Anda di halaman 1dari 19

KHILAFIYAH DALAM ISLAM

Oleh:

1. Shafira Raiqah Qurratul’ain (21020119120004)


2. Farhatus Sakinah (21020119130010)
3. Nadinda Ramadhani Putri (21020119130044)
4. Bima Bagus Prasetya (21020119130046)
5. Musyaffa Manzalal Bayaan (21020119130051)
6. Ridwan Kamil Pakerrangi (21020119140157)
7. Dita Audina (21020119140177)

KELAS A
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena telah melimpahkan rahmat-
Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah khilafiyah merupakan hal yang lumrah terjadi pada saat ini di kalangan
masyarakat. Khususnya perbedaan pada ajaran agama islam. Sehingga sering terjadi perdebatan
bahkan menimbulkan perpecahan.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa itu khilafiyah?
b. Mengapa khilafiyah adalah hal yang wajar?
c. Bagaimana agar kita tidak terpecah belah dengan adanya perbedaan?

C. TUJUAN
a. Mengetahui pengertian khilafiyah
b. Mengetahui bahwa khilafiyah adalah hal yang wajar
c. Mengetahui solusi agar terjadi kerukunan diantara khilafiyah

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Khilafiyah dalam bahasa sering diartikan dengan “perbedaan pendapat, pandangan, atau
sikap”. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama.
Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja,
tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi
di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya
perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal
dan haram.

Karena khilafiyah ini merupakan hal yang lumrah dan telah ada sejak zaman sahabat
Rasulullah, sehingga jika terjadi perbedaan pemahaman hukum, suatu kelompok jangan merasa
paling benar dengan pemahamannya lalu menyalahkan kelompok yang lainnya.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ِ ‫س ُكوا ِب َها َو َعضُّوا َعلَ ْي َها ِبالنَّ َو‬


‫اج ِذ‬ َّ َ‫اء ْال َم ْه ِد ِيِّين‬
َّ ‫ ت َ َم‬، َ‫الرا ِشدِين‬ ِ َ‫سنَّ ِة ْال ُخلَف‬ ُ ‫ فَ َعلَ ْي ُك ْم ِب‬،‫يرا‬
ُ ‫سنَّتِي َو‬ ً ِ‫اختِ ََلفًا َكث‬ َ َ‫ش ِم ْن ُك ْم بَ ْعدِي ف‬
ْ ‫سيَ َرى‬ ْ ‫فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِع‬

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian


berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah
dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud )

Khilafiah pada Zaman Rasulullah


Pada masa Rasulullah, para sahabat mendengarkan ajaran agama dari Rasulullah, baik
berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, secara lisan dari Rasulullah sendiri, yang
dikenal dengan hadis qawliy, melihat praktek Rasulullah, yang dikenal dengan hadis fi’liy, dan
terkadang juga sahabat mengerjakan sesuatu pekerjaaan yang boleh jadi diakui oleh Rasulullah,
yang terkenal dengan sebutan hadis taqririy. Pada saat Rasulullah mengerjakan sesuatu, para
sahabat meniru begitu saja, tanpa mengetahui apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah tersebut,
hukumnya wajib atau sunnah. Para sahabat menyaksikan Rasulullah shalat, mereka langsung
mengikutinya, menyaksikan Rasulullah melaksanakan ibadah haji, mereka langsung menirunya,
dan mereka melihat Rasulullah berwudlu’, juga langsung menirunya. Demikian kebanyakan
perilaku Rasulullah, tanpa disertai penjelasan, apakah sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah
tersebut, hukumnya wajib atau sunnah dan sebagainya. Keadaan tersebut berlangsung sampai
Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terpencar ke daerah-daerah, dan mereka
menjadi panutan bagi masyarakat tempat tinggal mereka. Peristiwa dan permasalahan makin
berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat. Mereka memberi
jawaban, sesuai dengan dalil al-Quran dan hadis Rasulullah yang mereka hafal, dan sesuai dengan
kemampuan istinbath (kemampuan dalam mengambil keputusan hukum) mereka, dari dalil-dalil
tersebut. Seandainya jawaban para sahabat belum memenuhi harapan masyarakat, maka para
sahabat berijtihad dengan menggunakan ra’yu (pendapat) dengan mempertimbangkan illat
(faktor) yang dijadikan pertimbangan oleh Rasulullah, ketika bersabda atau melakukan sesuatu
perbuatan. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah untuk memahami apa yang dikehendaki oleh
Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi demikian, terjadilah khilafiyah di kalangan para sahabat,
yang dilator belakangi oleh berbagai faktor.
B. FAKTOR PENYEBAB KHILAFIYAH
1. Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an
Firman Allah َ ‫ (ا َ ْولَ َم ْستُ ال ِِّن‬atau kamu menyentuh atau bersetubuh dengan perempuan ).
‫ساء‬
Menurut imam Hanafi, laamastum berarti bersetubuh, sebab ini tidak batal, meskipun ajnabiyah.
Menurut imam Syafi’i, Maliki dan Hambali, laamastum artinya menyentuh, sebab itu batal wudlu
dengan menyentuh perempuan. Tetapi Imam Syafi’i berpendapat, bahwa yang membatalkan
wudlu adalah perempuan ajnabiyah ( bukan muhrim ). Menyentuh ibu atau anak sendiri tidak
membatalkan wudlu.
Menurut Imam Maliki dan Hambali, menyentuh perempuan membatalkan wudlu kalau
disentuh dengan syahwat. Tetapi kalau tidak dengan syahwat maka tidak batal wudlu itu. Menurut
Adh-Dhohiri menyentuh perempuan membatalkan wudlu, meskipun ibu sendiri karena mereka
termasuk perempuan juga menurut lahirnya lafadz An-Nisa’. Dengan contoh itu dapatlah kita
ketahui bahwa meskipun kelima madzhab itu sepakat tentang dalil firman Allah: au laamastumun
nisaa’ tetapi mereka itu berlainan pendapat tentang tafsirannya dan mengistinbathkan hukum dari
padanya.
Sebab Perbedaan Penafsiran Lafadz di Dalam Al-Qur’an
a. Adanya Kata-Kata Musytarak
Kata-kata didalam bahasa arab ada dua macam, ada yang dinamakan mutaradif terdiri dari
beberapa kata namun artinya satu, seperti kata ‘lais’ dan ‘asad’ yang keduanya berarti singa.
Dan disamping itu ada kata-kata musytarak yaitu katanya satu tetapi mempunyai arti yang banyak,
sebagaimana firman Allah
‫طلَّقَأتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثََلَثَتَ قُ ُر ْوء‬
َ ‫َوال ُم‬
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu tiga kali quru ) Al-
Baqoroh 228.
Kata quru dapat diartikan suci dan haid. Imam syafi’i mengambil arti pertama dan imam hanafi
mengambil arti yang kedua.
b. Amar dan Nahi
Perbedaan mereka di dalam memahami arti amar ( perintah ) dan nahi (larangan) baik dari
Al-Qur’an maupun Sunnah selalu berbeda.
Contoh:
‫ع ِمش ْن ُك ْم اْلبَئَة فَ ْليَت َزَ َّو ْج‬ َ َ‫ب َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬ ِ ‫شبَا‬
َ ‫يَا َم ْعش ََرال‬

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi


Sebagian ulama seperti golongan hanafiah mengatakan bahwa khinzir yang dimaksud
disini umum, mereka berpegang kepada dhohir lafadz. Karenanya haramlah babi darat dan laut.
Dan sebagian ulama mema’nakannya dengan babi darat saja dan menghalalkan babi laut, karena
mengingat firman Allah:
َ ‫ص ْيدُاْل َبحْ ِر َو‬
ُ‫ط َعا ُمه‬ َ ‫ا ُ ِح َّل لَ ُك ْم‬

Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut

2. Perbedaan Dalam Penerimaan Hadis


Contoh mengenai ini adalah sebagai berikut:
Riwayat Al-Zuhri bahwa hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah,
sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:
َ ‫ِي الَّتِ ْي يَ ْن ِز ُل َعلَ ْي َهاالدَّ ُم بَحْ دَ أَ ْق‬
ِ ‫صى ُمدَّةِا ال َحي‬
‫ْض‬ َ ‫سلَّ َم فِ ْى اْل ُم ْست َ َحا‬
َ ‫ض ِة َوه‬ َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صل‬ ُ ‫صةُ َر‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫ار ْخ‬ُ ‫أ َ َّن ِه ْندًا لَ ْم ت َ ْبلُ ْغ َه‬
‫ص ِ ِّلى‬
َ ُ ‫َت تَ ْب ِك ْي ِألنَّ َهاالَت‬ ْ ‫فَكَان‬
“Bahwa hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshoh shalat mustahadhah (orang yang
keluar darah setelah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa
melakukan shalat.
Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:
ٌ‫س ْو ُل هللاِ ِإ ِنِّ ْي ْام َرأَة‬ُ ‫ار‬َ ‫ت َي‬ ْ َ‫سلَّ َم فَقاَل‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ي‬ ِّ ‫اط َمةُ ِب ْنتُ أ َ ِب ْي ُح َبيْش ِإلَى النَّ ِب‬
ِ َ‫َت ف‬
ْ ‫ َجائ‬: ‫ت‬ ْ َ‫ي هللاُ َع ْن َهاقَال‬ َ ‫ض‬ ِ ‫شةَ َر‬َ ‫َع ْن َعا ِئ‬
ْ ‫ت فَا ْغ ِس ِل‬
‫ي‬ ْ ‫صَلَة ََوإِذَا أَدْبَ َر‬
َّ ‫ضت ُ ِك فَدَ ِع ْى ال‬ َ ‫ت َح ْي‬ ْ َ‫ْض فَ ِاذَا أ َ ْقبَل‬ َ ‫ الَإِنَّ َماذَلِكَ ِع ْر ٌق َولَي‬:َ‫قَال‬,َ ‫ص ََلة‬
ِ ‫ْس بِ َحي‬ َّ ‫ع ال‬ ُ َ‫ط ُه ُرأَفَأَد‬ْ َ ‫اض فََلَ أ‬
َ ‫اِ ْست َ َح‬
‫ص ِلِّى‬
َ ‫َع ْن ِك الد ََّم ث ُ َّم‬
Dari ‘aisyah RA ia berkata, bahwa Fatimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah Saw seraya
berkata, “ya Rarulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan
shalat?” Rasul menjawab, “tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka
bila datang waktu haid, tinggalkan shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu,
kemudian shalatlah. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

3. Perbedaan Dalam Memahami Hakikat Sumber Agama.

Perbedaan dalam masalah ini, adalah perbedaan ulama mujtahid dalam menetapkan apa
saja yang menjadi sumber hukum Islam. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa sumber
hukum Islam hanya ada dua, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa
sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, hadis, ijma‘ dan qiyas. Bahkan ada lagi sebagian ulama
yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam disamping al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas,
adalah al-masalih al-mursalah, ‘amal ah al-madinah (praktek penduduk Madinah), dan sebagainya.
Bagi kelompok yang menganggap sumber hukum Islam hanya al-Qur’an dan hadis, maka segala
yang dihasilkan oleh manusia, apakah ijma’ para sahabat, qiyas, ‘amal ahl al-madinah, dan masalih
al-mursalah, tidak dapat dijadikan sumber hukum Islam. Sebaliknya, bagi kelompok yang
menganggap sumber hukum Islam, tidak terbatas pada al-Qur’an dan hadis, maka sumber-sumber
selain al-Qur’an dapat dijadikan sumber hukum. Argumentasi kelompok disebut kedua ini, adalah
bahwa banyak ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah yang masih bersifat dhanniy al-dalalah.
Dalam kondisi seperti ini, ijma’ para sahabat, qiyas, dan sebagainya seperti disebut di atas, dapat
menjadi rujukan bagi umat Islam.
Salah satu contoh ajaran agama yang tidak secara tegas (qath’i) disebutkan dalam al-
Qur’an atau hadis, adalah zakat binatang ternak berupa ayam atau kuda. Bila yang dijadikan dalil
adalah ayat atau hadis saja, maka ayam dan kuda tidak termasuk kelompok binatang yang wajib
dizakatkan, karena tidak terdapat dalil dalam dua sumber hukum tersebut, yang mengharuskan
kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat ayam dan kuda. Padahal hasil yang diperoleh dari
pemeliharaan ayam dan kuda cukup besar, dan tidak kalah dari hasil pemeliharaan kambing atau
kerbau atau sapi. Oleh karena itu, perlu digunakan qiyas. Kemudian muncullah sebuah hasil ijtihad
berupa qiyas, yang mewajibkan zakat ayam atau kuda. Hasil qiyas (analog) inilah yang dijadikan
sumber hukum, tentang wajibnya zakat ayam atau kuda, bukan bersumber langsung dan eksplisit
dari al-Qur’an dan hadis. Untuk mengambil jalan tengah antara dua golongan tersebut, ada yang
memilah sumber hukum tersebut menjadi dua, yaitu sumber primer (utama), dan sumber sekunder(
sumber kedua). Yang termasuk sumber primer adalah al-Qur’an dan hadis. Sedangkan yang
termasuk sumber sekunder adalah ijma’, qiyas, al-masalih almursalah, amal ahl al-madinah, dan
sebagainya.

4. Perselisihan Mengenai Shahih Atau Tidaknya Hadis.

Perselisihan dalam hal ini sering terjadi, sebab beberapa sanad atau perawi hadis ada yang
diperselisihkan nilainya oleh ahli hadis. Si A, misalnya, sebagai perawi hadis, dapat diterima
riwayatnya oleh sebagian ahli hadis, dan ia ditolak riwayatnya oleh ahli hadis yang lain. Contoh
konkrit dalam buku-buku hadis adalah seorang perawi hadis bernama Abu Laila. Sebagai perawi
hadis, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang memenuhi syarat oleh sebagian ahli hadis.
Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Laila, dikategorikan sebagai hadis shahih oleh
al-Bukhari. Sebaliknya, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang tidak memenuhi syarat
sebagai perawi hadis oleh sebagian ahli hadis, seperti al-Nasa’i. Oleh karena itu, hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Laila, dianggap sebagai hadis da’if oleh al-Nasa’i. Dampak dari perbedaan
penilaian ulama terhadap Abu Laila tersebut, adalah bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Laila, tidak selamanya bernilai shahih, tetapi tergantung pada siapa yang menilai Abu Laila. Hadis
riwayat Abu Laila dapat menjadi shahih, jika yang menilainya adalah al-Bukhari, dan dapat
bernilai dhaif, bila yang menilainya al-Nasa’i.
C. CONTOH KHILAFIYAH
1. Di Muhammadiyah mempunyai kebiasaan setelah usai shalat fardu berjama’ah, imam tidak
memimpin doa. Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) melakukan sebaliknya.
2. Muhammadiyah tidak melaksanakan Doa Qunut saat Itidal, sedangkan NU melakukannya.
3. Menyemir rambut dengan warna hitam. Ada dua pendapat haram dan makruh.
4. Ada beberapa ulama yang mengatakan perempuan haid tidak boleh masuk masjid. Namun,
ada pula yang memperbolehkan.
5. Air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, Sedang menurut Maliki, Hambali dan
Ja’fari adalah najis.

D. PRO KHILAFIYAH

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para
ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat
ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum,
atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap
orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli
bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita
mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap
pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Contoh khilafiyah yang dapat ditoleransi :

1. Qunut Subuh

Pendapat pertama: Hukumnya sunnah

 Hadits Bara’ bin ‘Adzib:


“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan
maghrib” (HR. Muslim 678)

Pendapat kedua: Hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada
shalat shubuh.

 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad
shahih:
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak
ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam

Pendapat pertama: Haram

 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:


“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam
bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu
Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat kedua: Makruh

 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa
beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam.
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih
bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
Dari kedua contoh diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang
shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi
pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan
ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

E. KONTRA KHILAFIYAH

Meskipun Khilafiyah merupakan hal yang wajar, dalam memiliki perbedaan tetap harus
memiliki Batasan-batasan karena jika tidak maka akan banyak versi dan akan sangat susah mencari
pendapat mana yang paling kuat

Selain itu Khilafiyah juga bisa di jadikan alasan untuk melakukan sesuatu oleh orang awam
atau bahkan oleh seorang ahli agama sekalipun. Contoh dari masalah ini yang paling umum adalah
masalah rokok di mana sebagian orang beralasan bahwa hukum rokok masih khilafiyah, atau
masih dalam perdebatan

Oleh itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam masalah khilafiyah ini

1. Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah
Ta’ala berfirman:

ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬
‫يل‬ َ ْ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ِ ‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِ ه‬
ُ ‫الر‬ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى ه‬
‫َّللاِ َو ه‬ َ ‫فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan
tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut
toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal,
hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

2. Pendapat Ulama Bukan Dalil

Para ulama berkata:

‫أقوال أهل العلم فيحتج لها وال يحتج بها‬

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata:

‫ال يحل ألحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه‬

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu
‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam
kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah
karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan

3. Menyaring pendapat yang benar

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama
berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama
di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy.
Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang
pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau
menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap
pendapat selama bersandar pada dalil shahih, . walaupun kita menganggap pendapat yang kita
pegang itu lebih tepat”.

Jadi intinya jika pendapat tersebut memiliki sumber yang kuat dan keselarasan dengan Al-
Quran dan hadist maka kita wajib menghormati pendapat tersebut. Namun jika pendapat tersebut
memiliki sumber yang kurang jelas makak kita tidak boleh mengambil pendapat tersebut dan wajib
meluruskan teman kita yang salah. Oleh karena itu setiap pendapat hendaknya di cek kembali
apakah kuat dan selaras dengan al quran dan hadist sehingga kita bisa menjadi orang yang lebih
kritis dan hati hati.

F. SOLUSI KHILAFIYAH

1. Saling Tenggang

Sudah menjadi aksioma dasar, bahwa setiap terjadi perbedaan pendapat, kita harus merujuk
kepada kitab Al-Quran dan hadits nabi. Orang awam pun sudah mengetahui hal ini, apalagi para
ulama. Maka dari itu, ketika para ulama berijtihad dengan merujuk kepada kedua sumber di atas,
lalu kesimpulannya berbeda satu sama lain, dan kita mengikuti salah seorang dari mereka,
janganlah kita mengatakan bahwa ulama lainnya tidak mau merujuk kepada qur’an dan hadits.
Kita perlu mengedepankan sikap saling menenggang ketika kesimpulan dari merujuk kepada
kedua sumber di atas tidak sama. Betapapun demikian, hal ini tidak menghalangi kita untuk
mengikuti pendapat yang lebih kuat apabila kita mampu memahami istidlalnya (cara
menyimpulkan hukum dari dalil). Bila tidak mampu, maka kita boleh atau bahkan harus bertaklid
dg para ulama, agar tidak menyimpulkan hukum secara serampangan sehingga tersesat dan
menyesatkan.
Ibnu Abdil Barr, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa kalangan awam itu
hendaknya bertaklid (mengikuti) pada para ulama’nya”. (jamiu bayanil ilmi wa fadhlihi). Hal yang
senada juga dikatakan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, “Orang yang tidak mampu ber-
istidlal, menuurut mayoritas ulama, ia boleh bertaklid kepada orang yang alim“.

Dalam hal ini, ada kaedah emas yang dikemukakan oleh syekh Rasyid Ridha, yaitu:

‫اختَلَ ْفنَا ِف ْي ِه‬ ُ ‫ َويَ ْعذُ ُر بَ ْع‬،‫نَت َ َع َاونُ فِ ْي َما اتهفَ ْقنَا َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫ضنَا بَ ْعضًا فِ ْي َما‬

“Kita saling tolong menolong dalam hal yang kita sepakati, dan kita saling menenggang dalam hal
yang kita berbeda pendapat tentangnya”. Tentu maksud beliau, bukan kesepakatan untuk berbuat
dosa dan kesesatan. Dan bukan pula perbedaan pendapat yang keluar dari ajaran Islam.

2. Tidak Memaksakan Suatu Pendapat

Seberapun tingkat keyanikan Anda terhadap satu pilihan pendapat yang bersifat
ijtihadiyyah, janganlah kemudian membuat Anda menafikan adanya pendapat yang lain, apalagi
mengharuskan semua orang mengikuti pendapat Anda, bahkan sampai memvonis bahwa kalau
tidak mau mengikuti maka tidak termasuk golongan Ahlus-sunnah wal-Jama’ah. Sesungguhnya,
mengharuskan semua orang mengikuti satu pendapat saja dalam masalah khilafiyah justru akan
menimbulkan perpecahan. Mengapa? Karena setiap orang yang yakin dengan pilihan pendapatnya,
ia akan mengharuskan orang lain mengikutinya. Lalu apa yang terjadi? Satu sama lain saling
memberi cap sesat, kalau tidak mau ikut. Lalu apa? Lalu saling membenci dan memusuhi.

Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur meminta izin kepada Imam Malik (gurunya Imam Syafi’i)
untuk menyatukan seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia agar mengikuti kitab Al-
Muwattha’ yang disusunnya, yang berisi hadits-hadits nabi saw, fatwa para sahabat dan tabi’in.
Apa jawab beliau? Beliau menjawab:

،‫ َوأ َ َخذَ ُك ُّل قَ ْو ٍم ِب َما ِسيْقَ إِلَ ْي ِه ْم‬،ٍ‫ َو َر َو ْوا ِر َوايَات‬،‫ْث‬ َ ‫ َو َس ِمعُ ْوا أَ َحا ِدي‬،ُ‫ت إِلَ ْي ِه ْم أَقَا ِو ْيل‬ َ ‫ فَإ ِ هن النه‬،‫ َال تَ ْفعَ ْل‬، َ‫يَا أ َ ِمي َْر ْال ُمؤْ ِمنِيْن‬
ْ ‫اس قَدْ ِس ْي َق‬
“ ِ‫ فَدَع‬،ٌ‫ش ِد ْيد‬ َ ُ‫ َوإِ هن َرد ه ُه ْم َع هما ا ْعتَقَد ُْوه‬،‫س ْو ِل هللاِ صلى هللا عليه وآله وسلم َو َغي ِْر ِه ْم‬ ُ ‫ب َر‬ ِ ‫ص َحا‬ْ َ‫ف أ‬
ِ ‫اختِ َل‬ ْ ‫ ِم ِن‬،‫ َودَانُ ْوا بِ ِه‬،‫َو َع ِملُ ْوا بِ ِه‬
‫اختَا َ َر أ َ ْه ُل ُك ِل بَلَ ٍد ِأل َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
ْ ‫ َو َما‬،‫اس َو َما ُه ْم َعلَ ْي ِه‬َ ‫”النه‬
“Wahai Amirul mukminin, jangan Engkau lakukan. Karena orang-orang telah menerima banyak
pendapat, mendengar banyak hadits dan banyak riwayat. Setiap kaum telah berpendapat dengan
apa yang sampai kepada mereka, mengamalkannya dan terbiasa dengannya, berupa perbedaan
pendapat para sahabat Rasulullah saw. dan selain mereka. Sungguh mengalihkan mereka dari apa
yang telah mereka yakini itu berat. Maka biarkanlah orang-orang dengan keadaannya, dan apa
yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka sendiri” (Siyar A’lamin-Nubala, Adz-
dzahabi).

Imam Malik tidak membaca qunut dalam shalat subuh, tapi tidak mengharuskannya kepada
Imam Syafi’i sebagai muridnya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh itu
sunnah, namun murid beliau yang bernama Imam Ahmad bin Hambal tidak sama dengan
pendapatnya, yakni qunut subuh tidak disunnahkan. Dewasa ini, madzhab Imam Syafi’i banyak
diikuti di Indonesia, dan Madzhab Imam Ahmad bin Hambal banyak diikuti di Saudi Arabia.
Alangkah indahnya kalau umat ini mengikuti akhlak para ulamanya dalam masalah khilafiyah.
Saling memberi kelonggaran, dan tidak saling memaksakan pendapat.

3. Mengedepankan Persamaan

Mencari titik temu atau mengutamakan persamaan itu dianjurkan. Sehingga ada salah satu
qaidah fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫اَ ْل ُخ ُر ْو ُج ِمنَ ْال ِخ َل‬


‫ف ُم ْستَ َحب‬

“Keluar dari perbedaan pendapat (khilafiyah) itu dianjurkan”. Yaitu dengan cara melakukan
sesuatu yang menurut para ualama yang berbeda pendapat itu sah.

Contohnya, mengusap kepala merupakan salah satu rukun wudhu. Tidak sah wudhu seseorang
kalau tidak mengusap kepalanya dengan tangan yang dibasahi air. Bukan mengguyur atau
membasuh kepala, melainkan cukup dengan mengusapnya. Allah berfirman:

‫س ُحوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم‬


َ ‫َو ْام‬

“…dan usaplah kepala kalian...” (Al-Maidah: 6)


Pertanyaannya, berapakah kadar yang harus diusap dari bagian kepala?, yang dengan
mengusap kadar tersebut, berarti telah memenuhi rukun, dan wudhunya menjadi sah?

Imam Syafi’i berpendapat bahwa seberapa-pun dari bagian kepala yang diusap wudhunya
sah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kadar minimal yang harus diusap adalah sepertiga
dari kepala, karena sepertiga itu sudah banyak, dan tidak boleh kurang darinya. Sedangkan Imam
Malik berpendapat wajib mengusap seuruh kepala. Masih-masing mengemukakan dalilnya dan
cara menyimpulkan hukum dari dalil tersebut yang kemudian menjadi pendapatnya. Lalu
bagaimana cara kita keluar dari khilafiyah dalam masalah ini?

Caranya adalah dengan mengusap seluruh kepala ketika berwudhu. Dengan begitu,
menurut Imam Syafi’i jelas sah-nya, bahkan itu disunnahkan. Menurut Imam Abu Hanifah juga
sah karena telah mengusap lebih dari sepertiga. Dan menurut Imam Malik juga sah karena menurut
pendapat belliau memang harus mengusap seluruh kepala.

4. Terus Mendalami Masalah, Tafaqquh

Tafaqquh adalah upaya dan proses yang kita tempuh dalam rangka memahami syariat
Allah. Kita terus berusaha meningkatkan tafaqquh kita agar bisa memahami dalil-dalil yang
dijadikan dasar oleh para ulama dalam menyimpulkan pendapatnya.

Rasulullah saw bersabda:

ِ ‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ ِب ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِي الد‬


‫ِين‬

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah pahamkan dia dalam agama” (HR.
Bukhari dan Muslim). Semakin bertambah ilmu seseorang dalam agama, ia akan semakin mantap
dalam mengamalkannya dan semakin toleran terhadap perbedaan pendapat yang didukung oleh
dalil.
5. Saling Menghormati

Ibnu Abbas ra berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit ra tentang hukum dalam masalah
warisan. Apakah saudara mayit berhak mendapat warisan bila kakeknya si mayit masih hidup?
Ibnu Abbas memfatwakan bahwa saudara si mayit tidak mendapat warisan karena tertutup oleh
kakek. Sedangkan menurut Zaid bin Tsabit, kakek tidak menghalangi saudara si mayit untuk
mendapatkan warisan.

Apakah perbedaan pendapat antara mereka berdua membuat hubungan menjadi renggang?
Atau saling merendahkan? Tidak, dan sama sekali tidak. Ibnu Abbas melihat Zaid bin Tsabit
sedang mengendarai unta, maka dituntunlah kendali onta itu olehnya. “Lepaskan saja wahai anak
paman Rasulullah saw” kata Zaid.

Ibnu Abbas menjawab:

‫َه َكذَا أ ُ ِم ْرنَا أَ ْن نَ ْف َع َل ِبعُلَ َمائِنَا َو ُكبَ َرائِنَا‬

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat terhadap para ulama dan pembesar kami”.

Zaid berkata, “Tolong perlihatkan tanganmu kepadaku”. Ibnu Abbas pun mengulurkan tangannya.
Lalu apa yang akan dilakukan oleh Zaid? Ternyata beliau mencium tangan Ibnu Abbas seraya
berkata:

ِ ‫َه َكذَا أ ُ ِم ْرنَا أ َ ْن نَ ْفعَ َل بِأ َ ْه ِل بَ ْي‬


‫ت نَ ِبيِنَا‬

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk berbuat terhadap ahlul-bait (keluarga) nabi kami”.
(adabul-ikhtilaf fil-Islam, Thaha Jabir Al-Ulwani).

Begitulah akhlak para ulama, dan seperti itulah cara mereka menyikapi perbedaan
pendapat. Saatnya kita saling menenggang, tidak mengharuskan satu pendapat, mengutamakan
persatuan, terus mendalami agama, dan saling menghormati. Kalau setiap ada beda pendapat lalu
saling mendiamkan dan memutuskan hubungan, lalu bagaimana kita mengimani ayat “Innamal
mu’minuna ikhwah” (Al-Hujurat: 10)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Khilafiyah adalah perbedaan pendapat dalam kalangan umat islam. Khilafiyah ini
biasanya terjadi karena hukumnya tidak disepakati oleh sebagian ulama. Masalah
khilafiyah ini bukan hanya dalam berpendapat saja, bisa juga dengan perbedaan
pandangan, hukum, dll.

Meskipun begitu khilafiya merupakan hal yang lumrah terjadi, karena ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan khilafiyah
1. Perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an
2. Perbedaan dalam hadist
3. Perbedaan dalam memahami hakikat sumber agama
4. Perbedaan dalam menentukan apakah hadist itu shahih atau tidak

Namun selain beberapa masalah khilafiyah yang sering diperbincangkan seperti qunut
subhuh, hakum menyemir rmabut. Ada beberapa batasan dalam khilafiyah agar tidak terlalu
menyimpang dari ajaran islam.

Beberapa batasannya yaitu :

1. Harus sesuai dengan al quran dan hadist


2. Harus sesuai dengan pendapat Ulama
DAFTAR PUSTAKA

- http://www.dakwatuna.com/2015/09/20/74746/bagaimana-menyikapi-perbedaan-
khilafiyah/#ixzz5wXeRjvoY
- https://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/tarbiyah3/qa-islam/QA220.txt
- https://rumaysho.com/2520-benarkah-masalah-khilafiyah-tidak-perlu-diingkari.html

Anda mungkin juga menyukai