Anda di halaman 1dari 4

EMPAT PRINSIP BERSIKAP AHLUSUNNAH

Oleh M. Syarif M.Pd.I


Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Majapahit Mojokerto
Untuk kontak lebih lanjut buat bantuan dan konsultasi penulisan artikel
silahkan hubungi WA : 081357571515

Ahlussunnah dikenal sebagai madzhab yang moderat dalam beraqidah dan bersikap toleran dalam
hal hubungan hubungan sosial. Ini sebabnya mengapa Ahlussunnah menjadi madzhab populis yang
bisa diterima oleh semua kalangan. Ia sering menjadi agregator (pemersatu) bagi perselisihan
perselisihan yang timbul dalam masyarakat baik Muslim maupun Non Muslim karena sikapnya yang
tidak berat ke kiri atau ke kanan. Ia memiliki timbangan yang elastis dalam memutuskan perkara,
dengan tetap berpijak pada esensi pesan yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits
Rasulullah. Ahlussunnah tidak kaku dan selalu kontekstual. Empat prinsip utama
ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau biasa disebut dengan Aswaja itu yang selalu diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
.
Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim
kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT Surat Al Baqarah 143 :

ً‫ون الرَّ سُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدا‬


َ ‫اس َو َي ُك‬ ُ ‫َو َك َذل َِك َج َع ْل َنا ُك ْم أُم ًَّة َو َسطا ً لِّ َت ُكو ُنو ْا‬
ِ ‫ش َهدَاء َعلَى ال َّن‬
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar
kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya
Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-
Baqarah: 143).
.
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil
yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits).
Firman Allah SWT surat al-Hadid: 25 :

ِ‫ان لِ َيقُو َم ال َّناسُ ِب ْال ِقسْ ط‬ َ ‫اب َو ْالم‬


َ ‫ِيز‬ َ َ‫ت َوأ‬
َ ‫نز ْل َنا َم َع ُه ُم ْال ِك َت‬ ِ ‫لَ َق ْد أَرْ َس ْل َنا رُ ُسلَ َنا ِب ْال َب ِّي َنا‬

Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan
telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Prinsip ini mengindikasikan bahwa seorang Muslim harus mampu
bersikap tegas dengan berpegang kepada apa yang telah diajarkan Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Sikapnya tidak mudah diselewengkan oleh berbagai godaaan yang bersifat material
dalam menegakkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Terutama hal ini terkait dengan cara
dia mengambil keputusan. Prinsip inilah yang akan menjaga seorang Muslim dari menyelewengkana
mah apabila dia memegang suatu jabatan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam Al-
Qur'an Allah SWT berfirman dalm surat al-Maidah: 8 :

َّ‫ش َهدَاء ِب ْال ِقسْ طِ َوالَ َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنآنُ َق ْو ٍم َعلَى أَال‬ ِ ‫ِين ِ ه‬
ُ ‫لِل‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنو ْا ُكو ُنو ْا َقوَّ ام‬
َ ُ‫ّللا َخ ِبيرٌ ِب َما َتعْ َمل‬
‫ون‬ ‫َتعْ ِدلُو ْا اعْ ِدلُو ْا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َوى َوا َّتقُو ْا ه‬
َ ‫ّللاَ إِنَّ ه‬

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak
membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah
kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena
keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
.
Keempat, tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang
memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan
keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam
surat Thaha 44:

‫وال لَ ُه َق ْوالً لَّيِّنا ً لَّ َعلَّ ُه َي َت َذ َّكرُ أَ ْو َي ْخ َشى‬


َ ُ‫َفق‬

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan
kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
.
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar
berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika
menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS
kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah.
Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah".
Kontekstualitas pandangan Ahlussunnah dalam membuat keputusan mendapatkan contohnya
dari para shahabat terutama Sayyidina Umar Ibn Khattab. Beliau adalah shahabat yang banyak
melakukan ijtihad kontekstual yang jika dilihat sepintas, maka keputusannya tampak seperti keluar
dari ajaran al Qur'an.

Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan
kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim
paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah
pernah mengancam, “Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya,
malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini
lapar.”

Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak
diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong
tangan tuannya. . Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik
Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin
Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu
bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata
mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar
benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri
budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan.

.
Jika dilihat sepintas. keputusan Umar Ibn Khattab diatas seperti bertentangan dengan al Qur'an
Surat Al Maidah 38 :

َّ ‫َّللا َو‬
‫َّللاُ َع ِزي ٌز َحكِي ٌم‬ ِ َّ َ‫س َبا َن َكاال مِن‬
َ ‫ار َق ُة َفاق َط ُعوا أَي ِد َي ُه َما َج َزا ًء ِب َما َك‬
ِ ‫س‬َّ ‫ارقُ َوال‬
ِ ‫الس‬
َّ ‫َو‬

Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri maka potonglah tangan mereka sebagai
balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaandari Allah dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana/ (Al Maidah 38)
Tetapi, apa yang dilakukan oleh Umar adalah melihat konteks permasalahannya mengapa
seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum agama. Barulah kemudian beliau
membuat keputusan. BUkan semata mata berdalil dengan "Kembali Kepada Al Qur'an dan Hadits"
tanpa lebih dulu melihat latar belakang yang menjadi penyebab seseorang melakukan perbuatan
tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu kita harus melihat konteks atau
pre-kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yg disebut sebagai 'illat (sebab, rasio-logis
tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Jadi kalau pre-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu
tidak bisa dijalankan. Hal ini juga yang ditegaskan dalam Qaidah Fiqh :

‫الحكم يدور مع علته وجودا و عدما‬

"Hukum itu mengikuti sebab musababnya baik ada maupun tidak adanya (hukuman)"

Empat prinsip diatas disebut adalah Manhaj (metodologi) dan Miizan (Timbangan) bagi seorang
Muslim untuk bersikap, berprilaku, dan mengambil keputusan. Tidak ada sikap ekstrem yang
dilakukan seorang Muslim kecuali dia telah kehilangan kendali dalam akal pikirannya atas
timbangan yang seharusnya dia pegang. Yaitu sikap Tasaamuh, Tawazun, Tawassuth dan i'todal
sebagaimana dijelaskan diatas.

Semoga Allah melimpahkan kita dengan rahmat untuk menjadi Muslim yang menebarkan rahmat di
dunia dan bukannya seorang Muslim yang

Anda mungkin juga menyukai