Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TEOSOFI

ALIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teosofi

Dosen Pengampu:

Dr.H.Ahmad Barizi,M.A

KELOMPOK 3:

Arvin Mustika Dewi (200602110045)

Fittriyah Roudhotul Jannah (200602110046)

Dewi Muna Larasati (200602110047)

Indah Nur Sobach (200602110048)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020

Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144


Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-
Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang
syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Adapun penulisan makalah berjudul “Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah“ ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Teosofi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah mendukung serta membantu penyelesaian makalah. Harapannya, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat
dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.

Wassalamualaikum wr.wb

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul…………………………………………………...………………………….i
Kata Pengantar……………………………………………………………………………….ii
Daftar Isi………………………………………………………………...……………………..…iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………….…………………………………………...…..1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….…....2
1.3 Tujuan Pembahasan……………………………………………………………......2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Aliran Mu’tazilah………………………………...………………………………...3
2.1.1 Pengertian Aliran Mu’tazilah…………………….………………………3
2.1.2 Sejarah Aliran Mu’tazilah……………………………………………..…3
2.1.3 Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah……………………………………...….3
2.1.4 Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah………………………………………….3
2.2 Aliran Asy’ariyah…………………………………...……………………………...4
2.2.1 Pengertian Aliran Asy’ariyah …………………….……………………3
2.1.2 Sejarah Aliran M Asy’ariyah ………………………………………..…3
2.1.3 Ajaran Pokok Aliran Asy’ariyah …………………………………...….3
2.1.4 Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah ……………………………………….3

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan……………...…………………….…………………………….…….5
3.2 Saran……………………………………………...…………………………….…5

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….6

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah agama Islam, teologi Islam atau yang sering disebut sebagai kalam
muncul setelah Rasulullah wafat. Munculnya pengetahuan baru bernama kalam ini bermula dari
adanya perdebatan-perdebatan yang melibatkan umat Islam mengenai sejumlah persoalan
seperti dosa besar yang dilakukan manusia, hukuman yang pantas untuk didapatkan oleh orang
yang berdosa besar, hingga kemudian perdebatan itu merambah pada sifat-sifat Tuhan,
perbuatan manusia, akal, dan kebenaran wahyu yang diturunkan Tuhan. Perdebatan-perdebatan
tersebut kemudian memunculkan sejumlah aliran agama Islam dengan berlandaskan pada
doktrin-doktrin yang mereka buat untuk kemudian disebarluaskan. Seperti halnya aliran
Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah sebagai dua aliran yang saling bertolak belakang dalam
menanggapi permasalahan sifat-sifat Tuhan, perbuatan manusia, dan dosa besar yang dilakukan
manusia.
Aliran Mu’tazilah yang diprakarsai oleh seorang tokoh Islam bernama Washil bin Atha’
berpegang teguh pada doktrin ajaran mereka yang cukup fenomenal, yaitu orang mukmin yang
telah melakukan dosa bosar bukanlah dianggap sebagai orang kafir maupun mukmin,
melainkan fasik, yaitu orang yang berada di antara keduanya. Selain itu, aliran Mu’tazilah ini
juga terkenal sebagai salah satu aliran yang mengedepankan rasio atau akal dalam menyikapi
segala permasalahan dan memberi kedudukan akal di atas kalam wahyu yang diturunkan Allah.
Oleh karena aliran ini yang memiliki kemajuan berpikir yang pesat, mengakibatkan aliran ini
berkontribusi besar dalam pengembangan pemikiran Islam dan sempat mengalami kejayaan
pada masa Khalifah Al-Makmun.
Doktrin aliran Mu’tazilah yang begitu mengutamakan akal dan menomor duakan wahyu
Al-Quran, serta berpendapat tentang peniadaan sifat Tuhan, dan terlalu memberikan kebebasan
ruang pada akal manusia inilah yang kemudian membuat sebagian besar umat Islam merasa
bosan, merasa jauh dari kebenaran, dan ingin mencari sesuatu yang kiranya tidak menyimpang
dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, muncullah seorang tokoh Islam bernama
Abu Hasan Al-Asy’ari yang memutuskan keluar dari aliran Mu’tazilah tersebut untuk kemudian
mendirikan aliran baru dengan nama aliran Asy’ariyah yang mempunyai ajaran saling bertolak
belakang dengan aliran Mu’tazilah, terutama kembali memunculkan eksistensi Al-Quran
sebagai wahyu Allah, adanya sifat-sifat Allah, serta tentang keterlibatan dan kekuasaan Allah
dalam setiap perbuatan manusia.

1
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai sejarah, doktrin, serta tokoh
yang tergerak dalam aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah secara mendalam untuk kemudian
mengetahui perbedaan di antara keduanya serta mengambil pelajaran penting di dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah?
3. Apa saja ajaran pokok pada Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah?
4. Siapa saja tokoh-tokoh pada Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui pengertian dari Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah
2. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah
3. Untuk mengetahui ajaran pokok pada Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pada Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aliran Mu’tazilah


2.1.1 Pengertian Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah mu'tazilah berasal dari kata I'tazalah berarti terpisah atau memisahkan diri yang
juga mempunyai arti menjauh atau menjauhkan diri atau juga mengasingkan diri. Mu'tazilah
adalah salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis
islam, sedangkan arti dari teologi itu sendiri adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
tuhan. Aliran ini muncul di kota bashrah (Iraq) pada abad ke- 2 hijiriyah tahun 105-110 hijriyah
yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik. Pelopor dari aliran mu'tazilah adalah seorang penduduk Bashrah itu sendiri,
penduduk itu adalah mantan murid dari Al-hasan Al-bashri yang bernama washil bin atha' al-
makhzumi al-ghozzal.
2.1.2 Sejarah Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazalah yang berarti berpisah atau
memisahkan diri yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis istilah
Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu : a)Golongan pertama muncul sebagai respon
politik murni, golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah, Thalhah dan Abdullah bin Zubeir. Golongan inilah yang mula mula
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari masalah pertikaian khilafah.
Kelompok ini bersikap netral tanpa stigma teologi. b)Golongan kedua muncul sebagai respon
persoalan teologi yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa
Tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Murji’ah tentang pemberian status kafir terhadap pelaku dosa besar.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Washil bin Atha dan temannya Amr bin Ubaid dan Hasan Al Basri di Basrah. Ketika
Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al Basri di mesjid Basrah, datanglah
seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Barsi masih berpikir Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan: “
Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dn bukan pula kafir,
tetapi berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil
menjauhkan diri dari HasanAl Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di tempat
itu Washil mengulangi pendapatnya di hadapan pengikutnya.
3
Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al Basri berkata: “ Washil menjauhkan diri dari kita
(I’tazaala anna) maka dengan adanya peristiwa ini maka Washil dan kelompoknya dinamakan
kaum Mu’tazilah. Versi lain dikemukakan olehAl Baghdadi ia mengatakan bahwa Washil dan
temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan Al Basri dari majlisnya karena ada pertikaian
tentang masalah qadla dan orang yang berbuat dosa besar, lalu keduanya menjauhkan diri dari
Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak
pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan golongan Mu’tazilah. Versi lain
dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyebut bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu
hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahui bahwa majlis tersebut bukan majlis Hasan
Al Basri maka ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah.”Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan kaum Mu’tazilah. Al Mas’udi memberikan keterangan tentang
asal usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menghubungkannya dengan peristiwa antara Washil
dan Hasan Al Basri. Tetapi mereka diberi Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang
berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan
mukmin. Di samping keterangan keterangan ini ada teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dengan Hasan
Al Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi jika hal ini
digunakan untuk orang orang yang tidak mau ikut campur dengan peristiwa peristiwa yang
terjada pada masa Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Sofwan dan lain lain.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah mempunyai corak politik yang diawali dengan
peristiwa peristiwa khalifah yang dilanjutkan dengan persoalan persoalan teologi dan falsafat
ke dalam ajaran ajaran Mu’tazilah. Untuk mengetahui dengan jelas asal usul nama Mu’tazilah
ini memang sulit karena berbagai pendapat diungkapkan oleh para ahli tetapi belum adanya
kata sepakat antara mereka dari mana asal usul nama Mu’tazilah tersebut. Menurut hemat
penulis bahwa nama mu’tazilah itu muncul dari sikap orang orang pada masa itu. Tetapi yang
jelas bahwa golongan Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang mengedepankan akal sehingga
mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.” Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dibanding
dengan persoalan persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah.
2.1.3 Ajaran Pokok Aliran Muktazilah
1. Tauhid (keesaan Tuhan)
Sebenarnya dalam semua aliran, terdapat ajaran tauhid, namun karena kaum muktazilah
memiliki penjelasan yang lebih spesifik mengenai tauhid, akhirnya mereka dikenal sebagai
Ahli Tauhid. Ajaran tauhid menurut mereka adalah bahwa Tuhan itu Maha Suci dari segala
4
sesuatu yang mengurangi keesaan-Nya. Contohnya seperti sifat-sifat Allah yang seringkali
dilekatkan oleh orang-orang pada Allah. Kaum muktazilah menolak dengan tegas adanya sifat-
sifat Allah dan mengatakan bahwa yang dianggap orang-orang sebagai sifat Allah sebenarnya
adalah dzat Allah itu sendiri.
Abu Hudzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan, berkuasa
dengan kekuasaan dan kekuasaan itu adalah Tuhan.” Dengan demikian pengetahuan dan
kekuasaan Tuhan yaitu Dzat dan esensi Tuhan, bukan sifat yang menempel pada-Nya.1
Peniadaan dari sifat Tuhan inilah yang kemudian dikenal denan istilah Nafy Al-Sifah. Hal ini
disebabkan karena kalau misalnya Allah memiliki sifat-sifat yang dilekatan pada-Nya, berarti
sifat ini turut mengambil bagian dalam dzat-Nya. Sedangkan Allah itu qadim atau tidak
berbilang.
Namun, peniadaan sifat seperti yang diajarkan oleh kaum Muktazilah, bukan berarti Tuhan
tidak memiliki sifat sama sekali. Menurut mereka, sifat-sifat itu terdapat dua golongan, yaitu:
a. Sifat Dzhatiyah, yaitu sifat yang merupakan esensi Tuhan. Yang termasuk dalam golongan
ini seperti wujud, qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi,
wahdaniyah, qudrah, iradah, ilmu, hayat.
b. Sifat Fi’liyah, yaitu sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, seperti melihat, menciptakan,
memberi rizki, dan lain sebagainya.
Sifat yang dimaksud oleh kaum muktazilah sebagai esensi dari Dzat Tuhan adalah sifat
dzhatiyah, karena dengan sendirinya ia adalah qadim, bukan merupakan sifat yang dilekatkan
pada Tuhan. Sifat itulah yang sebenarnya sudah menjadi Dzat Tuhan. Sedangkan kalau sifat
fi’liyah, bukanlah qadim karena berhubungan langsung dengan makhluk Tuhan.
Melalui pemikiran itulah yang kemudian membuat kaum muktazilah berpendapat bahwa
kalam Allah adalah baru dan diciptakan. Kalam atau wahyu Allah terdiri dari suara, dan juga
bacaan yang dapat didengar, dibaca, dan dapat ditulis oleh manusia. Atas dasar inilah yang
kemudian kaum muktazilah menganggap bahwa Al-Quran adalah makhluk, karena merupakan
ciptaan dari Allah. Sedangkan setiap makhluk itu tidak kekal dan sudah pasti binasa.
Kaum muktazilah juga dengan tegas adanya anthropomorphisme, yaitu paham yang
menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Muktazilah dikenal sebagai pelopor tafsir
metaforis terhadap ayat-ayat Al-Quran. Mereka menganggap bahwa ayat yang memiliki kata
“melihat”, “tangan”, “wajah”, “bertempat tinggal”, dan ayat-ayat yang mengandung
anthropomorphisme lainnya ditafsirkan secara metaforis. Seperti “melihat” tidak berarti
penglihatan yang dilakukan secara fisik. Kata “tangan” bisa diartikan kekuasaan, kekuatan,

1
Hidayatullah, Nur Fallah. 2018. Jurnal Hasil Pembelajaran ilmu-ilmu kalam. Jurnal Ad-Dirasah, 1:1
5
atau nikmat, karena hal itu bisa didapatkan dengan tangan. Kata “wajah” bisa diartikan dengan
wujud. Dengan demikian, kaum muktazilah menolak terdapat penyamaan Tuhan dengan
makhluk yang memiliki anggota badan atau aktivitas yang serupa dengan makhluk. Karena
Tuhan merupakan dzat yang mukhalafatu lil hawaditsi. Tentu mereka tidak serta merta
berpendapat hanya dengan akalnya saja, namun juga mempunyai sumber yang memperkuat
pendapat mereka yaitu seperti dalam surat Asy-Syura ayat 11.
2. Al-Adlu (keadilan)
Kaum muktazilah menganggap bahwa Tuhan itu Maha Adil. Mereka memahami keadilan
Tuhan dalam bentuk pemberian balasan Tuhan terhadap perbuatan baik buruknya manusia
selama hidup di dunia. Tentu keadilan Tuhan itu dapat dilihat jika manusia diberi kebebasan
untuk melakukan perbuatannya. Kaum muktazilah berkeyakinan bahwa Tuhan tidak
berkehendak untuk ikut campur dengan perbuatan manusia. Memang Tuhan menyeru pada
setiap makhluk-Nya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Namun Tuhan
memberi kebebasan pada manusia untuk memilih berbuat baik dan buruk, yang kemudian
nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat sesuai dengan janji Allah, yaitu orang
yang melakukan perbuatan baik akan dimasukkan ke surga, dan neraka bagi yang berbuat
buruk. Oleh karena itu, Tuhan hanya menghendaki kebaikan, bukan keburukan. Manusia diberi
kebebasan untuk berbuat yang harus dipertanggung jawabkan. Inilah yang dimaksud keadilan
Tuhan menurut kaum muktazilah.
Ajaran keadilan berkaitan dengan:
a. Perbuatan manusia
Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia. Melainkan manusia itu sendiri yang
menciptakan dan melakukannya. Manusia bebas untuk melakukan perbuatan baik dan buruk,
namun harus dimintai pertanggung jawabannya di akhirat. Apakah dia akan dimasukkan ke
surga atau neraka. Konsep inilah yang merupakan konsekuensi logis dari keadilan Tuhan.
b. Berbuat baik dan terbaik
Menurut kaum muktazilah, Tuhan harus berbuat baik kepada manusia, karena Tuhan tidak
mungkin melakukan perbuatan buruk pada semua makhluk-Nya, dan tentunya hal tersebut
sesuatu yang tidak layak dimiliki Tuhan.
c. Mengutus Rasul
Tuhan wajib mengutus Rasul karena Tuhan harus berbuat baik pada manusia. Tuhan
memberikan belas kasih kepada manusia sesuai dengan yang tersebut dalam Al-Quran, oleh
karena itu Tuhan mengutus Rasul. Manusia diciptakan dengan tujuan utama beribadah pada
Tuhan. Oleh karena itu, untuk menyampaikan ajaran Islam maka Tuhan mengutus Rasul.

6
3. Wa’du Wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini berkaitan erat dengan ajaran yang kedua, yaitu keadilan Tuhan, bahwa Tuhan
berjanji akan memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan memberikan ancaman
berupa neraka bagi orang yang berbuat buruk. Orang yang telah berbuat jahat dan tidak bertobat
semasa hidupnya maka tidak akan ada ampunan Tuhan baginya. Selain itu, bagi kaum
muktazilah, tidak ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan wa’du wal wa’id (janji dan
ancaman).
4. Al-Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Prinsip ini menerangkan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar maka dia bukan
kafir, dan bukan mukmin. Namun dia dikatakan sebagai orang yang fasik. Fasik yaitu sebutan
bagi orang yang berada di antara kafir dan beriman. Tidak bisa dikatakan kafir karena orang
tersebut masih mempercayai Allah dan Rasul-Nya, dan tidak dikatakan beriman karena
imannya sudah tidak sempurna lagi. Prinsip inilah yang digunakan oleh Washil bin Atha’ dan
menyebabkan dia memisahkan diri dari gurunya (Hasan Al-Bashri), lalu mendirikan aliran
muktazilah beserta para pengikutnya.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan Melarang Berbuat Buruk)
Ajaran ini jelas menekankan pada perbuatan kebaikan, dan berkaitan erat dengan ajaran-
ajaran sebelumnya seperti keadilan Tuhan, wa’du wal wa’id, dan manzilah bainal manzilatain.
Ajaran ini merupakan konsekuensi logis yang membuktikan keimanan seseorang. Orang yang
beriman sudah pasti selalu menyeru pada kebaikan dan menjauhi keburukan. Aliran muktazilah
dan aliran lain sama-sama menggunakan ajaran ini. Perbedaannya terletak pada tata
pelaksanaannya. Kaum muktazilah berpendapat jika dakwah hanya dapat dilakukan melalui
penjelasan dan seruan saja, maka itu sudah cukup. Namun, bila perlu maka kaum muktazilah
tidak ragu-ragu untuk melakukan kekerasan untuk menyiarkan ajaran-ajaran mereka.

2.1.4 Tokoh-Tokoh Aliran Muktazilah


1. Washil bin Atha’ (80-131 H)
Beliau merupakan tokoh pertama sekaligus pendiri aliran muktazilah. Oleh karena itu,
Beliau diberi gelar kehormatan “Syeikh Al-Mu’tazilah wa Qadimuha (Pemimpin sekaligus
orang tertua dalam muktazilah).” Washil pada mulanya berguru kepada Abu Hasyim Abdullah
bin Muhammad Al-Hanafiyah, lalu menambah ilmu pengetahuannya di Mekkah dan mengenal
ajaran Syi’ah di Madinah. Kemudian Beliau pindah ke Bashrah untuk berguru pada Hasan Al-
Bashri .
Setelah memisahkan diri dengan Hasan Al-Bashri karena perbedaan pendapat, Washil
mendirikan aliran muktazilah yang memiliki pemikiran bahwa sumber pengetahuan yang
7
pertama adalah akal. Sedangkan wahyu berupa Al-Quran hanya berfungsi untuk mendukung
pemikiran yang sudah mereka buat. Dengan demikian, lahirnya aliran muktazilah ini yang
menimbulkan adanya aliran rasionalisme dalam Islam. Washil juga merupakan tokoh yang
mencetuskan tiga ajaran pokok muktazilah, yaitu manzilah bainal manzilatain, paham keadilan
Tuhan, dan paham peniadaan sifat-sifat Allah.
2. Abul Al-Huzail Al-Allaf (135-235 H)
Dalam namanya disebut kata Al-Allaf karena beliau lahir di salah satu kampung di Bashrah
yang menjual makanan binatang (allaf : makanan binatang). Beliau berguru pada Usman At-
Tawil (murid Washil bin Atha’). Beliau merupakan orang yang menyusun dasar faham
muktazilah yang disebut sebagai Ushulul Khamsah. Beliau memimpin aliran muktazilah di
Bashrah, dan mendirikan sekolah muktazilah pertama di sana. Dengan adanya sekolah ini,
pemikiran muktazilah dapat dikaji dan dikembangkan. Al-Allaf adalah orang yang dikenal
sebagai filosof Islam.
Al-Allaf banyak membaca dan mempelajari falsafah Yunani yang semakin
memudahkannya untuk memperluas ajarannya. Pengetahuannya di bidang logika yang
cemerlang, membuat ia menjadi ahli debat. Orang-orang yang berasal dari golongan zindiq
(orang yang pura-pura masuk Islam), orang majusi, orang zoroaster, dan orang atheis semua
dikalahkan oleh Al-Allaf dalam perdebatan dan mereka tidak mampu lagi untuk
membantahnya. Beliau pernah tercatat telah berhasil membuat 3000 orang masuk Islam. Pada
masanya, aliran muktazilah ini mencapai keemasannya pada masa pemerintahan Khalifah Al-
Makmun dengan menjadikan aliran ini sebagai ideologi negara, karena Khalifah Al-Makmun
sendiri pernah menjadi muridnya.
3. Bisyir Al-Mu’tamar (Wafat 226 H/840 M)
Beliau merupakan pemimpin ajaran muktazilah di Baghdad. Bisyir mempunyai ajaran
bahwa baginya anak kecil tidak dapat dimintai pertanggung jawaban karena dia belum
mukallaf. Kemudian untuk orang yang berbuat dosa, lalu bertobat dan berbuat dosa lagi, maka
dia akan mendapatkan siksaan ganda meskipun dia sudah bertobat atas dosanya yang dahulu.
4. Abu Ali Muhammad Ibn Ali Al-Jubba’I (230-303 H)
Beliau akrab dinamakan Al-Jubba’I karena lahir di daerah Jubbah pada tahun 230 H. Al-
Jubba’i merupakan ayah tiri sekaligus guru dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seorang tokoh
utama dari aliran Asy’Syar’i. Beliau mempunyai ajaran yang tidak jauh berbeda dengan para
tokoh muktazilah sebelumnya, seperti mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan
suatu persoalan teologis, dan peniadaan sifat-sifat Allah.
5. Ibrahim bin Sayyar bin An-Nazzham (185-231 H)

8
Beliau lebih dikenal dengan sebutan An-Nazzham. Beliau merupakan tokoh yang paling
muda dalam usaha perluasan aliran muktazilah. An-Nazzham merupakan murid dari Abul
Huzail Al-Allaf yang banyak bergaul dengan para filosof. Hal inilah yang membuatnya
mempunyai ketajaman berpikir yang luar biasa. Pendapatnya dalam aliran muktazilah banyak
yang mengalami perbedaan dengan tokoh-tokoh muktazilah lainnya, seperti pada saat Al-Allaf
berpendapat bahwa Tuhan itu mustahil berbuat zalim pada hamba-Nya, maka An-Nazzham
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Karena
menurutnya, orang yang melakukan kezaliman adalah orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Selain itu Beliau mempunyai pendapat mengenai kemukjizatan Al-Quran. Menurutnya,
kemukjizatan Al-Quran terletak pada isi kandungannya, bukan pada gaya bahasa dan balaghah
(retorika)nya. Selain itu, pendapatnya tentang kalam Allah adalah segala sesuatu yang tersusun
dari huruf yang dapat ditulis, dibaca, dan didengar sehingga kalam itu baru dan tidak qadim.

2.2 Aliran Asy’ariyah


2.2.1 Pengertian Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah merupakan salah satu aliran/paham akidah dalam Ilmu Kalam yang
dipelopori oleh Abdul Hasan Al-As’ari pada abad ke-3 Hijriah. Abdul Hasan Al-As’Ari
awalnya adalah pengikut Mu’tazilah, namun ia memutuskan untuk keluar dari aliran tersebut
dikarenakan ada perbedaan pendapat dengan gurunya. Nama kelompok Asy’Ariyah ini diambil
dari nama belakang Abdul Hasan al-Asy’ari yang merupakan pendiri kelompok ini. Imam
Asy’Ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang mengatakan jika Ahlu Hadist lah yang
benar, sedangkan Mu’tazilah adalah salah. Kemudian Imam Asy’Ari mengajarkan paham yang
berdasar pada teks wahyu disertai argumen rasional.Paham Asy’Ariyah ini menjadi cikal bakal
berdirinya paham Ahlusunnah Wal Jama’ah pada kurang lebih tahun 300 H, yang juga
merupakan usaha dari Abdul Hasan Al-Asy’Ari.

2.2.2 Sejarah Asy’ariyah

Pada masa Khalifah Al-Ma’mun aliran Mu’tazilah sedang dalam puncak-puncaknya,


apalagi setelah Al-Ma’mun menetapkan aliran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara. Seolah
mendapatkan kesempatan dari penetapan aliran oleh Al-Ma’mun, membuat kaum Mu’tazilah
memanfaatkan keadaan ini dengan untuk mempengaruhi masyarakat dengan paham-paham
yang diajarkan dalam aliran Mu’tazilah. Namun, banyak mayarakat yang menentang ajarannya,
dan berakhir dengan hukuman penjara.

9
Pada saat pemerintahan Al-Mutawakil, aliran Mu’tazilah dihapuskan dari aliran resmi
negara. Sejak dihapuskannya dari aliran resmi negara, pengaruh aliran Mu’tazilah mengalami
penurunan. Lawan-lawan dari Mu’tazilah bertambah banyak, terutama dari kalangan rakyat
yang tidak dapat menyelami ajaran-ajaran dari Mu’tazilah yang bersifat rasional. Rakyat biasa
menginginkan ajaran-ajaran yang sederhana, mudah dimengerti dan di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Kaum Mu’tazilah terlalu berpegang teguh pada pikiran-pikiran rasional,
dan kurang berpegang pada ajaran sunnah dan hadist. Mereka meragukan keaslian sunnah atau
hadist Nabi, sehingga mereka sering dikatakan sebagai golongan yang tidak berpegang teguh
pada ajaran sunnah dan hadist.

Dari permasalahan ajaran Mu’tazilah itulah merupakan cikal bakal terbentuknya


golongan Asy’Ariyah, yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’Ari. Abu Hasan al-Asy’Ari
keluar dari golongan Mu’tazilah pada tahun 300 H, dikarenakan adanya perbedaan pendapat
dan pemahaman hingga timbul perdebatan dengan gurunya yang bernama Al-Jubba’i. Ada
riwayat yang mengatakan bahwa Asy’Ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Pada
mimpinya Rasulullah mengatakan bahwa madzhab Ahli Sunnahlah yang benar, sedangkan
aliran Mu’tazilah adalah salah. Alasan inilah yang membuat Asy’Ari meragukan ajaran
Mu’tazilah, sehingga pada puncak keraguan di dalam dirinya, ia memilih untuk mengasingkan
diri di rumah selama 15 hari guna memikirkan kembali ajaran-ajaran Mu’tazilah, kemudian ia
pergi ke masjid Basrah dan mengatakan :

“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-
keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang
dimajukan dalam penelitian saya sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk
dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan
lama, dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku ini.
Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”.

Al-Asy’ari memutuskan untuk keluar dari ajaran Mu’tazilah karena merasa ragu, dan
tidak puas terhadap pendapat yang dipaparkan oleh Al-Jubba’i, sehingga terjadi perdebatan
antara Al-Asy’ari dengan Al-Jubba’i. Menurut al-Subki, salah satu persoalan yang menjadi
perdebatan di antara keduanya sebagai berikut :

Al- Asy’ ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak
kecil di akhirat ?
Al-Jubba’ i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk
neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
10
Al- Asy’ ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Jubba’ i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa
itu.
Al-Asy’ ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan : Itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’ i : Allah akan menjawab : ”Aku tahu jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu,
Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al- Asy’ ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku ?
Di sini al- Jubbai’i terpaksa diam.2

Selain itu, ia memiliki alasan lain yaitu karena adanya perpecahan di kalangan umat
Islam yang kemungkinan besar akan melemahkan mereka jika tidak segera diakhiri. Al-Asy’ari
khawatir jika umat Islam terlalu memandang rendah Al-Qur’an dan Hadist yang diakibatkan
karena adanya pengaruh ajaran Mu’tazilah, yang terlalu memuja dan mengedepankan akal
pikiran rasional. Al-Asy’ari juga mengkhawatirkan umat Islam yang hanya bepegang pada
bunyi nas-nas agama tanpa melihat makna yang terkandung di dalamnya, yang bisa saja
memungkinkan orang tersebut menjadi golongan textualist (Al-Hasywiah). Setelah keluar dari
golongan Mu’tazilah, Al-Asy’ari membentuk teologi baru yang sesuai dengan ajaran sunnah
dan hadist nabi. Aliran Asy’ariyah berkembang di Basrah (Irak) pada tahun 300 H.

Dalam konteks kapasitas Asy’ariyah sebagai Ahlusunnah wal Jama’ah, kurang tepat
jika dikatakan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah baru lahir pada masa Abu Hasan Al-Asy’ari,
karena ajaran tersebut sudah ada jauh sebelumnya, hanya saja baru dibentuk dan di munculkan
ajaran-ajarannya saat Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan membentuk Asy’ariyah.
Tasy Kubra Zadah menerangkan: “… dan aliran Ahl Sunnah wal Jama’ ah muncul atas
keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ ari disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun
260 H, dan menjadi pengikut Mu’ tazilah selama 40 tahun“.3Sebelum terbentuknya aliran Al-

2
Terjemahan bebas dari teks yang dikutip dalam Fi ’Ilm al-Kalam, hlm. 182
3
Miftah al-Sa’adah, II/37, sebagai dikutif di dalam Mustafa ’Abd al-Raziq, Tamhid liTarikh
al-Falsafah, al-Islamiah, (Kairo: tp., 1959), hlm. 289.
11
Asy’ari, kata-kata sunnah dan jamaah sudah dijumpai dalam tulisan-tulisan Arab. Seperti yang
tercantum pada surat Al-Ma’mun kepada Gubernurnya yang bernama Ishaq Ibn Ibrahim yang
ditulis pada tahun 218 H, tercantum kata wa nasu anfusahum ila al-sunnah (mereka
mempertalikan diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al-haq wa al-din wa al-jama’ ah
(ahli kebenaran, agama dan jama’ ah).4Meskipun begitu, dalam teologi Islam yang dimaksud
dengan Ahlusunnah wal Jama’ah adalah golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Seiring berjalannya waktu, aliran ini terus berkembang hingga mengalahkan aliran
Mu’tazilah. Ada beberapa faktor yang membuat ajaran-ajaran yang dipaparkan Al-Asy’ari
mampu mengalahkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, di antaranya:

a. Sejak masa pemerintahan Al-Mutawakil, aliran Mu’tazilah dihapuskan dari aliran


resmi negara, sehingga banyak orang yang meninggalkan aliran tersebut karena
merasa tidak ikhlas dalam menerima ajaran Mu’tazilah.
b. Banyak umat Islam yang sudah merasa bosan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah
mengenai perdebatan dan pertentangan tentang kedudukan Al-Qur’an.
c. Al-Asy’ari merupakan sosok ulama yang mahir dan memiliki kedalaman ilmu, ia
juga terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya di kalangan umat Islam.
d. Al-Asy’ari menjelaskan ajaran-ajarannya dengan jelas disertai dengan penerangan-
penerangan tentang ajarannya, sehingga banyak tokoh-tokoh masyarakat yang
tertarik dengan ajaran Al-Asy’ari dan membuat keudukan Asy’ariyah semakin kuat.
e. Pemerintahan Bani Buwaihi yang menganut paham Syi’ah digantikan oleh
pemerintahan Bani Saljuk Turki yang menganut paham Sunni. Bani Saljuk memiliki
seorang perdana menteri yang handal dan kuat yaitu Nizamul Mulk, yang
merupakan penyokong aliran Ahlusunnah. Nizamul Mulk mendirikan sekolah-
sekolah dan mengumpulkan guru-guru untuk mengajarkan paham Ahlusunnah,
sedangkan paham lainnya tidak diajarkan.

2.2.3 Ajaran Pokok Aliran Asy’ariyah


Pada zaman Imam Al-Asy’ari hidup terdapat tiga aliran besar dalam peta sejarah
pemikirian Islam. Pertama aliran salafiyah, kedua aliran filsuf Islam, ketiga aliran mu’tazilah.
Meskipun terdapat tiga aliran besar diatas, Imam Al-Asy’ari membuat corak pemikiran yang
berbeda. Imam al-asy’ari mencoba memadukan akal dan naqli dengan tetap berpedoman bahwa
akal harus tunduk pada nas.

4
Tarikh, VIII/639
12
Pada prinsipnya aliran ini tidak memberikan kebebasan sepenuhnya pada akal seperti
aliran mu’tazilah yang menempatkan akal diatas naql (teks agama,yaitu Al-Quran dan Hadis).
Tetapi mereka berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas dibanding dengan akal, dan akal
hanya sebagai pelayan bagi naql sehingga keduanya saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Dengan kata lain naql diibaratkan sebagai matahari yang bersinar sedangkan akal sebagai mata
yang sehat, maka dengan akal kita dapat meneguhkan naql dan membela agama.
Prinsip metode aliran Al-asy’ariyah, merupakan jalan tengah antara golongan yang
berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam menemukan dalil dan alasan,
aliran al-Asy’ariyyah ini menggunakan akal dan pikiran secara bersamaan. Mereka memercayai
dalil naqli kemudian mencari argumentasi aqli untuk menguatkan (akal pikiran dianggap
sebagai pelayan dan penguat arti lahir nas tersebut).
Berikut pokok-pokok pandangan Asy-A’riyah secara rinci:
1. Sifat Tuhan menurut paham Asy’ariyyah
Menurut paham asy’ariyyah ini, Tuhan memiliki sifat sebagaimana dalam al-quran dan al-
hadist, dan sifat tersebut sesuai dengan zatnya sendiri dan sama sekali tidak menyerupai
makhluk. Sifat tuhan tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk atau sifat makhluk tidak
dapat disamakan dengan sifat tuhan.
Sifat tuhan memang memiliki sifat yang sama dengan manusia, namun semua sifat itu harus
dipahami secara bila kayf tanpa dibayang-bayangi pertanyaan “bagaimana” dan bila tasybih
yaitu tanpa mencari perbandingannya5. Contoh Tuhan mendengar tapi tidak sebagaimana
makhluk mendengar.
2. Melihat Tuhan Menurut Paham Al-Asy’ariyyah
Paham ini berpendapat bahwa manusia mampu untuk melihat tuhan di akhirat, karena
sesuatu yang tidak dapat dilihat hanyalah sesuatu yang tidak berwujud, dan Tuhan itu
berwujud maka tuhan dapat dilihat6.
Asy’ariyyah memperkuat pendapatnya dengan ayat Al-Quran yaitu “Wajah-wajah ketika itu
berseri-seri memandang kepada tuhannya” (al-Qiyamah 22).
3. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Bagi Al-asy’ari tuhan tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan
kekuasaan yang mutlak. Tuhan bisa saja memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki atau sebaliknya. Sebenarnya Al-Asy’ari sepakat dengan mu’tazilah bahwa
tuhan itu maha adil, tetapi ia tidak sepakat bahwa tuhan harus adil. Mustahil Tuhan tidak

5
Abu al-Hasan al-Asyari, al-Ibanah…..,47
6
Ibnu Taimiyyah, Bayan Talbis al-Jahmiyyah fii Ta’sis Bida’ihim al-Kalamiyah (Makkah al-Mukarramah:
Matba’ah al-Hukumiyah, 1392), 344-350.
13
adil kata Al-Asy’ari sebab ketidak adilan itu berarti merampas hak orang lain akan tetapi di
alam semesta ini tidak ada yang bukan milik tuhan.
Berdasarkan prinsip kemahakuasaan tuhan, Al-Asy’ari berpendirian bahwa manusia tidak
memiliki kehendak dan daya untuk melakukan suatu pekerjaan. Apa yang dikerjakan
manusia merupakan kehendak dan ciptaan tuhan. Tidak ada seorang pun yang mampu
melakukan suatu perbuatan sebelum perbuatan itu dikehendaki dan diciptakan oleh tuhan
(Al-Asy’ari,tt: 9).
4. Konsep Tentang Iman
Aliran ini berpendapat bahwa iman itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya
bisa bertambah dan berkurang. Amal itu penting bagi pembinaan kualitas iman seseorang
dan iman itu akan mencapai kesempurnaan apabila didukung dengan amal shalih. Akan
tetapi ketika dihadapkan pada persoalan pendosa besar, seperti para perilaku zina, pencuri
dan peminum arak paham ini berpendapat mereka tidak dapat dikatakan kafir, selama masih
berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang diharamkan.
Kesimpulannya iman merupakan perbuatan hati jadi selama dalam diri seseorang masih
terdapat kepercayaan maka masih dapat disebut sebagai mukmin, walaupun perbuatannya
tidak sesuai dengan keimanannya.
Konsep keimanan asy’ari yang seperti ini mengikuti alur pemikiran sunni, dimana keimanan
seseorang tidak bisa dilepaskan begitu saja, karena perdebatan tentang kriteia mukmin-kafir
adalah Firqoh al-waqifiyah yang mempertanyakan apa hak kita mengurusi seseorang sampai
sejauh menilaiseseorang itu mukmin apa kafir? Kita harus berhenti pada urusan yang bersifat
lahiriyah saja, selebihnya kita serahkan pada Allah.
5. Al-Quran sebagai Kalam Allah SWT
Pandangan ini merupakan reaksi dari teologi mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran
diciptakan Allah dan karena itu Al-Quran dikatakan sebagai “makhluk”. Al-asy’ari
mengecam golongan yang menganggap Al-Quran sebagai ucapan manusia (In Huwa Illa
Qoul Basyar) dan mengkafirkan golongan yang menganggap bahwa Al-Quran itu adalah
makhluk.
Al-Asy’ari meyakini bahwa Al-Quran adalah kalam illahi yang bersifat qadim. Asy’ari
berpendapat bahwa kalam adalah sesuatu yang bertempat pada diri mutakallim. Kalam
dalam pengertian ini berarti bukan huruf atau suara, melainkan kata yang berada dalam diri.
Kalam ini diisitilahkan dengan kalam nafsi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan kalam illahi diatas adalah, yang pertama,
asy’ari menolak huruf-huruf yang terdapat dalam mushaf disebut kalam illahi yang qadim.
Mereka berpendapat mushaf dan segala perangkatnya bersifat hadis. Yang dimaksud kalam
14
illahi yang bersifat qadim adalah dalam pengertian kalam nafsi. Kedua pendekatan rasional
al-asy’ari dalam mendukung pendapat ulama-ulama salaf tidak akan terhindar dari benturan-
benturan dengan pendapat ulamak salaf itu sendiri. Ketiga asy’ari memunculkan
terminology baru yang disebut kalam nafsi. Maksutnya hal-hal yang jelas bersifat hadis dan
kalam illahi itu sendiri bersifat qadim.

2.2.4 Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah


Adapun tokoh-tokoh teologi Asy’ariyah antara lain:Al-Baqillani, Al-Juwainy, Al-
Ghazali, Al-Sanusy
1. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja’far bin al-
Qasim. Hasil karya beliau antara lain: kitab al-thabsirah, daqaiq alhaqaiq,at-tamhid fi
Ushul fiqih, Syarh al-ibanah, dan lain-lain. Al-Qadhiy Ayyadh menyebutkan bahwa
karya al-Baqillani ada 99 kitab dalam masalah teologi, ushul fiqih dan ijaz al-Quran tapi
yang ada sampai saat ini hanya sebagian kecil (Shubhiy, 1992).
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazilah
sebagai dasar penetapan kekuasaan tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang
mungkin artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti hal nya aradh dan menurutnya tiap-
tiap aradh mempunyai lawan aradh pula.
2. Al-Juwainy
Al-Juwaini membagi sifat tuhan menjadi dua bagian yaitu:
- Sifat Nafsiyah yaitu sifat yang ada pada zat tuhan tanpa illat
- Sifat Ma’nawiyah yaitu sebagai kelanjutan sifat nafsiyah
Menurut al-juwaini sifat-sifat tuhan merupakan zat yang tidak dapat diketahui kecuali
dengan melalui alam yang dapat kita saksikan. Beliau memgemukaan 4 soal mengenai
alam tersebut yakni,
1. Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat sebab seseorang dikatakan
“mengetahui”
2. Syarat: sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui.
3. Hakikat: hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
4. Akal pikiran: seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.
3. Al-Ghazali
Beliau menggunakan metode logika Aristoteles dan beliau adalah orang pertama yang
menggunakannya. Metode ini beliau gunakan dalam penulisan buku-bukunya yang
membahas tentang penentangan aliran batin, keruntuhan filosof-filosof dll
15
4. Al-Sanusy
Karya-karyanya banyak membawa pengaruh di aliran asy’ariyah sehingga banyak yang
memberikan ulasan kitab-kitab tersebut. Ulama marroco menganggap beliau sebagai
pembangun Islam karena jasa dan karyanya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abu Hasan. 1409. Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah. Madinah Munawarah: Markaz
Syu’un al-Da’wah.
Taimiyyah, Ibnu. 1392 H. Bayyan Talbis al-Jahmiyyah fii Ta’sis Bida’ihim al-Kalamiyah.
Makkah: Matba’ah al-Hukumiyah.
Susanti, Eri. 2012. Aliran-aliran dalam Pemikiran Kalam. Volume (1.1) : 23-42
Hatta, Mawardi. 2012. Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Volume
(12.1) : 87-104

17
18

Anda mungkin juga menyukai