Anda di halaman 1dari 17

TUGAS INDIVIDU

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :

KURNIAWAN YUNUS ARIYONO, M.Pd.I

DISUSUN OLEH / MANAJEMEN A2 :

LISA FITRIYA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI WIDYA GAMA LUMAJANG

2018
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, saya panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang “ Karakteristik Aqidah Islam ”.

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga saya dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu saya menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkonstribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Lumajang, 25 Oktober 2018

Maanajemen A2

Lisa Fitriya

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................................................ i

Daftar isi .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Aqidah Islam ............................................................. 2


2. Karakteristik aqidah islam .......................................................... 3
2.1. Pengertian Taufiqiyah .......................................................... 3
2.2. Pengertian Ghaibiyah ........................................................... 5
2.3. Pengertian Syamilah............................................................. 8
2.4. Pengertian Tauhidiyah ......................................................... 9
2.5. Pengertian Furqaniyah ......................................................... 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................... 13

Daftar Pustaka ......................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Segala sesuatu memiliki ciri khas sendiri yang membedakannya dengan yang
lain, termasuk dalam perkara iman dan keyakinan dalam beragama. Setiap
agama memiliki karakteristik ajaran yang diyakini dapat menyelamatkannya.
Kaum musyrikin mengekspresikan keyakinannya dalam hal yang semsetinya.
Orang-orang ateis mendewakan paham anti eksistensi Allah SWT. Kaum
sekuler mempertuhankan dikotomi dunia-akherat, Tuhan manusia. Begitupun
dengan kita yang menyatakan “Radlitu billahi Rabban, Wa bil islami dinan,
wa bi Muhammadinnabiyya wa rasula”, memegang teguh ajaran tauhid yang
di wujudkan dalam kehidupan nyata. Tidak mudah membahas karakteristik
ajaran islam, karena ruang lingkupnya sangat luas. Karakteristik yang
dimiliki islam, yakni karakteristik ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial,
ekonomi, politik, pekerjaan, dan disiplin ilmu. Karakteristik ajaran islam
adalah karakter yang harus dimiliki oleh umat muslim yang berdasarkan
dengan al qur’an dan hadits. Maka dari itu, perlu lah kiranya kita mengkaji
lebih dalam apa saja karakteristik aqidah islam.
1.2.Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud Taufiqiyah ?
2. Apa yang dimaksud Ghaibiyah ?
3. Apa yang dimaksud Syamilah ?
4. Apa yang dimaksud Tauhidiyah?
5. Apa yang dimaksud Furqaniyah ?
1.3.Tujuan
1. Agar mengetauhi pengertiaan Tauqifiyyah.
2. Agar mengetauhi pengertian Ghaibbiyah.
3. Agar mengetauhi pengertian Syamilah.
4. Agar mengetauhi pengertian Tauhidiyah.
5. Agar mengetauhi pengertian Furqaniyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Aqidah Islam

Secara etimilogis (lughatan), akidah berakar dari kata ‘aqadaya’qidu-


‘aqdan-‘aqidatan.‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh.
Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi antara arti
kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di
dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.

Sedangkan menurut istiah terminalogi `aqidah adalah iman yang teguh dan
pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya
Jadi, `Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti
kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat
kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya
kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimanai
seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama, perkara-
perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi Ijman' dari Salafush
Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun
secara amaliyah yang telah datetapkan menurut A!-Qur'an dan AsSunnah
yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.

2
2. Karakteristik aqidah islam

Karakteristik aqidah islam adalah kekhasan atau keistimewaan dari aqidah


islam itu sendiri.
Tentu banyak sekali karakteristik aqidah islam yang bisa dijelaskan.
Namun disini kita akan membahas lima karakteristik aqidah islam
daintaranya yang dinilai paling mendasar dan paling penting.
Berikut diantaranya :

2.1. Tauqifiyah
Aqidah tauqifiyah (ٌ‫ع ِق ْي َدةٌ ت َ ْوقِ ْي ِفيَّة‬
َ ), yakni bahwa dalam beraqidah dan
memahami aqidah Islam, kita wajib berhenti dan membatasi diri pada
batas-batas ketetapan wahyu : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih
saja. Oleh karenanya:
1. Kita tidak dibenarkan mengedepankan dan mendominankan peran
penalaran akal dan logika dalam beraqidah dan memahami aqidah
Islam. Karena sebagaimana yang telah ditegaskan di muka bahwa, pada
dasarnya aqidah Islam adalah ’aqidah ghaibiyah yang tidak terjangkau
oleh kemampuan akal dan logika manusia.
Sehingga tindakan takalluf(memaksakan diri) dengan mengedepankan
dan mendominankan peran logika di dalam masalah aqidah merupakan
tindakan bodoh yang merusak akal, membingungkan pikiran dan
menyesatkan jalan keimanan. Dan tindakan inilah yang telah terbukti
merupakan salah satu faktor penyebab kesesatan aqidah banyak firqah
sempalan sepanjang sejarah Islam, seperti Mu’tazilah dan lain-lain.
2. Diantara contoh penyimpangan akidah akibat sikap mengedepankan
dan mendominankan peran akal/logika, misalnya: pengingkaran
terhadap takdir, mengingkaran terhadap Al-Hadits atau As-Sunnah
sebagai sumber ajaran Islam (inkarus-sunnah), pengingkaran terhadap
sifat-sifat Allah, pengingkaran terhadap kekalnya Akherat,
pengingkaran terhadap mukjizat, pengingkaran terhadap karomah,

3
pengingkaran terhadap tanda-tanda kiamat seperti dajjal dan yakjuj wa
ma’juj, pengingkaran terhadap syetan, pengingkaran terhadap berbagai
fenomena campur tangan jin dalam kehidupan manusia, munculnya
berbagai isme akidah semisal liberalisme, sekularisme, pluralisme
agama, dan lain-lain.
3. Juga diantara bentuk sikap mengedepankan akal/logika dalam akidah
dan keimanan, yang tentu saja merupakan sebuah penyimpangan,
adalah ketika seorang muslim misalnya tidak langsung menerima
kandungan ayat yang telah disepakati tafsirnya oleh para ulama
Ahlussunnah Waljamaah, kecuali jika dirasa telah masuk dalam
pemahaman akal/logikanya. Sementara bila tidak, maka ia akan
mentakwilkannya dengan cara yang dinilainya sejalan dengan
akal/loginya, meskipun harus bertentangan dengan tafsir baku para
ulama Ahlussunnah Waljamaah sepanjang sejarah sekalipun.
4. Sebagaimana dalam bidang hadits, sikap kelompok rasionalis dalam
akidah dan keimanan ini, adalah menolak setiap hadits yang dinilai
bertentangan atau tidak selaras dengan pemahaman akal dan logika
mereka. Dan itu meskipun hadits tersebut dari riwayat Imam Al-
Bukhari dan Muslim sekalipun. Jadi mereka tidak menerima kaidah
baku para ulama hadits dalam hal penshahihan dan pendhaifan hadits
dengan syarat-syaratnya yang sangat ketat. Melainkan syarat
diterimanya hadits bagi mereka, adalah jika hadits tersebut bisa
diterima logika mereka atau dengan kata lain logis atau masuk akal bagi
mereka. Yang logis/masuk akal bisa diterima. Dan yang tidak
logis/tidak masuk akal ditolak.
5. Intinya, diantara bentuk penyimpangan akidah dalam konteks ini adalah
sikap menjadikan kepahaman akal dan pembuktian empiris sebagai
syarat keimanan terhadap setiap informasi dari ayat dan hadits shahih.
6. Maka, merupakan sebuah kewajiban syar’i (faridhah syar’iyyah) dan
keniscayaan ilmu (dharurah ’ilmiyyah) bagi kita semua untuk tetap dan
selalu berkomitmen menjadikan Al-Qur’an dan As Sunnah yang

4
shahih sebagai mashdar at-talaqqi, yakni sumber pertama dan utama
dalam pengambilan dan pemahaman aqidah Islam, dan juga seluruh
aspek ajaran Islam yang lain.
7. Namun itu semua bukan berarti kita tidak menggunakan akal dan logika
sama sekali. Tidak. Kita tetap harus menggunakannya. Namun kita
wajib membatasi peran akal dan logika di dalam bidang aqidah hanya
dalam batas-batas ketetapan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Dan yang perlu dipahami dan diyakini, ini bukanlah pemasungan
terhadap peran akal yang merupakan salah satu anugerah Allah yang
paling berharga. Namun sebaliknya ini justru merupakan sebuah
pemuliaan setinggi-tingginya bagi anugerah dan karunia istimewa
tersebut.

2.2. Ghaibiyah
Aqidah ghaibiyah (ٌ‫غ ْي ِبيَّة‬
َ ٌ‫ع ِق ْي َدة‬
َ ), yakni bahwa muatan dan esensi aqidah
Islam itu didominasi oleh keimanan kepada yang ghaib. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya): ”(Orang-orang muttaqinyaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS. Al-
Baqarah: 3). Dan ada beberapa catatan penting yang harus diketahui
tentang karakteristik ghaibiyah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan istilah ghaib dalam keimanan Islam disini
2. bukanlah ”ghaib” versi dunia dukun dan paranormal, yang dibatasi pada
keghaiban alam jin saja, dan hanya terkait dengan hal-hal yang selalu
berbau klenik dan mistik. Namun yang dimaksud adalah istilah ghaib
menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang meliputi semua yang ada di
balik alam nyata, yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan alami
indra manusia, dan bahkan tidak mampu dijangkau oleh penalaran akal
dan logikanya. Sebagaimana yang telah terangkum dalam prinsip-
prinsip dan rukun-rukun iman. Dan yang paling utama tentulah
keghaiban Allah ’Azza Wa Jalla dengan segala yang terkait dengan-

5
Nya sesuai ketentuan aqidah Islam, seperti tentang Dzat-Nya, Asmaa’
dan Shifat-Nya, dan lain-lain. Selanjutnya tentang keghaiban rukun-
rukun iman yang lain, seperti keghaiban alam malaikat (termasuk juga
keghaiban alam ruh dan jin), keghaiban taqdir Allah, keghaiban hari
akhir dengan segala rincian dan kronologinya, yang mencakup antara
lain: peristiwa-peristiwa dahsyat hari kiamat, alam barzakh, nikmat dan
adzab kubur, hari berbangkit, hari hisab, surga, neraka, kekekalan
kehidupan akherat, dan lain-lain. Dan bahkan tentang rukun iman
kepada kitab-kitab dan rasul-rasulpun, sebagian besarnya juga bersifat
ghaibi (penuh dengan keghaiban).
3. Secara kaidah, nilai dan manfaat iman di dalam konsep aqidah Islam,
adalah ketika iman itu masih bersifat ”iman bil ghaib” (iman kepada
yang ghaib). Namun ketika hal-hal ghaib yang wajib kita imani dalam
kehidupan dunia ini, atau sebagiannya, pada saatnya, sudah bukan
merupakan hal ghaib lagi bagi kita atau bagi sesorang, maka keimanan
yang baru terjadi saat itupun sudah tidak bernilai dan tidak bermanfaat
lagi, sebagaimana pintu tobatpun telah tertutup. Dan hal itu terjadi
misalnya pada saat sebagian tanda besar hari kiamat, seperti terbitnya
matahari dari barat, telah tiba. Begitu pula seperti dalam kondisi
seseorang yang sedang mengalami naza’ atau sakratul maut, karena saat
itu telah ditampakkan padanya sebagian keadaan alam ghaib, yang
semula tidak bisa dilihatnya, dan juga tidak bisa dilihat oleh orang-
orang hidup yang ada di sekelilingnya. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): ”Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan
malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau
kedatangan Tuhanmu atau kedatangan beberapa tanda Tuhanmu (tanda-
tanda besar hari kiamat). Pada hari datangnya sebagian tanda Tuhanmu
(tanda-tanda besar hari kiamat) itu, tidaklah bermanfaat lagi iman
seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau
dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah:
“Tunggulah olehmu, sesungguhnya kamipun menunggu (pula)” (QS.

6
Al-An’aam [6]: 158). Dan Allah berfirman tentang kematian Fir’aun
(yang artinya): ”…hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam,
berkatalah dia: “Saya beriman bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan
yang diimani oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang muslim
(yang berserah diri kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu
beriman), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Yunus [10]:
90-91; lihat juga QS. An-Nisaa’ [4]: 18, dan lain-lain). Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): ”Barangsiapa
yang bertobat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya (barat),
maka Allah akan menerima tobatnya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu). Dan beliau bersabda lagi (yang artinya):
”Sesungguhnya Allah ’Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba
selama belum sampai mengalami ghargharah (ruhnya belum sampai
tenggorokan, yakni belum sampai naza’ atau sakratul maut)” (HR. At-
Tirmidzi dari ’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma).
4. Kita sering mendengar tentang adanya kecenderungan sebagian
kalangan untuk bisa menyingkap atau disingkapkan baginya ”tabir
ghaib”. Sebagaimana ada orang-orang tertentu yang diyakini
masyarakat awam mampu menembus batas ”alam ghaib”. Ini dan
semua pemahaman, keyakinan serta kecenderungan semacam ini
hanyalah merupakan kesalahan, penyimpangan dan kesesatan belaka di
dalam konsep aqidah Islam. Karena yang ghaib itu akan tetap ghaib
bagi semua yang hidup di dunia ini sampai tiba saatnya dimana Allah
menjadikannya tidak ghaib lagi. Dan ini adalah kaidah baku, tentu
dengan pengecualian khusus yang sangat terbatas sekali terkait dengan
mukjizat nabi atau karamah wali sesuai.

7
2.3. Syamilah
Aqidah syamilah (ٌ‫َاملَة‬
ِ ‫ع ِق ْي َدةٌ ش‬
َ ), yakni aqidah yang lengkap, sempurna,
menyeluruh, komprehensif dan integral, yaitu aqidah dengan makna
yang:
1. Mencakup dan meliputi keseluruhan pokok-pokok, prinsip-prinsip dan
rukun-rukun keimanan dengan segala konskuensinya, sebagai satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, satu sama lain, atau satu dari
yang lainnya. Sehingga seandainya ada seorang muslim yang telah
menyatakan menerima dan mengimani semua isi dan konsekuensi
rukun-rukun iman tersebut, kecuali ada 1 % – nya saja misalnya atau
bahkan kurang dari itu, yang ia tolak dan tidak ia imani, dengan penuh
kepahaman, kesadaran dan kesengajaan, maka seluruh keimanannya
yang 99 % itu bisa menjadi sia-sia, tidak berguna dan tidak diterima,
karenanya. Sehingga dengan begitu ia tetap dihukumi dan disikapi
sebagai orang yang tidak atau belum beriman alias masih kafir! Jadi
iman yang diterima di dalam konsep aqidah Islam haruslah sempurna,
utuh dan penuh 100 %, tidak boleh kurang sedikitpun! Namun perlu
diketahui dan diingat bahwa, yang dimaksud iman yang harus sempurna
100 % disini hanyalah iman dalam aspek teoritisnya, dan bukan
termasuk aspek praktisnya!
2. Sesuai cakupan makna ibadah yang luas dan menyeluruh. Karena
ibadah merupakan esensi, ruh dan sekaligus implementasi aqidah Islam.
3. Men-shibghah (menentukan), men-taujih (mengarahkan) dan men-
takwin (membentuk) seluruh aspek kepribadian setiap individu mukmin
dan mukminah serta kehidupan masyarakat dan ummat Islam.
4. Mencakup dan meliputi seluruh bentuk dan sifat hubungan setiap
makhluk, khususnya manusia, dengan Allah Sang Khalik, dan
hubungan manusia dengan seluruh makhluk, serta hubungan antar
sesama makhluk seluruhnya.
5. Dan meliputi serta mencakup seluruh keadaan di alam kehidupan dunia,
alam kematian barzakh, dan alam kehidupan akhirat.

8
2.4. Tauhidiyah
Aqidah tauhidiyah (ٌ‫ع ِق ْي َدةٌ ت َ ْو ِح ْي ِديَّة‬
َ ), yakni aqidah ketauhidan kepada
Allah. Dimana esensi dan inti utama aqidah serta keimanan di dalam
ajaran Islam ialah sikap ketauhidan seorang mukmin dan mukminan
kepada Allah.
1. Kita dan semua orang yang beragama Islam dikenal sebagai umat
beriman. Akan tetapi bukan hanya kaum muslimin saja yang
menyandang gelar dan julukan kaum beriman itu. Melainkan seluruh
manusia yang beragama selain Islam-pun, khususnya dengan
agama samawi (agama yang bersumberkan wahyu dari langit), juga
disebut sebagai orang-orang beriman. Lalu, jika demikian,
apa dong beda antara keimanan kaum muslimin dan keimanan umat-
umat beragama lain? Tidak lain dan tidak bukan bedanya ada pada
makna dan prinsip ketauhidan tersebut di dalam keimanan.
2. Jadi memang benar para pemeluk agama lain yang juga meyakini dan
mengimani adanya Tuhan Allah dengan segala kemaha kuasaan-Nya,
juga dikenal dan disebut sebagai umat beriman. Namun keimanan
tersebut tidaklah murni, melainkan keimanan yang tercampur dengan
keimanan dan keyakinan kepada selain Allah. Dan itulah keimanan
syirik yang langsung merupakan kontra (lawan) dari keimanan tauhid
yang dimiliki oleh kita kaum muslimin. Sehingga keimanan itu, dengan
begitu, terbagi kepada dua macam yaitu: keimanan tauhid yang hanya
ada di dalam konsep aqidah Islam, dan keimanan syirik yang dimiliki
oleh para pemeluk agama selain Islam. Oleh karena itu, risalah atau
misi Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, dan juga
seluruh rasul ’alaihimussalam sebelum beliau, bukanlah sekadar
memperkenalkan kepada umat masing-masing akan adanya Tuhan
Yang Maha Pencipta, Maha Pemilik, Maha Pengatur, Maha Penguasa
dan Maha-Maha yang lainnya. Melainkan risalah suci dan misi pokok
mereka semua, adalah untuk mengajak kaum masing-masing kepada
keimanan yang mentauhidkan Allah Ta’ala, dengan kalimat tauhid yang

9
sakral dan lebih dikenal dengan nama kalimat tahlil: La ilaha illallah!
Jadi makna dan prinsip ketauhidan itulah yang merupakan
persimpangan jalan pembeda antara keimanan kaum muslimin dan
keimanan kaum beragama yang lain.
3. Betauhid dengan bukti ibadah hanya kepada Allah semata, merupakan
tujuan utama penciptaan jin dan manusia. “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”(QS
Adz-Dzariat [51] : 56; lihat juga: QS. Al-An’aam [6]: 162-163; Dan
lain-lain).
4. Membawa, menyampaikan dan memperjuangkan keimanan tauhid
khususnya dalam ibadah juga adalah risalah dan misi utama seluruh
nabi dan rasul ’alaihimus salam. ”Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut”, Maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)…” (QS An-
Nahl [16]: 36).
5. Oleh karena itu, kata-kata seruan dalam dakwah setiap rasul hampir
sama tentang tauhid ibadah, yakni dengan ungkapan: ”Ya
qaumi’budullaha, maa lakum min ilahin ghairuh” (”Hai kaumku,
beribadahlah kamu kepada Allah saja, tiada ilah (tuhan yang berhak
diibadahi secara benar) selain Dia”). Kata-kata itu diucapkan misalnya
oleh Nabi Nuh ’alaihissalam, Nabi Hud ’alaihissalam, Nabi
Shaleh ’alaihissalam, Nabi Syu’aib ’alaihissalam(QS. Al-A’raf [7]: 59,
65, 73 & 85; QS. Hud [11]: 50, 61 & 84; QS. [23]: 23; QS. Al-
’Ankabut [29]: 36), dan lain-lain.
6. Karenanya pula, sasaran utama permusuhan iblis, syetan dan kaum kafir
terhadap para rasul ’alaihimus salam dan kaum mukminin, adalah juga
tauhid dalam hal ibadah ini. Sehingga permusuhan dan peperangan

10
dengan beragam bentuk dan macamnya yang dilancarkan oleh kaum
musyrikin Quraisy dan yang lainnya terhadap Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam dan dakwahnya, bukanlah karena beliau membawa
risalah yang berisi ajakan mengimani dan mempercayai adanya Allah
Dzat Yang menciptakan, memiliki, menguasai dan mengatur alam ini.
Namun yang mereka benci, tolak dan musuhi adalah seruan dakwah
tauhid dengan bukti kewajiban ibadah hanya kepada Allah semata, dan
dengan kalimat ”sakti”-nya yang sangat mereka takuti, yaitu: La ilaha
illallah!
7. Jadi, sekali lagi, tauhid adalah persimpangan jalan utama antara
keimanan dan kekufuran. Yakni meskipun seseorang itu mungkin telah
memiliki keimanan dalam bentuk keyakinan akan adanya Allah sebagai
Tuhan Pencipta dan Penguasa, namun ia tetap dikategorikan kafir dan
musyrik, serta belum dimasukkan ke dalam golongan orang-orang
mukminin, sebelum ia beriman dengan keimanan tauhid, yang tiada lain
berupa kesiapan total untuk beribadah hanya kepada Allah satu-satu-
Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
8. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang musyrik
(yang artinya): ”Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka
(orang-orang musyrik): “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi
serta menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab:
“Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang
benar). Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi
sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah:
“Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya) (QS. Al-’Ankabuut [29]: 61-63;.
.

11
2.5. Furqaniyah
Aqidah furqaniyah (ٌ‫ع ِق ْي َدةٌ فُ ْر َقانِيَّة‬
َ ). Artinya ia merupakan aqidah
pembeda (furqan) secara jelas dan tegas antara kebenaran (al-haq) dan
kebatilan (al-bathil), antara keimanan dan kekufuran, antara ketauhidan
dan kesyirikan, antara keistiqamahan dan kesesatan, antara kesunnahan
dan kebid’ahan, antara ketaatan dan kemaksiatan, antara kebaikan dan
kejahatan, antara keadilan dan kedzaliman, dan seterusnya. Dimana
setiap mukmin/mukminah yang beraqidah Islam wajib senantiasa
memiliki kejelasan dan ketegasan, di satu sisi, dalam
sikap wala’ (mencintai, memihak, mendukung, menolong, membela,
memperjuangkan dan memenangkan) terhadap prinsip-prinsip
kebenaran, keimanan, ketauhidan, keistiqamahan, kesunnahan,
ketaatan, kebaikan, keadilan, dan semacamnya. Sebagaimana ia juga
wajib mempunyai kejelasan dan ketegasan yang sama, di sisi lain,
dalam sikap bara’ (membenci, mengingkari, menjauhi, memusuhi,
menentang dan mengalahkan) terhadap segala bentuk kebatilan,
kekufuran, kesyirikan, kesesatan, kebid’ahan (yang disepakati bukan
yang diperselisihkan), kemaksiatan, kejahatan, kedzaliman, dan
sejenisnya. Dan hal itu adalah karena sikap wala’ wal bara’ tersebut
memang merupakan esensi, substansi dan konsekuensi langsung dari
keimanan tauhid di dalam aqidah Islam. Oleh karena itu, tidak ada yang
namanya sikap netral di dalam konsep aqidah Islam. Sehingga berarti
pula, tidak ada yang namanya sikap netral itu bagi seorang mukmin dan
mukminah dalam seluruh aspek kehidupannya. Maka terhadap setiap
tema aqidah yang bersifat prinsipil, dan juga terhadap apapun serta
siapapun di dalam kehidupan ini, yang memiliki keterkaitan dengan
muatan nilai haq-batil, iman-kufur, tauhid-syirik, lurus-sesat, baik-jahat,
dan seterusnya, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin dan mukminah
untuk bersikap netral atau abu-abu tanpa keberpihakan yang jelas dan
tegas. Jadi ingat, aqidah Islam adalah aqidah furqan (pembeda) dan
aqidah wala’ wal bara’ secara jelas dan tegas sejak awal!

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Karakteristik aqidah islam
1. Taufiqiyah yakni bahwa dalam beraqidah dan memahami aqidah Islam,
kita wajib berhenti dan membatasi diri pada batas-batas ketetapan
wahyu : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih saja.
2. Ghaibiyah yakni bahwa muatan dan esensi aqidah Islam itu didominasi
oleh keimanan kepada yang ghaib.
3. Syamilah yakni kesempurnaan islam yang mencangkup semua secara
menyeluruh (lengkap).
4. Tauhidiyah yakni aqidah setauhidan kepada Allah.
5. Furqaniyah yakni aqidah pembeda (furqan) secara jelas dan tegas antara
kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-bathil), antara keimanan dan
kekufuran, antara ketauhidan dan kesyirikan, antara keistiqamahan dan
kesesatan, antara kesunnahan dan kebid’ahan, antara ketaatan dan
kemaksiatan, antara kebaikan dan kejahatan, antara keadilan dan
kedzaliman, dan seterusnya.

B. Saran
Dengan makalah yang saya buat, saya berharap dapat menambah wawasan
dan pengetauhan khususnya pada karakteristik aqidah islam yang meliputi:
taufiqiyah, ghaibiyah, syamilah, tauhidilah, furqaniyah.

13
Daftar Pustaka

 Philosphers Community: Karakteristik Akidah Islam-


http://philosopherscommunity.blogspot.com/2013/01/karakteristik-akidah-
islam.html
 Ustadz Mudzoffar, Karakteristik aqidah islam-
https://ustadzmudzoffar.wordpress.com/2017/03/16/karakteristik-aqidah-
islam/
 Pengertian Aqidah islamiya-pengertian lengkap-
http://pengertiankomplit.blogspot.com/2016/07/pengertian-aqidah-
islamiyah.html

14

Anda mungkin juga menyukai