Dosen Pengampu
Drs.H.Ruswanto.M.Ag.
Disusun Oleh
Kelas/Semester:E/2
Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya,
sehingga penulisan makalah yang berjudul “Pemikiran Kalam Ulama Modern (Abduh,Ahmad
Khan dan Iqbal)” ini dapat dikerjakan sesuai dengan arah, tujuan, dan orientasi yang telah
direncanakan.
Makalah ini dikerjakan berdasarkan kegiatan perkuliahan tauhid dan ilmu kalam.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah tauhid
dan ilmu kalam Bapak Drs.H.Ruswanto.M.Ag. yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan tentang mata kuliah tauhid dan ilmu kalam. Ucapan terima kasih tak lupa kami
ucapkan kepada orang tua kami dan juga pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
penyusunan makalah ini. Dan juga, terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu
dalam memberikan semangat serta dorongan dalam membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini tak luput dari
kekurangan, Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam dalam pandangan Iqbal bersifat tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan
ciri dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Masih banyak lagi pemikiran-
pemikiran kalam para pembaharu tersebut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak
isi makalah dibawah ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi
dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial
dalam kehidupan manusia.ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial
lain, yaitu perubahan apalagi, di lihat dari pandangan ajaran islam sendiri, perubahan
adalah sunnatullah yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya
secara keseluruhan.
Era ini terjadi pada awal-awal abad ke-16, yang dikenal dengan istilah
„renaissance‟.Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam untuk
bangkit dari ketepurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah. Periode modern ini
terjadi sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Pada periode ini, muncul banyak tokoh
yang menyerukan ide-ide sekaligus gerakan pembaharuan yang bermuatan visi
peradaban islam. Mereka ini merupakan para pendakwah rasional.
Berbicara tentang corak pemikiran kalam modern, tentu saja akan sangat
bervariasi, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pada masyarakat yang
maju, barangkali pemikiran kalamnya cenderung ke arah rasional, yang
2
mengharuskan segala sesuatu dapat bersifat logis dan empiris. Pada masyarakat
berkembang, kemungkinan besar berada pada garis tengahnya. Sementara pada
masyarakat tertinggal, pemikiran kalam akan cenderung mengarah pada konsep
jabariyah yang pasrah pada segala sesuatu yang saat itu ada dihadapannya.1
Hal ini dapat dilihat dari corak pemikiran kalam para tokoh muslim di abad
modern, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,Iqbal dan lain sebagainya.
Masing-masing menunjukkan corak yang berbeda dalam memahami teks-teks agama,
yang kemudian melahirkan paham kalamnya sendiri. Salah satu tokoh kunci yang
namanya tak pernah luput dari perhatian adalah Muhammad Abduh, yang
diperkenalkan oleh muridnya yang terkenal,yaitu Rasyid Ridha.
Tokoh yang satu itu, juga banyak disorot terkait dengan pemikiran kalamnya.
Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-qur‟an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun zaman.
Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban dunia di abad 19 dan seterusnya
telah menawarkan berbagai jani-janji kebahagiaan. Namun dalam praktiknya
modernitas justru banyak menimbulkan persoalan baru.Peradaban modern justru
banyak melakukan dehumanisasi kehidupan manusia itu sendiri.
1
Faizal Amin, Lmu Kalam Sebuah Tawaran Pergeseran Paradigma Pengkajian Teologi Islam (STAIN
Pontianak Press, 2012).
2
Quraish Sihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Pustaka Hidayah, Bandung, 1994).
3
memungut pajak menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk
menghindarinya. Abduh mulai dilahirkan dalam kindisi yang penuh kecemasan ini.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika
itu masih memimpin surat kaar Al-Waqa‟i dituduh terlibat dalam revolusi besar
tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama
tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, Ia
pun memilih Suriah. Dia menetap selama satu tahun. Kemudian ia menyusul gurunya,
Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris.Di sana mereka menerbitkan surat
kabarAl-„Urwah Al-Wutsqa pada tahun 1884. Karya-karyanya yang di buat di surat
kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern .Pendapatnya mulai
mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah. 3
Yang bertujuan mendirikan Pan Islam serta menentang penjajah Barat, khususnya
Inggris. Pada Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar terseut ke inggris untuk
menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899,
3
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, ed. by Jawara: Surabaya, 2004.
4
Abduh di angkat menjadi multi Mesir. Kedudukan tinggi iu di pegangnya ia meniggal
dunia tahun 1905.
Dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Abduh tampanya ia muncul
ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana yang di
jelaskanSayyid Quthb (l. 1906), kondisi umat islam saat itu di gambarkan sebagai
“suatu masyarakat yang beku,kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad,mengabaikan
peranan akal dalam memahami syariat Allah atau men-istinbat-kan para hukum-
hukum karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya
yang hidup dalam masa kebekalan akal serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang
sangat besar pada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga
Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang
lebih tinggi pada akal dari pada Mu‟tazilah.4
4
Harun Nasution, Muhammab Abduh Dan Teologi Rasional (UI Press, 1987).
5
Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam ((Pustaka Setia: Bandung, 1997).
5
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam
adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan
ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana
yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan
mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya. Dengan memperhatikan pandangan
Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana
fungsiwahyu baginya. Wahyu adalah penolong (al-mu‟in). Kata ini ia pergunakan
untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk
mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat dan mengetahui cara beribadah
kepada tuhan.
c.Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat
itu termasuk esensi Tuhan yang lain, menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar
kemampuan manusia untuk mengetahuinya.
6
bahwa Tuhan dengan kemauannya telah membatasi kehendaknya dengan sunnatullah
yan diciptakannya untuk mengatur alam.
e.Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari
segi kehendak mutlak Tuhan, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan
manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan
tidak satu pun ciptaan Tuhan tang tidak membawa manfaat bagi manusia. Mengenai
keadilan Tuhan, ia memandang tidak hanya dari segi kesempurnaannya, tetapi juga
dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak sejalan dengan
kesempurnaan aturan alam semesta.
f.Antropomorfisme
Karena itu Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima
paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifatjasmani. Abduh memberi kekuatan besar
pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil
bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah,tangan dan sebagainya
harus di pahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.
Demikian kata al-arsy dalam Al-Qur‟an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy
berarti pengetahuan.
g.Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang
bersifat rohani itu dapat di lihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari
perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih
sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat di gambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan hanya kepada orang-
orang tertentu di akhirat.
h.Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham
dengan mu‟tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang
terbaik untuk manusia.
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut kterangan
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi MuhammadSAW. Melalui Fatimah dan Ali.
Neneknya Sayyid Hadi adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759).
Sejak kecil, beliaumendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama, disamping
juga belajar bahasa Arab dan bahasa Persia.beliau orang yang rajin membaca buku
dalam berbagai ilmu pengetahuan.
7
Pada waktu berusia 18 tahun ia bekerja di Serikat India Timur. Pengaruhnya
beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau
pengalihan utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, langsung atau tidak
langsung beliau berperan dalam pengorganisasian beberapa gerakan masa dan
gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan
khalikah di india, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan
kemajuan di Turki.6 kemudian ia bekerja pula sebagai hakim. Pada tahun 1846, ia
pulang kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.
6
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2003).
7
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Inda Dan Pakistan (Mizan, Bandung, 1993).
8
Abdillah F Hasan.
8
Keyakinan kekuatan akal dan kebebasan akal menjadi Khan percaya bahwa
manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti ia
mempunyai paham yang sama dengan paham Qadariah. Menurutnya manusia di
anugrahi Tuhan berbagai macam daya, di antaranya daya pikir berupa akal dan fisik
untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kepercayaanya kuat terhadap hukum alam
kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat
islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani
(1838-1897) menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut,
Jamaluddin mengarang buku yang berjudul Ar-Radd „ala Ad-Dahriyyin (Bantahan
terhadap Materialis). Sejalan dengan paham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang
keras faham Taqlid.
Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidakmengikuti
perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih menelankan mereka,
sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru
timul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah penyebab utama
bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan dan hukum alam, Khan tidak ingin
pemikirannya terganggu otoritas hadis dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan
kritik rasional. Ia pun menolak semua yang beretentangan dengan logika dan hukum
alam, Khan tidak ingin pemikirannya terganggu otoritas dan fiqh. Segala sesuatu
diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan
logika dan hukum alam. Ia hanya ingin mengambil Al-Qur‟an sebagai pedoman bagi
islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting.
Alasan penolakannya terhadap hadis karena hadis berisi moralitas sosial ari
masyarakat islam pada abad pertama dan kedua sewaktu habis dikumpulkan.
Menurutnya, hukum fiqh berisi moralitas masyarakat sampai saat timbulnya madzhab-
madzhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-Qur‟an untuk menguraikan relavasinya
dengan masyarakat baru pada zaman itu. Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat
yang senantiasa mengalami perubahan.
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari
keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal
saleh dalam beragama.Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau
9
dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur‟an.9 Setelah itu, beliau
dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi
pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya
di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan
belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas
tersebut.10
Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Govermen Collage, Iqbal pergi
ke Inggris untk belajar filsafat di Universitas Cambridge.Dua tahun kemudian beliau
pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam
tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in
Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).12 Beliau tinggal di Eropa kurang lebih
selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga
sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam
adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan
karyanya terbesar dalam bidang filsafat.
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi
tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992,
beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru
bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk
membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit
dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau
meninggal pada tanggal 20 April 1935.
9
M.Ag Drs. Abdul Rozak, „Ilmu Kalam‟.
10
Iqbal Abdul Wahab Azzam, Siratuh Wa Falsafah Wa Syi’ruh, Terj. Pustaka, Bandung.
11
Abdillah F Hasan, „Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam‟.
12
Abdul Wahab Azzam.
10
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat islam untuk
melakukan pembaharuan dalam islam agar dapat keluar dari kemundurannya.
Kemunduran umat Islam, menurutnya disebabkan kebekuan umat islam dalam
pemikiran dan di tutupnya pintu Ijtihad. Mereka, seperti kaum konservativf, menolak
kebiasaan berpikir rasional kaum mu‟tazilah karena hal tersebut dianggap akan
membawa pada disintegrasiumat Islam dan membahayakan kestabilan politik mereka.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang
kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad
kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab
tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat
untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat
Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan
lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.13
a.Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik).
Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan”. Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil
melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.
Mu‟tazilah sebaliknya terlalu jauh bersandar pada akal sehingga mereka tidak
menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran
keagamaan dari pengalaman konkert merupakan kesalahan beasar.14
13
Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad (Pusaka Bandung).
14
Amin Abdullah, Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
11
b.Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi tuhan beliau menolak argumen kosmologis
maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha
membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar.
Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada).
Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta
menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran
dinamis yang tidak berhenti.
Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-
nya Bergson,yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”,
ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).
d.Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur‟an
menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif.Dalam
hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena
memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan
manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan
kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi
kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas
yang memiliki kemampuan untuk memilih”.
Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menujukkan
kepercayaannya yang besar kepada manusia. Sekarang, kewajiban manusia adalah
membenarkan adanya kepercayaan ini. Pengakuan terhadap kemandirian (manusia)
melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari
keterbaasan kemandirian. 15
15
H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Mosern Dalam Islam, Terj. Machun Husein, ed. by Rajawali Press (Jakarta,
1995).
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahwasanya faham dan pemikiran yang dianut Oleh Sayyid Ahmad Khan
ada kesamaan dengan faham yamg dianut oleh Qodariyah, misalnya manusia di
anugrahi Tuhan berbagai macam daya diantaranya fikiran yang berupa akal dan daya
fisik untuk merealisasikan kehendak.Adapun penolakan taqlid oleh Ahmad Khan
dikarenakan dapat mengurangi relevansi Qur‟ an dengan masyarakat baru pada
zaman tersebut, maka ia memandang perlu diadakannya ijtihat–ijtihat baru (tajdid)
untuk menyesuaikan dalam peraksis ajaran–ajaran agama Islam dengan situasi,
kondisi dan perkembangan masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan
ataupun tajdid dalam kehidupan mereka. Dan ia mengedepankan rasio ataupun
pemikiran-pemikiran, dan menolak semua yang bertentangan dengan logika dan
hukum alam, misalnya Hadist dan Fiqih di karenakan itu semua adalah esensinya
moralitas–moralitas masyarakat pada zaman abad pertama dalam pengumpulan
Hadist tersebut dan adapun Fiqih yang esensinya tentang moralitas masyarakat
berikutnya sampai timbulnya mazhab–mazhab. Tetapi Sayyid Ahmad Khan tetap
mengambil Al-qur‟ an sebagai pedoman, rujukan dan landasan atas ajaran–ajaran
agama Islam.
Dari ketiga tokoh ulama ini kita dapat mengambil pelajaran di mana para
ulama tersebut rela berkorban dalam menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya di
dunia islam yang mana ummat islam pada masa hidup para ulama ini sampai
sekarang sudah lalai dengan kenikmatan dunia. Oleh sebab itu ketiga tokoh ulama ini
mengajak umat islam untuk kembali pada ajaran islam yang sebenarnya.
3.2 Saran
13
DAFTAR RUJUKAN
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, ed. by Jawara: Surabaya, 2004
Abdul Wahab Azzam, Iqbal, Siratuh Wa Falsafah Wa Syi’ruh, Terj. Pustaka, Bandung
Amin, Faizal, Lmu Kalam Sebuah Tawaran Pergeseran Paradigma Pengkajian Teologi
Islam (STAIN Pontianak Press, 2012)
Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam ((Pustaka Setia: Bandung, 1997)
Gibb, H. A. R., Aliran-Aliran Mosern Dalam Islam, Terj. Machun Husein, ed. by
Rajawali Press (Jakarta, 1995)
Harun Nasution, Muhammab Abduh Dan Teologi Rasional (UI Press, 1987)
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Inda Dan Pakistan (Mizan, Bandung, 1993)
Sihab, Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Pustaka Hidayah, Bandung, 1994)
14