Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MAHMUD ABU RAYYAH


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Hadis Kontemporer
Oleh Dosen Pembina :
Dr. Mohammad Barmawi Barmawi, S. Th.I., M.Hum.
Dr. H. Aminullah, M.Ag.

Oleh kel 2:
Dyna Tauhidah (204104020011)
Harisatul Maulidiyah (204104020009)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ
JEMBER
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratnya yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat membantu teman-teman dalam proses
belajar Pemikiran Hadis Kontemporer. Dimana pada makalah ini membahas tentang Mahmud
Abu Rayyah. Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karna
itu kami selalu mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kemudian apabila ada kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat
yang baik untuk kita semua, aamiin.

Jember, 29 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Biografi Mahmud Abu Rayyah........................................................... 2
B. Pemikiran Mahmud Abu Rayyah........................................................ 2

BAB III PENUTUP.........................................................................................


A. Kesimpulan........................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan suatu kumpulan informasi terkait tentang semua perkataan,
perbuatan dan ketetapan Nabi. Sedangakan Sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik
atau persetujuan Nabi. Hadis mengalami perjalanan yang sangat panjang dan rumit,
konflik politik internal ummat Islam dalam beberapa masa membuat hadis mengalami
banyak distorsi bahkan lebih jauh juga mengalami pemalsuan-pemalsuan. Sejak Abad 14
H sampai sekarang sering kali disebut-sebut sebagai era kebangkitan studi hadis
(pemikiran hadis) yang kedua setelah stagnan sekitar Abad 10-14 H. Selain menuai
tanggapan positif hal ini juga banyak ditanggapi negatif oleh beberapa pihak yang
menganggap gerakan ini sebagai aliran Inkar-Sunnah Modern. Gerakan pembaharuan ini
pertama kali di lontarkan oleh Muhammad Abduh (1266-132 H / 1849-1905 M).
Dalam perkembangannya banyak Tokoh pemikiran-pemikiran dalam studi hadis
kontemporer yang muncul setelah masa Muhammad Abduh, diantaranya adalah Mahmud
Abu Rayyah, yang pemikirannya banyak dipengaruhi dan merujuk pada pendapat
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Dalam makalah ini akan dituliskan
beberapa data yang berhasil dihimpun mengenai Mahmud Abu Rayyah dan karyanya
yang cukup kontroversial.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Mahmud Abu Rayyah?
2. Bagaimana pemikiran Mahmud Abu Rayyah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui latar belakang pribadi dan akademik.
2. Untuk memahami dan mengetahui pemikiran Mahmud Abu Rayyah yang
kontroversial.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Mahmud Abu Rayyah


Nama aslinya adalah Mahmud Abu Rayyah atau lebih dikenal dengan Abu
Rayyah. Ia dilahirkan pada tahun 1889 M, dan meninggal pada tahun 1970 M. Abu
Rayyah merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang kontroversial di Mesir.
Pemikirannya sering dikategorikan sebagai “ingkar sunnah” modern. Pada usia muda,
Abu Rayyah mengikuti pendidikan di Madrasah. al-Da’wah wa al-Irsyad yaitu
lembaga dakwah yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Selain di tempat
tersebut, Abu Rayyah juga mengikuti sekolah khusus teologi lokal. Abu Rayyah
tumbuh menjadi pemuda yang menyimpan kekaguman luar biasa terhadap
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, terutama gagasan-gagasan
keduanya seputar penolakan terhadap taqlid, khususnya taqlid terhadap mazhab. Abu
Rayyah tertarik untuk melakukan penelitian tanpa perlu secara otomatis tunduk
kepada teori- teori para ulama atau sarjana yang lebih senior. Abu Rayyah merasa
muak atas sikap pasif (jumud) para ulama atau sarjana masa itu, serta tidak adanya
imajinasi atau inspirasi dalam diri mereka. 1
Tulisan-tulisan Abu Rayyah pada umumnya terbentuk dari keahliannya di bidang
sastra. Sebagian hidupnya dicurahkan untuk menulis dan menganalisa kajian-kajian
sastra dan literatur Arab, termasuk kajian hadis ketika ia menemukan tata bahasa
hadis yang tidak sesuai dengan kaidah, bahkan tidak mengandung cita rasa sastra, ia
mempertanyakan dengan serius “apakah memang betul itu sabda kenabian?”. Karena
menurutnya, sabda kenabian pasti mempunyai cita rasa sastra yang tinggi dan
mustahil tanpa makna, ataupun sia-sia bahkan tidak etis untuk diucapakan oleh
seorang Nabi. 2

B. Pemikiran Mahmud Abu Rayyah


1. Definisi Sunnah
Syekh Mahmud Abu Rayyah mendefinisikan kata Sunnah adalah adat istiadat
(al-‘Adah), sedangkan secara istilah Syekh Mahmud Abu Rayyah sedikit berbeda

1
Nurkholis Sofwan, “Kontroversi Pemikiran Hadits Mahmud Abu Rayyah”, Jurnal Al Ashriyyah. 33.
https://doi.org/10.53038/alashriyyah.v6i01.127
2
Ibid. 34

2
dari ulama hadis pada umumnya dalam memberikan pengertian hadis, yaitu hanya
sebatas pada praktek kehidupan Nabi Muhammad saw yang berdasarkan dengan
shari‘at Allah kepada Nabinya melalui Al-quran. Dapat dipahami bahwa syekh
Mahmud Abu Rayyah hanya mengakui hadis yang berdasarkan perbuatan Nabi
Muhammad saw dan tidak memasukkan segala perkataan dan ketetapan Nabi.
Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah menukil pendapat Ibn Taimiyah bahwa Sunnah
yaitu segala praktek Nabi Muhammad saw yang dilakukan secara terus-menerus.
Berdasarkan pengertian Ibn Timiyah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sunnah
ada yang berupa ibadah dan ada yang tidak mengandung unsur ibadah. baik yang
berupa ibadah atau non ibadah.
Menurut Mahmud Abu Rayyah bahwa sunnah Qauliyah yang diistilahkan
dengan “hadis” merupakan suatu istilah yang baru dan ia mengkritisi para ulama
yang telah membuat istilah baru itu. Karena menurutnya istilah hadis ini baru
muncul sejak zaman kodifikasi hadis, dan istilah hadis ini merupakan istilah
bahasa yang tidak pernah dipakai dalam bahasa Arab. Dengan demikian menurut
Mahmud Abu Rayyah posisi Al-sunnah al-’amaliyyah (perbuatan) memiliki
otoritas lebih tinggi dan kuat dibandingkan al-sunnah al-qauliyyah (perkataan).
Alasannya yaitu karena al-sunnah al-Amaliyyah jelas secara langsung dilakukan
oleh Rasulullah saw dan muncul terlebih dahulu dan lebih kuat dijadikan sebagai
dasar untuk bersyariat. Mengenai posisi Sunnah Mahmud Abu Rayyah tetap
memposisikan Sunnah sebagai sumber kedua setelah Alquran.
Pemikiran Mahmud Abu Rayyah selanjutnya yaitu ia menolak adanya hadis
yang bisa menaskh Alquran (Naskh al-Sunnah ‘ala Alqur’an) baik hadis itu
membatalkan, menghilangkan, memindahkan, ataupun mengubah hukum yang
tedapat dalam Al-quran. Pendapat tersebut karena ia berdalih bahwa hukum Al-
quran itu sudah bersifat Qath’i dan tidak bisa di Nasakh dengan apapun termasuk
Sunnah sekalipun yang penjelasannya masih bersifat zhanni dan
kedudukannyapun masih dibawah Al-quran. Sehingga dalam masalah ini Mahmud
Abu Rayyah mengambil teori dari Rasyid Ridha bahwa Al-Sunnah ala an-nasakh
Al-qur’an Abadan.
2. Rekontruksi Kodifikasi Hadis
Secara garis besar Mahmud Abu Rayyah menolak fase-fase pengkodifikasian
hadis. Ia menganggap bahwa empat fase yang dirumuskan ulama muhaddisin
tidaklah valid. Dasarnya merujuk pada pelarangan penulisan hadis pada masa

3
Nabi Muhammad saw. “Jangan kalian tulis sesuatu dariku selain dengan Al-quran
maka barangsiapa menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia.” Mahmud
Abu Rayyah memilih hadis pelarangan menulis ini yang bisa digunakan sebagai
hujjah, sebab hadis itu jelas larangannya berasal dari Rasul sendiri.
Masalah hadis yang ditulis secara tekstual atau kodifikasi hadis, menurutnya
sangat sulit untuk dipercaya. Karena jauhnya jarak dan bedanya masa selama dua
ratus tahun dari wafatnya Nabi Muhammad saw. Ditambah lagi upaya yang sulit
karena percampuran naskah hadis dengan yang bukan hadis. Maka keotentikan
hadis menjadi sulit untuk dipercaya walaupun sebenarnya para sahabat dan
generasi selanjutnya mempunyai hafalan yang kuat. Selain itu, kebanyakan para
sahabat meriwayatkan hadis dengan lafaz yang berbeda-beda dan jarang sekali
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang sama. Kejadian seperti ini tidak bisa
diterma oleh Mahmud Abu Rayyah karena menurutnya lafaz yang berbeda
mempunyai makna yang berbeda yang dituju oleh Rasul. Sehingga secara jelas
syekh Mahmud Abu Rayyah menilai hadis yang berbeda-beda tidak bisa
dikatakan sebagai wahyu walaupun mempunyai maksud yang sama.
Melihat pemikiran syekh Mahmud Abu Rayyah tersebut, lagi-lagi ulama hadis
berselisih pendapat. Ulama hadis berbeda pendapat dalam menangani dua hadis
yang terlihat kontradiktif antara larangan dan perintah menulis hadis.
Pertama, jumhur ulama sepakat bahwa menggunakan hadis yang
memperbolehkan. Alasannya karena hadis yang melarang datang terlebih dahulu
sehingga dinasakh dengan hadis yang memperbolehkan untuk menulis hadis.
Memang benar adanya bahwa pada masa awal Islam, Nabi Muhammad saw
melarang untuk menulisnya disebabkan khawatir antara Alquran dan Hadis
bercampur aduk.
Kedua, sebagian ulama lain menrmpuh jalan untuk mengkompromikan dua
hadis tersebut dengan menggunakan takhṣis al-‘am. Sehingga bisa disimpulkan
dari pendapat kedua ini bahwa larangan menulis hadis hanya ditujukan pada
orang-orang yang kurang kuat hafalannya seperti Abu Shah, namun teruntuk
orang yang berstatus dabit, pandai menulis dan mampu memilah antara isi Al-
quran dan hadis Nabi maka diperbolehkan untuk menulis hadis.
3. Keadilan sahabat
Dalam pandangan Mahmud Abu Rayyah, kedudukan para sahabat mempunyai
posisi yang istimewa. Walaupun mempunyai keistimewaan, tidak menyebabkan

4
sahabat lepas dari kritikan dan penilaian. Menurutnya, pada level sahabat harus
juga dilakukan kritik, penyelidikan dan penelitian terhadapnya. Karena sahabat
Nabi juga manusia yang tidak lepas dari salah sehingga proses jarh wa ta’dil harus
tetap dilakukan. Namun, Jumhur ulama tetap berpedoman kepada konsep “semua
sahabat itu adil”. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar bahwa kaidah ini
disetujui para ulama hadis dan sedikit saja yang tidak setuju. Keistimewaan
sahabat juga tergambar dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 143 dan surat al-
Hujurat, ayat 29.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dsffhwehfrwiehr
2. jfhjfhjhfrjfh

6
DAFTAR PUSTAKA

fkfjkjrf

Anda mungkin juga menyukai