Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT TERHADAP NAHWU

ISTINHBAT HUKUM DAN PENAFSIRAN AL QURAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kajian Ilmu Qiroat

Dosen Pengampu: Dr. Fuad Nawawi S.Th., M.A

Disusun Oleh

Denis Ali Arizqi

Zian Aziz Nuh

Fauzan Murod

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON


2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberi kita nikmat dan karunia-NYA kepada kita semua.
Sholawat serta salam tidak bosan-bosannya kita haturkan kepada Baginda Nabiyullah Muhammad SAW.

Pertama, Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen kami Dr. Fuad Nawawi
S.TH M.A yang telah membimbing kami pada mata kuliah Qira’at. Selanjutnya kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangannya, sangat
membantu sekali jika dari pembaca membantu kami dalam mengoreksi makalah kami. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat buat kita semua. Aamiiin.

Terima Kasih.

Cirebon, 28 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia. Keyakinan tersebut
menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai
kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia
mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa. Al-quran
diturunkan dengan bahasa Arab, yaitu bahasa di mana nabi Muhammad diutus dan bahasa
pergaulan Nabi dan para kaumnya berdialog, akan tetapi bangsa Arab terdiri dari berbagai suku
dengan bermacam macam bahasa sehari-harinya, sehingga bangsa Arab yang tidak memakai
dialek kaum Quraiys merasa kesulitan dalam pengucapannya, sehingga pada suatu masa ketika
malaikat Jibril menyampaikan wahyu, Nabi Muhammad meminta berupa keringanan yaitu Alquran
dengan dialek yang lain Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist “Jibril membacakan (Alquran)
kepadaku dengan satu harf. Kemudian berulang kali aku meminta agar harf itu ditambah, ia pun
menambahkannya kepadaku sampai tujuh ahruf”. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud
dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiro'ah.

Dalam usaha menemukan petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur'an tersebut diperlukan usaha
penafsiran. Dalam perkembangan ranah tafsir, salah satu bagian yang tidak bisa diabaikan pula adalah
aspek qira’at. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak masa Nabi ternyata
tidak hanya satu versi saja, tetapi memiliki berbagai versi qira’at yang juga bersumber dari Nabi saw.
Perlu diketahui, bahwa berbagai versi qirâ`at Al-Qur`an tersebut adakalanya berkaitan dengan substansi
lafadz dan adakalanya berkaitan dengan lahjah atau dialek kebahasaan. Perbedaan qirâ`at yang
berkaitan dengan substansi lafadz dapat menimbulkan perbedaan makna, sementara perbedaan qirâ`at
yang berkaitan dengan dialek kebahasaan tidak menimbulkan perbedaan makna seperti bacaan tashil,
imâlah, taqlil, tarqiq, tafkhim dan sebagainya.

B.Rumusan Masalah

1. Apa pengaruh qiraat terhadap ilmu nahwu?

2. Apa pengaruh qiraat terhadap istinbath hukum dan penafsiran Al-Qur’an?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh bacaan qiraat terhadap ilmu nahwu

2. Mengetahui pengaruh bacaan qiraat terhadap istinbath hukum dan penafsiran Al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh perbedaan qiraat terhadap penafsiran Al quran

Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Thaharah Bahasan thaharah yang termuat dalam
kitab-kitab fikih meliputi istinja`, wudhu, tayamum dan mandi. Pembahasan pada bagian ini akan
difokuskan pada surat al-Mâidah ayat 6 yang berisi perintah bersuci kepada orang-orang yang
hendak melaksanakan sholat.

‫ُوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم َوَأرْ ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْٱل َك ْعبَي ِْن ۚ َوِإن ُكنتُ ْم‬ ۟ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم لَى ْٱلم َرافِق َوٱ ْم َسح‬
ِ َ ‫ِإ‬ َّ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ٱل‬
۟ ُ‫صلَ ٰو ِة فَٱ ْغ ِسل‬
۟ \‫ُوا م\\ٓا ًء فَتَيَ َّم ُم‬ ۟ ٰ ۟ ‫جُ نُبًا فَٱطَّهَّر‬
‫ص\ ِعيدًا طَيِّبً\\ا‬ َ ‫\وا‬ َ ‫ض ٰ ٓى َأوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر َأوْ َجٓا َء َأ َح ٌد ِّمن ُكم ِّمنَ ْٱلغَٓاِئ ِط َأوْ لَ َم ْستُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَلَ ْم تَجِ د‬ َ ْ‫ُوا ۚ َوِإن ُكنتُم َّمر‬
َ ُ‫ج َو ٰلَ ِكن ي ُِري ُد لِي‬
َ‫طه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَ ۥه\ُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬ ۟
ٍ ‫فَٱ ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُكم ِّم ْنهُ ۚ َما ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُكم ِّم ْن َح َر‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.1

Dari ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa jika seseorang hendak melaksanakan
sholat maka ia harus berwudhu terlebih dahulu. Allah tidak berkenan menerima sholat tanpa
kondisi suci. 2Fardhu wudhu yang disebutkan melalui ayat di atas ada empat, yaitu membasuh
wajah, membasuh kedua tangan sampai dengan dua siku, mengusap kepala, dan membasuh
kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki.

1
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Fî ash-Sholah, Juz 9, h. 23
2
Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-Bukhari 1, Penerjemah: Masyhar dan Muhammad Suhadi,
(Jakarta: Almahira, 2013), cet. Ke-2, h. 38
Asy-Syinqithî menjelaskan bahwa ada tiga ragam bacaan pada kalimat ‫ وأرجلكم‬dua bacaan
riwayatnya mutawatir sedangkan yang ketiga adalah bacaan yang syadzah3. Qiraat yang lemah
adalah lafadz yang beri‟rab rafa‟ (dhammah) “ waarjulukum”, dan ini adalah bacaan al-Hasan.
Dan qiroat yang mutawattir adalah bacaan yang nashab “ waarjulakum “ dan dengan khafad “
waarjulikum “4.Qirâ`at fathah adalah qirâ`at Nâfi‟, Ibnu „Âmir, Hafs, alKisâ`î dan Ya‟qûb
(qira`ah „asyrah). Adapun bacaan dengan kasrah adalah qirâ`at Ibnu Katsîr, Hamzah, Abu „Amr
dan bacaan „Âshim melalui riwayat Abû Bakar.5

Dan dapat diketahui bahwa qirâ`at “ waarjulakum “ jelas sekali mewajibkan membasuh
kaki ketika berwudhu. Dan juga ayat tersebut memberi pemahaman bahwa qirâ`at dengan bacaan
tersebut adalah karena posisinya yang berdampingan dengan kalimat kasrah sebelumnya maka
maknanya adalah mengusap. Asy-Syinqithî kemudian menyimpulkan bahwa kasrah dengan
sebab mujâwarah (berdampingan) merupakan salah satu bentuk gaya dalam bahasa Arab, dan hal
itu terdapat dalam AlQur`an, karena Al-Qur`an itu sendiri menggunakan bahasa Arab yang jelas.
6
Sebagian Ulama mengatakan bahwa mengusap kedua kaki adalah membasuhnya. Orang Arab
menyebut makna mengusap juga dengan kata membasuh. Ketika mengatakan “Aku mengusap”,
berarti “Aku berwudhu”. Dan tidak ada larangan untuk mengartikan mengusap kedua kaki
dengan maksud membasuhnya, dan mengartikan mengusap kepala dengan maksud tidak
membasuhnya7.

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili memberikan alasan lain dibalik bacaan yang jarr. Beliau
mengatakan bahwa faedah pembacaan jar atau kasrah pada kalimat “ waarjulikum “ atas dasar
pertimabangan alJiwâr adalah memberikan memberikan catatan dan penggaris bawahan tentang
perlunya berhemat dalam penggunaan air ketika membasuh kaki. Sedangkan alasan ini secara
khusus disebutkan dalam konteks pembasuhan kaki karena pada saat membasuh kaki biasanya

3
Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin „Abdul Qadir alJakni asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî
Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, (Beirut: Dâr al-Fikr li ath-Thabâ‟ah wa an-Nasyr wa at-Tauzî‟, 1995), Juz 1, h.
330
4
Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h. 330
5
Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h. 330 dan „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin
Muhammad al-Qadhi, al-Budûru azZâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa
adDurrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi,
t.th), h. 89
6
Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an
7
Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an
sangat rawan terjadi penggunaan air yang berlebihan karena kaki merupakan anggota tubuh yang
paling mudah kotor. 8

Lain halnya dengan Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Dr. Romlah Widayati, mengungkap
qira`ah syadzdzah mengenai ayat ini. Abu Hayyan menjelaskan pada lafazh ‫وأرجلكم‬

dimana al Hasan membaca rafa‟ (dhammah) pada huruf lâm-nya. Jika seperti ini, maka lafazh
arjulukum kedudukannya menjadi mubtada`dan khabarnya mahdzuf dan redaksinya menjadi
( dan kaki kalian dibasuh). Dalam hal ini, Abu Hayyan cendrung pada pendapat Daud azZhahiri
yaitu mengkompromikan antara mengusap dan membasuh. Adapun pengertian mengusap kaki
tidak sama dengan mengusap kepala. Terhadap kedua qirâ`at mutawatirah di atas, Abu Hayyan
mengatakan bahwa “Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan Allah, siapapun tidak layak
melakukan takhrij dengan melontarkan kritikan terhadap bacaan yang bersumber dari Allah.”
Atas dasar itu semua, ia mengemukakan bahwa ketiga qirâ`at di atas semuanya adalah
benar9.Abu Hayyan memahami pengertian mengusap kaki berdasarkan qira`ah syadzdzah adalah
membasuh secara tidak berlebihan.10

Sedang al-Qurthubî sebagaimana dikutip oleh asySyinqithî sendiri mengatakan bahwa


pengertian yang terkandung dalam qirâ`at yang khafadh adalah membasuh, bukan menyapunya
atau mengusapnya. Menyapu (kedua kaki) tidak dapat menjangkau semua bagian telapak
kaki11.Dan juga alQurthubî berpegang pada pendapat Ibnu „Ahiyah yang berkata bahwa kata
mengusap atau menyapu untuk kedua kaki adalah membasuhnya. 12
Pendapat ini pula yang
dijadikan hujjah oleh asy-Syinqithî.

Dengan demikian, dalam firman Allah

‫وس ُك ْم َوَأرْ ُجلَ ُك ْم‬ ۟ ‫َوٱ ْم َسح‬


ِ ‫ُوا بِ ُر ُء‬

(dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu), kata „basuhlah‟ di-„athaf-kan kepada kata
„usaplah‟, guna menyembunyikan maknanya. Padahal yang dimaksud adalah basuhlah.

8
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr alMa‟âshir, 1418 H), Juz 6, h. 105
9
Romlah Widayati, Implikasi Qira`ah Sydzdzah Terhadap Istinbath Hukum, (Ciputat: Transpustaka, 2015), h.
144-145
10
Abu Hayyan, Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H), Juz 4, h. 192
11
Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.334
12
Abu „Abdullah Muhammad binAhmad bin Abi Bakr al-Qurthubî, alJâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an, (Kairo: Dâr al-
Kutub al-Mishriyyah, 1964), Juz 6, h. 91
B. Pengaruh qira’at terhadap istinbath hukum

Fenomena perbedaan qira’at Al-Qur'an terkadang terkait dengan esensi lafadz dan terkadang
terkait dengan sistem pengucapan bahasa (lahjah). Perbedaan qira’at yang berkaitan dengan esensi
lafadz akan menyebabkan perbedaan makna, sedangkan qira’at yang berkaitan dengan sistem
pengucapan suatu bahasa tidak akan menyebabkan perbedaan makna. Berbagai riwayat hadits Nabi SAW.
Jelaskan bahwa Quran diilhami oleh tujuh huruf (al-ahruf al-sab'ah).
Hadist Nabi SAW. Mengenai al-ahruf al-sab'ah menjadi peleburan perbedaan pendapat di antara
para ahli, yang berujung pada perbedaan penafsiran qira’at dalam Al-Qur'an. Berbagai qira’at shahih
mengandung banyak manfaat, antara lain: menunjukkan bagaimana Kitab Allah terpelihara
dengan baik, terlindungi dari perubahan dan penyimpangan, meskipun memiliki begitu banyak
bacaan yang berbeda. Demikian juga memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur'an dan
berfungsi sebagai bukti kemukjizatan Al-Qur'an dari segi kepadatan makna (i'jaznya), karena
setiap qira’at menunjukkan hukum syara tertentu tanpa mengulang lafadz.
Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973 M).
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya membahas tentang Qira’at dan pengaruhnya terhadap penafsiran
Al-Qur’an. Menurut Ibn Asyur hubungan antara Qira’at dan tafsir dapat dikelompokkan menjadi:
pertama, Qira’at yang tidak berimplikasi pada istinbat hukum dan kedua, qira’at yang berimplikasi pada
istinbat hukum.
1. Perbedaan Qira’atyang tidak berpengaruh dalam istinbath hukum. Contoh QS. al-Ahzab ayat 49:
‫ت ثُ َّم طَلَّ ْقتُ ُموْ ه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن تَ َمسُّوْ ه َُّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة تَ ْعتَ ُّدوْ نَهَ ۚا فَ َمتِّعُوْ ه َُّن َو َسرِّ حُوْ ه َُّن َس َراحًا َج ِم ْي ًل‬
ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا نَكَحْ تُ ُم ْال ُمْؤ ِم ٰن‬

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang


beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka ́iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut ́ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka ́iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut ́ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang istri yang diceraikan oleh suaminya sebelum
digauli (disetubuhi), maka tidak ada masa ‘iddah baginya. Masa ‘iddah adalah masa menunggu
seorang istri yang telah diceraikan suaminya, dalam masa itu istri tidak dibolehkan menikah dengan
laki-laki lain. Dalam ayat di atas terdapat perbedaan bacaan dari lafadz(‫)من قبل أن تمسوهن‬. Jumhur
ulama membaca sesuai dengan teks. Sementara Hamzah dan al-Kisa’i membaca min qabli ‘an
tumasahunna dengan menambahkan huruf alifdan di dhammah huruf ta’(‫)ت‬.
Kata lain dalam ayat di atas adalah lafadz(‫ )تعتدنها‬dengan mentasydidkan huruf dal (‫)د‬.
Jumhur ulama membaca sesuai dengan teks. Sementara Ibnu Katsir, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amer,
Ibnu ‘Asim dan Nafi‘ membaca ta‘tadunaha (‫ )تعتدنها‬dengan mentakhfifkan huruf dal. Perbedaan
qira’attersebut tidak menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum, yakni istri yang diceraikan oleh
suaminya tidak ada ‘iddah baginya apabila belum digauli (disetubuhi) oleh suaminya.
2. Perbedaan Qira’atyang berpengaruh terhadap istinbath hukum. Contoh firman Allah dalam QS. al-
Baqarah ayat 222 :
‫ْث اَ َم َر ُك ُم هّٰللا ُ ۗ اِ َّن‬ ْ َ‫ْض َواَل تَ ْق َربُوْ ه َُّن َح ٰتّى ي‬
ُ ‫طهُرْ نَ ۚ فَاِ َذا تَطَهَّرْ نَ فَْأتُوْ ه َُّن ِم ْن َحي‬ ۤ
ِ ۙ ‫ْض ۗ قُلْ هُ َو اَ ًذ ۙى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َسا َء فِى ْال َم ِحي‬
ِ ‫ك ع َِن ْال َم ِحي‬
َ َ‫َويَ ْسـَٔلُوْ ن‬
َ‫َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِ ْينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬ ‫هّٰللا‬

Artinya
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haiditu adalah suatu kotoran". Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Ayat di atas adalah larangan Allah terhadap suami untuk berhubungan intim dengan
istrinya yang sementara haid. Dalam ayat tersebut di atas terdapat perbedaan bacaan pada lafadzayat(
‫ )يطهرن‬dengan bacaan takhfif yakni di sukun huruf tho’(‫) ط‬, dhamma huruf ha’ hamzah(‫)ها‬. al-Kissa’i dan
‘Ashim membacanya yatthahharna(‫ )يطهرن‬bertasydid huruf tho(‫ )ط‬dan ha(‫ )ها‬serta menasab kedua
huruf tesebut (‫ ط‬dan ‫)ها‬. Sedangkan, Ibn Kathir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah
membacanya seperti yang tertulis dalam teks tersebut.
Pembacaan ayat di atas berbeda-beda, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda-beda
yang terkandung di dalamnya. Bacaan pertama adalah takhfif lafadz(‫ )يطهرن‬yang berbunyi bahwa
suami diharamkan melakukan hubungan intim dengan istri pada saat haid sampai haid berhenti dan
istri mandi. Pandangan ini dianut oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmed. Dalam bacaan kedua
dengan lafadz tasydid(‫)يطهرن‬, menurut Imam Abu Hanifah, ayat di atas berarti bahwa suami
dilarang berhubungan seks sebelum istrinya suci, yang berarti menghentikan pendarahan
menstruasi.Secara bersamaan, Al-Tabari dan al-Zamakhsyari menjelaskan bacaan keduanya,
yaitu kata yaththaharnadan hatta yaghtasilu yang artinya mandi. Penafsiran ini mengarah pada
hukum bahwa suami tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya sampai darah haid dan mandi
(mandi hadas atau junub) berhenti.
Jika dua qira’atmemiliki makna yang berbeda, tetapi tidak ada kontradiksi yang jelas di
antara keduanya, dan keduanya merujuk pada esensi yang sama, maka kedua qira’attersebut saling
melengkapi (Fatihullah, 2018). Perbedaan antara kedua qira’attersebut tidak bertentangan makna,
dan keduanya termasuk dalam qira’atSahih.
3. Perbedaan qira’at terhadap kaidah nahwu
Perbedaan versi cara baca Alquran ini sangat berpengaruh pada pembentukan kaidah-kaidah
linguistik Bahasa Arab. Baik ilmu Nahwu, Shorof, maupun Balaghoh. Sebab, Alquran beserta beragam
versi qiraatnya adalah sumber utama dalam pembentukkan kaidahnya. Lalu disusul hadits Nabi yang
diriwayatkan secara tekstual, kemudian syair-syair kuno Arab yang didendangkan orang-orang Arab
tulen.

Termasuk di antara contoh kaidah Nahwu yang terbentuk atas dasar beragam versi qiraat
َّ yaitu menasabkan mubtada dan
adalah:Huruf "IN" ( ‫ )إن‬almukhaffafah bisa beramal seperti "INNA" ( ‫)إن‬,
merafakan khabarnya.
Kaidah ini terbentuk atas dasar qiraat surah Hud ayat 111:

َ ُّ‫َوِإ َّن ُكاًّل لَّ َّما لَيُ َوفِّيَنَّهُ ْم َرب‬


‫ك َأ ْع َمالَهُ ْم‬
Dalam versi qiraat lain, yakni qiraat Imam Nafi dan Imam Ibnu Katsir, lafaz INNA pada ayat tersebut
dibaca IN dengan tetap beramal seperti INNA, yakni menasabkan mubtada dan merafakan khabarnya:
‫ك َأ ْع َمالَهُ ْم‬َ ُّ‫َوِإن ُكاًّل لَّ َما لَيُ َوفِّيَنَّهُم َرب‬

Atas dasar versi qiraat yang beragam di atas ini terbentuklah sebuah kaidah Nahwu terkenal,
bahwa: lafaz IN bisa beramal seperti INNA.

Namun sebetulnya, ada juga perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu bahkan pernah terjadi
perdebatan sengit antar satu sama lain. Itu terjadi pada bacaan Alquran versi qiraat yang dirasa asing
dalam tatanan bahasa Arab. Ada yang menolak qiraat tersebut dan membantahnya. Ada juga yang
menerima dan tetap menjadikannya sebagai rujukan utama. Semisal pada surat Al-An'am ayat 137. Dalam
versi qiraat mayoritas para imam, ayat itu dibaca:

‫ير ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ قَ ْت َل َأوْ اَل ِد ِه ْم ُش َركَاُؤ هُ ْم‬ ٰ


ٍ ِ‫َو َك َذلِكَ زَ يَّنَ لِ َكث‬

Dalam versi lain, yaitu qiraat Imam Ibnu Amir As-Syamy:

‫ير ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ قَ ْت ُل َأوْ اَل َدهُ ْم ُش َركَاِئهُ ْم‬ َ ِ‫َو َك ٰ َذل‬
ٍ ِ‫ك ُزيِّنَ لِ َكث‬

Versi Imam Ibnu Amir ini, lafaz Zayyana dibaca Zuyyina. Dan yang lebih menarik lagi, di situ
terjadi pemisahan antara mudhof dan mudhof ilaih-nya. Perhatikan dengan seksama, lafaz Qatlu adalah
mudhof yang sekaligus naib fail marfu', dan Syurakaihim adalah mudhof ilaih-nya. Antara keduanya
dipisah oleh lafaz lain, yakni lafaz Awladahum sebagai maf'ul bih yang memisahkan antara mudhof dan
mudhof ilaih.Timbullah perdebadan sengit atas sebuah kaidah nahwu, apakah mudhof dan mudhof ilaih
boleh dipisah dengan lafaz lain?

Ada ulama Nahwu yang tegas menolaknya. Bahwa, tidak boleh mudhof dipisah dengan mudhof
ilaih, kecuali pemisah itu berupa dhorof. Itupun hanya berlaku pada syair Arab, tidak boleh pada kalimat
prosa biasa, dan tidak mungkin itu terjadi dalam lafaz Alquran yang suci. Dalil hanya dibolehkan dhorof
sebagai pemisah susunan mudhof dan mudhof ilaih ada pada syair-syair Arab terdahulu. Selain syair,
tidak ada dan tidak boleh.

Di antara yang tegas menolak itu adalah Imam Zamakhsyari. Ulama nahwu terkemuka penulis
kitab fenomenal Tafsir Al-Kassyaf. Zamakhsyari menentang qiraat Ibnu Amir dan secara tidak langsung
ia menganggap qiraat itu murni buatan Ibnu Amir, bukan asli dari Rasulullah Saw. Selain Zamakhsyari,
ada juga Abu Ghonim Ahmad bin Hamdan. Ia juga menolak qiraat ini, ia berkata "sesungguhnya qiraat
Ibnu Amir ini tidak diperkenankan dalam linguistik Bahasa Arab, itu adalah kekeliruan orang alim".

Namun, kubu yang menerima qiraat ini dan menerapkannya sebagai kaidah Nahwu pun jauh lebih
banyak. Bahkan kalangan mayoritas. Mereka setuju dengan kaidah diperbolehkannya mudhof dan
mudhof ilaih dipisah dengan lafaz lain. Dan jelas, dalil mereka adalah qiraat Alquran versi Imam Ibnu
Amir ini.

Imam Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya menyebutkan:


‫ ولم يعب‬،‫فصل مضاف شبه فعل ما نصب * مفعوال أو ظرفا أجز‬
‫ أو ندا‬،‫ أو بنعت‬،‫ واضطرارا وجدا * بأجنبي‬،‫فصل يمين‬

Dalam bait ini, Ibnu Malik menegaskan bahwa diperbolehkan memisahkan antara mudhof dan
mudhof ilaih-nya dengan maf'ul atau dhorof. Oleh Ibnu Aqil dalam syarahnya dijelaskan dengan
keterangan singkat namun padat. Dalil yang dipakai Ibnu Aqil juga adalah qiraat versi Ibnu Amir. Itu
bukti bahwa Ibnu Malik dan Ibnu Aqil sangatlah berpegang teguh pada qiraat Alquran sebagai sumber
utama kaidah Nahwu.

Imam As-Syatibi dalam kitab nadzomnya berjudul Hirzul Amani, atau yang dikenal dengan
Syatibiyyah, menyebutkan:

‫ ل أوالدهم بالنّصب شاميّهم\ تال‬... ‫وزيّن في ض ّم وكسر ورفع قت‬

‫ وفي مصحف ال ّشامين بالياء مثّال‬... ‫ويخفض عنه الرّفع في شركاؤهم‬

‫ ولم يلف غير الظّرف في ال ّشعر فيصال‬... ‫ومفعوله بين المضافين فاصل‬

‫ تلم من مليمي النحو إاّل مجهّال‬... ‫كلله د ّر اليوم من المها فال‬

ّ ‫ دة االخفش النّحو‬... ‫ومع رسمه ز ّج القلوص أبي مزا‬


‫ي أنشد مجمال‬

Dalam bait-bait ini, Imam Syatibi di samping menjelaskan versi qiraat Ibnu Amir, beliau juga
menyinggung soal perdebatan sengit di kalangan ulama nahwu. Imam Syatibi memaklumi kalangan yang
mengkritik qiraat dengan alasan karena lafaz itu tidak sesuai dengan kaidah umum Bahasa Arab. Tapi
beliau, Imam Syatibi, menegur tegas pada kelompok yang sampai membodoh-bodohkan seorang Imam
Qiraat besar selevel Imam Ibnu Amir karena versi qiraatnya.

Di akhir lima bait itu, Imam Syatibi juga memberikan bukti, bahwa pemisahan antara mudhof dan
mudhof ilaih dengan pemisah maf'ul adalah hal yang berdasar. Pertama, qiraat yang menjadi dasar
diperbolehkannya pemisahan idhofah itu dikuatkan oleh rasm utsmani. Kedua, bait syair yang
diriwayatkan Imam Akhfasy. Bait itu menunjukkan adanya pemisahan antara mudhof dan mudhof ilaih-
nya. Yaitu;
‫فزججتها ز ّج القلوص أبي مزادة‬
Zajja ‫ زج‬adalah mudhof. Abi mazadah ‫ أبي مزادة‬adalah mudhof ilaihnya. Dan al-qalush ‫ القلوص‬adalah
maf'ul bih yang memisahkan antara mudhof dan mudhof ilaihnya.

Selain Ibnu Malik, Ibnu Aqil dan Imam Syatibi, masih banyak sekali ulama-ulama yang melawan
kritikan kubu Zamakhsyari yang menolak qiraat Ibnu Amir di atas. Seperti Imam Abu Hayyan penulis
tafsir Bahrul Muhith. Beliau sangat keras mengkritik Zamakhsyari. Abu Hayyan berkata, "saya sangat
heran pada satu orang non Arab lemah dalam keilmuan Nahwu (Zamakhsyari) membantah orang Arab
asli dan fasih (Ibnu Amir) atas versi qiraat yang jelas-jelas mutawatir dari Rasulullah Saw".

Sebetulnya, faktor munculnya ulama yang menolak qiraat "unik" sebagai dasar ditetapkannya
kaidah, adalah sang ulama itu beranggapan bahwa versi qiraat tersebut adalah bacaan buatan sang Imam,
bukan bacaan Rasulullah Saw. Dan poin ini mudah dibantah. Semua ulama sepakat bahwa qiraat sab'ah
adalah qiraat mutawatirah yang jelas-jelas adalah bacaan Rasulullah. Sanadnya mutawatir,
kekredibilitasnya pun sangat kuat bahkan di atas level sohih.
Maka sangat mengherankan jika ada ulama Nahwu yang menjadikan syair-syair Arab sebagai
dasar pengkaidahan, tapi di sisi lain ia menolak versi qiraat. Jika syair Arab yang tak diketahui siapa
penyairnya dan sanad periwayatannya pun juga tidak selevel mutawatir saja ia gunakan sebagai rujukan,
bagaimana mungkin qiraat yang tidak diragukan lagi kekredibilitasnya dan jelas-jelas itu bacaan
Rasulullah Saw justru mereka tolak?. Sampai di sini sudah jelas, bahwa ulama Nahwu telah menjadikan
versi qiraat sebagai rujukan utama dalam pembentukan kaidah Nahwu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Fî ash-Sholah, Juz 9, h. 23

Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-Bukhari 1, Penerjemah: Masyhar dan Muhammad


Suhadi, (Jakarta: Almahira, 2013), cet. Ke-2, h. 38

Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin „Abdul Qadir alJakni asy-Syinqithî,
Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, (Beirut: Dâr al-Fikr li ath-Thabâ‟ah
wa an-Nasyr wa at-Tauzî‟, 1995), Juz 1, h. 330

Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h. 330 dan „Abdul Fatah bin
„Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru azZâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-
Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa adDurrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-
Taujîhiha min Lughah al-„Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi, t.th), h. 89

Ilmu Qiraat nasy'atuhu athwaruhu atsaruhu fil ulum syar'yah, karya Dr. Nabil bin Muhammad
Ibrahim Al Ismail.
Tafsir Al-Kassyaf, karya Imam Az-Zamakhsyari.

Tafsir Bahrul Muhith, karya Imam Abu Hayyan Al-Andalusi.

Al-Wafi fi Syarah Syatibiyah, karya Abdul Fattah Al-Qadhi.

Syarah Ibn Aqil ala Alfiyah Ibn Malik

Anda mungkin juga menyukai