Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEJARAH KAJIAN AL QURAN MODERN


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran modern dan Kontemporer
Dosen Pengampu: Ibnu Khaldun M. IRKH

Di susun Oleh:
Mochamad Fajar Hidayat (2142115008)
M Salim Said (2142115030)
Zunaidil Rois (2142115024)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, dengan ini kami panjatkan puji dan syukur atas kehadiratnya, yang telah
melimpahkan rahmat Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “ Sejarah kajian Alquran modern”.
Adapun makalah kami tentang “Sejarah kajian Alquran modern” ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak,
sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami
juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman sangat
dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini kedepannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Samarinda, 1 Maret 2024

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar isi ................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................

a. Latar belakang ............................................................................................... 1


b. Rumusan masalah .......................................................................................... 3
c. Tujuan penulisan ........................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

a. Sejarah kemunculan pemikiran modern ....................................................... 4


b. Tokoh-tokoh penafsir modern ....................................................................... 9
c. Tema yang muncul dalam pemikiran modern ............................................... 11

BAB III PENUTUP .................................................................................................

a. Kesimpulan .................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di zaman Islam klasik, Eropa sedang berada di zaman pertengahan yang
terbelakang. Tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa dan Italia,
Perancis, Inggris dan lain- lain berdatangan ke Andalusia untuk mempelajari
sains dan filsafat yang berkembang dalam Islam. Kemudian mereka pulang ke
tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka peroleh itu. Buku-
buku ilmiah Islam mereka terjemahkan kedalam bahasa latin. Melalui
pemikiran rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya dibawa
ke Eropa, tetapi di sana menghadapi tantangan dari gereja. Pertentangan itu
membuat ulama sains dan filsafat di Eropa melepaskan diri dari gereja dan
pemikiran rasional disana berkembang lepas dari ikatan agama. Pemikiran
rasional di Eropa pada zaman renaissance dan zaman modern kembali
menjadi sekuler seperti di zamanYunani sebelumnya.
Pemikiran rasional sekuler itu membawa kemajuan pesat dalam bidang
filsafat, sains dan teknologi di Eropa sebagaimana yang kita saksikan
sekarang ini. Ketika pemikiran rasional Islam pindah ke Eropa dan
berkembang di sana, di dunia Islam zaman pertengahan berkembang
pcmikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional tersebut. Dalam
pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada Al Quran dan
Hadis, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang sangat
banyak jumlahnya. Oleh karena itu ruang lingkup pemikiran ulama zaman
pertengahan amat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir akibatnya
sains dan filsafat, bahkan juga ilmu- ilmu agama tidak berkembang di dunia
Islam zaman pertengahan. Filsafatdan sains malah hilang dari peredaran. Ini

1
bertentang sekali dengan keadaan diEropa zaman modern dimana filsafat dan
sains amat pesat berkembang dan jauh melampaui capaian dunia Islam.
Ketika Umat Islam timur tengah menjalin kontak dengan Barat pada
abad ke delapan belas masehi mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa.
Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar dari mereka pada abad
ke-12 dan abad ke-13 telah begitu maju, bahkan mengalahkan mereka dalam
peperangan-peperangan seperti yang terjadi antara kerajaan Turki Usmani dan
Eropa Timur.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke-19 merenungkan apa yang perlu
dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali scbagaimana umat
Islam zaman klasik dulu. Maka lahirlah pembaharuan Islam di Mesir seperti
Al Tahtawi, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani.
Semua pembaru ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketinggalan itu
umat Islam harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman
Islam klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi. Abad ke
sembilan belas ini dianggap sebagai permulaan zaman modern dalam dunia
Islam.1
Nilai-nilai modernisasi Islam mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan umat Islam, sehingga akibat gerakan pembaruan yang dicetuskan
dan diperjuangkan oleh pembaru yang tersiar di kalangan Negara-negara
Islam, maka tumbuhlah rasa kesadaran bagi umat Islam untuk mengikuti
gerakan pembaruan tersebut, sehingga menimbulkan suatu kebangkitan dunia
Islam, baik dalam bidang Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Politik sekaligus
tumbuh gerakan menentang penjajahan.2

1
Harun Nasution, Islam Rasional, cet. Ke I, Bandung: Mizan, 1995, h. 9
2
A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam, Cet. Ke I, Jakarta: Rineka Cipta,
1994, h. 147

2
Ingin mencoba untuk membahas isi pengertian, latar belakang dan peta
kemunculan pemikiran modern dalam Islam. Diharapkan dengan pembahasan
ini akan diketahui lebih jelas dan akan menjadipijakan awal dalam membahas
topik-topik selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah muncul pemikiran modern?
2. Siapa saja tokoh penafsir modern dalam islam dan apa saja temanya?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah munculnya pemikiran modern.
2. Mengetahui Siapa saja tokoh penafsir modern dalam islam dan apa saja
temanya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah kemunculan pemikiran modern.

Konteks pemikiran modern dalam Islam, merupakan suatu wacana yang


mengawali perubahan mendasar bagi Islam sebagai suatu nilai ajaran dan
umatnya sebagai pembuat arus perubahan tersebut. Modernisme dalam
khazanah masyarakat Barat mengandung makna pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi- institusi lama
dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern.3

Pengertian ini secara garis besarnya mengandung arti upaya atau aktivitas
untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaan-keadaan yang sedang
berlangsung kepada keadaan yang baru yang hendak diwujudkan. Ia berarti
sebuah upaya untuk kemaslahatan hidup umat Islam baik di dunia maupun di
akhirat sesuai dengan garis-garis pedoman yang ditentukan oleh Islam. Kalau
upaya pembaruan ini melanggar ajaran dasar atau tidak sesuai, maka
pembaruan itu tidak bisa disebut pembaruan dalam Islam. bahkan merupakan
pembaruan diluar Islam.4

Menurut Deliar Noer, bahwa yang dimaksud dengan gerakan modernism


dalam Islam adalah gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah, kedua
sumber pokok Islam. Ajaran ini bersifat prinsipil, garis besar dan dipercayai
berlaku untuk segala tempat dan zaman, sehingga ia senantiasa modern. Ia
perlu ditimbulkan kembali karena telah tertutup oleh tradisi, adat kebiasaan
yang tidak sesuai dengan ajaran pokok itu.5

Kesadaran akan perlunya diadakan pembaruan timbul pertama kali


dikerajaan Turki Usmani dan di Mesir. Kerajaan usmani mempunyai daerah
kekuasaan di Eropa Timur yang meluas sampai pintu gerbang kota Wina.

3
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Cet. Ke I,
Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, I 998, h. 1
4
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Jembatan, t.t, h. 760
5
Deliar Noer, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Cet. Ke I,
Jakarta: GunaAksara, 1989, h. 83

4
Maka orang-orang Turki Usmani sejak awal telah mempunyai kontak
langsung dengan Eropa. Sampai abad ke tujuh belas masehi kerajaan Usmani
senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan melawan raja-raja
Eropa. Tetapi mulai dari abad ke-18 masehi keadaan itu berbalik. Raja-raja
Eropalah yang menang dan kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan.

Sultan-sultan kerajaan Usmani pun mengirim duta-duta ke Eropa untuk


mengetahui rahasia kekuatan raja-raja di Eropa yang pada abad-abad
sebelumnya masih berada dalam keadaan yang amat mundur. Atas dasar
laporan-laporan dari para duta itulah mula diadakan pembaruan di kerajaan
Usmani, terutama mula dan permulaan abad ke-19, tapi pada mulanya bukan
dalam bidang pemikiran, melainkan dalam pranata sosial. terutama
kemiliteran dan pemerintahan.

Pada masa Tanzimat (1839-1865) timbul pemimpin-pemimpi yang


banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Mereka berkenalan dengan
pemikiran rasional, konsep hukum alam dan kebebasan manusia dalam
kehendak dan perbuatan. Pemikiran tradisional mereka lenyap.

Demikianlah, ide-ide yang berkembang di Turki. Dan tidak


mengherankan kalau pembaruan di sana pada akhirnya membawa pada
berdirinya Republik Turki yang sekuler.

Kontak Mesir dengan Eropa bermula dengan datangnya ekspedisi


Napoleon Bonparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Dalam
masa 3 minggu, kaum Mamluk yang berkuasa di Mesir dikalahkan pasukan
Prancis, dan seluruh Mesir jatuh ke tangan Napoleon Bonaparte.

Bersama Napoleon turut datang ke Mesir Ilmu Pengetahuan dan


kebudayaan Barat. Di Kairo ia dirikan lembaga ilmiah Institut d’Egypte yang
mempunyai empat bagian: Ilmu pasti, ilmu Alam, ilmu ekonomipolilik, dan
sastra seni. Napoleon mempunyai hubungan yang baik dengan ulama Al-
Azhar dan lembaganya itu banyak dikunjungi oleh kaum terpelajar Mesir.
Disinilah bertemu ulama Islam abad ke sembilan belas dengan ilmuan-ilmuan
Barat modern. Disinilah ulama Islam mulai sadar bahwa dalam bidang
pemikiran dan bidang ilmiah ulama Islam udah jauh ketinggalan. Akan tetapi
hanya sedikit dari ulama Al-Azhar yang berpendapat bahwa pemikiran dan
ilmu yang berkembang di Barat itu perlu dipelajari dan diambil alih.

5
Setelah ekspedisi Napoleon bcrahir di Mesir, Muhammad Ali (1805-
1848M), seorang perwira Turki, mengambil alih kekuasaan. Ia ingin menjadi
sultan yang berpengaruh di dunia Islam dan untuk itu ia berpendapat, Mesir
harus dijadikan negara yang maju. Rahasia kekuatan dunia Barat melalui
ekspedisi Napoleon telah dapat ditangkap di Mesir. Dasarnya adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Untuk itulah ia dirikan sekolah-sekolah:
sekolah Militer (1815), sekolah teknik (1816), sekolah Kedokteran (1827),
sekolah Apoteker (1829), sekolah pertambangan (1834) dan sekolah
Penerjemahan (1836).

Selain mendirikan sekolah-sekolah, ia mengirim pula pelajar-pelajar ke


Eropa, terutama Paris. Jumlahnya lebih dari tiga ratus. Setelah kembali ke
Mesir mereka ditegaskan menerjemahkan buku- buku Eropa ke dalam bahasa
Arab, disamping mengajar di sekolah-sekolah yang ia dirikan.

Pelajar- pelajar yang dikirim ke Paris diawasi oleh seorang Imam. Salah
satu dari Imam itu adalah Rifa’ At Thahthawi (1803-1873 M), seorang ulama
lulusan Al-Azhar, yang melalui gurunya Syaikh Hasan Al Attar, menaruh
perhatian pada ilmu pengetahuan yang sedang berkembang di Barat. Jadi tidak
mengherankan kalau sekembalinya di Mesir ia menjadi salah satu pemikir
pembaruan yang berpengaruh di negeri ini. Diantara pendapatpendapat baru
yang dikemukakan ialah ide pendidikan yang bersifat Universal. Pendidikan
dalam Islam bukan hanya untuk anak laki-laki saja, tetapi juga untuk anak
perempuan.Ide terpenting yang dikemukakannya adalah pintu ijtihad tidak
tertutup. Ia mengatakan , ulama Al-Azhar perlu mengetahui ilmu pengetahuan
modern agar mereka dapat menyesuaikan interretasi syari’at dengan
kebutuhan zaman modern. Ia juga mengkritik sikap fatalisme yang terdapat
pada zamannya, tetapi ia tidak setuju dengan sikap Barat yang melepaskan diri
dari kekuasaan Tuhan. Ia berpendapat bahwa umat harus berusaha keras dan
baru kemudian berserah kepada kehendak Tuhan. 6

Beberapa tahun sebelum At Thahthawi meninggal dunia, Jamaluddin Al-


Afghani datang ke Mesir dan juga membawa ide- ide pembaruan. Dengan
tegas ia mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan tidak ada
orang yang berhak menutupnya. Dalam menghadapi tantangan zaman ulama
Islam harus kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Ajaranajaran dasar dalam

6
Harun Nasution, Pembaharnan Dalam Islam, Sejarah dan Gerakan, Cet. Ke 9, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975, h. 42

6
kedua sumber itulah yang harus diberi interpretasi baru sesuai dengan zaman
modern melalui ijtihad. Bahwa ajaran qadha’ dan qadar mengandung paham
fatalistik. Menurut pendapatnya, qadha’ dan qadar mengandung arti bahwa
segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab akibat. Kemauan manusia
merupakan salah satu dari mata rantai hukum sebab akibat. Qadha dan qadar
menurutnya sama dengan hukum alam ciptaan Tuhan.

Pemikir pembaruan yang besar pengaruhnva di Mesir adalah Muhammad


Ahduh. Ia lebih memperjelas dan mempertegas metode berpikir yang secara
implisit terkandung dalam pemikiran At Thalithawi dan Al Afghani. Ia
menentang jumud, kebekuan dan ke-statisan umat Islam. Al Quran
mengajarkan dinamika, bukan kejumudan. Ia juga keras menentang sikap
taklid umat kepada ulama masa lampau. Disamping itu, ia juga dengan tegas
mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan untuk kemajuan
umat Islam zaman modern perlu diadakan ijtihad terhadap naskah Al Quran.
Kalau nash mengenai ibadah bersifat tegas, maka nash mengenai muamalah
dan hidup kemasyarakatan mengandung hanya prinsip-prinsip umum. Lagi
pula nash itu jumlahnya hanya sedikit. Interpretasi prinsip-prinsip umum ini
melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan keperluan perkembangan modern.

Sementara itu pemikir pembaruan di Indonesia muncul terlambat


setengah abad dari India dan satu abad dari Mesir dan Turki. Latar belakang
pembaruan di Indonesia memang jauh berbeda dengan latar belakang yang
ada di Mesir, Turki dan India.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Mesir yang mempunyai Kairo


sebagai ibu kota dengan Universitas Al Azhar yang didirikian pada abad
kesepuluh, adalah merupakan pusat peradaban Islam dan kekuatan politik
yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa lampau. Sultan- sultan
Mesir turut berperang dalam mengalahkan kaum salib dan dapat mematahkan
kekuatan Hukgu Khan di `Ain Jalut, sehingga Mesir, Afrika utara dan Spanyol
Islam selamat dari kehancuran sebagaimana dialami oleh dunia Islam bagian
timur.

Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di dunia Islam
abad-abad keenam belas sampai abad kedelapan belas (ketika di Eropa,
Inggris dan Perancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam
politik internasional). Bahkan kerajaan Turki Usmani menguasai daratan
Eropa dan Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina.

7
Adapun di India, dengan berdirinya kerajaan Mughal, merupakan Negara
kedua dari tiga Negara besar tersebut diatas, Delhi merupakan pusat
kekuasaan dan kehudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur. Maka ketiga
negara ini sadar akan kebebasan mereka sebagai pusat kekuatan politik dan
kebudayaan Islam. Dan ketika Inggris dan Perancis memulai penetrasi mereka
ke dunia Islam, mereka sadar kejayaan dan kebesaran mereka sebenarnya
sudah berakhir. Mereka sadar akan kemunduran mereka dibandingkan dengan
Barat. Kesadaran inilah yang membuat mereka mempelajari dasar-dasar
kemajuan Barat dan mereka ketahui bahwa dasar utamanya adalah pemikiran
rasional dan ilmiah yang berkembang di Barat karena pengaruh Ibnu Rusyd.
Oleh karena itulah, pemikir- pemikir pembaruan di ketiga negara itu
mengubah pemikiran tradisional dengan pemikran rasional dan ilmiah. Dan
seperti telah digambarkan diatas, di Mesir dan di India bahkan dihidupkan
kembali pemikiran rasional Mu’tazilah.

Keadaan di Indonesia berbeda sekali dengan keadaan di tiga Negara


tersebut. Indonesia tidak pernah menjadi negara Islam besar dan tak pernah
pula menjadi pusat kebudayaan Islam. Islam berkembang di Indonesia mulai
abad ke-13. Maka Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah
Islam zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang
tinggi, melainkan Islam yang telah mengalami kemunduran dengan pemikiran
tradisional dengan corak tarekat dan fikihnya. Disamping itu penetrasi Barat
ke Indonesia lebih awal dari Timur Tengah, yaitu pada abad ke-16.

Oleh sebab itu, faktor yang mendorong pembaruan di Indonesia bukanlah


kesadaran akan kejayaan dan kebesaran Islam masa lampau, tetapi faktornya
antara lain adalah pengalaman dan pengetahuan orangorang Indonesia yang
belajar di Haramain dari kairo, dimana pembaruan tumbuh dan berkembang.

Diantara orang-orang yang belajar di Makkah tetapi mempunyai kontak


dengan pembaruan di Mesir adalah Syaikh Ahmad Soorkati, yang kemudian
menjadi orang yang berpengaruh dalam Al Irsyad. Salah seorang lagi adalah
Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Di Makkah keduanya telah
berkenalan dengan pembaruan yang berkembang di Mesir melalui Al Manar.
Pengetahuan mereka tentang pembaruan di Mesir mendorong mereka untuk
mengadakan pembaruan pula di Indonesia. Jadi tidaklah salah kalau
dinyatakan bahwa pembaruan yang terjadi terutama di Mesir mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pembaruan di Indonesia.

8
B. Tokoh Penafsir modern dalam islam
1. Mufassir modern

Jamaludin Al-Afghani adalah orang yang mula-mula menyebarkan


paham modernisasi. Ia menyeru untuk menghidupkan kembali pemikiran
keagamaan Islam yang rasional dan objektif. Pemikiran tersebut
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Muhammad Abduh. Secara
spesifik pergerakan Abduh berupa perbaikan pendidikan agama dan
masyarakat. Ia menjadikan tafsir Al-Qur`an sebagai landasan dasar gerakan
modernisasi Islam dan perbaikan pendidikan Islam. Muhammad Abduh
menjadi penyemangat bagi mufasir setelahnya untuk mengembangkan
pemikiran modern tersebut.7

Tokoh mufasir yang muncul pada zaman modern ini diantaranya adalah
sebagai berikut:8

a. Muhammad Abduh (w. 1905 M) menulis Tafsir Juz ‘Amma.


b. Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M). Ia merupakan redaktur majalah
Al-Manar yang melanjutkan penafsiran Muhammad Abduh selaku
gurunya. Abduh menyusun Tafsir Al-Manar sampai surah Yusuf.
Uraian tafsirnya mengikuti generasi terdahulu yaitu berdasarkan
riwayat. Akan tetapi penafsirannya lebih modern serta mengandung
petunjuk kemasyarakatan dan perjuangan.
c. Jamaluddin Al-Qasimi (w. 1914 M) menulis tafsir Mahasinut Ta`wil.
d. Muhammad Mustafa Al-Maraghi (w. 1945). Ia pernah menjadi Syaikh
Al-Azhar dan telah menafsirkan beberapa surah dengan cara ilmiah,
modern, dan mudah dipahami.

7
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur`an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai,
2003) h. 22.
8
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur`an di Indonesia,,, h. 22.

9
e. Ahmad Mustafa Al-Maraghi (w. 1952) menulis tafsir lengkap seluruh
ayat Al-Qur`an.
f. Mahmud Syaltut menulis Tafsir Al-Qur`an Al-Karim.
g. Sayid Quthub menulis tafsir Fi Zhilal Al-Qur`an. Ia juga menulis
beberapa buku tentang Al-Qur`an, seperti Masyahidul Qiyamah fi Al-
Qur`an dan At-Taswir Al-Fanni fi Al-Qur`an.
h. Ali Ash-Shabuni menulis kitab Rawai’ Al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam
min Al-Qur`an. Ia juga menulis Shafwat At-Tafasir yang meringkas
kitab-kitab tafsir besar.
2. Tokoh mufassir modern di Indonesia

Perkembangan pemikiran dalam bidang tafsir al-Qur`an diIndonesia


dapat dipetakan menjadi tiga generasi. Pertama, kira-kira dimulai awal
abad ke-20 sampai awal tahun 1960. Periode iniditandai oleh penerjemahan
dan penafsiran yang masih terpisah- pisah.9 Kedua, merupakan
penyempurnaan atas upaya generasi pertama. Penerjemahan lengkap satu
mushaf muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Pada periode ini biasanya
memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan
kadang-kadang disertai dengan suatu indeks yang sederhana. Ketiga, mulai
muncul pada tahun 1970-an, berupa penafsiran yang lengkap. Penafsiran-
penafsiran pada generasi ini memberikan komentar-komentar yang luas
terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya.10

Berbagai karya berbahasa Indonesia tentang Al-Qur'an telah lahir


sejak pertiga awal abad XX. Bentuknya berupa terjemahan Al-Qur`an
dengan beberapa anotasi atau dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian

9
Hal ini merupakan langkah kemajuan, karena di zaman itu beberapaulama ada yang masih
mengharamkan penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Indoesia
10
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur`an Di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish
Shihab, trj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996, 129-137.

10
atau keseluruhan. Dalam bentuk terjemahan Al-Qur'an dengan beberapa
anotasi di mana perlu antara lain:11

a. Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur'an al-Karim (1930)


b. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir
al-Qur’an Al-Karim (1955)
c. Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959)
d. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur'an (1978)
e. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983)
f. Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan
Terjemahnya (1975)

Dalam bentuk tafsir Al-Qur`an sebagian ataukeseluruhannya, antara lain:12

a. Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan: Tafsir Juz ‘Amma (1922)


b. Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930).
c. M. Hashbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur`anul Majid An-Nur
d. (1952) danTafsir Al-Bayan (1962)
e. HAMKA, Tafsir Al-Azhar(1982)
f. Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur`an dan Tafsirnya (1995)
g. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an (2000).
C. Tema yang muncul dalam kajian alquran modern
1. Kontekstualisasi Penafsiran Hamka dalam Q.S. AnNisa’/4: 3

Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’dîd zaujah (bilangan pasangan).


Kata poligami terdiri atas kata poli, artinya banyak dan gami, artinya istri.
Jadi, poligami adalah kawin banyak atau suami memilki istri banyak atau pada
saat bersamaan seorang laki-laki menikah dengan lebih dari satu istri.

11
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Itqan, 2014) h. 286.
12
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur`an,,,h. 286.

11
Sebagaimana yang termuat dalam Q.S. an-Nisa’[4]: 3 yang berbunyi sebagai
berikut :

‫س ۤا ِء َمثْ ٰنى‬ َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫ط ْوا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬ ُ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ اَّل ت ُ ْق ِس‬
‫ت ا َ ْي َمانُ ُك ْۗ ْم ٰذ ِل َك اَد ْٰنٰٓى اَ اَّل‬
ْ ‫َم َل َك‬ ‫احدَة ا َ ْو َما‬ِ ‫ث َو ُر ٰب َۚ َع فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ اَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َو‬ َ ‫َوث ُ ٰل‬
‫تَعُ ْولُ ْو ْۗا‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja atau budakbudak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Salah satu persoalan yang mencuat lahirnya keragaman tafsir adalah


terkait penafsiran Q.S. An-Nisa’/4: 3 yang selama ini tak pernah usai untuk
diperbincangkan dari berbagi ulama klasik hingga kontemporer. Keragaman
tersebut telah menujukkan ketidak sepahaman ketika para ulama berusaha
menggali dan memahami makna teks itu sendiri. Secara spesifik, ada beberapa
kesimpulan yang telah dilontarkan oleh para mufassir. Di antaranya, Pertama,
Ada yang memandang bahwa ayat tersebut menujukkan adanya kelonggaran
untuk melakukan poligami. Secara historis, mereka mengikuti apa yang telah
dilakukan Nabi Muhammad Saw dan menganggap poligami sebagai sunnah.
Pandangan ini sebagaian para mufassir cenderung memahami ayat ini secara
tekstual tanpa menarik kontekstual.

Kedua, pandangan yang membolehkan poligami dengan beberapa


persyaratan. Syarat keadilan harus terpenuhi, yaitu keadilan formal distributif.
Suami harus mampu memenuhi nafkah lahir dan nafkah batin para istri secara
adil, Syarat keharusan izin istri atau istri-istri, bahkan melalui prosedur
persidangan di pengadilan serta syarat-syarat lainnya. Ketiga, ada yang
melarang secara jelas untuk melakukan poligami. Karena teks tersebut bukan
menunjukkan pada poligami melainkan lebih menunjukkan pada monogami.

12
Kecendrungan pandangan ini melihat dari situasi dan kondisi ketika
mempadukan antara teks dan realitas. 13

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam menyikapi isu poligami


ini tentu saja menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh, karena di dalamnya
memperlihatkan sebuah stagnasi dan sekaligus dinamika pemikiran yang terus
menerus berkembang dan sengaja dikembangkan. Perkembangan pemikiran
ini menunjukkan bahwa mereka (baik yang pro maupun yang kontra/anti
poligami) tengah menghadapi dan sekaligus bergumul dengan perubahan-
perubahan sosial yang terus bergerak di era sekarang ini. Sehingga penafsiran
al-Qur’an selalu dinamis dan transformatif ketika para mufassir telah
menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda. Disinilah pengkajian al-Qur’an
eksis dan menempatkan posisi yang relevan sesuai arus perubahan14.

Hal ini sebagaimana kontekstualisasi penafsiran Buya hamka dalam


tafsir Al-Azhar terkat ayat tersebut bukan lagi dipahami sebagai konsep
melakukan poligami karena hal tersebut identik secara tekstual. Namun
demikian, ketika ayat tersebut dipahami secara kontekstual maka ayat tersebut
bukan dipahami sebagai poligami. Hamka merumuskan dalam penafsiranya
dipahami sebagai tentang minikahi anak yaitm atau jika tidak mampu berbuat
adil maka menikahi seseorang. Hamka dalam penafsiranya, poligami pada
prinsipnya untuk memenuhi hak dan anak yatim pada saat itu, karena hal ini
berdasarkan kesejarahan alQur’an itu diturunkan. Maka kesimpluan dari tafsir
adalah monogami sebagai salah satu upaya untuk mensejahterakan sosial bagi
umat.15

Ketika hamka menafsirkan ayat tersebut memahami ayat alQur’an


secara kontekstual dengan melihat asbâbun nuzul-Qur’an baik mikro maupun
mikri yaitu melihat konteks sosiol historis sebab-sebab turunya sebuah ayat
tersebut. Dalam kontes ini prapemahaman adalah sosial yang melingkupi
sipenafsir seperti yang telah dipaparkan diatas, sebenarnya keterkaitan antara
pemahaman sosial historis dengan teori ini yang mencakup tentang
pemahaman sekarang atau situasi dan kondisi yang melingkupi para penafsir

13
Hussein Muhammad, Ijtihad Kyai Hussein: Upaya Membangun Keadilan Gender, (Cet. I
Jakarta: Rahima, 2011), h. 17
14
Mansur, Dekonstruksi Tafsir Poligami Mengurai Dialektika Teks Dan Konteks, (Jurnal: Al-
Ahwal, Vol. 1, No. 1, 2008), h. 33
15
Haji Abdullah Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Juz ke-4, (Jakarta: PT
Pustaka Panjimas, 1988), h. 237

13
kontemporer saat ini. Untuk itu dalam mengungkapkan pesan-pesan teks
supaya objektif sebenarnya dituntut untuk meningglakan pra-pemahaman
dalam arti pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an harus berdasarkan
probem yang dihadapi saat ini (konteks mempunyai konteks tersendiri), maka
untuk menafsirkan dan memahami teks diperlukan kajian sosial dimana teks
tersebut muncul dalam tahap aplikasi Rahman juga tidak menggunakan makna
literal teks tapi ideal moral dari teks tersebut.16

2. Kontekstualisasi Penafsiran M. Quraish Shihab Terhadap Q.S. an-


Nisa (4): 3

َ ‫س ۤا ِء َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬


‫ث َو ُر ٰب َۚ َع فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ اَّل‬ َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫ط ْوا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬ ُ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ اَّل ت ُ ْق ِس‬
ْۗ‫َت ا َ ْي َمانُ ُك ْۗ ْم ٰذلِكَ اَد ٰ ْٰٓنى ا َ اَّل تَعُ ْولُ ْوا‬
ْ ‫احدَة ا َ ْو َما َملَك‬ ِ ‫ت َ ْع ِدلُ ْوا فَ َو‬

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah)
seorang saja atau budak- budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”17

Beberapa ulama tafsir Indonesia telah melahirkan berbagai karya-karya


tafsir yang secara khusus telah menafsirkan ayat-ayat yang senada yaitu
terkait Q.S. An-Nisa’ [4]: 3 selama ini juga berkontribusi dan mendukung
untuk melihat sebuah dinamika dan pergeseran penafsiran al-Qur’an. Hal ini
sebagaimana dalam perspektif M. Quraish Shihab memandang bahwa
peraturan tentang poligami merupakan suatu hal yang sangat kecil untuk
diterapkan hanya orang-orang yang sangat membutuhkan. Hendaknya di
tinjau dari aspek ideal baik, dan buruknya dan dilihat dari sudut pandang
penetapan hukum dalam kondisi yang mungkin terjadi.18 M. Quraish Shihab
bahwa, jika ayat tersebut tatap akan dipahami sebagai ayat poligami itu adalah
pintu kecil untuk dilakukan. Shihab menjelaskan Adil dalam konteks poligami
sangat tidak bisa dilakukan dan menimbulkan dampak kekerasan terhadap

16
Wely Dozan, Rekonstruksi Sebagai Metodologi Interpretasi Teks Al- Qur’an, (Al-Hikmah:
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 10. No.1 Maret, 2020), h. 35
17
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2016), h. 27.
18
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan dan Keserasian Al-Qur’an),Volume 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 410

14
perempuan. Kesimpulan Shihab mengantarkan bahwa, poligami bukan
sebagai salah satu upaya yang dipahami selama ini melainkan pintu kecil
untuk melakukan poligami sehingga monogami sebagai salah satu cara
alternatif untuk menegakkan keadilan terhadap masyarakat dan umat.

3. Kontekstualisasi Penafsiran Berbasis Gender Nasaruddin Umar


Secara umum bahwa Nasarrudin umar mengatakan bahwa kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan itu terdapat berbagai ragam pendapat.
Diantaranya. Menurut mansur Fakih, perbedaan jenis kelamin ada yang
bersifat kodrati. Oleh karena itu tidak dapat dirubah dan ada yang bersifat
kontruksi budaya yang bisa berubah menurut waktu dan tempat. Secara
spesipik.
Ketidakadilan terhadap perempuan terjadi dalam beberapa hal
diantaranya. Pertama, Tersingkirnya perempuan dari dari wilayah publik
sehingga mereka tidak bisa mengaktualisasikan potensi yang ada dalam diri
mereka di wilyah publik. Kedua, yaitu memandang perempuan sebelah mata
atau dengan kata lain memandang mereka. Hal ini menyebabkan posisi
perempuan ditengah-tengah masyarakat hanya sebagai pelengkap dan kurang
diperhitungkan sksistensinya. Ketiga, Bagi perempuan adalah mahluk yang
lemah, emosional dan sebagainya. Sedangkan laki-laki mahluk yang perkasa
rasional.
Pelabelan ini menyebabkan apa yang dilakukan perempuan
diperspesipikasikan sebagai pekerjaan orang lemah. Oleh karena itu menurut
Nasaruddin Umar berpendapat bahwa, pada prinsipnya bentuk diskriminasi
dan penindasan termasuk diskriminasi seksual, kulit, warna kulit, ikatan
primordial-etnis. Sementara pada kenyataanya, perbedaan laki-laki dan
perempuan terus memendam berbagai masalah. Kesetaraan tentang jender
sebenarnya sama dalam arti tugas-tugas yang dilakukan tidak terlepas dari
berbagai subtansi kegiatan tersebut dalam arti ada kesetaraan dalam gender.19
Dengan demikian, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa, memahami
makna al-Qur’an, sudah barang tentu tidak bisa hanya terfokus pada
pendekatan tekstual dan kepentinganya, Karena al-Qur’an menggunakan
Bahasa Aarab ini artinya Bahasa yang mempunyai dialektis dengan kondisi
obyektif ketika dan dimana al-Qur’an diturunkan. Hal ini sangat jelas jika
dilihat dalam konteks Asbâbun Nuzul al-Qur’an. sehingga dalam kajian

19
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), h. 182

15
terhadap ayat-ayat gender perlu melihat berbagai sisi konteks dengan
melakukan kajian kontekstual dengan pendekatan hermeneutika.20

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah perkembangan pemikiran modern dimulai dengan kemunduran


kemajuan islam dan kemajuan perkembangan eropa. Setelah eropa berhasil
mendahului perkembangan umat islam, maka dari para tokoh-tokoh pemikir
dan pembaharu mulai merenungkan dimana letak kekurangan dan kesalahan
yang telah dilakukan oleh umat islam.

Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani sebagai pelopor


pemikiran modern merasa adanya sikap dan pergerakan statis umat islam
dalam memandang perkembangan zaman. Sehingga dari mereka muncul
beberapa gerakan pembaharu baik dari Turki, dan India.

Seiring berkembangnya zaman yang dibarengi munculnya banyak tokoh


tokoh islam modern maka muncul pula penafsiran modern kontemporer yang
akan terus berlanjut dengan perkembangan zaman yang dinamis. Hal yang
seharusnya telah dilakukan sejak lama dan akan terus berkembang serta
berubah dari waktu kewaktu.

Dengan perkembangan pemikiran dan rentang zaman memunculkan


masalah persoalan baru didalam masyarakat. Sehingga corak dan tema
pembahasan yang mencuat muncul dengan beragam. Banyak penafsiran yang
membawakan tema-tema yang bersifat modern dan kontemporer yang
berkaitan dengan masalah-masalah dan trend baru didalam kehidupan
masyarakat. Diantaranya mengenai permasalahan kesetaraan gender,
limgkungan, permasalahan terkait perempuan dan lain-lain.

20
Siti Ruhaini, Dzuhayatin, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar Dkk, Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 114

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam,

Cet. Ke I, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 1998.

A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta,

1994.

Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir Al-Qur`an di Indonesia. Solo: Tiga

Serangkai, 2003.

Deliar Noer, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun

Nasution, Cet. Ke I, Guna Aksara, Jakarta, 1989.

Federspiel, Howard. Kajian al-Qur`an Di Indonesia: Dari Mahmud Yunus

Hingga Quraish Shihab, trj. Tajul Arifin. Bandung: Mizan, 1996.

Harun Nasution, Islam Rasional, Cet. Ke I, Mizan, Bandung, 1995.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, Cet. Ke I,

Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Ilyas, Yunahar Ilyas. Kuliah Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Itqan, 2014.

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Kaukaba, 2013.

Shihab. M. Qurais, Tafsir al-Misbah, (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-


Qur’an), Jakarta: Lentera Hati, Cet.1.2017.

17
Siti Ruhaini, Dzuhayatin, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar Dkk,
Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Wely Dozan, Rekonstruksi Sebagai Metodologi Interpretasi Teks al- Qur’an,


Al-Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 10. No.1 Maret, 2020.

18

Anda mungkin juga menyukai