Anda di halaman 1dari 21

IMAN KEPADA TAKDIR SEBAGAI DASAR

HIDUP DALAM KETERATURAN DAN KETENTUAN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teologi Islam dan Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.

Oleh:

IKKE NAILUL AFIFAH


1903018114

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
A. Pendahuluan
Setiap kejadian dan keadaan di alam semesta ini hakikatnya
merupakan sebuah keteraturan. Termasuk dalam scope yang lebih
kecil yaitu bumi dengan segala isinya. Keteraturan tersebut tentu
merupakan sebuah kehendak dari dzat yang Maha Menentukan, yaitu
Allah. Sedangkan sebagai manusia yang notabene menjadi pemangku
amanat khalifah fil-ardh serta ta’abbud ilAllah, hendaknya mengimani
takdir yang merupakan “ketentuan” dari Allah.
Berkaitan dalam hal keimanan, hendaknya iman teraplikasi
dalam sebuah tindakan. Bukan sekedar merasa yakin akan adanya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Hassan Hanafi bahwa, “Tuhan
bukanlah sebuah pemaparan, melainkan sebuah tindakan”. Termasuk
dalam hal mengimani takdir Allah, tidak terbatas pada meyakini akan
adanya takdir. Melainkan terinternalisasi dalam bentuk “perilaku”,
baik secara kognitif maupun afektif.
Adapun iman kepada takdir dalam praksisnya mendapatkan
pemaknaan serta aplikasi yang berbeda-beda. Pada bagian kelompok
tertentu iman kepada takdir menjadikannya subjek yang pasif. Dalam
hal ini, mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia
ini sudah diatur oleh Allah yang kemudian menjadikan manusia tidak
perlu berusaha keras dalam melakukan apapun. Sehingga apabila
manusia berbuat kejahatan yang harus disalahkan dan dihukum adalah
Tuhan, manusia tidak boleh dihukum karena semua perbuatan
manusia dirancang dan dibuat oleh Tuhan. Sesungguhnya, manusia
ditentukan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia tidak memiliki

1
kuasa, kehendak, juga tidak memiliki pilihan. Sedangkan oleh
kelompok lain, iman kepada takdir berarti percaya akan hukum sebab
akibat (kausalitas). Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum kausalitas
berlaku dalam berbagai kejadian, sebagaimana kalimat “apa yang kau
tanam itulah yang kau tuai”. Namun hukum kausalitas juga nampak
tidak berlaku pada banyak kejadian.
Pada akhirnya term takdir serta bagaimana mengaplikasikannya
dalam rangka iman menjadi persoalan yang perlu didiskusikan.
Disamping persoalan makna, relevansi antara iman kepada takdir
dengan hidup manusia dalam ketaraturan serta ketentuan pun perlu
dikaji lebih dalam. Dengan demikian, penulis menyusun makalah ini
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian iman kepada takdir?
2. Bagaimana pandangan aliran teologi terhadap iman kepada
takdir?
3. Bagaimana relevansi iman kepada takdir dengan hidup dalam
keteraturan dan ketentuan?

B. Iman Kepada Takdir


1. Pengertian
Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni takdir ( ‫) تقدير‬
yang berakar kata dari kata qadara ) ‫ ( قدر – يقدر – تقديرا‬dengan
arti ukuran terhadap sesuatu atau memberi kadar.1 Pengertian

1
Muhammad ibn Karim ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-
Shadir, tt), juz 5, 74.

2
takdir menurut istilah adalah ukuran yang sudah ditentukan
Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi bisa
saja berubah jika ada usaha untuk mengubahnya. Sehingga, jika
Allah telah mentakdirkan demikian, maka berarti bahwa Allah
telah memberi kadar/ ukuran/ batas tertentu dalam diri, sifat atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya.2 Kemampuan pada diri
manusia inilah yang bisa berubah, dan terkadang memang
mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu
sendiri.
Al-Qardhawi menyatakan bahwa iman merupakan
kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh
keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi
pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan
sehari-hari. Jadi iman yang sesungguhnya adalah di-iqrar-kan
dengan lidah, di-tashdiq-kan dengan hati dan diamalkan dengan
anggota badan.3 Sehingga keimanan seseorang terhadap takdir
bukanlah sebatas percaya akan adanya kekuasaan Allah berupa
takdir tersebut. Melainkan juga dengan keimanan dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku manusia.
Adapun kata “takdir” biasa dihubungkan dengan qadha dan
qadar. Sebagaimana penjelasan di atas, takdir merupakan
kekuasaan dari Allah terhadap kehidupan yang manusia dijalani

2
Ahmad bin Qaris ibn Zakaria Abi al-Husayn, Mu’jam Maqayis al-
Lughah, (Kairo: Ittihad al-Kitab al-Arab, 2002), juz 5, 51.
3
Yusuf al-Qardhawi, Iman dan Kehidupan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), 3.

3
saat ini, takdir wajib diimani oleh setiap muslim karena takdir
merupakan salah satu dari rukun iman. Dalam istilah lain, takdir
adalah qadar (al-qadar khaiuruhu wa syarruhu).4 Sedangkan
qadha memiliki pengertian kehendak atau ketetapan hukum
Allah terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
makhluk.5
Memperhatikan dua istilah tersebut, qadha dapat dimaknai
dengan ketetapan Allah tentang semua hal berhubungan dengan
makhluk ciptaan-Nya sejak zaman azali dan belum terjadi.
Sedangkan qadar atau takdir merupakan perwujudan dari
ketetapan (qadha) Allah dan sudah terjadi. Jadi, ketetapan yang
sudah terjadi (qadar) tersebut bisa berbeda dengan qadha-Nya.
Pemaknaan qadha sebagai ketetapan, sedangkan qadar
sebagai ukuran dapat dipahami bahwa ketetapan Allah adalah
berdasarkan pada ukuran-Nya. Sedangkan ukuran tersebut
terdapat pada alam dan sesuai dengan kemampuan atau usaha
manusia. Dengan kata lain, Allah telah menetapkan sesuatu
kepada manusia, akan tetapi manusia tetap diberikan ruang
untuk berusaha dan memilih takdir yang baik untuknya.
Penjelasan tersebut mencerminkan adanya kemungkinan
perubahan ketetapan dari Allah. Sebab manusia mempunyai
potensi atau kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini misalnya,

4
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013,
153.
5
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 189.

4
ditakdirkan untuk tidak dapat menembus angkasa luar, tetapi
dengan akalnya ia mampu mengubah takdir itu. Yakni dengan
menciptakan suatu alat (sarana) untuk sampai ke sana.
Demikian term takdir agar tidak lagi dijadikan justifikasi
saat manusia melakukan kesalahan. Sebab takdir dasarnya
adalah usaha manusia, sedangkan pada akhirnya yang
menentukan adalah Allah. Begitu pun iman kepada takdir dapat
diartikan dengan meyakini serta mengaplikasikan dalam
perbuatan akan adanya ketentuan dari Allah.

2. Fungsi
Adanya takdir sebagai salah rukun yang wajib diimani
seorang muslim, tentunya perlu diketahui fungsi dibalik
perintah-Nya tersebut. Kegunaan beriman kepada takdir dalam
mendukung aktivitas kehidupan manusia dapat dilihat dari
perilaku. Seseorang yang mengimani qadha dan qadar dari
Allah akan menimbulkan sikap sebagai berikut:
a. Yakin akan pertolongan Allah. Seorang yang merasa yakin
bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah. Maka, akan
tetap berusaha semaksimal mungkin serta memperbanyak
ibadah. Kesabaran juga diperlukan dalam berusaha, sebab
Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-Nya.6

6
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013),
162.

5
b. Tumbuh rasa semangat dalam beribadah dan menjalani
kehidupan. Seorang yang mengetahui bahwa segala sesuatu
yang ia alami telah tertulis di zaman azali maka akan
tumbuh rasa semangat dalam dirinya untuk mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, serta
mengikuti hukum sebab akibat yang telah di tetapkan
Allah.7 Terlepas dari bagaimana takdir-Nya, seseorang akan
bersemangat menjadi yang terbaik.
c. Tenang menghadapi berbagai macam masalah. Setiap
manusia pasti ada masalah, masalah itu kadang membuat
manusia pusing dan tidak tahu berbuat apa. Ada yang belum
menyelesaikan tugas, rencana yang gagal, bangkrut, dan
semua itu sering dialami oleh setiap orang. Pada saat
mendapat musibah dan kerugian maka ia akan bersabar
serta tenang karena meyakini semua itu adalah
kesalahannya sendiri dan karena cobaan dan ujian dari
Allah, yang kelak akan mendatangkan kebaikan.
d. Koreksi diri serta berpikir positif. Saat menghadapi
kenyataan tidak sesuai dengan harapan, maka seseorang
akan mengevaluasi diri sendiri dan tidak menyalahkan
orang lain, serta tidak mudah terjerumus dalam putus asa.
Manusia juga tidak mengetahui apa yang telah dituliskan
Allah di lauh al-mahfudz mengenai rezeki, ajal,
kebahagiaan, serta kesedihan yang ia alami dalam menjalani

Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam …, 162.


7

6
kehidupan. Maka dari itu, sebagai makhluk yang ilmunya
tidak setingkat dengan ilmu Allah akan berusaha berpikiran
bahwa yang telah dituliskan oleh-Nya adalah yang terbaik.8
Setelah seseorang berusaha maksimal, ia akan bertawakal
kepada Allah atas apapun hasilnya. Hasil yang tidak sesuai
harapan akan menjadikan seseorang lebih baik sebab sebuah
perbaikan.
e. Jika kepercayaan takdir mengenai baik dan buruknya, sakit
dan senang, hina dan mulia, naik dan jatuh dan sebagainya
telah masuk ke dalam jiwa setiap orang dan kepercayaan
yang utama di dalam diri adalah tauhid yakni ke-Esaan
Allah, itulah yang memberi nilai hidup.9 Sebab, ketauhidan
memberikan kesimbangan bagi jiwa setiap orang sehingga
tidak sombong ketika berada di atas, tidak lemah semangat
ketika berada di bawah, dan tidak putus asa dengan
ketentuan Allah.
f. Jika seseorang mempercayai takdir maka ia akan selalu
membuat kontak dengan Allah, jika mendapat nikmat maka
ia bersyukur. Begitu juga ketika mendapat bencana, maka ia
bersabar serta selalu berdoa semoga diberi hidayah oleh-
Nya. Ikhtiar dan usaha membuat diri bertambah dekat
dengan Allah, mengasah budi pekerti dan akal. Sehingga

8
Rusydi, Sukses dengan Menguak Rahasia Qadha dan Qadar,
(Jakarta: Bestai Buana Murni, 2005), 118.
9
Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 374.

7
menjadi manusia yang mencapai derajat yang sempurna,
dalam kesanggupan insani.
g. Manusia tidak perlu ragu dan bimbang di dalam
mengerjakan suatu amal yang baik.10 Memang Allah telah
menjanjikan kepada hamba-Nya yang shaleh akan di
masukkan ke dalam surga, dan yang durhaka akan
dimasukkan kedalam neraka. Tetapi manusia harus berusaha
membersihkan jiwa sehingga harapan hidup melebihi dari
sekedar mengharap surga atau takut kepada neraka dan yang
lebih penting adalah supaya hati tidak jauh dari Allah.

Berdasarkan beberapa fungsi iman kepada takdir dalam


bentuk perilaku tersebut, terdapat sebuah pemahaman bahwa
manusia tidak dapat melakukan sesuatu keputusan tanpa
kekuatan dari Allah. Manusia juga dalam menjalani
kehidupannya banyak hal yang tidak ia mengerti dan ketahui,
seperti nafas dan pergerakan tubuh yang tanpa sadar manusia
lakukan tanpa ada perintah dari diri sendiri untuk melakukan hal
tersebut maka dapat di ketahui juga bahwa kehendak Allah
mengalahkan kehendak manusia.
Meskipun demikian, seseorang akan tetap berusaha menjadi
lebih baik, seseorang akan selalu meningkatkan ketauhidan di
dalam dirinya, begitu pula dengan sifat optimisme akan selalu
ada, karena ia akan merasa dan selalu berprasangka baik kepada

10
Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Tauhid, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 75.

8
Allah serta yakin bahwa semua yang telah di tetapkan oleh
Allah adalah yang terbaik untuk hamba-Nya.

C. Takdir Menurut Pandangan Aliran Teologi


Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya inti permasalahan term
takdir menurut para ahli teologi adalah perbuatan manusia yang
diciptakan oleh Allah atau manusia. Makna takdir dalam aliran teologi
yakni berkisah seputar keterpaksaan dan kebebasan memilih pada
perbuatan manusia. Berikut penejelasannya:
a. Menurut Aliran Qadariyah
Aliran ini mengajarkan bahwa manusia bebas dalam
berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan untuk
berusaha sendiri, itulah sebabnya mengapa aliran ini disebut
dengan qadariyah. Aliran ini menolak pengaturan segala
sesuatunya sesuai dengan takdir dan ketetapan Allah. Paham ini
pertama kali dikembangkan oleh Ma’bad Juhani.11
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.12 Menurut
Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham qadariyah adalah
mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan

11
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2013), 34.
12
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 70.

9
perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup
semua perbuatan, yakni baik dan buruk.13
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat jelas pandangan aliran
ini menyatakan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-
perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-
perbuatan baik dan buruk atas kehendak, kemauan dan daya
manusia itu sendiri. Secara garis besar, manusia tidak dipaksa
tunduk atas ketentuan (qadha dan qadar). Manusia mampu
menentukan sendiri perbuatannya, baik maupun buruk.
b. Menurut Aliran Jabariyah
Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kemampuan untuk menentukan perbuatan dan kehendaknya.
Manusia dalam paham aliran ini terikat pada kehendak mutlak
Allah, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan
yang timbul karena kemauan dari manusia itu sendiri, tetapi
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Paham aliran ini
ditonjolkan oleh Al-Ja’d Ibn Dirham namun dikembangkan oleh
Jahm Ibn Khurasan.14
Adapun landasan aliran jabariyah mengemukakan pendapat
mereka dengan berdasarkan pada firman Allah dalam Q.S. ali-
Imran ayat 165:

13
Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 68.
14
Harun Nasution, Teologi Islam …, 35.

10
ْ‫سكُم‬
ِ ُ‫َأوَلَمَّا أَصَابَْت ُكمْ مُصِيبَةٌ َقدْ أَصَبُْتمْ مِثْلَْيهَا قُلُْتمْ أَنَّى َهذَا قُلْ ُهوَ مِنْ عِْندِ أَنْف‬
‫إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِ شَيْءٍ َقدِير‬
Sesungguhnya Allah punya hak terhadap segala sesuatu yang di
kehendaki oleh Allah (Q.S. Ali-Imran/3: 165).15

Sedangkan menurut Harun Nasution, secara istilah


jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur).16 Selanjutnya, sebagaimana dikutip oleh Rosihon
Anwar, Harun Nasution menyatakan jabariyah adalah paham
yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai
kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan.
Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran
manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.17
Berdasarkan uraian di atas, paham aliran jabariyah
melandaskan pendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak

15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 2010), 71.
16
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), 1.
17
Rosihon Anwar, Aqidah Akhlak …, 63.

11
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan,
manusia melakukan segala sesuatu karena dipaksa. Secara garis
besar, menurut paham ini manusia tidak mempunyai daya
kehendak untuk melakukan sesuatu. Segala perbuatannya telah
diatur oleh Allah, baik maupun buruk. Sehingga manusia tidak
perlu usaha atau ikhtiar.
c. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran ini dibina oleh Wasil bin Ata’.18 Aliran ini
berpendapat bahwa manusia diciptakan Tuhan sekaligus
memiliki kemampuan menciptakan sendiri perbuatannya, baik
atau buruk.19 Artinya, manusia sendirilah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan buruk, patuh dan
ketidak patuhan terhadap Allah. Berkaitan dengan masalah
takdir, aliran mu’tazilah ini lebih condong kepada qadariyah.
d. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliran ini di gurui oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Aliran ini
berpendapat bahwa perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan
pada keinginan dan kehendak Allah, seluruh perbuatan hamba
terkait dengan segala ketetapan-Nya. Dalam aliran ini mereka
memiliki konsep kasb yakni usaha manusia berupa keaktifan
manusia.20 Jadi, penciptaan dikuasai oleh Allah dan dari segi

18
Harun Nasution, Teologi Islam …, 40.
19
Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 32.
20
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam …, 217.

12
pelaksanaan dikuasai oleh manusia dengan kata lain, Allah
menciptakan perbuatan ketika hamba mampu dan berkeinginan.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya, berkenaan dengan
masalah takdir, asy’ariyah berpendapat bahwa beriman kepada
qadha dan qadar itu adalah rukun iman di dalam ajaran Islam.
Permasalahan ini berkaitan dengan perbuatan manusia dan
perbuatan Tuhan. Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan adalah
pencipta mutlak. Tidak ada yang memaksanya melakukan atau
meniadakan sesuatu. Dia berbuat sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya. Ini merupakan bantahan terhadap pendapat
mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah SWT wajib
melakukan sesuatu yang baik dan itu merupakan bentuk
keadilan Allah.21
Secara garis besar, aliran ini menyatakan bahwa Tuhan telah
“menentukan” segala sesuatu, termasuk perbuatan seorang
hamba. Akan tetapi, manusia diberi potensi berupa kasb untuk
mengusahakan takdir. Meskipun demikian, pada akhirnya hasil
dari usaha dikembalikan kepada keputusan mutlak Allah.

D. Relevansi Iman kepada Takdir terhadap Hidup dalam


Keteraturan dan Ketentuan
Ayat-ayat kauniyah menjadi salah satu bukti keteraturan takdir
Allah. Artinya, telah ada rancangan dan pola dalam alam semesta
yang menunjukkan adanya sesuatu yang mengatur. Diantaranya yaitu

21
Harun Nasution, Teologi Islam …, 119.

13
adanya matahari dan bulan, keseimbangan antara peredaran planet-
planet di tata surya serta adanya pergantian siang dan malam. Semua
itu menjadi bukti kongkrit dari keteraturan yang Allah tentukan.
Keteraturan yang diciptakan Allah sudah tertulis dalam
ketentuan-Nya. Ketentuan Allah adalah untuk sebuah keteraturan.
Segala yang telah ditentukan oleh Allah, semuanya akan tunduk dan
patuh pada kehendak-Nya. Dari keteraturan tersebut, secara afektif
manusia hendaknya dapat mengambil pelajaran untuk menjadi pribadi
yang disiplin akan aturan yang ada. Baik aturan syari’at maupun
norma yang berlaku di masyarakat.
Pembahasan iman kepada takdir dalam teologi menjadi penting,
sebab sebagaimana pembahasan tentang beberapa rukun iman
sebelumnya, iman tidak lagi dipahami sebagai dogma, melainkan
berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi bagi segala
tindakan manusia. Sehingga iman kepada takdir nantinya tidak
dimaksudkan untuk menjadikan manusia lemah, pasif, dan apatis.
Takdir sendiri telah dipahami sebagai ukuran yang sudah
ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi
bisa saja berubah jika ada usaha untuk mengubahnya.22 Artinya, takdir
juga melibatkan intervensi manusia. Dimana manusia mempunyai
peran dalam mengusahakan takdirnya, sehingga masih terdapat
kemungkinan takdir akan berubah. Sebagaimana tertulis dalam firman
Allah surat ar-Ra’d ayat 11 berikut:

Ahmad bin Qaris ibn Zakaria Abi al-Husayn, Mu’jam Maqayis al-
22

Lughah …, 51.

14
‫لَهُ مُعَقِبَات مِنْ بَيْنِ َيدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى‬
ٍ‫س ِهمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِ َقوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا َل ُهمْ مِ ْن دُونِهِ مِنْ وَال‬
ِ ُ‫يُغَيِرُوا مَا بِأَنْف‬
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya
bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain
Dia (Q.S. Ar-Ra’du/13: 11).23

Berdasarkan ayat tersebut, terdapat dua cara yang dapat


ditempuh untuk suatu perubahan. Pertama, menjalani kehidupan
sesuai petunjuk agama yang menyebabkan hidup teratur. Kedua,
mengubah pola pikir. Yaitu senantiasa berpikir positif dan husnudzan
kepada ketentuan Allah. Demikian yang dapat dilakukan manusia
dalam upaya mengubah kemungkinan takdir buruk.
Upaya tersebut perlu dilakukan sebab selaras dengan pemilihan
manusia sebagai khalifah24 Allah di muka bumi. Kekuasaan yang

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya …, 250.


23
24
Kata al-Khalifah artinya menggantikan orang sebelumnya, berasal
dari kata khalifa yang artinya menggantikan. Tugas seorang khalifah, sebagai
pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya
mengandung implikasi moral, karena kekuasaan dan kepemimpinan yang
dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar
hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan
menciptakan kesejahteraan hidup. Sebagai seorang pemimpin atau penguasa,
ia mempunyai wewenang untuk menentukan pilihan dan bebas untuk
menggunakan akalnya. Esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan
kreativitas. Sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan. Lihat,
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,
(Yogyakarta: LESFI, tt), 35-38. Lihat Juga, Mahfud Junaedi, Paradigma
Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenamedia Group), 231.

15
diberikan oleh Allah kepada manusia memungkinkannya
mendayagunakan apa yang ada di bumi untuk kepentingan hidupnya.
Aktivitas tersebut menunjukkan peran aktif manusia di muka bumi.
Setelah melakukan segenap daya dan upaya, pada akhirnya manusia
memiliki kesadaran akan adanya ketentuan Tuhan sebagai putusan
yang tidak dapat ditolak.
Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan Allah manusia akan
mengembangkan sikap tawakal.25 Tawakal bukan berarti sebuah
keputusasaan, melainkan tawakal lah yang akan membuat manusia
terbebas dari segala ketakutan kecuali pada Allah dan memberi
keyakinan bahwa hanya Allah yang menolong dan melindungi.
Disamping itu, tawakal bukan berarti tinggal diam dan tidak
melakukan apa-apa. Tawakal tentu didahului oleh ikhtiar secara
maksimal. Disamping itu, karena adanya iman kepada takdir yang
berbuah pada perilaku tawakal, seseorang akan memiliki keberanian
dalam melakukan hal yang sifatnya masih berupa angan dan harapan.
Dengan demikian, keimanan manusia terhadap takdir yang tidak
lain adalah untuk sebuah keteraturan akan menjadikan manusia
memiliki pribadi yang teratur dan disiplin. Selain itu, dengan
meyakini adanya ketentuan Allah manusia akan menjadi pribadi yang

25
Tawakal ialah membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain
Allah, dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada-Nya. Sebagaimana
dikatakan oleh al-Ghazali, bahwa tawakal berarti penyerahan diri kepada
Tuhan Yang Maha Pelindung. Karena segala sesuatu tidak keluar dari ilmu
dan kekuasaan-Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat membahayakan dan
tidak dapat memberi manfaat. Lihat, Imam Al-Ghazali, Muhtashar Ihya
Ulum al-Din, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), 290.

16
bersyukur menerima bagaimanapun hasil dari upaya yang telah
dilakukannya. Pikiran positif dalam bertawakal akan meminimalisir
kekecewaan manusia. Sebab setelah manusia berupaya dengan
keyakinan sebab akibat, pada akhirnya ketentuan akhir ada di tangan
Allah. Dia tidak pernah terlambat berpikir untuk makhluk-Nya.
Termasuk ketentuan yang diberikan kepada setiap makhluk-Nya, baik
maupun buruk menurut pandangan manusia, pada akhirnya pasti ada
ibrah yang dapat diambil.

E. Simpulan
Takdir (qadar) merupakan perwujudan dari ketetapan (qadha)
Allah dan sudah terjadi. Qadar sebagai ukuran dapat dipahami bahwa
ketetapan Allah adalah berdasarkan pada ukuran-Nya. Sedangkan
ukuran tersebut terdapat pada alam dan sesuai dengan kemampuan
atau usaha manusia. Jadi, takdir bukanlah alat berlindung dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia.
Takdir yang merupakan rukun iman memiliki fungsi dalam
memotivasi perilaku manusia. Takdir bukan lagi sebuah dogma yang
harus diyakini, melainkan sarana dalam menstimulus perilaku
manusia. Iman kepada takdir akan menjadikan manusia patuh pada
aturan, sebagaimana sifat takdir sendiri yang patuh akan ketentuan
Allah.
Disamping itu, melalui keyakinan akan adanya ketentuan dari
Allah akan menjadikan manusia berpikir positif serta bertawakal atas
setiap kejadian. Sedangkan tawakal adalah serangkaian proses dari

17
ikhtiar, sehingga tawakal bukan berarti pasrah tanpa mengusahakan
apapun. Sebagaimana takdir yang merupakan sebuah ukuran dari
Allah, manusia harus mencapai usaha maksimal untuk memilih takdir
baik sesuai dengan yang diinginkannya. Setelah usaha maksimal,
barulah manusia bertawakal atas keputusan Allah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abi al-Husayn, Ahmad bin Qaris ibn Zakaria. Mu’jam Maqayis al-
Lughah, Kairo: Ittihad al-Kitab al-Arab, 2002. Juz 5.

Al-Ghazali. Muhtashar Ihya Ulum al-Din. Jakarta: Pustaka Amani,


1995.

Anwar, Rosihon. Aqidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Asy’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.


Yogyakarta: LESFI, tt.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:


Penerbit Diponegoro, 2010.

Hadariansyah. Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam.


Banjarmasin: Antasari Press, 2008.

Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Harahap, Syahrin. Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Ibn Manzur, Muhammad ibn Karim. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-
Shadir, tt. Juz 5.

Mahfud Junaedi. Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:


Prenamedia Group, 2019.

Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 2013.

-------------------. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa


Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.

Rahman, Taufik. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

19
Rusydi. Sukses dengan Menguak Rahasia Qadha dan Qadar. Jakarta:
Bestai Buana Murni, 2005.

al-Qardhawi, Yusuf. Iman dan Kehidupan. Jakarta: Bulan Bintang,


1993.

as-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar


Ilmu Tauhid. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

20

Anda mungkin juga menyukai