Dosen Pengampu:
Dr. H. AHMAD BARIZI, M.A
Disusun Oleh:
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahesa karena telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Biografi dan Pemikiran Ilmu Tauhid: Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha’ tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Teosofi. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Ahmad
Barizi, M.A selaku dosen mata kuliah Teosofi. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang sejarah. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
pemikiran berasal dari Al-Afghani, sedangkan Muhammad Abduh yang menuliskan
pemikiran-pemikiran tersebut.
Pada tahun 1885, ia kembali ke Beirut, sedangkan Al-Afghany pergi ke Persia. Di Beirut,
ia fokus pada bidang pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri.
Ia mengajar mengenai logika, ilmu tauhid, sejarah Islam, dan ilmu fiqih. Pelajaran tauhid
yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah Al-Tauhidnya.
Akhir tahun 1988, Muhammad Abduh pulang dari pengasingan dan memulai aktivitasnya
sendiri. ia memulai karirnya sebagai hakim pengadilan negeri dan kemudian menjadi
penasihat Mahkamah Tinggi. Dalam kesibukannya, ia berusaha memperbaiki studinya di Al-
Azhar. Ia ingin membawa ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Eropa ke Al-Azhar.
Namun, usahanya sia-sia karena banyak ulama yang masih menganut tradisi lama.
Pada tahun 1899, Muhammad Abduh diangkat sebagai Mufti Mesir yaitu jabatan penting
di Mesir dalam menafsirkan hukum Islam di Mesir. Pada saat yang sama, ia juga diangkat
menjadi anggota majelis Syura. Sayangnya, hal tersebut adalah jabatan terakhir Muhammad
Abduh. Pada 11 Juli tahun 1905, Muhammad Abduh wafat dikarenakan mengidap kanker hati
di usia 56 tahun.
4
2.2.7 Ayat Antromorpisme
Tuhan dalam pendapatnya termasuk dalam alam rohani. Oleh karenanya rasio tidak dapat
menerima jika Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Dengan demikian mustahil sifat-sifat
dan esensi-Nya mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam realitas.
2.2.8 Melihat Tuhan
Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh bersifat rohani oleh karenanya Tuhan
tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan-Nya
hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
2.2.9 Firman Tuhan
Bagi Muhammad Abduh firman bukan sebagai sifat-Nya, tidak dalam arti aslinya
maupun interpretasi baru, karenanya Al Quran bagi Muhammad Abduh adalah diciptakan
(sama dengan paham mu’tazilah).
5
dorongan untuk mengubah dan memeperbaikinya sesuai dengan tuntutan zaman.
Ditengah kondisi tersebutlah dilahirkan seorang Rasyid Ridha yang merupakan salah
satu tokoh muslim modern yang rasionalis. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rasyid
bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam
lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Beliau dilahirkan pada 27
Jumadil Awal 1282 H atau 8 Oktober 1865 di daerah Qalamun yang terletak di pantai laut
tengah, sekitar 3 mil jauhnya di sebelah selatan Kota Tripoli Libanon. Saat itu Libanon
merupakan bagian dari kerajaan Turki Usmani.
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih
memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Ayah dan ibu Ridha berasal dari keturunan Al-Husyan putra Ali bin Abi Thalib dengan
Fatimah putri Rasulullah SAW. Itulah sebabnya ia mendapat gelar Al-Sayyid di depan
namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh ahl al-bayt seprti Ali Ibn Abi Al-Thalib, Al-
Husayn dan ja’far al-shadiq. Karena dari latar belakang keluarga yang terhormat maka
Rasyid Ridha sering belajar kepada orang tuanya. Dilihat dari latar belakang keluarga yang
beraliran Asy’ariyyah yang mencintai tasawuf, kehidupan beliau tidak pernah lepas dari
kehidupan seorang sufi yang tidak terlalu mencintai kemewahanduniawi.
Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya, menginjak usia tujuh tahun
rasyid ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional taman pendidikan yang
disebut al-Kuttab di desa, Qalamun, untuk belajar membaca Al-Qur’an, menulis, dan
berhitung. Kehidupan di taman pendidikan tersebut beraliran Asy’ariyyah yang mencintai
tasawuf. sejak kecil Rasyid Ridha memang memiliki kecerdasan yang menonjol
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Oleh sebab itu teman-temanya banyak yang
mendekati dia untuk bertanya tentang pelajaran. Setelah menamatkan pendidikan di
madrasah tradisional Al-Kuttab beliau tidak langsung melanjutkan ke lembaga yang lebih
tinggi, tetapi hanya melanjutkannya dengan belajar kepada orang tuanya dan ulama
setempat. Baru ketika menginjak usia 17 tahun, ia melanjutkan ke madrasah Al-Wathaniyyah
Al-Islamiyyah yang terletak di Tripoli (Libanon), yaitu sekolah milik pemerintah di Kota
Tripoli. untuk belajar nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, berhitung dan ilmu bumi dan matematika.
Para pelajar dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah. Karena enggan menjadi
pegawai pemerintah, Rasyid Ridha memutuskan untuk keluar dari sekolah tersebut setelah
belajarselama satu setengah tahun.
Setahun kemudian Rasyid Ridha melanjutkan pendidikannya di sekolahyang tergolong
modern. Sekolah tersebut didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Jisr, seorang ulama besar libanon
6
yang telah banyak dipengaruhi ide-ide pembaruan yang digulirkan oleh Al-Sayyid Jamal al-
Din Al-Afgani dan syekh Muhammad Abduh. Menurut Al- Jisr, umat Islam tidak akan maju
kecuali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum secara
terpadu dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh orang-orang Eropa dalam
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam secara nasional. Sesuai dengan pandangan Al-Jisr
maka disitu Rasyid Ridha belajar ilmu-ilmu keIslaman dan ilmu pegetahuan modern. Ia
mempelajari karya al-Ghazali dan ibn-Taimiyyah yang mengilhami gerakan reformasinya
untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari pengaruh negatif tasawuf. Selain Syaikh Hasan
Al-Jisr, ada beberapa ulama lain yang berpengaruh terhadap Rasyid Ridha, antara lain:
Syaikh Mahmud Nasabah, seorang ahli dalam bidang hadits yang mengajarnya sampai
selesai dan memperoleh ijazah; Syaikh Muhammad al-Qawiji, seorang ahli hadits yang
mengajarkan salah satu kitab karangannya; Syaikh Abdul Ghani ar-Rafi, yang mengajar
sebagian kitab Nail al-Authar. Namun demikian, orang yang paling berpengaruh terhadap
Rasyid Ridha adalah Muhammad Abduh. Dengan tulisan-tulisan Muhammad Abduh yang
diterbitkan melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab
yang dikelolah oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama
masa pengasingan mereka di Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan
dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang
pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir.
Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan
keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu. Sehingga mampu
mengubah kesufian jiwa Rasyid Ridha menjadi pemuda yang penuh semangat. Kalau semula
usaha Rasyid Ridha hanya terbatas pada perbaikan akidah dan syari’at masyarakat, dan
menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan mempraktikkan zuhud, selanjutnya ia
beralih pada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan
ajaran Islam secara utuh, serta membela dan membangun Negara dengan ilmu
pengetahuan dan industri. Bahkan Rasyid Ridha bisa memahami ajaran Islam dengan suatu
jalan baru, dan yakin bahwa Islam bukan hanya agama ruhani-ukhrawi semata-mata,
melainkan juga agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan duniawi, yang betujuan untuk
memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih
dahulu meninggal dunia.
Pengaruh Muhammad Abduh semakin kuat pada diri Rasyid Ridha ketika Muhammad
Abduh kembali ke Beirut yang kedua kalinya pada tahun 1885 M. untuk mengajar sambil
mengarang. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika Ridha berkunjung keTripoli untuk
7
menemui temannya, Syaikh Abdullah al- Barakah. Pertemuan kedua dengan Muhammad
Abduh terjadi pada tahun 1885 M., juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha berkesempatan
berdialog serta saling bertukar ide dengan Ridha. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad
Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam
dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya. Ide-ide pembaruan yang sesuai dengan
pandangannya itu kemudian diterapkannya di tempat kelahirannya. Namun, karena
mendapat tantangan dari penguasa setempat Ridha hijrah ke Mesir mengikuti gurunya,
Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana. Di kota ini, Rasyid Ridha langsung
menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan
pengikut setia Ridha. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat
dan setia kepada Abduh. Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide
pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah
majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka. Sebulan setelah itu,
Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang
mengolah masalah-masalah sosial, budaya, dan agama, pada mulanya Muhammad Abduh
menolak untuk menulis tafsir dengan semangat yang menjiwai artikel-artikel al-Urwah al-
Wutsqa. Ridha mengakui adanya kebutuhan yang mendesak untuk menafsirkan Al-Qur’an,
walau untuk tidak keseluruhannya. Namun Muhammad Abduh tidak bersedia memenuhi
permintaan Ridha untuk menulis tafsir. Hal ini karena orang-orang yang hatinya buta dan
pembacanya hanya memahami 20% dari apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Kemudian
Ridha mengusulkan agar dia mengajar tafsir. Pada awalnya Muhammad Abduh menolak
tetapi pada akhirnya dia mau mengajarkan tafsir dalam bentuk ceramah. Melalui kuliah
tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide
pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya,
catatan-catatan itu disusun secara sistematis dandiserahkan kepada sang guru untuk diperiksa
kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam
majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-
Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar. Pertama kali terbit pada
tahun 1898 M. berupa majalah mingguan, selanjutnya menjadi bulanan sampai akhir tahun
1935 M. sebagaimana majalah Al-‘Urwah al-Wustqa, majalah Al- Manar juga bertujuan
untuk menyebarluaskan ide-ide reformasi dan memelihara kesatuan Negara Muslim.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-
Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan
Muhammad Ridha telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan
penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha
8
melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai. Perbedaannya dalam menggunakan
metodenya yaitu dalam hal pemberian uraian yang panjang lebar tentang sunnah shahih
yang berkaitan dengan ayat, baik sebagai tafsirnya maupun sebagai subyek yang dibicarakan.
Pada tanggal 2 agustus 1935 M. Rasyid Ridha wafat akibat kecelakaan mobil yang
dikendarainya di kota Suez, Mesir.
9
mereka dari gerakan kolonialisme. Dalam majalah tersebut, Rashid Ridha mengaitkan
kehidupan masyarakat dengan ajaran al Qur’an dan memprioritaskan bahwa agama islam
adalah agama yang abadi. Ia sangat mendukung adanya pembaharuan mutlak terhadap umat
islam agar tidak menjadi umat yang tertinggal.
Dalam pembaharuan umat Islam, Rasyid Ridha melakukan gerakan melalui tiga bidang,
yaitu bidang keagamaan, bidang Pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan bidang politik dan
sosial kemasyarakatan. Diantara gagasan terbesar dari Rashid Ridho dan Muhammad Abduh
adalah upaya dalam meningkatkan pendidikan. Mereka berpandangan jika pendidikan adalah
prioritas utama yang membantu memperbaiki kondisi umat islam saat itu. Ajaran yang
menyimpang saat itu mencakup pandangan seorang muslim terhadap kemuliaan dan
kebenaran ajaran islam. Akhirnya Rasyid Ridha merasa perlu mengembalikan kesadaran umat
muslim untuk berpegang teguh pada Qur’an dan Sunah. Ia percaya bahwa tujuan dari adanya
pendidikan pada umat Islam adalah untuk memahami ajaran islam yang benar, seperti
mengintegrasikan aspek spiritual dan kemakmuran dunia dan bisa diterapkan dengan baik
sehingga umat islam dapat menjadi mercusuar bagi orang lain. Selain itu, menurutnya tujuan
pendidikan umat islam adalah menjadikan umat islam sebagai umat yang sholeh dan merdeka
dari segala bentuk penjajahan dan juga menjadi umat yang maju hingga mampu bersaing
dengan umat lain dan bangsa barat dalam berbagai bidang kehidupan.
Rashid Ridha meperbarui gagasan tentang nilai-nilai kepercayaan umat muslim bahwa
Tuhan itu satu dan berkuasa atas segala sesuatu. Gagasan yang ia ciptakan ialah (1) Umat
islam mengalami kemerosotan pada berbagai aspek kehidupan karena tidak mengikuti ajaran
islam yang sebenarnya sehingga munculah banyak perilaku yang menyimpang, (2)
Kemunduran umat islam terjadi karena adanya budaya fatalisme atau kepercayaan yang
dipandang dapat menyebabkan suatu kemiskinan pada masyarakat nelayan (3) Isi dari sains
modern yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Umat islam mengalami kemajuan di
bidang sains pada zaman klasik hingga akhirnya mereka mengabaikan ilmu tersebut yang
kemudian dikembangkan oleh negara-negara Barat, (4) Islam itu sifatnya sederhana, baik itu
yang menyangkut masalah ibadah atau muamalah.
Dengan memprioritaskan asas kemajuan, umat Islam akan perlahan tersadar dan yakin
bahwa adanya keberuntungan dan nasib itu murni atas kehendak manusia. Atau dengan kata
lain, perubahan yang membawa pada kemajuan umat Islam ditentukan oleh umat Islam itu
sendiri. Selanjutnya, pemahaman ini akan membawa umat Islam pada pemikiran yang
rasional atau pemikiran yang selalu menggunakan akal pikiran. Menurut Rasyid Ridha,
penggunaan akal pikiran memang sangat penting untuk digunakan pada ajaran-ajaran
masyarakat, tetapi tidak dalam hal ibadah. Oleh karena itu, umat Islam pada hal ini perlu
10
memiliki konsep baru yaitu ijtihad. Konsep ini akan terus menantang umat Islam dalam
berpikir tentang agama dan kemasyarakatan. Namun, ijtihad dalam bidang agama hanya
menyangkut terkait muamalah saja. Dalam hal ibadah, ijtihad tidak diperlukan. Ijtihad
diperlukan hanya ketika membahas masalah kemasyarakatan. Akal hanya dipergunakan pada
ayat dan hadis yang tidak memiliki makna yang tegas pada persoalan yang tidak terdapat
dalam Al Qur’an dan Hadis. Inilah letak dinamika islam yang sesungguhnya menurut Rasyid
Ridha.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tauhid dan pendidikan menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah suatu cara
pikir rasional dalam mendatangkan suatu kebaikan yang bisa disesuaikan dengan keadaan dan
perlu mebuka suatu pandangan baru dengan melalui jalan ijtihad dan diaplikasikan dengan
kebiasaan berpikir antara mana yang baik dan buruk, mana yang mengarah pada kebaikan dan
mana yang mengarah pada keburukan, dan perlu adanya penanaman akhlak yang baik pada
pribadi seseorang. Tauhid sangat perlu disertai dengan adanya pendidikan karena mampu
membentuk karakter positif, memperkuat keyakinan, dan menciptakan pribadi yang sholeh
dan maju pada berbagai bidang.
Selain itu, pembelajaran tauhid harus dilakukan secara terus menerus sampai mampu
menemukan suatu hakikat bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Hal ini hanya mampu
dilakukan oleh seseorang yang telah terbentuk jiwa yang seimbang yakni mampu
menggunakan kemampuan akal dan spiritual hingga mampu mengenali keberadaan Tuhan
melalui fenomena alam yang ada disekitar dan mampu melakukan apa yang Tuhan
perintahkan.
3.2 Saran
Penulis menyadari jika penulisan makalah diatas masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap bisa mendapatkan kritik yang
membangun dari para pembaca sekalian.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1992. Risalah Tauhid, diterjemahkan oleh KH. Firdaus Ain dengan
judul Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Abduh M. Wahid. 2020. Teologi Muhammad Abduh. AL FIKR Vol.22 (1)
Asifa Falasipatul. 2018. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Dan Kontribusinya
Terhadap Pengembangan Teori Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol.15
(1)
Athaillah, A. (2006). Rasyid Ridha Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al Manar. Jakarta:
Erlangga.
Hourani, Albert. 1983. Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. London: Cambridge
University Press.
Lubis, Arbiyyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Suatu Studi
Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang
M. Abduh Wahid. 2020. Teologi Muhammad Abduh. Al-Fikr. 22(1): 71-83
Muhammad Iqbal, A. H. 2017. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Muqofi Asep. 2019. Tauhid Dalam Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh Dan
Rasyid Ridha. Jurnal Qathruna Vol.6 (2)
Muqofi, A. 2019. Tauhid Dalam Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha. Qathruna, 102-110.
Nurlaleah Abbas. 2014. Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme Dalam Islam. Jurnal
Dakwah Tabligh. 15(1): 51-68
Ridha, Muhammad Rasyid. 1931. Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh. Jilid II.
Mesir: tp.
13