Dosen Pengampu:
Dr.H.Ahmad Barizi,M.A
KELOMPOK 3:
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-
Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang
syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Adapun penulisan makalah berjudul “Aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah“ ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Teosofi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah mendukung serta membantu penyelesaian makalah. Harapannya, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air.
Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat
dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.
Wassalamualaikum wr.wb
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul…………………………………………………...………………………….i
Kata Pengantar……………………………………………………………………………….ii
Daftar Isi………………………………………………………………...……………………..…iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………….…………………………………………...…..1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….…....2
1.3 Tujuan Pembahasan……………………………………………………………......2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Aliran Mu’tazilah………………………………...………………………………...3
2.1.1 Pengertian Aliran Mu’tazilah…………………….………………………3
2.1.2 Sejarah Aliran Mu’tazilah……………………………………………..…3
2.1.3 Ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah……………………………………...….3
2.1.4 Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah………………………………………….3
2.2 Aliran Asy’ariyah…………………………………...……………………………...4
2.2.1 Pengertian Aliran Asy’ariyah …………………….……………………3
2.1.2 Sejarah Aliran M Asy’ariyah ………………………………………..…3
2.1.3 Ajaran Pokok Aliran Asy’ariyah …………………………………...….3
2.1.4 Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah ……………………………………….3
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….6
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai sejarah, doktrin, serta tokoh
yang tergerak dalam aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah secara mendalam untuk kemudian
mengetahui perbedaan di antara keduanya serta mengambil pelajaran penting di dalamnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hidayatullah, Nur Fallah. 2018. Jurnal Hasil Pembelajaran ilmu-ilmu kalam. Jurnal Ad-Dirasah, 1:1
5
atau nikmat, karena hal itu bisa didapatkan dengan tangan. Kata “wajah” bisa diartikan dengan
wujud. Dengan demikian, kaum muktazilah menolak terdapat penyamaan Tuhan dengan
makhluk yang memiliki anggota badan atau aktivitas yang serupa dengan makhluk. Karena
Tuhan merupakan dzat yang mukhalafatu lil hawaditsi. Tentu mereka tidak serta merta
berpendapat hanya dengan akalnya saja, namun juga mempunyai sumber yang memperkuat
pendapat mereka yaitu seperti dalam surat Asy-Syura ayat 11.
2. Al-Adlu (keadilan)
Kaum muktazilah menganggap bahwa Tuhan itu Maha Adil. Mereka memahami keadilan
Tuhan dalam bentuk pemberian balasan Tuhan terhadap perbuatan baik buruknya manusia
selama hidup di dunia. Tentu keadilan Tuhan itu dapat dilihat jika manusia diberi kebebasan
untuk melakukan perbuatannya. Kaum muktazilah berkeyakinan bahwa Tuhan tidak
berkehendak untuk ikut campur dengan perbuatan manusia. Memang Tuhan menyeru pada
setiap makhluk-Nya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Namun Tuhan
memberi kebebasan pada manusia untuk memilih berbuat baik dan buruk, yang kemudian
nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat sesuai dengan janji Allah, yaitu orang
yang melakukan perbuatan baik akan dimasukkan ke surga, dan neraka bagi yang berbuat
buruk. Oleh karena itu, Tuhan hanya menghendaki kebaikan, bukan keburukan. Manusia diberi
kebebasan untuk berbuat yang harus dipertanggung jawabkan. Inilah yang dimaksud keadilan
Tuhan menurut kaum muktazilah.
Ajaran keadilan berkaitan dengan:
a. Perbuatan manusia
Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia. Melainkan manusia itu sendiri yang
menciptakan dan melakukannya. Manusia bebas untuk melakukan perbuatan baik dan buruk,
namun harus dimintai pertanggung jawabannya di akhirat. Apakah dia akan dimasukkan ke
surga atau neraka. Konsep inilah yang merupakan konsekuensi logis dari keadilan Tuhan.
b. Berbuat baik dan terbaik
Menurut kaum muktazilah, Tuhan harus berbuat baik kepada manusia, karena Tuhan tidak
mungkin melakukan perbuatan buruk pada semua makhluk-Nya, dan tentunya hal tersebut
sesuatu yang tidak layak dimiliki Tuhan.
c. Mengutus Rasul
Tuhan wajib mengutus Rasul karena Tuhan harus berbuat baik pada manusia. Tuhan
memberikan belas kasih kepada manusia sesuai dengan yang tersebut dalam Al-Quran, oleh
karena itu Tuhan mengutus Rasul. Manusia diciptakan dengan tujuan utama beribadah pada
Tuhan. Oleh karena itu, untuk menyampaikan ajaran Islam maka Tuhan mengutus Rasul.
6
3. Wa’du Wal Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini berkaitan erat dengan ajaran yang kedua, yaitu keadilan Tuhan, bahwa Tuhan
berjanji akan memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan memberikan ancaman
berupa neraka bagi orang yang berbuat buruk. Orang yang telah berbuat jahat dan tidak bertobat
semasa hidupnya maka tidak akan ada ampunan Tuhan baginya. Selain itu, bagi kaum
muktazilah, tidak ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan wa’du wal wa’id (janji dan
ancaman).
4. Al-Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Prinsip ini menerangkan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar maka dia bukan
kafir, dan bukan mukmin. Namun dia dikatakan sebagai orang yang fasik. Fasik yaitu sebutan
bagi orang yang berada di antara kafir dan beriman. Tidak bisa dikatakan kafir karena orang
tersebut masih mempercayai Allah dan Rasul-Nya, dan tidak dikatakan beriman karena
imannya sudah tidak sempurna lagi. Prinsip inilah yang digunakan oleh Washil bin Atha’ dan
menyebabkan dia memisahkan diri dari gurunya (Hasan Al-Bashri), lalu mendirikan aliran
muktazilah beserta para pengikutnya.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan Melarang Berbuat Buruk)
Ajaran ini jelas menekankan pada perbuatan kebaikan, dan berkaitan erat dengan ajaran-
ajaran sebelumnya seperti keadilan Tuhan, wa’du wal wa’id, dan manzilah bainal manzilatain.
Ajaran ini merupakan konsekuensi logis yang membuktikan keimanan seseorang. Orang yang
beriman sudah pasti selalu menyeru pada kebaikan dan menjauhi keburukan. Aliran muktazilah
dan aliran lain sama-sama menggunakan ajaran ini. Perbedaannya terletak pada tata
pelaksanaannya. Kaum muktazilah berpendapat jika dakwah hanya dapat dilakukan melalui
penjelasan dan seruan saja, maka itu sudah cukup. Namun, bila perlu maka kaum muktazilah
tidak ragu-ragu untuk melakukan kekerasan untuk menyiarkan ajaran-ajaran mereka.
8
Beliau lebih dikenal dengan sebutan An-Nazzham. Beliau merupakan tokoh yang paling
muda dalam usaha perluasan aliran muktazilah. An-Nazzham merupakan murid dari Abul
Huzail Al-Allaf yang banyak bergaul dengan para filosof. Hal inilah yang membuatnya
mempunyai ketajaman berpikir yang luar biasa. Pendapatnya dalam aliran muktazilah banyak
yang mengalami perbedaan dengan tokoh-tokoh muktazilah lainnya, seperti pada saat Al-Allaf
berpendapat bahwa Tuhan itu mustahil berbuat zalim pada hamba-Nya, maka An-Nazzham
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Karena
menurutnya, orang yang melakukan kezaliman adalah orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Selain itu Beliau mempunyai pendapat mengenai kemukjizatan Al-Quran. Menurutnya,
kemukjizatan Al-Quran terletak pada isi kandungannya, bukan pada gaya bahasa dan balaghah
(retorika)nya. Selain itu, pendapatnya tentang kalam Allah adalah segala sesuatu yang tersusun
dari huruf yang dapat ditulis, dibaca, dan didengar sehingga kalam itu baru dan tidak qadim.
Aliran Asy’ariyah merupakan salah satu aliran/paham akidah dalam Ilmu Kalam yang
dipelopori oleh Abdul Hasan Al-As’ari pada abad ke-3 Hijriah. Abdul Hasan Al-As’Ari
awalnya adalah pengikut Mu’tazilah, namun ia memutuskan untuk keluar dari aliran tersebut
dikarenakan ada perbedaan pendapat dengan gurunya. Nama kelompok Asy’Ariyah ini diambil
dari nama belakang Abdul Hasan al-Asy’ari yang merupakan pendiri kelompok ini. Imam
Asy’Ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang mengatakan jika Ahlu Hadist lah yang
benar, sedangkan Mu’tazilah adalah salah. Kemudian Imam Asy’Ari mengajarkan paham yang
berdasar pada teks wahyu disertai argumen rasional.Paham Asy’Ariyah ini menjadi cikal bakal
berdirinya paham Ahlusunnah Wal Jama’ah pada kurang lebih tahun 300 H, yang juga
merupakan usaha dari Abdul Hasan Al-Asy’Ari.
9
Pada saat pemerintahan Al-Mutawakil, aliran Mu’tazilah dihapuskan dari aliran resmi
negara. Sejak dihapuskannya dari aliran resmi negara, pengaruh aliran Mu’tazilah mengalami
penurunan. Lawan-lawan dari Mu’tazilah bertambah banyak, terutama dari kalangan rakyat
yang tidak dapat menyelami ajaran-ajaran dari Mu’tazilah yang bersifat rasional. Rakyat biasa
menginginkan ajaran-ajaran yang sederhana, mudah dimengerti dan di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Kaum Mu’tazilah terlalu berpegang teguh pada pikiran-pikiran rasional,
dan kurang berpegang pada ajaran sunnah dan hadist. Mereka meragukan keaslian sunnah atau
hadist Nabi, sehingga mereka sering dikatakan sebagai golongan yang tidak berpegang teguh
pada ajaran sunnah dan hadist.
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-
keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang
dimajukan dalam penelitian saya sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk
dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan
lama, dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku ini.
Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”.
Al-Asy’ari memutuskan untuk keluar dari ajaran Mu’tazilah karena merasa ragu, dan
tidak puas terhadap pendapat yang dipaparkan oleh Al-Jubba’i, sehingga terjadi perdebatan
antara Al-Asy’ari dengan Al-Jubba’i. Menurut al-Subki, salah satu persoalan yang menjadi
perdebatan di antara keduanya sebagai berikut :
Al- Asy’ ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak
kecil di akhirat ?
Al-Jubba’ i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk
neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
10
Al- Asy’ ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga,
mungkinkah itu?
Al-Jubba’ i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena
kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa
itu.
Al-Asy’ ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan : Itu bukanlah salahku. Jika
sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’ i : Allah akan menjawab : ”Aku tahu jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu,
Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al- Asy’ ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : “Engkau ketahui masa depanku
sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga
kepentinganku ?
Di sini al- Jubbai’i terpaksa diam.2
Selain itu, ia memiliki alasan lain yaitu karena adanya perpecahan di kalangan umat
Islam yang kemungkinan besar akan melemahkan mereka jika tidak segera diakhiri. Al-Asy’ari
khawatir jika umat Islam terlalu memandang rendah Al-Qur’an dan Hadist yang diakibatkan
karena adanya pengaruh ajaran Mu’tazilah, yang terlalu memuja dan mengedepankan akal
pikiran rasional. Al-Asy’ari juga mengkhawatirkan umat Islam yang hanya bepegang pada
bunyi nas-nas agama tanpa melihat makna yang terkandung di dalamnya, yang bisa saja
memungkinkan orang tersebut menjadi golongan textualist (Al-Hasywiah). Setelah keluar dari
golongan Mu’tazilah, Al-Asy’ari membentuk teologi baru yang sesuai dengan ajaran sunnah
dan hadist nabi. Aliran Asy’ariyah berkembang di Basrah (Irak) pada tahun 300 H.
Dalam konteks kapasitas Asy’ariyah sebagai Ahlusunnah wal Jama’ah, kurang tepat
jika dikatakan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah baru lahir pada masa Abu Hasan Al-Asy’ari,
karena ajaran tersebut sudah ada jauh sebelumnya, hanya saja baru dibentuk dan di munculkan
ajaran-ajarannya saat Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan membentuk Asy’ariyah.
Tasy Kubra Zadah menerangkan: “… dan aliran Ahl Sunnah wal Jama’ ah muncul atas
keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ ari disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun
260 H, dan menjadi pengikut Mu’ tazilah selama 40 tahun“.3Sebelum terbentuknya aliran Al-
2
Terjemahan bebas dari teks yang dikutip dalam Fi ’Ilm al-Kalam, hlm. 182
3
Miftah al-Sa’adah, II/37, sebagai dikutif di dalam Mustafa ’Abd al-Raziq, Tamhid liTarikh
al-Falsafah, al-Islamiah, (Kairo: tp., 1959), hlm. 289.
11
Asy’ari, kata-kata sunnah dan jamaah sudah dijumpai dalam tulisan-tulisan Arab. Seperti yang
tercantum pada surat Al-Ma’mun kepada Gubernurnya yang bernama Ishaq Ibn Ibrahim yang
ditulis pada tahun 218 H, tercantum kata wa nasu anfusahum ila al-sunnah (mereka
mempertalikan diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al-haq wa al-din wa al-jama’ ah
(ahli kebenaran, agama dan jama’ ah).4Meskipun begitu, dalam teologi Islam yang dimaksud
dengan Ahlusunnah wal Jama’ah adalah golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Seiring berjalannya waktu, aliran ini terus berkembang hingga mengalahkan aliran
Mu’tazilah. Ada beberapa faktor yang membuat ajaran-ajaran yang dipaparkan Al-Asy’ari
mampu mengalahkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, di antaranya:
4
Tarikh, VIII/639
12
Pada prinsipnya aliran ini tidak memberikan kebebasan sepenuhnya pada akal seperti
aliran mu’tazilah yang menempatkan akal diatas naql (teks agama,yaitu Al-Quran dan Hadis).
Tetapi mereka berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas dibanding dengan akal, dan akal
hanya sebagai pelayan bagi naql sehingga keduanya saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Dengan kata lain naql diibaratkan sebagai matahari yang bersinar sedangkan akal sebagai mata
yang sehat, maka dengan akal kita dapat meneguhkan naql dan membela agama.
Prinsip metode aliran Al-asy’ariyah, merupakan jalan tengah antara golongan yang
berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam menemukan dalil dan alasan,
aliran al-Asy’ariyyah ini menggunakan akal dan pikiran secara bersamaan. Mereka memercayai
dalil naqli kemudian mencari argumentasi aqli untuk menguatkan (akal pikiran dianggap
sebagai pelayan dan penguat arti lahir nas tersebut).
Berikut pokok-pokok pandangan Asy-A’riyah secara rinci:
1. Sifat Tuhan menurut paham Asy’ariyyah
Menurut paham asy’ariyyah ini, Tuhan memiliki sifat sebagaimana dalam al-quran dan al-
hadist, dan sifat tersebut sesuai dengan zatnya sendiri dan sama sekali tidak menyerupai
makhluk. Sifat tuhan tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk atau sifat makhluk tidak
dapat disamakan dengan sifat tuhan.
Sifat tuhan memang memiliki sifat yang sama dengan manusia, namun semua sifat itu harus
dipahami secara bila kayf tanpa dibayang-bayangi pertanyaan “bagaimana” dan bila tasybih
yaitu tanpa mencari perbandingannya5. Contoh Tuhan mendengar tapi tidak sebagaimana
makhluk mendengar.
2. Melihat Tuhan Menurut Paham Al-Asy’ariyyah
Paham ini berpendapat bahwa manusia mampu untuk melihat tuhan di akhirat, karena
sesuatu yang tidak dapat dilihat hanyalah sesuatu yang tidak berwujud, dan Tuhan itu
berwujud maka tuhan dapat dilihat6.
Asy’ariyyah memperkuat pendapatnya dengan ayat Al-Quran yaitu “Wajah-wajah ketika itu
berseri-seri memandang kepada tuhannya” (al-Qiyamah 22).
3. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Bagi Al-asy’ari tuhan tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dengan
kekuasaan yang mutlak. Tuhan bisa saja memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki atau sebaliknya. Sebenarnya Al-Asy’ari sepakat dengan mu’tazilah bahwa
tuhan itu maha adil, tetapi ia tidak sepakat bahwa tuhan harus adil. Mustahil Tuhan tidak
5
Abu al-Hasan al-Asyari, al-Ibanah…..,47
6
Ibnu Taimiyyah, Bayan Talbis al-Jahmiyyah fii Ta’sis Bida’ihim al-Kalamiyah (Makkah al-Mukarramah:
Matba’ah al-Hukumiyah, 1392), 344-350.
13
adil kata Al-Asy’ari sebab ketidak adilan itu berarti merampas hak orang lain akan tetapi di
alam semesta ini tidak ada yang bukan milik tuhan.
Berdasarkan prinsip kemahakuasaan tuhan, Al-Asy’ari berpendirian bahwa manusia tidak
memiliki kehendak dan daya untuk melakukan suatu pekerjaan. Apa yang dikerjakan
manusia merupakan kehendak dan ciptaan tuhan. Tidak ada seorang pun yang mampu
melakukan suatu perbuatan sebelum perbuatan itu dikehendaki dan diciptakan oleh tuhan
(Al-Asy’ari,tt: 9).
4. Konsep Tentang Iman
Aliran ini berpendapat bahwa iman itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya
bisa bertambah dan berkurang. Amal itu penting bagi pembinaan kualitas iman seseorang
dan iman itu akan mencapai kesempurnaan apabila didukung dengan amal shalih. Akan
tetapi ketika dihadapkan pada persoalan pendosa besar, seperti para perilaku zina, pencuri
dan peminum arak paham ini berpendapat mereka tidak dapat dikatakan kafir, selama masih
berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang diharamkan.
Kesimpulannya iman merupakan perbuatan hati jadi selama dalam diri seseorang masih
terdapat kepercayaan maka masih dapat disebut sebagai mukmin, walaupun perbuatannya
tidak sesuai dengan keimanannya.
Konsep keimanan asy’ari yang seperti ini mengikuti alur pemikiran sunni, dimana keimanan
seseorang tidak bisa dilepaskan begitu saja, karena perdebatan tentang kriteia mukmin-kafir
adalah Firqoh al-waqifiyah yang mempertanyakan apa hak kita mengurusi seseorang sampai
sejauh menilaiseseorang itu mukmin apa kafir? Kita harus berhenti pada urusan yang bersifat
lahiriyah saja, selebihnya kita serahkan pada Allah.
5. Al-Quran sebagai Kalam Allah SWT
Pandangan ini merupakan reaksi dari teologi mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran
diciptakan Allah dan karena itu Al-Quran dikatakan sebagai “makhluk”. Al-asy’ari
mengecam golongan yang menganggap Al-Quran sebagai ucapan manusia (In Huwa Illa
Qoul Basyar) dan mengkafirkan golongan yang menganggap bahwa Al-Quran itu adalah
makhluk.
Al-Asy’ari meyakini bahwa Al-Quran adalah kalam illahi yang bersifat qadim. Asy’ari
berpendapat bahwa kalam adalah sesuatu yang bertempat pada diri mutakallim. Kalam
dalam pengertian ini berarti bukan huruf atau suara, melainkan kata yang berada dalam diri.
Kalam ini diisitilahkan dengan kalam nafsi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan kalam illahi diatas adalah, yang pertama,
asy’ari menolak huruf-huruf yang terdapat dalam mushaf disebut kalam illahi yang qadim.
Mereka berpendapat mushaf dan segala perangkatnya bersifat hadis. Yang dimaksud kalam
14
illahi yang bersifat qadim adalah dalam pengertian kalam nafsi. Kedua pendekatan rasional
al-asy’ari dalam mendukung pendapat ulama-ulama salaf tidak akan terhindar dari benturan-
benturan dengan pendapat ulamak salaf itu sendiri. Ketiga asy’ari memunculkan
terminology baru yang disebut kalam nafsi. Maksutnya hal-hal yang jelas bersifat hadis dan
kalam illahi itu sendiri bersifat qadim.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abu Hasan. 1409. Al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah. Madinah Munawarah: Markaz
Syu’un al-Da’wah.
Taimiyyah, Ibnu. 1392 H. Bayyan Talbis al-Jahmiyyah fii Ta’sis Bida’ihim al-Kalamiyah.
Makkah: Matba’ah al-Hukumiyah.
Susanti, Eri. 2012. Aliran-aliran dalam Pemikiran Kalam. Volume (1.1) : 23-42
Hatta, Mawardi. 2012. Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Volume
(12.1) : 87-104
17
18