Anda di halaman 1dari 92

KEGIATAN BELAJAR 1:

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menjelaskan Konsep Tafsir, takwil, tarjamah, ayat-ayat muhkamat dan


mutasyabihat.
2. Menganalisis Penerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat

URAIAN MATERI
1. Tafsir
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),al-
bayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat
beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir
sebagai berikut :

ِ‫ان َمعَا ِني ِه َو ا ْس ِت ْخ َراج‬


ِ ‫لى نَبِ ِي ِه ُم َح َّم ٍد صلى هللا عليه و سلم َو َب َي‬
َ ‫ع‬َ ‫ب هللاِ ال ُمن ََّز ِل‬
ِ ‫ف ِب ِه فَ ْه ُم ِكتا‬ ُ ‫ِع ْل ٌم يُ ْع َر‬
‫ام ِه َو ِح َك ِم ِه‬ِ ‫أحْ َك‬
Artinya:
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah-
hikmahnya.

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai

1
dengan kemampuan manusia. Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir
adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut
Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau
dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.
Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi
segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan
kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia.
Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir,
di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat
dalam al-Qur’an.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir dituntut untuk menjelaskan
maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an.
Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadz-
lafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat
tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa
dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap
ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di dalamnya
membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh,
dst.
Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen
yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup
untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca
terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang
penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa
memperhatikan asbabun nuzul. Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan
memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika
turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan
asbabun nuzulnya melalui riwayat.
Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan
memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan madaniyah,
apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an : a) Dapat membantu mempermudah
dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan makiyah dan madaniyah terkait dengan

2
situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya
bahasa yang berbeda pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami
ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c) Dengan
memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah
hidup Nabi Muhammad Saw .
Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat
membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa suatu ketika di masa
hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum dan mendengar bacaan Hisyam
bin Hakim membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama
dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar menyeretnya ketika
dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam
selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat
kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan
kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar” Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak
seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul, di mana setelah
keduanya membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil
bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.
Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi
dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan
makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat
memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah ; a) Dapat mengetahui
adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
ْ َ‫َو ََل ت َ ْق َربُو ُه َّن َحت َّ ٰى ي‬
َ‫ط ُه ْرن‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

ْ َ‫ ي‬berarti wanita
َّ ‫ ي‬. Kata َ‫ط ُه ْرن‬
Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca َ‫ط َّه ْرن‬
َّ menunjukkan makna
haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan َ‫يط َّه ْرن‬
bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat
dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.
Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat
Al Maidah: 6 dalam kaitannya dengan wudhu:
۟ ‫س ُح‬
ۚ ‫وا ِب ُر ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْٱل َك ْعبَي ِْن‬ ۟ ُ‫فَٱ ْغ ِسل‬
ِ ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ْٱل َم َرا ِف‬
َ ‫ق َو ْٱم‬
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
(basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

3
Kata ‫(وأ َ ْر ُجلَ ُك ْم‬wa
َ arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian imam lain
membaca dengan mengasrah lam ‫( َوأَ ْر ُج ِل ُك ْم‬wa arjulikum) yang dari dua qira’at ini dapat
dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat
dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada zaman
dahulu) bagi orang yang sedang safar.
Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang
memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan
seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat
terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam
menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan
bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an.

2. Takwil
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki
makna al-ruju’ atau al’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini al Qur’an
beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah pristiwa
atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam menjelaskan pristiwa
tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya dinyatakan dengan kalimat
haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala robbii haqqo…( ini adalah takwil
mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan).
Demikian juga pada surat al Kahfi (78) tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi
ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa unabbi uka
bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang
engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an, maka secara
terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai
berikut:

‫سنَّة‬ ِ ‫إلى َم ْعنًى يَحْ ت َ ِملُهُ إذَا كانَ ال ُمحت َ ِم ُل الَ ِذي يَراه ُم َوافِقًا ِلل ِكتا‬
ُّ ‫ب وال‬ َ ‫ف اللَّ ْف ِظ‬
َ ‫ع ْن َم ْعنَاهُ الظا ِه ِر‬ ُ ‫ص ْر‬
َ
Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung oleh
lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al
qur’an dan al sunnah.

4
Misalnya dalam memahami kalimat ‫( يخرج الحي من الميت‬mengeluarkan kehidupan dari
yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam pengertian ―mengeluarkan seekor ayam yang
menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan
takwil, yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang
pandai dari kebodohan.1
Melihat penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya takwil dilakukan
dalam rangka memahami ayat yang berarti juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks
Alquran dan hadis sejak lama telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi
tafsir memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan takwil
yang benar.

3. Terjemah
Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri
memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman2. Kata turjuman sebentuk
dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa
ke bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa
lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Secara etimologi berarti juga ‚memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam bahasa lain.
Dalam hal ini seperti memindahkan atau mengartikan ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa
Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia.
Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;

‫يع َمعَا ِني ِه َو‬


ِ ‫اء ِب َج ِم‬ َ ‫َلم ا َخ ٍر ِم ْن لُغَ ٍة ا ُ ْخ َرى َم َع‬
ِ َ‫الوف‬ ٍ ‫نى َك ََل ٍم ِفى لُغَ ٍة ِب َك‬
َ ‫ع ْن َم ْع‬
َ ‫ير‬ ُ ‫الت َ ْع ِب‬
‫قاصدِه‬
ِ ‫َم‬
Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al-


Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa
naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami

1
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.
2 . Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr.
Hal;37
3 . Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66

5
kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.
Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang
serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-
kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami
maksud ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk
bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut
kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman
terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal;
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat atau utuh ke dalam
bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing.
Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh
dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun
tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan
keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik
bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah
fi’liyah. Pola memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam
penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-
ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam
bahasa dan kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu
menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian bukan berarti terjemah
al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk
melakukan tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak
memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan
bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan
di atas.

6
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.
Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman
berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi
ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua
hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan
antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar
dan salah. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti
keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.
Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah
diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan
penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4
Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan
muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali Imran (QS 3:7) :

َ‫ب َوأُخ َُر ُمتَشَا ِب َهاتٌ ۖ فَأ َ َّما الَّذِين‬ ِ ‫اب ِم ْنهُ آ َياتٌ ُم ْح َك َماتٌ ُه َّن أ ُ ُّم ْال ِكتَا‬ َ َ ‫علَي َْك ْال ِكت‬ َ ‫ُه َو الَّذِي أ َ ْنزَ َل‬
َّ ‫ِفي قُلُو ِب ِه ْم زَ ْي ٌغ فَ َيت َّ ِبعُونَ َما تَشَا َب َه ِم ْنهُ ا ْب ِتغَا َء ْال ِفتْنَ ِة َوا ْب ِتغَا َء تَأ ْ ِوي ِل ِه ۗ َو َما َي ْعلَ ُم تَأ ْ ِوي َلهُ ِإ ََّل‬
ۗ ُ‫َّلل‬
ِ ‫الرا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم َيقُولُونَ آ َمنَّا ِب ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َر ِبنَا ۗ َو َما َيذَّ َّك ُر ِإ ََّل أُولُو ْاْل َ ْل َبا‬
‫ب‬ َّ ‫َو‬
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya


takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu5. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat

4 . Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208


5
. Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,

7
mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian
saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya. Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian
tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah
bahasa Arab.
Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan
tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan dalam
mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang
dan akan datang. Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi al Qur’an
mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan
dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan
kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja
digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.6
Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga
hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil
bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu
ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya
Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata ―dikenal secara luas bisa
dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami
dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (‫ )طيرا‬pada
surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara – yathiiru berarti
terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang
beterbangan.
Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur ‫هللا‬
‫( نورالسماوات واَلرض‬Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu
bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai
dengan ayat: ‫ليس كمثله شيئ‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura
[42]: 11.
Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof.
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan
kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir

diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 209.
6
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

8
Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua
makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya.
Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan
langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol
dengan baik.Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah
meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

9
KEGIATAN BELAJAR 2:

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menjelaskan Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari


2. Menganalisis Klasifiksi dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al
ra’yi, tafsir isyari.
3. Menjelaskan konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
4. Menganalisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

URAIAN MATERI
Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau
metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan
langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.
Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui
bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.
Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara
penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’
di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al
Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an
adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun
atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat
tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain
menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian dilakukan
ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari sumbernya,
penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur , Tafsir bi al-
Ra’yi dan Tafsir al Isyari.

1
1. Pendekatan Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasan-
penjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist
maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al
Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah,
karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar
sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang
sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw,
demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang
bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat. Karena itu sumber penafsiran bi-al-
Riwayah ini dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an, karena dianggap
lebih terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan al Qur’an.
Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat al-
Qur’an, yaitu;
a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain
Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan
dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.
Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan
Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat.
Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan
(dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al
Hasyr ( QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:

ُ‫َّللاُ الهذِي ََل إِ َٰلَهَ إِ هَل ه َُو ْال َم ِلك‬ ‫الرحْ َٰ َمنُ ه‬
‫)ه َُو ه‬22( ‫الر ِحي ُم‬ ‫ش َهادَةِ ۖ ه َُو ه‬ ‫ب َوال ه‬ِ ‫َّللاُ الهذِي ََل إِ َٰلَهَ إِ هَل ه َُو ۖ َعا ِل ُم ْالغَ ْي‬
‫ه َُو ه‬
‫َّللاُ ْالخَا ِل ُق‬‫) ه َُو ه‬23( َ‫َّللاِ َع هما يُ ْش ِر ُكون‬ ُ ۚ ‫هار ْال ُمتَكَبِ ُر‬
‫س ْب َحانَ ه‬ ُ ‫يز ْال َجب‬ُ ‫ُّوس الس َهَل ُم ْال ُمؤْ ِمنُ ْال ُم َهي ِْمنُ ْالعَ ِز‬ ُ ‫ْالقُد‬
)24( ‫يز ْال َح ِكي ُم‬
ُ ‫ض ۖ َوه َُو ْالعَ ِز‬
ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َ ُ‫ص ِو ُر ۖ لَهُ ْاْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسن ََٰى ۚ ي‬
‫س ِب ُح لَهُ َما فِي ال ه‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫ئ ْال ُم‬ ِ َ‫ْالب‬
ُ ‫ار‬
Artinya :
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22)
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara,
Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan,
2
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).

b) Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw


Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk
dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi
Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang
perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah
(SQ 43;43)
‫ار َكعُوا َم َع ه‬
)43( َ‫الرا ِكعِين‬ ْ ‫الزكَاة َ َو‬ ‫َوأَقِي ُموا ال ه‬
‫ص ََلة َ َوآتُوا ه‬
Artinya
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang
yang ruku’

Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;

‫ي‬ ِ ‫ َو ْل َيؤُ هم ُك ْم أَ ْك َب ُر ُك ْم – ( َر َواهُ ْالبُخ‬، ‫صَلة ُ فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم أ َ َحد ُ ُك ْم‬
ُّ ‫َار‬ ‫ت ال ه‬
ِ ‫ض َر‬ َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمو ِني أ‬
َ ‫ فَإِذَا َح‬، ‫ص ِلي‬ َ
)
Artinya:
Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba
waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian
mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kalian
menjadi imam. (HR Bukhori)

c) Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.


Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al
Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat
juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama
Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu
diturunkan.
Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah )QS 2: 3):
ِ ‫الهذِينَ يُؤْ ِمنُونَ بِ ْالغَ ْي‬
....‫ب‬
3
Artinya
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah
bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan
menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah
iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’
bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsyauna yang berarti takut.1
Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.

b. Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah


Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah
penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya,
di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja
adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap telah memenuhi
persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir.
Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir
bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan
penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga
menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin
ulum Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi al-
Ra’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi
sesudah mereka.2Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi al-
Ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan pendekatan
Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat
mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam
dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti
pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat
parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten. Di
samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup
1
. Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.
2
.M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat,
Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.
Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hati.)

4
kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran
terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y
tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan
dalam membatasi pemikiran yang berkembang.3
Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim
Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan
pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-
Qur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal
penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya.
Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan
mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 4
Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam
kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai
berikut :
(4) ِ‫مَلِكِ يَوْمِ الﱢدين‬
Artinya :
Tuhan yang menguasai hari pembalasan.
Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang
amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari
Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa
yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai
orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang
menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya
kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al-
Qur'an. Seperti pada surat azZumar (SQ 29;28) :

ُ‫َّللا‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬


‫ض لَيَقُولُ هن ه‬ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال ه‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َولَئِ ْن‬

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.
Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:

3
. Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali.
(1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
4
. Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir,
Volume 1 Nomor 1 Juni 2018

5
َ ‫َب ْل َع ِجبُوا أ َ ْن َجا َء ُه ْم ُم ْنذ ٌِر ِم ْن ُه ْم َفقَا َل ْالكَا ِف ُرونَ َهذَا‬
ٌ‫ش ْي ٌء َع ِجيب‬

"Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi
peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini
adalah suatu perkara yang amat aneh. "

Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di


dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia
pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu
terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi
terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu
gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia
mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah
mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup
menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam
bumi ini atau 'alam Akhirat.
Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas
bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al
Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi
adalah kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar at-
Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.

c. Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang
berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya
untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat. 5 Senada dengan
definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an
melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah
terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh

5
. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2,
hal. 352

6
lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau
hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara
lafazh.6
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.

Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :


َ ‫ص ََل ِة ْال ُو ْس‬
َ‫ط َٰى َوقُو ُموا ِ هَلِلِ قَانِتِين‬ ِ ‫صلَ َوا‬
‫ت َوال ه‬ ُ ِ‫َحاف‬
‫ظوا َعلَى ال ه‬
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan

Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima
macam shalat sebagai berikut:
‫ و صَلة القلب بمراقبته‬،‫ وصَلة النﻔﺲ بخمودها عن دواعى الريب‬،‫إن الصلوات خمﺲ صَلة السر بشهود مقام الغيب‬
. ‫ وصَلة البدن بحﻔﻆ الحواس وإقامﺔ الحدود‬،‫ وصَلة الروح بمشاهدة الوصل‬،‫أنوار الكشﻒ‬
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.

Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi


memahami shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.

6
. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 373
7
. Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli
2010

7
2. Metode Penafsiran Al Qur’an
a. Metode Tahlili (Analisis)
Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara
menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang
cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-
aspek yang ingindisampaikan, misalnya menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu
al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab tafsir yang
disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi,
kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-
Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al
Ahzab ayat 30 :

)30( ‫ِيرا‬
‫َّللاِ يَس ا‬ ِ ُ‫ﻒ لَ َها ْالعَذَاب‬
‫ض ْعﻔَي ِْن َو َكانَ ذَلِكَ َعلَى ه‬ ْ ‫ضا َع‬
َ ُ‫ش ٍﺔ ُمبَيِنَ ٍﺔ ي‬
َ ‫اح‬ ِ ْ ‫سا َء النهبِي ِ َم ْن يَأ‬
ِ َ‫ت ِم ْن ُك هن بِﻔ‬ َ ِ‫يَا ن‬
Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji
yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah
dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi istri
Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka ketentuan
hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita lainnya. Disebutkan
bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.
Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna
membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan
ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti
terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:

َ َ‫ي ِإ َليْكَ َو ِإلَى الهذِينَ ِم ْن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أ َ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬


َ‫ط هن َع َملُك‬ ِ ُ ‫َولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang


sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalanmu. (Az-Zumar: 65)

8
Seperti yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:
َ ‫َولَ ْو أ َ ْش َر ُكوا لَ َح ِب‬
َ‫ط َع ْن ُه ْم َما كَانُوا َي ْع َملُون‬
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 88)

َ‫لرحْ َم ِن َولَد ٌ فَأَنَا أَ هو ُل ْال َعا ِبدِين‬


‫قُ ْل ِإ ْن َكانَ ِل ه‬
Katakanlah, "Jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka
akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (Az-
Zukhruf: 81)

Dan firman Allah Swt.:


ُ ‫احد ُ ْالقَ هه‬
‫ار‬ ِ ‫َّللاُ ْال َو‬ ُ ‫طﻔَى ِم هما يَ ْخلُ ُق َما يَشَا ُء‬
‫س ْب َحانَهُ ه َُو ه‬ ْ ‫َّللاُ أ َ ْن يَت ه ِخذَ َولَد اا َل‬
َ ‫ص‬ ‫لَ ْو أ َ َرادَ ه‬
Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang
dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Mahasuci
Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar: 4)

Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada
seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi menjaga
kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan
keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
(Al-Ahzab: 30)
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna
firman-Nya: niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (Al-
Ahzab: 30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.
‫ِيرا‬ ‫َو َكانَ ذَلِكَ َعلَى ه‬
‫َّللاِ يَس ا‬
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30)
Maksudnya, teramat mudah dan gampang.

b. Metode Ijmali (Global)


Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah
dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan
9
panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-
Mahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit
terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :
‫ و ُخ ه‬، ‫(الرحمن الرحيم) أي ذي الرحمﺔ وهي إرادة الخير ْلهله ( َم ِل ِك يوم الدين) أي الجزاء وهو يوم القيامﺔ‬
‫ص بالذكر‬
‫ْلنه َل ملك ظاهرا ا فيه ْلحد إَل هلل تعالى بدليل {لمن الملك اليوم هلل} ومن قرأ {مالك} فمعناه مالك اْلمر كله في يوم القيامﺔ‬
‫أو هو موصوف بذلك دائما ا {كغافر الذنب} فصح وقوعه صﻔﺔ لمعرفﺔ (إياك نعبد وإياك نستعين) أي نخصك بالعبادة من‬
‫ (صراط الذين‬: ‫ ويبدل منه‬. ‫توحيد وغيره ونطلب المعونﺔ على العبادة وغيرها (اهدنا الصراط المستقيم) أي أرشدنا إليه‬
، ‫أنعمت عليهم) بالهدايﺔ ويبدل من الذين بصلته (غير المغضوب عليهم) وهم اليهود (وَل) غير (الضالين) وهم النصارى‬
‫ وصلى هللا على سيدنا‬، ‫ونكتﺔ البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهودا ا وَل نصارى وهللا أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب‬
. ‫ وَل حول وَل قوة إَل باهلل العلي العظيم‬، ‫ وحسبنا هللا ونعم الوكيل‬، ‫محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما ا كثيرا ا دائما ا أبدا ا‬
‫[وعن الشيخ محمود الرنكوسي تﻔسير ألطﻒ ورد في مختصر تﻔسير ابن كثير مﻔاده أن المغضوب عليهم هم الذين عرفوا‬
]‫ دار الحديث‬. ‫الحق وخالﻔوه أما الضالين فلم يهتدوا إلى الحق أصَلا‬
Dalam penafsiran di atas tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global,
misalnya kata ar rahman dan arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang
berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian
berganti kepada ayat berikutnya.

c. Metode Muqaran (Komparatif)


Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun
redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau
membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun
tabi’in. Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian
membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab
tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa
berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat
atau Zabur).8

d. Metode Maudhu’i (Tematik)

8
. Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60

10
Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan
zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis
serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat
pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang
memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika
melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah;
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan
pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang
mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang
asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).
d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
e. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang
‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang
apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan dan pemaksaan.

11
KEGIATAN BELAJAR 3:

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi


2. Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan
toleransi

URAIAN MATERI
1. Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah
sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat
diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah
pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi
di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan
keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran.
Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar
menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. Dalam
hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’
maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai
kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam
menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal
yang dapat merusak niat itu sendiri.
Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani
itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal

1
yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan
kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari
amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya
untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan
kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa
ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa
lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas
tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut:
- Surah Ghafir (QS.40: 14)
َ‫صينَ لَهُ ٱلدِينَ َولَ ْو ك َِرهَ ْٱل َٰ َك ِف ُرون‬
ِ ‫ٱَّللَ ُم ْخ ِل‬
‫ُوا ه‬۟ ‫فَٱدْع‬
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari
memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan
agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan)
penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir
maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai
hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits
yang relevan, diantaranya ialah:
‫ع ْن‬ ُ ‫يعني بن‬- ‫ َحدهثَنَا ِهشَا ٌم‬،‫َّللاِ ب ُْن نُ َمي ٍْر‬
ُّ ‫ع ْر َوة َ ب ِْن‬
َ -‫الزبَي ِْر‬ َ ‫ َحدهثَنَا‬:ُ ‫اْل َما ُم أَحْ َمد‬
‫ع ْبدُ ه‬ ِ ْ ‫قَا َل‬
‫الزبَي ِْر يَقُو ُل فِي دُب ُِر‬
ُّ ‫َّللاِ ب ُْن‬
‫ع ْبدُ ه‬ َ َ‫ َكان‬:َ‫الزبَي ِْر ُم َح هم ِد بن مسلم بن مدرس ْال َم ِكي ِ قَال‬ ُّ ‫أَبِي‬
َ ‫ َو ُه َو‬،ُ‫ لَهُ ْال ُم ْلَُ َولَهُ ْال َح ْمد‬،ُ‫ َوحْ دَهُ ََل َ َِريََ لَه‬،ُ‫َّللا‬
َ‫عل‬ ‫ ََل إِلَهَ إِ هَل ه‬:‫س ِل ُم‬
َ ُ‫ص ََلةٍ ِحينَ ي‬ َ ‫ُك ِل‬
ُ‫ لَهُ النِ ْع َمُُ َولَه‬،ُ‫ َو ََل نَ ْعبُدُ إِ هَل إِيهاه‬،ُ‫َّللا‬
‫ ََل إِلَهَ إِ هَل ه‬،ِ‫اَّلل‬
‫ ََل َح ْو َل َو ََل قُ هوة َ إِ هَل بِ ه‬،‫ِير‬ ْ َ ‫ُك ِل‬
ٌ ‫َيءٍ قَد‬

2
:َ‫صينَ لَهُ الدِينَ َولَ ْو َك ِرهَ ْال َكافِ ُرونَ " قَال‬ ‫ ََل ِإلَهَ ِإ هَل ه‬،‫س ُن‬
ِ ‫ ُم ْخ ِل‬،ُ‫َّللا‬ َ ‫ َولَهُ الثهنَا ُء ْال َح‬،ُ‫ضل‬ ْ َ‫ْالف‬
َ ‫سله َم يُ َه ِلل ِب ِه هن دُب َُر ُك ِل‬
ٍ‫ص ََلة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صله ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َو َكانَ َر‬
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz
Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di
Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu
mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan
selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagi-
Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan
tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua
nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah,
(kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya,
sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair
mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut
setiap usai salatnya.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa
Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa
berikut:
‫ ََل‬.‫ِير‬ٌ ‫َيءٍ قَد‬ْ َ ‫علَ ُك ِل‬ َ ‫ َو ُه َو‬،ُ‫ َلهُ ْال ُم ْلَُ َو َلهُ ْال َح ْمد‬،ُ‫ َوحْ دَهُ ََل َ َِريََ َله‬،ُ‫َّللا‬ ‫"َل ِإ َلهَ إِ هَل ه‬
َ
ْ َ‫ لَهُ النِ ْع َمُُ َولَهُ ْالف‬،ُ‫َّللاُ َو ََل نَ ْعبُدُ ِإ هَل ِإيهاه‬
‫ َولَهُ الثهنَا ُء‬،ُ‫ضل‬ ‫ ََل ِإلَهَ ِإ هَل ه‬،ِ‫اَّلل‬
‫َح ْو َل َو ََل قُ هوة َ ِإ هَل بِ ه‬
" َ‫صينَ لَهُ الدِينَ َولَ ْو َك ِرهَ ْال َكافِ ُرون‬ َ ‫ْال َح‬
‫ ََل ِإلَهَ ِإ هَل ه‬،‫س ُن‬
ِ ‫َّللاُ ُم ْخ ِل‬
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya
kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak
menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia,
dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan
ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).

3
‫ َع ْن ِهش َِام ب ِْن‬-‫الم ِري‬ َ ‫ َحدهثَنَا‬،ٍ‫َاصح‬
ِ ‫يَ ْعنِي‬- ‫صا ِل ٌح‬ ِ ‫ن‬ ُ‫َصيب ْبن‬ ‫ َحدهثَنَا ه‬:‫قَا َل ا ْبنُ أَبِي َحاتِ ٍم‬
ِ ‫الربِي ُع َحدهثَنَا الخ‬
:َ‫سله َم َقال‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
‫ه‬ ‫صله‬
َ ِ ‫ َع ِن ال هنبِي‬،ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
‫ه‬ ‫ي‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ َر‬،َ ‫يرينَ َع ْن أَبِي ه َُري َْرة‬ ِ ‫ َع ِن اب ِْن ِس‬، َ‫َحسهان‬
ٍ ‫َّللاَ ََل يَ ْست َِجيبُ د ُ َعا ًء ِم ْن قَ ْل‬
"ٍ‫ب غَافِ ٍل ََله‬ ‫ َوا ْعلَ ُموا أ َ هن ه‬،ُِ َ‫اْل َجاب‬
ِ ْ ِ‫"ادعوا هللا َوأ َ ْنت ُ ْم ُموقِ ُنونَ ب‬

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi',


telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan
kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu
Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan
doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.
Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah
mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang
pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT.
Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang
tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi
keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain
yang mungkin tidak menyukainya.
- Surat Gahfir SQ 40: 65
Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah
ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
َ‫ب ْٱل َٰ َعلَ ِمين‬ ِ ‫َل ِإ َٰلَهَ ِإ هَل ه َُو فَٱدْعُوهُ ُم ْخ ِل‬
ِ ‫صينَ لَهُ ٱلدِينَ ْٱل َح ْمد ُ ِ هَّللِ َر‬ ٓ َ ُّ ‫ه َُو ْٱل َح‬
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah
Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia)
sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)

4
Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan
satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan
bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya
dengan segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan
menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian
penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan
penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir ialah sebagai berikut:
ُّ ‫ه َُو ْال َح‬
‫ي ََل إِلَهَ إَِل ه َُو‬
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia
tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang
Maha lahir lagi Maha batin.
‫ََل إِلَهَ إَِل ه َُو‬
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)
Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
َ‫صينَ لَهُ الدِين‬
ِ ‫فَادْعُوهُ ُم ْخ ِل‬
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:
65)
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam
mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah”
hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu
Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh

5
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah,
Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair,
dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu
mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:
‫« ََل ِإلَهَ ِإ هَل ه‬
»‫َّللاُ َوحْ دَهُ ََل َ َِريََ له‬
“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan
dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita
hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa
menyekutukannya.
- Surat Al A’raf ayat 29
Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al
A’raf yang berbunyi:
َ‫صينَ لَهُ الدِينَ ۚ َك َما بَدَأ َ ُك ْم تَعُود ُون‬ ِ ‫قُ ْل أ َ َم َر َر ِبي ِب ْال ِقس‬
ِ ‫ْط ۖ َوأَقِي ُموا ُو ُجو َه ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َوادْعُوهُ ُم ْخ ِل‬
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepada-Nya)".
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu
perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada
lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan
luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan
menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di
setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan
sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan

6
ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia
menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya
Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup
kembali.

Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan


kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya
hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang
lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang
lainnya.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki
penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh
kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-
masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia
menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa,
kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan
semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang
berbunyi:
ِ ‫قُ ْل أ َ َم َر َربِي بِ ْال ِقس‬
‫ْط‬
Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini
ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan
berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.

Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:

7
ِ ‫َوأَقِي ُموا ُو ُجو َه ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل َمس ِْج ٍد َوادْعُوهُ ُم ْخ ِل‬
َ‫صينَ لَهُ الدِين‬
Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di
setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”,
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya,
yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-
mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan
syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada
kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena
sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan
secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal
dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”

Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:


َ‫َك َما بَدَأَ ُك ْم تَعُودُون‬
Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)

Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu


Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna
firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29)
ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun
menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna
“sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat
dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman
Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai

8
penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak
ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam
keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa
penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak
semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan
kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli
surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah,
maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya
sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka
(penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi
orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi
mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah
“sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang
mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka
demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah
keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”

Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat
diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal
ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan
dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan
sedikitpun.
- Surat Az Zumar Ayat 11
Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:
َ‫صا لَهُ الدِين‬ ‫قُ ْل ِإنِي أ ُ ِم ْرتُ أ َ ْن أ َ ْعبُدَ ه‬
ً ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
a. Tafsir Jalalain

9
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari
perbuatan syirik.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan
bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan
“aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan
tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
c. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran
atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa
“sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”
Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa
pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang
berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya
dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan kemurnian
hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana
Allah telah berfirman:
ِ ‫س إِ هَل ِليَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخ َل ْقتُ ْال ِج هن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

2. Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang
berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap
toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi (mengutip
kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan
atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau
sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan
dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.

10
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan
pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang
lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama,
ideologi dan ras.
Firman-Nya, ‫ َو ِم ۡن ُه ۡم هم ۡن ي ُّۡؤ ِمنُ ِبه‬Di antara mereka ada orang-orang yang
beriman kepada Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka yang
kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan Al-
Qur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang kamu
diutus dengannnya. ‫“ َو ِم ۡن ُه ۡم هم ۡن هَل ي ُۡؤ ِمنُ بِه‬Dan di antaranya ada (pula) orang-
orang yang tidak beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam keadaan
seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.
َ‫“ َو َربََُّ اَعلَ ُم بِال ُمف ِسدِين‬Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang
yang berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masing-
masing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha
Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang

musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.

‫َولَـ ُكم َع َملُ ُكم‬


‫“ فَقُ ْل ِل‬Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu
‫َع َم ِل‬
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya: َ‫ َلَ ا َ ْعبُد ُ َما تَ ْعبُد ُْون‬# ‫قُ ْل َياأ َ ُّي َها ْالكَافِ ُر ْون‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa
yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2).
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
َ ‫لَ ُك ْم ِد ْينُ ُك ْم َو ِل‬
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi: ‫ي‬
‫“ ِدي ِْن‬Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain
dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi

11
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada
lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf
atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua
kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna
dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy
berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang
kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami
dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa
menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”.
karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami
akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah
Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-
terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik

12
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin.
Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij)

3. Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah)
memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik hatikebaikan
hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia dan hangat
berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain dengan memberi
secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
‫ٱَّللِ َو َما‬ ‫يس َعلَيََ ُهدَ َٰى ُهم َو َٰلَ ِك هن ه‬
ۚ ‫ٱَّللَ يَهدِي َمن يَشَا ُۗ ُء َو َما تُن ِفقُواْ ِمن خَير فَ ِِلَنفُ ِس ُك ۚم َو َما تُن ِفقُونَ ِإ هَل ٱبتََِا َء َوج ِه ه‬ َ ‫له‬
)272 :‫ف ِإلَي ُكم َوأَنتُم ََل تُظلَ ُمونَ )البقرة‬ ‫تُن ِفقُواْ ِمن خَير ي َُو ه‬
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup
sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu
mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka.
Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum
Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-Thabrani
dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat ini
yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang yang
beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas)

13
Firman-Nya (‫ )وما تنفقوا من خير فِلنفسكم‬sebgaimana dalam Surah Fushishilat
ayat 46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
[pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut cukup
banyak di dalam Al-Quran. Firman-Nya (‫ )وما تنفقون إَل ابتَاء وجه هللا‬Al-Hasari Al-
Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin untuk dirinya
sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya melainkan dalam
rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani mengatakan: “Yakni,
jika engkau memberikan sesuatu karena mencari keridhaan Allah Swt, maka
pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini merupakan makna yang bagus.
Maksudnya adalah bahwa jika seseorang bersedekah dalam rangka mencari
keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya terserah pada-Nya, dan tidak ada
masalah baginya, apakah sedekah itu diterima oleh orang yang baik atau orang
yang jahat, orang yang berhak menerima maupun orang yang tidak berhak
menerima. Orang yang bersedekah ini tetap mendapatkan pahala atas niatnya.
Firman-Nya (‫ )وما تنفقوا من خير يوف إليكم وأنتم َل تظلمون‬yang menjadi sandaran
dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu
Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda:
‫س‬ ُ ‫صبَ َح النها‬ ْ َ ‫ فَأ‬،ٍَُ‫ضعَ َها فِي يَ ِد زَ انِي‬ َ ‫صدَقَتِ ِه فَ َو‬
َ ِ‫ فَخ ََر َج ب‬،ٍَُ‫صدَق‬ َ ِ‫صدهقَ هن الله ْيلََُ ب‬
َ َ ‫ ََلَت‬:ٌ‫"قال َر ُجل‬
‫ فَخ ََر َج‬،ٍَُ‫صدَق‬ َ َ‫ ََلَت‬،ٍَُ‫ الله ُه هم لَََ ْال َح ْمد ُ َعلَ زَ انِي‬:َ‫صدقَ َعلَ زَ انِيٍَُ! َفقَال‬
َ ‫صده َق هن ال هل ْي َلَُ ِب‬ ُ ُ ‫ ت‬: َ‫يَت َ َحدهثُون‬
َ ُ ‫ ال هل ُه هم َلََ ْال َح ْمد‬:‫صدق الله ْيلََُ َعلَ غَني! فَقَا َل‬
َ‫عل‬ ْ َ ‫ فَأ‬،ٍ‫ض َع َها فِي َي ِد َغنِي‬
ُ ُ ‫ ت‬: َ‫ص َب ُحوا َيت َ َحدهثُون‬ َ ‫صدَقَتِ ِه فَ َو‬
َ ‫ِب‬
‫ تُصدق‬: َ‫ص َب ُحوا َيتَ َحدهث ُون‬ ْ َ ‫فَأ‬ ،‫ق‬ ٍ ‫ار‬
ِ ‫س‬ َ ‫صدَقَ ِت ِه فَ َو‬
َ ‫ض َع َها ِفي َي ِد‬ َ ‫ فَخ ََر َج ِب‬،ٍَُ‫صدَق‬َ ‫صدهقَ هن الله ْيلََُ ِب‬
َ َ ‫ ََلَت‬،ٍ‫َغ ِني‬
‫ أَ هما‬:ُ‫ي فَ ِقي َل لَه‬ ُ ٍ ‫ار‬ َ‫ َو َعل‬،ٍ‫علَ َغنِي‬ َ ‫ َو‬،ٍَُ‫ الله ُه هم لَََ ْال َح ْمد ُ َعلَ زَ انِي‬:َ‫ق! فَقَال‬ َ َ‫الله ْيلََُ َعل‬
َ ِ‫ فَأت‬،‫ق‬ ِ ‫س‬َ ٍ ‫ار‬
ِ ‫س‬
ُ‫َاه‬ ‫ َولَعَ هل ْالََنِ ه‬،‫ف بِ َها َع ْن ِزنَاهَا‬
َ ‫ي يَ ْعتَبِ ُر فَيُ ْن ِف ُُ ِم هما أَ ْع‬ ‫الزانِيَُُ فَلَعَله َها أ َ ْن ت َ ْست َ ِع ه‬
‫ت؛ َوأ َ هما ه‬ ْ َ‫صدَقَتََُ فَقَدْ قُبِل‬
َ
"‫س ِر َقتِ ِه‬َ ‫ف بِ َها َع ْن‬ ‫هارقَ أ َ ْن يَ ْستَ ِع ه‬
ِ ‫ َولَعَ هل الس‬،ُ‫َّللا‬ ‫ه‬
Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada
malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu
jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun
membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya
Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’

14
Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam
ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi
harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang
diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu
atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan
mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan:
‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap:
‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan
pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya:
“Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari
zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau
menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga
si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421
dan Muslim 1022).
Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita
memperhatikan juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang mukmin
ketika menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu melainkan
karena mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang mukmin, bukan yang
lainnya. Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan mencari keridhaan Allah,
bukan karena mengikuti hawa nafsu dan bukan pula karena tujuan-tujuan lain. Ia
menginfakkan hartanya ukan bermaksud untuk mengungguli orang lain dan
menyombongi mereka. Ia tidak melakukan infak melainkan semata-mata mencari
keridhaan Alah, tulus ikhlas karena Allah. Karena itu hatinya merasa mantap
bahwa Allah akan menerima sedekahnya; hatinya percaya bahwa Allah akan
memberi berkah pada hartanya; ia percaya kepada kebaikan dan kebajikan dari
Allah sebagai balasan kebaikan dan kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah.
Karena anugerah Allah di bumi, maka ia meningkat kedudukannya, menjadi suci
dan bersih. Sedangkan, karunia akhirat sesudah itu semua adalah sangat utama.

15
KEGIATAN BELAJAR 4:

INDIKATOR KOMPETENSI

Menjelaskan Ayat Al Qur’an tentang konsep integrasi ilmu pengetahuan.


Manganalisis Karakteristik Ulul albab.

URAIAN MATERI
1. Sosok Ulul Albab
Dikisahkan bahwa suatu ketika orang-orang Quraisy datang kepada kaum Yahudi dan
bertanya kepada mereka, apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?” orang-orang Yahudi itu
menjawab “Tongkat dan tangan yang mengeluarkan cahaya putih.” Selanjutnya orang-orang Quraisy
itu mendatangi kaum Nasrani, lalu bertanya kepada mereka, “apa tanda-tanda yang diperlihatkan
Isa?.” Kaum Nasrani menjawab, “Isa menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan
menghidupkan orang mati.” Setelah orang-orang Quraisy mendatangi Yahudi dan Nasrani, kemudian
mereka mendatangi Nabi Saw sambil berkata kepada beliau; “Berdoalah kepada Tuhanmu untuk
mengubah bukit shafa menjadi emas untuk kami.” Nabi Saw kemudian berdoa, maka turunlah firman
Allah Q.S Ali Imran 190 ini ;1
َ‫) الَّذِينَ يَ ْذ ُك ُرون‬190( ‫ب‬ ِ ‫ت ِْلُو ِلي ْاْل َ ْلبَا‬ ٍ ‫ار ََليَا‬ ِ ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِ ََل‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫إِ َّن فِي خ َْل‬
َّ ‫ق ال‬
ِ َ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ َهذَا ب‬
‫اِ ًَل‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ق ال‬ ِ ‫علَى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّك ُرونَ فِي خ َْل‬ َ ‫َّللاَ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو‬
َّ
(191( ‫ار‬ َ َ‫عذ‬
ِ َّ‫اب الن‬ َ ‫س ْب َحانَكَ فَ ِقنَا‬
ُ
Artinya : “
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat
atau berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah

1
. Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, terj. Lubaabun Nuquul fii
Asbaabin Nuzuul, Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 148-149

1
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka (191)
Nabi Saw ketika berdiri mengerjakan salat beliau menangis sehingga jenggotnya basah oleh
air mata. Ketika sujud beliau juga menangis hingga air matanya membasahi tanah kemudian berbaring
beliau menangis lagi. Ketika Bilal datang untuk memberitahukan kepadanya waktu salat subuh,
seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis, padahal Allah
telah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?"
Nabi Saw. menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, malam ini Allah telah menurunkan kepadaku
ayat ini: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
hari terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (Ali Imran: 190)." Kemudian Nabi Saw. bersabda
pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan semuanya itu."
Pada Surat Ali Imran 190 ini mengisyaratkan tentang tauhid, keesaan, dan kekuasaan
Allah SWT. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya
ditetapkan dan diatur oleh Allah Yang Mahahidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha
Mengelola segala sesuatu).2
Surat Ali Imran ayat 190-191 menegaskan penciptaan semesta, yaitu langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang adalah sebagai tanda-Nya. Tanda itu mampu diterima oleh
ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir dan bertafakkur. Berdzikir berarti
senantiasa mengingat Allah dan bertafakkur berarti merenungi dan memikirkan segala
ciptaan Allah Swt yang meliputi langit dan bumi serta segala isinya dan hukum-hukum yang
berlaku di dalamnya.
Dua dimensi yang tidak dipisahkan dalam ayat tersebut sehingga disebut ulul albab
adalah dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun; baik berdiri,duduk
maupun berbaring, di mana setiap orang secara umum memang berada di salah satu dari tiga
kondisi tersebut. Dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap ciptaan
Allah Swt yang tersebar di semesta alam ini; penciptaan langit dan bumi serta pergantian
siang dan malam. Dimensi ke dua ini tentu saja bersifat global dengan tidak merinci bagian-
bagian langit dan bagian-bagian bumi serta hukum-hukum alam yang menjadi sunnatullah,
karena menyebut tiga hal tersebut sudah mewakili apapun yang ada padanya dan
bagaimanapun keadaannya dan yang diakibatkannya telah masuk pada system keberadaan
langit, bumi dan perputarannya.
Memikirkan dan merenungkan bagian-bagian kecil dari langit, misalnya; memikirkan
bulan, matahari, planet atau sinarnya, awannya, panasnya dan juga bagian kecil dari bumi;

2
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2,… hlm. 370.

2
memikirkan hewannya, tumbuhannya, manusianya atau udaranya, maka perbuatan ini juga di
sebut tafakkur fi khalqissamawati wa al ardhi (merenungkan penciptakan langit dan bumi ).
Lebih terperinci lagi bahwa seseorang yang melakukan perenungan melalui berbagai kajian
yang sungguh-sungguh dalam berbagai disiplin ilmu baik social maupun sains pada
hakekatnya sedang melakukan tafakkur.
Kembali pada surat Ali Imran;190 yang menegaskan bahwa dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi ulul
albab. Kata Ulul albab menurut tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang memiliki akal yang
sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat dibalik adanya segala sesuatu yang
tampak. Tanda-tanda yang tersebar di semesta adalah tanda adanya Allah Swt, yang berarti
tanda wujud-Nya, keagungan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaindahan-Nya,
kemahakaryaannya dan kemahasempurnaan-Nya meliputi segala sesuatu.
Namun tanda wujudnya Allah Swt tersebut hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh
orang-orang yang disebut ulul albab, bukan oleh orang lain. Siapakah ulul albab tersebut ?
Seseorang disebut Ulul albab pada ayat tersebut harus memiliki dua syarat, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya; syarat pertama yaitu dimensi dzikir (mengingat Allah Swt)
dalam kondisi apapun. Syarat kedua yaitu dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan
renungan) terhadap ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta. Dua dimensi itu ibarat dua
sisi mata uang pada satu logam yang tidak bisa dipisah-pisahkan, bertafakur tanpa berdzikir
tidaklah di sebut ulul albab, demikian juga sebaliknya.
Seorang ulul albab senantiasa mengingat kepada Allah Swt dan melakukan kajian-
kajian serta renungan terhadap kejadian-kejadian pada ciptaan Allah Swt, sehingga pada
akhirnya dia menemukan hikmah yang agung pada setiap ciptaan Allah Swt. Dia menemukan
sebuah system keserasiaan, keseimbangan dan keharmonisan serta penjagaan Allah Swt
terhadap semesta. Dan pada seorang ululalbab memahami bahwa segala apa yang Allah
ciptakakan memberikan manfaat yang besar terhadap kehidupan dan tidak ada yang sia-sia.
Dalam konteks saat ini seorang ulul albab memiliki sifat dan sikap seperti kritis, mau
berusaha dan berkreasi untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan kelestarian kehidupan. Sifat
dan sikap tersebut dapat dijelaskan berikut ini 3:
a. Memiliki sikap kritis secra rinci rinci lagi ada tiga cirri utama; yaitu berdzikir,
memikirkan atau mengamati fenomena alam dan berkreasi. Dari uraian tersebut dapat
dipahami bahwa berfikir kritis memiliki tiga tuntutan besar: 1) Berdzikir. Seorang

3
. Abdul Majid Khon, dkk, Modul Pendalaman Materi Alqur’an Hadis. Fitk Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.Cetakan Pertama, 2018

3
yang berfikir kritis dan cerdas, ciri pertama adalah selalu berdzikir kepada Allah swt
baik siang dan malam, pada saat berdiri, duduk dan berbaring. Maknanya tiada waktu
tanpa berdzikir, segala waktu diisi dengan dzikir baik dalam shalat maupun di luar
shalat. Berdzikir bukan saja hanya ingat tetapi juga membaca kitab Allah, memahami
isinya, menyebar luaskan dan mengamalkan isi kandungannya. Membelajari kitab suci
dalam rangka memahami , menyebar luaskan dan menerapkan nilai-nilainya di tengah-
tengah masyarakat yang sangat beragam kebutuhan dan problemanya. 2) Berfikir
Kritis. Berfikir kritis berarti mengamati, meneliti, menyimpulkan dan membuktikan
kebenarannya. Mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini baik dalam diri manusia
secara perorangan maupun berkelompok, di samping juga mengamati fenomena alam.
Mereka berfikir tentang ciptaan langit dan bumi. Menurut Muhammad Quthub
sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa ayat-ayat tersebut merupakan
metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-
ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak
fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji dalam alam jagat raya ini.
Ayat tersebut bermula dari tafakkur dan berakhir dengan amal.3 Di samping itu
bertafakkur terhadap penciptaan langit bumi, juga bermakna memikirkan tentang tata
kerja alam semesta. Karena kata Khalq selain berarti penciptaan juga berarti
pengaturan dan pengukuran yang cermat. Pengetahuan yang terakhir ini mengantarkan
ilmuan kepada rahasia alam dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan
teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi manusia.
b. Berusaha dan berkreasi dapat berarti melakukan upaya-upaya kreatifitas pada hasil-
hasil penemuan ilmiah dan teknologi. Karena itu setelah mereka menemukan dan
memahami suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan bagian kecil dari
system yang sempurna dari Dzat Yang Maha Karya, kemudian mereka berkata: Ya
Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia - sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
Adanya usaha dan kreasi dalam bentuk nyata dari ilmuwan, khususnya dalam kaitan
hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut berarti bahwa mereka harus
selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan social dan semesta alam serta bahwa peran
mereka tidak sekedar merumuskan atau mengarahkan tujuan-tujuan tetapi juga sekaligus
memberi contoh pelaksanaan dan sosialisasinya. Keindahan alam dan keberhasilan sains dan
tekhnologi yang dihasilkan dari proses berfikir dan berdzikir itu memperkuat keimanan
kepada Allah swt dan dalam meningkatkan kepatuhannya kepada Sang Pencipta.
4
Pemahaman terhadap penciptaan semesta yang agung disertai dengan selalu berdzikir
menimbulkan sebuah kemampuan pada dirinya untuk melihat sebuah tanda wujudnya Allah Swt,
keagungan-Nya dan kemahabesaran-Nya, sehingga terlontar dari dirinya ucapan subhaanak ( maha
suci Engkau ya Allah). Penjelasan seperti ini tergambar pada ayat 191;

ِ َ‫َربَّنَا َما َخلَ ْقتَ َهذَا ب‬


ُ ‫اِ ًَل‬
َ‫س ْب َحانَك‬
Artinya;
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau

Masih belum berhenti di sini, setelah seorang ulul albab mampu melihat tanda wujudnya
Allah Swt dan memahami ciptaan-Nya yang penuh hikmah; serasi, seimbang, harmonis dan penuh
manfaat. Maka seorang ulul albab mengkhawatirkan terjadi suatu kezhaliman (pengrusakan) terhadap
segala ciptaan Allah Swt dan tata aturan-Nya yang Maha Indah yang mungkin kezholiman itu
dilakukan oleh dirinya maupun orang lain, di mana kezholiman itu dapat membawa masuk ke dalam
َ ‫( فَ ِقنَا‬maka jagalah kami
َ َ ‫عذ‬
api neraka. Karena itu, seorang ulul albab melanjutkan ucapannya; ‫اب ال َّن ِار‬
dari siksa api neraka).
Sosok ulul albab di atas menggambarkan seorang yang di samping memiliki ilmu
pengetahuan yang tinggi, juga sosok yang selalu dekat dengan Allah Swt. Kedekatan kepada
Tuhannya dan keluasan ilmunya memberikan dampak terhadap kehidupannya sebagai seorang yang
selalu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan yang sejalan dengan aturan
Allah Swt.
Ilmu yang dimiliki oleh seorang ulul albab tidak tersekat oleh batasan-batasan yang dibuat
oleh manusia, yang sekat-sekat tersebut diakibatkan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Bagi
seorang ulul albab ilmu pengetahuan apapun yang berhubungan dengan alam semesta ini hakekatnya
adalah ciptaan-ciptaan Allah Swt yang tunduk kepada sitem aturan yang telah dibuat-Nya. Sehingga
semua ilmu itu hakekatnya hanya satu yaitu ilmu Allah Swt, dan manusia hanya diberi sedikit ilmu
dari Allah Swt.
ً‫َو َما اُوتِ ْيت ُ ْم ِمنَ ال ِع ْل ِم ا اِّل قَ ِل ْيَل‬
Adapun berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu social dan sains serta cabang-
cabangnya adalah nama-nama yang dibuat oleh manusia sendiri untuk memudahkan bidang focus
kajian dan bidang keahlian yang ditekuni. Sehingga nama-nama bidang ilmu tersebut sangatlah
bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang perlu diingat bahwa bidang-bidang
ilmu itu secara makro dipahami sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan, tidak untuk
dipisahkan, apalagi dipisahkan dari ciptaan dan system aturan Allah Swt.
Dapat dipahami juga bahwa Allah Swt yang maha agung memilki ilmu yang maha luas, di
mana untuk mendapatkan pemahaman tentang Allah Swt atau dengan kata lain memahami tanda (
dalam ayat al qur’an disebut ayat ) diperlukan ilmu Allah, karena itu belajar suatu ilmu adalah untuk

5
lebih mengetahui tentang Allah Swt dan agar mampu lebih banyak melakukan kemaslahatan dan
kemanfaatan dalam kehdupan sesuai petunjuknya, sehingga semakin bertambah ilmu seseorang akan
menambah juga kedekatannya kepada Allah Swt dan kebaikannya dalam kehidupan.
Namun, apabila suatu ilmu dipisahkan dari pemiliknya yakni Allah Swt dan berdiri sendiri,
maka dikuatirkan fungsi dari ilmu tersebut akan lepas kendali dan jauh dari aturan dan tujuan serta
manfat dari ilmu tersebut.
‫ لَ ْم يَ ْزدَ ْد ِمنَ هللاِ ا اِّل بُ ْعد ًى‬# ‫ازدَادَ ِع ْلما َولَ ْم يَ ْزدَ ْد ُهدًى‬
ْ ‫َم ِن‬
Barangsiapa bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya maka hanya akan
membuat semakin jauh dari Allah Swt

2. Integrasi Ilmu Pengetahuan


Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan di dunia dan memberi
informasi tentang kehidupan di akherat. Petunjuk tentang menjalin hubungan dengan Allah (hablun
minallah) yang menciptakannya dan hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) serta
hubungan manusia dengan alam sekitarnya agar dijaga dan dilestarikan.
Sebelum kajian ilmu social dan sains berkembang pesat, al Qur’an telah memberikan
informasi yang sangat luas dan benar bagaimana seharusnya berinteraksi sesama manusia ( social
interaction), demikian juga sebelum sains berkembang al Qur’an telah begitu dalam membicarakan
semesta alam.
Dalam hal interaksi social misalnya al Qur’an sebagai petunjuk tidak hanya membicarakan
pola-pola interaksinya saja, namun telah mengatur secara tepat bagaimana seharusnya interaksi social
itu dapat berjalan seimbang, adil dan tidak terjadi kedzoliman, agar kehidupan ini terjaga dan sesuai
dengan tujuan penciptaannya. Karena itu petunjuk tentang bagaimana interaksi social sangat banyak
sekali, misalnya; ayat-ayat tentang perdagangan, hutang piutang, pernikahan, kepemimpinan,
keadilan, perceraian, perjanjian, kepemilikan, komunikasi dan sebagainya.
Demikian juga al Qur’an memberikan informasi yang sangat luas tentang sains, mulai
membahas penciptaan alam semesta, tata surya, hewan, tumbuhan, hujan, angin dan sebagainya.
Namun, pembicaraan sains dalam al Qur’an bukan hanya terbatas pada aspek sains itu saja, tetapi
pasti dikaitkan dengan aspek yang lain, misalnya; agar manusia mengenal tuhannya, agar manusia
mau bersyukur, menjaga kelestariannya, agar mau berfikir, agar manusia selalu beramal sholeh, dst.
Al Qur’an membicarakan semesta alam; langit, bumi, hewan, tumbuhan yang semua
diciptakan untuk manusia maka manusia diperintahkan untuk menjaga, mengelola dan
memanfaatkannya dengan baik . Mengenai cara dan tekhnik mengelola atau memanfaatkannya
diserahkan kepada manusia sendiri. Karena itu al Qur’an tidak membicarakan secara spesifik
bagaimana cara mengelola dan alat apa yang digunakannya, demikian itu supaya manusia berfikir
karena sudah diberi potensi akal untuk dikembangkan afala ta’qilun (tidakkah kalian menggunakan

6
akal), ini artinya manusia diperintah untuk mengembangkan tekhnologi. Manusia dapat
mengembangkan tekhnologi apapun dalam rangka mendukung dan menunjang proses
kekhalifahannya di muka bumi. Namun al Qur’an memberikan rambu-rambu atau asas-asas yang
dapat dijadikan sebagai petunjuk melaksanakannya, agar tidak menyalahi dengan ketentuan-ketentuan
Allah Swt. Adapun asas-asas tersebut adalah a)asas tauhid, artinya tidak diperkenankan segala sains
dan tekhnologi berdampak kepada penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik). b) Asas manfaat, c) Asas
kemudahan, d) asas keindahan, dan e) asas keadilan;
a. Asas Tauhid
Di dalam al Qur’an tidaklah diperkenankan segala apapun berdampak kepada
penyekutuan terhadap Allah Swt dan sehala apaun yang dilakukan semata-mata karena
mengabdi kepada Allah Swt secara tulus.

َّ ِ‫َّللاَ َّل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغ ِف ُر َما دُونَ ذَلِكَ ِل َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ب‬


‫اَّللِ فَقَ ِد ا ْفت ََرى‬ َّ ‫إِ َّن‬
َ ‫ِإثْ ًما‬
‫ع ِظي ًما‬

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia


mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

‫ِين ْالقَ ِيا َم ِة‬


ُ ‫الز َكاة َ َوذَلِكَ د‬ َّ ‫صينَ لَهُ الداِينَ ُحنَفَاء َويُ ِقي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلة َ َويُؤْ تُوا‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ َّّل ِل َي ْعبُدُوا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬

Dan tidaklah mereka diperinta kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

b. Asas manfaat
Al Qur’an sangat menganjurkan agar segala upaya dan kreasi manusia dilakukan
dengan mempertimbangkan sisi kemanfaatannya.

ِ ‫ث فِي ْاْل َ ْر‬


‫ض‬ َ َّ‫َب ُجفَا ًء َۖوأ َ َّما َما يَ ْنفَ ُع الن‬
ُ ‫اس فَيَ ْم ُك‬ َّ ‫فَأ َ َّما‬
ُ ‫الزبَدُ فَيَ ْذه‬

7
Maka adapun buih itu, akan hilang (sebagai sesuatu yang tak ada harganya),
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. ) al
Ro’d, 13 :17)

Nabi Saw menjelaskan :

‫ ِم ْن‬:َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
)‫ ُحس ِْن ِإ ْسَلَ ِم ْال َم ْر ِء ت َْر ُكهُ َما ّلَ َي ْعنِ ْي ِه ( َر َواهُ التِ ا ْر ِمذِي‬.

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Di antara


tanda kebaikan Islam seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal
yang tidak bermanfaat baginya.”
c. Asas Kemudahan
Allah Swt Yang Maha Pengasih menginginkan agar manusia dalam
menjalankan tugasnya tidak mengalami kesulitan, karena itu Allah Swt
menganjurkan agar manusia dapat melakukan hal-hal yang dapat memudahkan
dan meringankannya.

‫َّللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو َّل ي ُِريدُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر‬


َّ ُ‫ي ُِريد‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah, 2: 185).

‫ض ِعيفًا‬ ُ ‫س‬
َ ‫ان‬ ِ ْ َ‫ع ْن ُك ْم َو ُخلِق‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫َّللاُ أ َ ْن يُ َخ ِفا‬
َ ‫ف‬ َّ ُ‫ي ُِريد‬

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia


dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’, 4: 28).

,‫س ُِروا‬ ‫عن أَن ٍَس رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َي ا‬
‫س ُِروا َوّلَ ت ُ َع ا‬ َ
) ‫ش ُِروا َوّلَ تُنَ ِفا ُروا ( رواه مسلم‬
‫َو َب ا‬
Artinya
Dari Anas r.a berkata: Nabi Saw bersabda; Mudahkanlah, jangan
mempersulit, buatlah senang dan jangan buat mereka berpaling
(meninggalkan) kalian.

8
d. Asas Keindahan
Ayat-ayat al Qur’an banyak sekali menyampaikan secara tersirat
tentang keindahan, misalnya penciptaan manusia yang dengan sebaik-baik
bentuk, penciptaan binatang , penciptaan langit (badi’ussamaawaati), dst.
Keindahan yang dimaksud oleh al Qur’an bukan hanya indah dari segi lahiriyah
yang tampak oleh mata, namun keindahan yang disertai dengan keseimbangan
dan keharmonisan, keindahan yang seimbang antara yang lahir dan yang
bathin.
Nabi Saw bersabda :

.‫ رواه مسلم‬- ‫َاس‬


ِ ‫ق َوغ َْم ِط الن‬ ْ َ‫ ال ِكب ُْر ب‬،‫إن هللا َج ِمي ٌل ي ُِحبُّ ال َجما ِل‬
ِ ‫ط ُر ال َح ا‬

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan


mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran
dan merendahkan orang lain.
e. Asas Keadilan
Allah Swt memerintahkan secara tegas diperbagai ayat al Qur’an agar
keadilan selalu ditegakkan diperbagai aspek kehidupan, termasuk bidang
tekhnologi. Penggunaan tekhnologi hendaknya juga dalam rangka penegakan
keadilan.
ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ بِ ْال ِقس‬
‫ْط‬

Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan


(Q.S An-Nisa: 135)

9
KEGIATAN BELAJAR 1:

INDIKATOR KOMPETENSI

Diharapkan dari Kegiatan Belajar ini bertambah pemahaman mahasiswa


terhadap ajaran Rasulullah tentang menuntut ilmu dari siapapun dan di
manapun, yang dijabarkan menjadi beberapa indikator kompetensi
sebagai berikut:
1. Menghafal hadis tentang mencari ilmu
2. Menerjemahkan hadis tentang mencari ilmu
3. Menjelaskan makna hadis tentang mencari ilmu
4. Menjelaskan kualitas Hadis-Hadis tentang mencari ilmu.

URAIAN MATERI
Kita sering mendengar pepatah yang mengatakan: “Dengan agama hidup menjadi
terarah, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dan dengan seni hidup menjadi indah”.
Begitulah peran ilmu dalam kehidupan yang dianggap sebanding dengan peran agama,
meskipun memenuhi aspek kebutuhan yang berbeda dari kehidupan manusia. Ilmu itu tak
ubahnya cahaya dalam pekatnya malam, memberikan sinar terang bagi mereka yang
mengamalkannya.
Selain memberikan begitu banyak kemudahan bagi manusia dalam menghadapi
persoalan hidup, ilmu juga menempatkan orang-orang yang memilikinya, bahkan mereka
yang masih beruasaha mempelajarinya, pada derajat yang tinggi sehinga mereka menjadi
kelompok yang terhormat di masyarakatnya bahkan di hadapan makhluk Allah yang

1
lainnya. Kisah pembangkangan Iblis terhadap perintah Allah untuk tunduk kepada Adam
as menunjukkan keutamaan ilmu tersebut.
Adam as. yang diyakini oleh kaum Muslimin pada umumnya sebagai manusia
pertama yang Allah ciptakan sebagai khalifah (pengganti atau wakil Allah) di muka
bumi, diberi kelebihan oleh Allah swt dengan sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada
malaikan, jin, maupun iblis sehingga Allah memerintahkan makhluk-makhluknya di
surga untuk tunduk kepada Adam. Kelebihan yang dimiliki oleh Adam adalah ilmu yang
diajarkan langsung oleh Allah kepadanya.
Bukan hanya Adam yang yang mendapatkan kehormatan karena ilmunya itu,
akan tetapi semua orang yang berilmu dimulyakan oleh Allah di sisi-Nya, bahkan
mendapatkan apresiasi yang lebih di sisi hambanya yang lain di dunia. Sebagaimana janji
Allah dalam salah satu firmannya bahwa Ia akan meninggikan derajat orang yang
beriman dan mereka yang punya ilmu pengetahuan.

1. Perintah Mencari Ilmu dalam Hadis

Hadis pertama yang akan kita pelajari adalah hadis-hadis tentang kewajiban
mencari ilmu. Diantara hadis-hadis tersebut adalah:

ُ ‫سلَ ْي َمانَ َحدَّثَنَا َك ِث‬


ٍ ‫ير ب ُْن ِش ْن ِظ‬
‫ير‬ ُ ‫ار َحدَّثَنَا َح ْف‬
ُ ‫ص ب ُْن‬ ٍ ‫ع َّم‬َ ‫َحدَّثَنَا ِهشَا ُم ب ُْن‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِلكٍ قَا َل قَا َل َر‬ َ ‫يرين‬ ِ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِس‬
َ
)‫علَى ُك ِل ُم ْس ِل ٍم (رواه ابن ماجه‬ َ ‫ب ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬
َ ٌ ‫ضة‬ َ ‫سلَّ َم‬
ُ َ‫طل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
Artinya:
Hisyam bin Ammar bercerita kepada kami, Hafash bin Sulaiman bercerita kepada kami,
Katsir bin Syindzir bercerita kepada kami, dari Muhammad bin Sirin, dari Anas bin
Malik berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘mencari ilmu itu wajib atas setiap orang
Muslim” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Hadis yang diriwayatkan pertama kali oleh Anas bin Malik salah seorang sahabat
terdekat Rasulullah ini dapat dijumpai di banyak kitab Hadis, antara lain di Sunan Ibn

2
Majah salah satu diantara enam kitab Hadis (al-Kutub al-Sittah) yang paling mu’tabar
(paling diakui dan dijadikan referensi). Selain Anas bin Malik, sahabat Rasulullah yang
juga meriwayatkan hadis ini adalah Abu Said al-Khudri sebagaimana disebutkan dalam
kitab Musnad al-Syihab karya Muhammad bin Salamah bin Ja’far. Karena banyaknya
kitab yang mencantumkan hadis ini, maka hadis inipun sangat sering dikutip dalam
karya-karya ilmiah, buku-buku maupun tulisan popular serta seminar dan ceramah-
ceramah.
Namun demikian Ibn Majah sendiri menganggap hadis ini termasuk hadis dla’if
(lemah, tidak sahih). Kelemahan hadis ini terletak pada seorang rawinya yang ada pada
rangkaian sanad yaitu Hafash bin Sulaiman yang dinilai tidak tsiqah oleh Yahya bin
Ma’in dan dikatakan matruk oleh Ahmad bin Hanbal dan Bukhary. Jadi penilaian bahwa
hadis ini lemah adalah didasarkan pada kelemahan diri seorang perawinya.
Untuk mengingatkan lagi pengetahuan anda tentang syarat-syarat kesahihan hadis
dan faktor-faktor penyebab kedlaifan (kelemahan) hadis, perhatikan penjelasan mengenai
hadis shahih berikut.
Kata shahih dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata al-saqîm =
orang yang sakit, seolah-olah dimaksudkan Hadits shahih adalah Hadits yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Adapun menurut istilah Hadits shahih adalah:

‫شذ ُ ْو ِذ َو ْال ِعلَّ ِة‬


ُّ ‫ع ْن ِمثْ ِل ِه َوخ ًََل ِمنَ ال‬
َ ‫ام ًًل‬
ِ ‫طا َك‬ َ ‫سنَدُهُ ِبنَ ْق ِل ْالعَ ْد ِل الضَّابِ ِط‬
ً ‫ض ْب‬ َ َّ ‫ُه َو َما ات‬
َ ‫ص َل‬

Hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan
dhâbith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan
(syadz), dan cacat (`illat).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan, Hadits shahih mempunyai 5 kriteria,


yaitu:

a. Persambungan sanad (bertemu langsung antar perawi sampai kepada Rasul)


b. Para periwayat bersifat adil (konsisten dalam beragama). Pengertian adil adalah
orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik
dan tidak melakukan cacat muruah.
c. Para periwayat bersifat dhâbith (memiliki daya ingat hapalan yang sempurna)

3
d. Tidak ada kejanggalan (syâdz). Maksud Syâdz di sini adalah periwayatan orang
tsiqah (terpercaya yakni adil dan dhâbith) bertentangan dengan periwayatan
orang yang lebih tsiqah.
e. Tidak terjadi `illat (cacat tersembunyi). Arti `illah di sini adalah suatu sebab
tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu Hadis padahal lahirnya
selamat dari cacat tersebut.

Apabila sebuah hadis tidak memenuhi salah satu saja dari lima persyaratan hadis
shahih tersebut maka hadis tersebut dinilai dlaif (lemah). Hadis yang diriwayatkan oleh
Ibn Majah dinilai sebagai Hadis Dlaif karena salah satu persyaratan saja, yaitu bahwa
Hafash bin Sulaiman sebagai salah satu perawi yang ada pada rangkaian sanad dinilai
tidak tsiqah (tidak terpercaya, mungkin karena hafalannya yang lemah atau karena
akhlaknya yang kurang baik dan dinilai pula matruk (ditinggalkan).
Akan tetapi secara logika, boleh jadi seorang perawi hadis dinilai kurang kuat
hafalannya, tetapi tentu tidak bisa disimpulkan semua ucapannya salah. Terbukti bahwa
hadis tersebut diriwayatkan pula melalui beberapa jalur sanad yang shahih yang tidak ada
nama Hafash bin Sulaiman di dalamnya.
Meskipun hadis di atas dla’if dari sisi perawi, akan tetapi kandungan matn-nya
sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang memerintahkan kaum Muslimin menggali
pengetahuan, antara lain surat al-Taubah ayat 122, dan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya,
hadis ini mengandung ajaran untuk mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik yang
disebut fadla’ilul a’mal. Hadis yang mengandung ajaran fadla’ilul a’mal ini, meskipun
kualitasnya dla’if, menurut para ulama hadis boleh dijadikan dasar perbuatan. Pendapat
serupa ini antara lain dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal.
Perintah mencari ilmu ini, betul-betul diperhatikan oleh kaum Muslimin sehingga
sejak awal perkembangan peradaban Islam aktifitas belajar dan mengajar sangat intensif
dilakukan. Beberapa sahabat dikirim oleh Rasulullah ke berbagai tepat seperti Yaman,
Syam, dan Mesir untuk memberikan pengajaran. Setelah itu, di masa tabiin banyak
pencari ilmu yang melakukan rihlah ilmiyah yakni perjalanan untuk mencari ilmu.
Rihlah ilmiyah dilakukan karena kebanyakan pelajar Islam tidak puas dengan
pengetahuan yang diperoleh dari belajar kepada sedikit guru. Karena itu mereka tidak
segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk belajar pada guru di kota-kota yang

4
mereka tuju. Dengan aktifitas rihlah ilmiyah ini, pendidikan Islam di masa klasiktidak
hanya dibatasi dinding ruang belajar, akan tetapi Pendidikan Islam memberi kebebasan
kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain
murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan berpindah dari satu kota ke kota
lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian aktifitas rihlah ilmiyah
mendorong lahirnya learning society (masyarakat belajar).
Kesediaan melakukan perjalanan jauh sekalipun untuk mencari ilmu tidak terlepas
dari dorongan Rasulullah saw dalam sebuah hadis:

‫اطلُبُوا ْال ِع ْل َم‬


ْ :‫عن أنس بن مالك قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

ِ ‫َو َل ْو ِب‬
)‫الصين (مسند البزار‬
Artinya: Dari Anas bin Malik, dia berkata Rasulullah saw bersabda: “Carilah
ilmu walau sampai ke negeri Cina”

Hadis ini mengisyaratkan bahwa mencari ilmu itu harus dilakukan walaupun
untuk memperolehnya seseorang harus melakukan perjalanan jauh. Sebab siapa yang
tidak tabah menghadapi kesulitan belajar, dia akan menjalani sisa hidupnya dalam
kebodohan, dan siapa yang bersabar dalam mencari ilmu maka dia akan meraih
kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Perintah untuk mencari ilmu sampai ke negeri China mengisyaratkan pula
perintah untuk bersikap terbuka menerima kebenaran dari manapun datangnya kebenaran
tersebut. Orang-orang bijak sering memberikan nasehat yang berbunyi

‫خذ الحكمة من أي وعاء خرجت‬


“Ambillah hikmah (pengetahuan/pelajaran) dari manapun datangnya”.
Begitu juga nasehat lain yang berbunyi:

‫الحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فليلتقطها‬


“Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, maka di manapun dia
menemukannya hendaklah dia mengambilnya”

5
Selain berimplikasi pada aktifitas mencari ilmu secara individual, hadis
Rasulullah tentang kewajiban belajar ini mendorong lahirnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam baik yang formal maupun informal. Perbedaan antara formal dan
informal dalam pendidikan Islam di masa klasik terlihat pada hubungannya dengan
Negara. Lembaga pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan
agama dan berperan dalam agama, atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai
pemerintahan. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini dibiayai oleh negara dan dibantu
oleh orang-orang kaya melalui wakaf yang mereka berikan. Pengelolaan administrasi
berada di tangan penguasa. Sedangkan lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh
Negara.
Adapun bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam di masa klasik adalah:
1. Maktab/Kuttab yang merupakan lembaga pedidikan dasar
2. Halaqah, yang merupakan pendidikan tingkat lanjut setingkat dengan college.
3. Majlis, yakni kegiatan transmisi keilmuan dari berbagi disiplin ilmu
4. Masjid Jami atau univesitas, seperti Masjid Jami al-Azhar di Cairo, Masjid al-
Manshur di Baghdad, dan Masjid Umayyah di Damaskus.
5. Khan yaitu asrama pelajar atau tempat belajar secara privat.
6. Ribath yaitu tempat kegiatan kaum sufi
7. Rumah-rumah ulama
8. Perpustakaan
9. Observatorium seperti Baitul Hikmah yang dibangun oleh al-Makmun di Baghdad
dan Darul Hikmah yang dibangun oleh al-Hakim di Mesir. Selain itu ada
observatorium Dinasti Hamadan yang dikelola oleh Ibn Sina dan observatorium
Umar Khayyam.

2. Fungsi Ilmu di Masyarakat

Ilmu mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan
ilmu manusia menciptakan kebudayaan, lembaga-lembaga sosial dan membangun
peradaban. Dengan ilmu, manusia mengatur tata kehidupan dan pola interaksi sesama
manusia. Hadis berikut menjelaskan sebagian fungsi ilmu:

6
‫سلَّ َم ِإ َّن ِم ْن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِلكٍ أَنَّهُ قَا َل قَا َل َر‬َ
‫ب‬َ ‫الزنَا َوت ُ ْش َر‬ ِ ‫ش َو‬ ُ ‫ظ َه َر ْال َج ْه ُل َويَ ْف‬
ْ َ‫ع ِة أ َ ْن يُ ْرفَ َع ْال ِع ْل ُم َوي‬
َ ‫سا‬ ِ ‫أَ ْش َر‬
َّ ‫اط ال‬
)‫ (رواه الترمذي‬.... ‫ْال َخ ْمر‬
Artinya:
Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya diantara
tanda-tanda hari kiamat adalah hilangnya ilmu, merebaknya kebodohan, menyebarnya
perzinaan, dan semakin banyak orang minum khamar …. (diriwayatkan oleh Turmudzi)

Hadis yang dinilai shahih oleh Imam al-Turmudzi ini menjelaskan bahwa kiamat,
kehancuran alam, tidak akan terjadi selama ilmu masih menjadi penduan kehidupan
manusia. Sebaliknya, hilangnya ilmu merupakan salah satu syarat akan datangnya hari
kehancuran tersebut. Sebab hilangnya ilmu itu akan merembet pada kebodohan manusia,
dan kebodohan manusia itu akan menyebabkan mereka melakukan pelanggaran dan
pengrusakan. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhary dikatakan bahwa
hilangnya ilmu akan menyebabkan terjadinya banyak pembunuhan. Semua tindakan
negative itu akan mengantarkan pada bencana yang lebih besar yaitu kehancuran alam
semesta, atau yang disebut kiamat.
Hadis lain yang menggambarkan fungsi ilmu dalam kehidupan adalah:

‫سو َل هللاِ صلى هللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ :‫اص قَا َل‬ ِ ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬َ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬
َ ‫حديث‬
‫عهُ ِمنَ ْال ِع َبا ِد َول ِك ْن‬ ً ‫ض ْال ِع ْل َم ا ْن ِتزَ ا‬
ُ ‫ يَ ْنت َ ِز‬،‫عا‬ ُ ‫ ِإ َّن هللا الَ َي ْق ِب‬:‫عليه وسلم َيقُول‬
‫سا‬ ُ َّ‫ ات َّ َخذَ الن‬،‫عا ِل ًما‬
ً ‫اس ُر ُءو‬ َ ‫ق‬ِ ‫اء َحتَّى ِإذَا لَ ْم يُ ْب‬ِ ‫ْض ْالعُلَ َم‬ ِ ‫ض ْال ِع ْل َم ِبقب‬
ُ ‫يَ ْق ِب‬
)‫ضلُّوا (أخرجه البخاري‬ َ َ‫ضلُّوا َوأ‬ َ َ‫ ف‬،‫ فَأ َ ْفت َ ْوا بغَي ِْر ِع ْل ٍم‬،‫سئِلُوا‬
ُ َ‫ ف‬،ً‫ُج َّهاال‬
Artinya:
Hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata saya mendengar Rasulullah
saw bersabda: “sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan cara

7
merampasnya dari dada manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan cara
mewafatkan para ulama. Sehingga bila tidak ada lagi orang alim, manusia akan
mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Jika mereka ditanya
mereka akan member fatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan
menyesatkan”. (diriwayatkan oleh al-Bukhary)
Jadi menurut hadis ini, ilmu dapat menyelamatkan manusia dari kesesatan, dan
menghindarkan komunitas manusia dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh yang
akan menjerumuskan mereka ke jalan yang salah.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fungsi ilmu secara umum adalah
menghindarkan manusia dari kebodohan, pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang lain.
Fungsi ilmu tentu tidak hanya secara masal, akan tetapi fungsi ilmu dapat dilihat secara
individual, yaitu mengalirkan pahala kepada orang yang mengajarkan ilmu yang
bermanfaat bagi orang lain. Hal itu disebutkan dalam hadis:

‫سلَّ َم قَا َل‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ُ ‫ع ْنهُ أَ َّن َر‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرةَ َر‬َ
‫ار َي ٍة أ َ ْو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع ِب ِه‬
ِ ‫صدَقَ ٍة َج‬
َ ‫ث‬ ٍ ‫ع َملُهُ ِإ َّال ِم ْن ث َ ًَل‬ َ َ‫ات اب ُْن آدَ َم ا ْنق‬
َ ‫ط َع‬ َ ‫ِإذَا َم‬
)‫عو لَه (رواه مسلم والترمذي والنسائي وغيرهم‬ َ ‫أَ ْو َولَ ٍد‬
ُ ‫صا ِلحٍ يَ ْد‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda “Jika anak Adam
(manusia) mati, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga hal yaitu
shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya.
(diriwayatkan oleh Muslim, Turmudzi, Nasai dll)

Jadi salah satu fungsi ilmu adalah mengalirkan pahala kepada orang yang
mengajarkan ilmu tersebut, dan dimanfaatkan oleh orang yang belajar darinya.

3. Keistimewaan Orang Berilmu

8
Selain berperan penting dan memberikan manfaat yang positif dalam kehidupan
manusia, ilmu juga menempatkan para ulama pada kedudukan istimewa diantara manusia
dan makhluk-makhluk Allah yang lain.

‫سلَّ َم يَقُو ُل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫اء قَا َل إِنِي‬ِ َ‫ع ْن أَبِي الد َّْرد‬
َ
‫ق ْال َجنَّ ِة َو ِإ َّن‬
ِ ‫ط ُر‬ ُ ‫ط ِريقًا ِم ْن‬
َ ‫َّللاُ ِب ِه‬
َّ ‫سلَ َك‬َ ‫ب فِي ِه ِع ْل ًما‬ ْ ‫ط ِريقًا َي‬
ُ ُ‫طل‬ َ ‫سلَ َك‬
َ ‫َم ْن‬
‫ب ْال ِع ْل ِم َوإِ َّن ْال َعا ِل َم لَيَ ْستَ ْغ ِف ُر لَهُ َم ْن‬
ِ ‫طا ِل‬َ ‫ضا ِل‬ َ َ‫ْال َم ًَلئِ َكةَ لَت‬
ً ‫ض ُع أَ ْجنِ َحتَ َها ِر‬
‫ض َل‬ْ َ‫اء َوإِ َّن ف‬ ِ ‫ف ْال َم‬ ِ ‫ان فِي َج ْو‬ ُ َ‫ض َو ْال ِحيت‬ ِ ‫ت َو َم ْن فِي ْاْل َ ْر‬ ِ ‫س َم َوا‬
َّ ‫فِي ال‬
ِ ‫سائِ ِر ْال َك َوا ِك‬
‫ب َوإِ َّن‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ْالقَ َم ِر لَ ْيلَةَ ْال َب ْد ِر‬ ‫ض ِل‬ ْ َ‫علَى ْال َعا ِب ِد َكف‬ َ ‫ْال َعا ِل ِم‬
ً ‫ْاْل َ ْنبِيَا َء لَ ْم يُ َو ِرثُوا دِين‬
‫َارا َو َال د ِْر َه ًما و ِإن َما‬ ِ َ‫ْالعُلَ َما َء َو َرثَةُ ْاْل َ ْن ِبي‬
‫اء َو ِإ َّن‬
)‫َو َّرثُوا ْال ِع ْل َم فَ َم ْن أَ َخذَهُ أَ َخذَ ِب َح ٍظ َوا ِفر (رواه ابوداود‬
Artinya:
Dari Abu Darda ra, dia berkata: “sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: ‘Siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah
menyertainya berjalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat merendahkan
sayap-sayap mereka karena ridha terhadap pencari ilmu. Dan sesungguhnya
orang yang berilmu dimohonkan ampunan oleh makhluk-makhluk penghuni langit
dan bumi bahkan oleh ikan di dalam air. Sungguh keutamaan seorang alim ahli
ilmu) dibanding dengan seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti cahaya bulan
purnama disbanding cahaya bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun
dirham akan tetapi mereka mewariskan ilmu, siapa mendapatkannya akan
memperoleh keberuntungan yang besar. (diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Jadi, setidaknya ada lima keistimewaan orang berilmu yaitu:


1. Diiringi perjalannya oleh Allah menuju surga

9
Surga adalah kehidupan yang diidentikkan dengan keindahan, kesenangan,
kenikmatan, kedamaian, kesejahteraan, kenyamanan dan sebagainya. Orang yang
sedang berusaha dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dan bersabar serta tabah
menghadapi segala kesulitan yang ada, akan dibantu oleh Allah sehingga dia berhasil
menikmati buah ilmu itu di dunia maupun akhirat. Bangsa-bangsa yang makmur dan
sejahtera adalah bangsa-bangsa yang hidup dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan.
2. Diridhoi oleh para malaikat
Malaikat selalu memberikan ilham, inspirasi dan bimbingan ke arah yang positif
kepada manusia, sebaliknya syaitan selalu membisikan hal-hal jahat dan negative.
Dengan ridho dari malaikat, pencari ilmu yang sungguh-sungguh akan cenderung
kepada hal-hal yang positif.
3. Didoakan oleh makhluk-makhluk yang ada di udara maupun di darat serta yang ada
di dalam air.
Sering muncul berita di media massa bahwa sekelompok ilmuwan mengemukakan
ide untuk melindungi jenis-jenis binatang dan berbagai macam tanaman dari
kepunahan. Maka lahirlah undang-undang dan peraturan-peraturan untuk konservasi
alam. Ilmuwan pula yang terus mengingatkan bahaya pencemaran udara terhadap
lapisan ozon yang pada jangka panjang akan berakibat buruk pada kehidupan bumi.
Begitu juga para ilmuwan yang menyelamatkan ikan-ikan besar yang tersesat
sehingga terdampar dan sekarat di pantai, lalu para ilmuwan itulah yang berinisiatif
membawa mereka kembali ke tengah lautan. Pemikiran untuk menyelamatkan
binatang tumbuhan, atau air dan udara tidak lahir dari pengusaha, pedagang atau
pemburu yang hanya memikirkan bagaimana mengambil keuntungan dan kesenangan
dari semua itu.
4. Dinilai lebih utama dibanding ahli ibadah
Argument yang paling rasional untuk pernyataan ini adalah bahwa manfaat dari ilmu
yang dimiliki seorang alim dirasakan bukan hanya oleh dirinya sendiri, tetapi juga
oleh orang banyak. Sedangkan manfaat ibadah seseorang lebih dirasakan oleh dirinya
sendiri, meskipun dapat pula member inspirasi pada orang lain.
5. Dinyatakan sebagai pewaris para nabi

10
Keberlangsungan ajaran para nabi dijaga oleh para ulama yang secara turun temurun
dari generasi ke generasi mengajarkan konsep-konsep akidah, tata cara beribadah,
prinsip-prinsip akhlak, dan aturan-aturan bermuamalah yang telah disampaikan para
nabi. Karena itulah mereka disebut pewaris nabi. Dan hal itu merupakan kehormatan
yang besar.

Orang yang berilmu laksana tanah yang subur yang menumbuhkan berbagai
tanaman yang berguna bagi manusia dan makhluk lainnya, dan bagaikan kolam
penampung air yang sangat berguna untuk mencukupi kebutuhan minum manusia,
binatang ternak dan untuk menyirami tanaman. Singkat kata orang yang berilmu
manfaatnya sungguh sangat luar biasa, ia hidup tidak hanya untuk dirinya, tapi juga
berguna bagi orang lain, masyarakat dan lingkungannya.
Karena pentingnya ilmu itu, firman Allah yang pertama kali diturunkan kepada
utusan-Nya adalah perintah membaca. Membaca adalah salah satu metode untuk
memperoleh dan mempelajari ilmu. Membaca tidak terbatas pada tulisan yang ada di
dalam buku, akan tetapi membaca juga mengamati fenomena sosial dan gejala-gejala
alam. Sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah
ayat 164: “sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam
dan siang, pada kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi
manusia, dan pada apa yang diturunkan oleh Allah dari langit berupa air (hujan) lalu
dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di bumi itu bermacam-
macam binatang, dan pada perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit
dan bumi, semua itu sungguh merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang
yang berpikir”. Oleh karena itu pada surat Yunus ayat 101 Allah memerintahkan kaum
Muslimin untuk melakukan pengamatan (observasi) terhadap gejala-gejala alam tersebut.
Ayat-ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita untuk senantiasa belajar,
dan menganalisa segala persoalan yang ada di sekitar kita. Dan sekaligus membuka mata
kita bahwa belajar itu tidak hanya dengan cara bergelut dengan buku dan di bangku
sekolah, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan cara menganalisa fenomena-fenomena
(gejala-gejala) yang ada di lingkungan kita.

11
4. Ilmu Pengetahuan Sebagai Basis Kemajuan

Kebenaran al-Quran dan hadits adalah kebenaran pasti dan niscaya yang tidak
bisa ditawar. Kebenaran itulah yang kemudian menjadi spirit ummat Islam untuk
menggali ilmu pengetahuan. Mereka adalah ummat yang haus dan tamak dengan ilmu.
Mereka menjadi ummat pembelajar. Penggalian ilmu pengetahuan menjadi tradisi ummat
Islam, baik ilmu-ilmu keagamaan maupun ilmu profan, bahkan filsafat. Mereka rela
menjual segala harta bendanya untuk mendanai rihlah (pengembaraannya) menuntut
ilmu. Bahkan di antara ulama ada yang rela tidak menikah karena khusyuk belajar dan
berkarya. Kebangkitan peradaban Islam akhirnya tidak bisa terbendung. Ia lahir dan
mencuak menjadi peradaban baru yang meneguasai tiga benua; Asia, Afrika, dan
sebagian benua Eropa. Ummat Islam telah menikmati kejayaannya pada saat Eropa masih
berkutat dengan keterbelakangan dan kebodohannya.
Karya-karya ummat Islam diberbagai bidang ilmu pengetahuan tumbuh subur.
Pada tahun 800M pabrik kertas pertama berhasil didirikan di Baghdad. Perpustakaan pun
bermunculan di hampir seluruh negeri Arab (Islam) yang dulu dikenal sebagai bangsa
nomad yang buta huruf dan cuma bisa mengangon kambing. Direktur observatorium
Maragha, Nasiruddin At Tousi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di
Kordoba (Spanyol) pada abad 10, Khalifah Al Hakim memiliki suatu perpustakaan yang
berisi 400.000 buku, sedangkan 4 abad sesudahnya raja Perancis Charles yang bijaksana
hanya memiliki koleksi 900 buku. Bahkan Khalifah Al Aziz di Mesir memiliki
perpustakaan dengan 1.600.000 buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan
18.000 tentang filsafat.
Pada masa awal Islam dibangun badan-badan pendidikan dan penelitian yang
terpadu. Observatorium pertama didirikan di Damaskus pada tahun 707 oleh Khalifah
Abdul Malik dari Bani Umayah. Kemudian didirikan observatorium-observatorium
berikutnya; Baitul Hikmah yang dibangun oleh al-Makmun di Baghdad dan Darul
Hikmah yang dibangun oleh al-Hakim di Mesir. Selain itu ada observatorium Dinasti
Hamadan yang dikelola oleh Ibn Sina dan observatorium Umar Khayyam
Para ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi memperkenalkan “Angka Arab”
(Arabic Numeral) untuk menggantikan sistem bilangan Romawi yang kaku. Bayangkan
bagaimana ilmu Matematika atau Akunting bisa berkembang tanpa adanya sistem

12
“Angka Arab” yang diperkenalkan oleh ummat Islam ke Eropa. Kita mungkin bisa
menuliskan angka 3 dengan mudah memakai angka Romawi, yaitu “III,” tapi bagaimana
dengan angka 879.094.234.453.340 ke dalam angka Romawi?
Selain itu Al Khawarizmi juga memperkenalkan ilmu Algorithma dan juga
Aljabar (Algebra). Omar Khayam menciptakan teori tentang angka-angka “irrational”
serta menulis suatu buku sistematik tentang Mu’adalah (equation). Di dalam ilmu
kedokteran, ilmuwan Muslim juga mencapai kemajuan. Dalam bidang ini dunia
mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya al-Qanun fi al-Thibbi diterjemahkan ke
bahasa Latin oleh Gerard de Cremone (meninggal tahun 1187), yang sampai zaman
Renaissance tetap jadi textbook di fakultas kedokteran Eropa. Ar Razi (Razes) adalah
seorang jenius multi disiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof, ahli
theologi, dan ahli syair. Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes) yang ahli dalam
filsafat. Maka tidaklah heran jika produser film Robin Hood the Prince of Thieves
menyisipkan adegan keterkejutan Robin Hood dengan kecanggihan teknologi bangsa
Moor.
Sayangnya kejayaan ummat Islam di abad pertengahan itu hanyalah masa lalu.
Ummat Islam hanya bisa mengenang dan membaca sejarahnya. Hanya bisa berbangga
dengan kejayaan pendahulunya. Tetapi belum mampu berbicara banyak dalam pentas
dunia. Bahkan ketika ummat Islam mengabaikan perintah Allah yang saru ini (ilmu)
ummat Islam terperosok dalam jurang keterbelakangan, dan tidak mampu bangkit dari
ketertinggalannya.
Ummat Islam semakin jauh dari ajaran agamanya, semakin jauh dari al-Quran dan
hadits Nabi, semakin jauh dari pengamalan para salaf al-saleh, mereka tidak memahami
bahwa menuntut ilmu dan menjadi orang berilmu adalah perintah Allah dan perintah
Nabi, sebagaimana halnya perintah shalat, sedekah dan yang lainnya.
Maka tidak ada alasan lagi bagi kita semuanya kecuali menggiatkan diri dengan
belajar dan menuntut ilmu. Menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat pencinta
ilmu dan pembelajar adalah agenda izzah dan proyek kesalehan besar yang harus
ditunaikan. Karena kebangkitan ummat akan terwujud dengan kebangkitan ilmu
pengetahuannya.

13
KEGIATAN BELAJAR 2:

INDIKATOR KOMPETENSI

Jadi melalui kegiatan belajar ini anda diharapkan mampu:


1. Menghafal hadis tentang menanggung hidup anak yatim
2. Menjelaskan hadis tentang menanggung hidup anak yatim
3. Menjelaskan fungsi-fungsi hadis terhadap al-Qur’an

URAIAN MATERI
Silakan mulai belajar dengan membaca hadis di bawah ini, memahami arti kata-
kata penting, memahami terjemah Hadis kemudian membaca uraian berikutnya.
Hadis Nabi:

ْ‫يم فِي ال َجنَّ ِة‬


ِْ ِ‫ل اليَت‬ َْ ‫سلَّ َْم قَا‬
ْ‫ل أَنَا َو َكافِ ه‬ َّْ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللاه َعلَي ِْه َو‬ َ ِ‫ي‬ ْ ‫سعدْ َعنْ النَّ ِب‬ َ َْ‫ل بن‬ َْ ‫سه‬َ ْ‫َعن‬
ْ)‫طىْ(رواهْالبخاريْوْالترمذي‬ َ ‫سبَّابَ ِْة َوال هوس‬َّ ‫ل بِأَصبهعَي ِْه ال‬
َْ ‫ َوقَا‬- ‫َه َكذَا‬
Terjemah Hadis:
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah saw bersabda: Saya dan orang yang menanggung hidup
anak yatim akan berada di surga seperti ini –Rasulullah bersabda demikian dengan
sambil merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR Bukhari dan Turmudzi)
Penjelasan Hadis:
Al-Ahwadzi dalam menjelaskan hadis di atas mengatakan bahwa yang dimaksud
kata “Kafilul Yatim” adalah orang mengurus keperluan anak yatim dan yang
mendidiknya.1 Dalam hadis di atas, Rasulullah memberikan dorongan agar kita mau
menjamin dalam arti yang tidak hanya membesarkan secara fisik, tetapi mencakup

1 Ahwadzi, Syarh Sunan al-Turmudzi, CD Barnamaj al-Hadis al-Syarif

1
berbagai hal yakni memelihara, membiayai kebutuhannya, mendidiknya, dan mengatur
kemaslahatannya. Orang yang mau berbuat demikian dijanjikan akan masuk surga, dan
akan berada berdampingan sebagaimana jari telunjuk dan jari tengah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak yang tidak mempunyai ayah atau
ibu karena ditinggal mati disebut “yatim”2. Tetapi menurut al-Khuly, yatim adalah anak
yang ditinggal mati ayahnya, dan kata yatim juga bisa dipakaikan untuk hewan yang
ditinggal mati induknya.3
Kalau dalam Terminologi (istilah) Bahasa Arab dikatakan bahwa kata yatim
hanya diperuntukkan bagi anak yang ditinggal mati ayahnya, hal itu –sebagaimana
dikatakan al-Jurjani—dikarenakan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah, bukan ibu.
Karena itu pula anak binatang yang ditinggal mati induknya disebut yatim pula karena
induknyalah yang bertanggung jawab memberi makan kepadanya.4 Dalam sejarah
bangsa Arab masa lampau diketahui pula bahwa dalam intern bangsa Arab pada
umumnya sering terjadi peperangan antar suku yang melibatkan kaum laki-laki dan
banyak diantara mereka yang terbunuh. Mereka mingggalkan anak-anak yatim pada istri-
istri mereka yang secara cultural bukanlah orang-orang yang bertanggungjawab mencari
nafkah, melainkan menjadi penanggung jawab urusan domestic atau rumah tangga.
Karena itu, kesan yang timbul dari konsep menyantuni anak yatim adalah memberi
nafkah atau bantuan materi. Uraian berikut akan mencoba menjelaskan bahwa kebutuhan
hidup seorang anak yatim tidak hanya kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

1. Kehidupan Anak Yatim


Sungguh bahagia seorang anak yang lahir kedunia dan mendapatkan kasih sayang
lahir dan batin dari kedua orang tuanya. Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang,
dukungan dan nasehat akan tumbuh menjadi orang yang mampu mengatasi persoalan
hidup di kemudian hari. Namun tidak semua anak selalu beruntung memiliki kedua orang
tua. Ada anak yang ketika lahir, ayah dan ibunya masih ada tetapi selagi dia masih
membutuhkan kasih sayang dari keduanya dan masih ingin bermanja-manja dengan

2Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) edisi
III, h.1277
3 Abdul Aziz al-Khuly, al-Adab al-Nabawy, (Beirut: Dar al-Fikr, Tth). H. 116)
4 Ali Ibn Muhammad al-jurjany, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Lmiyah, 1988) h. 258

2
mereka, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan, menerima musibah kematian ayahnya
atau ibunya. Ada pula anak-anak yang sejak lahir sudah tidak mempunyai ayah atau ibu.
Setiap anak lahir dengan membawa potensi-potensi fisik, psikis, moral,
intelektual, dan spiritual yang dapat dikembangkan dan akan sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya. Ibarat kertas yang masih putih bersih, apa saja bisa digoreskan di atasnya,
tulisan yang indah, gambar yang elok, atau sebaliknya coretan-coretan yang tidak jelas,
maupun lukisan yang buruk dapat dituangkan diatas kertas tersebut. Begitulah, setiap
anak sedikit banyak terpengaruh oleh orang tua atau lingkungannya di waktu kecil.
Seorang anak yang dibesarkan oleh orang yang baik dan di lingkungan yang baik, maka
akan terbentuk pada dirinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan oleh
orang yang berkepribadian buruk dan tinggal di lingkungan yang buruk, maka akan lahir
darinya kepribadian yang buruk. Setiap anak memiliki karakter khas yang merupakan
hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa juga berupa karakter
yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah, bisa juga karakter yang mudah
sekali untuk diubah.
Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang orang tua akan berbeda dengan
karakternya dengan anak yang tidak atau sedikit mendapatkan kasih sayang orang tuanya
karena telah meninggal. Karena itulah kita sangat dianjurkan untuk mau memberikan
kasih sayang kepada anak yatim dengan berbagai cara sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam hal ini harus disadari bahwa anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan
yang utuh kepada siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan
kasih sayang. Oleh karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan
kepada hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.
Anak yang tidak atau jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang, adakalanya
memiliki karakter yang kurang kondusif bagi kemajuan atau kesuksesan hidupnya di
masa depan. Salah satu penyebabnya adalah karena telah terbentuknya zona aman
(comfort zone) atas karakter yang telah tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai
misal persepsi anak tentang sabar. Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang
dialaminya adalah bagian dari takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar.
Namun karena penanaman yang kurang tepat, kesabarannya itu tidak berbuah pada
kegigihan/kemandirian dalam menjalani kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan

3
pasrah atau nrimo yang berkonotasi pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu
hanya dilakukan di kala menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah
maupun senang, seorang hamba Allah dituntut untuk bersabar.5
Namun apakah anak yang kurang mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya
akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang tidak mendorong pada kesuksesan? Data
empiris menunjukkan tidaklah selalu demikian. Hal ini dikarenakan apa yang
berpengaruh pada dirinya tidak terbatas dari kedua orang tuanya, melainkan juga
lingkungan hidupnya dan pendidikan yang diperolehnya. Sebaliknya kita menyaksikan
banyak anak yang tumbuh dengan belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", malah
tumbuh dengan kepribadian yang labil.6
Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang ketika lahir sudah menjadi yatim
karena ayahnya telah wafat pada saat dia masih dalam kandungan ibunya, kemudian 6
tahun sesudah itu ibunya wafat menyusul kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut
menjadi cerminan dan sumber motivasi. Dia hanya sebentar mendapat sentuhan dan
belaian kasih sayang dari ibunya, namun dia dibesarkan di tengah keluarga terhormat,
yang disegani oleh kaumnya. Sepeninggal ibunya dia dipelihara oleh kakeknya, Abdul
Muttalib seorang tokoh keagamaan yang dipercaya memegang kunci Ka’bah, selama dua
tahun. Berikutnya sampai beranjak dewasa dia dipelihara oleh pamannya, Abu Talib
seorang pedagang, yang memberinya pengalaman penting sebagai calon pemimpin, yakni
perjalanan dagang ke berbagai negeri sehingga memberinya bekal wawasan yang luas.
Pribadi dan akhlak yang muncul dari dirinya tentu merupakan perpaduan dari watak yang
diwarisinya dari kedua orang tuanya dan persentuhannya dengan orang-orang di
sekitarnya. Dalam bahasa agama, semua itu adalah karena kehendak dan bimbingan
Allah SWT, yang Maha Pengasih Maha Penyayang, melebihi kasih sayang seorang
pendidik yang terbaik sekalipun.
Karena itu kehilangan seorang ayah atau ibu, bukanlah akhir dari sebuah
kehidupan. Meski terasa berat, kehilangan seorang ayah atau ibu adalah bentuk ujian agar
seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang
tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh dimensi

5 Muhammad Rizqon, Ibu Bagi Anak Yatim, Multiply.com


6 Ibid.

4
ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang seorang ibu di
dunia ini. Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari cinta Allah SWT. Allah SWT
berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka diutuslah seorang ibu. Seorang
ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia merasa bahwa kehadirannya adalah amanah
dariNya, sehingga ia berusaha mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai
dengan petunjuk-petunjuk yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan
imbal jasa, pamrih, atau menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena
pemilik segala puji hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.7

2. Kebutuhan Psikologis Anak Yatim


Orang-orang miskin dan anak yatim termasuk dalam kelompok duafa (orang-
orang yang lemah) posisinya, karena hidupnya tergantung pada bantuan pihak lain. Anak-
anak yatim membutuhkan bimbingan dan kasih sayang orang tua untuk perkembangan
kepribadiannya. Namun, mereka tidak mendapatkan hal tersebut, karena ayah atau ibunya
sudah meninggal. Maka, diperlukan orang lain yang dapat menggantikan peran orang tua
untuk menuntun mereka ke jalan yang benar. Tanpa perhatian dan kasih sayang, anak-
anak yang kehilangan orang tua itu, tidak dapat tumbuh secara seimbang antara jasmani
dan rohaninya, sehingga memungkinkan anak mengalami perkembangan yang timpang.
Oleh karena itu, Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk bersikap lembut dan penuh
perhatian kepada anak yatim, yang digambarkan dengan ''usapan atau belaian sayang
pada kepala anak''. Dengan usapan itu, anak akan merasakan kedamaian dalam hatinya.8
Selama ini pengertian menyantuni anak yatim cenderung pada kebutuhan fisiknya
saja. Sedang yang bersifat psikologis belum banyak dilakukan. Padahal anak-anak yatim
yang tinggal di panti maupun di rumahnya sendiri, mereka merindukan figur ayah/ibu
yang menjadi tempat curhat dan bermanja. Oleh karena itu sebaiknya pemberian bantuan
untuk kebutuhan fisik, disertai pula dengan komunikasi pribadi yang intens untuk
memahami kebutuhan psikologis maupun pengembangan bakat minat anak yang
bermanfaat bagi masa depannya. Yang termasuk dalam pengertian anak yatim, tidak

7 Ibid
8 Sri Suhandjati Sukri, Ramadan Angkat Kaum Duafa, Google

5
hanya yatim biologis (yang ayah/ibunya meninggal), tetapi ada pula yatim psikologis
yakni yang orang tuanya masih hidup, tetapi tidak pernah memberi perhatian atau kasih
sayang kepada anaknya, sehingga mereka telantar. Anak-anak semacam ini, belum
mendapat perhatian dari umat Islam sebagaimana yatim biologis.9

3. Usaha Usaha Menolong Anak Yatim


Kematian ibu atau bapa akan menyebabkan anak-anak merasa kekosongan dalam
diri mereka. Hilangnya belaian kasih sayang dari orang tua serta tempat
untuk berlindung, menjadikan anak-anak ini dihantui perasaan sedih. Selain
kehilangan kasih sayang, keperluan hidup mereka juga tidak lagi seperti
sebelumnya. Makan, minum, pakaian dan lain-lain juga turut berubah seiring
dengan kepergian yang tersayang. Realiti kehidupan masyarakat hari ini menunjukkan
bahwa kebanyakan anak yatim yang tidak mendapat perhatian sewajarnya akan
mengharungi kehidupan yang begitu sukar, perih dan menyedihkan.
Sesungguhnya Islam adalah satu agama yang menitikberatkan soal
kasih sayang. Ia menekankan kepada kita agar tidak menyisihkan dan
mengabaikan anak yatim terutama yang datang dari keluarga yang serba
kekurangan dan tidak berkemampuan. Anak-anak ini juga memerlukan belaian dan kasih
sayang serta keperluan hidup seperti makan, minum dan pakaian seperti anusia yang lain.
Ini supaya mereka dapat menjalani kehidupan yang mendatang dengan bahagia.
Salah satu upaya untuk menolong anak yatim yang dilakukan oleh yayasan-
yayasan ataupun organisasi-organisasi Islam di Indonesia adalah mendirikan Panti
Asuhan yang dapat menampung sekian banyak anak yatim, dan kemudian yayasan atau
organisasi tersebut mendapatkan dana dari para donatur untuk mencukupi kebutuhan
anak-anak yatim yang ditampungnya, baik dalam hal makanan, pakaian, pendidikan
maupun keperluan sehari-hari.
Pada dasarnya seluruh kaum muslimin mempunyai tanggung jawab yang sama
dalam mengangkat harkat dan martabat anak-anak yatim di daerah tempat tinggalnya.
Soal apakah mereka dibawa di rumah dan tinggal bersama atau tidak itu hanya teknis
saja. Tapi prinsipnya tidak boleh kaum muslimin berdiam diri saja, ketika ada anak-anak

9 Ibid.

6
yatim telantar dan tidak ada yang mengurus. Demikian dikemukakan Ketua Umum
Gabungan Ormas Islam Bersatu (GOIB), H Andi M Sholeh kepada Harian Terbit,
menjelang datangnya tanggal 10 Muharram yang selama ini dikenal sebagai hari anak-
anak yatim. Sholeh juga mengingatkan masalah penanganan anak-anak yatim harus
menjadi tanggung jawab semua kaum muslimin. Anak-anak yatim dinisbatkan oleh
Rasulullah sebagai anak-anak beliau. Karena itu kalau memang kita mencintai Rasulullah
kita juga harus ikut mencintai mereka.10
Lebih lanjut dia berharap agar pemeliharaan anak-anak yatim betul-betul
dilaksanakan dengan semangat tolong menolong. Pengelolaan panti asuhan yang
sekarang ini banyak ditemukan hendaknya dilaksanakan dengan prinsip-prinsip amanah.
"Jangan sekali-sekali anak-anak yatim itu dijadikan komoditas untuk kepentingan diri
sendiri, pengelola anak-anak yatim harus juga menjaga martabat dan harga diri anak-anak
yatim tersebut. Artinya, janganlah memanfaatkan anak-anak yatim tersebut sebagai
komoditas, dan dimanfaatkan untuk cari-cari sumbangan ke sana ke mari."
Mengenai anak-anak yatim yang dikelola oleh panti asuhan, Sholeh mengatakan
pengelola Panti Asuhan yang memelihara anak-anak yatim, hendaknya betul-betul orang
yang ikhlas dan tidak memanfaatkan anak-anak yatim untuk kepentingan dirinya sendiri.
Justru sebaliknya, para pengelola panti asuhan itulah yang harus menghidupi anak-anak
yatim dengan penuh kasih sayang sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah. Sholeh
menyebutkan Alquran dan juga hadist Nabi banyak isyarat yang harus dilakukan oleh
kaum muslimin terhadap anak-anak yatim. Karena itulah bagi mereka yang memelihara
anak-anak yatim haruslah mengikuti pedoman yang sudah digariskan oleh Al-Quran dan
keteladanan yang sudah diperlihatkan oleh Rasulullah. "Jika memang tidak mampu
menghadapi godaan yang ditimbulkan oleh ulah anak-anak yatim yang dipelihara di
rumah masing-masing boleh saja mereka menyantuni anak-anak yatim yang dipelihara di
panti asuhan," Konsep panti asuhan sendiri, ujarnya tidak bertentangan dengan prinsip
Islam dalam memelihara anak-anak yatim. Hanya saja persyaratannya pun sangat berat.
Jangan sekali-sekali memanfaatkan anak-anak yatim itu untuk kepentingan diri sendiri.11

10 Koran Terbit, Jakarta 27 Januari 2007


11 Ibid

7
Sangat disayangkan apabila ada orang yang menjadi pengurus panti asuhan, tapi
memanfaatkan anak-anak yatim piatu. Begitu juga ketika mengadakan acara yang
diperuntukkan membahagiakan anak-anak yatim, jangan sekali-sekali dikurangi jatah
yang seharusnya dinikmati oleh anak-anak yatim. Artinya, kalau ada yang menyumbang
untuk yatim, maka semuanya harus untuk anak yatim. Kalaupun mau untuk konsumsi,
harus dicarikan jalan lain, selain dari sumbangan untuk yatim tersebut.
Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa memakan harta anak yatim termasuk dosa
besar. Rasulullah saw bersabda:

َّ ‫سلَّ َمْقَا َلْاجتَنِبهواْال‬


ْ‫سب َع‬ َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ‫ىّْللاهْ َعلَي ِه‬ َ ِْ‫ّْللاهْ َعنههْ َعنْالنَّ ِبي‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ َ ‫َعنْأ َ ِبيْ هه َري َرة‬
ِ ‫َْر‬
ْ‫ْالَّ ِتي‬
ْ ‫ْوقَت هل ْالنَّف ِس‬
َ ‫ْوالسِح هر‬ َّ ِ‫ْو َماْ هه َّن ْقَا َل ْالشِركه ْب‬
َ ِ‫اَّلل‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫ّْللا‬ َ َ‫ت ْقَالهواْي‬
‫اْر ه‬ ِ ‫ال هموبِقَا‬
‫ْوقَذ ه‬
ْ‫ف‬ َ ‫ف‬
ِ ‫ْالزح‬ َّ ‫ْوالت َّ َو ِلي ْيَو َم‬َ ‫ْوأَك هل ْ َما ِل ْاليَتِ ِيم‬ ِ ‫ْوأَك هل‬
َ ‫ْالربَا‬ َ ‫ق‬ِ ‫ّْللاه ْإِ ََّّل ْبِال َح‬
َّ ‫َح َّر َم‬
ِْ ‫صنَاتِْال همؤ ِمنَاتِْالغَا ِف ََل‬
ْ)‫ت (رواهْالبخاري‬ َ ‫ال همح‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang
membinasakan”. Para sahabat bertanya “Apa dosa-dosa itu”? Rasulullah menjawab:
“Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar,
memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina
terhadap orang-orang perempuan yang menjaga kehormatannya”.
Hadis di atas mensejajarkan dosa memakan harta anak yatim dengan dosa-dosa
besar lainnya yang merusak keagamaan pelakunya. Hal itu dapat dimengerti bahwa
perbuatan yang demikian jelas merupakan tindakan dzalim, sebab anak yatim yang
seharusnya dibantu, tetapi malah sebaliknya harta benda miliknya malah dimakan orang
lain.
Meskipun demikian, ibarat amil (panitia) yang melaksanakan pengumpulan dan
pembagian zakat yang dibolehkan mengambil jatah dari zakat yang dikumpulkan, orang-
orang yang mengurus pemeliharaan anak-anak yatim diperbolehkan memperoleh harta
yang diperuntukan bagi anak yatim, dalam jumlah yang sepatutnya, atau dalam istilah al-
Qur’an bi al-ma’ruf atau billati hiya ahsan. Sebagaimana dapat kita baca pada surat al-
Nisa ayat 6 dan al-An’am ayat 152 berikut ini:

8
َْْ‫ْو َمن ْ َكان‬ َ ‫ارا ْأَن ْيَكبَ هروا‬
َ ‫ْو َمن ْ َكانَ ْ َغنِيًّا ْفَليَستَع ِفف‬ َ ‫و ََّل ْتَأ هكلهوهَا ْإِس َرافًا‬...
ً َ‫ْوبِد‬ َ
ِ ‫فَ ِقي ًراْفَل َيأ هكلْ ِبال َمع هرو‬
ْْ)6ْ:‫(النساء‬...‫ف‬
Artinya:
“…dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah
kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara
pemelihara anak yatim itu) kaya, maka hendaklah ia menahan diri (tidak memakan harta
anak yatim) dan barangsiapa (di antara pemelihara anak yatim itu) miskin, maka
bolehlah memakan harta itu menurut yang patut (bi al-ma’ruf) … (Al-Nisa:6)
ُ َ ‫سن َحتَى َي ْبلُ َغ أ‬
)152 :‫ (األنعام‬...‫شدَه‬ َ ‫َو ََل ت َ ْق َربُوا َما َل ْال َيتِي ِْم ِإ ََل بِالَتِي ِه‬
َ ‫ي أ َ ََ ْح‬
Artinya:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat), hingga sampai ia dewasa…(al-An’am: 152)

4. Ancaman Kepada Orang Yang Menyakiti Anak Yatim


Dalam surat al-Ma’un Allah berfirman:

ِ ‫طعَ ِام ْال ِم ْس ِك‬


‫ين‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ع ْاليَ ِت‬
ُّ ‫يم َوَلَ يَ ُح‬
َ ‫ض‬ ُّ ‫ِين فَ َذا ِل َك الَذِي يَ ُد‬ ُ ‫ْت الَذِي يُ َكذ‬
ِ ‫ِب بِالد‬ َ ‫أ َ َرأَي‬
)3-1:‫(الماعون‬
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang-orang yang menindas
anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang-orang miskin”.
(al-Ma’un ayat 1-3).

Keimanan terhadap agama Allah itu tidaklah dapat dinilai hanya dengan shalat
atau ibadah lain semata-mata, sebab Islam bukanlah agama kulit dan agama ritual.
Sesungguhnya hakikat iman itu mempunyai ciri-ciri yang dapat membuktikan
perwujudannya. Selama ciri-ciri itu belum terwujudkan, maka keimanan dan kepercayaan
itu pun tidak akan terwujud. Sebenarnya, di antara akidah dan syariat Islam tidak boleh
berpisah antara satu bagian dengan bagian yang lain. Islam adalah agama yang bersatu
padu di mana kegiatan akidah membuahkan ibadah, sedangkan ibadat berkaitan dengan

9
tugas perseorangan. Tugas perseorangan berkaitan erat dengan tugas masyarakat yang
kesemuanya menuju ke arah kebaikan manusia dan pengabdian kepada Allah SWT.12
Seorang Muslim tidak boleh mengambil sebagian dari syariat Islam yang
dianggapnya menguntungkan dan menolak sebagian lain yang dianggapnya merugikan.
Ia tidak boleh menerima sesuatu dari syariah yang dia sukai dan menolak sebagiannya
yang tidak dia sukai. Seorang Muslim sudah memproklamirkan diri dan menyerah diri
sepenuhnya yang tersimpul dalam kalimat syahadat “Sesunguhnya aku bersaksi bahwa
tiada tuhan melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.
Syahadat ini, memberi pengertian yang bahwa dengan mengakui Allah SWT adalah
Tuhannya dan Muhammad sebagai pesuruh Allah, maka seorang Muslim wajib tunduk
dan ta’at kepada aturan yang dibuat oleh Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah saw
serta wajib menjalankan perintahNya dan wajib pula menjahui segala larangNya. Inilah
pengertian Islam dalam kontek penyerahan diri dan pengabdian kepada Allah SWT dan
di sinilah letaknya batas perbedan antara iman dan kufur, antara percaya dan tidak
percaya.
Tiga ayat dalam surat Al Ma’un tersebut, menjadi contoh serta gambaran yang
jelas mengenai hakikat keberagamaan. Firman Allah itu, dimulai dengan pertanyaan
Allah: “Adakah engkau melihat atau adakah engkau tahu siapakah pendusta-pendusta
agama itu?” Kemudian Allah menegaskan sebagai jawabannya. Sesungguhnya, yang
demikian itu adalah mereka yang menindaskan anak-anak yatim dan orang-orang tidak
memberi makan kepada orang-orang miskin.
Kalimat tersebut adalah suatu jawaban yang mengejutkan, karena hanya dengan
sebab mengabaikan beberapa kebaikan terhadap anak yatim dan orang-orang miskin,
digolongkan sebagai pendusta-pendusta agama sendiri. Terlebih jika kita juga melakukan
perbuatan jahat, seperti; meninggalkan sembahyang, berjudi, berzina, korupsi, perampok,
pengkhianat dan sebagainya. Allah memberi peringatan kepada kita tentang kebaikan
anak-anak yatim dan orang-orang miskin sehingga ia dihubungkan dengan pengertian
agama itu sendiri. Mengabaikan kebaikan mereka bererti mengabaikan agama, sebaliknya
memuliakan mereka menjadi sifat-sifat orang yang beragama.
Dalam surat lain Allah berfirman:

12 Ahmad Buwaethy, Sayangilah Anak Yatim, Google 12 February 2008

10
َ ‫فَأ َ َّماْاليَتِي َمْفََلَْتَق َهرْوأ َ َّماْال‬
ْ)10-9ْ:‫سائِلْفََلْتَن َهرْ(الضحى‬
Artinya:
“Adapun terhadap anak-anak yatim maka janganlah kamu bersikap kasar
terhadapnya dan adapun orang yang meminta-minta maka janganlah engkau usir (Surah
Adh Dhuha Ayat 9-10).

Orang yang paling bertanggungjawab untuk memelihara, mendidik dan


membesarkannya anak yatim adalah ahli waris orang tuanya yang meninggal, hingga dia
dapat menjalani hidup secara mandiri. Mereka tidak boleh menganiaya, menindas,
mengkhianati dan berbuat zholim terhadap harta kepunyaan mereka. Maka apabila ahli
waris tidak mampu memeliharanya kerana kemiskinan dan ketidakmampuan, maka
wajiblah bagi orang yang mampu dan berupaya memberikan bantuan dan memelihara
mereka. Sekiranya golongan yang kaya dan mampu mengabaikannya, maka yang
bertanggungjawab terhadap anak yatim adalah seluruh masyarakat. Memelihara anak
yatim dalam rumah sendiri adalah sebaik-baik amal yang dituntut oleh Islam, sehingga
Rasulullah saw pernah bersabda: “Rumah-rumah yang dicintai di sisi Allah ialah rumah
yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim yang dimuliakannya”.

5. Fungsi Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an


Setelah anda mempelajari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur’an di atas, anda dapat
menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu memperkuat ayat-ayat al-Qur’an yang membahas
persoalan yang sama. Demikianlah memang hadis memiliki beberapa fungsi bila
dikaitkan dengan al-Qur’an. Untuk memperkaya wawasan anda dalam hal ini, anda akan
diajak memehami fungsi Hadis terhadap al-Qur’an. Secara umum fungsi hadis adalah
sebagai penjelas (bayân) terhadap makna al-Qur’an yang umum, global dan mutlak.
Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah al-Nahl/16 : 44

َْْ‫ْولَ َعلَّ ههمْ َيتَفَ َّك هرون‬ ِ َّ‫َوأَنزَ لنَاْ ِإلَي َكْالذِك َرْ ِلت ه َب ِينَ ْ ِللن‬
َ ‫اسْ َماْنه ِز َلْإِلَي ِهم‬
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”,

11
Secara lebih rinci fungsi penjelasan (bayân) Hadis terhadap al-Qur’an,
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Bayân Taqrîr
Posisi Hadis sebagai penguat (taqrîr/ta’kid) keterangan al-Qur’an.
Artinya Hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, sepert Hadis
tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga hadis-hadis tentang kepedulian
terhadap anak yatim yang sudah diuraikan di atas menjadi penguat terhadap ayat-
ayat al-Qur’an yang membahas hal yang sama.
b. Bayân Tafsîr
Hadis sebagai penjelas (tafsîr) terhadap al-Qur’an dan fungsi inilah yang
terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu
sebagai berikut :
1. Tafsîl al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an
yang masih global (tafsîl al-mujmal= memperinci yang gelobal), baik
menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya
bayân tafshîl atau bayân tafsîr. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat
dalam al-Qur’an hanya diterangkan secara global “dirikanlah shalat” tanpa
disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam,
berapa raka`at, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
Perincian itu adanya dalam Hadis Nabi, misalnya sabda Nabi saw :
ْ ْ“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat “. (HR. al-Bukhari)
Dalam masalah haji al-Qur’an hanya menjelaskan secara gelobal,

rinciannya dijelaskan Hadis, Nabi bersabda : "ْ‫"ْ ِلتَأ هخذهواْ َمنَا ِس َْك هكم‬
“Ambilah (dari padaku) ibadah hajjimu “. (HR. Muslim)

2. Takhshîsh al-`Amm

12
Hadis mengkhususkan (mengecualikan) ayat-ayat al-Qur’an yang umum,
sebagian ulama menyebut bayân takhshîsh. Misalnya ayat-ayat tentang waris
dalam QS. Al-Nisa’/4: 10
“ Allah mensyari`atkan bagi mu tentang (bagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang perempuan…”
Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap
ahli waris, baik anak-lelaki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orang
tua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau
tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian
dikhususkan (takhsîsh) dengan Hadis Nabi yang melarang mewarisi harta
peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.

3. Taqyîd al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al-Qur’an. Artinya al-Qur’an
keterangannya secara mutlak, kemudian ditakhshish dengan Hadis yang
khusus. Sebagian ulama menyebut bayân taqyîd. Misalnya firman Allah
dalam QS. Al-Mâidah : 38

"...ْ‫طعهواْأَي ِديَ هه َما‬


َ ‫ارقَةهْفَاق‬
ِ ‫س‬ َ ‫ار هق‬
َّ ‫ْوال‬ ِ ‫س‬َّ ‫"ْوال‬
َ
“Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan
mereka…”
Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan
tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut,
dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu pundak,
lengan, dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baharu
dijelaskan dengan Hadis ketika ada seorang pencuri tertangkap dan
didatangkan ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan
tangan, maka Nabi memerintahkan agar percuri tersebut dipotong pada
pergelangan tangan.
c. Bayân Tasyrî`î

13
Hadis menciptakan hukum syari`at (tasyri`) yang belum dijelaskan oleh
al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi Sunah sebagai dalil pada
sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Mayoritas mereka
berpendapat bahwa Sunah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain
berpendapat bahwa Sunah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara
implisit dalam teks al-Qur’an. Misalnya keharaman makan daging keledai ternak,
keharaman setiap binatang yang bertelalai, dan keharaman menikahi seorang
wanita bersama bibik dan paman wanitanya. Hadis tasyri` diterima oleh para
ulama karena kapasitas Hadis juga sebagai wahyu dari Allah swt yang menyatu
dengan al-Qur’an, hakekatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit dalam
al-Qur’an.
Jelasnya, hubungan antara Hadis dan al-Qur’an sangat integral keduanya
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena keduanya berdasrkan
wahyu yang datang dari Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk
disampaikan kepada umatnya, hanya proses penyampaiannya dan
periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni
menjelaskan al-Qur’an baik secara eksplisit atau implisit, sehingga tidak ada
istilah kontra antara satu dengan lain.

14
KEGIATAN BELAJAR 3:

INDIKATOR KOMPETENSI

Setelah mempelajari kegiatan belajar 3 ini anda diharapkan mampu:


1. Menjelaskan pengertian akhlak
2. Menghafal Hadis tentang akhlak
3. Menjelaskan matan Hadis Akhlak

URAIAN MATERI

Kalau kita perhatikan sejarah dakwah Nabi Muhammad saw, kita dapat simpulkan
bahwa misi utama dan yang pertama kali ditegakkan oleh beliau adalah menegakkan
tauhid, mengajak manusia hanya menyembah Allah semata, menghapus kemusyrikan
dengan memberantas paganism, watsniyah atau penyembahan terhadap berhala. Setelah
Fath Makkah atau penguasaan kota Makkah oleh Rasulullah, beliau segera memusnahkan
patung-patung berhala yang ada di sekitar Ka’bah.

Misi berikutnya adalah memperbaiki akhlak manusia yang telah dirusak oleh
permusuhan antar suku, penindasan orang kuat atas orang lemah, penistaan terhadap
perempuan, dsb. Beliau mengajak mereka untuk saling mengasihi, membina
persaudaraan, menghormati hak hidup manusia apapun jenis kelamin dan kebangsaannya.
Sudah barang tentu, misi memperbaiki akhlak hanya dapat dilakukan oleh orang
berakhlak mulia pula. Dalam hal ini Allah swt memuji Nabi Muhammad yang
mengemban misi kerasulan dengan berfirman:

1
)4 :‫ع ِظي ٍْم (القلم‬ ٍ ُ‫َو ِإنَّ َك لَ َعلَى ُخل‬
َ ‫ق‬
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung (al-
Qalam : 4).

Hadis Nabi

َ‫سلَّ َم أ َ ْك َم ُل ْال ُمؤْ ِمنِين‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن أَ ِبي ُه َري َْرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ
)‫سنُ ُه ْم ُخلُقًا (رواه أبو داود‬ َ ‫ِإي َمانًا أَ ْح‬
Terjemah Hadis

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya“ (HR. Abu Daud)

Penjelasan

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mendefinisikan akhlak sebagai


berikut:

‫الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر األفعال بسهولة‬


‫ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية‬

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang darinya timbul perbuatan dengan
mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Dari pengertian akhlak seperti yang dijelaskan oleh Imam Ghazali di atas dapat
dikatakan bahwa apabila seseorang pada dirinya telah tertanam akhlak yang baik seperti
sifat dermawan akan lahir darinya perbuatan gemar memberi tanpa merasa berat hati.
Contoh lain adalah sifat sabar, akan mudah lahir darinya tindakan memaafkan terhadap
orang yang berbuat jahat sekalipun. Begitu juga dari sifat yang bijak akan lahir darinya
perbuatan mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan kemaslahatan. Kata akhlak ini

2
selain dipakai untuk perilaku yang baik-baik, juga digunakan untuk perilaku yang buruk,
seperti kikir, pengecut dan perangai-perangai rendah lainnya.1
Namun tidak semua perbuatan baik timbul dari akhlak yang baik, demikian juga
tidak semua perbuatan jahat timbul dari akhlak yang jahat pula. Misalnya seseorang yang
memberikan sumbangan sejumlah uang kepada sebuah organisasi keagamaan, tidak
langsung berarti bahwa orang tersebut dermawan. Mungkin saja hal itu dilakukannya
karena ada maksud supaya pencalonannya untuk posisi tertentu mendapat dukungan.
Atau dia melakukan itu karena terpaksa supaya tidak malu kepada orang lain yang telah
lebih dahulu memberikan sumbangan. Maka dia tidak tepat dikatakan sebagai orang yang
murah hati atau dermawan.
Begitu juga orang yang mencuri, belum tentu hal itu dia lakukan karena dia
seorang pemalas, tidak mau berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Kalau dia
mencuri karena terpaksa, sebab dia memerlukan biaya yang harus segera dia bayar,
sedang dia tidak memilikinya, dan tidak ada pula orang mau meminjaminya, lalu dia
terpaksa mencuri karena jiwanya terancam, dia tidak tepat dikatakan berakhlak jahat,
pemalas, atau pencuri. Dia hanyalah seorang yang pada saat itu mengambil harta milik
orang lain.
Dalam hadis di atas Rasulullah saw menjelaskan bahwa sebaik-baik orang
Muslim adalah yang baik akhlaknya dan mulia sifatnya. Adapun orang yang jelek
akhlaknya dan buruk sifatnya adalah orang-orang jahat. Meskipun mereka mengerjakan
shalat, puasa dan haji, sesungguhnya shalat mereka tidak khusyu, puasanya karena
terpaksa, dan hajinya karena riya.
Seandainya semua ibadah itu dilakukan dengan ikhlas pasti membuahkan akhlak
yang mulia, karena shalat yang benar akan mencegah perbuatan keji dan mungkar, puasa
yang ikhlas akan menghasilkan kesabaran dan kedermawanan, dan haji yang mabrur akan
menumbuhkan sifat sabar dan kebaikan dalam pergaulan serta kesediaan memberi
pertolongan. Jadi pertanda ibadah yang benar yang dilakukan dengan ikhlas adalah
terbentuknya akhlak yang mulia. 2

1 Muhammad Abdul Aziz al-Khuly, al-Adab al-Nabawy, (Beirut: Dar al-Fikr, TT), h. 127
2 Ibid.

3
Maksud dari Hadis diatas juga diuraikan dalam kitab ’Aunul Ma’bud yang
menjelaskan hadis-hadis Sunan Abu Daud . :

‫ وهي منقسمة‬،‫وهو عبارة عن أوصاف اإلنسان التي يعامل بها غيره‬


‫ فالمحمودة منها صفات األنبياء واألولياء‬،‫إلى محمودة ومذمومة‬
‫والصالحين كالصبر عند المكاره والحلم عند الجفاء وحمل األذى‬
‫ واللين في‬،‫واإلحسان للناس والتودد إليهم والرحمة بهم والشفقة عليهم‬
:‫ قال الحسن البصري‬.‫القول ومجانبة المفاسد والشرور وغير ذلك‬
.‫ وكف األذى وطالقة الوجه‬،‫حقيقة حسن الخلق بذل المعروف‬

“Hadis yang mengatakan bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaknya, merupakan gambaran tentang sifat-sifat menusia dalam
bergaul dengan orang lain. Sifat-sifat itu ada yang terpuji, ada pula yang tercela. Sifat-
sifat terpuji adalah seperti sifat para Nabi, para auliya, dan orang-orang shaleh seperti
sifat sabar dalam menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan, sanggup
menanggung derita, berbuat baik dan kasih sayang terhadap manusia, lemah lembut
dalam bertutur kata, manjauhi pengrusakan dan kejahatan, dsb. Kemudian Hasan al-
Bashry menambahkan bahwa hakekat akhlak yang baik adalah mengerahkan perbuatan
yang ma’ruf (yang baik), mencegah perbuatan menyakiti, dan keramahan raut muka”.
Dalam banyak hadis, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berakhlak mulia.
Antara lain hadis-hadis sebagai berikut:3

‫سلَّ َم يَقُو ُل َما ِم ْن‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫س ِم ْعتُ النَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َ ‫اء قَا َل‬ِ َ‫ع ْن أَ ِبي الد َّْرد‬ َ
)‫ان أَثْقَ ُل ِم ْن ُح ْس ِن ا ْل ُخلُق ِ(رواه الترمذي‬ ِ َ‫ض ُع فِي ْال ِميز‬ َ ‫ش ْيءٍ يُو‬ َ
Artinya:

3 Muhammad Abdul Aziz al-Khuly, al-Adab al-Nabawy, (Beirut: Dar al-Fikr, TT), h. 128

4
Abu Darda berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: tidak ada sesuatu yang
diletakkan diatas timbangan amal (di akhirat) yang lebih berat dari akhlak yang baik
(HR Turmudzi)
Kenapa akhlak yang baik memiliki bobot kebaikan yang lebih? Karena pada
dasarnya semua ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim harus berimplikasi pada
perbuatan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain. Sehingga dikatakan pula
”Tidak sah shalat seseorang apabila shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan
keji dan mungkar”, demikian pula bila seorang berpuasa meninggalkan makan dan
minum, tetapi tetap berbuat jahat, maka Allah tidak akan menerima puasanya. Dalam
melakukan ibadah hajipun, seseorang dilarang mengucapkan kata-kata yang tidak baik,
tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh bersengketa.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi pula, Rasulullah saw
bersabda:

َّ َ‫سلَّ َم قَا َل ِإ َّن ِم ْن أَ َح ِب ُك ْم ِإل‬


‫ي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن َجا ِب ٍر أَ َّن َر‬ َ
)‫سا َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة أَ َحا ِسنَ ُك ْم أَ ْخ َالقًا (رواه الترمذي‬
ً ‫َوأَ ْق َر ِب ُك ْم ِم ِني َم ْج ِل‬
Artinya:
Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah bersabda “Bahwasanya orang yang paling aku
cintai diantara kalian dan yang paling dekat tempatnya denganku pada hari kiamat
adalah yang paling baik akhlaknya (HR Turmudzi)
Hadis ini menegaskan pentingnya akhlak yang baik. Semakin baik akhlak
seseorang, semakin sempurna keimanannya, dan dekat posisinya dari Rasulullah.
Pada hadis berikutnya Rasulullah saw bersabda:

َ َ‫ ِإنَّ ُك ْم لَ ْن ت‬:‫عن أبي هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫سعُوا‬
‫ق (رواه‬ ِ ُ‫ط اْ َلو ْج ِه َو ُح ْس ُن ْال ُخل‬ َ َ‫اس ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َول ِك ْن ي‬
ُ ‫سعُ ُه ْم ِم ْن ُك ْم بَ ْس‬ َ َّ‫الن‬
)‫البزار‬
Artinya:

5
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat menjangkau semua orang (memuaskan mereka) dengan pemberian hartamu, tetapi
kamu akan dapat menyenangkan semua orang dengan roman muka yang ramah dan
akhlak yang baik (HR Bazzar).
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengandung larangan yang harus
dijauhi oleh seorang yang memberikan sedekah, antara lain dilarang memberi suatu
sedekah dengan diserta kata-kata yang menyakitkan penerima sebab perbuatan itu akan
menjadikan pahala sedekahnya hilang:

)264 :‫(البقرة‬...‫يآ أيها الذين آمنوا التبطلوا صدقاتكم بالمن واألذى‬


artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.

Sebenarnya jika dibandingkan antara akhlak yang baik dari seseorang dengan
pemberian sedekah darinya --seandainya seseorang harus memilih salah satu diantara
keduanya-- maka dia akan memilih akhlak yang baik. Untuk apa dia mendapat sedekah
tetapi diperlakukan dengan tidak baik, hanya akan menimbulkan sakit hati, sebaliknya
apabila seseorang memperlakukannya dengan akhlak yang baik, dia akan merasa senang
hati, meskipun tidak mendapatkan pemberian sedekah. Itulah makna dari hadis
Rasulullah saw di atas.
Pada hadis lain disebutkan:

ُ‫سلَّ َم ِإنَّ َما بُ ِعثْت‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن أَ ِبي ُه َري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬ َ
)‫ق (رواه أحمد‬ َ ‫ِألُتَ ِم َم‬
ِ ‫صا ِل َح ْاأل َ ْخ َال‬
Dalam riwayat Bazzar, hadis di atas berbunyi :

َ ‫ِإنَّ َما بُ ِعثْتُ ِألُت َ ِم َم‬


ِ ‫صا ِل َح ْاأل َ ْخ َال‬
‫ق‬
Kedua riwayat itu sama maknanya.
Di bagian awal uraian ini telah dijelaskan bahwa misi kedua dari Rasulullah
setelah beliau menegakkan tauhid, adalah memperbaiki akhlak manusia. Sebab akhlak
yang baik akan membuat kehidupan bermasyarakat menjadi aman, damai dan sejahtera,
terhindar dari bahaya yang dapat merusak sendi-sendi bangunan masyarakat. Dan pada

6
gilirannya akhlak yang baik akan membuat satu bangsa menjadi kokoh kuat. Sebaliknya
akhlak yang jahat menjadi virus yang menggerogoti rasa saling percaya di antara warga
masyarakat, merusak persaudaraan diantara teman, melemahkan rasa solidaritas, dan
menumbuhkan sikap egois dan individualis, dan akhirnya meruntuhkan sendi-sendi
keutuhan hidup bermasyarakat.
Kalau kita perhatikan realita kehidupan manusia, akan kita jumpai orang- orang
yang sangat menyukai bermacam perhiasan untuk dikenakan pada anggota badan mereka.
Mereka ingin tampil menarik di hadapan siapa saja yang melihatnya. Karena itu kita lihat
banyak orang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Mereka lebih
mementingkan perhiasan lahiriyah dengan penambahan aksesoris seperti pakaian yang
bagus, make up yang mewah, kalung emas, cincin permata, dsb.
Sebaliknya ada pula orang-orang yang lebih berupaya memperbaiki kualitas
akhlaknya. Orang yang demikian tidak mengharapkan pujian kekaguman manusia,
namun karena kesadaran agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan
mendapatkan ridho dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaupun penampilannya
mengundang pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-
Nyalah segala puji dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.

1. Islam Mengutamakan Akhlak


Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan aspek akhlak. Di satu sisi
kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini,
berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun di sisi lain kurang memperhatikan aspek
akhlak. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari
kalangan awwam, seperti ungkapan: “Sudah belajar agama tapi kok durhaka pada orang
tua?” Atau ucapan : “Dia itu pengetahuan agamanya luas tapi tidak peduli pada
tetangga.” dan lain-lain.
Ungkapan-ungkapan seperti itu semestinya tidak ada, karena agama Islam itu
mencakup aspek batin dan lahir, keyakinan dan perbuatan. Antara keduanya harus seiring
selaras. Kalau seorang Muslim beriman kepada Allah dan meyakini kebenaran ajaran
yang dibawa oleh Rsul-Nya, maka secara lahiriyah ucapan dan tindakannya harus sejalan
dengan keyakinan batinnya tersebut. Karena itu marilah kita berintrospeksi dan

7
mengkoreksi diri apakah akhlak kita sudah sejalan dengan keimanan kita. Tauhid sebagai
sisi pokok/inti ajaran Islam harus kita utamakan, dan kita sempurnakan dengan akhlak
yang baik. Akhlak merupakan realisasi tauhid seorang hamba terhadap Allah. Seorang
yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin
sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang
memiliki akhlak yang buruk berarti lemah pula tauhidnya.

2. Akhlak Rasulllah SAW


Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, Rasulllah yang mulia mendapat
pujian langsung dari Allah karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana firmanNya
dalam surat al-Qalam ayat 4 yang telah disebut di atas. Anas bin Malik seorang sahabat
Nabi menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang
paling baik budi pekertinya. Dia memuji Rasulullah saw dengan mengatakan: “Belum
pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari
bau rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani
rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan
saya : mengapa engkau berbuat ini? atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu?” (HR.
Bukhari dan Muslim).

3. Keutamaan Akhlak
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah
ditanya tentang amalan yang paling banyak membuat orang masuk surga. Beliau
menjawab: “Takwa kepada Allah dan Akhlak yang Baik.” Tatkala Rasulullah saw
menasehati sahabatnya, beliau menyertakan nasehat untuk bertakwa dengan nasehat
untuk berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana hadits dari Abu Dzar, ia berkata
bahwa Rashulullah saw bersabda :

ِ َّ ‫سلَّ َم اتـ‬
‫ق هللاَ َح ْيث ُ َما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن أَ ِبي ذَ ٍر قَا َل قَا َل ِلي َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ
‫س ٍن (رواه‬ ٍ ُ‫اس ِب ُخل‬
َ ‫ق َح‬ َ َّ‫ق الن‬ َ ‫س ِيئَةَ ْال َح‬
ِ ‫سنَةَ تَ ْم ُح َها َوخَا ِل‬ َّ ‫ت َوأَتْ ِب ْع ال‬
َ ‫ُك ْن‬
)‫الترمذي‬
8
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan iringilah perbuatan
buruk dengan perbuatan baik niscaya, kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan
bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi)

Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang baik memiliki
keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap Muslim menjadikan akhlak
yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk akhlak
bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut
ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat
bernilai buruk menurut timbangan syari’at atau sebaliknya. Hal ini berarti bahwa semua
yang dilakukan oleh seorang Muslim harus berpatokan pada syari’at. Keimanannya,
ibadahnya, mu’amalah (pergaulan) nya dengan sesama makhluk Allah, dan termasuk
akhlaknya harus berlandaskan syariat. Allah sebagai pembuat syari’at ini, Maha Tahu
dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-
hamba-Nya.
Akhlak ataupun budipekerti memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia
yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat
mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat syaitoniah, berpegang teguh kepada sendi-
sendi keutamaan. Menghindarkan diri dari sifat-sifat kecurangan, kerakusan dan
kezaliman. Manusia yang berakhlak mulia, suka tolong menolong sesama dan makhluk
lainnya. Mereka senang berkorban untuk kepentingan bersama.Yang kecil hormat kepada
yang tua, yang tua kasih kepada yang kecil. Manusia yang memiliki budi pekerti yang
mulia, senang kepada kebenaran dan keadilan, toleransi, mematuhi janji, lapang dada dan
tenang dalam menghadapi segala halangan dan rintangan.
Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke darjat yang tinggi dan mulia.
Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan
ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan
sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan
perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya.

9
Manusia yang paling baik akhlaknya ialah Nabi Muhammad saw, sehingga Allah
memuji budi pekerti beliau dalam al-Quran: "Sesungguhnya engkau (Muhammad),
benar-benar berbudi pekerti yang agung. Suatu bangsa bagaimanapun hebat kekuatan dan
kekayaan yang dimilikinya, akan tetapi jika budi pekertinya rusak, maka bangsa itu akan
mudah binasa. Manusia yang tidak punya akhlak yang baik, akan melakukan apa saja
untuk kepentingan dirinya. Dia akan berbohong, membuat fitnah, menjual harga diri dan
keluarga, malah dengan tidak segan lagi, dia menjual Agamanya.

10
KEGIATAN BELAJAR 4:

INDIKATOR KOMPETENSI

Dengan mempelajari kegiatan belajar 4 ini, anda diharapkan mampu:


1. menghafalkan hadis tentang ciri-ciri munafik;
2. mengidentifikasi perbuatan-perbuatan munafik;
3. menjelaskan perbedaan munafik akidah dan munafik perbuatan;

URAIAN MATERI
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda bahwa pada hakekatnya takwa itu
berada di dalam hati. Meskipun demikian takwa itu harus diimplementasikan atau
diwujudkan dalam perbuatan lahiriyah. Orang yang dalam hatinya ada keimanan dan
ketakwaan dan telah bersaksi akan kebenaran ajaran Islam tetapi tidak mengamalkannya
disebut Fasiq. Sebaliknya orang yang secara lahiriyah memperlihatkan ketaatan dengan
mengaku beriman secara lisan dan mengamalkan ibadah, tetapi dalam hati dia
mengingkari semua itu.
Karena itu dalam surat Ali Imran ayat 102 Allah swt mengingatkan orang-orang

yang beriman agar bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa (‫تُقَا ِت ِه‬ ‫) َح َّق‬.
Ayat itu menunjukkan bahwa selain ada orang-orang yang benar-benar bertakwa, ada
pula orang yang berpura-pura bertakwa kepada Allah. Orang yang berpura-pura takwa
kepada Allah, seperti mengaku sebagai seorang beriman padahal hatinya ingkar, atau
berpura-pura menjadi pengikut Rasulullah padahal sesungguhnya dia memusuhi, berpura-
pura menjalankan shalat padahal sebenarnya sangat malas mengerjakannya, orang
bersikap demikian adalah orang yang disebut Munafik.

1
Secara harfiah, kata munafiq berasal dari kata ‫ نَفـَق‬yang salah satu artinya adalah
lubang tikus di dalam tanah, yang memilki dua pintu, pintu pertama terlihat, sedang pintu
kedua tidak terlihat. Tikus itu bisa masuk dari pintu yang terlihat lalu keluar dari pintu
yang tidak terlihat. Begitu pula seorang munafik seolah-olah masuk ke dalam Islam,
tetapi dia keluar dari Islam melalui pintu yang tersembunyi. Secara etimologi atau istilah,
munafik adalah orang yang menyembunyikan akidah kekafirannya dan menampakkan
keimanannya secara lahiriyah dengan kata-kata.1
Orang-orang munafik sangat dibenci oleh Allah dan Rasulullah, karena
merupakan musuh dalam selimut bagi kaum Muslimin. Mereka berpura-pura menjadi
pengikut Rasulullah tetapi tidak mau berjuang bersamanya, bahkan bersekutu dengan
musuh dan memberi informasi-informasi rahasia kaum Muslimin kepada musuh. Orang-
orang munafik diancam akan disiksa di dasar neraka.
Berikut ini kita akan pelajari hadis Rasulullah terkait dengan ciri-ciri atau tanda-
tanda orang munafik.

ِ ‫سلَّ َم قَا َل آ َيةُ ال ُمنَا ِف‬


‫ق ثَ ََلث‬ َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫عن أَ ِبي ُه َري َرة َ أَ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫ّللا‬ َ
َ َ‫عدَ أَخل‬
)‫ف َو ِإذَا اؤت ُ ِمنَ خَانَ (رواه مسلم‬ َ ‫ب َو ِإذَا َو‬
َ َ‫َّث َكذ‬
َ ‫ِإذَا َحد‬
Terjemahnya
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tanda-tanda orang munafik
ada tiga: jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia ingkar, dan jika dipercaya dia
berkhianat (HR. Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim yang lain, Nabi bersabda:

‫سلَّ َم أَربَع َمن‬


َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫عم ٍرو قَا َل قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ ‫عب ِد‬
َ ‫ّللاِ ب ِن‬ َ ‫عن‬
َ
‫صا َو َمن َكانَت ِفي ِه خَلَّة ِمن ُه َّن َكانَت ِفي ِه خَلَّة ِمن‬ً ‫ُك َّن ِفي ِه َكانَ ُمنَا ِفقًا خَا ِل‬
َ َ‫عدَ أَخل‬
‫ف َو ِإذَا‬ َ ‫غدَ َر َو ِإذَا َو‬ َ ‫ب َو ِإذَا‬
َ َ‫عا َهد‬ َ َ‫َّث َكذ‬
َ ‫ع َها ِإذَا َحد‬ َ َ‫ق َحتَّى يَد‬ ٍ ‫نِفَا‬
)‫ص َم فَ َج َر (رواه مسلم‬
َ ‫خَا‬
1 Al-Jurjany, Ibid., h. 235.

2
Terjemahnya
Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: “Ada empat sifat, apabila
keempatnya terdapat pada diri seseorang, jadilah dia munafik tulen, dan siapa yang
pada dirinya terdapat satu sifat darinya, maka dia memiliki satu sifat kemunafikan; jika
berbicara dusta, jika membuat kesepakatan, dia meninggalkannya, jika berjanji dia
ingkar, dan jika bersenagketa melampaui batas”.(HR. Muslim)

Penjelasan Hadis
Sebagian ulama menganggap bahwa hadis ini musykil, sulit untuk dijelaskan,
karena sifat-sifat dusta, ingkar janji, atau khiyanat mungkin saja ada pada diri seorang
Muslim. Namun demikian para ulama bersepakat bahwa orang yang membenarkan ajaran
Islam dengan hati dan lisannya, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan tersebut tidak
dinyatakan sebagai kafir ataupun munafik yang akan dihukum kekal di neraka.
Meskipun demikian para ulama berbeda pendapat megenai makna hadis ini.
Sebagian besar berpendapat bahwa sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat orang munafik,
siapapun yang memiliki sifat demikian, dia menyerupai seorang munafik dan berakhlak
dengan akhlak seorang munafik, karena sesungguhnya kemunafikan adalah menampakan
apa yang berbeda dari apa yang disembunyikan. Dan hal itu ada pada orang yang
memiliki sifat-sifat tersebut. Maka kemunafikannya dirasakan oleh orang yang
mengajaknya berbicara, diberi janji olehnya, dan yang memberinya amanat.
Kemunafikan seperti ini adalah munafik perbuatan bukan munafik dalam hal akidah.
Kemunafikan seperti ini tidak diancam dengan kekal berada di dasar api neraka.
Mengenai jumlah sifat-sifat munafik yang berbeda pada dua hadis di atas, hal itu
tidak menjadi persoalan, karena suatu sifat bisa melahirkan sifat-sifat lainnya. Seperti
sifat ingkar janji, dapat terbentuk darinya sifat menghindar dari kesepakatan yang telah
dibuat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang dari segi perbuatan-perbuatannya
disebut munafik adalah orang yang sebagian besar perbuatannya berupa dusta, ingkar
janji, dan khiyanat. Adapun orang yang hanya sesekali melakukan perbuatan tersebut
tidak termasuk munafik.

3
Menurut al-Turmudzi, orang-orang munafik pada zaman Rasulullah menyatakan
keimanan mereka tetapi mereka berdusta, mereka diberi amanat untuk menjalankan
agama tetapi mereka mengkhiyanatinya, dan mereka berjanji untuk menolong agama
tetapi mereka mengingkarinya. Karena itu al-Khattaby mengatakan bahwa hadis ini
merupakan peringatan atas kaum Muslimin agar tidak terbiasa mengamalkan sifat-sifat
tersebut yang dikhawatirkan akan menyeretnya kepada kemunafikan yang sebenarnya.2
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita dengar kata munafik. Kata munafik
mungkin kita anggap tidak begitu kasar di telinga kita, karena kata itu jarang
dipublikasikan di media massa. Namun sebenarnya munafik adalah suatu sifat seseorang
yang sangat buruk yang bisa menyebabkan orang itu dikucilkan dalam masyarakat.
Hadits Nabi Muhammad saw diatas menegaskan bahwa tanda-tanda munafik
adalah:

1. Apabila berkata maka dia akan berkata bohong/ dusta;


2. Jika membuat suatu janji atau kesepakatan dia akan mengingkari janjinya;
3. Bila diberi kepercayaan/ amanat maka dia akan mengkhianatinya;
4. Bila bermusuhan melampaui batas.
Seseorang dapat dikatakan sebagai orang munafik tulen/sejati apabila memenuhi
semua sifat di atas yaitu pembohong, penghianat dan pengingkar janji ada pada dirinya,
dan selalu nampak dalam kebanyakan perbuatannya. Kalau hanya satu atau dua sifat itu
ada padanya, atau hanya sesekali saja melakukan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat
dikatakan munafik.

Diatas telah disebutkan bahwa Hadis ini merupakan peringatan dari Rasulullah
agar umat Islam tidak membiasakan sifat-sifat tersebut yang dapat menyeretnya menjadi
seorang munafik sesungguhnya, yaitu orang kafir yang mengingkari Islam tetapi berpura-
pura menjadi Muslim. Ketiga sifat itu harus dihindari mengingat bahaya yang dapat
timbul darinya.

2 Sampai pada paragraph ini, penjelasan hadis dikutip dari al-Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-
Nawawy, CD Barnamaj al-Hadis al-Nabawy.

4
1. Dusta

Berdusta adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang lain.
Berdasarkan hadis di atas, apabila kita tidak jujur kepada orang lain maka kita
telah memiliki satu ciri orang yang munafik. Contoh berdusta dalam kehidupan
keseharian kita yaitu seperti saat menerima telepon lalu kita katakan kepada si
penelpon bahwa orang yang dicarinya tidak ada, padahal sesungguhnya orang itu
ada. Kebiasaan dusta seperti ini meskipun tampak ringan akibatnya, tetapi kalau
dibiasakan akan merembet kepada dusta-dusta atas perkara penting dan berakibat
pada bahaya besar. Pepatah mengatakan ‫ رأس الذنوب الكذب‬pangkal dari dosa-dosa
adalah dusta. Karena itu Rasulullah saw memperingatkan umatnya untuk
menjauhi dusta, karena dusta akan membawa pelakunya kepada perbuatan-
perbuatan fujur (dosa), dan perbuatan-perbuatan fujur itu akan membawa ke
neraka (Hadis Riwayat Muslim).

2. Ingkar Janji

Perjanjian atau kesepakatan dengan orang lain terkadang harus kita


lakukan. Apabila janji yang telah disepakati tidak kita penuhi tanpa alasan yang
dapat dibenarkan, maka kita telah ingkat janji. Kemajuan di bidang ekonomi yang
telah diraih oleh negara-negara maju, antara lain didukung oleh komitmen yang
tinggi dari warganya untuk melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan yang telah
disepakati. Sebaiknya bangsa-bangsa yang rendah komitmennya untuk menepati
perjanjian atau kesepakatan kerja akan jatuh sebagai bangsa yang terbelakang.

3. Khianat
Di antara ketiga sifat munafik yang tersebut dalam hadis di atas, khianat
dapat dikatakan paling berat akibat buruknya dibandingkan dengan sifat dusta dan
tukang ingkar janji. Orang yang berkhianat akan dihukum oleh masyarakat
dengan dijauhi atau dikucilkan serta tidak akan mendapatkan kepercayaan lagi,
bahkan bisa dikenai hukuman penjara, apabila pengkhianatannya menimbulkan
kerugian atau bahaya pada negara seperti menjadi mata-mata bagi pihak asing,
atau seperti seorang pegawai yang dipercaya sebagai pejabat pajak, namun dalam

5
pekerjaannya orang itu menyalahgunakan jabatanya untuk menyelewengkan uang
pajak.

4. Melampaui batas
Permusuhan atau persengketaan mungkin saja terjadi antara sesama
Muslim atau antara Muslim dan non Muslim. Bila hal itu terjadi seorang Muslim
yang sedang terlibat permusuhan atau persengketaan dengan orang lain dan
sedang memendam amarah kepadanya tetap diharuska berlaku adil terhadap
musuhnya. Dia tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas seperti
menyebar fitnah atasnya, membeberkan aib atau keburukan orang yang sedang
menjadi musuhnya itu kepada orang lain yang tidak berkepentingan. Kalau hal itu
dia lakukan, dia telah berbuat kemunafikan.
Patut kita renungkan salah ayat dalam surat al-Maidah yang berbunyi:

ُ ‫علَى أَن الَ تَع ِدلُوا اِع ِدلُوا ُه َو أَق َر‬


ّ ‫ب ِل‬
‫لت ّّق َوى‬ ٍ َ‫َـئآن ق‬
َ ‫وم‬ ُ ‫شن‬ َ ‫َوالَ َيج ِر َمنـ َّ ُكم‬
)8:‫َواتَّقُوا هللا إِ َّن هللا َخبِير ِب َما تَع َملُونَ (المائدة‬
Artinya:
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwaah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (al-Maidah:8)
Begitulah akhlak seorang Muslim, meskipun terhadap musuh, dia harus
berlaku adil, dia tidak boleh melakukan apa-apa tidak relevan dengan pokok
permasalahan yang menyebabkan permusuhannya dengan orang lain.

A. Cercaan Terhadap Orang Munafik


Dalam al-Qur’an terdapat satu surat yang dinamai al-Munafiqun. Dinamai
demikian karena surat yang hanya terdiri dari 11 ayat itu, 8 ayat diantaranya
membicarakan sikap dan perilaku orang-orang munafik. Pada ayat pertama Allah swt
mengungkap kebohongan orang-orang munafik berpura-pura mengakui kerasulan
Muhammad saw. Dalam ayat itu dikatakan: Apabila orang-orang munafik datang

6
kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya;
dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta. Ayat ini menunjukan bahwa orang-orang munafik hanya berolok-olok tentang
Islam, karena apa yang mereka katakana melalui lidah mereka berkebalikan dengan
keyakinan mereka yang tersembunyi di dalam hati mereka.3
Ayat kedua menjelaskan kelicikan mereka, mengapa mau memberikan pengakuan
bahwa Nabi Muhammad adalah Rasululah. Dalam ayat tersebut dikatakan “Mereka itu
menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari
jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan“. Yang
dimaksud perisai adalah sumpah mereka bahwa mereka beriman hanyalah siasat untuk
menjaga harta dan diri mereka supaya tidak dibunuh atau ditawan atau dirampas harta
mereka.
Kemudian al-Qura’an menggambarkan hati orang-orang munafik yang teah
terkunci sehingga mereka tidak dapat menangkap kebenaran dan mengimaninya. Al-
Qur’an berujar: “Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah
beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka
tidak dapat mengerti“.
Lalu al-Qur’an mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak terjebak oleh
pesona lahiriyah orang-orang munafik, dengan mengatakan “Dan apabila kamu melihat
mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu
mendengarkan perkataan mereka. Padahal mereka adalah seakan-akan kayu yang
tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga
Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari
kebenaran)?“ Yang dimaksud bahwa mereka seolah-olah kayu yang tersandar adalah
meskipun tubuh-tubuh mereka bagus akan tetapi jiwa dan otak mereka kosong sehingga
tidak dapat memahami kebenaran.
Sebagai bukti ketidakmampuan mereka memahami kebenaran diungkap dalam
ayat berikutnya. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar

3 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992) Jilid 4, h.442

7
Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu
lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri“.
Maka sebagai akibatnya, Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan
memberi petunjuk kepada mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir.
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan
bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik“.
Kemudian digambarkan kebusukan sikap orang-orang munafik ketika mereka
mencoba memecah persatuan umat Islam, dan berusaha menjauhkan umat Islam dari
Rasulullah saw. “Mereka adalah orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang
Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin)
yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal
kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu
tidak memahami.
Setelah terungkap kebusukan sikap mereka terhadap Rasulullah dan umat Islam,
akibatnya mereka sendiri merasa ketakutan “Mereka berkata: Sesungguhnya jika kita
telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang
lemah dari padanya." Dan kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.“

Keburukan sikap orang-orang munafik juga diceritakan dalam sebuah hadis


berikut ini:

‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِل‬


َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫عه ِد َر‬ َ ‫ي ِ أَ َّن ِر َج ًاال ِمن ال ُمنَافِ ِقينَ فِي‬ َ ‫عن أَ ِبي‬
ّ ‫س ِعي ٍد ال ُخد ِر‬ َ
‫سلَّ َم ِإلَى الغَز ِو‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َم َكانُوا ِإذَا خ ََر َج النَّ ِبي‬ َ ‫علَي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫ّللا‬
‫سلَّ َم فَإِذَا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫ّللا‬ َ ‫تَخَلَّفُوا‬
َ ‫عنهُ َوفَ ِر ُحوا ِب َمق َع ِد ِهم ِخ ََل‬
ُ ‫ف َر‬
‫سلَّ َم اعتَذَ ُروا ِإلَي ِه َو َحلَفُوا َوأَ َحبوا أَن يُح َمدُوا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫قَد َِم النَّبِي‬

8
‫س َب َّن الَّذِينَ َيف َر ُحونَ ِب َما أَتَوا َويُ ِحبونَ أَن‬َ ‫ِب َما لَم َيفعَلُوا فَنَزَ لَت َال تَح‬
)‫ب (رواه مسلم‬ َ ‫يُح َمدُوا بِ َما لَم يَف َعلُوا فَ ََل تَح‬
ِ ‫سبَنَّ ُهم بِ َمفَازَ ةٍ ِمن ال َعذَا‬
Artinya:
Diceritakan oleh Abu Said al-Khudry, bahwa beberapa orang munafik pada masa
Rasulullah saw. selalu tidak ikut serta bila Nabi saw. pergi berperang. Mereka
bergembira-ria dengan ketidakikutsertaan mereka bersama Rasulullah saw. Lalu apabila
Nabi saw. telah kembali, mereka mengemukakan alasan kepada beliau sambil bersumpah
dan berharap mendapatkan pujian dengan apa yang tidak mereka perbuat. Maka turunlah
(ayat 188 surat Ali Imron): Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang
yang bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamum menyangka mereka
akan lepas dari siksa. (HR Muslim)
Keburukan-keburukan sifat orang-orang munafik juga disebutkan dalam surat al-
Baqarah ayat 8 sampai 20. Dalam ayat-ayat tersebut antara lain disebutkan bahwa orang-
orang munafik adalah orang-orang yang dalam hati mereka ada penyakit, lalu penyakit
itu terus bertambah. Mereka adalah orang-orang yang membuat kerusakan di tengah
masyarakat, tetapi mereka tidak mengakuinya. Mereka memperolok-olok kaum Muslimin
dengan menganggap mereka sebagai orang-orang bodoh, padahal merekalah yang
dibiarkan oleh Allah terombang-ambing dalam kesesatan. Mereka diibaratkan sebagai
orang yang menyalakan api untuk penerangan, tetapi kemudian api itu dipadamkan oleh
Allah sehingga mereka tidak dapat melihat karena gelap. Mereka diibaratkan pula sebagai
orang yang tuli, bisu dan buta sehingga mereka sama sekali tidak mampu berkomunikasi
dengan lain karena ketiga alat komunikasi itu telah dimatikan, dan akibatnya mereka
tidak menemukan kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai