluar dari kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, banyak makan, minum, tidur, berpakain indah,
campur dengan manusia, banyak bicara, permusuhan dan tengelam dalam ibadah dhahir dan
ilmu-ilmu dhahir. Sedangkan karomah ma’nawiyah diperoleh karena dia telah meninggalkan
kebiasaan ma’nawiyah seperti cinta pada kedudukan dan kemulyaan, mencari keistimewaan,
cinta dunia dan pujian, dengki, ujub, sombong, riya’, tama’ takut miskin dan lain-laim. Jadi
barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan hissiyah (jasad) dengan riadhah maka
dirinya akan mendapatkan karomah hissiyah seperti terbang di udara, berjalan di atas air dan
lain sebagainya. Dan barang siapa yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ma’nawi maka
akan mendapat karomah ma’nawiyah, seperti kasyaf. Imam Tajus Subhi menyebutkan dalam
Tabaqaatul Qubra Karomah itu bermacam-macam.
Imam Taajus Subhi mengatakan “Dugaan saya mengatakan bahwa karomahnya para
wali itu lebih dari seratus, saya telah meninggalkan dan mendatangkan sesuatu yang cukup dan
sampai bagi orang-orang yang hilang sifat kelalaianya. Macam-macam karomah dari setiap
macam karomah sangat banyak dijumpai dalam kisah-kisah yang sangat masyhur dan juga
dalam hadits, maka di kemudian hari tidaklah kebenaran tetapi kesesatan setelah datangnya
kebenaran dan tidak ada sesuatu setelah penjelasan petunjuk kecuali kemustahilan dan bagi

18
orang-orang yang mendapat pertolongan menerimanya, semoga Allah SWT menjumpakan
orang-orang shaleh seperti itu, karena mereka dijalan yang lurus. Seandainya saya menukil
tentang perkara yang ada pada orang shaleh maka akan menyesakkan nafas dan kertas.
Dalam Muqaddimah Thabaqotus Shughra Imam Abdur Ra’uf menjelaskan tentang
model-model karomah dalam bentuk lain. Beliau tidak menisbatkan Thabaqatnya dari Sayyid
Muhyiddin bin Al-Arabi dalam kitabnya Mawaqiun Nujum tetapi Abdur Ra’uf Munadi
meringkas, memilih dan menyuguhkan sekira kitab itu jelas baginya. Imam Abdur Ra’uf Al-
munadi mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kejadian karomah
adalah: Bahwa Allah menampakkan keajaibannya kepada kekasihnya (wali).
Adapun Alam ruhani thīn (tanah) yaitu setiap hamba yang memiliki sifat-sifat malaikat
yang selalu menghadap Allah dalam kesungguhan perjuangan dan memiliki sifat-sifat yang
sempurna seperti Nabi Khidhir, dan hamba sepertinya. Tidakkah kamu melihat Ibrahim Al-
Khawas ketika berkumpul dengan Nabi Khidhir, bagaimana berkumpulnya Ibrahim dengannya
dijadikan karomah. Maka Ibrahim berkata kepada Nabi Khidhir “Dengan apa aku dapat
melihatmu?” Nabi Khidhir menjawab “Dengan kebaikanmu terhadap ibumu”. Maka
berkumpul dengan para sayyid menjadikan wali berbahagia, dan nyatalah bahwa Allah SWT
menemani para wali, yaitu Allah mengumpulkan para wali dengan hamba yang ta’at dan hamba
yang istimewa dan Allah melimpahkan rasa cinta di antara mereka.
Menurut buku yang di kutip dari Ensiklopedi Tasawuf karya Azyumardi Azra. Dalam
kosakata Bahasa Indonesia, karamah dikenal dengan istilah keramat. Maka karamah al-
Awaliyya berarti keramat para wali. Perkataan karamah adalah kosa kata Bahasa arab yang
secara Bahasa mengandung tiga pengertian yakni, al-ikrām, kemuliaan atau kehormatan; al-
Taqdir, penghargaan; dan al-Wala, persahabatan atau pertolongan. Jadi karamah berdasarkan
pengertian kebahasaan tersebut adalah kemuliaan, kehormatan dan penghargaan yang dimiliki
para wali berkat persahabatan mereka dengan Allah dan pertolongan Allah kepada mereka.
Dalam hal ini, karamah termasuk salah satu perlakuan khusus yang diberikan Allah kepada
para wali atau hamba-hamba pilihan-Nya.
Para ulama sepakat bahwa karamah terjadi pada diri para wali. Menurut al-Hujwiri (w.
465 H/ 1072 M) seorang penulis tasawuf, karamah bisa diberikan kepada seorang wali selama
ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Sebab karamah itu merupakan tanda kelurusan
seorang wali. Allah tidak akan pernah memberikan karamah kepada orang yang tidak
berpegang teguh kepada syari‟at, meskipun ia mengaku dirinya wali. Pengakuan orang menjadi
wali dan mendapatkan karamah, padahal ia tidak berpegang teguh kepada syari‟at menunjukan
bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu. Sejalan dengan pendapat al-Hujwiri, Syaikh

19
Yusuf Taj al-Khalwat (1699 M) menyatakan, “Kaum arīfun bi Allah (para sufi yang telah
ma‟rifat kepada Allah) bersepakat bahwa berpegang kepada syari‟at merupakan syarat
memperoleh ke alian. Tanpa berpegang dan mengamalkan syari‟at, seseorang selamanya tidak
akan pernah menjadi wali meskipun dapat menunjukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum alam. Sebab, sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam bisa terjadi pada seseorang
yang bukan wali yang dinamakan istidraj.
Karamah muncul dari seorang yang shaleh yang berpegang kepada syariat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: “Wali Allah adalah
orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah. Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu
tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa hawatir. Mereka beriman dan
bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firman-Nya, penciptaan-
Nya, izin-Nya, dan kehendak-Nya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua itu
kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama
dan bagi kaum muslimin, tetapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan
menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw.
Al-Husayni, penulis kitab Jamharat al-Awliya wa A’lam Ahl al-Tasawwuf, membagi
Karamah kedalam dua jenis. Pertama, Karamah al-Hisiyyah atau karamah yang bersifat fisik-
indrawi. Kedua, Karamah al-Ma’nawiyyah atau karamah yang bersifat maknawi. Karamah
yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan atau hukum alam secara
fisik-indrawi seperti kemampuan seseorang berjalan diatas air atau berjalan di udara. Karamah
yang kedua merupakan sikap istiqamah seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan
Allah secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab (tabir) tersingkap dari
kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya dan merasa ketentraman dengan Allah.4 Allah
memberikan Karamah kepada Maryam, seperti tergambar pada ayat Allah dalam al-Qur‟an
surat Ali Imran ayat 37:
َ ‫علَ ۡي َها زَ َك ِريها ۡٱل ِم ۡح َر‬
‫اب َو َجدَ ِعندَهَا ِر ۡز ٗق ۖا‬ َ ‫س ٗنا َو َكفهلَ َها زَ َك ِري ۖها ُكله َما دَ َخ َل‬
َ ‫س ٖن َوأ َ ۢنبَت َ َها نَبَاتًا َح‬
َ ‫فَتَقَبهلَ َها َربُّ َها بِقَبُو ٍل َح‬
‫ب‬
ٍ ‫سا‬ َ ‫شا ٓ ُء ِبغ َۡي ِر ِح‬
َ َ‫ٱَّللَ يَ ۡر ُز ُق َمن ي‬
‫ٱَّللِ ِإ هن ه‬ۖ ‫قَا َل َٰيَ َم ۡريَ ُم أَنه َٰى لَ ِك َٰ َهذَ ۖا قَالَ ۡت ُه َو ِم ۡن ِعن ِد ه‬
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.
Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (QS. Ali Imran ayat 37).

20
Sebagai bentuk ketaatan, Allah memerintahkan Maryam agar selalu menyembah-Nya,
selalu bersujud dan ruku kepada-Nya bersama dengan orang-orang yang menyembah Allah.
Sampai suatu hari Allah memberikan suatu keajaiban yang tidak disangka-sangka bagi
Maryam. Allah memberikan sebuah kemuliyaan terhadapnya sebagaimana yang digambarkan
Allah dalam firmannya diatas, bahwasanya Maryam memperoleh makanan yang dikirimkan
kepadanya sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan kelebihan kepadanya. Sebagian ahli
tafs r mengatakan makanan yang diperoleh oleh Maryam adalah buah-buahan musim panas
diperolehnya ketika musim dingin, buah-buahan di musim dingin diperolehnya ketika musim
panas, ini adalah bukti kekuasaan Allah yang telah Allah anugerahkan kepada hamba pilihan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa:
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu
Zanjilah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Muhammad ibnu Munkadir, dari Jabir,
bahwa Rasulullah saw. Pernah tinggal selama beberapa hari tanpa makan sesuap
makananpun hingga kelihatan beliau sangat berat. Lalu beliau berkeliling kerumah
istri-istrinya, tetapi tidak menemukan sesuap makananpun pada seseorang diantara
mereka. Maka beliau saw. Datang kerumah Fatimah (putrinya), lalu bersabda, "Hai
anakku, apakah engkau mempunyai sesuatu makanan yang dapat ku makan? Karena
sesungguhnya aku sedang lapar." Fatimah menjawab, "Tidak, demi Allah." Ketika Nabi
saw. Pergi dari rumahnya, tiba-tiba Siti Fatimah mendapat kiriman dua buah roti dan
sepotong daging dari tetangga wanitanya, lalu Fatimah mengambil sebagian darinya
dan diletakan didalam sebuah panci miliknya, dan ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Demi Allah, aku benar-benar akan mendahulukan Rasulullah saw. Dengan makanan
ini dari pada diriku sendiri dan orang-orang yang ada didalam rumahku," padahal
mereka semua memerlukan makanan yang cukup. Kemudian Fatimah menyuruh Hasan
atau Husain untuk mengundang Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw datang
kepadanya, maka ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah memberikan suatu
makanan, lalua kusembunyikan buatmu." Nabi saw. bersabda, "Cepat berikanlah
kepadaku, hai anakku." Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menyuguhkan
panci tersebut dan membukanya. Tiba-tiba panci itu telah penuh berisikan roti dan
daging. Ketika Fatimah melihat kearah panci itu, maka ia merasa kaget dan sadar bahwa
hal itu adalah berkah dari Allah swt. Karena itu, ia memuji kepada Allah dan
mengucapkan salawat buat Nabi-Nya. Lalu Fatimah menyuguhkan makanan tersebut
kepada Rasulullah saw. Ketika beliau saw. melihatnya, maka beliau memuji kepada

21
Allah dan bertanya, "Dari manakah makanan ini, hai anakku?" Fatimah menjawab
bahwa makanan tersebut dari sisi Allah.

Di antara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi
pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan: “Sesungguhnya kami
telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya
jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84) Dan juga dialah yang telah membuat
pembatas yang membatasi antara manusia dengan Ya’juj dan Ma’juj hingga hari akhir, kisah
ini terdapat dalam surat Al Kahfi:83-98.
Di antara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak
yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau
bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain,” yang kemudian Khidhir
menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan
kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
Apa yang disebutkan di dalam kisah tiga orang yang berlindung kedalam gua namun
tiba-tiba jatuhlah batu besar sehingga menutupi pintu gua dan akhirnya mereka tekurung di
dalamnya, kemudian mereka bertawassul dengan amalan-amalan shalih masing-masing. Salah
seorang diantara mereka ada yang bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu berbakti kepada
kedua orang tuanya, yang kemudian ia berdoa: “Ya Allah jika perbuatan ini semata-mata
karena mengharap ridho-Mu maka geserlah batu ini.” Kemudian batu itu bergeser sedikit.
Orang kedua pun bertawassul dengan amalan shalihnya yaitu dengan dia bisa menjaga dirinya
dari terjatuh ke dalam perbuatan zina dengan saudara sepupunya, padahal ia mampu untuk
melakukan perbuatan itu. Kemudian batu itu bergeser sedikit namun mereka belum bisa keluar.
Kemudian orang yang ketiga bertawassul dengan amalan kebaikannya, yang ketika dulu ia
pernah berbuat baik kepada karyawannya yang pergi meninggalkannya tanpa mengambil
gajinya terlebih dahulu, kemudian gajinya itu dia kembangkan dengan penuh amanah sampai
harta tersebut menjadi banyak, selang beberapa tahun karyawan itu datang kembali untuk
mengambil gajinya yang dulu belum ia ambil, kemudian orang itu memberikan semua gajinya
yang telah berkembang menjadi harta yang banyak, maka batu pun bergeser sehingga mereka
dapat keluar dari gua tersebut, Allah selamatkan mereka dengan sebab tawassul mereka itu.
Kisah tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari sahabat
Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma. Para ulama menyebutkan bahwa kisah di atas
termasuk Karomah para wali.

22
Apa yang terjadi pada Ummul mukminin Khodijah bahwasanya Jibril datang pada
Rasulullah dengan menyampaikan salam Allah untuk Khodijah serta menyampaikan berita
gembira baginya bahwa ia akan mendapatkan rumah yang terbuat dari permata berlian yang
indah di jannah. (HR. Bukhori dari sahabat ‘Aisyah). Dan ini merupakan dalil bahwa Karomah
pun terjadi pada seorang perempuan. 7. Apa yang telah mutawatir tentang berita salafus shalih
akan perkara Karomah yang terjadi pada diri mereka, dan generasi setelah mereka.
Mu’jizat terjadinya dengan unsur kesengajaan dan ada kaitannya dengan kenabian,
adapun Karomah terjadinya tidak demikian. Karomah terjadinya pada seseorang baik laki-laki
maupun perempuan merdeka maupun budak, selama ia seorang yang shalih. Sedang mu’jizat
tidaklah terjadi kecuali pada seorang Nabi atau Rasul yang tentunya seorang Nabi atau Rasul
adalah seorang laki-laki dan bukan seorang budak. Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga
bukan Karomah, dia adalah “al-Ahwal al-Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon). Inilah yang
banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak ada
kaitannya dengan Karomah, karena karomah datangnya dari Allah sedangkan ia jelas
datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah al-Kadzdzab dan al-
Aswad al-Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah yang mengaku menjadi nabi) dan
menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon. Demikian
pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada
Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah
maka ia pun menjadi wali Allah”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya
mereka kepada Allah dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada
Allah, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan. Karomah merupakan suatu pemberian
dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan
perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik
kepada Allah. Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun.
Berbeda dengan perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah
atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an.
Bahkan, Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara
kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka
seketika itu dia jatuh dan mati. Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan
merasa bangga diri, justru dengan adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa
kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Adapun perbuatan syaithon bisa
menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta

23
angkuh terhadap Allah, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan
syaithon.
Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah,
Mu’tazilah’ dan Wahabiyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan
akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya Karomah itu hanya
merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara
wali dengan Dajjal.” Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah: Pertama: kita yakin dengan
keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi dan kenyataan yang ada. Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah
dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena
wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu
dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya.
Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan
seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini
apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar
di dalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan
manusia.
Karomah sebagaimana mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugrahkan
kepada para kekasih Allah, namun tidak disertai dnegan pengakuan kenabian dari mereka. Lain
halnya dengan mukjizat, ketampakannya itu disertai dnegan pengakuan kenabian dari seorang
nabi yang membawa risalah kenabiannya. Seorang wali itu ia orang yang mengerti dan paham
tentang ketuhanan melalui sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia juga orang yang taat menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang
menghantarkannya pada kenikmatan duniawi dan sahwat. Tampaknya suatu karomah atau
kekeramatan dari seorang wali adalah sebagai penghormatan baginya dari Tuhannya dan
isyarat atas diterimanya segala perbuatan yang telah dilakukannya sebagai persembahan dan
ibadah kepada Tuhannya (Allah Swt).
Satu hal lagi, bahwa seorang wali itu adalah umat dari seorang nabi, maka seseorang
itu tidak akan menjadi wali tanpa mengakui risalah kenabian dari nabinya tersebut. Dan
mengikutinya dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan segala ajaran yang dibawa oleh
Nabinya. Maka apabila ada seseorang yang dengan sendirinya tanpa mengikuti risalah
kenabian dari nabinya, maka dapat dipastikan ia tidak akan dianugrahi karomah, dan tidak akan
menjadi seorang wali (kekasih) bagi Tuhan yang Maha Pengasih. Melainkan ia menjadi
kekasih dan pemuja para syaithan, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt dengan

24
melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, untuk sampaikan kepada orang-orang yang
menyangka dirinya menyintai Allah Swt.

C. Konsepsi Tentang Sihir


Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ‫ س‬,‫ ح‬,‫( ر‬siin, kha, dan ra), yang secara
bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal
istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya
waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan remang-remang. Seorang pakar bahasa, al-
Azhari mengatakan bahwa, “Akar kata sihir maknanya adalah memalingkan sesuatu dari
hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan
menampilkan sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir
sesuatu”.
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata ‘sihir’
secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah benar-benar terjadi ‘riil’, dan
memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh
orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau
mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir maupun batin, semisal membuat orang
lain menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau
membuat istri orang lain mencintai dirinya.” Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa
sihir hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya. Sebagaimana
dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala sesuatu yang sebabnya samar dan
bersifat mengalabui, tanpa adanya hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya
semata.”
Al-Laits mengatakan, Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada
syaitan dengan bantuannya. Al-Azhari mengemukakan, Dasar pokok sihir adalah memalingkan
sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya. Ibnu Manzur berkata: Seakan-akan
tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu
tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian, dia telah menyihir sesuatu dari
hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya. Syamir meriwayatkan dari Ibnu Aisyah, dia
mengatakan bahwa orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia
menghilangkan kesehatan menjadi sakit.
Ibnu Faris mengemukakan, Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud
kebenaran. Di dalam kitab al-Mu’jamul Wasīth disebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang

25
dilakukan secara lembut dan sangat terselubung. Sedangkan di dalam kitab Muhīthul Muhīth
disebutkan, sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling
bagus, sehingga bisa menipu manusia. Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, menurut istilah
Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan
digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi,
perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang
mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung
dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat
sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan
suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak
saling mencintainya. Ibnul Qayyim mengungkapkan, Sihir adalah gabungan dari berbagai
pengaruh ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya. Dapat disimpulkan
bahwa Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa
tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan imbalan pemberian
pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang dimintanya.
Di antara tukang sihir itu ada yang menempelkan mushhaf di kedua kakinya, kemudian
ia memasuki WC. Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang
menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayat-
ayat al-Qur’an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik.
Juga ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub
terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada syaitan
dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu membuang
sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan. Dan ada juga yang berbicara
dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan
lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna kekufuran.
Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu dan tidak juga
mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali seorang
penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat
melaksanakan perintahnya. Dan jika tukan sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan
berbagai hal yang bersifat kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak
mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya. Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan
merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah.

26
Jika anda perhatikan wajah tukang sihir, maka dengan jelas anda akan melihat
kebenaran apa yang telah saya sampaikan, dimana anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran
yang memenuhi wajahnya, seakan-akan ia merupakan awan hitam yang pekat. Jika anda
mengenali tukang sihir dari dekat, maka anda akan mendapatkannya hidup dalam kesengsaraan
jiwa bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan dirinya sendri sekalipun. Dia tidak bisa
tidur nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan dia akan senantiasa merasa cemas dalam tidur.
Selain itu seringkali syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya atau istrinya serta
menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Mahabesar Allah Yang
Mahaagung yang telah berfirman:

َ ً ‫شة‬
‫ض ْن ًكا‬ َ ‫َو َم ْن أَع َْر‬
َ ‫ض َع ْن ِذ ْك ِري فَإ ِ هن لَهُ َم ِعي‬

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya


penghidupan yang sempit”. [Thāhā: 124].

Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah masyarakat, mulai dari
masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota. Mulai dari sihir pelet, santet, dan “aji-
aji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah
tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya. Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang
sesuatu melainkan dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti
sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini
memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya.

1. Sebenarnya Adakah Sihir Itu?


Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan pendapat tentang
kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’, ‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar
merasakan pengaruhnya?’, ‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat
semata?’ Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok
Mu’tazilah mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan
mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun ahli sunnah wal jama’ah,
meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa terbang di angkasa, bisa merubah manusia
menjadi keledai, atau sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa
segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang

27
artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang
pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al-Baqarah: 102). Al Qurthubi rahimahullahu
mengatakan, “Menurut ahli sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat,
dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan yang demikian
ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”
Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan
secara kasat mata bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga
beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al-Falaq dan surat al-
Nās (al-mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini
sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang
terkena sihir. Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki
hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, “sulapan”, dan yang
lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa
ulama yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat.
Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah
dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “[1] menyekutukan Allah, [2] sihir, [3] membunuh seorang yang Allah
haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, [4] mengkonsumsi
riba, [5] memakan harta anak yatim, [6] kabur ketika di medan perang, dan [7] menuduh
perempuan baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi
para syaitan lah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al-Baqarah: 102).
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas untuk menegaskan bahwa orang
yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para syaitan
mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan
Allah ta’ala. Syaikh al-Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan
sebagai kesyirikan dari dua sisi.
1. Orang yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada para
syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa banyak orang yang terikat
kontrak perjanjian dengan para syaitan tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada

28
mereka, mencintai mereka, ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela
memenuhi keinginan-keinginan mereka.
2. Orang yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang mengaku-
ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan kepada Allah dalam
pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang mempraktekkan sihir,
bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam, dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir
meskipun dengan perbuatannya tersebut dia telah melakukan dosa besar. Pertama, Tukang sihir
yang mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang pada
akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan
sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan
semacam ini. Kedua, Adapun orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan,
melainkan dengan obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam
ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di akhir kekhalifahan beliau,
mengirimkan surat kepada para gubernur, sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin
‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah
kalian (para pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun
perempuan”. Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita,
bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi
terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang
status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi
tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.”
Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa
menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih kekufuran, hendaklah pemerintah
menjadi barisan nomor satu dalam memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan
masyarakat tentang bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang kemudian
kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir, karena alasan “keadaan darurat”.
Terlebih lagi tatkala sihir yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan
mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat, akan menjadi
mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan makan, bangkai pun menjadi boleh

29
kita makan? Memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala keadaan darurat,
sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat
merubah hukum larangan menjadi mubah.” Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun
juga memberikan catatan kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat
yang harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini, yaitu:
1. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal.
Pada kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah memberikan obat
dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan mengobati gangguan sihir.
Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah
syar’i yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Sihir yang digunakan harus terbukti secara pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan
sihir. Dan setiap dari kita tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal
tersebut adalah perkara yang ghaib.
Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang,
bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang
artinya), “Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa:
69). Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya
menyatakan bahwa ayat ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan
akan ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan firman-Nya, ‘dari
mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari
seseorang, melainkan dari orang kafir.
Sihir tidak akan luput dari kehidupan manusia sehari-hari yang digunakan oleh orang-
orang yang tidak mengerti atau tidak paham mengenai dampak dari perbuatan tersebut. Sihir
ini telah tersebar di tengah-tengah peradaban manusia masa kini maupun masa lalu. Mulai dari
sihir berupa pelet, santet, gendam dan lain sebagainya. Padahal telah jelas dalam Al-Quran
bahwasannya sihir ini dapat membuat seseorang yang melakukan perbuatan tersebut menjadi
kafir (musyrik). Pada hakikatnya kita tidak boleh takut akan adanya sihir ini, karena segala
sesuatu itu terjadi hanyalah atas izin Allah Swt semata bukan karena hal lainnya terutama sihir.
Akan tetapi banyak orang yang salah dalam memahami sihir sehingga bentuk kebodohan serta
kemusyrikan terjadi, orang-orang tersebut beramai-ramai mempraktekan sihir untuk
mempermudah suatu urusan di dalam kehidupan sehari-hari.
Syetan selalu berusaha untuk memasukan suatu kesan kepada ummat muslim bahwa
sihir ini bukanlah suatu perbuatan yang berdampak kepada dosa yang sangat besar. Bahkan
Syetan memberikan pelajaran yang dapat menyentuh perasaan kepada manusia, sehingga

30
mereka menganggap bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang harus ditempuh oleh manusia
untuk mencari kebaikan. Misalnya untuk memikat hati seorang wanita ataupun laki-laki yang
dilakukan dengan cara guna-guna atau zaman sekarang sering disebut dengan pelet, itu semua
diperbolehkan oleh agama karena digunakan untuk kebaikan dengan dalih (menyatukan ummat
manusia dalam sebuah perjodohan) sehingga sebagian ummat yang terpedaya mengatakan
bahwa semua hal tersebut merupakan muhabbah. Padahal menurut Syara sihir itu merupakan
perbuatan kufur dan orang yang bermain-main dengan sihir adalah kafir.
Sihir berarti sesuatu yang lembut dan halus (tidak terlihat). Secara terminologis, sihir
adalah suatu perbuatan oleh orang tertentu (disebut tukang sihir) dengan syarat-syarat tertentu
mempergunakan peralatan yang tidak lazim untuk dipakai, serta dengan cara yang sangat
rahasia, untuk menimbulkan efek jahat dalam diri orang lain yang menjadi korbannya. Sihir
dapat dinamai juga santet, teluh, magic, vodoo dan lain sebagainya. Pada umumnya sasaran
sihir ini ada dua, ada yang langsung dikenakan kepada diri korban dengan mempengaruhi hati,
jiwa dan badannya, untuk disakiti ataupun dibunuh. Ada juga yang dikenakan terhadap harta
benda korban untuk dirusak ataupun dimusnahkan serta sihir ini digunakan untuk memutuskan
cinta kasih sepasang suami istri (kekasih). Sebelum melakukan sihir biasanya ada kesepakatan
antara tukang sihir dengan syetan, syaratnya adalah tukang sihir harus melakukan perbuatan
syirik atau kufur. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sementara syetan
harus melayani tukang sihir, atau menundukan orang yang melayaninya. Oleh karena itu,
tukang sihir menundukan jin tersebut untuk melakukan pekerjaan jahat yang dia inginkan. Dan
jika jin tersebut membangkang, maka tukang sihir akan mendekati pemimpin kelompoknya
dengan menggunakan sang pemimpin serta meminta pertolongan kepadanya, bukan kepada
Allah Swt.
Seseorang yang mendatangi tukang sihir (dukun, peramal, paranormal) lalu bertanya
kepadanya, dia terkena ancaman tidak diterima shalatnya selama 40 telah jatuh kepada dosa
kafir (Syirik kepada Allah Swt). Sedangkan dalam kamu Mu’zam Al-Mufradat karya Al-Ragib
Al-Ashfahani dikatakan terdapat beberapa arti dari kata “Sahara”. Pertama, gambaran atau
tipuan imajinasi yang tidak nyata, seperti halnya yang dilakukan oleh pesulap yang dapat
memalingkan pandangan dengan kecepatan tangannya dan juga seperti yang dilakukan oleh
seorang pengadu domba, memfitnah dengan ucapan-ucapan manis yang dapat mempengaruhi
pandangan orang lain mengenai suatu perkara. Kedua, meminta pertolongan kepada syetan
dengan cara melakukan sebuah ritual mendekatkan diri kepadanya. Ketiga, suatu perbuatan
yang dapat membuat seseorang menjadi sedih, senang, takut, penurut dan lain sebagainya yang

31
denganya dapat merubah suatu karakter seseorang. Seperti khimar (hipnotis) akan tetapi hal ini
tidak bersifat nyata, hanyalan sebuah ilussi.
Dari ragam dan fenomena pemaknaan tentang sihir, kiranya masih layak untuk dikaji
lebih jauh, bagaimana sesungguhnya sihir dalam pandangan para mufasir, ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Quran yang berbicara masalah sihir. Sebenarnya, sihir ini telah ada sejak zaman
Nabi Sulaiman As. Allah Swt memberikan seatu mukjizat kepada Nabi Sulaiman As yaitu
dapat memerintahkan manusia, hewan dan jin sebagai pasukan kerajaannya. Seperti firman
Allah Swt dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 102:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syetan-syetanlha yang
kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka
mereka mempelajari dari kedua malaikat itu pa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir)
tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin
Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan
sihir. Kalau mereka mengetahui.”

Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 102 disebutkan bahwa dengan segala kebolehan
(Mu‟jizat) yang diberikan Allah Swt kepda Nabi Sulaiman, akan tetapi orang-orang kafir
menuduh bahwa Nabi Sulaiman tidak lain hanyalah seorang ahli sihir yang mengajarkan ilmu
sihirnya terhadap pengikutnya, padahal semua itu semata-mata hanyalah perbuatan syetan.
Sihir dalam kehidupan masa lalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sudut
pandang keagamaan dan yang kedua dari sudut pandang non keagamaan. Dalam
perkembangannya sudut pandang non keagamaan ini lebih banyak dikedepankan oleh aspek
ilmu pengetahuan atau keilmuan di masa modern, dimana ada pergeseran makna yang semula
pada dasarnya adalah sihir namun menurut pandangan mereka ini di identikan dengan sulap.
Berbeda halnya menurut ajaran atau pengetahuan keislaman bahwa sulap adalah sulap, sihir

32
adalah sihir. Sihir tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat merusak aqidah dan tauhid
seorang muslim karena dekat sekali dengan kesyirikan.
Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang dibanyak Negara, termasuk di Barat dan di
Timur Tengah, sihir biasanya digambarkan sebagai suatu perbuatan yang memungkinkan
pelakunya dapat mengubah sesuatu menjadi benda lain yang di inginkannya. Dalam kisah Nabi
Musa As, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Para penyihir firaun dapat mengubah tali
menjadi ular. Sementara dalam film-film atau novel Barat, seorang penyihir yang biasanya
digambarkan bertopi runcing dan bertampang yang buruk dan mengerikan, dapat mengubah
seseorang menjadi hewan, ataui apa saja dengan mantra-mantra dan ramuan yang mereka buat.
Mereka juga memiliki sapu terbang untuk membawanya terbang kemana saja.
Peradaban modern masa kini hanya percaya bahwa orang yang dapat membuat
keajaiban itu hanyalah seorang pesulap, bukanlah seorang penyihir. Dan, sekelompok pesulap
itu tidak menggunakan kekuatan magis. Mereka melakukan keanehan-keanehan secara murni
sekaligus menggunakan trik atau tipuan mata, dan tidaklah lebih dari semua itu. Sesuatu yang
tidak dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan, biasanya langsung dikaitkan dengan
ketidaklaziman. Dan, ketidaklaziman mudah dikaitkan dengan kekuatan sihir. Oleh karena itu,
berkaitan dengan penafsiran terhadap ilmu sihir perlu dilakukan secara hati-hati dengan
terlebih dahulu meninjau masalah sihir melalui sudut ilmu pengetahuan masa kini. Sihir dalam
paradigma masa kini telah memunculkan ambiguitas, disatu sisi dipandang sebagai sebuah trik
ataupun tipuan karena disamakan dengan sulap akan tetapi dipihak lain menurut sudut pandang
agama sihir adalah dimensi kesyirikan yang akan merusak aqidah. Oleh karenanya realitas ini
harus diselsaikan, dimurnikan supaya tidak subhat atau tercampur antara sihir dengan sulap.
Fenomena mistis, tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat
menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari
tayangan yang dikemas dalam film-film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela
kehidupan modern. Selain itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi
Rafael dan David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin
tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan-tayangan tersebut meresap
sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan
bangsa.
Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah sebuah tipuan
pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah
Swt., memang memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar
mereka tetap tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. Kemampuan sihir

33
seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan
sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran atau latihan dan ada juga lewat bantuan
setan.
Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan white magic. Bila
sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih,
maka mereka mengatakan hal itu adalah white magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari
seorang dukun, peramal atau non muslim dinamakan black magic. Dari pengertian ini tampak
ada kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis.
Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para
ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar-benar nyata.
Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamā’ah.
Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2): 102 dan riwayat asbāb al-nuzūl surat
al-Falaq (113): 4 yaitu, hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang
Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga
beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.
2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa
sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok
Muktazilah. Mereka berpedoman kepada surat al-A’rāf (7): 116 dan Thāhā (20): 66-69.
Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti
berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka kehebatan
mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan
luar biasa. Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir
saja maka kebutuhan hidup terpenuhi.
Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyāf mewakili kelompok Muktazilah,
menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi dengan sebenar-
benarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata
al-naffātsāt. Secara zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan
membaca mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang ingin
mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para
tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyāri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan
bahwa mempelajari sihir bukan untuk diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. Menurut
penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyāri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam
al-Rāzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.

34
Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manār mengingkari keberadaan
sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min
syarr al-naffātsāt fi al-'uqad. Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naffātsāt adalah orang-
orang yang mengadu domba antar sesama. Merekalah orang-orang yang memutuskan
persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara
kelompopk- kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini dinamakan
al-namīmah. Sedangkan al-namīmah menurutnya merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir.
Di samping itu, perbuatan al-namīmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat
demikian akan cenderung ingin menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi
kesesatan menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir.
Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak
memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah
kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan
mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat
al-An'ām: 7. Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan
perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. Sedangkan
terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir, Rasyid
Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang
tersihir sehingga melihat Nabi saw seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak
melakukannya. Selain itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas
ulama. Ibn Kastīr dalam Tafsīr al-Qurān al-'Azhīm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat
dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya
akan mendatangkan bahaya.
Al-Marāghi dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah: 102 menyatakan bahwa para
penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena menggunakan perantara. Ada yang
menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera.
Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan
ulama dalam hukum mempelajarinya. Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi tampil dengan kitab tafsirnya
Mafātih al-Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamā’ah banyak
memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Pendapat Imām al-
Rāzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl al-
sunnah wa al-jamā’ah. Bahkan, di sisi lain Imām al-Rāzi mewajibkan belajar ilmu sihir,
sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini sangat terlihat

35
ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2): 102. Dalam
menjelaskan ayat tersebut, Imām al-Rāzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu al-
Baqarah (2): 99-101. Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan
Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan
orang lain.
Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup atau
tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya
dari kebohongan belaka. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang
memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga melandasi
penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7): 116. Dalam hal ini, terlihat Imâm al-Râzi seolah-
olah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka
dia masih tersihir oleh sesuatu itu. Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan
wajib dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk
menghancurkan sihir juga.
Salah satu persoalan yang menjadi perhatian besar tentang sihir adalah semua perbuatan
yang memalingkan kondisi dari keadaan yang sebenarnya menjadi keadaan yang samar-samar.
Artinya sihir bersifat tipuan terhadap pandangan mata saja. Untuk itu, sihir bisa dipelajari, dan
bahkan menurut al-Rāzi mewajibkan belajar semua jenis ilmu sihir, dengan maksud untuk
mengetahui hakekatnya dan cara kerjanya. Selain itu, mempelajari sihir dapat mendatangkan
manfa’at dan mashlahat. Selain sihir masih ada mukjizat dan karamah, karena ketiganya masuk
dalam lingkup khawāriq li al-‘ādah. Dari penelusuran di atas ditemukan perbedaan mendasar
di antara ketiga term tersebut, yaitu:
Pertama, Sihir bersumber dari orang yang fasik dan kafir, mukjizat bersumber dari
seorang Nabi dan Rasul, sedangkan karamah bersumber dari seorang waliullah yang ta’at
mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Kedua, Sihir muncul dengan adanya usaha atau memang diusahakan, mukjizat muncul
dari qudrat iradat Allah, sedangkan karamah muncul tanpa sebab yang tidak diketahui oleh
orangnya.
Ketiga, Sihir diwujudkan untuk menghancurkan orang lain, mukjizat diwujudkan untuk
menaklukkan tantangan risalah Nabi atau Rasul, sedangkan karamah terwujud sebagai bukti
kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang.
Oleh karena ilmu sihir tidak tercela dan tidaklah buruk untuk mempelajarinya, tentunya
hukum kafir bagi para ahli sihir perlu ditinjau ulang. Sungguh cepat keputusan untuk
mengkafirkan dukun, penyihir, tukang ramal atau apapun namanya, tanpa diselidiki terlebih

36
dahulu, kemanfa’atan sihirnya dan kemashlahatannya. Mengenai pengobatan sihir, Imâm al-
Râzi membolehkan pengobatan dengan cara nusyrah (jampi-jampi) dan pengobatan dengan
cara ruqyah (mantera). Kedua cara pengobatan tersebut diterima, selama berada dalam jalur-
jalur yang dibenarkan syari’at. Selain itu, seseorang yang memiliki kemahiran dalam nusyrah
atau ruqyah harus meyakini terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya hanyalah mencari
sebab-sebab yang telah dibuat Allah, bukan dia yang menentukan sembuh atau tidaknya.
Demikian kesimpulan yang dapat penulis simpulkan.

37
KEGIATAN BELAJAR 3:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Pengertian Hari Akhir dan Pokok-pokok bahasannya.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami konsep tentang Keimanan kepada Hari Akhir.


2. Mengetahui Pengertian Kiamat Sughro.
3. Mengetahui Pengertian Kiamat Sughro.

POKOK-POKOK MATERI

Pengertian Hari Akhir, ruang lingkup dan pokok-pokok bahasan Hari Akhir,
Nama-nama Hari Akhir, Kiamat Sugro dan Kiamat Kubro.

URAIAN MATERI
A. DEFINISI HARI AKHIR DAN KIAMAT
Beriman (meyakini) adanya hari akhir adalah bagian dari rukun iman. Syekh Thahir bin
Shalih al-Jazairy (w. 1338 H) dalam Al-Jawahir al-Kalamiyah Menyampaikan bahwa rukun
iman atau rukun akidah Islam itu meliputi enam hal, yaitu:

‫وهي اإليمان باهلل تعالى واإليمان بمالئكته واإليمان بكتبه‬


َ ‫ان ْالعَ ِقيدَة االسال ِميّة ِستّةُ أشياء‬
ُ ‫أَر َك‬
‫واإليمان برسله واإليمان باليوم االخر واإليمان بالقدر‬

1
“Rukun akidah Islamiyah itu ada enam hal, yaitu: (1) iman kepada Allah, (2) iman
kepada malaikat Allah, (3) iman kepada kitab-kitab Allah, (4) iman kepada para rasul
Allah, (5) iman kepada hari akhir, dan (6) iman kepada qadar (takdir) Allah.”

Iman kepada hari akhir ini adalah penting sekali. Sedemikian pentingnya maka dalam
Al-Qur’an dan hadits keimanan pada hari akhir ini kerap disandingkan dengan keimanan
kepada Allah. Dan memang ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang banyak
dijabarkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu pembuktian tentang keesaan Allah, yang berarti
ini tentang iman kepada Allah, dan kedua, uraian atau pembuktian tentang hari akhir. Al-
Qur’an telah memberitakan kepada manusia bahwa alam semesta ini telah diciptakan dan akan
sampai pada titik akhirnya (Q.S. al-Mukmin/ 40:59 dan Q.S. al-H{ajj/22:7). Segala yang
berawal maka akan berakhir, baik manusia, tumbuhan, hewan, alam semesta, maupun malaikat
semuanya akan mati, hanya Allah saja yang tidak berawal dan tidak berakhir. Waktu yang
ditetapkan dimana alam semesta dan segala makhluk di dalamnya mulai dari mikroorganisme
sampai makhluk yang paling indah bentuknya yaitu manusia, termasuk bintang-bintang dan
galaksi-galaksi semuanya akan hancur pada hari dan jam yang telah ditentukan oleh sang
penciptanya dan hanya Dia yang mengetahuinya. Waktu atau hari tersebut dikenal dengan
nama Hari Akhir atau Kiamat.
Al-Qur'an menyebut istilah al-yaum al-ākhir (‫)اليوم االخر‬, hari akhir, sebanyak 26 kali
dan menyebut istilah al-ākhirah (‫)االخرة‬, akhirat, sebanyak 115 kali. Istilah ini, al-ākhir, secara
kebahasaan, menurut ar-Rāgib al-Asfahānī, mengandung arti akhir atau yang kemudian yang
merupakan lawan dari perkataan awal. Istilah al-ākhir biasanya dihubungkan dengan istilah
yaum (‫ )اليوم‬sehingga menjadi al-yaum al-ākhir (‫)اليوم االخر‬, berarti Hari Akhir atau hari Kiamat.
Sementara itu, istilah al-ākhirah (‫)االخرة‬, akhirat sering dihubungkan dengan istilah dār yang
berarti negeri atau kampong, seperti dalam ungkapan al-dār al-ākhirah, yang berarti negeri
akhirat.
Kiamat atau al-yaum al-ākhir (hari akhir) tidaklah seperti hari-hari di dunia yang 1 hari
sebanding dengan 24 jam. Hari akhir merupakan hari yang terjadi pada kehidupan akhirat, yang
1 hari jika menggunakan ukuran hari-hari dunia bisa sangat relatif atau tidak terbatas, bisa
sebanding dengan 1000 tahun (as-Sajdah/32: 5); bahkan bisa berbanding dengan 50.000 tahun
(al-Ma‘ārij/70: 4). Ini wajar saja, sebab ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu (nirwaktu).
Penyebutan al-yaum al-ākhir, yang dirangkai dengan iman kepada Allah, pada hakikatnya
dimaksudkan sebagai hari perhitungan (al-hisāb) dan pembalasan (al-jazā'), sehingga oleh Al-
Qur'an ia dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk menumbuhkan kejujuran, ketakwaan,

2
kedermawanan, berani berkorban demi kebenaran dan keadilan, dan sebagainya. Artinya,
seandainya seseorang bersikap jujur, lalu tidak mendapatkan hasil duniawi yang diinginkan,
maka keimanan kepada hari akhir itulah yang menjadikan dirinya tetap sabar dan konsisten,
sebab ia yakin ganjaran yang sesuai akan diperoleh di hari akhir kelak. Begitu juga, ia bisa
dijadikan tameng dari perilakuperilaku buruk, misalnya kemunafikan, ria, dan sebagainya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa firman Allah seperti: “Dan di antara manusia
ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka
itu bukanlah orang-orang yang beriman. (al-Baqarah/2: 8).
Ayat ini merupakan koreksi terhadap perilaku orang-orang munafik yang mengaku
beriman kepada Allah dan hari Akhir, padahal kenyataannya tidak. Mereka mengukur
keimanannya melalui ucapan, sedangkan Allah mengukur keimanannya melalui perbuatan.
Penggunaan redaksi wa minan-nās, menurut Ibnu ‘Āsyūr menunjuk kepada perilaku buruk.
Sedemikian buruknya, sehingga Al-Qur'an merasa “malu” untuk mengungkapkannya secara
jelas. Oleh karena itu, ayat ini sekaligus menjadi koreksi bagi siapa saja yang menyatakan
beriman kepada Allah dan hari akhir tetapi perbuatannya tidak mencerminkan nilai-nilai
keimanan itu sendiri. Dengan demikian, indikasi seseorang yang beriman kepada hari akhir
tentunya bukan terbatas kepada ucapan, sebagaimana hal itu bisa saja dilakukan oleh orang-
orang munafik, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatannya. Bahkan, bukan sekadar
perbuatan tetapi perbuatan baik, yang lazim disebut dengan “amal saleh”.
Hari Akhir atau Hari Kiamat merupakan tahapan yang harus dilewati menuju Negeri
Akhirat. Ungkapan al-dār al-ākhirah merupakan lawan dari al-dār al-dunyā, sebagaimana
termaktub di dalam ayat Al-Qur'an sebagai berikut:

ُ ‫ى ۡٱل َح َي َو‬ ۡ َ ‫َو َما َه ٰـ ِذ ِه ۡٱل َح َي ٰوة ُ ٱلد ُّۡن َيا ٓ ِإ اال لَهۡ ٌ۬و َولَ ِع ٌ۬ب َو ِإ ان ٱلد‬
ْ‫َانُوا‬
َ ‫ان لَ ۡو‬ َ ‫اار ٱۡ َ ِخ َرة َ لَ ِه‬
َ‫َيعۡ لَ ُمون‬
Dan kehidupan dunia ini hanya senda-gurau dan permainan. Dan sesungguhnya
negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (al-
‘Ankabūt/29: 64).
Etimologi kiamat terserap dari kosakata bahasa Arab, qāma – yaqūmu - qiyāman, yang
berarti berdiri, berhenti, atau berada di tengah. Kiamat (al-qiyāmah) diartikan sebagai
kebangkitan dari kematian, yaitu dihidupkannya manusia pascakematian. Hari kiamat
(yaumulqiyāmah) berarti hari atau saat terjadinya kebangkitan (manusia) dari kubur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kiamat diartikan sebagai: (1) hari kebangkitan
setelah mati (orang yang telah meninggal dihidupkan kembali untuk diadili perbuatannya); (2)

3
hari akhir zaman (dunia seisinya rusak binasa dan lenyap); (3) celaka sekali, bencana besar,
rusak binasa; (4) berakhir dan tidak muncul lagi. Sedang dalam Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan, kiamat diartikan keadaan makhluk dan alam semesta ketika berakhirnya
kehidupan mereka di dunia.
Dari pengertian ini, ada dua hal pokok terkait makna kiamat, yaitu: Pertama, kiamat
merupakan kebangkitan manusia dari kematian atau dari kuburnya. Maknanya, pada hari itu
semua manusia dibangkitkan dari kubur, tempat peristirahatan setelah kematiannya.
Selanjutnya, mereka diadili dan diminta pertanggungjawaban atas semua perbuatannya di
dunia. Yang banyak kebaikannya akan mendapat ganjaran kenikmatan, dan yang sebaliknya
akan mendapat hukuman. Allah Berfirman: “Maka adapun orang yang berat timbangan
(kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun
orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka tempat kembalinya adalah neraka
Hawiyah. (Al-Qāri‘ah/101: 6-9).
Kedua, kiamat adalah keadaan akhir zaman. Kiamat merupakan akhir dari alam semesta
dan kehidupan semua makhluk. Artinya saat kiamat tiba, seluruh jagat raya beserta isinya,
seperti planet, bintang, langit, bumi, manusia, dan semua yang ada, hancur binasa. Kehidupan
makhluk pun tidak ada lagi. Ini merupakan bencana besar bagi alam raya dan yang ada di
dalamnya. Seluruh kehidupan yang ada menjadi musnah karena hancurnya dunia dan isinya.
Allah berfirman, Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan, dan
apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila kuburan-kuburan di bongkar. (Al-Infiţār/82: 1-
4).
Dari dua pengertian ini, bisa disusun penjelasan kronologis sebagai berikut. Kiamat
merupakan akhir kehidupan dunia. Saat itu, semua yang ada di alam raya ini mati, hancur,
rusak, dan binasa. Segala isi jagat raya musnah hingga tidak ada kehidupan lagi. Manusia yang
merupakan makhluk utama di bumi juga mati dan musnah. Sebuah bencana besar yang
menimpa alam raya. Setelah itu, manusia akan dibangkitkan dari kematian. Mereka dihidupkan
kembali untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya ketika di dunia.
Terminologi kiamat terdefinisikan dalam berbagai rumusan yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, kiamat adalah hari akhir atau saat penghabisan
dari hari-hari di dunia. Hari tersebut ditandai dengan tiupan sangkakala (terompet) oleh
Malaikat Israfil, kemudian bumi bergoyang mengeluarkan segala isinya, lalu lenyap dan
diganti dengan bumi yang lain. Sayyid Sābiq dalam al-Aqā’id al-Islāmiyyah menjelaskan,
“Hari kiamat adalah suatu keadaan yang didahului dengan musnahnya alam semesta. Saat itu,

4
seluruh makhluk yang masih hidup akan mati. Bumi pun akan berganti, bukannya bumi dan
langit yang ada sekarang.”
Quraish Shihab dalam Perjalanan Menuju Keabadian menulis, “Para ulama
menjelaskan bahwa ada dua macam kiamat: kecil (sughro) dan besar (kubro). Kiamat kecil
adalah saat kematian orang per orang, sedang kiamat besar adalah yang bermula dari
kehancuran alam raya.” Sementara itu Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa kiamat diawali
dengan tiupan terompet sebagai tanda kehancuran alam. Dari beberapa rumusan tersebut dapat
disimpulkan beberapa hal berikut. (1) hari kiamat merupakan akhir kehidupan dunia; (2) kiamat
diawali tiupan sangkakala sebagai tanda permulaan hancurnya alam semesta; (3) kiamat
merupakan kehancuran jagat raya yang diawali dengan berguncangnya bumi, hancurnya semua
benda angkasa, dan kematian seluruh makhluk hidup yang masih ada, sehingga semua yang
ada di dunia musnah; (4) setelah semuanya hancur dan musnah, bumi, langit, dan lainnya akan
diganti dengan yang baru; dan (5) kiamat merupakan awal kehidupan akhirat yang
menggantikan kehidupan dunia.

B. TERM-TERM LAIN HARI AKHIR


Hari akhir memiliki nama lain yang cukup banyak. Nama-nama hari akhir yang diberikan
oleh Allah Swt. menggambarkan keadaan hari kiamat hingga manusia dilahirkan, dihisab, dan
mendapatkan balasan dari Allah Swt. Berikut nama-nama hari akhir, Yaitu:
1. Yaumul Qiyamah yaitu hari kiamat.
2. Yaumur Rajifah yaitu hari lindu besar.
3. Yaumuz Zalzalah yaitu hari keguncangan atau keruntuhan.
4. Yaumul Haqqah yaitu yaitu hari kepastian.
5. Yaumul Qariah yaitu hari keributan.
6. Yaumul Akhir yaitu hari akhir.
7. Yaumut Tammah yaitu hari bencana agung.
8. Yaumul Asir yaitu hari sulit.
9. Yaumun la raiba fihi yaitu hari yang tidak ada lagi keraguan padanya.
10. Yaumul ba'ast yaitu hari kebangkitan.
11. Yaumut Tagabun yaitu hari terbukanya segala keguncangan.
12. Yaumun Nusyur yaitu hari kebangkitan.
13. Yaumut Tanad yaitu hari panggilan.
14. Yaumul Mizan yaitu hari pertimbangan.

5
15. Yaumu la tajzi nafsun an nafsin syaian yaitu hari yang tidak dapat seseorang diberi
ganjaran oleh yang lain sedikit pun.
16. Yaumul Jamak yaitu hari pengumpulan.
17. Yaumul Fashl yaitu hari pemisahan.
18. Yaumul Waqi'ah yaitu hari kejatuhan.
19. Yaumul Mahsyar yaitu hari berkumpul.
20. Yaumu Din yaitu hari keputusan.
21. Yaumut Talaq yaitu hari pertemuan.
22. Yaumul Jaza yaitu hari pembalasan.
23. Yaumul 'Ard yaitu hari pertontonan.
24. Yaumul Gasyiyah yaitu hari pembalasan.
25. Yaumul Khulud yaitu hari yang kekal.
26. Yaumul Barzah yaitu hari penantian.
27. Yaumul Hisab yaitu hari perhitungan.
28. Yaumul Waid yaitu hari ancaman.
29. Yaumul Haq yaitu hari kebenaran.

Umar Sulaiman al-Asyqar dalam buku Al-Yaumul Ākhir Qiyāmah Kubrā menyebut 22
istilah populer tentang hari akhir dalam Al-Qur’an. Ia juga menyebutkan istilah tambahan
lainnya yang diserap dari Al-Qur’an, serta tambahan istilah lainnya dari para ulama. Ia
mengutip al-Qurthubi yang membolehkan penggunaan penyebutan hari akhir dengan istilah
lain yang relevan. Ada tiga istilah yang paling banyak disebutkan Al-Qur’an terkait hari akhir
ini, yaitu yaumul qiyamah (hari kebangkitan), terulang tujuh puluh kali; as-sā‘ah (waktu),
terulang empat puluh kali; al-ākhirah (akhir; penghabisan) terulang seratus lima belas kali.
Adapun yaumul ākhir terulang 24 kali; Yaumud Din (hari pembalasan) terulang enam kali;
yaumul fashl (hari keputusan) terulang enam kali; yaumul fath (hari pengadilan) terulang dua
kali; yaumut talāq (hari pertemuan) terulang dua kali; yaumul jam’i (hari pengumpulan)
terulang dua kali; yaumul khulūd (hari kekekalan) terulang dua kali; yaumul khurūj (hari
keluar) terulang dua kali; yaumul ba’ts (hari kebangkitan) terulang dua kali; yaumut tanād (hari
panggilan) terulang dua kali. Kemudian ada yaumul hasrah (hari penyesalan), yaumul azifah
(hari mendekat), dan yaumu taghabun (hari terbukanya aib yang masing-masing sekali. Juga
ada istilah al-qāriah (bencana yang menggetarkan); al-ghāsyiah (bencana yang tak tertahan),
as-shakhkhah (bencana yang memekakkan, al-hāqah (kebenaran besar), dan al-wāqiah
(peristiwa besar).

6
1. Kapan Hari Kiamat itu Tiba?
Tidak ada makhluk Allah yang tahu kapan persisnya hari kiamat terjadi. Pengetahuan
tentang itu hanya Allah yang tahu. Dalam surat al-A’raf ayat 187 dinyatakan:

‫ساهَا قُ ْل ِإنا َما ِع ْل ُم َها ِع ْندَ َر ِبّي َال يُ َج ِلّي َها ِل َو ْقتِ َها ِإ اال ُه َو‬
َ ‫ع ِة أَياانَ ُم ْر‬
َ ‫سا‬ َ ‫يَسْأَلُون ََك‬
‫ع ِن ال ا‬
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah:
‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak
seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia’.”
Dalam al-Ahzab ayat 63 dinyatakan bahwa pengetahuan tentang kiamat itu adalah dari
Allah, dan boleh jadi sudah dekat waktunya.

ُ ‫عةَ ت َ ُك‬
‫ون قَ ِريبًا‬ ‫يك لَ َع ال ال ا‬
َ ‫سا‬ ‫ع ِة قُ ْل ِإنا َما ِع ْل ُم َها ِع ْندَ ا‬
َ ‫َّللاِ َو َما يُد ِْر‬ َ ‫سا‬
‫ع ِن ال ا‬ ُ ‫َيسْأَلُ َك النا‬
َ ‫اس‬
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: "Sesungguhnya
pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah". Dan tahukah kamu (hai
Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.”

Walau dinyatakan boleh jadi sudah dekat tapi manusia tidak tahu kapan persisnya.
Bahkan semenjak Rasulullah diutus pun sudah dikatakan dekat. Boleh jadi kedekatan akan
datangnya kiamat itu dihubungkan dengan usia dunia yang sudah cukup tua, memanjang dari
zaman Nabi Adam alaihis salam hingga Nabi terakhir Muhammad shallallahu alaihi
wasallam. Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat Muslim:

‫بعثت انا والساعة كهاتين ويقرن بين اصبعية السبابة والوسطى‬


“Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku dengan) hari kiamat adalah
seperti ini (sambil menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk dan
tengah).”
Ada banyak pertanda situasi kapan kiamat itu terjadi, misalnya hadits di bawah ini yang
menyatakan bahwa kiamat akan terjadi kepada seburuk-buruk manusia.

.» ‫اس‬ َ ‫عةُ إِالا‬


ِ ‫علَى ِش َر ِار النا‬ ‫ قَا َل « الَ تَقُو ُم ال ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ ‫سا‬ ّ ِ ‫ع ِن النا ِب‬ ِ ‫ع ْن َع ْب ِد ا‬
َ ‫َّللا‬ َ
‫(رواه مسلم) ـ‬

7
Nabi bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada manusia paling buruk.”
(HR Muslim)

‫ق ُه ْم ش ٌَّر ِم ْن أ َ ْه ِل ْال َجا ِه ِليا ِة‬


ِ ‫علَى ِش َر ِار ْالخ َْل‬
َ ‫عةُ إِالا‬ ِ ‫َّللاِ ب ُْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
‫اص الَ تَقُو ُم ال ا‬
َ ‫سا‬ َ ‫قَا َل‬
‫ع ْبد ُ ا‬
َ ُ‫ش ْىءٍ ِإالا َرداه‬
‫علَ ْي ِه ْم (رواه مسلم) ـ‬ َ ‫الَ َي ْدعُونَ ا‬
َ ‫َّللا ِب‬

Abdullah bin Amr bin ‘Ash: “Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada manusia
terburuk. Mereka lebih buruk dari pada Jahiliyah. Mereka tidak minta kepada Allah
kecuali Allah menolaknya.” (Muslim).
Gambaran seburuk-buruk manusia itu karena mereka sudah melupakan Allah, karena
mereka sudah tidak mau menyebut nama Allah.

ِ ‫عةُ َحتاى الَ يُقَا َل فِى اۡ َ ْر‬


‫ض‬ ‫ قَا َل « الَ تَقُو ُم ال ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
َ ‫سا‬ ُ ‫ع ْن أَن ٍَس أ َ ان َر‬
‫سو َل ا‬ َ
‫َّللاُ ا‬
‫ (رواه مسلم) ـ‬.» ُ‫َّللا‬ ‫ا‬

Nabi bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat hingga di bumi tidak ada yang
mengucapkan Allah Allah” (HR Muslim).

Dalam Surat Muhammad ayat 18, Allah menyatakan bahwa kedatangan kiamat itu
terjadi secara tiba-tiba. Walau demikian, sebelum kedatangan itu ada tanda-tandanya. Al-
Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Durrul Mantsur banyak meriwayatkan hadits
tentang tanda-tanda kiamat, baik yang shughra atau kubra.

ُ ‫عةَ أَن ت َ ۡأتِ َي ُهم بَ ۡغت َ ۖٗة فَقَ ۡد َجا ٓ َء أ َ ۡش َرا‬


‫ط َه ۚا فَأَنا ٰى لَ ُه ۡم ِإذَا َجا ٓ َء ۡت ُه ۡم ذ ِۡك َر ٰى ُه ۡم‬ ُ ‫فَ َه ۡل يَن‬
‫ظ ُرونَ ِإ اال ٱل ا‬
َ ‫سا‬

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu)


kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang
tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila
Kiamat sudah datang.”

Sayyid Husain Affandi terkait tanda-tanda kiamat menyampaikan dalam kitab Al-
Hushun al-Hamidiyah bahwa kedatangan Imam Mahdi adalah awal dari tanda kiamat kubra.
Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Syekh Amin al-Kurdy dalam Tanwir al-Qulub, yaitu:

8
‫ثم إِذَا تصرم الزمان وقرب يوم القيامة ظهرت له عالمات منها العالمات الصغرى التى ظهر‬
‫منها فى هذا الزمان الكثير ومنها العالمات الكبرى وهي عشر ظهور المهدي وخروج الدجال‬
‫ونزول سيدناعيسى عليه السالم وخروج يأجوج ومأجوج وخروج الدابة التى تكلم الناس‬
‫وطلوع الشمس من مغربها وظهورالدخان ويمكث فى اۡرض اربعين يوما يصيب الكافر حتى‬
‫يصير كالسكران ويصيب المؤمن منه كهيئة الزكام وخراب الكعبة على يد الحبشة بعد موت‬
‫عيسى عليه السالم ورفع القران من المصاحف والصدور ورجوع اهل االرض كلهم كفارا‬

“Apabila zaman itu hampir berakhir dan hari kiamat telah dekat, maka muncullah
beberapa tanda. Di antara tanda itu ada tanda kecil yang telah muncul sebagian
besarnya di zaman ini, dan di antaranya ada tanda besar yang jumlahnya ada sepuluh
yaitu; munculnya al-Mahdi, keluarnya dajal, turunnya Isa, keluarnya yakjuj makjuj,
keluarnya hewan yang dapat berbicara kepada manusia, matahari terbit dari barat,
timbulnya asap selama empat puluh hari yang menimpa orang kafir sehingga ia
menjadi seperti orang yang mabuk dan menimpa orang beriman sehingga ia menjadi
seperti orang yang flu, runtuhnya Ka’bah oleh orang habasyah setelah Isa wafat,
diangkatnya Al-Qur’an dari mushhaf dan dada, serta kembalinya penghuni bumi pada
kekufuran.”

Kiai Sahal Mahfudh dalam buku Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh menyatakan,
“Jadi, sebenarnya kiamat bisa diperpanjang jatuh temponya oleh perilaku manusia sendiri,
sepanjang masih berperilaku dengan ketentuan-ketentuan ilahiah (agama), tidak menampakkan
tanda-tanda itu, maka insyaallah kiamat tidak akan buru-buru datang. Apakah sekarang ini kita
sudah mendekati hari kiamat, ada baiknya pertanyaan itu kita renungkan dalam hati sanubari
masing-masing. Jangan-jangan kita sendirilah yang telah menjadikan kiamat semakin dekat
karena perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan ilahiah.

C. PEMBAGIAN DAN TANDA-TANDA KIAMAT


Tanda-tanda Kiamat (Asyrāth as-Sa’ah) adalah indikasi-indikasi Kiamat yang
mendahuluinya dan menunjukkan kedekatan (waktu)nya. Sementara Kiamat (as-Sa’ah) dapat
dipisahkan menjadi 3 (tiga) makna, yaitu: Pertama, Kiamat Kecil (as-Sa’ah ash-Shughra) yaitu
kematian manusia. Barangsiapa yang meninggal dunia maka telah terjadi Kiamat padanya,

9
karena ia masuk ke dalam alam akhirat. Kedua, Kiamat Sedang (as-Sa’ah al-Wushtha) yaitu
meninggalnya generasi satu abad tertentu. Ketiga, Kiamat Besar (as-Sa’ah al-Kubra) yaitu
dibangkitkannya manusia dari kubur mereka untuk dihisab (al-hisab) dan dibalas (al-jaza’)
amalan-amalannya di dunia.
Klasifikasi Tanda-Tanda Kiamat terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, tanda-
tanda kecil (asyrath shughra), yaitu (tanda-tanda) yang mendahului Kiamat dengan (jarak)
waktu yang lama dan menjadi hal yang berulang-ulang (biasa terjadi). Seperti hilangnya ilmu,
merebaknya kebodohan dan minuman khamer, saling berlomba meninggikan bangunan, serta
lain sebagainya. Terkadang sebagian tanda-tandanya muncul bebarengan dengan tanda-tanda
Kiamat besar (asy-asyrath al-kubra) atau (ada juga yang) setelahnya. Kedua, tanda-tanda besar
(asyrath kubra), yaitu perkara-perkara besar yang muncul menjelang terjadinya Kiamat (qurba
qiyam as-sa’ah), dan kejadiannya tidak berulang-ulang. Seperti kemunculan ad-Dajjal,
turunnya ‘Isa as., keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya Matahari dari arah barat.
Sebagian ulama membagi tanda-tanda Kiamat dari perspektif kemunculannya menjadi
3 (tiga) bagian, yaitu: Pertama, klasifikasi yang telah muncul dan telah berakhir. Kedua,
klasifikasi yang telah muncul dan terus berlangsung, bahkan semakin banyak. Ketiga,
klasifikasi yang belum terjadi hingga sekarang. Adapun dua klasifikasi pertama masuk dalam
tanda-tanda Kiamat kecil (asyrath as-sa’ah ash-shughra), sedangkan klasifikasi ketiga
terhimpun di dalamnya tanda-tanda besar (al-asyrath al-kubra) dan sebagian tanda-tanda kecil
(al-asyrath ash-shugra).
Para ulama mengklasifikasikan kiamat kepada dua macam: kiamat kecil (qiyamah al-
shugra) dan kiamat besar (qiyamah al-kubra). Kiamat kecil ialah kematian. Bagi siapa yang
sudah menemui ajal, sejatinya dia sudah mengalami kiamat kecil. Hal ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan ‘Aisyah yang berkata: “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW
sembari bertanya perihal kiamat (al-sa’ah). Seketika itu juga, Rasul melihat kepada anak kecil
yang berada di antara mereka dan berkata, ‘Anak ini akan meninggal sebelum masa tuanya,
hingga kalian akan menemui ajal masing-masing (‘alaikum sa’atukum)”, (HR: al-Bukhari dan
Muslim). Mayoritas ulama memahami kata al’sa’ah dalam hadis ini dengan kiamat kecil, yang
berati kematian.
Ibnu Katsir berpendapat bahwa kiamat kecil ialah berakhirnya kehidupan manusia di
bumi, dan masuk kepada hari akhirat. Setiap orang yang meninggal, sebenarnya mereka sudah
memasuki pintu akhirat. Dalam hal ini, Ibnu Katsir mengkritik pendapat orang ateis yang
mengatakan kematian adalah kiamat yang tidak ada lagi kehidupan (kiamat) setelahnya.
Berdasarkan keyakinan umat Islam, suatu saat umat manusia akan dibangkitkan dari kuburnya

10
dan dikumpulkan pada satu tempat, peristiwa ini disebutkan dengan kiamat besar (qiyamah al-
kubra).
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyamakan kiamat kecil dengan alam barzah (al-barzakh)
atau tahap awal tempat kembali manusia (ma’ad al-awwal). Allah SWT menyediakan dua fase
(tahapan) setelah manusia meninggal dunia, pada dua fase ini Allah SWT akan membalas
setiap amalan baik dan buruk yang dikerjakan manusia semasa hidupnya. Fase pertama ialah
perpisahan antara ruh dan badan, sebagai salah satu cara untuk masuk kepada fase pertama,
Ibnu Qayyim mengistilahkannya dengan al-jaza` al-awwal (hari pembalasan tahap awal).
Sedangkan kiamat besar adalah pemusnahan seluruh kehidupan di muka bumi ini, berdasarkan
firman Allah: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekel Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemulian “(QS: al-Rahman, 21-22). Dalam ayat lain Allah
berfirman: “………Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu
pasti binasa, Kecuali Allah” (QS: al-Qashash, 88). Setelah manusia dihancurkan, maka Allah
SWT akan membangkitkan manusia dari kuburnya, mereka akan mempertanggungjawabkan
semua perbuatan yang telah mereka lakukakan. Pada hari itu tidak ada yang dapat membantu
manusia kecuali iman dan amalan saleh. Allah SWT akan meyediakan surga bagi hambanya
yang ta’at, dan memasukkan hambanya yang ingkar ke dalam api neraka.

1. Tanda-Tanda Kiamat
a. Diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
َ ‫سباابَةَ َو ْال ُو ْس‬
‫طى‬ َ ‫) َو‬:‫ (قَا َل‬.» ‫عةُ َك َهاتَي ِْن‬
‫ض ام ال ا‬ ‫« بُ ِعثْتُ أَنَا َوال ا‬
َ ‫سا‬
‘(Masa) diutusnya aku dan (hari terjadinya) Kiamat seperti dua (jari) ini’.” (Anas
Radhiyallahu ‘Anhu) berkata, “Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merapatkan jari
telunjuk dengan jari tengahnya.” (HR. Muslim).
b. Wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda :

» " ‫" َم ْو ِتي‬: ‫ َوذَ َك َر ِم ْن َها‬.... : ‫ع ِة‬ ‫« ا ْعد ُ ْد ِستًّا بَيْنَ يَدَي ِ ال ا‬
َ ‫سا‬
‘Hitunglah enam (tanda) menjelang datangnya hari Kiamat .........’ dan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Kematianku’.” (HR. Al-
Bukhari).

11
c. Penaklukan Baitul Maqdis
Dalam hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ِ ‫" َفتْ ُح بي‬:‫ فَذَ َك َر ِم ْن َها‬.... : ‫ع ِة‬


» " ‫ت المقدس‬ ‫« ا ْعد ُ ْد ِستًّا بَيْنَ يَدَي ِ ال ا‬
َ ‫سا‬
‘Hitunglah enam (tanda) menjelang datangnya hari Kiamat .........’ dan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Penaklukan Baitul Maqdis’.”
(HR. Al-Bukhari).
Pada masa (khalifah) Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, kemudian
terjadi penaklukan Baitul Maqdis pada tahun 16 Hijriyah, sebagaimana pendapat dari para
pakar sejarah. Sebenarnya ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu sendiri yang langsung mendatangi,
mendamaikan penduduknya dan menaklukan (wilayah)nya, serta mensterilkannya dari
kaum Yahudi dan Nashrani. Beliau Radhiyallahu ‘Anhu mendirikan masjid di arah kiblat
Baitul Maqdis.
d. Wabah Tha’un ‘Amwas
Masih dalam hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu sebelumnya, sabdanya:

ِ ‫" ث ُ ام ُموتَان يأخذ فيكم َكقُ َع‬:‫ فَذَ َك َر ِم ْن َها‬.... : ‫ع ِة‬


» " ‫اص الغنم‬ ‫« ا ْعد ُ ْد ِستًّا َبيْنَ َيدَي ِ ال ا‬
َ ‫سا‬

"Hitunglah enam (tanda) menjelang datangnya hari Kiamat .........’ dan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Kemudian banyaknya kematian
yang menimpa kalian bagaikan penyakit (qu’ash1) kambing’.” (HR. Al-Bukhari).
Ibnu Hajar berkomentar, “Disinyalir sebenarnya tanda ini telah muncul pada
wabah penyakit tha’un ‘amwas di era kekhalifahan ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu, demikian
itu terjadi pasca penaklukan Baitul Maqdis.” Pada tahun 18 Hijriyah menurut pendapat
yang masyhur di mayoritas kalangan ulama, telah terjadinya wabah tha’un di distrik
‘Amwas, kemudian mewabah di negeri Syam. Dalam peristiwa ini banyak dari kalangan
sahabat Radhiyallahu ‘Anhum dan yang lainnya meninggal dunia. Konon, korban
meninggal dunia dalam peristiwa ini mencapai 25.000 jiwa kaum muslimin. Diantara
tokoh-tokoh terkenal yang meninggal dunia adalah Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah,
yang dipercaya umat ini.
e. Berlimpahan Harta dan Tidak Memungut Sedekah

1 Qu’ash adalah penyakit yang menyerang hewan-hewan ternak (ad-dawab). Ia mejangkitkan sesuatu (wabah)
melalui kedua lubang hidung, lalu (hewan-hewan yang terjangkit) mati mendadak.

12
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:

َ ُ‫يض َحتاى يُ ِه ام َربا ْال َما ِل َم ْن َي ْق َبلُهُ ِم ْنه‬


ً‫صدَقَة‬ َ ‫عةُ َحتاى َي ْكث ُ َر ِفي ُك ْم ْال َما ُل فَ َي ِف‬ ‫« الَ تَقُو ُم ال ا‬
َ ‫سا‬
» ‫ب ِلي ِفي ِه‬ َ ‫الر ُج ُل فَ َيقُو ُل الَ أ َ َر‬
‫َويُ ْد َعى ِإلَ ْي ِه ا‬
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga harta benda banyak pada kalian, lalu
melimpah ruah, sampai-sampai menyusahkan pemilik harta (mencari) orang yang
menerima sedekah darinya, dan seorang dipanggil (untuk) menghadapnya, lalu
dia berkata, ‘Aku tidak memiliki keperluan terhadapnya’.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).

f. Munculnya Beragam Fitnah


Al-fitan bentuk plural dari fitnah, berarti cobaan dan ujian. Kemudian (kata ini)
banyak digunakan untuk setiap hal yang mengandung ujian yang dibenci. Selanjutnya dia
diidentikan kepada segala hal yang dibenci atau kembali kepadanya, seperti dosa,
kekufuran, pembunuhan, pembakaran dan bentuk-bentuk kebencian lainnya.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa diantara
tanda-tanda Kiamat adalah munculnya fitnah-fitnah besar yang mencampur adukkan
antara yang haq dan yang batil. Maka terjadilah keguncangan iman sampai-sampai (ada)
seseorang yang di pagi hari ia beriman dan di sore harinya ia menjadi kafir. (Ada) yang di
sore harinya ia beriman dan di pagi harinya menjadi kafir. Setiap kali muncul fitnah, (saat
itu) orang beriman berkata, “Inilah yang membinasakanku”, kemudian terbuka dan
muncullah (fitnah) lainnya, maka ia berkata, “Inilah (... seperti ucapan sebelumnya, pent)”.
Senantiasa (fitnah-fitnah) bermunculan di tengah-tengah manusia hingga Kiamat terjadi.
Dalam hadits dari Abu Musa al-Asy’ary Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ْ ‫طع اللا ْي ِل ْال ُم‬
،‫الر ُج ُل فِي َها ُمؤْ ِمنًا َوي ُْمسِي َكافِ ًرا‬
‫ص ِب ُح ا‬ ْ ُ‫ ي‬،‫ظ ِل ِم‬ ِ َ ‫ع ِة فِتَنًا َك ِق‬ ‫« ِإ ان َبيْنَ يَدَي ِ ال ا‬
َ ‫سا‬
،‫ َو ْالقَائِ ُم فِي َها َخيْر ِمنَ ْال َما ِشي‬،‫ ْالقَا ِعد ُ فِي َها َخيْر ِمنَ ْالقَائِ ِم‬،‫ص ِب ُح َكافِ ًرا‬ ْ ُ‫َوي ُْمسِي ُمؤْ ِمنًا َوي‬
‫سيُوفَ ُك ْم‬ َ َ ‫طعُوا أ َ ْوت‬
ُ ‫ َواض ِْربُوا‬،‫ار ُك ْم‬ ّ ِ ‫ َو َق‬،‫س ُِروا قِ ِسيا ُك ْم‬ ّ ‫ فَ َك‬،‫سا ِعي‬ ‫َو ْال َما ِشي فِي َها َخيْر ِمنَ ال ا‬
» ‫علَى أ َ َح ِد ُك ْم َب ْيتَهُ فَ ْليَ ُك ْن َك َخي ِْر ا ْب َن ْي آدَ َم‬ َ ‫بِ ْال ِح َج‬
َ ‫ فَإ ِ ْن دَ َخ َل‬،ِ‫ارة‬
“Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat (terjadi) banyak fitnah, bagaikan
bagian malam yang gelap gulita. Seseorang yang di pagi hari dalam keadaan beriman,

13
dan di sore harinya menjadi kafir. (Ada) yang di sore harinya dalam keadaan beriman,
dan di pagi harinya menjadi kafir. Orang yang duduk di saat itu lebih baik daripada
orang yang berdiri, orang yang berdiri di saat itu lebih baik daripada orang yang
berjalan, dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari.
Maka patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian, dan
pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika (rumah) salah seorang dari kalian
dimasuki (fitnah), maka jadilah seperti yang terbaik dari kedua anak Adam (Habil).”
HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak.

Hadits-hadits fitnah jumlahnya banyak, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


memperingatkan umatnya dari segala bentuk fitnah, dan memerintahkan mereka untuk
berlindung darinya, serta mengabarkan bahwa generasi terakhir dari umat ini akan tertimpa
cobaan dan fitnah-fitnah yang besar. Ada peristiwa-peristiwa fitnah yang telah terjadi di
dalam sejarah, seperti munculnya fitnah-fitnah dari arah Timur (al-masyrik), pembunuhan
‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhu, perang Jamal, perang Shiffin, fenomena khawarij, perang
Hurrah, fitnah tuduhan bahwa al-Qur`an adalah makhluk, mengikuti gaya-gaya hidup
orang-orang terdahulu.
g. Fenomena Mengaku “Nabi”
Dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ُ ‫ع ُم أَناهُ َر‬
‫سو ُل ا‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫ث دَ اجالُونَ َكذاابُونَ قَ ِريب ِم ْن ثَالَثِينَ ُكلُّ ُه ْم َي ْز‬
َ َ‫عةُ َحتاى يُ ْبع‬ ‫« الَ تَقُو ُم ال ا‬
َ ‫سا‬
»
“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga dibangkitkan ‘para dajjal (pendusta)’ yang
(jumlahnya) mendekati tiga puluh, semuanya mengaku bahwa mereka adalah utusan
Allah (Rasulullah).”
Diantara mereka yang tiga puluh itu telah muncul Musailamah al-Kadzdzab
(sang pendusta), ia mengaku sebagai nabi di akhir masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Ada pula al-Aswad al-‘Ansi di negeri Yaman yang dibunuh oleh sahabat
Radhiyallahu ‘Anhu Demikian dengan Sajah (binti Harits, pent.), seorang wanita yang
mengkalim dirinya sebagai nabi, dan Musailamah menikahinya. Kemudian setelah
Musailamah terbunuh, ia kembali memeluk Islam. Begitu juga Thulaihah bin Khuwailid
al-Asadi, kemudian ia kembali memeluk Islam dan baik keislamannya. Kemudian muncul
al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi yang menampakkan kecintaan kepada ahlul bait

14
(keturunan nabi). Ada lagi al-Harits al-Kadzdzab (si pendusta) yang muncul di era
kekhalifahan ‘Abdul Malik bin Marwan, maka dibunuh. Dan di masa sekarang, adalah
Mirza Ahmad al-Qadiyani di India.
h. Tersebarnya Stabilitas Keamanan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bertutur, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:

»‫ق‬ ‫ضالَ َل ا‬
ِ ‫الط ِري‬ َ ‫َاف ِإالا‬ ِ ‫ب َبيْنَ ْال ِع َرا‬
ُ ‫ق َو َم اكةَ الَ َيخ‬ ُ ‫الرا ِك‬ َ ‫عةُ َحتاى َيس‬
‫ِير ا‬ ‫« الَ تَقُو ُم ال ا‬
َ ‫سا‬
‘Tidak akan terjadi Kiamat hingga seseorang pengendara (kendaraan) berjalan di
antara Irak dan Mekkah tidak merasa takut kecuali (takut) tersesat di jalan’.”
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya.

i. Fenomena Api Hijaz


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:

‫ص َرى‬ ِ َ‫ضي ُء أ َ ْعنَاق‬


ْ ُ‫اإل ِب ِل ِبب‬ ِ ‫ض ْال ِح َج‬
ِ ُ ‫از ت‬ ِ ‫عةُ َحتاى تَ ْخ ُر َج نَار ِم ْن أ َ ْر‬ ‫الَ تَقُو ُم ال ا‬
َ ‫سا‬
“Tidak akan terjadi hari Kiamat sampai api keluar dari tanah Hijaz yang menerangi
leher-leher unta di Bashra.”
Sesungguhnya api ini telah muncul pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah,
(tepatnya) di tahun 654 H. Saat itu (kobaran) apinya besar, para ulama yang hidup di masa
itu dan setelahnya telah menerangkan kemunculan api tersebut dalam bentuknya. Dan api
ini bukanlah api yang keluar di akhir zaman menghimpun manusia ke padang mahsyar
mereka. Sebagaimana yang akan dibicarakan dalam pembahasan tanda-tanda Kiamat besar
(al-‘Asyrath al-Kubra).
j. Hilangnya Amanat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :

َ‫ ِإذَا أ ُ ْسنِد‬: ‫َّللا ؟ قَا َل‬ ُ ‫عت ُ َها يَا َر‬


ِ ‫سو َل ا‬ َ ‫ضا‬ َ ‫ َكي‬: ‫ قَا َل‬، َ‫عة‬
َ ‫ْف ِإ‬ َ ‫سا‬‫ت اۡ َ َمانَةُ فَا ْنتَ ِظ ْر ال ا‬ ُ ‫« ِإذَا‬
ْ ‫ض ِيّ َع‬
» َ ‫عة‬َ ‫سا‬‫اۡ َ ْم ُر ِإلَى َغي ِْر أ َ ْه ِل ِه فَا ْنتَ ِظ ْر ال ا‬
‘Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat.’ (Abu Hurairah ra) bertanya,
‘Wahai Rasulullah, bagaimana amanat itu disia-siakan?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menjawab, ‘Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah
Kiamat!’.” HR. Al-Bukhari.

15
k. Diangkatnya ilmu dan fenomena Kebodohan
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

» ‫ُت ْال َج ْه ُل‬


َ ‫ع ِة أ َ ْن ي ُْرفَ َع ْال ِع ْل ُم َويَثْب‬
َ ‫سا‬ ِ ‫« ِم ْن أ َ ْش َر‬
‫اط ال ا‬
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah ilmu dihilangkan dan kebodohan diteguhkan’.”
Yang dimaksud dengan diangkatnya ilmu adalah diwafatkannya para ulama,
sebagaimana riwayat dalam hadits ‘Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma
bertutur, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

، ‫ْض ْالعُلَ َما ِء‬


ِ ‫ض ْال ِع ْل َم ِب َقب‬
ُ ‫ َو َل ِك ْن َي ْق ِب‬، ‫عهُ ِمنَ ْال ِع َبا ِد‬ ً ‫ض ْال ِع ْل َم ا ْنتِزَ ا‬
ُ ‫عا َي ْنت َ ِز‬ ُ ‫َّللا ال َي ْق ِب‬
َ ‫« ِإ ان ا‬
‫ضلُّوا‬ َ َ‫ ف‬، ‫سئِلُوا فَأ َ ْفت َ ْوا ِب َغي ِْر ِع ْل ٍم‬
َ َ ‫ َوأ‬، ‫ضلُّوا‬ ُ َ‫ ف‬، ‫سا ُج اهاال‬ً ‫اس ُر ُءو‬ ُ ‫عا ِل ًما ات ا َخذَ النا‬ َ َ‫َحتاى ِإذَا لَ ْم يَبْق‬
»
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu langsung dari para hamba, tetapi
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang
alim, maka manusia akan menjadi orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka
ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka seat lagi
menyesatkan orang lain.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.
l. Banyaknya Pasukan dan Pendukung Kezhaliman
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menunturkan,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ ‫ب ْال َبقَ ِر َيض ِْربُونَ ِب َها النا‬


..... ‫اس‬ ِ ‫ قَ ْوم َم َع ُه ْم ِس َياط َكأ َ ْذنَا‬: ‫ار َل ْم أ َ َر ُه َما‬
ِ ‫ان ِم ْن أ َ ْه ِل النا‬
ِ َ‫ص ْنف‬
ِ «
»
‘Dua kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah aku lihat, (yaitu)
golongan orang-orang yang membawa cemeti seperti buntut sapi, mereka memukuli
manusia dengannya ....’.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu:

‫ فِي‬، ‫ َويَ ُرو ُحونَ فِي لَ ْع َنتِ ِه‬، ِ‫َّللا‬


‫َط ا‬ َ ‫ت أ َ ْن ت َ َرى قَ ْو ًما يَ ْغدُونَ ِفي‬
ِ ‫سخ‬ َ ‫ت ِب َك ُمداة أ َ ْو‬
َ ‫ش ْك‬ ْ َ‫طال‬
َ ‫« ِإ ْن‬
» ‫ب ْالبَقَ ِر‬
ِ ‫أ َ ْيدِي ِه ْم ِمثْ ُل أ َ ْذنَا‬
“Seandainya umurmu panjang, sekiranya engkau akan melihat satu kaum yang pergi di
pagi hari dalam kemurkaan Allah, dan pulang di sore harinya dalam laknat-Nya, di
tangan-tangan mereka ada (cemeti) bagaikan ekor sapi.” HR. Muslim.

16
m. Merebaknya Perzinaan
Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:

» "‫الزنَا‬ ْ ‫"و َي‬:


ّ ِ ‫ظ َه َر‬ َ ‫ َوذَ َك َر ِم ْن َها‬.... : ‫ع ِة‬
َ ‫سا‬ ِ ‫إن ِم ْن أ َ ْش َر‬
‫اط ال ا‬ ‫« ا‬
‘Sesungguhnya diantara tanda-tanda Kiamat adalah .........’ dan beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyebutkan diantaranya : ‘Merebaknya perzinaan’.”
n. Riba Merajalela
Dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

» ‫اس زَ َمان الَ يُ َبا ِلى ْال َم ْر ُء ِب َما أ َ َخذَ ْال َما َل ِب َحالَ ٍل أ َ ْم ِب َح َر ٍام‬ َ ‫« لَ َيأ ْ ِت َي ان‬
ِ ‫ع َلى النا‬
“Sungguh akan datang suatu zaman pada manusia, seseorang tidak peduli (lagi)
dengan (status) kehalalan atau keharaman harta yang ia peroleh”

o. Fenomena al-Ma’aazif (alat-alat musik) dan Menganggapnya Halal


Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Malik al-Asy’ari
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia mendenagr Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ َولَ َي ْن ِزلَ ّن أ َ ْق َوام ِإلَى‬, ‫ازف‬ ِ ‫« لَ َي ُكون َّن ِم ْن أ ُ ام ِتي أ َ ْق َوام َي ْستَ ِحلُّونَ ْال ِح َر َو ْال َح ِرير َو ْالخ َْمر َو ْال َم َع‬
‫ فَيُ َب ِيّت ُه ْم ا‬, ‫غدًا‬
‫َّللا‬ َ ‫ ا ِْر ِج ْع ِإلَ ْينَا‬: َ‫ار َح ٍة لَ ُه ْم تَأ ْ ِتي ِه ْم ْال َحا َجة فَ َيقُولُون‬
ِ ‫س‬َ ‫علَ ْي ِه ْم ِب‬
َ ‫علَ ٍم َي ُروح‬َ ‫َج ْنب‬
» ‫َازير ِإلَى َي ْوم ْال ِق َيا َمة‬ َ ‫ َو َي ْم‬, ‫ضع ْال َعلَم‬
ِ ‫سخ آخ َِرينَ قِ َردَة َو َخن‬ َ ‫َو َي‬
“Kelak terjadi dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamer dan
alat-alat musik. Dan sungguh ada beberapa kaum yang akan singgah di suatu pegunungan
yang tinggi, pada sore harinya (seorang pengembala) menjambangi mereka dengan
membawa hewan ternaknya, mereka didatangi –oleh pengembala fakir itu- untuk suatu
kebutuhan, lalu mereka berkata: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Maka di malam
harinya Allah (membinasakan) mereka dan hancurlah gunung tersebut, dan merubah
sebagian mereka menjadi kera dan babi sampai hari kiamat.”
p. Maraknya Minuman Keras (Khamer) dan Menganggapnya Halal
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu
bertutur, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

» ‫ب ْالخ َْم ُر‬ َ ‫ َوذَ َك َر ِم ْن َها‬.... : ‫ع ِة‬


َ ‫"ويُ ْش َر‬: َ ‫سا‬ ِ ‫« ِم ْن أ َ ْش َر‬
‫اط ال ا‬
‘Diantara tanda-tanda Kiamat adalah .........’ dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyebutkan diantaranya : ‘(Maraknya) minuman khamer ’.”

17
q. (Berlomba-lomba) Menghiasi Masjid dan Berbangga-bangga
dengannya
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata :

» ‫ارى‬
َ ‫ص‬ ِ َ‫« لَت ُ َز ْخ ِرفُنَّ َها َك َما َز ْخ َرف‬
َ َّ‫ت ا ْليَ ُهو ُد َوالن‬
“Sungguh kamu akan menghiasinya (yaitu: masjid-masjidmu) sebagaimana bangsa
Yahudi dan Nashrani menghias (tempat-tempat ibadah mereka).” HR. Al-Bukhari
secara mu’allaq.
Selain Hadis-hadis di atas, di antara tanda tanda Hari Kiamat Kecil ialah muncul banyak
fitnah, banyak terjadi pembunuhan, perbuatan hina merajalela, perbuatan keji dan
kemungkaran seperti zina, minum arak, perjudian, merasa bangga dengan perbuatan buruk
dilakukan secara terang-terangan. Sehingga, orang yang berpegang teguh pada agamanya
bagaikan orang yang menggenggam bara api. Selain itu, di antara tanda tanda hari kiamat kecil
lainnya ialah dicabutnya ilmu, banyaknya kebodohan, kuantitas kaum perempuan banyak
sekali, kaum laki-laki hanya sedikit, sutra banyak dipakai, banyak orang menjadi penyanyi,
seseorang melewati kuburan orang lain, lalu dia berkata, “Seandainya saja aku berada di posisi
dia.”
Tanda tanda hari kiamat kecil lainnya adalah munculnya para dai yang menyesatkan,
para pemimpin yang menyimpang, amanat disia-siakan dengan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya. Minimnya kebaikan, jarang hujan, sering terjadi gempa, banjir, harga-harga
barang sangat tinggi, para perempuan keluar dengan tidak berpakaian, berpakaian namun
telanjang. Di samping itu, tanda tanda hari kiamat kecil lainnya adalah waktu berjalan terasa
cepat, sehingga setahun seakan-akan hanya sebulan, sebulan seakan-akan hanya satu jam, dan
satu jam bagaikan bara api yang membakar. Al-Qur’an pun menjadi lenyap, yang tersisa
hanyalah tulisannya, mushaf-mushaf dihias dengan emas, kaum perempuan jadi pembicara,
dan masjid-masjid juga dihias. Gimana? Adakah tanda tanda hari kiamat kecil itu hadir di
sekeliling Anda? Selain kiamat kecil, ada juga kiamat besar.
Tanda-tanda Kiamat Besar, yaitu:
1. Terbitnya Matahari dari Arah Barat. Rasulullah SAW bersabda, “Kiamat tidak akan
datang, sebelum matahari terbit dari arah Barat. Apabila orang-orang melihat hal ini, maka
semua orang yang ada di atasnya beriman. Hal ini pada saat tidak berguna lagi iman
seseorang yang memang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat
kebajikan dengan imannya itu”.

18
2. Kabut. Kabut tebal memenuhi antara langit dan bumi yang muncul sebelum kiamat datang,
dimana akan mengambil nafas orang-orang kafir, sehingga mereka hampir tercekik
sedangkan bagi orang-orang mukmin seperti mengalami pilek. Kabut ini berlangsung di
bumi selama 40 hari.
3. Munculnya Binatang yang Dapat Berbicara dengan Manusia. Keluarnya binatang dari
dalam bumi yang dapat berbicara dengan manusia dengan bahasa yang fasih, yang dimana
bahasa itu dapat dipahami oleh semua yang mendengarnya. Binatang atau Dabbah ini
muncul di akhir zaman saat manusia telah mengalami kebobrokan. Di mana para manusia
meninggalkan perintah-perintah Allah SWT, dan mengganti agama yang benar. Dabbah
keluar dengan membawa tongkat Nabi Musa ‘alaihissalam dan cincin Nabi Sulaiman
‘alaihissalam. Dan wajah orang mukmin menjadi terang berkat tongkat tersebut, sehingga
dapat dikenali antara orang mukmin dan orang kafir.
4. Munculnya al-Masih Dajjal. Dinamai al-A’war ad-Dajjal karena dia buta sebelah matanya
yang kanan. Fitnahnya merupakan fitnah terbesar yang menimpa orang-orang di akhir
zaman. Al-A’war ad-Dajjal tidak hanya mengaku-aku sebagai nabi, bahkan dia juga
mengaku-aku sebagai Tuhan. Muncul beberapa hal-hal yang luar biasa melalui kedua
tangannya sebagai bentuk istidraj dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dan sebagai
ujian bagi para manusia. Dia mengelilingi seluruh permukaan bumi. Semua daerah yang
dia masuki pasti dia berbuat kerusakan di dalamnya, kecuali Mekah dan Madinah.
5. Keluarnya Yajug Ma’juj. Ya’juj Ma’juj merupakan kabilah dari keturunan Yafits bin Nuh.
Mereka keluar di akhir zaman setelah dinding penghalang yang dibuat oleh Dzulqarnain
jebol. Lantas mereka membuat kerusakan di muka bumi dengan berbagai macam tindakan
keji dan kerusakan. Saking banyaknya, mereka memakan makanan dan tanaman apa saja
yang dijumpainya dan meminum danau Thabariyah sampai seakan-akan tidak pernah ada
airnya.
6. Keluarnya Api yang Menggiring Manusia ke Padang Mahsyar. Api ini keluar dari tanah
‘Adn, merupakan api besar yang menakutkan. Tidak ada sesuatu pun yang dapat
memadamkannya. Api ini menggiring manusia ke padang Mahsyar.
Itu tadi tanda tanda kiamat besar. Anda dapat memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar diselamatkan dari api baik di dunia dan akhirat. Semoga Allah menyelamatkan diri
ini dari ngerinya kiamat karena anugerah-Nya dan kemuliaan-Nya.
Para ulama berbeda pendapat terkait urutan terjadinya tanda-tanda kiamat. Imam Al-
Qurṭūbī mengatakan, tanda-tanda kiamat besar yang disebutkan secara bersamaan dalam
hadits-hadits di atas tidaklah berurutan, tidak terkecuali riwayat Muslim dari Hudzaifah. Salah

19
satu hadits sahih yang berkaitan dengan kiamat (as-sāʽah) yang pasti adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya dan juga diriwayatkan oleh beberapa perawi
hadits serta diakui oleh para ulama adalah hadits berikut, yaitu:

َ ‫سلا َم‬
‫علَ ْينَا َون َْح ُن نَتَذَا َك ُر فَقَا َل َما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ي ِ قَا َل ا‬
ُّ ِ‫اطلَ َع الناب‬
َ ‫ي‬ ِ َ‫ع ْن ُحذَ ْيفَةَ ب ِْن أ َ ِسي ٍد ْال ِغف‬
ّ ‫ار‬ َ
‫ت فَذَ َك َر الدُّ َخانَ َوالدا اجا َل‬ ٍ ‫ع ْش َر آيَا‬ َ ُ‫عةَ قَا َل إِنا َها لَ ْن تَق‬
َ ‫وم َحتاى ت َ َر ْونَ قَ ْبلَ َها‬ ‫تَذَا َك ُرونَ قَالُوا نَ ْذ ُك ُر ال ا‬
َ ‫سا‬
‫سلا َم َو َيأ َ ُجو َج‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سى اب ِْن َم ْر َي َم‬ َ ‫ش ْم ِس ِم ْن َم ْغ ِر ِب َها َونُ ُزو َل ِعي‬‫ع ال ا‬ َ ‫طلُو‬ُ ‫َوالدااباةَ َو‬
‫آخ ُر ذَ ِل َك‬
ِ ‫ب َو‬ ِ ‫ير ِة ْال َع َر‬
َ ‫ب َو َخسْف ِب َج ِز‬ ِ ‫ق َو َخسْف ِب ْال َم ْغ ِر‬ ِ ‫سوفٍ َخسْف ِب ْال َم ْش ِر‬ ُ ‫َو َمأ ْ ُجو َج َوث َ َالثَةَ ُخ‬
‫اس ِإلَى َم ْحش َِر ِه ْم‬ ْ َ ‫نَار تَ ْخ ُر ُج ِم ْن ْال َي َم ِن ت‬
َ ‫ط ُرد ُ النا‬
“Dari Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari berkata, Rasulullah SAW menghampiri kami saat kami
tengah membicarakan sesuatu. Ia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab,
‘Kami membicarakan kiamat.’ Ia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat
sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dābbah),
terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam AS, Ya'juj dan Ma'juj, tiga gerhana;
gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api
muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka,” (HR. Muslim).
Tanda-tanda kiamat dalam hadits ini disebut sebagai tanda-tanda kiamat kubra (hari
akhir). Ada sepuluh tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits ini. Namun yang disebutkan
dalam hadits tersebut hanya ada delapan:
1. Munculnya kabut (dukhan)
2. Munculnya Dajjal
3. Munculnya Dabbah
4. Terbitnya matahari dari barat.
5. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj
6. Munculnya Isa bin Maryam;
7. Adanya tiga gerhana, di timur;
8. Gerhana di barat;
9. Gerhana di jazirah Arab.
10. Adanya api yang muncul dari Yaman kemudian menggiring manusia menuju tempat
berkumpul.
Al-Qurthubi menyebutkan bahwa ada hadits lain yang menyebutkan tanda-tanda
tersebut secara berurutan, yakni hadits Muslim dari Hudzaifah dalam riwayat yang berbeda,
yang menyebutkan bahwa tanda yang pertama kali muncul adalah tiga gerhana. Oleh Al-

20
Qurthubi, kejadian ini sudah pernah terjadi di masa Rasul SAW. Sedangkan tanda-tanda
setelahnya masih banyak diperdebatkan urutannya. Oleh karena itu, simpulan dari kajian
hadits-hadits terkait tanda-tanda kiamat ini adalah tanda-tanda kiamat yang disebutkan dalam
hadits sifatnya hanya prediksi Rasul SAW. Bahkan kepastian urutannya pun masih
diperdebatkan. Begitu juga waktu kejadiannya. Ada yang menyebut bahwa sebagian sudah
terjadi ada juga yang menyebutnya belum terjadi, bahkan perdebatan ini sudah terjadi pada
masa sahabat.
Jika ada kejadian di masa sekarang yang sesuai dengan tanda-tanda kiamat yang
disebutkan dalam berbagai hadits tersebut, belum tentu itu menjadi tanda yang pasti. Bisa juga
kejadian yang sama akan terjadi di masa mendatang karena Rasul sendiri tidak mengetahui
kapan tanda-tanda tersebut terjadi. Hal ini sesuai dengan yang telah disebutkan oleh Al-Quran
Surat Al-Aʽrāf ayat 187 ketika Rasul SAW ditanya kapan terjadinya kiamat. “Mereka
menanyakan kepadamu tentang kiamat, ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sungguh
pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku. Tidak seorang pun yang dapat
menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.’”
Fakhruddin Ar-Razi menyebutkan bahwa salah satu hikmah tidak diketahuinya waktu
terjadinya kiamat adalah agar manusia tetap beribadah dan mencegah diri dari perbuatan
maksiat tanpa memperhatikan kapan terjadinya kiamat, yaitu:

،‫ كانوا على حذر منها‬،‫والسبب في إخفاء الساعة عن العباد؟ أنهم إذا لم يعلموا متى تكون‬
‫ ال‬:‫ ثم إنه تعالى أكد هذا المعنى فقال‬،‫ وأزجر عن المعصية‬/ ،‫فيكون ذلك أدعى إلى الطاعة‬
‫ ال يظهرها في وقتها المعين إال‬:‫ والمعنى‬،‫يجليها لوقتها التجلية إظهار الشيء والتجلي ظهوره‬
.‫هو أي ال يقدر على إظهار وقتها المعين باإلعالم واإلخبار إال هو‬

“Adapun sebab dirahasiakannya kiamat dari seorang hamba adalah jika mereka tidak
mengetahui waktu terjadinya kiamat, maka mereka akan senantiasa menjadikannya
sebagai peringatan. Maka hal itu akan lebih dekat dengan ketaan dan menghindari
dari maksiat. Kemudian sungguh Allah SWT menguatkan makna ini dengan potongan
ayat, ‘Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya.’ Makna dari
al-tajliyah adalah menjelaskan kedatangan sesuatu. Maksudnya, tidak akan dijelaskan
waktu kejadian tersebut secara terperinci kecuali Allah SWT, yakni tidak ada yang
kuasa menjelaskan waktu terjadinya kiamat dengan kabar dan pemberitahuan kecuali
Allah SWT,”

21
Maka dari itu, cara bijak memahami dan mempertemukan hadits-hadits tentang kiamat
yang berbeda-beda tersebut adalah dengan meninjau maksud nabi (maqasidi) ketika
menyebutkan tanda-tanda tersebut kepada para sahabat. Saat itu para sahabat masih bertanya-
tanya tentang kebenaran adanya kiamat. Jawaban Rasul SAW dengan menyebutkan tanda-
tanda tersebut bertujuan agar para sahabat tidak menghabiskan waktunya untuk selalu
memikirkan kiamat. Selain itu, ketidakpastian tanda-tanda kiamat yang ada dalam hadits Rasul
SAW ini hanya sebagai penguat bahwa kiamat memang ada, tetapi tidak akan disebutkan kapan
terjadi. Semuanya ini bertujuan agar orang Mukmin senantiasa beribadah kapan dan di mana
saja tanpa mengenal waktu. Jika kiamat dan tanda-tandanya sudah jelas, maka setiap orang
akan meremehkan ibadahnya dan hanya beribadah ketika mendekati kiamat.
Selain itu, al-Qur’an bukanlah penghambat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi penjelasan kiamat atau kehancuran alam di atas sejalan dengan pendekatan ilmu
pengetahuan. Dengan pendekatan itu, diharapkan kiamat dapat dijelaskan secara lebih rasional
lagi dengan menggunakan berbagai teori-teori dan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
yang modern dengan masih berpijak pada al-Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia. Sehingga
antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan akan saling melengkapi dengan menghilangkan
dikotomi di antara keduanya. Oleh karena itu, bagi para ilmuwan dan umat Islam pada
umumnya serta penyusun pada khususnya, dapatlah mengembangkan diri dan bangkit serta
kembali menguasai ilmu pengetahuan, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai atau
diketahui.
Kiamat merupakan peristiwa yang bila ditinjau dari sisi sains, maka potensi alam
semesta ini berakhir akan sangat mungkin terjadi. Salah satu peristiwa alam yang menandai
awal kiamat ialah guncangan dahsyat. Dalam buku Tafsir Ilmi “Kiamat dalam perspektif Al-
Quran dan Sains” yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang &
Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengungkap mengenai keadaan Bumi pada hari Kiamat. Ada tanda-tanda yang bisa diamati
oleh mata manusia sebelum terjadinya kiamat. Ilmuwan bahkan telah mengemukakan skema-
skema yang terjadi seperti Bumi bertabrakan dengan planet lain atau hantaman asteroid dan
sebagainya.
Apapun skema atau teori yang diungkap ilmuwan, terdapat kekacauan besar yang akan
dialami oleh Bumi. Salah satunya ialah guncangan yang dahsyat yang terjadi di Bumi. Ayat
Al-Quran telah mengungkap mengenai peristiwa kiamat tersebut. “Apabila bumi digoncangkan
dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang

22
dikandung)-nya.” (QS. Az-Zalzalah:1-2). Kata az-Zalzalah (guncangan yang dahsyat) adalah
ism masdar (bentuk kata benda) dari zalzala – yuzalzilu – zalzalatan, yang mengguncangkan.
Dengan demikian, az-zalzalah berarti guncangan. Karena penyebutannya dalam Surah az-
Zalzalah diikuti oleh maf’ul mutlaq, maka kata ini dimaknai sebagai guncangan hebat yang
terjadi di seluruh penjuru Bumi. Dalam Al-Quran, kata ini dengan semua bentuk jadiannya
disebut sebanyak 6 kali, dua kali di antaranya disebut dalam Surah az-Zalzalah ayat 1. Ayat ini
menerangkan bahwa peristiwa kiamat diawali dengan guncangan yang dahsyat yang meliputi
seluruh Bumi. Fenomena gempa ini berbeda dengan yang selama ini terjadi, hanya bersifat
lokal dan tidak menyeluruh ke seantero Bumi. Peristiwa ini menjadi penanda yang
mengingatkan manusia bahwa akhir kehidupan dunia telah datang, yang diikuti kemudian oleh
kehidupan akhirat.

23
KEGIATAN BELAJAR 4:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Pengertian Qadha dan Qadhar. Pokok-pokok bahasan Qadha dan Qadhar.


Memahami konsep Takdir Pengertian Muallaq dan Mubram, dan arti kebebasan
manusia.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar.


2. Memahami konsep Takdir.
3. Mengetahui Pengertian Mubram.
4. Mengetahui Pengertian Muallaq.
5. Mengetahui Arti Kebebasan Manusia.

POKOK-POKOK MATERI

Konsep tentang Keimanan kepada Qadha dan Qadhar, Takdir, Pengertian Mubram
dan Muallaq, Arti Kebebasan Manusia.

URAIAN MATERI
A. PENGERTIAN QADHA DAN QADAR
Kita sejak lama menggunakan kata “qadha” dan “qadar”. kepercayaan terhadap konsep
kata ini juga merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Kita sering menggunakan
kedua kata itu secara bergantian untuk sebuah pengertian yang sama. Tetapi ulama menyimpan
penjelasan kedua kata tersebut yang mengandung pengertian berbeda. Di samping memiliki

1
pengertian berbeda, kata “qadha” dan “qadar” juga dipahami secara berbeda oleh para ulama
tauhid atau mutakallimin. Dengan kata lain, kelompok Asyariyyah, kelompok Maturidiyyah,
dan sejumlah kelompok ulama lainnya berbeda pendapat perihal pengertian kata “qadha” dan
“qadar”. Imam Nawawi mengatakan bahwa:

‫اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند األشاعرة إرادة هللا األشياء في األزل على ما‬
‫هي عليه في غير األزل والقدر عندهم إيجاد هللا األشياء على قدر مخصوص على وفق اإلرادة‬
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar.
Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali
untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut
mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai
dengan kehendak-Nya pada azali.”
Iman kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl
al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa
orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha
mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang
kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

ُ ‫أن تُؤْ ِمنَ ب ِاهللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬


)‫س ِل ِه َوتُؤْ ِمنَ بالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش َّر ِه (رواه مسلم‬ ْ ‫ان‬
ُ ‫اإل ْي َم‬

“Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,


Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik
maupun yang buruk”. (HR. Muslim).

Al-Qadlā maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbīr,


artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai
dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyī’ah) yang Azali (tidak bermula), di
mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki
oleh-Nya terhadap kejadiannya.
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian, yaitu: pertama; Kata al-
Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdīr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap
segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdīr” Allah ini tidak
boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap
segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah
terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna,
2
sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk,
kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya. Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala
sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdūr. Al-Qadar dalam
pengertian al-Maqdūr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk
ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan
dan kemaksiatan, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits
Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini
adalah dalam pengertian al-Maqdūr.
Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah
keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat,
adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan
maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka
perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan “buruk”
seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan
Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan
buruk. Sifat Taqdīr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan
sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba
melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri.
Adapun Taqdīr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa
Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula,
ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat.
Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang
baik maupun yang buruk.
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan
dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan
penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan
keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila
pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah,
maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak
Allah dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi.
Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

)‫َما شَا َء هللاُ َكانَ َو َما لَ ْم يَشَأ ْ لَ ْم يَ ُك ْن (رواه أبو داود‬

3
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak
dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya
maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka
hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah
Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal,
terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang
wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:

‫علَى ْأم ِره‬


َ ‫ب‬
ٌ ‫َوهللاُ غَا ِل‬

“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusan-Nya”. (Artinya, segala


sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang
menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).

Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman


kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-
orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi
orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-
Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:

‫ض ُكلُّ ُه ْم َج ِميعًا‬
ِ ‫َولَ ْو شَآ َء َرب َُّك أل َ َمنَ َمن ِفي اْأل َ ْر‬

“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang


ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99).

Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian


Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami,
bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu
yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya. Perkataan sebagian
orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang
tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan

4
yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau
kekufuran. Benar, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah,
tetapi Allah tidak memerintah kepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah;
“Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya
dan dengan Ilmu-Nya.
Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta
kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara
keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi
tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”.
Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah.
Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya
dengan perintah Allah.
Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya
adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk
menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim.
Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan
telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il,
namun Allah tidak berkehendak terjadinya sembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut.
Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril
dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara “perintah Allah” dan
“kehendak-Nya”. Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk
beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah
kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi
orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-
orang kafir. Allah berfirman:

َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج ّن َواإل ْن‬


‫س إالّ ِليَ ْعبُد ُْون‬

“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan”
mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56).

Makna firman Allah “illā lī-ya’budūn” dalam ayat di atas artinya “illā lī-‘āmurahum
bi ‘ibādatī”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia
perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan

5
manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika
diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah
kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena
pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara
mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah
dikalahkan oleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Syekh M Nawawi Banten memberikan contoh konkret qadha dan qadar menurut
kelompok Asyariyyah. Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi
apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.

‫فإرادة هللا المتعلقة أزال بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق اإلرادة‬
‫قدر‬
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim
atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu
setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,”

Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah


atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan
yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk
itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Singkat kata,
qadha adalah ilmu azali Allah atas sifat-sifat makhluk-Nya. Ada lagi ulama yang berpendapat
bahwa qadha adalah ilmu azali Allah dalam kaitannya dengan materi yang diketahui oleh-Nya.
Sementara qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu
Allah pada azali bahwa si A kelak akan menjadi ulama atau ilmuwan adalah qadha. Sedangkan
penciptaan ilmu pada diri si A setelah ia diciptakan adalah qadar, Imam Nawami menyatakan
bahwa:

‫وقول األشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخالف قول الماتريدية‬
‫وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى‬

“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas
qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini

6
berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha
dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya.”

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa qadha merupakan sesuatu yang
ghaib. Oleh karena itu, dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah keyakinan kita atas qadha dan
qadar itu tidak boleh menjadi alasan kita untuk bersikap pasif. Tradisi ahlussunnah wal jamaah
justru mendorong kita untuk melakukan ikhtiar dan upaya-upaya manusiawi serta
mendayagunakan secara maksimal potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia sambil
tetap bersandar memohon inayah-Nya. Misalnya, pada usia belasan dalam tradisi Islam
Nusantara sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala.

B. TAKDIR: MUBRAM DAN MUALLAQ


Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila
Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan
menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik
kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa
yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk
apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

َ ُّ‫ضا َء شَى ٌء إالّ الد‬


)‫عا ُء (رواه الترمذي‬ َ َ‫الَ يَ ُردُّ الق‬

“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi).

Qadla di dalam hadits di atas adalah Qadlā Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa
Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlā Mubram dan Qadlā Mu’allaq. Pertama: Qadlā
Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya
ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti
ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqāwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-
Sa’ādah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah
baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah
berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan
kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada
perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:

7
‫ِي َم ْن يَشَاء‬
ْ ‫ُض ّل َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهد‬
ِ ‫ي‬

“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).

Kedua, Qadlā Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran
para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia
berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan
mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau
tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan
rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ
Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-
lembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah
ketentuan (Taqdīr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah
bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha
mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi
padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. Namun demikian doa adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

‫ان فَ ْل َي ْست َ ِجيبُوا ِلي َو ْليُؤْ ِمنُوا ِبي‬


ِ ‫ع‬ ُ ‫يب أ ُ ِج‬
َ َ‫يب دَع َْوة َ الدَّاعِ ِإذَا د‬ َ ‫سأَلَ َك ِع َبادِي‬
ٌ ‫ع ِنّي فَإ ِ ِنّي قَ ِر‬ َ ‫َو ِإذَا‬
َ‫شدُون‬ ُ ‫لَ َعلَّ ُه ْم َي ْر‬

“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku,


maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan
permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka
memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka
mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti
akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya
yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari
kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya.
Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti

8
dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan.
Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai
kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun,
seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita
sebutkan di atas.
Pada nisfyu Sya’ban, dari dulu tradisi Islam Nusantara juga mengajukan tiga
permintaan kepada Allah SWT. Bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan
keimanan pada takdir? Dari semua itu kemudian tradisi Islam Nusantara beranggapan bahwa
doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfuzh.
Terkait ini, selanjutnya dikenal dengan istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan
tradisi Islam Nusantara. Doa atau permintaan masyarakat dalam nisfu Syaban atau melalui
bentuk sedekah dipercaya oleh tradisi Islam Nusantara dapat “mengubah” bala yang
ditakdirkan Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya
sangat berkaitan erat dengan doa.

.‫والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البالء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة‬
‫ أما الثانى فال استحالة في رفع ما علق رفعه‬.‫والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق‬
‫منه على الدعاء وال في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء‬

“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit).
Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa
‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha
muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan
apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil
mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.”

Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah
kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat
meminimalisir dampak bala yang timbul karena takdir mubram.

9
‫وأما األول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن هللا تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء‬
‫مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا هللا تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة‬
‫كالرمل وتنزل عليه‬

“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat
menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang
berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu
kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka
kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi
remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang
jatuh menimpanya.”

Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak
mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, ahlusunnah wal jamaah
memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada
umumnya aliran ahlusunnah wal jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan
menyerah begitu saja pada putusan takdir. Dari sini, kita dapat memahami tiga permintaan atau
doa yang lazim diamalkan masyarakat Indonesia di malam nisfu Syaban sebagai bentuk ikhtiar
dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.

‫وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع األشياء‬
‫مبرمة ألنه إن علم هللا حصول المعلق عليه حصل المعلق وال بد وإن علم هللا عدم حصوله لم‬
‫يحصل وال بد لكن ال يترك الشخص الدعاء اتكاال على ذلك كما يترك األكل اتكاال على إبرام‬
‫هللا األمر فى الشبع‬

“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfuzh.
Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah
mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak
boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah
muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan
doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan

10
seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal
kenyang.”

Sementara aliran muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata
‘doa’ dalam Al-Quran itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya
Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu demikian,
“Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”

‫وأما عند المعتزلة فالدعاء ال ينفع وال يكفرون بذلك ألنهم لم يكذبوا القرآن كقوله تعالى ادعوني أستجب لكم بل‬
‫أولوا الدعاء بالعبادة واإلجابة بالثواب‬
“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh
dalam kekufuran dengan pandangan demikian karena mereka tidak mendustakan Al-
Quran perihal ini seperti ayat ‘Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka
menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.”

Meskipun demikian, kelompok ahlusunnah wal jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan


aliran muktazilah ke dalam aliran kufur karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai
wahyu Allah. Semua pengertian yang diangkat oleh pendukung kelompok ahlusunnah wal
jamaah Asy’ariyah ini dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan
signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di
tengah peran atau ikhtiar manusiawi. Semua ini dijelaskan oleh pendukung kelompok
ahlusunnah wal jamaah asy’ariyah agar masyarakat sunni tidak bersikap su'ul adab dan
su'uzzhan kepada Allah.

C. KEBEBASAN MANUSIA DAN TAKDIR


Hampir setiap orang menginginkan kemauannya terwujud baik itu kemauan baik
maupun kemauan buruk. Hanya saja ada kemauan tertentu yang dapat terwujud dengan syarat-
syarat tertentu. Di sini hukum kausalitas berlaku. Tetapi ada juga kemauan orang-orang tertentu
yang terwujud tanpa bergantung pada syarat apapun. Meski demikian, kemauan yang terwujud
itu tak mungkin bersalahan dengan takdir Allah SWT sebagai tampak pada hikmah berikut ini.
‫سوابق الهمم ال تخرق أسوار األقدار‬

“Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir.”

11
Kalau mau dipetakan, menurut Syekh Zarruq kemauan manusia terdiri atas tiga macam.
Pertama, ada kemauan yang tinggal kemauan tanpa upaya dan tanpa hasil. Kemauan seperti
ini kerap kali kita dapati melekat pada banyak orang di sekitar kita terutama pada kebaikan
sehingga kita sering mendengar orang mengatakan, ‘Saya sebenarnya ingin sekali menghadiri
majelis taklim, menuntut ilmu,’ tanpa ada upaya riil. Kedua, kemauan kuat yang diiringi usaha
nyata dengan atau tanpa hasil. Ini kita temukan pada pegawai kantoran, petani, nelayan,
pemulung, pengusaha, dan seterusnya. Ketiga, kemauan kuat tanpa upaya, tetapi membawa
hasil. Kemauan seperti ini jarang kita temukan karena kemauan seperti ini hanya dimiliki oleh
para rasul, wali Allah, dan para wali setan seperti penyihir dan lain sebagainya.

‫ فقد قال‬،‫ حسبما دلت عليه العقول وقضايا الشرع والنقول‬،‫بل تدور مع القدر كيفما دار‬: ‫قلت‬
‫ وقال صلى هللا عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر‬.ً‫ش ْيءٍ ُم ْقتَدِرا‬
َ ‫علَى ُك ِّل‬ َّ َ‫هللا تعالى َو َكان‬
َ ُ‫َّللا‬
‫ وهي التى تقتضى العزم والحزم من‬:‫ الهمم القواصر‬:‫ وأنواع الهمم ثالثة‬.‫حتى العجز والكيس‬
،‫والهمم المتوسطة وهي التى توجب مع العزم فعال ومع الحزم كماال‬. ‫غير فعل وال انفعال‬
‫ والهمم السوابق وهي قوى النفس الفعالة فى الوجود بال توقف كما‬.‫سواء وقع انفعال أم ال‬
‫يكون من العائن عن خبثة ومن الساحر عن عقده ونفثه ومن المتريض عن تجريد قوى نفسه‬
‫ومن الولي عن تحققه فى يقينه إذ ال يتوقف انفعال فى كل عن حركة وذلك بقضاء وقدره كما‬
َّ ‫ارينَ ِب ِه ِم ْن أ َ َح ٍد ِإ َّال ِبإ ِ ْذ ِن‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫ وقد قال في حق السحرة َو َما ُه ْم ِب‬.‫هو‬
ِّ ‫ض‬
“Menurut saya, kemauan keras itu dapat terjadi sesuai ke mana takdir itu berpihak.
Hal ini ditunjukkan oleh dalil aqli dan naqli seperti firman Allah, ‘Allah menentukan
segala sesuatu,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Segala sesuatu itu sesuai dengan putusan
dan takdir termasuk kelemahan dan kecerdasan.’ Kemauan terbagi tiga. Pertama,
kemauan lemah, yaitu hasrat yang menghadirkan tekad dan keteguhan tanpa upaya
nyata dan pengaruh konkret (hasil). Kedua, kemauan standar, yaitu hasrat yang
melahirkan upaya nyata di samping tekad, dan totalitas di samping keteguhan baik
berhasil atau tidak atas upaya dan tekadnya. Ketiga, kemauan keras, yaitu hasrat
berupa kekuatan jiwa yang berpengaruh dalam dunia nyata tanpa tergantung pada
sebab seperti ahli hipnotis dengan mata, penyihir berdasar simpul-simpul peraga,
mereka yang melatih konsentrasinya dengan memfokuskan pikiran, atau seorang wali
berdasarkan keyakinannya. Pengaruh dari kemauan keras mereka atas sesuatu dapat
nyata terjadi tanpa didasarkan pada gerak (upaya). Tetapi semua itu terjadi

12
‫‪berdasarkan putusan dan takdir Allah. Allah berfirman mengenai para penyihir pada‬‬
‫‪Surat Al-Baqarah ayat 102, ‘Mereka tidak bisa memberi mudharat pada apapun selain‬‬
‫”‪dengan izin Allah.‬‬

‫‪Kemauan keras atau kemauan pada kategori ketiga dapat dikategorikan menjadi dua.‬‬
‫‪Pertama, kemauan untuk tujuan baik (kemauan mulia) seperti mencari ridha Allah,‬‬
‫‪kemakrifatan, dan seterusnya. Kedua, kemauan untuk tujuan buruk (kemauan tercela) seperti‬‬
‫‪kesenangan duniawi dan seterusnya. Tetapi sekuat apapun kemauan keras itu, putusan dan‬‬
‫–‪takdir Allah tetap mengatasinya sehingga para rasul, para wali Allah, dan hali makrifat lainnya‬‬
‫‪ketika kemauan kerasnya tak terwujud–tetap menjaga adab waktu.‬‬

‫ولما كانت همة الفقير المتجرد ال تخطيء في الغالب لقوله عليه السالم أن هلل رجاالً لو أقسموا‬
‫على هللا أل برهم في قسمهم قال شيخنا وهلل رجال إذا اهتموا بالشيء كان بإذن هللا وقال أيضا ً‬
‫عليه السالم اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور هللا خشى الشيخ أن يتوهم أحد أن الهمة تخرق‬
‫سور القدر وتفعل ما لم يجر به القضاء والقدر فرفع ذلك بقوله سوابق الهمم ال تخرق أسوار‬
‫األقدار‬
‫والهمة قوة انبعاث القلب في طلب الشيء واالهتمام به فإن كان ذلك األمر رفيعا ً كمعرفة هللا‬
‫وطلب رضاه سميت همة عالية وإن أمرا ً خسيسا ً كطلب الدنيا وحظوظها سميت همة دنية‬
‫وسوابق الهمم من إضافة الموصوف إلى الصفة أي الهمم السوابق ال تخرق أسوار األقدار أي‬
‫إذا اهتم العارف أو المريد بشيء وقويت همته بذلك فإن هللا تعالى يكون ذلك بقدرته في ساعة‬
‫واحدة حتى يكون أمره بأمر‪ ...‬فهمة العارف تتوجه للشيء فإن وجدت القضاء سبق به كان‬
‫ذلك بإذن هللا وإن وجدت سور القدر مضروبا ً عليه ال تخرقه بل تتأدب معه وترجع لوصفها‬
‫وهي العبودية فال تتأسف وال تحزن بل ربما تفرح لرجوعها لمحلها وتحققها بوصفها وقد كان‬
‫شيخ شيوخنا سيدي علي رضي هللا عنه يقول نحن إذا قلنا شيئا ً فخرج فرحنا مرة واحدة وإذا‬
‫لم يخرج فرحنا عشر مرات وذلك لتحققه بمعرفة هللا قيل لبعضهم بماذا عرفت ربك قال بنقض‬
‫العزائم وقد يحصل هذا التأثير للهمة القوية وإن كان صاحبها ناقصا ً كما يقع للعاين والساحر‬
‫عن خبثهما أو لخاصية جعلها هللا فيها إذا نظرا لشيء بقصد انفعل ذلك بإذن هللا وهذا كله أيضا ً‬
‫ال يخرق أسوار األقدار بل ال يكون إال ما أراد الواحد القهار قال تعالى "وما هم بضارين به‬
‫من أحد إال بإذن هللا" وقال تعالى "إنا كل شيء خلقناه بقدر وقال تعالى "وما تشاؤن إال أن‬
‫‪13‬‬
‫يشاء هللا" وقال صلى هللا عليه وسلم كل شيء بقضاء وقدر حتى العجز والكيس أي النشاط‬
‫للفعل وأشعر قوله سوابق أن الهمم الضعيفة ال ينفعل لها شيء وهو كذلك في الخير والشر‬
‫وفي استعارته الخرق واألسوار ما يشعر بالقوة في الجانبين لكن الحاصر قاهر فال عبرة بقوة‬
‫العبد القاصر وإذا كا نت الهمة ال تخرق أسوار األقدار فما بالك بالتدبير واالختيار الذي أشار‬
.‫إليه بقوله أرح نفسك من التدبير فما قام به غيرك عنك ال تقم به أنت لنفسك‬
“Ketika kemauan keras seorang sufi yang tajrid (sebuah maqam di mana
kebutuhannya tersedia tanpa usaha) tak pernah meleset karena sabda Rasulullah SAW
‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila bersumpah atas nama-Nya niscaya Allah
akan mewujudkannya,’ kata guru kami, ‘Allah mempunyai sejumlah hamba yang bila
menginginkan sesuatu niscaya terjadi berkat izin-Nya,’ dan sabda Rasulullah,
‘Takutlah kepada firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya Allah,’
Syekh Ibnu Athaillah khawatir seseorang mengira bahwa kemauan keras (himmah)
mereka dapat menerobos pagar takdir dan bergerak di luar ketentuan putusan dan
takdir Allah. Karenanya Syekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras
tak bisa menerobos pagar takdir...’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang
tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu
makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah
‘aliyah. Tetapi jika sesuatu itu nista, yaitu mengejar dunia dan bagian-bagian dari
duniawi, maka kemauan itu disebut himmah daniyyah. ‘Sawabiqul himam’ merupakan
pelekatan diterangkan (D) pada menerangkan (M). Maksud dari ‘Kemauan keras tak
bisa menerobos pagar takdir’ adalah bila seorang arifin dan murid memikirkan
sesuatu dan berkemauan keras, niscaya Allah mewujudkannya seketika dengan kuasa-
Nya hingga semua urusannya menjadi urusan Allah. Kemauan al-arif billah mengarah
pada sesuatu. Jika sesuai dengan putusan Allah, maka kemauan itu akan terwujud
dengan izin-Nya. Tetapi bila pagar takdir tertutup, maka keinginan itu tak bisa
menerobosnya tetapi justru ia menyesuaikan dengan adab yang seharusnya dalam
kondisi demikian terhadap Allah dan keinginan itu kembali pada sifatnya, yaitu
penghambaan tanpa penyesalan dan kesedihan. Bahkan ia menjadi senang karena
keinginan itu kembali pada tempatnya dan sesuai pada sifat aslinya. Guru dari guru
kami, Syekh Ali RA berkata, ‘Kami bila ingin sesuatu dan mengatakannya, lalu
terwujud, kami sekali senang. Tetapi bila keinginan kami tak terwujud, maka kami
sepuluh kali lipat senangnya.’ Hal ini terjadi karena kesejatian makrifatullah orang

14
tersebut. Ketika ditanya, ‘Dengan apa kau kenal Tuhanmu?’ Seorang ulama
menjawab, ‘Dengan pembatalan kemauan dan hasrat (kami).’ Kemauan kuat dapat
terwujud sekalipun orang yang menginginkannya tidak sempurna seperti mereka yang
mengandalkan kekuatan mata dan penyihir atau sebuah benda yang Allah berikan
keistimewaan padanya. Ketika keduanya memandang sesuatu dengan tujuan tertentu,
maka sesuatu yang dipandang itu akan berubah sesuai kemauan mereka berdua
dengan izin Allah. Semua itu juga takkan dapat menerobos pagar takdir. Itu terjadi
hanya karena kehendak Allah yang maha esa dan kuasa sesuai firman Allah, ‘Mereka
tidak bisa mencelakai seorang pun kecuali dengan izin Allah,’ ‘Sungguh, kami
menciptakan sesuatu dengan takdir,’ ‘Tidaklah kalian berkehendak kecuali Allah
menghendaki,’ dan sabda Rasulullah SAW, ‘Setiap sesuatu mesti sesuai putusan dan
takdir termasuk lemah dan kecerdasan (maksudnya semangat bergerak).’ Hikmah ini
menyatakan secara tersirat bahwa kemauan yang kendur dan lemah tidak membekas
apapun dalam kehidupan nyata sekalipun itu berupa kebaikan maupun keburukan.
Kata ‘menerobos’ dan ‘pagar’ mengisyaratkan kekuatan di kedua pihak. Tetapi
dinding yang memagari itu begitu perkasa sehingga tiada artinya kekuatan seorang
hamba yang serba terbatas. Kalau sebuah kemauan keras saja (dalam pengertian
Syekh Zarruq) tidak bisa menerobos pagar takdir, apa artinya gagasan yang masih
dalam rencana dan upaya sebagai diisyaratkan dalam hikmah Ibnu Athaillah
berikutnya, ‘Rihatkan dirimu dari rencana-rencana. Apa yang dilakukan oleh selainmu
(Allah) untukmu, jangan lagi kau melakukannya.”

Meskipun semua terjadi berdasarkan kehendak Allah, kita tetap harus


mempertimbangkan hukum kausalitas, hukum alam sebagai ketetapan Allah. Pasalnya, hukum
kausalitas dan hokum alam sebagai sunatullah cukup kuat dan kuasa. Syekh M Said Ramadhan
Al-Buthi menjelaskan bahwa:

‫إن الجواب يتلخص في أن التعامل مع هللا إنما يكون باالنسجام مع أوامره والتعامل مع نظامه‬
‫ وإذا‬،‫ وإذا ظمئنا أن نشرب‬،‫ وقد أمرنا إذا جعنا أن نأكل‬.‫الذي أقام هذا الكون على أساسه‬
.‫ وأن نأخذ حذرنا مما يبدو أنه سبب لآلالم أو الهالك أو األسقام‬،‫مرضنا أن نبحث عن الدواء‬
‫ وأن نعلم أن هللا هو‬،‫ وأن ال تأثير إال بحكم هللا‬،‫ثم أمرنا أن نعلم علم اليقين أن ال فاعلية إال هلل‬
‫الخالق لكل شيء واآلمر له بأداء الوظيفة التي وكلت إليه أ َ َال لَهُ ْالخ َْل ُق َو ْاأل َ ْم ُر‬

15
“Jawabannya dapat diringkas bahwa sikap kita terhadap Allah harus sesuai dengan
perintah-Nya. Sedangkan sikap kita terhadap sunatullah harus sesuai dengan hukum-
hukum alam yang ditetapkan oleh-Nya sebagai asas keteraturan alam. Allah
memerintahkan kita untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari obat bila sakit,
dan menjaga kesehatan serta waspada terhadap segala yang menyebabkan kita celaka
dan sakit. Kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk mengetahui dengan ilmul
yakin bahwa tidak ada satupun yang berbuat sesuatu selain Allah, tiada sesuatu
berpengaruh selain dengan sunatullah. Kita juga diperintahkan untuk meyakini bahwa
Allah menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan segala sesuatu di alam ini untuk
menjalankan tugas sesuai amanah yang dititipkan padanya sebagai firman Allah pada
Surat Al-Araf ayat 54, ‘Ketahuilah, di hanya milik-Nya segenap makhluk dan segenap
urusan.”

Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menempatkan takdir dengan menyarankan untuk


memperhatikan hukum kausalitas dan hukum alam. Meskipun sakit dan sehat adalah kehendak
Allah, kita sebagai manusia–menurutnya–harus tetap berupaya untuk menjaga kesehatan dan
berupaya hidup sehat. Di tangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, takdir mengajarkan kita
menjadi manusia secara wajar dan fithri. Jangan sekali-kali tidak tertib lalu lintas. Jangan
berdiam diri tanpa mencari obat ketika sakit meski kesembuhan ada di tangan Allah. Jangan
coba-coba berdiam diri tidak belajar, tidak sekolah, tidak ngaji, tidak mondok.
Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan
keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini
dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka
mengutip firman Allah:

‫ِك ْال َخي ُْر‬


َ ‫بِيَد‬

“Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dalam ayat di atas, terkesan Allah hanya menyebutkan kata “al-Khayr” (kebaikan)
saja, tidak menyebutkan al-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya
menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya. Kata al-Syarr (keburukan)
tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa
Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu

16
cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu
kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman
Allah:

َ ْ ‫س َرا ِبي َل ت َ ِقي ُكم بَأ‬


‫س ُك ْم‬ َ ‫س َرا ِبي َل ت َ ِقي ُك ُم ْال َح َّر َو‬
َ ‫َو َج َع َل لَ ُك ْم‬

“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari
dari panas”. (QS. an-Nahl: 81).

Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga
dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan
pemahaman firman Allah: “Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti
Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala
kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an
Allah berfirman:

‫َو َخلَقَ ُك ّل شَىء‬

“Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).

Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala
suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala
perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala
apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah:

‫ع ْال ُم ْل َك ِم َّمن تَشَآ ُء‬ ِ َ‫قُ ِل اللَّ ُه َّم َما ِل ِك ْال ُم ْل ِك تُؤْ ِتي ْال ُم ْل َك َمن تَشَآ ُء َوت‬
ُ ‫نز‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan


kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan
keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah

17
pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman
Allah:

َ ‫س ِيّئ َ ٍة َف ِمن نَّ ْفس‬


‫ِك‬ َ َ ‫سنَ ٍة فَ ِمنَ هللاِ َو َمآأ‬
َ ‫صابَ َك ِم ْن‬ َ َ ‫َّمآأ‬
َ ‫صابَ َك ِم ْن َح‬

Ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai
ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan
kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata
“Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah
atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat
yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana
yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan
oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.
Dalam hukum kausalitas, ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang
dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi
akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah
Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan
sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing.
Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah.
Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat
membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak
dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam
sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:

)‫ْب دَ َواء الدّاء بَ ِرأ بإ ْذ ِن هللاِ (رواه ابن حبان‬ ِ ‫إن هللاَ َخلَقَ الد َّوا َء َو َخلَقَ الدّا َء فَإذَا‬
َ ‫أصي‬ ّ

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala
penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”.
(HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits di atas, “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah”
adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena
ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan
berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal
jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang
18
sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan
kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut
akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “…
maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya
obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari
obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya
menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak
menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab
tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
Salah satu tanda orang mukmin sejati adalah memiliki sikap tawakal kepada Allah
subhānahu wa ta‘ālā. Tawakal merupakan bagian dari buah tauhid. Allamah Sayyid Abdullah
bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risālatul Mu‘āwanah wal Mudhāharah wal
Muwāzarah menjelaskan tentang tiga tanda orang yang benar-benar bertawakal sebagai
berikut:

‫ وعالمة ذالك‬،‫ األولى أن ال يرجوغيرهللا وال يخاف إال هللا‬:‫وللمتوكل الصادق ثالث عالمات‬
‫أن ال يدع القول بالحق عند من يُرجى و يُخشى عادة من المخلوقين كاألمراء والسالطين‬

“Ada tiga tanda bagi orang yang bertawakal dengan sebenarnya, yakni pertama, tidak
berharap kecuali kepada Allah sekaligus tidak takut kecuali kepada-Nya. Hal itu
ditandai dengan keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar di hadapan seseorang
yang umumnya orang memiliki harapan sekaligus merasa takut kepadanya seperti para
amir dan raja.”
Tanda pertama ini berkiatan erat dengan apa yang diucapkan seorang Muslim dalam
setiap menunaikan shalatnya, yakni pada saat membaca surah Al-Fatihah, ayat 5:

‫َّاك نَ ْستَ ِعي ُْن‬


َ ‫َّاك نَ ْعبُد ُ َو ِإي‬
َ ‫ِإي‬

“Hanya kepada Engulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan.”

Wujud menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah tentu saja tidak
hanya berupa shalat, tetapi juga dalam bertawakal kepada-Nya dalam seluruh urusan hidup dan

19
mati. Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak merasa takut untuk berkata
benar di depan para penguasa maupun orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa
saja. Demikian pula mereka tidak takut berkata “tidak” ketika suatu persoalan bertentangan
dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah meskipun mendapat ancaman atau hukuman
dari para penguasa maupun dari orang-orang kaya yang bisa memberikan fasilitas apa saja.
Jadi orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan menyerahkan seluruh
urusannya kepada Yang Maha Satu semata sehingga tidak ada yang mereka takuti kecuali
Allah.

‫والثانية أن ال يدخل قلبه ه ُّم الرزق ثقة بضمان هللا بحيث يكون سكون قلبه عند فقد ما يحتاج‬
‫اليه كسكونه في حال وجوده وأشد‬

“Kedua, tidak pernah merisaukan masalah rezeki disebabkan merasa yakin akan
adanya jaminan Allah sehingga hatinya tetap tenang dan tentram di kala suatu
keuntungan luput darinya, sama seperti di kala ia memperolehnya.” Tanda kedua ini
berkaitan erat dengan jaminan Allah tentang rezeki sebagaimana termaktub dalam
surah Al-An’am, ayat 151:

‫ن َْح ُن ن َْر ُزقُ ًك ْم َوإِيَّا ُه ْم‬

“Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu dan kepada mereka.”


Orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tidak menujukkan
kekhawatiran dan ketakutannya berkaitan dengan rezeki bagi dirinya maupun bagi orang-orang
yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan mereka meyakini kebenaran surah Al-
An’am, ayat 151 di atas. Allahlah yang memberi rezeki kepada setiap makhluk yang
diciptakannya. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah tetap
merasa tenang ketika kesulitan ekonomi sedang melanda baik dalam sekala terbatas mapun
luas sebagaimana ketika ekonomi sedang dalam puncak kesuksesan. Seorang karyawan
perusahaan yang terkena PHK karena sesuatu hal sedangkan ia benar-benar bertawakal kepada
Allah tentu bersikap tenang karena meyakini “Bos Besar” tidak pernah mem-PHK siapapun.
Dialah – dan bukan bos kecil - yang memberinya rezeki lewat pintu mana saja yang Dia
kehendaki.

20
‫والثالثة أن ال يضطرب قلبه في مظان الخوف علما منه أن ما أخطأه لم يكن ليصيبه وما أصابه‬
‫لم يكن ليخطئه‬

“Ketiga, tidak pernah hatinya terguncang pada saat diperkirakan akan datangnya
suatu bahaya disebabkan ia yakin sepenuhnya bahwa tak satu pun ditetapkan ia
terhindari darinya, akan tetap menimpanya; dan tak satu pun ditetapkan akan
menimpanya, akan terhindar dari dirinya.”
Tanda ketiga ini berkaitan dengan keyakinan akan ketetapan Allah. Orang-orang yang
benar-benar bertawakal kepada Allah tentu bersikap tenang menghadapi segala keadaan yang
mungkin terjadi disebabkan keridhaannya atas apa yang telah ditetapkan-Nya. Ancaman
bahaya sebesar apapun tidak akan mengguncangkan jiwa mereka. Mereka meyakini apa yang
akan terjadi kepada mereka hanyalah apa yang telah ditetapkan-Nya. Singkatnya, orang-orang
yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan terlihat tanda-tandanya dari tiga hal. Pertama,
mereka mandiri dan berani dalam mengatakan kebenaran tanpa rasa takut akan hukuman dari
orang-orang berkuasa dan berpengaruh. Kedua, mereka tidak merisaukan soal rejeki karena
meyakini Allah telah menjamin rezeki bagi semua yang diciptakan-Nya. Ketiga, mereka
bersikap tenang terhadap musibah yang akan menimpa atau tidak akan menimpa mereka karena
mengimani takdir dan iradat Allah.

21
KEGIATAN BELAJAR 1:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis hakekat akhlak dan kekuatan pendukungya dalam jiwa


manusia

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.


2. Membedakan potensi-potensi jiwa; Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab,
Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3. Menganalisis terbentuknya akhlak al-karimah dengan sumber-sumber
kemuliaan; hikmah, syaja'ah, iffah, dan ‘adalah

URAIAN MATERI
1. DEFINISI AKHLAK AL-KARIMAH
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tidak perlu
tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada yang
tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh “ ‫”من جد وجد‬
Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫خلق‬/khuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut
mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫خلق‬/khalqun berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan ‫خالق‬/khalik yang berarti pencipta, demikian pula ‫مخلوق‬/makhluqun yang
berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak
Tasawuf, 2008: 11)

1
Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut
para ahli berikut:
a. Ibnu Miskawih

‫الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وال روية‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir
dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi
jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-
tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara
sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali

ُ ِ‫صد ُِر ْاْل َ ْفعَا َل ب‬


‫س ُهولَة َويُ ْسر‬ ْ ُ ‫الخلق عبارة عن َه ْيئَة فِي النَّ ْف ِس َرا ِسخَة َع ْن َها ت‬
‫ِم ْن َغي ِْر َحا َجة إِلَى فِ ْكر َو َر ِويَّة‬
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang
tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging
yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat
spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.
Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung
ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

c. Prof. Dr. Ahmad Amin


Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab
al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang dibiasakan,
bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut jantung,
kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau
buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk
perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.

2
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih
banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar
(ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga
sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih
ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan menganalisis
unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi terbentuknya
akhlak.

2. KEKUATAN JIWA DAN SUMBER TERBENTUKNYA AKHLAK AL-


KARIMAH

Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira


Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan sendirinya?
Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-betul mendarah
daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak seseorang itu harus dididik
dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di mana ia tinggal sampai benar-
benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu
memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut. Baik
bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga kekuatan
(al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia. Sementara Imam Al-
Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha dengan ditambahkan satu
kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat kekuatan (al-quwwah) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936), keempatnya adalah sebagai berikut:

1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah
manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong
dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan,
mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi
pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan
mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih
maju dari sebelumnya.

3
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala
sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
ُ
‫يرا َو َما يَذَّ َّك ُر ِإ َّال‬ َ ِ‫ت ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد أوت‬
ً ِ‫ي َخي ًْرا َكث‬ َ ْ‫يُؤْ تِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُؤ‬
)269:‫ب (البقرة‬ ِ ‫أُولُو ْاْل َ ْل َبا‬
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah
maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya
orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-
Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing
kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa
manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah
satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama
diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:

ُ‫ "إِنَّ َما بُ ِعثْت‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى للا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬،َ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة‬
َ ِ‫سو ُل للا‬ َ
)‫ق" (رواه احمد‬ َ ‫ِْلُت َ ِم َم‬
ِ ‫صا ِل َح ْاْل َ ْخ ََل‬
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya
berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya untuk
mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan
kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak
mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami konsep
hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir
(baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam
pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-
‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.

a. Husnu at-Tadbir

4
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni cerdas
dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan). Ia akan
bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai urusan, sesulit
apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi mampu
memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil
keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia
dalam berbagai urusan kehidupan.
b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni


memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika
dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-
pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang
memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang
dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia
akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang
terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama
memikirkannya.

Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi
dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb
terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya
kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali tidak
benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot
dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.

5
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam
membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat membentuk
konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang perbuatan itu
baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila konsep dirinya
buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup
melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke
dua yaitu Quwwah al-Ghadhab.

2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan memdapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia
bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta
menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa
berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan
bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga
berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang
diyakininya benar.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran
Saudara mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih
fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat
turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil
atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang menyangkut
kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong
siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan
penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka
harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh

6
kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit
manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri
dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak
terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam
menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam
menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,
banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.
Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang
tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam
seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-
Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia
bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya
(Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut
tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan
resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia
bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri
dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian
adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan
memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan
berikutnya, yakni Quwwah asy-Syahwah

3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang
yang mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang
bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari makanan dan

7
minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia
menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-
Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri
dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang
yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun
jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah
sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan
daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan
membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia.
Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. ‫الحياء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya.
Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak
ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan
damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri seseorang dalam
melakukan kemaksiatan
b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw.,
sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang
berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela
menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat
menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat
dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat hasud
dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi
memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan
dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun
sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang
yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan
tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian,
kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.

8
d. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir
membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat,
yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam
semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari
itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir, ria,
hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah, kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni
Quwwah al-‘Adl

4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang
diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan
penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak
menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya
juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan
menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan menjadi
sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan yang
benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan
serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya
sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh akal
yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi sumber
berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan syariat condong
pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada
sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-
lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila

9
congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila condong
pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus (‘itidal)
dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya.
Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok
keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.

10
KEGIATAN BELAJAR 2:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis hakekat amal shaleh dan unsur-unsur iman yang mendasari
dalam implementasinya.

INDIKATOR KOMPETENSI

Mendefinisikan hakekat amal Shalih.


1. Menganalisis terbentuknya amal Shalih, berdasarkan konsep iman; tawakkal,
ikhlas, shabar, dan syukur.
2. Membedakan antara amal Shalih dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AMAL SHALIH
Menurut bahasa “Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat, selamat, atau
cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan sebagai semua perbuatan yang sesuai
dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Amal shalih juga disefinisikan sebagi
perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan
rahmat dan ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt. sebagai Khalik,
maka amal shalih dapat didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilakukan hamba kepada
Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang didasari dengan iman. Didasari dengan iman
artinya disyaratkan dengan keyakinan dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman kepada Allah
Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal. Ini sebagai syarat
supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar. Kemudian ia harus ikhlas hanya karena

1
Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam pelaksaanya. Dan terakhir ridha terhadap semua
keputusan Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal kita.
Untuk lebih mudah memahami hakekat dari amal shalih Saudara dapat melihat gambar
di bawah ini.

AMAL SHALIH
PUNYA RENCANA YANG MATANG (TEKAD DAN TAWAKKAL)?

TIDAK YA
DIMULAI DENGAN IKHLAS, NIAT
SALAH/BATAL/RUSAK HANYA KARENA ALLAH ?

TIDAK YA
DIAMALKAN DENGAN SABAR DAN
SALAH/BATAL/RUSAK ATAU SYUKUR?

TIDAK YA
RIDHA DENGAN KEPUTUSAN ALLAH?
SALAH/BATAL/RUSAK

TIDAK
Keterangan:
YA
SALAH/BATAL/RUSAK
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh atau tidak, Saudara harus menjawab “YA”
pmelalui proses sebagai berikut:
1. Sebelum mengamalkan sesuatu pastikan dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri,
apakah Saudara sudah mempunyai rencana yang matang? Rencana yang didasari
iman dan pengetahuan yag cukup tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena
siapa yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara
“TIDAK” berarti salah, batal atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat

2
dikategorikan amal shalih, meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik.
Jika jawaban Saudara “YA”, maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah, maka tanyakan lagi apakah yang Saudara
amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. semata. Dan
menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya? Apabila jawaban Saudara
ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh selain Allah Swt. apalagi ingin
imbalan dari yang lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara
hakekatnya “TIDAK” dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan pertanyaan berikutnya. Apakah ketika
menjalankan pekerjaan tersebut bersabar apabila susah atau bersyukur jika
menyenangkan? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah,
batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka tanyakan kembali apakah setelah selesai
Saudara ridha denga hasil pekerjaan atau amal Saudara sebagai takdir terbaik yang
Allah berikan kepada Saudara? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal
Saudara salah, batal atau rusak. Dan sebaliknya jika Saudara menerima InsyaAllah
akan menjadi amal shalih. Amin Ya Rabbal Alamin.

3
2. AMAL SHALIH SEBAGAI AKHLAK AL-KARIMAH KEPADA ALLAH SWT.

Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah
mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat dikategorikan
sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya kepada-
Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56 sebagai berikut:

)56:‫ون (الذاريات‬
ِ ‫س ِإّل ِل َي ْعبد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقت ْال ِجن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai ibadah dan
menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah Swt. dan ridah
penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya sudah disampaiakan dalam ajaran
Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan iman;
diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan sabar dan atau
syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt.
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal shalih dengan
baik!

a. Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul dari
akar kata ‫ َو َك َل‬/wakala) yang berarti lemah. Adapun ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul berarti
menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada orang
lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya
dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-
Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa
at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari
keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan
ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia terdiri dari suatu
ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil), serta
keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan diri

4
kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam
kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin
menjelaskan bahwa Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan
menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’
bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat
memperolehnya.
Allah Swt. berfirman:

ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬
ََ ‫ب َّل ْنفَضُّوا ِم ْن َح ْو ِل‬ َ ‫ظا َغ ِلي‬ ًّ َ‫ت ف‬
َ ‫ت لَه ْم َولَ ْو ك ْن‬
َ ‫َف ِب َما َر ْح َمة ِمنَ ّللاِ ِل ْن‬
ِ‫ت فَت َ َوك ْل َعلَى ّللا‬َ ‫فَاعْف َع ْنه ْم َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَه ْم َوشَا ِو ْره ْم فِي ْاْل َ ْم ِر فَإِذَا َعزَ ْم‬
)159 :‫إِن ّللاَ ي ِحبُّ ْالمت َ َو ِك ِلينَ (آل عمران‬
Artinya:
Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka.
Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari
sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah
bermusyawarah mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang). Lalu
apabila Engkau telah memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali
Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap
rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir,
selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu
dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai
urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah
lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu
bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku
tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon
pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal

5
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu,
sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan
kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi
di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut
melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak
dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi
sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila
pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil
dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan
berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:

‫ " إِذَا خ ََر َج الرجل‬:‫ قَا َل‬،‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ أَن النبِي‬،َ‫َع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِل‬
‫ يقَال‬:‫ قَا َل‬،ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل ِباَّلل‬،ِ‫ِم ْن بَ ْيتِ ِه فَقَا َل بِ ْس ِم ّللاِ ت َ َوك ْلت َعلَى ّللا‬
:‫طان آخَر‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫ فَيَقول لَه‬،‫اطين‬ ِ َ‫ فَتَتَنَحى لَه الشي‬،‫يت‬ َ ِ‫ َووق‬،‫يت‬َ ‫ َوك ِف‬،‫ِيت‬ َ ‫ هد‬:‫ِحينَئِذ‬
)‫ي؟ "رواه ابو داود‬ َ ِ‫ي َووق‬ َ ‫ْف لَ ََ ِب َرجل قَ ْد هد‬
َ ‫ِي َوك ِف‬ َ ‫َكي‬
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang
َ ‫ ت ََوك ْلت‬،ِ‫’بِس ِْم ّللا‬,
laki-laki keluar dari rumahnya, lalau membaca ‘ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل بِاَّلل‬،ِ‫علَى ّللا‬
maka pada saat itu dikatakan kepadanya: engkau telah diberi hidayah, engkau telah
dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain
berkata kepadanya, Bagaimana bisa menggoda dengan laki-laki ini yang sudah
diberijamin hidayahnya, kecukupannya dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu dilakukan
sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana yang
kita buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak dapat
mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur yang
menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana
Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana,
sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan
Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan belajar
konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.

6
b. Ikhlas

Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ْ
‫إخالص‬/ikhlas َ َ‫أخل‬/akhlasa
merupakan bentuk mashdar dari ‫ص‬ ْ yang berasal dari akar
kata ‫خلص‬/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan
sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara lain
adalah sebagai berikut:
1). Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah
SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-
Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti
menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta
tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid
Ridha,1973, hlm. 475).
2). Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan
semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata
kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang
mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan
seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan,
harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah

7
Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6: 162-163. Demikian juga dalam
firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada Allah.
Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya
disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan harga
sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan kita
(QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata
sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam
harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di
antaranya:
1). Ria, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT.,
akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau
kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar
di dalam firman Allah SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah
satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat
dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Ada pun tanda-tanda orang
yang riya’, adalah: (1). Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji
atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan
meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan, (b). Tekun
dalam beribadah apabila di depan orang banyak akan tetapi malas apabila
dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi atau sedekah apabila dilihat orang
banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya, (d). Berkata dan
berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Akan tetapi karena
mengharap pamrih kepada manusia
2). Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya
mendapat penilain dan dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya
sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan
sehingga perlu diceriterakan.
3). Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan
keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan
karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham tentang ikhlas sebagai nilai landasan
amal manusia supaya bisa menjadi amal shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai

8
keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin
baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan
keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan
didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:

‫ت أ َ ْع َماله ْم فَ َال ن ِقيم لَه ْم َي ْو َم‬ َ ‫ت َر ِب ِه ْم َو ِلقَا ِئ ِه فَ َح ِب‬


ْ ‫ط‬ ِ ‫أولَ ِئ ََ الذِينَ َكفَروا ِبآ َيا‬
)105:‫ْال ِقيَا َم ِة َو ْزنًا (الكهف‬
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat
Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal
mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS.
Al-Kahfi/18: 105)

c. Sabar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi


cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal
dari bahasa arab, yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata
lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah
menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam
derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti
“menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”.
Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang
terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
(1). Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang yang
sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada, (2). Sabar adalah
keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi
dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar adalah tabah hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna kemampuan
mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang berbeda-beda

9
sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi musibah,
sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar, (2). Shabar itu
dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan hidup
yang menyenangkan, (3). Shabar dalam peperangan disebut pemberani,
kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar dalam menahan marah disebut santun
(hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi
bencana yang mencekam disebut lapang dada (ridha), (6). Shabar dalam mendengar
gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7). Shabar terhadap kemewahan
disebut zuhud, dan (8). Shabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati
(qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat difahami bahwa shabar itu
merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri untuk dapat tetap taat terhadap
aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan perintah Allah
Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu mulai dari
awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai takbiratul
ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia tidak
melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Dan
shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal sampai
akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya
“Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum
jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak. Dan sesuatu
yang masih bersifat umum atau masih mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan,
tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya
sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar
tidak ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:

‫صا ِبروا َو َرا ِبطوا َواتقوا ّللاَ لَ َعلك ْم ت ْف ِلحونَ (ال‬ ْ ‫َيا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا ا‬
َ ‫صبِروا َو‬
)200:‫عمران‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam
kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah
dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang berakhir.

10
Tidak boleh melanggar strategi dan aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang
ditetapkan Allah. Sama dengan tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai
shalat berakhir. Apabila melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah,
batal dan rusak. Dan berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan yang cukup tentang apa yang
sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan dapat shabar, karena
kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebab
tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar mengikuti Nabi Khidir AS.,
dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud dan apa yang akan terjadi.
Allah Swt. berfirman:
ْ ‫ص ِبر َعلَى َما لَ ْم ت ِح‬
)68:‫ط ِب ِه خب ًْرا (كهف‬ َ ‫َو َكي‬
ْ َ ‫ْف ت‬
Artinya:
“Bagaimana mungkin engkau dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu
persis masalahnya”

d. Syukur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan
sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk
mashdar dari kata kerja syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa syukranan..
Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti
menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu
kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya. Dalam
hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-
Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish
Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati,
yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan
mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan,

11
yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan
penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang
ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka
harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus
bersyukur. Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur)
kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah
tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:

‫ " َع ِجبْت ِم ْن أ َ ْم ِر‬:‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسول للا‬:‫َع ْن ص َهيْب قَا َل‬
‫ ِإ ْن‬،‫ْس ذَ ِل ََ ِْل َ َحد ِإّل ِل ْلمؤْ ِم ِن‬ َ ‫ َولَي‬،‫ ِإن أ َ ْم َر ْالمؤْ ِم ِن كله لَه َخيْر‬،‫ْالمؤْ ِم ِن‬
َ‫ َكان‬،‫صبَ َر‬ َ َ‫ضراء ف‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ ‫ َوإِ ْن أ‬،‫ َكانَ ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا‬،‫ش َك َر‬
َ ‫سراء‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ‫أ‬
)‫ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا "(رواه احمد‬
Artinya:
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan
orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu
tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan lalu
ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia
ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi kebaikan (HR.
Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi kebaikan
bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena memang
tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan nilai ibadah itu
bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang
shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam
kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama
kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di atas? Sudah
nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.

e. Ridha
Menurut bahasa kata ‫الرضا‬/ridha berasal dari bahasa Arab yang berarti
senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫السخط‬/al-sukht yang berarti
kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang ‫الرضا‬/ridha berarti orang yang

12
sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di
dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha didefinisikan antara lain oleh; (1). Dzunnun
Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi
qadha tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha adalah menerima
kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi,
atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang
dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-Barkawi
berpendapat bawa ridha adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya
dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata,
“ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya,
yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa ridha itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik
berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan
senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti inilah
yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah Swt. dan
merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya
merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia ridha
dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas
musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak
gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan berarti tidak merasakan bencana.
Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri
mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti
inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa
penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang
berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana
dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai ketentuan yang
telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi dengan senang
hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia, karena seseorang
yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli terhadap komentar apapun dari

13
orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati, sehingga
hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan
Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang tidak
ridha dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah sebagai
Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam
perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan
akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin
Malik sebagai berikut:

َ ‫صلى ّللا َعلَ ْي ِه َو‬


‫ قَا َل‬:‫سل َم يَقول‬ َ ِ‫س ِم ْعت َرسو َل للا‬َ :‫عن أ َنَس بِ ْن َما ِلَ قَا َل‬
‫س َربًّا َغي ِْري "(رواه‬ ْ ‫ضائِي َوقَدَ ِري فَ ْليَ ْلت َ ِم‬ َ ‫ " َم ْن لَ ْم يَ ْر‬:‫للا ت َ َعالَى‬
َ َ‫ض بِق‬
)‫البيهقي‬
Atinya:
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda,
Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdirku, maka
hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain Aku” (HR. Baihaki)

14
KEGIATAN BELAJAR 3:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis kategori akhlak al-karimah yang manfaatnya kembali


kepada diri sendiri

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menemukan kategorisasi akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri.


2. Menganalisis akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri; khauf dan
raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah
3. Membedakan sebab dan akibat dari akhlak al-karimah pada diri sendiri; khauf
dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
Berbicara akhlak adalah berbicara mengenai perbuatan baik dan buruk. Perbuatan baik
yang dimaksud adalah perbuatan yang membawa manfaat dan kemuliaan. Sebaliknya
perbuatan buruk maksudnya ialah perbutan yang menyebabkan kemadharatan dan kehinaan.
Dengan demikian dapat difahami bahwa akhlak terhadap diri sendiri dasarnya adalah
sifat jiwa yang sudah mendarah daging yang dapat menjadi inspirasi dan mendorong
perbuatan-perbuatan yang akibatnya kembali pada dirinya sendiri, baik itu perbuatan yang
bermanfaat maupun perbuatan yang madharat. Meski hakekatnya tidak ada satupun manusia
di dunia ini yang ingin mendapatkan keburukan apalagi keburukan tersebut jelas dari akibat
perbuatannya, tatapi realitanya banyak orang yang berakhlak buruk terhadap dirinya sendiri
Sejatinya apabila Saudara sudah beramal shalih, maka berarti Saudara telah berakhlak
baik kepada Allah Swt., kepada diri sendiri dan kepada sesama makhluk. Masih ingatkan kan,

1
pengertian amal shaleh dan hakekat implementasi imannya? Semua perbuatan yang dilakukan
seorang hamba karena Allah Swt. semata sebagai bentuk pengabdiannya, yakni amal yang
implementasinya didasari dengan hakekat tauhid.
Akhlak yang mulia kepada diri sendiri adalah bagian dari amal shalih. Sebagai contoh
sifat malu. Sifat malu bisa baik dan sebaiknya bisa buruk bagi seseorang. Apabila ia malu
melakukan sesuatu karena Allah, dipastikan ia malu meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan oleh-Nya, atau melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Sifat malu seperti ini,
adalah bagian dari keshalehan seseorang dan akan memberikan manfaat bagi dirinya serta akan
menyebabkan ia akan menjadi orang mulia.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!

2. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI


Setelah Saudara memahami dengan saksama mengenai akhlak terhadap diri sendiri,
bagaimana apa saja kira-kira yang termasuk akhlak terhadap diri sendiri? Ingat indikatornya
adalah sifat perbuatan yang langsung berpengaruh atau berakibat baik atau memberi manfaat
dan menjadikan derajatnya mulia bagi diri orang yang menyandangnya. Sifat tersebut akan
menagantar pemiliknya menjadi orang yang sukses dunia akhirat.
Untuk lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di masud di
atas, yaitu; khauf dan raja’, malu, rajin, hemat dan istiqamah. Dengan kelima sifat tersebut
apabila sudah terpatri dalam jiwa, insyaAllah Saudara akan dapat menjadi pribadi sukses dunia
akhirat.
Selanjutnya mari kita bahas satu persatu:

a. Khauf dan Raja’

Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khaufa adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan
yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat.
Sedangkan raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai
kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi
seorang muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada
satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan seorang muslim.
Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf. Ada beberapa alasan: Pertama,
supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu
selalu menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan tidak ada kata berhenti

2
dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus membuat nafsu menjadi takut.
Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia
keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya,
“Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita sedang
dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling
bersih dan paling taat adalah di antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus tetap
dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan
berbagai macam bahayanya.
Allah Swt. berfirman;
)32:‫ فل تُز ُّكوا أ ْنفُس ُك ْم هُو أعْل ُم ِبم ِن اتَّقى (النجم‬...
“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling
bertakwa.” (QS an-Najm, 53: 32).
Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah
pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat dan setan
senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt. berfirman:
ُ ‫ث ُ َّم َلتِينَّ ُه ْم ِم ْن بي ِْن أ ْيدِي ِه ْم و ِم ْن خ ْل ِف ِه ْم وع ْن أيْمانِ ِه ْم وع ْن شمائِ ِل ِه ْم ول ت ِجد‬
)17:‫أ ْكثر ُه ْم شا ِك ِرين (األعراف‬
Artinya:
Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engka tidak akan mendapatka mereka banyak
bersyukur. (Al-‘Araf/7: 17)
Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan.
Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan
untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak
mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu.
Kedua, agar tetap tenang dengan berbagai kesulitan hidupnya. Ketika orang
benar-benar menyukai sesuatu, tentu ia sanggup memikul beban beratnya. Bahkan
merasa senang dengan keadaan sulitnya itu. Seperti orang yang mengambil madu di
sarang lebah, ia tidak akan pedulikan sengatan lebah itu, karena ingat akan manisnya
madu.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku apabila
ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan
bidadaribidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya,

3
keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang disediakan Allah di
dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab
dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar,
roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir
bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu
diasupkan bersama-sama, tambah sufi terbesar sepanjang masa ini.
Bagaimana kalau orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya
harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat apa-apa.
Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang sukses.

b. Malu
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau
segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang
menurut istilah adalah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak enak
apabila meninggalkan kewajiban-kewajiabannya sebagai hamba Allah Swt dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan
yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat
malu karena dapat menyebankan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak
memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa
nafsu.
Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki
sifat ini apabila melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan
menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa
saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya
perasaan malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa malu merupakan perasaan
tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak lain, yakni Allah semata.
Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut:

)‫ (رواه مسلم‬... ‫ فإ ِ ْن ل ْم ت ُك ْن تراهُ فإِنَّهُ يراك‬،ُ‫ّللا كأنَّك تراه‬


َّ ‫أ ْن ت ْعبُد‬...
Artinya:

4
Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-
akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa
kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu
disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu maka
sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu darinya
tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya. Atau dengan kata malu
adalah sifat yang melekat pada diri seseorang itu sangat terkait dengan kualitas
imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. sebagai
berikut:

:‫ي صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم‬


ُّ ‫ قال النَّ ِب‬:‫ قال‬،‫ّللاُ ع ْن ُهما‬
َّ ‫ضي‬ِ ‫عمر ر‬ ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
)‫ فإِذا ُر ِفع أحدُهُما ُر ِفع ْاَلخ ُر» (رواه الحاكم‬،‫ان قُ ِرنا ج ِميعًا‬ ِ ْ ‫« ْالحيا ُء و‬
ُ ‫اْليم‬
Artinya:
Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda:, Malu dan iman senantiasa
bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR.
Hakim)
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam
dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda, ''Iman itu
lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha
illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan
rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang
hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw. sebagai berikut:

‫ّللا ع َّز وج َّل ِإذا‬ َّ ‫ « ِإ َّن‬:‫ قال‬،‫ي صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم‬ َّ ِ‫ أ َّن النَّب‬،‫عمر‬ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
‫ ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل م ِقيًًا‬،‫ فإِذا نزع ِم ْنهُ ْالحياء‬،‫ نزع ِم ْنهُ ْالحياء‬،‫أراد أ ْن يُ ْه ِلك ع ْبدًا‬
ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ فإِذا نُ ِزع‬،ُ‫ت ِم ْنهُ ْاألمانة‬ ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل م ِقيًًا ُممقًًَّا‬،‫ُممقًًَّا‬
ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل خائِنًا ُمخ َّونًا‬،‫ ل ْم ت ْلقهُ ِإ َّل خائِنًا ُمخ َّونًا‬،ُ‫ْاألمانة‬
5
‫ فإِذا ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل‬،‫ ل ْم ت ْلقهُ إِ َّل ر ِجي ًما ُملعَّنًا‬،ُ‫الر ْحمة‬
َّ ُ‫ت ِم ْنه‬ ْ ‫ فإِذا نُ ِزع‬،ُ‫الر ْحمة‬ َّ
)‫اْل ْسل ِم (رواه ابن ماجه‬ ِ ْ ُ‫ت ِم ْنهُ ِربْقة‬
ْ ‫ نُ ِزع‬،‫ر ِجي ًما ُملعَّنًا‬

Artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, ''Sesungguhnya Allah
apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang
itu. Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya
maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati.
Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat.
Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk
yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka
akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
1). Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan
kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya
meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat.
2). Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak
melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala
sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat
memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan
dosa.
3). Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan
hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan
dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang
dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara
dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman seseorang.

c. Rajin
Menurut bahasa rajin berarti suka bekerja, getol (sungguh-sungguh bekerja),
giat berusaha dan kerapkali; terus-menerus. Kata rajin sangat terkenal dengan sebuah
peribahasa “rajin pangkal pandai”

6
Sifat rajin dapat difahami sebagai kondisi jiwa yang dapat mendorong
kesungguhan untuk melakukan kegiatan tertentu secara terus-menerus dalam mencapai
suatu tujuan. Kebalikannya adalah sifat malas, sifat yang melekat dengan kuat di dalam
sudah yang mendorong seseorang tidak mau, segan atau tidak berminat melakukan
sesuatu.
Perlu difahami bahwa perubahan kondisi dalam hidup kita sangat ditentukan
dengan tingkat keseriusan dan kerja keras yang kita lakukan. Allah Swt. tidak akan
pernah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu berusaha untuk mengubah apa
yang ada di dalam dirinya. Allah Swt. berfirman sebagai berikut:

)11 :‫ّللا ل يُغ ِي ُر ما ِبق ْوم حًَّى يُغ ِي ُروا ما ِبأ ْنفُ ِس ِه ْم (الرعد‬
َّ ‫ِإ َّن‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka
mau merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’du/13: 11)

Merubah sesuatu yang ada di dalam diri mereka (manusia) yang dimaksud
adalah merubah akhlaknya. Terutama dalam hal ini merubah sifat-sifat yang
membangun seperti sifat malas menjadi rajin, boros/pelit menjadi hemat dan lain-lain.
Siapa yang bau berubah nasibnya menjadi lebih baik maka ia harus merubah sifat-sifat
destruktif menjadi sifat-sifat yang konstruktif.
Keberhasilan tak akan pernah datang hanya dengan mengkhayal. Sunnatullah
dalam kehidupan ini menegaskan bahwa tidak mungkin kita kenyang hanya dengan
mengkhayal, tetapi rasa kenyang akan datang setelah kita makan, begitu pun juga
kesulitan hanya akan dapat diatasi ketika kita melakukan usaha untuk mengatasinya.
Rezeki akan datang ketika kita berusaha untuk menjemputnya, dan tidak akan pernah
datang hanya dengan bermimpi.
Pentingnya usaha atau ikhtiar yang kita keluarkan dalam mencapai suatu tujuan
yang kita harapkan itu menjadi landasan penting dari kesungguhan kita dalam
bertawakal kepada Allah Swt. Bertawakal bukanlah berpasrah tanpa usaha, tawakkal
ialah upaya yang diawali kebulatan tekad, menyusun rencana yang matang berdasarkan
kemampuan dan ilmu yang kita miliki.
Jihad juaga jangan hanya dimaknai sebatas mengangkat senjata, tapi pelajaran
penting dari jihad adalah bagaimana pentingnya motivasi untuk berusaha. Pergi ke

7
medan perang membutuhkan kekuatan lahir dan batin, butuh kekuatan untuk mengusir
rasa malas dan rasa takut.
Mungkin kita harus merenungkan pula, jika saja para sesepuh dan tokoh bangsa
ini di masa lalu tak mampu mengusir rasa malasnya, nikmat kemerdekaan negara ini
belum tentu sebaik seperti yang kita rasakan.
Terkait dengan sifat malas sebagai penyakit yang harus diperangi, Rasulullah
Saw. mengajarkan kepada kita sebuah doa yang sering beliau panjatkan kepada Allah
Swt. seperti diriwayatkan dari Anas ra. sebagai berikut:

،ِِ‫ّللاِ صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم يًع َّوذُ ِبهؤُل ِء ْالك ِلما‬ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ كان ر‬:‫ع ْن أنس قال‬
‫وء‬
ِ ‫س‬ُ ‫ و‬،‫ و ْال ُجب ِْن و ْالبُ ْخ ِل‬،‫ و ْالهر ِم‬،‫عوذُ ِبك ِمن ْالكس ِل‬ ُ ‫ «اللَّ ُه َّم ِإنِي أ‬:‫كان يقُو ُل‬
»‫ب ْالقب ِْر‬
ِ ‫ وعذا‬،‫ و ِفًْن ِة الدَّ َّجا ِل‬،‫ْال ِكب ِر‬
Artinya
Dari Anas berkata, dalu Rasulullah Saw. mohon perlindungan kepada Allah
dengan kalimat-kalimat ini. Beliau berdoa, “Ya Allah ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan dukacita, aku
berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku berlindung kepada-
Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari tekanan utang
dan kezaliman manusia.” (HR Baihaqi)

Melalui doa tersebut, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita, bahwa


sosok seorang muslim sejati haruslah tergambar sebagai sosok yang penuh
semangat, memiliki motivasi tinggi dan rajin dalam mengejar kesuksesan,
dermawan, mandiri, serta peduli terhadap sesama.
Tidak patut disebut sebagai seorang muslim sejati, jika kita senantiasa
mengeluh, malas, takut, dan kikir, bahkan selalu bergantung kepada orang lain dan
sering berbuat zalim. Ingatlah bahwa surga Allah Swt. tak akan dapat kita raih hanya
melalui lamunan dan angan-angan, tapi harus diraih dengan semangat yang tinggi
untuk konsisten dalam jalan hidup yang diridai Allah Swt. Seorang muslim harus
rajin dalam segala hal; rajin beramal, belajar, bekerja, dan berbagai usaha untuk
memperbaiki kualitas diri sehingga menjadi orang yang terbaik, sukses hidupnya
dunia akhirat.

d. Hemat

8
Dalam Kamus Besar Bahasa Indosenia hemat diartikan dengan berhati-hati
dalam membelanjakan uang. Semenjak Saudara ada di bangku sekolah dasar, pasti
Saudara sudah hafal betul dengan pepatah yang satu ini, "Hemat Pangkal Kaya".
Seakan atau sepintas hemat hanya berhubungan dengan harta.
Hemat Pangkal Kaya dimaknai, apabila kita senang menabung alias hidup
hemat dalam kehidupan sehari-hari, maka kita bisa dengan mudah mencapai apa yang
kita inginkan atau kita dambakan. Bahkan, tidak mustahil jika ingin menjadi orang yang
sukses juga harus hemat.
Hemat dalam kehidupan sehari-hari adalah sifat jiwa yang sudah menyatu
dengan dirinya yang dapat mendorong seseorang menggunakan segala sesuatu yang
dimilikinya, baik harta, tenaga maupun waktu sesuai dengan kebutuhan. Hemat berarti
tidak boros dan juga tidak kikir atau pelit. Orang-orang yang hemat bisa menahan
nafsunya untuk tidak membeli barang yang tidak penting. Orang yang hemat akan
berusaha dengan upaya yang maksimal untuk membeli dan memenuhi kebutuhannya,
meskipun dalam kondisi serba kekurangan.
Sikap boros dilarang oleh ajaran agama Islam sebagaimana firman Allah
sebagai berikut:

ً ُ‫ان ِلربِ ِه كف‬


)27 :‫ورا (السراء‬ َّ ‫ين وكان ال‬
ُ ‫شيْط‬ ِ ‫اط‬ َّ ‫إِ َّن ْال ُمبذ ِِرين كانُوا إِ ْخوان ال‬
ِ ‫شي‬
Artinya:
Sesungguhnya mubadzir itu adalah teman setan. Dan setan itu ingkar kepada
Tuhannya (QS. Al-Isra’/17:27)
Sementara pelit atau bakhil itu adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt.
dan menyebabkan jauh dari rahmat-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
َّ ‫ي ق ِريب ِمن‬
‫ّللاِ ق ِريب ِمن‬ َّ ‫ «ال‬:‫ّللاُ عل ْي ِه وسلَّم قال‬
ُّ ‫س ِخ‬ َّ ‫ ع ِن النَّبِي ِ صلَّى‬،‫ع ْن أبِي ُهريْرة‬
ِ َّ‫ّللاِ ب ِعيد ِمن الجنَّ ِة ب ِعيد ِمن الن‬
‫اس‬ َّ ‫ والب ِخي ُل ب ِعيد ِمن‬،‫ار‬ِ َّ‫اس ب ِعيد ِمن الن‬
ِ َّ‫الجنَّ ِة ق ِريب ِمن الن‬
)‫ار (رواه الًرمذي‬ ِ َّ‫ق ِريب ِمن الن‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi Saw. bersabda, ‘Sifat dermawan itu dekat
kepada Allah, dekat dari surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka.
Sedangkan sifat kikir itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dengan manusia
dan dekat dengan neraka (HR. At-Turmudzi)

Bagaimana menurut Saudara, apakah hemat itu lawan dari boros? Saya
berharap Saudara mulai faham kalau hemat adalah sifat yang terbaik dan yang

9
terbaik adalah yang ada di tengah. Hemat bukan boros dan juga bukan pelit.
Sementara dermawan adalah memberikan sesuatu yang kita miliki sesuai dengan
yang disyariatkan Allah sedang pelit adalah menahan hak orang lain yang ada pada
diri kita.
Hemat adalah membelanjakan apa yang kita punya secara sempurna. Allah
Swt. berfirman:

)67 :‫والَّذِين إِذا أ ْنفقُوا ل ْم يُ ْس ِرفُوا ول ْم ي ْقً ُ ُروا وكان بيْن ذ ِلك قوا ًما (الفرقان‬
Artinya:
Dan orag-orang yang membelanjakan (hartanya) dengan tidak berlebih dan
tidak pelit. Dan pembelanjaannya itu sempurna diantara yang demikian itu (QS. Al-
Furqan/25:67).
Di era modern ini, kebanyakan masyarakat memiliki pola hidup
yang konsumtif. Ini tentu sangat susah dihilangkan apabila sudah melekat di dalam
diri masing-masing. Dengan perilaku yang super konsumtif ini, maka akan membuat
kesenjangan sosial menjadi lebih terlihat mencolok. Hal ini juga yang akan
menimbulkan dan meningkatkan kecemburuan sosial di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Selanjutnya hemat juga berlaku pada hal-hal selain dalam penggunaan
barang/harta dan uang. Orang yang hemat juga pandai dalam menggunakan
kesempatan dan waktu. Ia akan membuat rencana dan jadwal untuk menggunakan
waktu, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena hanya sebuah alasan
yang tidak jelas. Sangat penting bagi kita apabila bisa menggunakan waktu dengan
hal-hal yang positif dan bermanfaat.
Betapa pentingnya kita untuk bisa mengatur waktu, hemat dengan karunia
kesempatan waktu yang sudah Allah Swt. berikan kepada kita. Dia yang Maha
Mengatur beberapa kali bersumpah terkait dengan waktu. Diantaranya adalah
sebagai berikut:

ِ َّ ‫ ِإ َّل الَّذِين آمنُوا وع ِملُوا ال‬.‫اْل ْنسان ل ِفي ُخ ْسر‬


ِ ‫صا ِلحا‬ ِ ْ ‫ ِإ َّن‬.‫ص ِر‬ ْ ‫و ْالع‬
)3-1 :‫صب ِْر (العصر‬ َّ ‫ق وتواص ْوا ِبال‬ ِ ‫وتواص ْوا ِب ْالح‬
Artinya:
Demi waktu ashr, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan
saling menasehati dalam kesabaran (QS. Al-‘Ashr/103: 1-3)

10
Waktu merupakan sesuatu yang berharga dalam setiap kehidupan seseorang.
Banyak orang yang gagal memperoleh kesuksesan karena beranggapan bahwa waktu
yang tersedia terbatas. Padahal waktu yang diberikan kepada kita hakekatnya sama,
satu tahun 12 bulan atau 365 hari, satu hari 24 jam dan seterunya. Masalahnya adalah
bagaimana kita dapat mengatur waktu, menghemat waktu.
Keberhasilan kita dalam mengelola waktu dengan baik dapat membantu kita
menghadapi stress yang dapat menimpa pada sitiap orang. Dalam hal ini, kegiatan
mengatur waktu menjadi penting bagi kita dan harus dilakukan oleh setiap pribadi
yang ingin hidupnya lebih teratur, terarah, sehat dan terkendali dan tentunya
terhindar dari stress.
Proses mengatur waktu dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kegiatan
yang biasa kita lakukan setiap harinya, dengan kata lain mengidentifikasi kegiatan
rutinitas kita setiap harinya. Hal ini akan memudahkan kita mengatur dan
mengorganisir setiap kegiatan satu per satu dan menempatkannya pada kuadran
waktu yang telah kita tentukan.
Bagaimana pendapat Saudara tentang hubungan hemat dan akhlak terhadap
diri sendiri? Mudah-mudahan Saudara faham dan mengerti. Yang jelas orang yang
hemat berarti ia telah berbuat baik kepada diri sendiri. Ia akan menjadi orang yang
bisa menahan diri dalam menggunakan karunia Allah, pandai mengelola nikmat
terutama sehat dan waktu, sehingga kita dapat berharga bagi orang lain, merasakan
kebahagian tanpa penyesalan, dan bisa hidup sederhana.

e. Istiqamah
Menurut bahasa Istiqomah berarti “lurus, menjadi lurus atau tegak lurus”,
adalah bentuk mashdâr dari fiil istaqama – yastaqimu istiqamatan (Almunawwir;
1173), atau jalan yang lurus dan benar (Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 692) juga
berarti tetap beramal berdasarkan agama tauhid, tidak kembali pada kemusyrikan (Al-
Maraghi, Juz 24: hlm. 127).
Menurut Istilah istiqamah adalah kata yang mencakup semua urusan agama
yakni mendirikan (melaksanakannya secara sempurna) dan menunaikan janji terkait
dengan ucapan, perbuatan, keadaan dan niat dengan sebenar-benarnya kehadirat Allah
Swt. (Ibn. Qayyim, Madarid as-Salikin, Juz III, h. 1708)
Abdur Razaq mendefinisikan bahwa istiqamah itu menuju jalan yang lurus
yakni agama yang sempurna dari keterpihakan ke kanan atau ke kiri, mencakup

11
ketaatan lahir dan batin terhadap pelaksanaan perintah dan meninggalkan larangan
sehingga dapat dikatakan sebagai wasiat ketaatan agama secara menyeluruh (Asyru
Qawaid fi al-Istiqamah, hal. 13).
Dengan demikian dapat difahami bahwa istiqamah adalah sifat yang sudah
menyatu dengan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan jalan yang lurus
(benar) berupa ketaatan mutlak kepada Allah Swt. secara konsisten dan terus menerus
dalam keadaan apapun dan di mana pun ketika menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Ketaan kepada Allah Swt. yang dawam (terus-menerus) merupakan
bagian penting dari Istiqamah.
Jiwa yang istiqamah adalah jiwa yang muttaqin sejati. Siapa yang dapat
menjaga ketakwaannya berarti dia berkhlak mulia kepada Rabnya sekaligus kepada
dirinya sediri. Bahkan ia juga berakhlak baik kepada semua makluk Allah Swt.
Kebaikan dan keutamaan yang kembali pada diri orang yang istiqamah adalah
mendapat jaminan menjadi kekasih Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagai berikut:

‫ّللاُ ث ُ َّم ا ْسًقا ُموا تًن َّز ُل عل ْي ِه ُم ْالملئِكةُ أ َّل تخافُوا ول‬ َّ ‫إِ َّن الَّذِين قالُوا ربُّنا‬
‫ ن ْح ُن أ ْو ِليا ُؤ ُك ْم فِي ْالحياةِ الدُّ ْنيا‬.‫ت ْحزنُوا وأ ْبش ُِروا ِب ْالجنَّ ِة الًَِّي ُك ْنً ُ ْم تُوعدُون‬
‫ نُ ُز ًل ِم ْن‬.‫عون‬ ُ َّ‫س ُك ْم ول ُك ْم فِيها ما تد‬ ُ ُ‫وفِي ْاَل ِخرةِ ول ُك ْم فِيها ما ت ْشً ِهي أ ْنف‬
)32-30:‫غفُور ر ِحيم (فصلت‬
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa “Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka istiqamah, maka turunlah malaikat-malaikat kepada mereka
sembari berkata “Janganlah kalian takut dan jangan pula bersedih dan bersenang-
senanglah dengan surge yang telah dijanjikan kepada kalian”. Kami adalah
pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Di
dalamnya terdapat sesuatu untuk kalian yang kalian inginkan dan kalian minta.
Sesuatu yang turun dari Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS
Fussilat/41:30 -32)

Orang yang istiqamah, konsisten jalan pikirannya, ucapan dan perbuatannya


akan selalu mendapatkan kemudahan dalam menghadapi kesulitan, akan mendapatkan
pertolongan dari Dzat yang Maha segalanya. Baginya yang susah akan jadi mudah,
yang jauh akan jadi dekat, yang sedikit akan jadi banyak dan seterusnya.

12
KEGIATAN BELAJAR 4:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis macam-macam akhlak al-karimah yang manfaatnya


kembali kepada diri sendiri dan orang lain.

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menemukan kategorisasi akhlak yang berhubungan dengan orang lain.


2. Menganalisis akhlak terhadap orang lain; kasih sayang, siddiq, amanah,
tabligh, pemaaf, dan adil.
3. Menilai implementasi akhlak terhadap orang lain; kasih sayang, siddiq,
amanah, tabligh, pemaaf, dan adil.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN
Bagaimana apakah Saudara sudah benar-benar memahami materi yang lalu, yakni tema
akhlak pada diri sendiri? Materi kali ini prinsipnya tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya
sasarannya, yaitu membicarakan sikap yang ada hubungannya dengan orang lain. Sikap atau
perbuatan yang apabila dikerjakan seseorang pengaruhnya dapat dirasakan oleh orang lain,
baik manfaat atau madharatnya.
Akhlak yang mulia terhadap orang lain, juga sama merupakan bagian dari amal shalih.
Contohnya sifat jujur, orang yang bersifat jujur, akan memberikan pengaruh terhadap orang
lain. Apabila ia jujur dalam berbicara, maka informasinya akan sangat berguna bagi yang
membutuhkannya. Sebaliknya kalau ia berbohong, maka informasinya sangat
membahayakan, bahkan bisa menimbulkan fitnah yang sangat kejam bagi siapa pun yang
menjadi sasaran.

1
Akhlak terhadap orang lain adalah sifat-sifat yang melekat kuat dalam diri seseorang
yang menjadi sumber kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat
baik atau buruk bagi orang lain, di luar pelakunya.
Bagaimana sudah nyambung? Mari kita lanjutkan sub bab berikutnya!

2. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP ORANG LAIN


Setelah Saudara memahami dengan saksama mengenai hakekat akhlak terhadap orang
lain, Sekarang apa Saudara bisa mengidentifikasi apa saja kira-kira yang termasuk di
dalamnya? Ingat indikatornya adalah sifat dari perbuatan yang menyebabkan atau
mengakibatkan hal-hal yang baik atau buruk terhadap orang lain, selain dirinya. Dan akibat
dari sikap perbuatan seseorang tersebut dapat mempengarui situasi dan kondisi lingkungan
dimana ia melakukannya.
Untuk lebih memudahkan Saudara, berikut ini adalah beberapa sifat yang di maksud di
atas, yaitu; kasih sayang, siddiq, amanah, tabligh, pemaaf, dan adil. Dengan ketujuh sifat
tersebut apabila sudah terpatri dalam jiwa Saudara, insyaAllah Saudara akan menjadi orang
yang bermanfaat, orang yang baik dalam pandangan Allah Swt. Sebagaimaa ukuran orang baik
yang disampaikan oleh Rasullah Saw. sebagai berikut:

ْ ِ َ‫ ْ«خَي ُْر ْالن‬:‫سلَ َْم‬


ْْ‫اس ْأَنفَعُ ُْهم‬ ْ ْ ‫صلَى‬
َ ‫للاُ ْ َعلَي ِْه ْ َو‬ َْ ْ ‫ل‬
َ ْ ِ‫ّللا‬ ُْ ‫سو‬ َْ ‫ ْقَا‬:‫ل‬
ُ ‫ل ْ َر‬ َْ ‫ ْقَا‬،‫َعنْ ْ َجا ِب ٍر‬
)‫اس»ْ(رواهْالطبراني‬ ْ ِ َ‫ِللن‬
Artinya:
Dari Jabir berkata, Raulullah Saw. bersabda; “Manusia yang terbaik adalah
orang yang lebih bermanfaat bagi manusia yang lain. (HR. Thabrani)
Selanjutnya, sifat-sifat tersebut di atas, mari kita bahas satu persatu:

a. Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh semua
orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan rasa empati
kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong manusia untuk
saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya.
Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan menjadi sangat individualistis,
egois dan tidak memikirkan kepentingan orang lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali dengan akal,
ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu, maka mereka tidak

2
seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih
mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan, supaya
berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami sebagai prinsip dalam
mengimplementasikan sifat kasih sayang diantara kita, yakni dalam menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.
Dengan memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri
beribadah kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain
kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.
Kasih sayang memiliki makna yang tidak terbatas. Memiliki rasa kasih sayang
kepada makhluk lain merupakan fitrah yang dimiliki manusia. Maka, tentu kita harus
menempatkan rasa kasih sayang ini sesuai dengan batas-batas penciptaan kita sebagai
makhluk Allah dan jangan sampai melewati batas-batas hukum-Nya
Rasulullah Saw. bersabda:

َْ ُ‫ْأ ُ َبايِع‬:ُْ‫سلَ َْم ْفَقُلت‬


ْ‫ك ْ َعلَى‬ ْ ْ ‫صلَى‬
َ ‫للاُ ْ َعلَي ِْه ْ َو‬ َ ْ ِ‫للا‬
ْ ْ‫ل‬َْ ‫سو‬ُ ‫ْأَتَيتُْ ْ َر‬:‫ل‬ َْ ‫ير ْقَا‬
ٍْ ‫َعنْ ْ َج ِر‬
ْ‫صلَى‬ َ ْ ِ‫للا‬
ْ ْ‫ل‬ ُْ ‫سو‬ ُ ‫ل ْ َر‬َْ ‫ل ْ ُمس ِل ٍْم ْ" ث ُ َْم ْقَا‬
ِْ ‫ح ْ ِل ُك‬
ُْ ‫ْ"ْالنُّص‬:‫ل‬ َْ ‫ْفَقَ َب‬.‫اْلس ََل ِْم‬
َْ ‫ ْ َوقَا‬،ُ‫ض ْيَدَه‬ ِ
ْ‫ل ْ" ْ(رواه‬ ْ ُْ‫اس ْلَمْ ْيَر َحم ْه‬
َْ ‫للاُْ َع َْز ْ َو َج‬ َْ َ‫ْ"ْإِنَ ْهُْ َمنْ ْلَمْ ْيَر َح ِْم ْالن‬:‫سلَ َْم‬
َ ‫للاُْ َعلَي ِْه ْ َو‬
ْ
)‫احمد‬

Artinya:
Dari Jabir berkata, saya datang kepada Rasulullah Saw., lalu saya berkata,
“Saya berbaiat kepadamu untuk masuk Islam”, lalu beliau memegang tangannya
sambil bersabda, “Nasehat itu untuk setiap orang Islam”. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan
menyayanginya”. (HR. Ahmad)
Hadis tersebut di atas mengisyaratkan bahwa kasih sayang kita itu tidak
terbatas, yakni kepada semua ‘manusia’ bukan hanya saudara muslim. Sehingga kita
sebagai orang Islam harus bisa mengajarkan dan mencontohkan untuk menyayangi
semua manusia di bumi.
Dan masih bayak lagi hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya
yang artinya sebagai berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum
kalian mengasihi”, (2)” Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah

3
seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk
seluruh umat manusia” (H.R. Thabrani).
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam,
juga mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan
juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Pernah diceritakan Abu
Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid,
“Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula
kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang
berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah
mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang,
sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama Islam.
Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di
sekitarnya.
Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan
prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang demikian itu justru
akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima oleh Allah,
dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan makhluk yang lain.

b. Siddiq
Kata ‫صديق‬/ Siddiq, berasal dari bahasa Arab yang berarti "benar/jujur".
Menurut istilah adalah sesuatu yang diberikan sebagai sebuah gelar kehormatan
kepada individu tertentu, Siddiq untuk laki-laki dan Siddiqah untuk perempuan. Dalam
sejarah Islam, kita kenal gelar seperti ini pernah diberikan kepada sahabat yang
membenarkan berita Isra dan Mi’rajnya Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diberi
gelar Ash-Shiddiq, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ash-Shiddiq yang dimaksud adalah orang yang dengan jujur mau menerima
‫صدق‬/shidq, (kebenaran). Jujur adalah sifat yang ada dan sudah menyatu dengan jiwa
seseorang yang dapat mengispirasi dan mendorong secara cepat untuk berbicara dan
berbuat apa adanya. Sama antara pembicaraan dan perilakunya. Apa yang ada di dalam
hatinya sama dengan apa yang disampaikan melalui lisannya. Perbuatannya juga tidak
dibut-buat, sesuai dengan keyakinan kebenaran yang ada di dalam hatinya. Teguh
pendiriannya, tidak mudah goyah oleh pengaruh dari luar.
Di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat, masyarakat semakin hari
semakin rasional dan logis. Jujur menjadi sesuatu yang langka, ada tetapi sangat jarang

4
ditemukan. Hal ini dikarenakan banyak orang yang sudah meninggalkan prinsip
kebenaran, terutama masalah akhlak. Orang akan banyak memihak kepada hal yang
menguntungkan dirinya, yang paling masuk akalnya. Sementara akalnya sudah tidak
sehat lagi karena dibimbing oleh nafsu angkara murka.
Ada sebuah dialog menarik dalam kitab Ihya Ulumiddin terkait dengan
kelangkaan sifat jujur ini. Dialog antara Hakim dengan seorang laki-laki yang menyoal
kejujuran yang susah didapatkan

ْ‫ْ ْ“لو ْكنت ْصادقا ْلعرفت‬:‫ْ“ما ْرأيت ْصادقا!” ْفقال ْله‬:‫وقال ْرجل ْلحكيم‬
”‫الصادقين‬
Artinya:
Seorang laki-laki berkata kepada Hakim: “Aku tidak bisa mengenali orang
yang jujur!” Kemudian dijawab oleh Hakim: “Seandainya kamu adalah orang yang
jujur kamu juga akan mengenal orang-orang yang jujur.”
Laki-laki dalam dialog di atas memiliki keinginan untuk mengetahui kejujuran
orang lain, tapi ketika dirinya sendiri tidak memiliki sikap jujur, maka orang-orang jujur
tidak lagi bisa ia liat, dan tidak nampak baginya. Hal ini menggambarkan adanya
indikasi dalam bahwa laki-laki tersebut sudah semakin susah untuk membedakan mana
orang yang jujur dan mana orang yang bohong. Bahkan dirinya sendiri tidak sadar kalau
bukan bagian dari orang-orang yang jujur.
Salah satu kitab yang memersoalkan tentang jujur adalah Ihya Ulumiddin. Kitab
ini merupakan kitab fenomenal yang memuat banyak sekali hikmah dan moral yang
layak dijadikan pedoman. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) sendiri
memasukkannya ke dalam Rubu’ al-Munjiyat (seperempat hal yang dapat
menyelamatkan). Beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Mas’ud Rasulullah Saw bersabda:

ُْ ُ‫ل ْ َل َيصد‬
ْ‫ق‬ َْ ‫الر ُج‬
َ ْ‫ن‬ َْ ‫ن ْال ِب َْر ْ َيهدِي ْ ِإلَى ْال َجنَ ِْة ْ َو ِإ‬
َْ ‫الصدقَْ ْ َيهدِي ْ ِإلَى ْال ِب ِْر ْ َو ِإ‬ ِْ ْ ‫ن‬ َْ ‫ِإ‬
ْ‫ور ْيَهدِي ْإِلَى‬ َْ ‫ن ْالفُ ُج‬ َْ ِ‫ور ْ َوإ‬ِْ ‫ِب ْيَهدِي ْإِلَى ْالفُ ُج‬ َْ ‫ن ْال َكذ‬ َْ ِ‫صدِيقًا ْ َوإ‬ ِ ْ َْ‫َحتَى ْيَ ُكون‬
‫للاِْ َكذَابًا‬ َْ َ ‫ِبْ َحتَىْيُكت‬
ْ َْ‫بْ ِعن ْد‬ ُْ ‫لْلَيَكذ‬ َْ ‫الر ُج‬
َ ْ‫ن‬ ِْ َ‫الن‬
َْ ‫ارْ َو ِإ‬
Artinya:
“Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan
menunjukkan kepada surga. Sungguh akan ada seorang laki-laki yang berbuat
jujur sehingga ia akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur. Sebaliknya,
dusta menunjukkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan mengantarkan

5
seseorang ke neraka, sungguh akan ada seorang laki-laki yang pandai berdusta
sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sifat jujur merupakan salah satu sifat wajib yang dimiliki oleh para nabi dan
para rasul Allah. Berikut adalah beberapa contoh firman Allah Swt. yang menyatakan
bahwa para nabi dan rasul memiliki sifat jujur;
1). Nabi Ibrahim as.

)41:‫صدِيقًاْنَبِيًّاْ(مريم‬
ِ َْْ‫يمْ ِإنَ ْهُْ َكان‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْفِيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإب َرا ِه‬
Artinya:
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al
Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujur lagi seorang
Nabi.” (QS. Maryam/19: 41)

2). Nabi Isma’il as.

ًْ ‫س‬
)54:‫ولْنَبِيًّاْ(مريم‬ َ َْْ‫لْ ِإنَ ْهُْ َكان‬
ُ ‫صادِقَْْال َوع ِْدْ َو َكانَْْ َر‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْ ِفيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإس َما ِعي‬
Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar
janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19: 54)

3). Nabi Idris as.

)56:‫صدِيقًاْنَبِيًّاْ(مريم‬
ِ َْْ‫يسْ ِإنَ ْهُْ َكان‬ ِْ ‫َواذ ُكرْْفِيْال ِكتَا‬
َْ ‫بْ ِإد ِر‬
Artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang
tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat
membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam/19: 56)

Jujur adalah sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh umat Islam. Abu Hamid
al-Ghazali secara khusus membahas tentang hal jujur ini. Tepatnya dalam sub tema
yang berjudul fi al-Shidqi wa Fadhilatih wa Haqiqatihi (Jujur, Keutamaan dan
Hakikatnya).
Menurut al-Ghazali kata jujur dapat diartikan dalam berbagai makna. Pertama
adalah jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur di dalam azam
(tekad), jujur di dalam menunaikan azam, jujur di dalam perbuatan dan yang terakhir

6
jujur di dalam mengimplementasikan maqamat di dalam beragama. Berikut kami
paparkan masing-masing dari pengertian jujur di atas.
Pertama, jujur dalam lisan; jujur dalam lisan atau ucapan berkaitan langsung
dengan informasi atau berita yang disampaikan, apakah itu benar atau salah. Baik yang
telah berlalu maupun yang akan terjadi. Menurut al-Ghazali kejujuran ini akan semakin
lengkap jika seseorang tidak terlalu membesar-besarkan informasi. Karena menurut al-
Ghazali, hal itu dekat dengan kedustaan. Dan kedua, memperhatikan makna jujur secara
seksama agar tidak bercampur dengan syahwat keduniaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kehendak. Jujur dalam hal ini terkait langsung
dengan keikhlasan. Tidak ada dorongan sedikitpun kecuali hanya karena Allah. Jika
niat dan kehendak seseorang bercampur dengan nafsu maka batal kejujuran niat
tersebut. Dan orang yang niatnya bercampur dengan nafsu bisa dikategorikan sebagai
orang yang berdusta. Kejujuran yang kedua ini tercermin dalam hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

ْ،ْ‫يك‬ َْ ِْ‫ْت َ َعلَمتُْْال ِعل َْمْ َوقَ َرأتُْْالقُرآنَْْ َو َع ِملت ُ ْهُْف‬:ْ‫ل‬ َْ ‫تْفِي َهاْ؟ْقَا‬ َْ ‫ْ َماْ َع ِمل‬:ْ‫ل‬َْ ‫…فَقَا‬
ْ‫ْفَُْأ ُ ِم َْر‬،ْ‫ل‬
َْ ‫ْفَقَدْْقِي‬،ْْ‫ارئ‬ِ َ‫ْ َوفَُلَنْْق‬،ْْ‫لْفَُلَنْْ َعا ِلم‬ َْ ‫تْأَنْْيُقَا‬َْ ‫ْإِنَ َماْأ َ َرد‬،ْ‫ت‬َْ ‫ْ َكذَب‬:ْ‫ل‬ َْ ‫قَا‬
ِْ َ‫يْ ِفيْالن‬
‫ار‬ َْ ‫بْ َعلَىْ َوج ِه ِْهْ َحتَىْأُل ِق‬ ُ َ‫ِب ِْهْف‬
َْ ‫س ِح‬
… kemudian ditanyakan (kepadanya): “Apa yang engkau perbuat sewaktu di
dunia?” ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan membaca Al-Quran serta
mengamalkannya di jalan-Mu.” Lalu dijawab, “Bohong! Kamu melakukannya
hanya ingin disebut sebagai orang yang alim, yang qari.” Kemudian Allah
memerintahkan untuk disungkurkan wajahnya dan dilemparkan ke dalam api
neraka. (HR. Hakim)
Ketiga, jujur dalam azam (tekad); sebelum seseorang melakukan sesuatu
kadangkala seseorang memiliki tekad terlebih dahulu sebelum
mengimplementasikannya. Contohnya adalah jika seseorang mengatakan jika Allah
memberiku harta maka aku akan mensedekahkan sekian dari harta tersebut. Kejujuran
tekad yang dimaksudkan di sini adalah kesempurnaan dan kekuatan tekad
tersebut. Tekad yang benar atau jujur tidak akan ragu atau goyah sedikitpun.
Keempat, jujur dalam menunaikan azam (tekad); Maksudnya adalah ketika
seseorang telah memiliki azam dan ia memiliki peluang untuk melaksanakan azamnya.
Ketika ia tidak menunaikan apa yang menjadi tekadnya maka itu bisa dikatakan sebagai
kebohongan atau ketidak jujuran.

7
Kelima, jujur dalam perbuatan; adalah usaha seseorang untuk menampilkan
perbuatan lahiriah agar sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Berbeda dengan
riya’, riya’ berati perbuatan baik secara lahir tidak sama dengan niat buruk di dalam
hati. Seseorang yang antara perbuatan lahir dan niatnya berbeda tanpa adanya maksud
yang disengaja. menurut al-Ghazali hanya dikatakan sebagai orang yang tidak jujur
dalam perbuatan.
Keenam, jujur dalam mengimplementasikan maqamat di dalam agama seperti
jujur di dalam khauf (takut kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah), zuhud dan
lain sebagainya. Ini adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Seseorang dapat
dikatakan jujur dalam tahap ini ketika ia telah mencapai hakikat yang dimaksud
dalam khauf, raja’ atau zuhud yang dikehendaki. Tingkatan jujur ada dalam ajaran sufi
yang ada dalam Islam.

c. Amanah
Menurut bahasa Amanah berasal dari kata amuna – ya’munu – amanatan yang
bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Amanah dapat difahami sebagai
sebagai satu sifat yang melekat dalam diri seseorang yang dapat mendorong seseorang
dapat melakukan perbuatan-perbutan dengan cepat tentang segala sesuatu yang
dipercayakan kepadanya, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun
hak Allah Swt.
Sifat amanah merupakan sifat terpenting dari Nabi Muhammad Saw., sifat yang
oleh kaum jahiliah Makkah disematkan kepada diri beliau sebelum turun wahyu,
sehingga beliau dikenal dengan julukan al-Amin; orang yang amanah. Julukan yang
kemudian populer dan sangat lekat di lidah masyarakat Makkah. Dengan julukan inilah
semua orang, laki-laki ataupun perempuan, menyebut Nabi dengan penuh takzim dan
penghormatan.
Ketika usai membangun ulang Ka’bah, kaum Quraisy berisitegang, bahkan
hampir bertumpah darah tentang siapa yang akan mendapat kehormatan meletakkan
kembali Hajar Aswad ke tempatnya. Karena tak ada titik temu, mereka sepakat untuk
menyerahkan putusan kepada siapa yang datang kepada mereka pertama kali.
Tiba-tiba Muhammad bin Abdullah muncul. Betapa girang kaum Quraisy.
Mereka berteriak dengan penuh kepercayaan, “Inilah al-Amin. Inilah al-Amin. Kami
rela dia yang memberi putusan!”

8
Apa yang segera terlintas di hati kaum Quraisy saat itu adalah sifatnya yang
terkenal itu. Sengaja beliau dipanggil begitu karena mereka percaya beliau akan
memberi jalan penyelesaian yang adil. Dan terbukti Nabi mampu mengatasi masalah
mereka dengan cara yang sangat simpel dan melegakan semua pihak. Itu terjadi jauh
sebelum kenabian.
Lebih dari itu, bahkan setelah kenabian pun, rumah beliau menjadi pangkal
penitipan barang paling dipercaya kalangan kaum musyrik –yang justru mengingkari
kenabian beliau. Tanpa segan, mereka titipkan barang-barang yang dicemaskan hilang,
padahal waktu itu dunia belum mengenal rumah penitipan barang. Setelah menerima
perintah hijrah ke Madinah, Nabi menyuruh Ali tinggal dulu di Makkah untuk
mengembalikan barang-barang titipan itu kepada pemiliknya masing-masing.
Amanah dalam arti yang luas dan dalam lebih dari sekedar menunaikan hajat
duniawi kepada pemiliknya. Amanah hakikatnya lawan kata khianat. Orang yang
amanah adalah orang yang dapat dipercaya dan membuat jiwa aman. Orang-orang
Quraisy begitu percaya kepada Rasulullah dalam urusan dunia. Dalam hal ini mereka
tak pernah mencaci beliau. Mereka juga tidak curiga dan tidak menuduh beliau khianat.
Bukan hanya dalam urusan harta benda, melainkan juga kehormatan dan jiwa. Karena
itu, sangatlah aneh ketika mereka mendustakan beliau dalam hal kabar dari langit.
Padahal, bagaimana mungkin pada saat yang sama seseorang amanah sekaligus khianat.
Dalam rumah tangga Nabi, tidak hanya beliau yang amanah. Tetapi juga segenap istri
dan keluarganya. Tak ada yang mengatakan haknya tidak dipenuhi oleh salah seorang
dari mereka. Karena, mereka memang menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan
dalam arti yang seluas-luasnya.
Amanah yang berarti benar-benar bisa dipercaya (bertanggung jawab). Jika satu
urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Oleh karena itu nabi Muhammad SAW dijuluki
oleh penduduk mekkah dengan gelar "Al amin" yang artinya terpercaya jauh sebelum
beliau diangkat menjadi nabi. Apapun yang beliau ucapkan, penduduk mekkah
mempercayainya karena beliau bukan seseorang yang pembohong.
Amanah dilakukan bukan hanya dalam keadaan tertentu atau terhadap orang
tertentu, melainkan disetiap keadaan dan terhadap siapapun wajib hal itu dilaksakan,
dalam etika beribadah, etika berbisnis maupun etika etika lainnya. Dalam etika
beribadah kita harus melaksanakan Amanah yang Allah perintahkan seperti sholat,
puasa, zakat , haji dan lain sebagainya, sebagai umat muslim kita tidak boleh

9
meninggalkan kewajiban, Allah SWT menyeru kaum muslimin agar tidak
menghkhianati Allah dan Rasulnya, yaitu mengabaikan kewajiban kewajiban yang
harus mereka laksanakan, melanggar larangannya yang telah ditentukan dengan
perantaran Wahyu, dan tidak mengkhianati Amanat yang telah dipercayakan kepada
mereka, yaitu mengkhianati segala macam urusan yang menyangkut kemaslahatan lil
ummah, seperti urusan pemerintah, perang, perdata dan urusan kemasyarakatan.
Dalam adab bermasyarakat bisnis, sifat Amanah juga sangat diperlukan,
misalnya dalam praktik perdagangan syariah, dikenal adanya istilah perdagangan atas
dasar Amanah. Dalam akad-akad tijarah yang menggunakan prinsip mudharabah,
murabahah, syirkah dan wakalah, diperlukan komitmen semua pihak atas amanah yang
diberikan kepadanya.
Adanya salah satu pihak yang khianat atas amanah yang dipercayakan
kepadanya bisa mengakibatkan pembatalan akad perjanjian. Misalnya pihak pengelola
ternyata menggunakan dana tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau untuk bisnis
yang diharamkan Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda, dalam sebuah hadis Qudsinya:

َْ ُْ‫للا‬
ْ‫عز‬ ْ ْ‫ل‬َْ ‫ْ«قا‬:‫للاِْصلىْللاْعليهْوسلم‬
ْ ْ‫ل‬ ُْ ‫لْرسو‬ َْ ‫عنْأبيْهرير ْة َْقا‬
َْ ‫ قا‬:‫ل‬
ِ ْ‫ريكينْماْلمْيَ ُخنْْأَحد ُهما‬
ْ‫ْفإذاْخَاناْخَرجتُْْ ِمن‬،‫صاحبَه‬ ِْ ‫ش‬ ُْ ْ‫ْأَنا‬:‫ل‬
َ ‫ثالثْال‬ َْ ‫وج‬
»‫بينِهما‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt berfirman,
“Aku pihak ketiga dari kedua belah pihak yang berserikat selama salah seorang dari
keduanya tidak mengkhianati temannya, jika salah satu telah mengkhianati
temannya, Aku berlepas dari keduanya”. (H.R Abu Dawud).
Hadits di atas mengisyarahkan bahwa sifat Amanah itu sangat penting
terutama bagi kaum muslimin agar apa yang mereka lakukan menjadi salah satu jalan
untuk taqarrub ila Allah wa Rasul Allah.
Konsekuensi Amanah adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya,
baik sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih daripada yang ia miliki, tidak
mengurangi hak orang lain, baik itu hasil penjualan, jasa atau upah buruh. Amanah
juga memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang
diberikan padanya.
Bagaimana bisa faham? Singkatnya sifat amanah itu adalah sifat tanggung
jawab dari tugas yang dipikulkan kepada kita, apapun bentuknya. Jika semua orang

10
sudah bisa bertanggung jawab dalam hidupnya, niscaya masyarakat kita akan aman,
tentram dan makmur dalam segala hal. Amin…

d. Tabligh
Menurut bahasa tabligh berasal dari bahasa Arab yang berarti menyampaikan.
Sifat tabligh merupakan satu dari 4 sifat wajib para nabi. Para Nabi wajib
menyampaikan risalah, dan perintah dari Allah Swt. kepada umatnya. Mereka tidak
boleh menyembunyikan sedikitpun perintah dari Allah Swt. Tabligh di sini bermakna
menyampaikan sesuatu dengan benar dan tepat sasaran.
Tabligh juga berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain
untuk kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Tablig pada hakikatnya adalah dakwah menyampaikan
kebenaran. Seseorang yang mempunyai sifat tabligh yang tidak pernah
menyembunyikan kebenaran. Ia akan menyampaikan kebenaran itu, dan mengajak
orang-orang untuk mengikutinya.
Dalam hubungannya dengan profesi guru, sifat tabligh dapat diartikan akan
menyampaikan informasi berupa ilmu pengetahuan dengan benar dan dengan tutur kata
yang tepat. Jadi intinya sifat tabligh adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorong seseorang dapat melakukan dengan cepat untuk menyampaikan apa saja
yang menjadi tanggunggung jawabnya siapa saja yang selayaknya harus menerima.
Seperti contohnya yang ada di dalam perdagangan yaitu Seorang penjual yang
menyampaikan apa barang dagangannya kepada orang lain agar orang-orang tahu apa
yang dia jadikan bisnis. Nilai dasarnya dari Tabligh yaitu komunikatif, menjadi
pelayanan bagi publik, bisa berkomunikasi secara efektif, memberikan contoh yang
baik, dan bisa mendelegasikan wewenangnya kepada orang lain.
Sifat Tabligh yaitu berupa komunikasi, keterbukaan, pemasaran merupakan
teknik hidup muslim karena setiap muslim mengemban tanggung jawab dakwah, yakni
menyeru, mengajak, memberitahu. Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap
muslim, apalagi yang bekerja sebagai guru, akan menjadikan setiap proses
pembelajaran lebih efektif dan efesien. Dikarenakan sifat tabligh merupakan prinsip
ilmu komunikasi baik personal maupun massal, pemasaran, periklanan, penjualan,
pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan dan lain sebagainya.
Dan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, kita juga harus mengacu pada prinsip-
prinsip tabligh yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul. Seperti misalnya Nabi

11
mengajarkan kepada kita bahwa yang terbaik diantara antara kalian adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia, dengan kata lain bila kita ingin sekali mendapatkan ridha
Allah, maka kita juga harus menyenangkan, membuat hati orang-orang di sekitar kita
ridha dengan perbuatan kita. Dengan prinsip ini maka akan melahirkan sikap
profesional dan tidak putus asa dalam mencari kebenaran atau terus menerus mengejar
hal-hal yang baik sampai menemukan jawaban yang sempurna.
Sebab itu jika Saudara adalah pemikir dan praktisi pendidikan, lalu hendak
menyusun teori, maka hal yang harus menjadi pegangan adalah semua yang datang dari
Allah dan rasul-Nya diyakini sebagai kebenaran yang mutlak. Jika ada hal- hal yang
masih belum bisa dipahami oleh akal pikiran manusia maka itu akan menjadi tugas
manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut bagaimanapun caranya.
Bagaimana menurut Saudara? Apabila umat Islam secara umum sudah memiliki
sifat tabligh, khususnya guru-guru kita? Pastinya ilmu pengetahuan akan berkembang
dengan sangat pesat di kalangan kaum muslimin. Dan dapat dibayangkan kalau umat
Islam banyak yang menjadi ahli dalam berbagai bidang ilmu. Umat Islam akan
mengalami masa keemasan kembali seperti dahulu telah tercatat dalam sejarah umat
manusia.

e. Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf
dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa
benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata pemaaf, adalah serapan dari
Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun, dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah difahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakiki maaf adalah lupa, benar-benar lupa dari memori otak kita
tentang kesalahan orang lain yang berhubungan dengan kita. Memaafkan kesalahan si
fulan berarti melupakan kesalahan si fulan terkait dengan kita. Pemaaf berarti orang
yang dapat dengan mudah melupakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan
dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat
kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun
masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika demikian
adanya yakni banyak diantara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan diharap
dendam dalam masyarakat kita akan bisa hilang. Dan jangan berharap aka ada

12
ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat kita, kalau diantara kita belum ada
saling memaafkan.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih untuk memiliki sifat
pemaaf itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada
sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar untuk bersifat pemaaf, kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.
Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui
kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab
diturunkannya ayat berikut ini:

َْْ‫سا ِكين‬ َ ‫س َع ِْة ْأَنْ ْيُؤتُوا ْأُو ِلي ْالقُر َبى ْ َوال َم‬ َ ‫ل ْ ِمن ُكمْ ْ َوال‬ِْ ‫ل ْأُولُو ْالفَض‬ ِْ َ ‫ل ْ َيُأت‬ْ َ ‫َو‬
َْ ْ ‫ل ْت ُ ِحبُّونَْ ْأَنْ ْ َيغِْف َْر‬
ْْ‫ّللاُ ْلَ ُكم‬ ْ َ َ ‫ّللاِ ْ َول َيعفُوا ْ َول َيصفَ ُحوا ْأ‬
َْ ْ ‫ل‬ ِْ ‫س ِبي‬
َ ْ ‫اج ِرينَْ ْ ِفي‬ِ ‫َوال ُم َه‬
)22:‫ّللاُْ َغفُورْْ َر ِحيمْْ(النور‬ َْ ‫َو‬
Artinya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan
diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada
kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (QS. An-Nur/24: 22)
Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah SAW. Banyak
kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat
pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah
dengan menabur racun dimakanan beliau, namun Rasulullah terselamatkan. Hingga
wanita itu mengakui perbuatannya kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita
itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana kita
bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam proses
membangun keluarga diantara kita yang tentunya tidak luput dari kesalahan-kesalahan
baik bapak, ibu maupun anak. Allah Swt. berfirman:

ْ‫اج ُكمْْ َوأَو َل ِد ُكمْْ َعد ًُّواْلَ ُكمْْفَاحذَ ُرو ُهمْْ َوإِنْْتَعفُوا‬
ِ ‫نْ ِمنْْأَز َو‬ َْ ِ‫يَاْأَيُّ َهاْالَذِينَْْآ َمنُواْإ‬
)14:‫ّللاَْ َغفُورْْ َر ِحيمْْ(التغابن‬ َْ ْ‫ن‬ َْ ِ ‫َوتَصفَ ُحواْ َوتَغ ِف ُرواْفَإ‬
Artinya:
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara pasangan-pasanganmu
dan anak-anakmu itu ada yang menjadi musuhmu. Maka hendaknya kalian berhati-

13
hati dalam menghadapi mereka. Dan jika kalian bisa memaafkan, memperbaiki dan
mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS. At-Taghabun/64:14)

Ishlah diantara anggota keluarga yang telah disakiti rasanya susah untuk
dilaksanakan, kalau masing-masing diantara mereka mengatakan tidak ada maaf
bagimu. Sebagai orang yang lebih mengerti di dalam keluarga, harus selalu waspada
dengan anggota keluarga yang lainnya. Sebab diantara mereka memang kadang ada
yang mementingkan nafsunya dan mengikuti jalan setan. Mereka itu semua pada
hakekatnya adalah musuh kita orang yang beriman. Mereka biasnya keras kepala dan
susah untuk menerima nasehat, sehingga kita perlu banyak mengalah untuk menang
dengan selalu memaafkan dan menasehati mereka secara ikhlas.
Sebagai guru dijaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia mulai
tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf sangat
diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga
menjadi panutan mereka.

f. Adil
Menurut bahasa Adil derasal dari bahasa Arab yang berarti proporsional, tidak
berat sebelah, atau jujur. Adil maksudnya juga tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, atau yang sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang. Menurut ilmu akhlak adil dapat didefinisikan sebagai
perbuatan meletakan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu
sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat
sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya.
Islam sangat menekankan sikap adil dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt.
memerintahkan kepada umat manusia supaya berprilaku adil. Keadilan merupakan inti
ajaran Islam yang mencakup semua aspek kehidupan. Prinsip keadilan yang dibawa Al-
Qur’an sangat kontekstual dan relevan untuk diterapkan kedalam kehidupan beragama,
berkeluarga dan bermasyarakat.
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan
sederajat di hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit,
status sosial, ekonomi, atau politik. Karena keadilan merupakan sesuatu yang bernilai
tinggi, baik, dan mulia. Apabila keadilan diwujudkan dalam kehidupan pribadi,

14
keluarga, masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan
kemuliaan akan diraih. Jika seseorang mampu mewujudkn keadilan dalam dirinya
sendiri, tentu akan meraih keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan
batin, disenangi banyak orang, dapat meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh
kesejahteraan hidup duniawi serta ukkhrawi.
Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, akan terwujud masyarakat yang aman,tentram , serta damai sejahtera
lahir dan batin. Hal ini disebabkan masing-masing anggota masyarakat melaksanakan
kewajiban terhadap orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadil-
adilnya.
Adapun nilai positif perbuatan adil antara lain : (1). membawa ketentraman,
kedamaian, menimbulkan kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan
prestasi belajar, menciptakan kemakmuran, mengurangi kecemburuan sosial,
mempererat tali persaudaraan, dapat menimbulkan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Bagaimana dengan guru yang adil dalam mendidik peserta didiknya? Tentu
akan menumbuhkan gairah belajar dan bersaing yang sehat di kalangan peserta didik
dalam mengejar prestasi yang unggul.

15

Anda mungkin juga menyukai