Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK

HERMENEUTIKA MUHAMMAD SYAHRUR

Makalah imi disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Kontemporer

Dosen Pengampu:

Lalu Muhammad Samiudin, M.Pd

Disusun Oleh :

Daffa Hakim Ramadhan

Yogi Anandia Pranata

Rosyad Rojab

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN

JAKARTA 2022 M
KATA PENGANTAR

Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui lebih jelas mengenai Tafsir Kontemporer.
Makalah ini memuat tentang “Tafsir Kontemporer” dan sengaja dipilih karena untuk memenuhi
tugas penyusun. Penyusun berharap makalah ini dapat membantu pembaca dalam
memahamilebih jelas mengenai Tafsir Konporer. Makalah ini dapat menjadi panduan pembaca
dalam pelaksanaan kegiatan tafsir kontenporer. Sebagai sebuah karya, makalah ini tentu tidak
terlepas dari kekurangan. Penyusun mohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan dalam
makalah ini baik meliputi isi ataupun ketikan. Kritik dan saran terhadap penyempurnaan makalah
ini sangat penyusun harapkan,

Penyusun mohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan dalam makalah ini baik
meliputi isi ataupun ketikan, Kritikan dan saran sangat kami harapan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 4 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan...................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................................5

BAB II Pembahasan...................................................................................................................6

2.1 Biografi dan Tingkatan Pemikiran Muhammad Shahrur.......................................................6

2.2 Kerangka pemikiran Muhammad Syahrur.............................................................................8

2.3 Kata kunci dalam memahami pemikiran Muhammad Shahrur.............................................9

2.4 Metodologi pemikiran Muhammad Shahrur........................................................................10

2.5 Aplikasi metode penafsiran Muhammad Shahrur................................................................11

2.6 Teori Hudud dan contoh penafsirannya dalam Al-Quran’...................................................12

BAB III Penutup......................................................................................................................14

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an ibarat mata air yang tidak pernah kering. Sebab, al-Qur’an menjadi media
pelepas dahaga saat umat muslim mengalami kekeringan spiritual dan kerohanian. Secara teologi
normatif al-Qur’an merupakan sumber rujukan dan tuntunan dalam hidup umat Islam. Keyakinan
akan kesesuain al-Qur’an dengan segala bentuk perubahan zaman menjadikan alQur’an tidak
pernah sepi dari proses pengkajian dan penafsiran. Proses penafsiran terhadap al-Qur’an adalah
buah upaya yang telah dilakukan oleh para ulama yang terus berusaha menggali nilai-nilai dalam
al-Qur’an baik dari segi aspek, aqidah, akhlak dan hukum untuk diimplementasikan dalam
kehidupan.Namun dalam sejarah perjalanan penafsiran al-Qur’an yang telah dilakukan oleh
ulama tidak pernah lepas dari sorotan dan kritikan dari para pembaca1.
Pasalnya, ada kecenderungan dari kalangan umat Islam sekarang yang terlalu terkungkung
dengan hegemoni dari hasil penafsiran klasik. Yang secara sosiologi dan keadaan waktu dan
tempat sangat berbeda ketika proses penafsiran itu dilakukan. Kecenderungan semacam ini akan
berdampak pada kemandegan ilmu pengetahuan terutama dalam hal pengkajian terhadap
alQur’an.Produk tafsir yang seideal apapun tetap saja membawa relativitas ruang dan waktu, hal
ini disebabkan karena produk tafsir adalah hasil karya karsa manusia yang tidak dapat relevan
dalam setiap konteks dan waktu. Hasil pemikiran para mufassir yang melahirkan sebuah produk
tafsir dari kondisi objektif masa tertentu sesuai dengan masanya dan masa setelahnya. Tetapi
sebagian tidak relevan lagi untuk abad ke-20.
Melihat realitas yang terjadi saat ini, telah banyak upaya yang telah dilakukan dengan
berusaha melahirkan teori-teori terbaru yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Diantara
tokoh-tokoh muslim yang populer dengan gagasannya adalah M. Syahrur dengan teori
hududnya. Dalam bahasan artikel ini, penulis mencoba mengalisis teori yang digagas oleh
Muhammad Syahrur dan bagaimana bentuk penerapannya dalam kajian terhadap ayat-ayat
AlQur’an.

Tabrani Tajuddin, Neny Muthiyatul Awwaliyah 2019, Jurnal Ilmu Ushuluddin;Pemikiran


1

Hermeneutika Muhammad Syahrur Tentang Konsep Jilbab dalam Al-Qur’an. 1(2).


A. Rumusan Masalah

a. Bagaimana biografi dan tingkatan pemikiran Muhammad Shahrur?

b. Bagaimana kerangka pemikiran Muhammad Shahrur?


c. Bagaimana kata kunci dalam memahami pemikiran Shahrur?
d. Bagaimana metodologi pemikiran Muhammad Shahrur?
e. Bagaimana aplikasi metode penafsiran?
f. Bagaimana teori Hudud dan contoh penerapannya dalam Al-Quran?

B. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui biografi dan tingkatan pemikiran Muhammad Shahrur

b. Mengetahui kerangka pemikiran Muhammad Shahrur K

c. Mengetahui kata kunci dalam memahami pemikiran Shahrur

d. Mengetahui metodologi pemikiran Muhammad Shahrur

e. Mengetahui aplikasi metode penafsiran

f. Mengetahui teori Hudud dan contoh penerapannya dalam Al-Quran


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi dan tingkatan pemikiran Muhammad Shahrur


Nama lengkap beliau adalah Muhammad Shahrur ibn Dayb, ia lahir di kota Damaskus,
Syiria, pada tanggal 11 April 1938 Shahrur menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengahnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus, ia
menamatkannya pada tahun 1957. Sementara itu pendidikan tinngi Shahrur lebih banyak
dihabiskan di luar tanah airnya. Ia meraih gelar Diploma teknik sipil di Moscow Uni Soviet
pada tahun 1964. Di sinilah Shahrur mulai mengenal teori dan praktek paham, Marxis, yang
dikenal dengan konsep dialektika materialisme. Kepulangnya dari Moscow Shahrur kembali
ke tanah airnya dan menjadi dosen di fakultas Teknik universitas Damaskus. Shahrur
melanjutkan studi master dan doktor di universitas nasional irlandia, dalam bidang Mekanika
Pertanahan dan fondasi. Ia berhasil meraih gelar master padatahun 1969, dan gelar doktor
pada tahon 1972.
Shahrur dibesarkan dalam keluarga yang liberal, keluarganya menganggap kesalehan ritual
dianggap kurang penting dibandingkan dengan ajaran etika islam Syiria, tanah kelahiran
Shahrur turut memberi pengaruh besar dalam pemikirannya. Syiria merupakan salah satu
negara di Timur Tengah yang mengalami konflik modernitas, khususnya benturan keagamaan
dan gerakan modernitas barat Pengaruh islam fundamental masih sangat kental di Syiria,
syariat islam masih banyak &ang disejajarkan dengan kondisi pada masa nabi. Karena latar
belakang keluarga dan pendidikannya, Shahrur menganggap bahwa syariat islam pada masa
klasik sudah tidak relevan lagi lagi masyarakat sekarang, menurutn&a al-Qur’an sebagai
landasan utama umat islam perlu ditafsirkan kembali.
Dr. Ir. Muhammad Syahrur, pemikir liberal asal syiria. Syria adalah sebuah negara yang
mayoritas penduduknya Muslim. Sebagaimana negara-negara Timur Tengah lain, Syria juga
menghadapi problem modernitas, khususnya benturan keagamaan (antara agama) dengan
gerakan modernisme Barat. Problem ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh
Perancis, kekalahan dahsyat tentara Syria dan pengeboman Damaskus mengakhiri impian
negara bangsa Syria dan juga merupakan dampak dari modernisme Turki. Perancis telah
menduduki negara Syria tetapi berkuasa dengan ketidakpastian.
Sistem mandatnya sendiri menyatakan bahwa orang Perancis tidak dapat tetap berada di
Syria tanpa batas waktu dan nasionalisme Arab yang tidak konsisten dan tidak jelas telah
menjadi gagasan politik yang berkuasa di zaman itu.Problem ini pada gilirannya
memunculkan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Qasimy (1866-1914) dan Thahir al-Jaza’iry
(1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria. Reformasi al-
Qasimy murid Muhammad Abduh, mencanangkan untuk kembali menemukan makna Islam
yang orisinil dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah sambil menekankan kepada ijtihad. Gagasan
Al-Qasimy ini kemudian diteruskan oleh Thahir al-Jaza’iry beserta teman-temannya dan kali
ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya memajukan sektor pendidikan.4Dalam sejarah,
Syiria atau Suriah tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa besar dalam
belantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, maupun intelektual.
Banyak pemikir muslim yang juga lahir dari negeri Suriah ini, seperti Musthafa as-Siba’i,
seorang ahli hadits yang juga pernah menjadi pengawas umum gerakan Al-Ikhwanul Al-
Muslimun dan Muhammad Sa’id Hawwa yang juga menjadi tokoh gerakan tersebut. Di era
kontemporer sekarang ini, muncul pula tokoh-tokoh pemikir Syria, seperti Aziz al-Azmeh,
Adonis (Ali Ahmad Said), Georgy Kan’an, Firas Sawwah, dan Hadi Alwi, yang oleh Ghasan
F. Abdullah dikategorikan sebagai tokoh gerakan sekularisme baru di dunia Arab. Ia juga
sangat mumpuni dalam pengetahuan ilmu filsafat, bahasa dan selainnya, adalah Ja’far Dik
Albab yang merupakan sahabat dan sekaligus guru lingkungannya di Universitas
Damaskusyang sangat besar pengaruhnya pada pengaruhnya pada karir intelektual syahrur,
terutama dalam penyusunan karya awal sekaligus magnum opus-nya, Al-Kitàb wa al-Qur’àn;
Qirà’ah Mu’àêirah. Sejak publikasinya di tahun 1990, produk intelektual tersebut telah
menjadi buku terlaris (best seller) di seantero kawasan Arab. Buku kontroversial
merefleksikan pemikirannya, baik pada dimensi metodologi maupun aplikasi dalam
menafsirkan Al-Qur’an ditahun 1944, ia Kembali menelorkan karya keduanya yang berjudul
Diràsat al-Islàmiyah alMu’àêirah fì ad-Daulah wa al Mujtama’ yang menghimpun tema-
tema politik. Buku kedua ini tetap merujuk perspektif karya pertamanya. Di tahun 1996,
Shahrur kembali menghasilkan karyanya yang berjudul Al-Islàm wa al-Ìmàn; Mandzhùmah
al-Qiyàm yang mengurai beberapa konsep seputar rukun Islam dan rukun Iman. Selanjutnya,
di tahun 2000, ia menerbitkan lagi sebuah buku yang berjudul Nahwa Uêùl Jadìdah li al-Fiqh
al-Islàmì. Dalam uraian makalah ini, penulis akan lebih banyak merujuk kepada karya
pertama dan terakhirnya karena relevansi topik kajian.
Untuk lebih mengenal tahapan pemikiran tokoh kontroversial ini, maka perlu merinci
pemikirannya yang terbagi ke dalam tiga fase, yaitu:
1. Antara tahun 1970-1980
Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah
dasar dalam al-Qur’àn sebagai al-Dzikr. Dalam kurun sepuluh tahun ini, Shahrur tidak
menghasilkan karya. Ia hanya dalam masa menyadari bahwa metodologi penelitian dan
kajian Islam berada pada titik kritis lantaran masih terbelenggu dengan dimensi kalam
yang dimotori oleh Sunni dan Mu’tazilah serta corak fiqih yang terus diwarnai oleh lima
mazhab terkenal yaitu: Hanafi, Maliki, Hambali, Syafi'i, Ja'fari.
2. Antara tahun 1980-1986
Fase ini adalah fase bergelutnya Shahrur dengan bidang linguistik, termasuk filologi dan
menyelami Pandangan-pandangan beberapa tokoh ternama seperti al-Farra’, Abu ‘Ali al-
Farisi, Ibnu Jinni, al-Jurjani, dan sebagainya. Fase ini bermula dari pertemuannya dengan
Dr. Ja’far Dikki al-Bab yang selanjutnya menjadi teman sekaligus gurunya. Sejak itu,
Shahrur mulai menganalisis ayatayat al-Qur’àn dengan pendekatan baru. Yusroh Wahhab,
Telaah Pemikiran Kontroversial Shahrur dalam “Al-Kitàb wa al-Qur’àn; Qirà’ah
Mu’àêirah”, dalam Jurnal "Al-Qolam" Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
3. Antara tahun 1986-1990
Fase ini merupakan fase kreatifitasnya dalam merumuskan pemikiran pada topik-topik
tertentu. Bab pertama dari buku Al-Kitàb wa al-Qur’àn; Qirà’ah Mu’àêirah diselesaikan
antara tahun 1986-1987 dan bab-bab selanjutnya diselesaikan hingga tahun 1990.2

B. Kerangka pemikiran Muhammad Syahrur


Mendahului potret pemikiran hukum islam perspektif Syahrur, penulis menampakan aspek
Yang teramat urgent dan integral untuk menyelami pemikiran tokoh ini yaitu mengenal
kerangka dasar berfikir beserta memahami beberapa trem yang digunakan. Beranjak dari
pemikira nantara dualitas an-nubuwwah dan ar-risalah, shahrur memulai pemikirannya,

2
Muhammad Shahrur, Al-Kitàb wa al-Qur’àn; Qiràah Mu’àêirah, (Beirut: Syarikah al-
Mathbù’àt li at-Tawzì’ wa an-Nasyr, 2000), cet. VI, h. 54.5Shahrur, Al-Kitab ... h. 55.
Menurutnya, an-nubuwwah bersifat pengetahuan objektif, historis, dan independen dari
penerimaan manusia,sedangkan ar-risalah mengandung hukum objektif dan tergantung pada
pengetahuan manusia, yang pertama merupakan kumpulan tema-tema pengetahuan tentang
alam semesta dan hukum sejarah yang berfungsi sebagai pembeda antara yang salah dan
yang benar. Sedangkan yang kedua merupakan kumpulan selurh ajaran yang mesti
dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia berupa ibadah, muamalah, akhlak yang
berfungsi sebagai dasar taklif.
Dualitas berikutnya adalah antara al-Qur’àn dan al-Kitàb. Dengan teori anti-
sinonimitasnya, Shahrur menegaskan bahwa al-Qur’àn tidaklah mencakup keseluruhan al-
Kitàb, tetapi hanya mencakup dimensi an-nubuwwah. Adapun hukum Islam (syarì’ah)
masuk dalam dimensi ar-risàlah yang disebut Umm alKitàb. Baik al-Qur’àn maupun Umm
al-Kitàb, semuanya tercakup dalam al-Kitàb. Ia juga membagi al-Kitàb ke dalam dua bagian
besar, sebagaimana tersurat dalam Q.S Ali Imran [3]: 7. Ayat-ayat muhkamàt yang disebut
umm al-kitàb berupa sekumpulan hukum yang dibawa oleh Nabi saw. dan memuat asas-asas
perilaku manusia yaitu ibadah, muamalah, akhlak dan hal lain yang membentuk risalahnya
dan berfungsi selaku pembeda antara yang halal dan haram. Pada bagian kedua terdapat
ayat-ayat mutasyàbihàt. Lebih jauh, ia juga membuat suatu klarifikasi tersendiri, yaitu ayat-
ayat yang bukan muhkamat dan bukan pula mutasyabihat Pada tataran selanjutnya, shahrur
merngklarifikasi al-kitab kedalam tiga bagian, yaitu:
1.al-Qur’àn wa as-Sab’u al-Matsànì,
2.Umm al-Kitàb
3.Tafsir al-Kitàb

Secara ringkas dapat diurai bahwa yang pertama (al-Qur’àn) merupakan bagian dari al-
Kitàb yang bersangkut-paut dengan ayat-ayat mutasyàbihàt. Menurutnya, Banyak hal yang
dipunyai Al-Qur'an dan diluar jangkauan kesadaranmanusia yang membutuhkan penelitian
ilmiah dan objektif untuk memahaminya.

C. Kata kunci dalam memahami pemikiran Muhammad Shahrur


Dengan ungkapannya, shahrur memperlakukan Al-Qur’an sebagai data ilmiah yang selalu
relevan dengan data empiris dalam hal ini diwakili oleh keilmuan pada abad ke 20, Ketika
ilmu pengetahuan dituntut untuk disajikan dengan sedemikian sistematis, begitu 3pula teks
suci Tuhan. Sehingga teks yang oleh mayoritas kalangan dinilai sakral 4di tangan Syahrur
teks ini diposisikan sama dengan teks biasa (profan). Karena berstatus profan maka teks
Tuhan dapat didekati dengan bermacam-macam metode dan dikaji se-objektif
mungkin.Semakin ketat kriteria objektivitas pendekatan, maka semakin banyak pula wajah
tafsir yang terproduksi nantinya. Ada beberapa indikasi yang menjelaskan pada pendekatan
ilmiah ini, antara lain:5
a. Teori himpunan, teori limit, teori integral dan teori diferensial dijadikan sebagai alat
bantu dalam merumuskan teknis teori batas. Teori ini berarti bahwa aturan-aturan Allah
yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Tanzil menurut Syahrur memiliki batasan-batasan
tertentu di mana ijtihad dapat dilakukan selama tidak keluar dari batas yang ada tersebut
b. Teori helio sentris dan geosentris yang digunakan mengungkapkan kerancuan
pemahaman umat Islam dalam memahami Al-Qur’an.
c. Teori transformasi gelombang yang digunakan untuk mengungkapkan proses inzal dan
tanzil, Jika diaplikasikan ke dalam alQur'an maka menurutnya, tanzil memiliki definisi
sebagai sebuah transformasi wahyu dari Allah ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
yang kemudian disampaikan kepada umatnya. Proses ini berada di luar kesadaran
manusia.
d. Sedangkan inzal didefinisikannya sebagai transformasi dari petunjuk Allah kepada
bahasa manusia.
D. Metodologi pemikiran Muhammad Shahrur

33
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an,...h. 174; bandingkan Muhammad Syahur, Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer, terj: Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, Cet-6 (Yogyakarta:
eLSAQ Press,
2010), h. 35-36.
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an..., h. 29.
Ibid., h. 234-235
Ibid., h. 250 Muhammad Syahrur Dirasah Islamiyyah …, h. 210-217.
4

5
Dengan status ini maka, Syahrur menganjurkan kepada pembaca Al-Qur'an untuk
memposisikan diri dalam dua model. Pertama, berposisi layaknya sahabat pada masa Islam
awal. Dalam catatan sejarah mereka diajar Al-Qur'an secara langsung oleh Nabi
Muhammad.Kedua, berposisi seperti shahabat yang baru saja ditinggal wafat oleh
Muhammad SAW sebagai nabi mereka. Dengan posisi ini maka akan terbangun sebuah
pemahaman bahwa At-Tanzil selalu relevan dalam konteks dan dimensi apapun.
Implikasi teoritis dari pandangan ini adalah pembaca yang hidup pada era kontemporer
seperti saat ini, perlu menggunakan perangkat keilmuan kontemporer dalam memahami Al-
Qur'an tanpa terbebani secara psikologis dan teologis oleh karya tafsir klasik yang telah ada
di hadapan pembaca. Implikasi ini sebenarnya tidak hanya layak disematkan kepada
pembaca di era kontemporer saja. Namun lebih luas lagi, tepatnya ketika Al-Qur'an masih
dibaca dan dikaji maka, selama itu pula perangkat keilmuan yang ada dan berkembang dapat
diaplikasikan untuk memahami Al-Qur'an. Secara psikologis anggapan ini memberikan rasa
percaya diri pada setiap generasi dimanapun dan kapanpun untuk memberikan penafsiran
yang relevan bahkan sesuai dengan keadaan masing-masing.Bahkan tidak menutup
kemungkinan menghasilkan produk tafsir sangat berbeda dengan produk tafsir yang telah
ada. Selain berusaha untuk berposisi layaknya generasi awal, sebelum Syahrur melakukan
interpretasi terhadap ayat At-Tanzil terlebih dahulu objek kajian didekatinya dengan dua
pendekatan.6

E. Aplikasi metode penafsiran Muhammad Shahrur


Model penafsiranyang ditawarkan oleh Syahrur ini sebenarnya bukanlah merupakan
sesuatu yang baru dalam dinamika penafsiran al-Qur’an. Sebab metode tartil Syahrur
yang mengumpulkan atau meng-komparasikan semua ayat yang berkaitan dengan tema
pembahasan yang sama, sejatinya merupakan teknik metodis yang muncul dari prinsip
penafsiran di mana Kalaamullah itu sebagiannya menafsirkan ayat yang lain. Dan
praktik penafsiran semacam ini sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Muhammad
saw., namun baru dikenal pada abad ke-20 dengan sebutan tafsir mawdu’I (tafsir
tematik). Langkah-langkah metode tematik justru dirumuskan oleh mufassirlain seperti

Ahmad Zaki Mubarok, pendekatan stukturalisme linguistic dalam tafsir Al-Qur’an kontenpoter
64

“ala” M. Shahrur, hal.174-175


al-Farmawi dan Hassan Hanafi. Al-Famawi misalnya, telah menawarkan langkah-langkah
metodis dalam mengkaji Al-Qur’an secara tematik. Berikut langkah-langkahnya:
a. Menemukan topik permasalahan terlebih dahulu
b. Menemukan semua ayat yang berhubungan mengenai tema permasalahan yang akan
dibahas
c. Menampilkan runtutan ayat secara kronologis,
d. Mengkaji keterkaitan antar satu ayat dengan ayat yang lain dalam masing-masing
suratnya
e. Topik pembahasanya disusun dalam kerangka yang baik
f. Memperkaya data dukungan dengan beberapa riwayat hadist yang terkait
g. Mengkaji semua ayat yang di kumpulkan

F. Teori Hudud dan contoh penafsirannya dalam Al-Quran’


Istilah hudud memang sudah dikemukakan oleh para ulama. Kata hudud adalah bentuk
dari kata hadd yang artinya batas-batas, dan menurut Ibn Manzhur kata al-hadd diartikan
sebagai Batasan (penghalang), dari sini, daoat dimengerti bahwa ssebuah ancaman
hukuman atas sesuatu yang dilarang disebut dengan had, karna ancaman itu diharapkan
dapat mencegah orang dari melakukan kejahatan.
Menurut hemat penulis dalam al-Qur'an tidak ada kata hadd yang berarti hukuman. Ia
berubah pengertiannya menjadi hukuman setelah munculnya teori hukum fikih
konvensional, sehingga dalam kitab-kitab fikih bisanya ada bab tersendiri yaitu bâb al-
hudûd. Itulah mengapa dalam teori fikih konvensional hudud dipahami sebagai ancaman
hukuman atau al-uqybat yang dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran hukum. Para
ulama lalu mengidentifikasi beberapa tindakan yang dapat diancam dengan hukuman hudûd
antara lain sebagai berikut:
1. Perzinaan, jika pelakunya ghairu muhshan (perjaka) dan muhshanât (perawan), maka
diancam dengan hukuman dera seratus kali (Q.S. al-Nûr [24]: 2). Sedangkan jika pelaku
zina sampai mati. Ini pernah dipraktikkan Nabi Saw terhadap dua pezina, laki-laki dan
perempuan bernama Ma'iz dan Ghamidiyyah, sebagaimana diceritakan dalam hadis Imam
Muslim.13
2. Menuduh wanita baik berbuat zina. Jika penuduh tidak dapat menghadirkan saksi-saksi
yang diperlukan, ia diancam dengan hukum hadd sebagai berikut delapan puluh kali dera
(Q.S. al-Nur [24]: 4)
3. Pencurian. Pelakunya diancam dengan hukuman potong tangan seperti dalam al-Qur'an
(Q.S. al-Mâ'idah [5]: 38).

4. Minum khamr atau minuman keras, palakunya diancam dengan hukuman dera (cambuk)
empat puluh kali, seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Muslim.

5. Gangguan keamanan atau perampok (al-Hirabah dan Quththâ` al-Tharîq). Palakunya akan
dihukum hadd, dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya (Q.S. al-Mâ‟idah [5]: 33).

6. Pembunuhan secara sengaja. Pelakunya diancam hukuman hadd, yakni dibunuh (qishâsh)
(Q.S. al-Baqarah [2]:178)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah menelusuri pemikiran Shahrur dalam kaitannya dengan hukum Islam, maka dapat
ditarik sebuah gambaran bahwa pemikirannya tergolong liberal dan berusaha menggugah
kesadaran para pembaca karyanya bahwa konsep berpikir selama ini dalam beberapa hal
sudah semestinya ditata ulang.
Beranjak dari kerangka berpikirnya yang mengedepankan prinsip tidak adanya
sinonimitas, melahirkan produk pemikiran yang berbeda dengan pemahaman mayoritas
ulama Dalam wacana ilmiah, sederet kontribusi pemikiran yang ia kemukakan tanpa
mengaitkan dengan latar akademiknya patut mendapat apresiasi akademik yang
proporsional. Konteks ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah yang dipahaminya secara berbeda
dengan pemahaman mayoritas menyebabkan terbukanya kerang untuk berkreasi intelektual
(ijtihad) yang niat awalnya mensejajarkan validitas wahyu dengan pesatnya perubahan dan
perkembangan situasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Tabrani Tajuddin, Neny Muthiyatul Awwaliyah 2019, Jurnal Ilmu Ushuluddin;Pemikiran


Hermeneutika Muhammad Syahrur Tentang Konsep Jilbab dalam Al-Qur’an. 1(2).

Ramdani hamid. 2012. Jakarta. Kementrian Agama Republik Indonesia. Pemikiran Modern
Islam 2012, hal. 178

Muhammad Shahrur, Al-Kitàb wa al-Qur’àn; Qiràah Mu’àêirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbù’àt


li at-Tawzì’ wa an-Nasyr, 2000), cet. VI, h. 54.5Shahrur, Al-Kitab ... h. 55.

Anda mungkin juga menyukai