Anda di halaman 1dari 8

ULUMUL QURAN

ILMU QIRA’AT
Dosen Pengampu:

Dony Burhan Noor Hasan, Lc. MA.

Disusun Oleh:

Arianti Wulansari Sukamto (150721100153)

Syafariatul Mukaromah (150721100169)

Moh, Yusuf Fajar N.C (150721100178)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................. 1

1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................. 2

1.3 TUJUAN MAKALAH.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN AL-QIRA’AT..................................................................... 3

2.2 MACAM-MACAM QIRA’AT..................................................................... 5

2.3 PERKEMBANGAN ILMU QIRA’AT......................................................... 10

2.4 HIKMAH DARI ADANYA QIRA’AT YANG BERBEDA-BEDA........... 12

2.5 MAKNA HADIST “ALQUR’AN DITURUNKAN ATAS 7 AYAT.......... 15

2.6 DAMPAK PERBEDAAN QIRA’AT DALAM MENYIMPULKAN

HUKUM........................................................................................................ 16

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN............................................................................................. 19

3.2 SARAN......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21

ii
1

2 3 4

5 6 7 8 9 10 11 12 131415161718

3
2.5 MAKNA HADIST “ALQUR’AN DITURUNKAN ATAS 7 HURUF”

Pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat itu semua adalah


pendapat pertama, dan bahwasanya yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa Arab dalam satu makna. Seperti kata , ‫َأْقِبْل‬
‫َعِّج ْل‬, ‫َهُلَّم‬,‫ َتَع ال‬dan ‫ َأْس ِرْع‬yang lafazh-lafazh tersebut sekalipun berbeda namun
maknanya adalah sama (yaitu kemari). Dan yang berpendapat dengan pendapat ini
adalah, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan yang lainnya. Dan Ibnu
Abdil Barr menyandarkan pendapat ini kepda kebanyakan ulama. Dan yang
menunjukkan hal ini adalah hadits Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu:

‫ َع َلى‬: ‫ُل اْس َتِز ْد ُه فَق اَل‬BB‫َفَقاَل ِم يَك اِئي‬. ‫ يا محمد اْقَر أ اْلُقْر آَن َع َلى َح ْر ٍف‬: ‫أن ِج ْبِر يُل َقاَل‬
‫ ُُك ُّلَها َش اٍف َك اٍف َم ا َلْم َتْخ ِتْم آَي َة َع َذ اٍب‬: ‫َح ْر َفْيِن َح َّتى َبَلَغ ستة أو َس ْبَع َة َأْح ُر ٍف َفَقاَل‬
‫ِبَر ْح َم ٍة َأْو آَيَة َر ْح َم ٍة ِبَع َذ اٍب َنْح َو َقْو ِلَك َتَع اَل َو َأْقِبْل َو َهُلَّم َو اْذ َهْب َو َأْس ِر ْع َو ْع ِّجْل‬
”Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam berkata:”Wahai Muhammad, bacalah al-
Qur’an dalam satu huruf.” Maka Mikail ‘alaihissalam berkata:”Mintalah
tambahan huruf.” Maka Jibril ‘alaihissalam berkata:”Dalam dua huruf.” Dan Jibril
‘alaihissalam terus menerus menambahkannya sampai dalam enam atau tujuh
huruf. Lalu ia mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai,
selama ayat adzab (ayat yang menceritakan tentang siksa) tidak ditutup dengan
ayat rahmat (ayat yang menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat
rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti ucapanmu: ‫ َأْس ِرْع‬, ‫ اْذ َهْب‬, ‫ َأْقِبْل‬, ‫ َتَع اَل‬,
dan ‫( ”ْع ِّجْل‬HR Imam Ahmad no. 21055)
2

10

11

12

13

14

15

16

17

18

15
Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek) Arab yang
dengannya al-Qur’an diturunkan, yang artinya bahwa secara keseluruhan kalimat-
kalimat al-Qur’an tidak keluar dari ketujuh huruf tersebut dan ketujuh huruf
tersebut terkumpul dalam al-Qur’an. Pendapat ini dijawab bahwa bahasa Arab
lebih dari tujuh. Dan bahwasanya ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan Hisyam bin
Hakim keduanya adalah orang Quraisy, satu kabilah, namun keduanya berbeda
dalam bacaan mereka. Dan mustahil kalau ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengingkari
bahasanya sendiri, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf bukanlah apa yang dimaksud oleh mereka (pendapat kedua). Dan tidak ada
maksud yang lain (dari tujuh huruf) kecuali ia adalah perbedaan alfazh dalam
mengungkapkan satu makna, dan itu adalah pendapat yang kami rajihkan.
Namun yang ditunjukkan oleh atsar-atsar (riwayat) dalam masalah ini
adalah bahwa pengumpulan (penyusunan) al-Qur’an yang dilakukan oleh ‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu ada dengan cara menyalin salah satu huruf dari ketujuh huruf,
sehingga menyatukan manusia di atas satu bacaan, yang mana beliau berpendapat
bahwa pembolehan membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka
mengangkat kesusahan dan kesulitan (dalam membaca dan menghafal) di masa-
masa awal Islam, dan kebutuhan akan hal itu sudah berakhir. Maka kuatlah alasan
untuk menghilangkan sumber Khilaf (perbedaan) dengan cara menyatukan
manusia di atas satu huruf. Dan para Shahabatpun menyepakati hal itu.
Dan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di zaman ‘Abu Bakar dan ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma belum butuh terhadap pengumpulan al-Qur’an seperti yang
terjadi pada pengumpulan di zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Karena di zaman
keduanya belum terjadi perbedaan sebagaimana yang terjadi di zaman ‘Utsman
radhiyallahu ‘anhu. Dengan demikian ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah diberikan
taufiq (ilham dan kemudahan) untuk melakukan hal yang besar, yaitu
menghilangkan perbedaan, menyatukan ummat dan menenteramkan mereka.19

19
Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’, Riyadh, hal 162-167. Diterjemahkan dan dipsoting oleh
Abu Yusuf Sujono

16
2.6 DAMPAK PERBEDAAN QIRA’AT DALAM MENYIMPULKAN
HUKUM
Adapun perbedaan qira’at al-qur’an yang menyangkut ayat-ayat hukum, dan
berpengaruh terhadap istinbath hukum misalnya:
a. Firman Allah:
‫َو َئَ‍ۡسُلوَنَك َع ِن ٱۡل َم ِح يِۖض ُق ۡل ُه َو َأٗذ ى َف ٱۡع َتِز ُلوْا ٱلِّنَس ٓاَء ِفي ٱۡل َم ِح يِض َو اَل َتۡق َر ُب وُهَّن‬
‫َح َّتٰى َيۡط ُهۡر َۖن َفِإَذ ا َتَطَّهۡر َن َفۡأ ُتوُهَّن ِم ۡن َح ۡي ُث َأَم َر ُك ُم ٱُۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل ُيِح ُّب ٱلَّت َّٰو ِبيَن َو ُيِح ُّب‬
٢٢٢ ‫ٱۡل ُم َتَطِّهِر يَن‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu
kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al- Baqarah 222).

Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar
Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan al-Kisa’i membaca kata
“yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya
menjadi “yuththarhina”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih
berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang
membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan
berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau telah
berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yutthahhirna”
menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual
dengan istrinya, kecuali telah bersih.

b. Firman Allah:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا اَل َتۡق َر ُبوْا ٱلَّص َلٰو َة َو َأنُتۡم ُس َٰك َر ٰى َح َّتٰى َتۡع َلُم وْا َم ا َتُقوُل وَن َو اَل ُج ُنًب ا‬
‫د ِّم نُك م‬ٞ ‫ِإاَّل َعاِبِر ي َس ِبيٍل َح َّتٰى َتۡغ َتِس ُلوْۚا َو ِإن ُك نُتم َّم ۡر َض ٰٓى َأۡو َع َلٰى َس َفٍر َأۡو َج ٓاَء َأَح‬

17
‫ِّم َن ٱۡل َغٓاِئِط َأۡو َٰل َم ۡس ُتُم ٱلِّنَس ٓاَء َفَلۡم َتِج ُد وْا َم ٓاٗء َفَتَيَّمُم وْا َص ِع يٗد ا َطِّيٗب ا َفٱۡم َس ُحوْا ِبُو ُج وِهُك ۡم‬
٤٣ ‫َو َأۡي ِد يُك ۗۡم ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ُفًّو ا َغ ُفوًرا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa 43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam hamzah dan al-Kisa’I memendekkan huruf
lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya.
Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama
mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh.
Berdasarkan pendapat qira’at itu pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat
bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada
juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali
kalau berhubungan badan.20

20
Hasanuddin. AF, Perbedaan Qiraat dan pengaruh terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,
Jakarta

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Jakarta: Pustaka Litera
Antar Nusa.

Anwar, Rosihan. 2013.Ulumul Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Ash-Shiddieqy. 2009. Ilmu A-lQur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra

Djalal, Abdul. 2013. Ulumul Qur’an. Surabaya: CV Dunia Ilmu.

https://books.google.co.id/books

Hasanuddin. AF. 1995. Perbedaan Qiraat dan pengaruh terhadap Istinbath


Hukum dalam Al-Qur’an.Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1,
Jakarta-Indonesia.

Syaikh Manna al-Qaththan. 2011. Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’. Riyadh.
Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono

21

Anda mungkin juga menyukai