Di Susun Oleh :
Bobby Satria Nur Rochim 2142115047
Muhammad Azmi Rasyad 2142115058
Mutmainnah 2142115051
Puji dan syukur hanya tercurah kepada Allah subhanahu wata’ala Dzat yang Maha
Agung yang kekuasaanNya meliputi langit dan bumi serta isinya. Yang telah
membukakan jalan terang kepada kami (penulis) sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Tafsir Corak Tasawuf” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Madzahib tafsir.
Penulisan Makalah ini disajikan untuk menambah wawasan tentang tafsir corak
tasawuf bagi para pembaca dan juga penulis. Selain itu penulisan makalah ini
tidak lepas dari bimbingan Bapak Dr. Muhammad Yusuf Qardlawi, M.A.selaku
dosen pengampu mata kuliah Madzahib tafsir.
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................................ 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan ilmu tafsir dapat dikatakan sejak diturunkannya al-Qur'an.
Sebab, begitu al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhamad Saw. Sejak itulah beliau
melakukan tafsir. Dalam pengertian yang sederhana yaitu memahamkan dan
menjelaskannya kepada para sahabat.
Beliau adalah orang pertama yang menguraikan al-Qur‟an dan
menjelaskannya kepada umat. Berkembangnya ilmu tafsir memiliki banyak
versi sesuai perkembangan zaman. Setiap mufassir yang memiliki potensi
keahlian dalam bidang keilmuan tertentu, akan menghasilkan tafsiran yang sesuai
dengan keahlian yang mereka miliki.Inilah yang menyebabkan munculnya berbagai
macam corak penafsiran yang ada selama ini,salah satunya adalah tafsir yang
bercorak sufi. Akan tetapi, tafsir sufi tidak dapat berkembang seperti halnya tafsir
fiqh dan tafsir lainnya. Hal ini disebabkan karena banyak orang yang merasa berat
untuk menerima tafsir sufi dengan alasan bahwa tafsir sufi dicurigai sebagai ajaran
yang menyimpang dari al-Qur‟an dan sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir corak tasawuf?
2. Bagaimana latar belakang tafsir tasawuf?
3. Apa saja bentuk dan karakteristik tafsir tasawuf?
4. Siapa saja tokoh dan kitab tafsirnya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami maksud dari tafsir corak tasawuf
2. Untuk mengetahui latar belakang tafsir corak tasawuf
3. Untuk mengetahui bentuk dan karakteristik tafsir corak tasawuf
4. Untuk mengetahui siapa saja tokoh dan karya tafsir tasawuf
1
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata alta atau bulu domba. Orang sufi
biasanya memakai pakaian domba sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian.
Dalam sejarah dise12butkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi
adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H). Al-Zahabi
memberi makna tasawuf sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah (dan berserah
diri) sesuai yang Allah kehendaki.
Corak tasawuf dalam konteks tafsir, yang dikenal sebagai at-Tafsir al-Sufi,
merujuk pada pendekatan tasawuf terhadap penafsiran Al-Quran. Dalam tradisi
tasawuf, Al-Quran dianggap sebagai sumber pengetahuan spiritual yang mendalam
dan memiliki makna-makna tersembunyi yang dapat memberikan petunjuk bagi
1
Lenni Lestari, “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik,” SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur’an Dan
Keislaman 2, no. 1 (2014).
2
Mayang Sari, “Karakteristik Corak Tasawuf Dalam Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya Abdur Rauf
Al-Singkili” (PhD Thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU, 2022).
2
pencari kebenaran. Pendekatan ini melibatkan interpretasi Al-Quran dengan cara yang
mendalam, simbolis, dan mistis.
Penganut tasawuf percaya bahwa Al-Quran bukan hanya teks bacaan biasa,
tetapi juga merupakan jalan menuju pengalaman spiritual dan peningkatan kesadaran.
Oleh karena itu, tafsir al-Sufi mencoba untuk menggali makna-makna tersembunyi
dalam teks Al-Quran, melampaui arti harfiahnya. Para sufi cenderung menggunakan
simbol, metafora, dan allegori untuk menjelaskan makna-makna spiritual dalam ayat-
ayat Al-Quran.
Dalam tafsir al-Sufi, fokusnya bukan hanya pada pemahaman teks secara
akademik, tetapi juga pada pengalaman pribadi dan transformasi spiritual. Para sufi
percaya bahwa penafsiran Al-Quran secara dalam dan batiniah dapat membantu
individu mendekatkan diri kepada Allah, mencapai pencerahan, dan meraih
pengalaman mistis yang mendalam. Pendekatan ini memandang Al-Quran bukan
hanya sebagai petunjuk hukum dan etika, tetapi juga sebagai sumber ilmu batiniah
dan kebijaksanaan rohaniah.
Namun, perlu diingat bahwa pendekatan tasawuf terhadap tafsir Al-Quran ini
bersifat kontroversial di kalangan ulama Islam. Beberapa ulama dan kelompok Islam
mengkritik pendekatan ini karena dianggap cenderung subjektif dan dapat
menghasilkan interpretasi yang jauh dari makna asli teks Al-Quran.
Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam
yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah puasa
dan haji. Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup
menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,
sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya.
3
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak/Tasawuf, hlm. 41.
3
melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah lainnya, tetapi mereka
belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun abad kedua Hijriah.4
Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan
kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan
tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan
pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-
praktik zuhud taat kepada Allah swt.6
Dari hal tersebut diatas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-
orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang
dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh,
hadis, dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilahistilah seperti khauf,
mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya
tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan
dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lainnya.
4
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. Sebagaima - na dikutip Asep
Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 149
5
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302.
6
Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Di (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181. Dikutip oleh Asep
Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-
ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 149.
4
Dilihat dari pemetaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi
menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran, metode penafsiran, dan corak
penafsirannya. Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk
penafsiran sufistik adalah tafsir bi al-ra’yi. Metode yang mayoritas digunakan dalam
menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan coraknya adalah
corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam tafsirnya. Corak tafsir yang
lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, telah mempunyai ciri khusus dan karakter yang
membedakannya dengan tafsir lain. Bagi para sufi, beberapa ayat dalam al-Quran–
tanpa menggunakan kecerdasan yang terlampau tinggi- tampak jelas dan pada saat
yang sama dapat dipahami sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang
spesifik.
Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang
tidak berhenti hanya pada aspek keba - hasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk
memperkuat teo - ri-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Ulama yang dianggap ahli
dalam bidang ini adalah Muhyiddin bin ‘Arabi, karena beliau dianggap sering
bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sufi Ibn ‘Arabi ini banyak diikuti oleh
murid-muridnya. Selain itu, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh teori-teori
filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti alFutuhat al-Makkiyah
dan al-Fusus. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Quran yang
ditafsirkan berlandas - kan teori sufi filosofis.7
7
Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005),
hlm. 297.
5
﴾٣٠ ﴿ ﴾ َوا ْد ُخ ِلي َجنَّتِي٢٩ ﴿ فَا ْد ُخ ِلي فِي ِعبَادِي
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.
1) Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran.
2) Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada sesuatu
yang syahid (tampak/jelas). Menurut al-Zahabi, perumpamaan seperti ini terkesan
menerka-nerka, padahal masih menurut al-Zahabi perumpamaan seperti itu tidak
boleh dilakukan kecuali ada informasi dari Rasulullah saw sendiri.
3) Terkadang tidak memperhatikan kaidah Nahwu atau Balaghah. Kaidah ini akan
digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah ini diabaikan.
Dengan kata lain, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan.
Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika
menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt
8
Ibnu ‘Arabi. Al-Fusus. Jilid I. Hlm. 191-193. Dikutip oleh al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Hlm. 299
9
Al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299
6
kepada hambanya berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi
makna ayat-ayat al-Quran.10
Dengan kata lain, tafsir isyari ini merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-
Quran berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat rahasia yang ditangkap
oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat disesuaikan dengan
kehendak makna lahir dari ayat al-Quran.
1) Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab.
Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-lebihkan makna
lahir.
2) Harus ada bukti syar’i yang bisa menguatkan.
3)Tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara syar’i maupun ‘aqli.
4) Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadikan makna batin sebagai
satu-satunya makna yang berlaku sehingga menafikan makna lahir.11
Adapun contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah penafsiran al-Tustari
terhadap QS. A-Baqarah: 22,
٢٢ َّلِل أَندَ ًۭادا َوأَنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون ۟ ُفَ ََل تَجْ َعل
ِ َّ ِ وا
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu Mengetahui.”
10
Abbas Arfan Baraja. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-
Qusyairi….hlm. 57-58.
11
Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 330
7
terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibanding Tuhannya. Dengan
kata lain, manusia jangan sampai diperbudak oleh nafsu amarahnya.12
Menurut al-Zahabi, ada dua aspek perbedaan antara Altafsir sufi nazari dan
Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: 1) Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis
yang ada di dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-
Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah
terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilaku - kan
oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir
isyarat (petunjuk) kesucian. 2) Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat
bahwa ayatayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai
pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari sebaliknya yaitu ada makna
lain yang dikandung ayat, arti - nya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga
makna batin.
1. Tafsir Alquran al-Azhim atau Tafsir al-Tustari oleh Abu Muhammad Sahl
bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah al-Tustari (200/201H-273/283H).
Seorang tokoh ahli makrifat, sangat warak, memiliki banyak kekeramatan, pernah
jumpa dengan Zunnun al-Mishri. Lahir di Tustar, tinggal di Bashrah cukup lama dan
memiliki banyak ijtihad. Tafsir ini, menurut muhaqqiqnya Muhammad al Basil
„Uyuud al-Suud, bahwa tafsir ini hanya menjelaskan sebagian ayat Alquran, di
antaranya ada yang menjadi jawaban atas pertanyaan murid-muridnya, sehingga wajar
jika tafsir ini sangat ringkas. Banyak pandangan tasawuf dari orang lain yang dikutip
oleh Tustariy.13
2. Haqaiq al-Tafsir oleh Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain bin
Musa al Azadi al-Salmiy (330H-412H). Penulis adalah seorang ulama dan sufi dari
Khurasan. Dalam uraian tafsirnya, al Salmiy tidak menjelaskan makna zhahir ayat
tetapi langsung pada makna isyarinya. Namun, itu bukan berarti ia menolak tafsir
makna zhahir, tetapi lebih sebagai penyeimbang karena banyak tafsir makna zhahir
tetapi tidak menjelaskan makna batin dari ayat tersebut. Ulama terkemuka yang
12
Al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T.Th), hlm. 8.
13
Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah al-Tustari, Tafsir al-Tustari,
Jilid I (Beirut: Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Darul al-Kutub al-„Ilmiyah, 1423H), h. 12.
8
banyak dikutipnya antara lain, seperti Ja‟far ibn Muhammad al Shadiq, Ibn Athaillah
al Sakandari, al Junaid, al Fudhail ibn Iyadh, dan Suhail bin Abdullah al-Tustari.
5. Lathaif al-Isyarat atau Tafsir al-Qusyairiy oleh Abu al Qasim Abd al-Karim
ibn Hawazin al-Qusyairiy (376H/986M-465H/1074M) seorang yang bermazhab
Syafiiy, Asy‟ariy, ahli tasawuf. Sebelumnya sudah menulis tafsir lengkap yang diberi
judul al-Tafsir al-Kabir atau al-Taisir fi al-Tafsir. Dalam pengantar tafsir Lathaif al-
Isyaraat, al-Qusyairi mengatakan, “Kami menulis tafsir ini dengan menjelaskan aspek
isyarat-isyarat Alquran yang diungkapkan oleh orang-orang ahli ma‟rifah, baik untuk
menjelaskan konsep ataupun masalahmasalah ushul mereka, dengan uraian singkat
agar tidak membosankan.15
14
Muhammad Husain Al Dzahabi, al Tafsir wa al Mufassirun, jilid 2, h. 285.
15
Abu al Qasim Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairiy, Lathaif al-Isyarat, Ibrahim al-Basiyuni, Jilid
I (Kairo: Hai`at al-Mishriyah al-„Aammah li al-Kitab, 2000), Cet. III, h. 41.
9
Pada prinsipnya, ajaran hakikat dalam tafsir ini sama dengan yang ada di dalam tafsir
sufistik/isyari yang lain. Hanya bahasa dan cara pengungkapannya yang berbeda.
Sebelum menafsirkan satu surat, Abd al-Qadir al Jailani memulainya dengan
pengantar surah (faatihat al-surah) dan mengakhirinya dengan penutup surat (khatimat
al-surah).
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak tasawuf dalam konteks tafsir, yang dikenal sebagai at-Tafsir al-Sufi
adalah tafsir yang merujuk pada pendekatan tasawuf terhadap penafsiran Al-Quran.
Dalam tradisi tasawuf, Al-Quran dianggap sebagai sumber pengetahuan spiritual yang
mendalam dan memiliki makna-makna tersembunyi yang dapat memberikan petunjuk
bagi pencari kebenaran. Pendekatan ini melibatkan interpretasi Al-Quran dengan cara
yang mendalam, simbolis, dan mistis.
Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari dan al-tafsir al-
sufi al-Isyari. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis
yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-
Isyari menu-rut al-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang ber-beda
dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima
oleh para ahli sufi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. Kairo: Dar al-Kutub al-
Hadisah. 1961.
al-Qusyairiy, Abu al Qasim Abd al-Karim ibn Hawazin. 2000. Lathaif al-Isyarat, tahqiq
Ibrahim al-Basiyuni. Jilid I. Kairo: Hai`at al-Mishriyah al-„Aammah li al Kitab., Cet.
III.
Baraja, Abbas Arfan. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-
Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Quran. Malang: UIN Malang
Press. 2009.
Lestari, Lenni. “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik.” SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur’an
Dan Keislaman 2, no. 1 (2014).
Sari, Mayang. “Karakteristik Corak Tasawuf Dalam Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya
Abdur Rauf Al-Singkili.” PhD Thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU, 2022.
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2005.
12