Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TAFSIR CORAK TASAWUF


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Madzahib Tafsir
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Yusuf Qardlawi, M.A.

Di Susun Oleh :
Bobby Satria Nur Rochim 2142115047
Muhammad Azmi Rasyad 2142115058
Mutmainnah 2142115051

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
Kata Pengantar

Puji dan syukur hanya tercurah kepada Allah subhanahu wata’ala Dzat yang Maha
Agung yang kekuasaanNya meliputi langit dan bumi serta isinya. Yang telah
membukakan jalan terang kepada kami (penulis) sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Tafsir Corak Tasawuf” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Madzahib tafsir.
Penulisan Makalah ini disajikan untuk menambah wawasan tentang tafsir corak
tasawuf bagi para pembaca dan juga penulis. Selain itu penulisan makalah ini
tidak lepas dari bimbingan Bapak Dr. Muhammad Yusuf Qardlawi, M.A.selaku
dosen pengampu mata kuliah Madzahib tafsir.

Terlepas dari semua itu kami (penulis) menyadari masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya karna keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Oleh karna itu, dengan tangan terbuka saya sangat mengharapkan dan menerima
kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah
ini.

Samarinda, 07 November 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2

A. Pengertian tafsir corak tasawuf ................................................................... 2

B. Latar belakang tafsir tasawuf ...................................................................... 3

C. Bentuk dan Karakteristik Tafsir tasawuf...................................................... 5

D. Karya dan Tokoh Tafsir Tasawuf ................................................................ 8

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11

A. Kesimpulan ................................................................................................ 11

DAFTAR PUASTAKA ....................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan ilmu tafsir dapat dikatakan sejak diturunkannya al-Qur'an.
Sebab, begitu al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhamad Saw. Sejak itulah beliau
melakukan tafsir. Dalam pengertian yang sederhana yaitu memahamkan dan
menjelaskannya kepada para sahabat.
Beliau adalah orang pertama yang menguraikan al-Qur‟an dan
menjelaskannya kepada umat. Berkembangnya ilmu tafsir memiliki banyak
versi sesuai perkembangan zaman. Setiap mufassir yang memiliki potensi
keahlian dalam bidang keilmuan tertentu, akan menghasilkan tafsiran yang sesuai
dengan keahlian yang mereka miliki.Inilah yang menyebabkan munculnya berbagai
macam corak penafsiran yang ada selama ini,salah satunya adalah tafsir yang
bercorak sufi. Akan tetapi, tafsir sufi tidak dapat berkembang seperti halnya tafsir
fiqh dan tafsir lainnya. Hal ini disebabkan karena banyak orang yang merasa berat
untuk menerima tafsir sufi dengan alasan bahwa tafsir sufi dicurigai sebagai ajaran
yang menyimpang dari al-Qur‟an dan sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir corak tasawuf?
2. Bagaimana latar belakang tafsir tasawuf?
3. Apa saja bentuk dan karakteristik tafsir tasawuf?
4. Siapa saja tokoh dan kitab tafsirnya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami maksud dari tafsir corak tasawuf
2. Untuk mengetahui latar belakang tafsir corak tasawuf
3. Untuk mengetahui bentuk dan karakteristik tafsir corak tasawuf
4. Untuk mengetahui siapa saja tokoh dan karya tafsir tasawuf

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf (At-Tafsir Al-Sufi)

Hampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam bidang tasawuf tentang


sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf.
Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap
agama, aliran filsafat, dan peradaban. Selain itu, istilah tasawuf sendiri tidak pernah
dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi
atau tasawuf di- kaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci ‫( صوف‬
adalah bahasa Arab dari kata suf ) ‫ ( التصوف‬sawwuf)

Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata alta atau bulu domba. Orang sufi
biasanya memakai pakaian domba sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian.
Dalam sejarah dise12butkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi
adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H). Al-Zahabi
memberi makna tasawuf sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah (dan berserah
diri) sesuai yang Allah kehendaki.

Abu al-Wafa' al-Taftazani mencoba mengajukan definisi yang hampir


mencakup seluruh unsur substansi tasawuf, yakni "Sebuah pandangan filosofis
kehidupan yang bertujuan mengembang kan moralitas jiwa manusia, yang dapat
direalisasikan melalui latihan- latihan praktis tertentu yang membuahkan larutnya
perasaan dalam hakikat transedental". Pendekatan yang digunakan adalah zauq (cita
rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman seperti ini tak kuasa
diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan personal.

Corak tasawuf dalam konteks tafsir, yang dikenal sebagai at-Tafsir al-Sufi,
merujuk pada pendekatan tasawuf terhadap penafsiran Al-Quran. Dalam tradisi
tasawuf, Al-Quran dianggap sebagai sumber pengetahuan spiritual yang mendalam
dan memiliki makna-makna tersembunyi yang dapat memberikan petunjuk bagi

1
Lenni Lestari, “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik,” SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur’an Dan
Keislaman 2, no. 1 (2014).
2
Mayang Sari, “Karakteristik Corak Tasawuf Dalam Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya Abdur Rauf
Al-Singkili” (PhD Thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU, 2022).

2
pencari kebenaran. Pendekatan ini melibatkan interpretasi Al-Quran dengan cara yang
mendalam, simbolis, dan mistis.

Penganut tasawuf percaya bahwa Al-Quran bukan hanya teks bacaan biasa,
tetapi juga merupakan jalan menuju pengalaman spiritual dan peningkatan kesadaran.
Oleh karena itu, tafsir al-Sufi mencoba untuk menggali makna-makna tersembunyi
dalam teks Al-Quran, melampaui arti harfiahnya. Para sufi cenderung menggunakan
simbol, metafora, dan allegori untuk menjelaskan makna-makna spiritual dalam ayat-
ayat Al-Quran.

Dalam tafsir al-Sufi, fokusnya bukan hanya pada pemahaman teks secara
akademik, tetapi juga pada pengalaman pribadi dan transformasi spiritual. Para sufi
percaya bahwa penafsiran Al-Quran secara dalam dan batiniah dapat membantu
individu mendekatkan diri kepada Allah, mencapai pencerahan, dan meraih
pengalaman mistis yang mendalam. Pendekatan ini memandang Al-Quran bukan
hanya sebagai petunjuk hukum dan etika, tetapi juga sebagai sumber ilmu batiniah
dan kebijaksanaan rohaniah.

Namun, perlu diingat bahwa pendekatan tasawuf terhadap tafsir Al-Quran ini
bersifat kontroversial di kalangan ulama Islam. Beberapa ulama dan kelompok Islam
mengkritik pendekatan ini karena dianggap cenderung subjektif dan dapat
menghasilkan interpretasi yang jauh dari makna asli teks Al-Quran.

B. Latar belakang tafsir corak tasawuf

Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam
yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah puasa
dan haji. Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup
menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi,
sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya.

Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal


sejak masa awal Islam, Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali
mencontohkan praktik kehidupan sederhana,3 banyak diantara sahabat yang

3
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak/Tasawuf, hlm. 41.

3
melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah lainnya, tetapi mereka
belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun abad kedua Hijriah.4

Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), secara berangsur-


angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih
berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf
mulai dikenal.5

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut


sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat Islam mengalami
kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola
kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan
yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai
dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu
disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.

Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan
kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan
tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan
pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-
praktik zuhud taat kepada Allah swt.6

Dari hal tersebut diatas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-
orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang
dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh,
hadis, dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilahistilah seperti khauf,
mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya
tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan
dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lainnya.

4
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. Sebagaima - na dikutip Asep
Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 149
5
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302.
6
Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Di (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181. Dikutip oleh Asep
Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-
ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 149.

4
Dilihat dari pemetaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi
menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran, metode penafsiran, dan corak
penafsirannya. Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk
penafsiran sufistik adalah tafsir bi al-ra’yi. Metode yang mayoritas digunakan dalam
menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan coraknya adalah
corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam tafsirnya. Corak tafsir yang
lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, telah mempunyai ciri khusus dan karakter yang
membedakannya dengan tafsir lain. Bagi para sufi, beberapa ayat dalam al-Quran–
tanpa menggunakan kecerdasan yang terlampau tinggi- tampak jelas dan pada saat
yang sama dapat dipahami sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang
spesifik.

C. Bentuk dan karakteristik penafsiran tasawuf

a. Al-Tafsir al-Sufi al-Nazari

Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang
tidak berhenti hanya pada aspek keba - hasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk
memperkuat teo - ri-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Ulama yang dianggap ahli
dalam bidang ini adalah Muhyiddin bin ‘Arabi, karena beliau dianggap sering
bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sufi Ibn ‘Arabi ini banyak diikuti oleh
murid-muridnya. Selain itu, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh teori-teori
filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti alFutuhat al-Makkiyah
dan al-Fusus. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Quran yang
ditafsirkan berlandas - kan teori sufi filosofis.7

Dalam penafsirannya, Ibnu ‘Arabi terpengaruh dengan teori wahdatul wujud


(pantheisme) atau dalam bahasa Jawa dike - nal dengan istilah manunggaling kawulo
gusti, yaitu teori tasaw - wuf tentang persatuan antara Tuhan dan manusia. Menurut
al-Zahabi, penafsiran Ibnu ‘Arabi telah keluar dari madlul yang dikehendaki Allah.
Dari pernyataan ini, terlihat bahwa al-Zaha - bi tidak sependapat dengan Ibnu ‘Arabi.

Adapun contoh penafsiran Ibnu ‘Arabi yang terpengaruh dengan teori


wahdatul wujud ialah dalam QS. al-Fajr: 29-30,

7
Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005),
hlm. 297.

5
﴾٣٠ ﴿ ‫﴾ َوا ْد ُخ ِلي َجنَّتِي‬٢٩ ﴿ ‫فَا ْد ُخ ِلي فِي ِعبَادِي‬
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.

Ayat ini ditafsirkan: “…masuklah ke dalam surgaku dimana ia adalah pe - lindungku,


surgaku tidak ada selain Engkau, Engkau yang melindungiku den - gan Zat manusia-
Mu, saya tidak tahu apapun kecuali Engkau sebagaimana Engkau tidak akan ada
kecuali denganku, maka barangsiapa tahu Engkau pasti ia tahu aku, sedang aku tidak
diketahui maka Engkau tidak diketahui juga. Jika aku masuk surga, maka aku masuk
jiwa-Mu…”8Tafsir dengan corak semacam ini banyak mendapat kritik dari para
ulama, seperti al-Zahabi yang mengkritik Ibnu ‘Arabi yang dianggapnya terlalu
batiniyyah (hanya melihat aspek batin) dari teks-teks lahiriyah al-Quran dan bahkan
melenceng dari syariat Islam.9 Terkadang Ibnu ‘Arabi juga menundukkan kaidah
nahwu di bawah teori tasawufnya.

Al-Zahabi memberikan beberapa kriteria dalam penafsiran nazari, yaitu:

1) Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran.
2) Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada sesuatu
yang syahid (tampak/jelas). Menurut al-Zahabi, perumpamaan seperti ini terkesan
menerka-nerka, padahal masih menurut al-Zahabi perumpamaan seperti itu tidak
boleh dilakukan kecuali ada informasi dari Rasulullah saw sendiri.
3) Terkadang tidak memperhatikan kaidah Nahwu atau Balaghah. Kaidah ini akan
digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah ini diabaikan.
Dengan kata lain, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan.

b. Al-Tafsir al-Sufi al-Isyari

Al-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah menakwilkan ayat-ayat al-


Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk)
khusus yang diterima oleh para ahli sufi.

Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika
menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt

8
Ibnu ‘Arabi. Al-Fusus. Jilid I. Hlm. 191-193. Dikutip oleh al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Hlm. 299
9
Al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299

6
kepada hambanya berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi
makna ayat-ayat al-Quran.10

Dengan kata lain, tafsir isyari ini merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-
Quran berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat rahasia yang ditangkap
oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat disesuaikan dengan
kehendak makna lahir dari ayat al-Quran.

Dalam fenomena tafsir isyari terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.


Sebagian ulama membolehkan karena itu sebagai tanda keteguhan iman dan sebagai
pengetahuan yang murni serta kontrobusi yang positif, sementara sebagian lainnya
mengharamkan karena dianggap menyimpang dari ajaran Allah swt.

Al-Zahabi menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu:

1) Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab.
Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-lebihkan makna
lahir.
2) Harus ada bukti syar’i yang bisa menguatkan.
3)Tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara syar’i maupun ‘aqli.
4) Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadikan makna batin sebagai
satu-satunya makna yang berlaku sehingga menafikan makna lahir.11
Adapun contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah penafsiran al-Tustari
terhadap QS. A-Baqarah: 22,

٢٢ َ‫ّلِل أَندَ ًۭادا َوأَنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ ۟ ُ‫فَ ََل تَجْ َعل‬
ِ َّ ِ ‫وا‬
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu Mengetahui.”

Al-Tustari mengatakan bahwa makna (‫ )أَندَ ًۭادا‬adalah lawan. Maksudnya adalah


nafsu amarah. Jadi, maksud “andaadan” adalah bukan hanya patung-patung, setan,
tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan manusia sebagai Tuhannya, sehingga ia

10
Abbas Arfan Baraja. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-
Qusyairi….hlm. 57-58.
11
Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 330

7
terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibanding Tuhannya. Dengan
kata lain, manusia jangan sampai diperbudak oleh nafsu amarahnya.12

Menurut al-Zahabi, ada dua aspek perbedaan antara Altafsir sufi nazari dan
Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: 1) Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis
yang ada di dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-
Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah
terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilaku - kan
oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir
isyarat (petunjuk) kesucian. 2) Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat
bahwa ayatayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai
pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari sebaliknya yaitu ada makna
lain yang dikandung ayat, arti - nya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga
makna batin.

D. Tokoh dan karya penafsiran tasawuf

1. Tafsir Alquran al-Azhim atau Tafsir al-Tustari oleh Abu Muhammad Sahl
bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah al-Tustari (200/201H-273/283H).
Seorang tokoh ahli makrifat, sangat warak, memiliki banyak kekeramatan, pernah
jumpa dengan Zunnun al-Mishri. Lahir di Tustar, tinggal di Bashrah cukup lama dan
memiliki banyak ijtihad. Tafsir ini, menurut muhaqqiqnya Muhammad al Basil
„Uyuud al-Suud, bahwa tafsir ini hanya menjelaskan sebagian ayat Alquran, di
antaranya ada yang menjadi jawaban atas pertanyaan murid-muridnya, sehingga wajar
jika tafsir ini sangat ringkas. Banyak pandangan tasawuf dari orang lain yang dikutip
oleh Tustariy.13
2. Haqaiq al-Tafsir oleh Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain bin
Musa al Azadi al-Salmiy (330H-412H). Penulis adalah seorang ulama dan sufi dari
Khurasan. Dalam uraian tafsirnya, al Salmiy tidak menjelaskan makna zhahir ayat
tetapi langsung pada makna isyarinya. Namun, itu bukan berarti ia menolak tafsir
makna zhahir, tetapi lebih sebagai penyeimbang karena banyak tafsir makna zhahir
tetapi tidak menjelaskan makna batin dari ayat tersebut. Ulama terkemuka yang

12
Al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T.Th), hlm. 8.
13
Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah al-Tustari, Tafsir al-Tustari,
Jilid I (Beirut: Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Darul al-Kutub al-„Ilmiyah, 1423H), h. 12.

8
banyak dikutipnya antara lain, seperti Ja‟far ibn Muhammad al Shadiq, Ibn Athaillah
al Sakandari, al Junaid, al Fudhail ibn Iyadh, dan Suhail bin Abdullah al-Tustari.

3. ‘Arais al Bayan fi Haqaiq Alquran oleh Abu Muhammad al Syairazi


(w.666H). Beliau adalah seorang sufi dan tafsirnya dikhususkan hanya pada makna
batin/isyari satu walau tidak menafikan makna zhahir dan bahkan mengatakan bahwa
dalam menafsirkan Alquran mutlak terlebih dahulu menjelaskan makna zhahirnya.
Dalam muqaddimahnya, Al Syairazi mengatakan bahwa dalam menafsirkan secara
isyari, ia melakukan istikharah dan memohon pertolongan kepada Allah agar
senantiasa tetap sesuai dengan maksud Allah dan dengan mengikuti Sunnah
Rasulullah serta para auliya yang lain.14

4. Ta’wilat al-Najmiyah oleh Najm al Din Dayah (w.654H) dan „Ala‟ al


Daulah al Simnani (659-736H). Najm al Din adalah seorang sufi yang awalnya
menulis tafsir ini namun belum selesai beliau meninggal dunia lalu dilanjutkan oleh
Simnani.

5. Lathaif al-Isyarat atau Tafsir al-Qusyairiy oleh Abu al Qasim Abd al-Karim
ibn Hawazin al-Qusyairiy (376H/986M-465H/1074M) seorang yang bermazhab
Syafiiy, Asy‟ariy, ahli tasawuf. Sebelumnya sudah menulis tafsir lengkap yang diberi
judul al-Tafsir al-Kabir atau al-Taisir fi al-Tafsir. Dalam pengantar tafsir Lathaif al-
Isyaraat, al-Qusyairi mengatakan, “Kami menulis tafsir ini dengan menjelaskan aspek
isyarat-isyarat Alquran yang diungkapkan oleh orang-orang ahli ma‟rifah, baik untuk
menjelaskan konsep ataupun masalahmasalah ushul mereka, dengan uraian singkat
agar tidak membosankan.15

6. Tafsir al-Jilani oleh Syekh Mahyuddin Abd al-Qadir al-Jilani (w.561H),


seorang pendiri tarekat Qadiriyah. Inilah tafsir isyari yang paling lengkap
menjelaskan ayat Alquran dari awal hingga akhir. Menurut muhaqqiq, Ahmad Farid
al-Mazidi, tafsir ini selain dinisbatkan kepada Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, juga
kepada Ni‟matullah ibn Mahmud al-Nakhjuwani al-Hanafi (w.920H) yang juga
seorang zahid dan sufi. Namun, pentahqiq lebih cenderung menisbatkannya kepada
Abd al-Qadir al Jailani karena adanya banyak naskah yang dinisbatkan kepadanya.
Tafsir ini secara khusus menjelaskan makna-makna batin berdasarkan ajaran tasawuf.

14
Muhammad Husain Al Dzahabi, al Tafsir wa al Mufassirun, jilid 2, h. 285.
15
Abu al Qasim Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairiy, Lathaif al-Isyarat, Ibrahim al-Basiyuni, Jilid
I (Kairo: Hai`at al-Mishriyah al-„Aammah li al-Kitab, 2000), Cet. III, h. 41.

9
Pada prinsipnya, ajaran hakikat dalam tafsir ini sama dengan yang ada di dalam tafsir
sufistik/isyari yang lain. Hanya bahasa dan cara pengungkapannya yang berbeda.
Sebelum menafsirkan satu surat, Abd al-Qadir al Jailani memulainya dengan
pengantar surah (faatihat al-surah) dan mengakhirinya dengan penutup surat (khatimat
al-surah).

10
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak tasawuf dalam konteks tafsir, yang dikenal sebagai at-Tafsir al-Sufi
adalah tafsir yang merujuk pada pendekatan tasawuf terhadap penafsiran Al-Quran.
Dalam tradisi tasawuf, Al-Quran dianggap sebagai sumber pengetahuan spiritual yang
mendalam dan memiliki makna-makna tersembunyi yang dapat memberikan petunjuk
bagi pencari kebenaran. Pendekatan ini melibatkan interpretasi Al-Quran dengan cara
yang mendalam, simbolis, dan mistis.
Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari dan al-tafsir al-
sufi al-Isyari. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis
yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-
Isyari menu-rut al-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang ber-beda
dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima
oleh para ahli sufi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. Kairo: Dar al-Kutub al-
Hadisah. 1961.
al-Qusyairiy, Abu al Qasim Abd al-Karim ibn Hawazin. 2000. Lathaif al-Isyarat, tahqiq
Ibrahim al-Basiyuni. Jilid I. Kairo: Hai`at al-Mishriyah al-„Aammah li al Kitab., Cet.
III.
Baraja, Abbas Arfan. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-
Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Quran. Malang: UIN Malang
Press. 2009.
Lestari, Lenni. “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik.” SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur’an
Dan Keislaman 2, no. 1 (2014).
Sari, Mayang. “Karakteristik Corak Tasawuf Dalam Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya
Abdur Rauf Al-Singkili.” PhD Thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU, 2022.
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2005.

12

Anda mungkin juga menyukai