Al Midi membagi dalil ke dalam dua kelompok, yaitu dalil shahih (wajib diamalkan)
dan sesuatu yang diperkirakan dalil shahih yang sebenarnya bukan dalil. Dalil shahih
terdiri dari al- Quran dan Sunnah yang disebut dalil nash dan bukan nash terdiri dari :
a. terpelihara dari kesalahan, yaitu ijma.
b. terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan dengan nash, yaitu qiyas
c. tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak dapat dihubungkan dengan nash, yaitu
istidlal.
Sesuatu yang diperkirakan dalil shahih sebenarnya bukan dalil, yaitu : syaru man
qablana, mazhab shahabi, istihsan, dan maslahah mursalah.
Jadi, dalil-dalil syara yang disepakati adalah al Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Hukum berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti memutuskan,
menetapkan, dan menyelesaikan. Sedangkan pengertian hukum menurut istilah
sederhana adalah seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat, disusun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Bila pengertian hukum tersebut dihubungkan dengan Islam atau syara maka Hukum
Islam berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama Islam. dari pengertian ini mengandung arti bahwa hukum Islam mengatur
tindak lahir manusia yang dikenakan hukum. Peraturan tersebut berlaku dan
mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan
Sunnah Rasul itu, yaitu umat Islam.
Jadi, yang dimaksud Sumber Hukum Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul yang
merupakan seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui
dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
b. Macam-Macam Sumber Hukum Islam
Para ulama sepakat bahwa, Sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu; al Quran, Sunnah,
dan al Rayu ( akal ).Landasannya adalah :
1.) Al Quran surat al Nisa (4) :59 yang artinyaHai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
1. Pengertian Al Quran
Secara etimologis al Quran adalah bentuk masdhar dari kata qa-ra-a ( ), sewazan
dengan kata fulan ( ) yang artinya bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis
padanya, atau melihat dan menelaah. Dalam pemgertian ini, berarti , yaitu isim maful
(ob- yek) dari . hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al Qiyamah (75) : 1718.
Quran juga sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam yang berarti juga keseluruhan apa
yang dimaksud dengan Quran (QS ( ) : 9). Al Quran juga disebut al Kitab dalam
surat al Baqarah ayat 2.
Definisi al Quran menurut beberapa tokoh :
1. Syaltut, al Quran adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir .
2. Al Syaukani, al Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir .
3. Abu Zahroh, al Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW .
4. Al Sarkhisi, al Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh
yang mashur dan dinukilkan secara mutawatir .
5. Al Midi, al Quran adalah al kitab adalah al Quran yang diturunkan .
6. Ibnu Subki, al Quran adalah lafaz yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, mengandung mujizat setiap suratnya, yang beribadah
membacanya .
Jadi definisi al Quran dapat disimpulkan sebagai lafaz berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir.
2. Otentisitas ( Keaslian ) al Quran
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang disebut al Quran dan termuat dalam
mushaf adalah otentik ( betul-betul dariAllah ). Hal ini dibuktikan dari kehati-hatian
para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu
pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaanny.
Selain itu, al Quran disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang
banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta ( mutawatir ). Oleh karena
itu, al Quran itu bersifat otentik sebagaimana firman Allah dalam surat al Hijr (15)
ayat 9, yang artinya sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al Quran dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya .
a. Bacaan ( Qiraat ) al Quran
Dari segi pembacaan ( qiraat ) al Quran, terdapat tujuh macam qiraat yang disepakati
kemutawatirannya. Itulah yang disebut qiraat yang tujuh ( qiraat sabah ), yaitu qiraat :
Ibnu Katsir (Mekah), Ibnu Amir (Syam), Nafi` (Madinah), Abu Amru (Bashroh),
`Ashim (Kufah), Hamzah (Kufah), al Kisai (Kufah).
Selain itu ada tiga qiraat lagi, yaitu Ibnu Ja`far,Ya`kub, dan Khalafa, tetapi tidak
disepakati kemutawatirannya oleh para ulama. Qiraat yang tidak mutawatirini disebut
qiraat syadzdzah atau ganjil, lain dari yang umum berlaku. Keganjilan qiraat
syadzdzah ini diantaranya karena adanya penambahan kata sebagai penjelasan
terhadap kata yang terletak di sampingnya atau pengubahan kata.
b. Kedudukan qira`at syadzdzah
1. Imam al Syafi`I berpendapat, tidak boleh menggunakan dalil untuk
menetapkan hukum dengan qiraat syadzdzah. Alasannya adalah periwayat
yang membawa pesan wahyu dari Nabi, bila ia hanya seorang dengan
mengatakan bahwa pesan yang ia bawa itu adalah al Quran mungkin salah
danjika tyidak disebutkannya bahwa pesan yang ia bawa adalah al Quran,
maka ia berada dalam keraguan antara apakah pesan itu khabar dari Nabi atau
pendapatnya sendiri. Karena itu tidak dapat dijadikan hujjah yang kuat.
2. Imam Abu Hanifah menerima qiraat syadzdzah sebagai sumber dalam
menetapkan hukum. Alasannya, meskipun periwayatannya tidak meyakinkan
sebagai ayat al Quran, namun setidaknya ia sama dengan hadits ahad,
sedangkan hadits ahad dapat dijadikan sumber dalam mengistimbathkan
hukum.
c. Basmalah dalam al Qur`an
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang basmalah ( ) dalam al Quran. Basmalah
terdapat dalam mushaf standar sebanyak 114. sekali dalam surat al Naml (27) : 30
dan 113 kali dalam permulaan setiap surat, kecuali surat al Taubah (9).
Basmalah adalah bagian dari al Qur`an karena terdapat dalam surat al Naml. Dalam
hal ini, sumber khabarnya bersifat mutawatir dan tidak terdapat perbedaan pendapat.
Paraulama beda pendapat mengenai basmalah yang terdapat di luar surat al Naml.
1. Imam Syafi`I berpendapat bahwa basmalah ini merupakan satu ayat dari surat
al Qur`an yang diawali oleh basmalah. Alasannya adalah :
i) Hadits riwayat Abdul Hamid yang artinya alhamdulillah atau surat al
fatihah terdiri dari 7 ayat, satu diantaranya adalah basmalah.
ii) Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari Umi Salamah bahwa
Rasulullah membaca basmalah pada awal surat al fatihah dan surat-surat
lainnya.
1. Imam Malik berpendapat ; basmalah di awal setiao surat bukan merupakan
ayat dalam al- Quran, juga bukan salah satu ayat dalam surat al fatitah atau
surat lainnya . Alasannya adalah umat Islam Madinah tidak membaca al
fatihah pada awal setiap surat dalam shalat yang mereka lakukan ( zaman
Nabi sampai masa Imam Malik ).
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya basmalah dalam al
Qur`anmenunjukkan bahwa ia bagioan dari al Qur`an, tetapi tidak
menunjukkan bahwa ia bagian dari surat al- Qur`an yang didahului basmalah
itu. Basmalah dalam al Qur`an adalah sebagai pemisah antara satu surat
dengan surat lainnya.
3. Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an
Fungsi turunnya al Qur`an :
1. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat manusia.
2. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya
untuk umat manusia.
3. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal haram, salah
benar, dan sebagainya.
4. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam
kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
) bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan semua manusia.5. Sebagai
berita gembira ( busyro
n ) terhadap sesuatu yang disampaikan Allah.i6. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau
yang menjelaskan ( mub
1. Secara juz`I (4):11-12) dan sanksi zina (al Nur( terperinci ), misalnya tentang
waris (al Nisa
(24):4).
( global ) atau garis besar yang masih membutuhkan penjelasan dari Nabi2. Secara
kulli
Muhammad SAW.
3. Secara isyarat, satu ayat al Qur`an dapat memberikan beberapa maksud.
Ayat al Qur`an dan juz`I penunjukannya terhadap hukum adalah pasti ( qath`I
dilalah ). Umumnya berlaku untuk bidang aqidah, ibadah pokok, dan norma yang
tidak akan mengalami perubahan ( mis; berbuat baik kepada ibu bapak ).
bihatAyat al Qur`an mutasya serta mengandung isyarat penunjukannya terhadap
hukumdan kulli ( tidak meyakinkan ). Ayat al Qur`an yang bersifatbersifat zhanni ini
umumnya berlaku untuk bidang muamalah dalam arti luas.zhanni
6. Hukum yang Terkandung dalam Al Qur`an
Secara garis besar hukum yang terkandung dalam al Qur`an dapat dibagi 3 macam :
Pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt mengenai apa
yang harus diyakini dan harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya ( hukum
diyah ) yang dikaji dalam ilmu tauhid atau ushuluddin.i`tiqa
Kedua, hukum yang mengatur pergaulan manusia( hukum khuluqiyah ) yang
kemudian dikembangkan dalam ilmu akhlak.
Ketiga, hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya
dalam hubungan dengan Allah Swt, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia,
dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau dijauhi ( hukum amaliyah )
yang dikembangkan dalam hukum syari`ah.
Hukum amaliyah tersebut secara garis besar dibagi dua :
1. Hukum ibadah dalam arti khusus, hukum yang mengatur tingkah laku dan
perbuatan lahiriah
manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt,seperti; shalat, puasa zakat, dan haji.
2. Hukum muamalah dalam arti umum, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku
lahiriah manusia dalam hubungannya dengan sesama dan alam sekitar, seperti; jual beli,
perkawinan,pembunuhan, dan lain-lain.
Dilihat dari segi pemberlakuannya, hukum muamalah terdiri dari beberapa macam,
yaitu:
a. Hukum muamalah dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama manusia yang menyangkut kebutuhan harta bagi keperluan hidup.
Contoh : jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya.
b. Hukum munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang
menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu sahwat secara sah dan yang
berkaitan dengan itu. Contoh : nikah, talak, cerai, dan pengasuhan anak yang
dilahirkan.
c. Hukum mawarits dan wasiat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama
manusia yang menyangkut kebutuhan perpindahan harta karena adanya
kematian.
d. Hukum jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama
manusia yang menyangkut kebutuhan usaha pencegahan terjadinya kejahatan;
harta, penyaluran sahwat, dan lain-lain serta sanksinya. Contoh; pencurian,
pembunuhan, perzinaan dan sebagainya.
e. Hukum murafa`at atau qadha atau hukum acara yaitu hukum yang mengatur
hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha penyelesaian
akibat tindak kejahatan di pengadilan. Contoh; kesaksian, gugatan, dan
pembuktian.
f. Hukum dusturiyah atau tata Negara yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama manusia yang menyangkut kebutuhan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara
g. Hukum dualiyah atau hukum hubungan internasional, yaitu hukum yang
mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan dengan
negara lain dalam keadaan damai maupun perang. Contoh; ekstradisi, perjanjian,
tawanan perang dan sebagainya.
itsba ` ).insya
e. Sunnah Berdaya Hukum
Dari segi boleh diikut atau ditinggalkannya suatu Sunnah, ulama membagi Sunnah ke
dalam dua kelompok :
1. atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untukSunah Tasyri diikuti.
Sunnah ini terdiri dari aqidah, akhlak, dan hukum-hukum amaliyah.
, yaitu Sunnah yang tidak berdaya hukum dan tidak mengikat untuk didikuti.2.
Sunnah bukan tasyri
). Menurut mayoritas ulama, khabar ahad dapat dijadikan dalil dalam beramal dan
penetapan hukum bila memenuhi syarat-syarat :
a. Pembawa berita orang Islam
b. Pembawa berita sudah mukallaf ( dewasa )
c. Pembawa berita daya ingatnya kuat
d. Pembawa berita mempunyai sifat adil dan jujur dalam penyampaian khabar yang
diterimanya.
Dari segi bersinambungnya sebuah khabar atau hadits dibagi menjadi dua tingkat :
Pertama, Muttasil Sanad, yaitu khabar yang periwayatannya bersinambungan dan
tidak ada rantai yang putus.
Kedua, Khabar Mursal, yaitu khabar yang garis periwayatannya ada yang terputus.
Ulama Syafi`i tidak menerima khabar mursal sebagai dalil, kecuali diperkuat oleh
salah satu diantara hal berikut :
1. diperkuat oleh khabar yang pembawa beritanya bersinambung.
2. sesuai dengan ucapan sebagian sahabat.
3. diperkuat khabar mursal yang lain yang telah diterima sebagai dalil sebelumnya.
4. secara nyata diterima oleh ahli ilmu dan kelompok yang mengemukakan fatwa
menge- nai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh hadits mursal tersebut.
C. Ra`yu ( Nalar ) sebagai Dalil Hukum
1. Pengertian
Ra`yu artinya melihat. Obyek yang dilihat bisa konkrit maupun abstrak. Yang
dimaksud ra`yu dalam pembahasan ini adalah memikirkan, hasil pemikiran atau rasio.
2. BatasPenggunaan Ra`yu
Ra`yu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu :
1. Dalam hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.
2. Dalam hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannnya terhadap hukum
tidak secara pasti.
3. Kekuatan Hukum Hasil Temuan Nalar
Hukum hasil ra`yu mujtahid kekuatannya bersifat relative ( zhani ). Karena tidak
dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itulah sebenarnya hukum Allah,
karena Allah tidak pernah menjelaskan demikian.
4. Penggunaan Ra`yu sebagai Dalil Hukum Fiqh
Bentuk penggunaan ra`yu diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, dibagi dua :
a. Penggunaan ra`yu secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum yang
ditetapkan didasarkan pada hal penalaran yang sama.
b. Penggunaan ra`yu secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapaioleh
seseorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa
yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama.
Dari dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau
terhindar dari kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`i
disebut juga ijma`.
2. Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau
Sunnah :
a. Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.
b. Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah
Yang terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah
ra`yu yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut
qiyas.
Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagi dalil yang kuat dalam penemuan hukum fiqh
dalam al Qur`an dan Sunnah yang tidak menjelaskan hukumnya secara pasti.
5. Metode Penentuan Hukum Menggunakan Ra`yu
a. Ijma`
1. Pengertian
Secara etimologi, ijma` mengandung dua arti :
1. Ijma` berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat
sesuatu.
2. Ijma` juga berarti sepakat.
Menurut istilah syar`i pengertian ijma` dirumuskan sebagai berikut :
a. Al Ghazali, ijma` yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas
sesuatu urusan agama
b. Al Midi, ijma` yaitu kesepakatan sejumlah ahlul halli wal `Aqd ( para ahli yang
kompeten dalam mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas
hukum suatu kasus. Atau kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada
suatu masa atas hukum suatu kasus.
c. Ulama Syi`ah, ijma` yaitu kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan
mereka dalam menetapkan hukum syara`.
d. Al Nazham, ijma` yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
e. Abdul Wahab Khallaf, ijma` yaitu consensus semua mujtahid muslim pada suatu
masa setelah Rasul wafat atassuatu hukum syara` mengenai suatu kasus.
Rukun ( unsur ) ijma`:
1. Terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatau masalah.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagi hasil dari usaha ijtihadnya.
2. Kedudukan Ijma` sebagai Dalil Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma` menempati salah satu dalil
hukum setelah al Qur`an dan Sunnah. Jadi, ijma` dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.
3. Pendapat Jumhur Ulama Tentang Pembatasa Ijma`
a. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma` ;jumhur ulama berpendapat bahwa
suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma`.
b. Ijma` sesudah masa sahabat ; ijma` tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja,
tetapi setiap masaijma` itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi
ketentuannya. Alasannya bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma`
tidak keluar dari al Qur`an, Sunnah, dan logika.
c. Kesepakatan mayoritas ; tidak sah ijma` bila hanya mayoritas ulama saja yang
bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
d. Kesepakatan ulama Madinah ; kesepakatan ulama Madinah saja tidak
merupakan kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan
mereka, sehingga kesepakatan ulama Madinah bukan ijma`.
e. Kesepakatan ahlu al bait ( keturunan Nabi Muhammad dari Fatimah dan Ali ) ;
kesepakatan mereka atas suatu hukum tidak dianggap ijma` yang mempunyai
kekuatan hukum terhadap orang lain.
f. Kesepakatan khulafaur rasyidin ; kesepakatan kholifah yang empat itu bukan
ijma` dan tidak dapat dijadikan hujjah menurut apa adanya. Alsannya adalah
terpelihara dari kesalahan dan dosa adalah kesepakatan menyeluruh bukan
kesepakatan terbatas. Dasarnya adalah sabda Nabi sahabat-sahabatku semua
laksana bintang bercahaya .
4. Pendapat Ulama Tentang Persyaratan Ijma`
a. Kuantitas anggota ijma`
Imam Haramain menetapkan kehujjahan ijma` melalui dalil `aqli. Ia berpendapat
bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksanya ijma` adalah jumlah yang
mencapai batas mutawatir, karena kehujjahan ijma` ditentukan terhindarnya dari
kesalahan.
Menurut al Midi dan ulama Hambali tidak mensyaratkan jumlah mutawatir untuk
terlaksanya ijma`, karena kehujjahan suatu ijma`ditentukan oleh dalil naqli bukan
dalil `aqli.
b. Berlalunya masa
Telah dijelaskan bahwa ijma` itu berlangsungberdasarkan kesepakatan ulamamujtahid
dalam suatu masa tertentu. Sebagian ulama menyatakan syahnya ijma` tidak perlu
mensyaratkan berlalunya masa.
Imam Ahmad Ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar Ibn Fauraq, dan sebagian kecil ulama
Syafi`iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma`
merupakan syarat untuk kekuatan hujjah suatu ijma`.
Jumhur ulama berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya peserta ijma`
bukan syarat kekuatan suatu ijma`, alasannya :
1. Dalil kehujjahan ijma` itu berasal dari al Qur`an dan Sunnah. Keduanya tidak
mewajibkan berlalunya masa.
2. Hakikat ijma` itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada
kesepakatannya itu.
3. Para tabi`in berhujjah dengan ijma` pada masa generasi sahabat masih ada.
4. Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma` akan menyebabkan
tidak terlaksananya ketentuan hasil ijma` secara mutlak, padahal ia ketentuan
yang mengikat.
Sebagian ulama merinci bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta
ijma` merupakan syarat untuk ijma` sukuti, sedangkan untuk ijma` sharih tidak
perlu persyaratan tersebut.
c. Sandaran ijma`
Yaitu dalil yang kuat dalam bentuknash al Qur`an dan Sunnah, baik langsung maupun
tidak.
1. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma` itu harus menunjuk pada
sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufik dari Allah SWT. Alasannya,
antara lain :
harus meyakinkan yaitu melalui khabar yang mutawatir supaya bersifat qath`i pada
asa hukumnya dan qath`i pada sanadnya ( materi hukumnya ) dan periwayatannya.
Ulama berbeda tentang periwayatan ijma`. Ada ulama yang mempersyaratkan dalil
asal harus qath`id an menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma`.
Ulama yang lain tidak mensyaratkan dalil asal harus qath`i, mereka berpendapat
bahwa ijma` yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.
9. Merngingkari Hasil Ijma`
Yaitu dengan sadar tidak melaksanakan hasil suatu ijma` dalam perbuatannya.
Pengingkaran ini dapat disebabkan oleh :
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma` sebagai salah satu dalil hukum yang
mengikat.
b. Ia secara prinsip mengakui ijma` sebagai hujjah syar`iyah, namun ia menolak ijma`
tertentu karena menurut keyakinannya penukilan ijma` itu tidak meyakinkan atau
ia tidak yakin telah terjadi ijma` tentang suatu masalah.
c. Ia memang menerima ijma` secara prinsip dan meyakini ima` telah berlangsung,
namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Para ulama menganggap kafir orang yangmengingkari ijma` yang qath`i. karena
berarti mengingkari al Qur`an dan Sunnah Nabi.
Muhamad Khudhari Bey berpendapat bahwa mengkafirkan orang yang mengingkari
ijma` tanpa melihat alasannya adalah tidak benar. Seseorang yang mengingkari cara
menetapkan hukum syara` tidak kafir. Tetapi seseorang yang mengakui sesuatu
sebagai hukum syara`, namun dengan sadar ia mengingkarinya, berarti mengingkari
syara`. ini berarti ia telah keluar dari hukum Islam.
b. Qiyas sebagai Metode Penggalian Hukum Syara`
1. Arti Qiyas
Secara etimologi qiyasberarti , artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan
yang semisalnya. Secara terminologi ( istilah hukum ) qiyas didefinisikan :
1. Al Ghazali, mendefinisikan qiyas menanggungkan ( menghubungkan ) sesuatu
yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya dalam penetapan atau peniadaan hukum .
2. Ibnu Subki qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui karena kesamaannya dalam `illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkan ( mujtahid ) .
3. Abu Hasan al Bashri qiyas adalah menghasilkan ( menetapkan ) hukum ashal
pada furu` karena keduanya sama dalam hal `illat hukum menurut mijtahid .
4. Abu Zahrah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash kepada perkara
lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam `illat hukum .
5. Al Midi ibarat dari kesamaan antara furu` dengan ashal dalam `illat yang
diistimbathkan dari hukum ashal .
Rukun ( unsur qiyas ) :
1. Hal yang telah ditetapkan hukumnya oleh pembuat hukum ( ashal atau maqis
`alaih atau musyabbah bihi ).
2. Hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara` ( maqis atau
furu` atau musyabbah ).
3. Hukum ashal, yaitu hukum yang disebutkan sendiri oleh syari`.
4. `Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu`.
2. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara`
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara`, Muhammad
Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok :
a. Kelompok jumhur ulama mnejadikan qiyas sebagai dalil syara`
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi`ah Imamiyah menolak penggunaan qiyas
secara mutlak. Zhahiriyah juga menolk penemuan `illat atas suatu hukum dan
menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya hukum syara`.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah, kadang-kadang
memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat al Qur`an dan Sunnah.
b. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas. Nabi berkata : bagaimana pendapatmu bila
bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya ? dijawab oleh penanya:
ya, memang Nabi berkata; hutang kepada Allah lebih patut untuk dibayar .
Kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara`
adalah:
1. Syi`ah Imamiyah, mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil
yang mereka gunakan agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal dan
Sunnah itu bila diqiyaskan akan merusak agama .
2. Al Nazham, mengatakan bahwa `illat yang tersebut dalam nash mewajibkan
adanya usaha menghubungkan hukum melalui lafaz yang umum, tidak
melalui qiyas.
3. Zhahiriyah yang pemimpinnya Abu Daud Khallaf, mereka tidak menggunakan
qiyas tetapi menggunakan kaidah umum lafaz nash. Contohnya, jumhur ulama
mengharamkan memukul orang tua karena diqiyaskan dengan haramnya
mengucapkan kata uf kepada orang tua. Keduanya mempunyai `illat yang
sama, yaitu menyakiti orang tua.
Zhahiri juga mengharamkan memukul orang tua tetapi tidak menggunakan qiyas.
Mereka menggunakan dalil umum perintah berbuat baik kepada orang tua dalam
firman Allah dan hadits Nabi, jadi haramnya memukul orang tua itu bukan karena
adanya larangan mengucapkan uf.
Selain itu Zhahiriyah juga mengemukakan beberapa dalil tentang larangan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas :
a. Qur`an surat al Maidah (5) ; 3 pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu dan telah Kucukupkan nikmatKu dan telah Kuridloi Islam sebagai
agamamu.
b. Tidak dibenarkan seseorang mengikuti tasyabuh dalam al Qur`an dan tidak
boleh mencari makna ayat yang mutasyabih. QS Ali Imran (3): 7 adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan ( suka pada yang
bathil ) maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan mencari-cari ta`wilnya.
c. Terdapat beberapa nash al Qur`an yang dengan jelas menolak penggunaan akal
dalam menetapkan hukum.
d. Hadits Nabi yang menyuruh orang beriman untuk meninggalkan apa-apa yang
telah ditinggalkan Allah dan Rasul ketika tidak adanya nash.
3. Syarat-Syarat Qiyas
a. Maqis `alaih ( tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya ) atau ashal atau mahal
hukum, syaratnya :
1. Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu
kepadanya baik secara nau`i atau syakhsi ( lingkungan yang sempit atau
maksud yang terbatas ) ( Utsman al Baththi ).
2. Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya `illat pada ashal maqis `alaih itu
( Basyir al- Marisi ).
Jumhur ulama menolak syarat di atas karena tidak ada dalil atau petunjuk yang
mempersyaratkannya.
b. Maqis atau Furu` ( sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal atau
sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain ), syaratnya;
1. `Illat yang terdapat pada furu` mempunyai kesamaan dengan `illat yang terdapat
pada ashal.
2. Harus ada kesamaan antara furu` itu dengan ashal dalam hal `illat, maupun
hukum ( ada kesamaan jenis `illat dan jenis hukum ).
3. Ketetapan pada furu` tidak menyalahi dalil qath`i ( termasuk khabar ahad ).
4. Tidak ada penentang ( hukum lain ) yang lebih kuat terhadap furu` dan `illat
qiyas itu.
5. Furu` itutidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
6. Furu` tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
c. Hukum ashal, syaratnya :
1. Hukum ashal itu bukan hukum syara`
2. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan ijma` atau qiyas.
3. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah
dinasakhkan.
4. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, misalnya alas an
hukumnya irasional dan hukum berlaku hanya untuk kasus tertentu.,
5. Hukum ashal itu harus disepakati ulama
6. Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau kepada
furu`.
d. `Illat, syaratnya :
1. `Illat harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksaan hukum dan dapat
dijadikan sebagai kaitan hukum.
2. `Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3. `Illat harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jela dan terbatas
sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
4. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang
akan menjadi `illat.
5. `Illat harus mempunyai daya rentang, maksudnya `illat ada di ashal dan di
tempat lain.
6. Tak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi
`illat.
1. Arti ` Illat
1. Ulama Syi`ah, `illat adalah pemberitahuan bagi hukum.
2. Ulama Hanafi, `illat itu pemberitahuan untuk adanya hukum, yang
menetapkan hukum-hukum nash , karena nash itulah yang menimbulkan
hukum.
3. Ulama Mu`tazilah, `illat adalah sesuatu yang dengan sendirinya
mempengaruhiterhadap hukum yang didasarkan pada manfaat dan mufsadat
( kamanfaatan dan perusak ).
1. Ibnu Subhi
Munasib yaitu sesuatu yang pantas atau sesuai menurut adat kebiasaan dengan
perbuatan orang-orang yang berakal.
1. Ulama
Munasib yaitu sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat bagi menusia dan
menghindarkan bencana dari manusia.
1. Abu Zaid Al-Dabbusi
Munasib itu ibarat yang bila diserahkan kepada akal maka akan mudah
diterimanya.
1. Al-Midi
Munasib yaitu ibarat dari suatu sifat yang jelas dan terukur, yang dari penetapan
hukum atas dasar sifat itu niscaya akan tercapai apa yang patut menjadi tujuan
ditetapkannya hukum tersebut.
Pembagian Munasib
Para ahli ushul fiqih membagi munasib dengan melihat dari 3 segi :
1. Dari segi tingkat pencapaian hukum, menurut Al Midi dan Ibnu Subki :
1. Tercapainya tujuan penetapan hukum secara menyakinkan. Contoh :
hukum jual beli tujuannya pemindahan kepemilikan barang.
2. Tercapainya tujuan penetapan hukum secara zhanni. Contoh : hukum
qishosh.
3. Tercapainya tujuan penetapan hukum kemungkinannya sama dengan
tidak tercapainya. Contoh : sanksi bagi para pemabuk.
4. Tercapainya tujuan penetapan hukum dalam kemungkinannya lebih
kecil. Contoh : hukum perkawinan tujuannya mendapat keturunan.
2. Munasib ditinjau dari segi penetapan hukum di atasnya.
1. Dharuri, yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan, atau kebutuhan akan
adanya mencapai batas dhoruri, karena kehidupan manusia tidak akan
tegak tanpa keberadanya.
Dhoruri yang perklu di tegakkan ada lima (Al dhoruri yatal khomsah) :
1. Memelihara agama (hifzh al-din) ; untuk itu perlu ditetapkan hukuman mati
terhadap orang murtad dan memerangi orang kafir.
2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum qishosh
terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak
3. Memelihara akal (hifzh al-`aqli) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum had
terhadap peminum minuman keras.
4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum had
dera dan rajam atas pelaku zina.
5. Memelihara harta (hifzh al-mal) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum potong
tangan terhadp pencuri dan had untuk perampok jalanan.
1.
1. Haji , yakni sesuatu yang diperlukan adanya tetapi tidak sampai pada
tingkat dhoruri. Haji ini juga menyangkut dharwiyat yang lima, tetapi
tidak secara langsung, contohnya belajar agama untuk mewujudkan
kehidupan beragama, melakukan jual beli digunakan untuk mencari
harta, menuntut ilmu untuk meluhurkan akal, makan untuk
terpeliharanya jiwa.
Pelanggaran terhadap larangan bersifat Haji jitidak seberat pelanggaran
terhadap yang bersifat dhoruri. Larangan terhadap Ha disebut ardhi,
sedangkan pelanggaran terhadap dhoruri disebut dzati.
1.
1. ,niTahsi yakni sesuatu yang sebaiknya dilakukan.
dalam hubungannya dengan jiwa, umpamanya memelihara diri dari tuduhan
palsu dan caci maki.niTahsi
Ibnu S dalam 2 bagian :niubki membagi tahsi
1.
1. niTahsi yang tidak melanggar kaidah, seperti pencabutan kalau yakin
jadi saksi bagi seorang hamba.
2. niTahsi yang melanggar kaidah, seperti hukum katabah yakni janji
untuk memerdekakan seorang hamba yang diberikan seorang tuan
dengan jalan menebusnya secara mencicil.
Yaitu menetapkan satu sifat diantara bebrapa sifat yang terdapat dalam ashal
untuk menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan
yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi
illat dengan yang lebih umum. Perbedaannya dengan Sabru wa Taqsin adalah
Tanqihul manath sifat-sifat yang diteliti sudah ada dalam nash, sedangkan sabru
wa taqsim belum ada sama sekali dalam nash.
1. Thard
Tard yaitu pernyataan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang
berarti
1. Syabah
Yaitu sifat yang memiliki kesamaan. Syabah terdiri dari dua bentuk, antara lain :
1.
1. Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan, yakni
menghubungkan furu dengan dua ashal namun kesamaan dengan
salah satu diantaranya lebih dominan.
2. Qiyas shuri, yakni mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan
bentuknya ; seperti mengqiyaskan kuda dengan keledai dalam hal
tidak dikenai zakat.
2. Dawran atau yang sirkular
Yaitu adanya hukum sewaktu bertemunya sifat tidak terdapat hukum sewaktu
tidak ditemukan sifat. Kebanyakan ulama menyetujui cara dawran itu dapat
menetapkan illat secara dzani karena adanya beberapa kemungkinan.
1. Ilghau al fariq
Yaitu adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat
kesamaannya. Umpamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu kasus
dibedakan, mamun dalam kasus lain (masalah ibadah disamakan).
5. Pebagian Qiyas
1. Pembagian qias dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu
dibandingkan menjadi illat yang terdapat pada ashal, yakni ;
1. Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu. Umpama,
4. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan
furu
1. Qiyas ikhalah, yakni qiyas yang illat hukumnya ditetapkan dengan
metode munasabah dan ikhalah
2. Qiyas Syabah, yakni qiyas yang illat ashalnya ditetapkan dengan
metode Syabah.
3. Qiyas Syabru, yakni qiyas yang illat ashalnya diteetapkan dengan
metode Sabru wa taqsim
4. Qiyas Thard, yakni qiyas yang illat ashalnya ditetapkan fdengan
metode tard.
C. ISTIHSAN
I.
Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencaari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena
ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meningalkannya. Dalil yang
terakhir disebut sandaran istihsan.
Pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian yang mula-mula
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash kemudian ditemukan nash lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan itu, pindah ke hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
I.
Macam-macam Istihsan
Dilihat dari segi pengertian istihsan diatas maka istihsan terbagi menjadi dua
macam, yaitu :
I.
1.
Pindah dari qiyas jali ke qiyas khafi, karena ada dalil yang
mengharuskan perpindahan itu. Contoh menurt madzhab Hanafi, jika
wakaf diqiyaskan kepada jual beli (qiyas Jali), maka tujuan wakaf
tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan
pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicarikan ashal yang lain,
yakni sewa-menyewa . kedua peristiwa itu ada persamaan illatnya
mengutamakan manfaat barang dan harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas
khafi. Karena ada suatu kepentingan, yakni tercapainya tujuan wakaf,
maka dilakukan perpindahan dari qiyas jali ke qiyas khafi.
2.
Pindah dari hukum kulli ke hukum juzi, karena adanya dalil yang
mengharuskan perpindahan itu. Istihsan semacam ini oleh madzhab
Hanafi dikatakan istihsan dharurat, karena penyimpangan itu
dilakukan karena suatu kepentingan dan karena darurat. Contoh,
Syara melarang jual beli dengan perjanjian barang yang belum ada
wujudnya, yakni yang disebut hukum kulli. Tetapi syara memberi
keringanan kepada pembalian barang secara kontan tetapi barangnya
akan dikirim kemudian. Pemberian keringanan ini merupakan
pengecualian dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juzi,
karena keadaan memerlukan dan telah menetapkan adat kebiasaan
dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Muchtar Kamal, dkk, Ushul Fiqh Jilid 1, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta : 1995 M
Muchtar Kamal, dkk, Ushul Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta : Syarifuddin Amir, Prof. DR. H., Ushul Fiqh Jilid 1, Logos, Jakarta : 2005 M
Memuat...
SITE MENU
Home
About
Kategori
o
Iman
Ibadah
Akidah
Akhlak
Kamus Istilah
Konsultasi
Mutiara Hikmah
Risalah Islam
Muamalah
Download
Al-Quran
Hadits Online
E-Book Islam
Sholat
o
Jadwal Sholat
Quran Online
SUMBER Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan
Ijtihad. Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.
Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan Hadits/As-Sunnah) langsung
dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (ijtihad)
merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad),
dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah (Q.S. 59:7).
Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh
dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan
Sunnah-ku. (HR. Hakim dan Daruquthni).
Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur
Rasyidin setelahku (H.R. Abu Daud).
Sunnah merupakan penafsir sekaligus juklak (petunjuk pelaksanaan) Al-Quran.
Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara
tentang ruku dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh
langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan Allahu
Akbar sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud,
hingga bacaan tahiyat dan salam.
Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya
menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya
tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu
itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.
Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718
M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174
M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di
Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta
Imam Syafii menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits.
Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari
(194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M)
dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat
Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits
yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang
kemudian diseleksinya.
Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi
haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu
Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam
Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan
Daruquthni.
3. Sumber Ajaran Islam: Ijtihad
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah
yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut
Mujtahid.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran
dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud)
yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Muadz bin
Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?
Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.
Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?
Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.
Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah
Rasulullah?
Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi rayi)
tanpa bimbang sedikit pun.
Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati
Rasulullah!
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi
Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang
sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?
Kamu punya Al-Quran!
Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan
petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat,
petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah
yang akan menjadi petunjuk kami?
Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!
Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang
tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan
dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?
Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang
dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan
rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!
Ijtihad adalah sarana ilmiah untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak
secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai
Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai
disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya
diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan
secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma atau kesepakatan.
Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).***
Referensi:
1. Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pustaka Bandung, 1978.
2. Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989
3. Zainab Al-Ghazali, Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta,
1995
4. H. Djarnawi Hadikukusam, Ijtihad, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor),
Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985
RINGKASAN MATERI
A. AL-QURAN
1. Pengertian Al-Quran
Menurut bahasa, Al-Quran berasal dari kata dasar Qara-Yaqrau, QiraatanWa quranan, yang artinya bacaan. Sedangkan meurut istilah, Al-Quran adalah
firman Allah swt. Yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf
dan disampaikan kepada manusia secara mutawatir yang diperintahkan untuk
mempelajarinya. Al-Quran tediri dari 114 surat dan 30 juz.
Ada dua cara turun Al Quran, pertama secara mujmal (30 juz sekaligus) yaitu
diturunkannya Al Quran dari Arsy ke Lauh Mahfudh, kedua secara bertahap
(Tadriij) sesuai dengan peristiwa / masalah yang dihadapi Nabi yaitu dari Lauh
Mahfudh ke dunia yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.
2. Kedudukan Al-Quran
Sebagai kitab suci, Al-Quran merupakan pedoman hidup kaum muslimin.
Sebab di dalamnya terkandung aturan da kaidah-kaidah kehidupan yang harus
dijalankan oleh umat manusia. Allah swt. Menetapkan Al-Quran sebagai sumber
pertama dan utama bagi hukum Islam. Sebagaimana firman-Nya :
(105)
Menurut bahasa, hadits artinya baru, dekat dan berita. Sedangkan menurut
istilah, hadits adalah perkataan (qaul), perbuatan (fiil) dan ketetapan (taqrir) Nabi
Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum. Hadits disebut juga Sunnah, yang
menurut bahasa artinya jalan yang terpuji atau cara yang dibiasakan. Menurut istilah,
sunnah sama dengan pengertian hadits, yaitu segala ucapan, perbuatan dan ketetapan
Nabi Muhammad saw. yang harus diterima sebagai ketentuan hukum oleh kaum
muslimin dan segala yang bertentangan dengannya harus ditolak.
2. Kedudukan Hadits
()
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)
3. Fungsi Hadits
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, Al-Hadits mempunyai beberapa
fungsi yang sangat penting bagi ditegakkannya hukum Islam, diantaranya sebagai
berikut :
a. Sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Quran/Bayan At Tauhid
b. Sebagai penjelas atas hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran. Dalam hal ini
tiga
fungsi yang diperankan Al Hadits adalah sebagai berikut :
-
Memberi batasan atas hukum-hukum dalam Al-Quran yang belum jelas batasannya.
c.
Islam kedua, berarti ia termasuk golongan ingkar Sunnah, golongan orang-orang yang
sesat. Sebab, hakikatnya ia juga mengingkari isi kandungan Al- Quran itu sendiri.
4. Macam-macam Hadits
a. Hadits Qauliyah
Muhammad saw.
b. Hadits Filiyah
Muhammad saw.
c. Hadits Taqririyah : hadits yang didasarkan pada persetujuan Nabi Muhammad saw.
terhadap apa yang dilakukan sahabatnya.
Selain itu dikenal hadits lain yang disebut Hadits Hammiyah yaitu hadits yang
berupa keinginan Rasulullah saw. yang belum terlaksana.
C. IJTIHAD
Al-Quran dan hadits tidak akan berubah dan mengalami penambahan isi bersama
dengan berakhirnya wahyu, sementara permasalahan dan problematika kehidupan
senantiasa muncul sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Untuk
menjawab permasalahan tersebut, Islam menggariskan ijtihad sebagai sumber hukum
yang ketiga.
1. Pengertian
a.
Menurut arti bahasa Ijtihad berarti : memeras pikiran/berusaha dengan giat dan
sungguh-sungguh, mencurahkan tenaga maksimal atau berusaha dengan giat dan
sungguh-sungguh.
b.
()
Artinya : "Maka ambilah (kejadian) itu menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan. (QS. Al Hasyr : 2)
Juga hadits Rasulullah saw. yang dikutip oleh Ibnu Umar berikut :
( ) ...
4. Metode-metode Ijtihad
Ada beberapa cara atau metode yang telah dirumuskan oleh para mujtahid dalam
melakukan ijtihad yang juga merupakan bentuk dari ijtihad itu sendiri, antara lain
adalah :
a. Ijma
Menggunakan bahasa Ijma berarti menghimpun, mengumpulkan dan
menyatukan pendapat. Menurut istilah ijma adalah kesepakatan para ulama tentang
hukum suatu masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain,
kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum suatu
maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Quran dan Al-Hadits dengan
cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain karena terdapat
kesamaan illat (alasan).
c. Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari
suatu hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk
menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum umum
(universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian/istitsna), karena
adanya alasan yang menurut pertimbangan logika menguatkannya. Contoh: menurut
istihsan sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak, rajawali
dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas
seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain yang haram dagingnya karena sisa
e. Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada dan telah diterapkan karena adanya
suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hokum tersebut.
Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya keragu-raguan, contoh
: orang yang telah berwudlu, lalu dia ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka
yang dipakai adalah dia tetap dalam keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap
sah. Seperti itu juga dalam hal menentukan suatu masalah yang hukum pokoknya
mubah (boleh), maka hukumnya tetap mubah sampai dating dalil yang mnegharuskan
meninggalkan hokum tersebut.
f.
g.
h. Syaru man qablana, yaitu berlakunya hukum-hukum syariat pada umat yang telah
diajarkan oleh para Nabi dan Rasul Allah terdahulu sebelum adanya syariat nabi
Muhammad SAW. Contoh ; berlakunya syariat Nabi Dawud, Nabi Musa dan NabiNabi lainnya yang disebutkan dalam Al Quran.
i.
Saddu az Zaraiyah, yaitu menutup jalan yang menuju kepada kesesatan atau
perbuatan terlarang. Contoh : berjudi haram, maka mempelajari cara-cara agar mahir
dalam berjudi juga dilarang, berzina itu dosa besar dan jelas dilarang, maka
melakukan hal-hal yang bisa mengarah kepada perzinaan juga dilarang (haram).
D. HUKUM TAKLIFI
1. Pengertian Hukum Taklifi
Menurut bahasa, makruh berarti tidak disenangi. Menurut istilah, makruh ialah
suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan tidak mendapat dosa dan apabila
ditinggalkan memperoleh pahala.
Tanamkan keyakinan bahwa hukum taklifi adalah hukum Allah swt. Yang harus
dijalankan oleh setiap umat muslim yang beriman, agar dalam menjalani
kehidupannya selalu dalam kedamaian dan kebahagiaan.
d. Pahami dengan benar pengertian dan kaidah-kaidah hukum taklifi,agar kita tidak
keliru atau salah mengamalkannya.
e. Niatkan ibadah karena Allah, agar dalam menerapkan hukum taklifi kita tidak keliru
atau salah mengamalkannya.
f.
Mulailah menerapkan hukum taklifi sekarang juga,dari yang paling rendah dan
mudah, misalnya menjalankan hukum yang wajib seperti shalat lima waktu, puasa di
bulan Ramadhan dan sebagainya. Baru setelah terbiasa, tingganlkan yang haram dan
laksanakan anjuran atau sunnah.
5. Hikmah Ibadah
-
Memahami bahwa dirinya adalah makhluk Allah swt. Yang mempunyai kewajiban
untuk beribadah, menyembah, mengabdi dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Memahami bahwa dirinya adalah pusat ala mini dan kehidupannya tidak hanya
menjadi pelengkap.
6. Hikmah shalat
Terhapus dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil kecuali dosa syirik.
Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Bagi orang yang
menjalankannya.
Mendidik jiwa agar senantiasa amanah, sebab puasa pada hakikatnya melaksanakan
amanah tidak makan dan minum.
Melatih kedisiplinan yang tinggi, sebab dalam puasa terdapat disiplin tidak makan
dan minum pada waktu yang telah ditentukan.
Meningkatkan kesehatan, sebab dalam tenggang waktu satu tahun organ pencerna
kita diberi istirahat beberapa hari ketika melaksanakan ibadah puasa wajib maupun
sunat.
*****
Latihan
A. Berilah tanda silang (x) pada salah satu huruf a, b, c, d atau e di depan jawaban
yang paling tepat!
1. Al-Quran terdiri dari
a. 30 surat & 114 juz
adalah
b. Al Hadits
c. Ijtihad
a. Al-Quran
c. Al Ijtihad
b. Al Hadits
d. Al-Ijma
a. wajib
e. Al Qiyas
c. qauliyah
b. kauniyah
d. taqririyah
b. sunat
c. makruh
d. wajib dan sunat
e. hukmiyyah
kelima
hukum
meninggalkannya adalah
a. mubah
yang
e. membenarkan Al-Quran
d. haram
a. mengerjakannya
mendapatkan hukum
b. meninggalkannya
d. membuat peraturan-peraturan
pemerintahan
e. memperdalam ilmu-ilmu tentang hukum
mengerjakannya
e. bebas memilih apa saja
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
2. Jelaskan pengertian Al-Quran!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
3. Sebutkan beberapa fungsi Al-Quran!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
4. Sebutkan beberapa fungsi Al Hadits!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
5. Sebutkan kedudukan Ijtihad dalam hukum Islam!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
6. Sebutkan macam-macam Ijtihad!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
7. Sebutkan macam-macam hukum taklifi!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
8. Sebutkan pengertian hukum taklifi!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
9. Sebutkan contoh-contoh perbuatan yang wajib dan sunah dalam hukum Islam!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
10. Jelaskan apa maksud dari shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar!
Jawab
: _____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
*****
Posted by mas atox at 01:07
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest