Anda di halaman 1dari 27

TAREKAT DAN SERBA-SERBINYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf


Dosen Pengampu : Dr. Samsul Basri, S.Si., M.E.I

Disusun Oleh :

M Hafizh Adzikri (211105010309)


Riffkha Hizafia G (211105011326)
Fadiyah Anshori (211105010278)
Sella Widya Natasya (211105010287)
Nuraini (211105010277)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tarekat dan Serba-Serbinya” dengan tepat waktu.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah Ilmu dan wawasan mengenai tarekat dan serba serbinya.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Samsul Basri, S.Si., M.E.I selaku
dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawwuf. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Oleh dengan itu saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bogor, 03 Desember 2023

Penyusun.

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................3
A. Definisi Tarekat.....................................................................................................................3
B. Unsur-Unsur Tarekat.............................................................................................................5
C. Macam-Macam Tarekat........................................................................................................8
BAB III
PEMBAHASAN............................................................................................................................14
A. Perkembangan Tarekat........................................................................................................14
1. Masuknya Tarekat di Indonesia......................................................................................16
B. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf....................................................................................18
BAB IV
PENUTUP.....................................................................................................................................21
A. Simpulan.............................................................................................................................21
B. Kritik dan Saran..................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang
mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya
tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan
menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu
sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun
perlu kehati-hatian juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan
dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah
(yang dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).
Tarekat sebagai bentuk proses penguatan nilai spiritual bagi para penganutnya
yang dalam hal ini disebut murid, dengan masuknya seorang murid pada tarekat beserta
bimbingan spiritual yang diberikan oleh mursyid kepada murid, maka disitulah letak
proses pembinaan spiritual bagi murid, sehingga murid selalu terbimbing yang pada
akhirnya akan muncul sebuah dampak yang positif akan berubahnya nilai-nilai
spiritualitas pada diri seorang murid. Tarekat yang pada awalnya hanyalah dimaksudkan
sebagai metode, cara, dan jalan yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spiritual
tertinggi, pensucian diri atau jiwa, yaitu dalam bentuk intensifikasi dzikir Allah,
berkembang secara sosiologis menjadi sebuah institusi sosial keagamaan yang memiliki
ikatan keanggotaan yang sangat kuat.
Al-Qur’an sendiri sangat menekankan nilai-nilai moralitas yang baik (al-Akhlak
al-Karimah), proses pembenahan jiwa yang dalam hal ini melalui dzikir, yang mana
dzikir adalah bagian perintah dalam al-Qur’an yang dalam penyebutannya tidak sedikit
atau berulang-ulang, bahkan dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa dzikir adalah
sebuah cara untuk memperoleh ketenangan jiwa, dari ketenangan jiwa inilah yang
menjadi tujuan inti orang bertarekat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tarekat?
2. Apa saja unsur-unsur dari tarekat?
3. Apa saja macam-macam dari tarekat?
4. Bagaimana sejarah perkembangan tarekat?
5. Bagaimana hubungan tarekat dengan tasawuf?

C. Tujuan
Berdasarkan masalah yang dipaparkan dalm rumusan masalah bahwa tujuan dari
pembuatan makalah ini antara lain:

1. Mengetahui dan memahami pengertian dari tarekat.


2. Mengetahui dan memahami unsur-unsur dari tarekat.
3. Mengetahui dan memahami macam-macam dari tarekat.
4. Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan tarekat.
5. Mengetahui dan memahami hubungan tarekat dengan tasawuf.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tarekat
a. Pengertian tarekat secara etimologi,
1) Secara etimologi, kata tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Tharq, jamaknya
Al-Thuruq merupakan isim Musytaraq, yang berarti jalan, tempat lalu atau
metode.
2) Tarikat (‫ )طريقة‬dalam bahasa Arab berarti tujuan, keadaan, garis, aliran atau garis
pada sesuatu.1 Dalam al-Qur’an, kata tarekat dan seakarnya dipaparkan sebanyak
sembilan kali dalam kontek yang berbeda, semuanya pada hakikatnya mengacu
kepada arti yang sama yakni jalan atau cara.2
3) Kata tarekat atau tharīqah atau ‫ طريقة‬berasal dari kata tharīq ( ‫ )طريق‬yang memiliki
bebeberapa arti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) metode atau sistem
(uslub), (3) mazhab, aliran, atau haluan (mazhab), (4) keadaan (halah), (5) tiang
tempat berteduh, tongkat, atau payung (‘amud al-mizalah).
b. Pengertian tarekat secara terminologi
Sedangkan secara terminologi beberapa ahli mendefinisikan tarekat sebagai
berikut :
1.) Menurut Abu Bakar Aceh, tarekat adalah petunjuk dalam melaksanakan suatu
ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan diajarkan oleh Rasul, dikerjakan
oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai pada guru-guru, sambung
menyambung dan rantai-berantai. Atau suatu cara mengajar dan mendidik, yang
akhirnya meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-
penganut sufi, untuk memudahkan menerima ajaran dan latihan-latihan dari para
pemimpin dalam suatu ikatan.
2.) Harun Nasution mendefinisikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh oleh
seorang sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.

1
Louwes Ma’luf, Kamus al-Manjid,(Beirut: Daar al-Masyruq, tth), h. 465
2
Syamsul Bahri, Tasawuf dalam penerapan (tarikat) dalam jurnal tajdid no. 4 vol 2, (Padang : Fakultas Ushuluddin,
1999), h. 3

3
3.) Syekh Muhammad Amin Kurdy mendefinisakan tarekat sebagai pengamalan
syari’at dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan diri dari sikap
mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.
4.) Zamakhsyari Dhofier memberikan definisi terhadap tarekat sebagai suatu istilah
generic, perkataan tarekat berarti “jalan” atau lebih lengkap lagi “jalan menuju
surga” di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku
berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia
dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah
melakukan pengamalan yang berdasarkan syari’at yang disertai dengan ketekunan dalam
beribadah sehingga sampai pada kedekatan diri dengan Allah. Jadi, amalan tarekat
merupakan sebuah amalan ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dan dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in secara turun temurun
hingga kepada para ulama’ yang menyambung hingga pada masa kini.
Pengertian tarekat itu berkembang mengikuti perjalanan kesejahteraan dan
perlusan kawasan penyebarannya. Sehingga terdapat berbagai macam pengertian tarekat
yang diberikan baik dari kalangan tarekat ataupun dari orang- orang yang non tarekat.
Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1.) Menurut Syeikh al-Jurjani
Tarekat adalah : “jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang-orang yang berjalan
(beribadah) kepada Allah dengan melalui pos (manzil) dan meningkat ketingkatan
yang lebih tinggi yaitu stasiun (maqamat).3
2.) Menurut Fuad Sa’id (tokoh tarikat Naqsyabandiyah Sumatera Utara)
Tarekat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
mengamalkan ilmu tauhid, fiqh, dan tasawuf.4
3.) Menurut Syamsul Bahri Kahatib (tokoh tarikat Syatariyah)
Tarekat adalah jalan yang harus dilalui oleh si salik (orang yang berjalan) untuk
tercapainya keridhaan Allah dan dekatnya kepada Allah.

3
Tim Penyusun, Pengantar ilmu tasawuf, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Sumut,1982), 259
4
Fuad Sa’id, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994), h. 89

4
Dari berbagai definisi yang diberikan ulama diatas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa tarekat dapat diartikan suatu sistem hidup bersama sebagai upaya
spitulisasi pengamalan dan pemahaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’riffatullah.
Dalam perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa dipahami sebagai usaha
kolektif dalam upaya tazkiyah al-nafs. Dengan kata lain tarikat dapat dipahami
pembelajaran tasawuf yang melembaga.

B. Unsur-Unsur Tarekat
Bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam satu tarekat paling tidak adalah guru
(mursyid), murid, bai‟at, silsilah dan wirid, berikut penjelasannya:

a. Guru.
Untuk menempuh jalan tarekat diperlukan persyaratan lebih dari sekedar
pengetahuan mengenai rukun, syarat dan hal-hal yang bisa membatalkan dalam
mengamalkan suatu hukum agama, sudah menjadi prinsip secara universal
bahwa tidak ada jalan keruhanian tanpa guru. Tak satu pun aliran tarekat yang
berdiri sendiri tanpa panduan guru. Dalam kehidupan keberagamaan seorang
murid, seorang guru disamping pemimpin lahir yang mengawasi murid-
muridnya agar tidak menyimpang atau keluar dari batas-batas syari’ah juga
merupakan pemimpin batin yang menjadi perantara antara murid dan Tuhan.
Sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya yang besar seorang guru dituntut
untuk memiliki persyaratan sebagai berikut :
a) Selain menguasai ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin juga
menunjukkan kesalehan pribadinya.
b) Memiliki kaitan yang jelas dengan mata rantai pembai’atan dan
pelaksanaan kebenaran dari tarekat itu
c) Telah mengalami dan melaksanakan perjalanan rohani dari awal sampai
akhir.
d) Dapat mengetahui langsung bakat dan potensi para murid serta
perkembangan yang berlangsung dalam perjalanan.
e) Memiliki kepekaan dan penglihatan batin yang tajam terhadap
perjalanan rohani setiap murid yang diasuhnya.

5
f) Pandai menyimpan rahasia para murid dan pengalaman spiritual yang
ditemui mereka selama menjalankan pendidikan.
g) Memelihara muruah, harkat dan martabat dihadapan orang lain atau
tindakan yang dapat menimbulkan pandangan negatif.
h) Mengetahui dengan baik sifat-sifat dan penyakit-penyakit hati serta cara
penyembuhannya.
i) Memiliki sifat bijaksana, lapang dada, ikhlas, santun terhadap sesama
muslim terutama murid-muridnya.
j) Mendapat izin (ijâzah) dari guru yang di atasnya (gurunya) untuk
mengajarkan tarekat yang diijazahkan kepadanya. 5
b. Murid
Murid adalah pengikut suatu tarekat yang diajarkan kepadanya. Murid
tarekat merupakan generasi baru bagi bersambung dan berkembangnya sebuah
aliran tarekat. Tanpa adanya murid yang datang dan berguru niscaya punahlah
sebuah aliran tarekat. Sebelum seseorang memutuskan untuk berbai`at kepada
seorang guru terlebih dahulu ia harus yakin bahwa guru tersebut benar-benar
seorang mursyid yang mampu membimbingnya mencapai tujuan. Apabila
seseorang telah menjadi murid berlakulah kepadanya ketentuan-ketentuan (adab),
baik hubungannya dengan guru maupun adab terhadap dirinya sendiri dan
keluargannya serta adab terhadap sesama ikhwan dan orang lainnya. Dalam
hubungannya dengan guru seorang murid harus memperhatikan beberapa hal:
a) Setelah resmi diterima menjadi murid dia harus menyerahkan dirinya
secara total tanpa syarat apapun kepada guru.
b) Tidak boleh berguru kepada Syekh lain dan tidak meninggalkannya
sebelum mata hatinya terbuka.
c) Hendaknya murid senantiasa mengingat Syekh terutama ketika
melaksanakan amalan (wirid) yang telah diijazahkan (berwasîlah).
d) Hendaknya selalu berbaik sangka terhadap Syekh, kendati guru tersebut
menampakkan hal-hal yang tidak sesuai dengan pikiran murid.

5
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), (Solo: Ramadhani, 1985), hlm. 57.

6
e) Tidak boleh memberikan apalagi menjual hadiah dari guru kepada orang
lain.6
c. Bai`at
Bai`at atau pengahabisan biasanya mengambil bentuk sebagai perjanjian
antara calon murid dengan pembimbing rohani (mursyid). Perjanjian setia ini
menunjukkan penyerahan sempurna dari murid kepada gurunya dalam semua
hal yang menyangkut kehidupan rohani dan tidak dapat dibatalkan secara
sepihak atas kemauan murid. Bai`at mengandung dimensi spiritual yang harus
dianugerahkan seorang wakil dari suatu mata rantai (silsilah) yang sampai
kepada Nabi saw. Menurut orang tarekat tradisi bai`at diambil dari teladan Nabi
saw pada permulaan beliau mengambil janji setia (bai`at) dari orang-orang yang
menyatakan hendak memeluk agama Islam. Pada tahun ke-6 Hijrah Nabi saw
menganjurkan agar kaum muslimin melakukan bai`at kepada beliau. Bai`ai itu
terkenal dengan Bai`at ar-Ridhwan. Hal yang sama juga dilakukan ketika
menerima pengangkatan sebagai komandan, juga ketika terpilih sebagai
khalîfah.
d. Silsilah
Seseorang yang hendak menjadi murid sebelumnya harus mengetahui
secara sungguh-sungguh nisbah gurunya dengan sumber ajaran dari mana sang
guru menerima ajaran tersebut secara berantai hingga sampai kepada Rasulullah
saw. Karena, walau bagaimanapun bantuan kerohanian dari gurunya itu harus
benar berasal dari gurunya, gurunya dari gurunya lagi, demikianlah berlanjut
sampai kepada Rasulullah. Inilah yang dimaksudkan dengan silsilah. Dengan
gambaran singkat di atas, silsilah merupakan geneologi otorita spiritual yang
kedudukannya tidak ubahnya bagaikan sanad dalam hadis. Semua tarekat yang
mu`tabar diyakini berasal dari Nabi saw melalui dengan cara ini dan
keanggotaan dalam sebuah tarekat berarti pengikatan kepada rantai khasnya
yang memberikan jalan menuju tangga-tangga hingga sampai kepada
Rasulullah.

6
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah menuju Kebahagian, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 2001), hlm. 13

7
e. Wirid
Wirid merupakan bacaan-bacaan yang harus diamalkan oleh murid setiap
hari secara rutin. Bacaan-bacaan tersebut meliputi dzikir, istigfâr, macam-
macam shalawât dan hizb, namun yang paling utama di antara bacaan tersebut
adalah zikir. Setiap tarekat meniscayakan kepada para pengamalnya untuk
mengamalkan wirid-wirid tertentu. Meskipun setiap tarekat memiliki
kekhasannya masing-masing, namun intinya terdapat keseragaman yang
bertumpu pada pelafadzan, pemahaman dan penghayatan terhadap wirid-wirid
tersebut. Wirid tidak semata hanya memiliki makna dan fungsi pelafalan dengan
lidah yang dibarengi dengan pengkuhan dengan hati. Wirid memiliki makna dan
fungsi yang lebih luas dan berkaitan dengan keseluruhan aktivitas jasmani dan
rohani dalam mentaati Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya,
menjauhi larangan-Nya, serta senantiasa mencari ridha-Nya.7

C. Macam-Macam Tarekat
Tarekat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah,
karena perkembangan tarekat juga merupakan perkembangan dakwah Islam. Diantara
tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut :8

1.) Tarekat Qadiriyah


Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd Al-
Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani Al-Ghawsts atau
Quthb Al-Awliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah
spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi
juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur
organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang
Syekh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat
Islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual.
Namun, generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada
aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.

7
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah menuju Kebahagia ,hlm. 21-22.
8
Mulyati, Sri, dkk. 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana

8
Di Indonesia Tarekat Qadiriyah berkembang dengan baik, bahkan bercabang,
seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Proses masuknya Tarekat Qadiriyah ke
Indonesia dikisahkan lewat penyair besar Hamzah Fansuri. Pada dasarnya ajaran Syekh
‘Abd Al-Qadir Jailani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam,
terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd Al-Qadir adalah
sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia
sangat menekankan pada tauhid dan akhlak terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk
dan karakter Tarekat Syekh Abdul Qadir Jilani adalah tauhid, sedang pelaksanaannya
tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin.
Menurut Syekh ‘Ali ibn Al-Hayti menilai bahwa tarekat Syekh ‘Abd Al-Qadir
Jilani adalah pemurnian akidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan
‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah
garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin.
Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat
manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasaan jauh.
2.) Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni
Abu Hasan Al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya
Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain.
Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu
Hasan Al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang
garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga
keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri
pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd.
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin
Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah
dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Tarekat Syadziliyah tidak meletakkan syarat-syarat yang berat kepada Syekh
tarekat, kecuali mereka harus meninggalkan semua perbuatan maksiat, memelihara segala
ibadat yang diwajibkan, melakukan ibadat-ibadat sunnat sekuasanya, zikir kepada Tuhan

9
sebanyak mungkin, sekurang-kurangnya, seribu kali sehari semalam, istighfar seratus
kali, shalawat kepada Nabi sekurang-kurangnya seratus kali sehari semalam, serta
beberapa zikir lain. Kitab Syadziliyah meringkaskan sebanyak dua puluh adab, lima
sebelum mengucapkan zikir, dua belas dalam mengucapkan zikir, dan tiga sesudah
mengucapkan zikir.
3.) Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf yang terkenal
yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ Al-Din Al-Uwaisi Al-Bukhari Naqsyabandi
(717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4
mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah
tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat
muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia
Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia tengah bukan
hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini
mempunyai zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai
tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semarak.
Tarekat yang berkembang di Indonesia adalah Tarekat Naqsyabandiyah,
merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan
penyebarannya. Tarekat ini tersebar hampir ke seluruh provinsi yang ada di tanah air,
yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan,
Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Inilah
satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas
muslim. Berbeda dengan tarekat lain, Tarekat Naqsyabandiyah tidak hanya menyeru
kepada lapisan sosial tertentu saja, para pengikutnya berasal dari wilayah perkotaan
sampai ke pedesaan, di kota-kota kecil serta ada juga di kota-kota besar, dan dari semua
kelompok profesi
4.) Tarekat Khalwatiyah
Tarekat Khalwatiyah ialah suatu cabang dari tarekat akidah Suhrawardiyah, yang
didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi (w. 1167 M) dan oleh Umar
Suhrawardi (w. 1234 M), yang tiap kali menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena
mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar. Bidang

10
usahanya yang terbesar terdapat di Afghanistan dan India. Tarekat Khalwatiyah di
Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau di
tempat-tempat lain di mana suku itu berada seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur,
Ambon, dan Irian Barat.
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar
abad ke-17, Syaikh Yusuf Al-Makassari Al-Khalwati (tabarruk terhadap Muhammad
(Nur) Al-Khalwati Al-Khawa Rizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih sangat
dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama.
keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syekh Yusuf Al-Makassari
dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18
Muhammad Al-Samman. Kedua cabang Tarekat Khalwatiyah ini muncul sebagai tarekat
yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak
kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan,
organisasi, dan komposisi pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berberdzikir
mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam
hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan
suara keras dan ekstatik.
5.) Tarekat Syattariyyah
Nama Syattariyyah dinisbatkan kepada Syekh ‘Abd Allah Al-Syaththari (w. 890
H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab
Al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawandi (539-632 H/1145-1234 M), ulama sufi yang
memopulerkan Tarekat Suhrawandiyah, sebuah tarekat yang awalnya didirikan oleh
pamannya sendiri, Diya Al-Din Abu Najib al-Suhrawandi (490-563 H/1079-1168 M).
Awal perkembangan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf Al-Sinkili dari haramayn pada awal paruh
kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya Al-Qusyasyi
wafat. Sementara itu, Syekh Burhanuddin Ulakan diyakini sebagai ulama pertama yang
mengembangkan Tarekat Syattariyyah di Sumatera Barat. Di Jawa Barat sendiri, ajaran
Tarekat Syattariyah dibawa Syekh Abdul Muhyi, yang juga adalah murid dari Syekh
Abdurrauf Al-Sinkili di Aceh. Murid-murid Tarekat Syattariyyah di Jawa Barat hingga

11
sekarang masih banyak dijumpai, antara lain di Pamijahan, Tasikmalaya, Purwakarta,
Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan lain-lain.
Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyyah masih bertahan di berbagai
wilayah di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan
rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat, atau apa yang disebut sebagai
neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa awal
kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyyah masih dapat bertahan di tengah
kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.
6.) Tarekat Sammaniyah
Nama tarekat ini diambil dari seorang guru taswwuf yang masyhur, disebut
Muhammad Samman, seorang guru tarekat yang ternama di Madinah, pengajarannya
banyak dikunjungi orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena
itu tarekatnya banyak tersiar di Aceh, biasa disebut tarekat Sammaniyah. Ia meninggal di
Madinah pada tahun 1720 M.
Tarekat Sammaniyah adalah tarekat pertama yang mendapat pengikut massal di
Nusantara. Hal yang menarik dari Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri
khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syahadat yang terucapkan
olehnya tidak bertentangan dengan syariat. Kesimpulan ini bisa dibuktikan dengan
mencoba menafsirkan syahadat yang terucapkan oleh Syekh Samman. Dan dalam kitab
Manaqib Syekh Al-Waliy Al-Syahr sendiri jelas-jelas disebutkan bahwa Syekh Samman
adalah seorang sufi yang telah menggabungkan antara syariat dan tarekat (al-jami’ baina
al-syari’ah wa al-thariqah).
Mungkin dapat dipastikan bahwa di daerah Sulawesi Selatan-lah Tarekat
Sammaniyah masih banyak para pengikutnya hingga kini. Selain di Sulawesi Selatan,
denyut kehidupan meriah Tarekat Sammaniyah juga terjadi di Kalimantan Selatan.
7.) Tarekat Tijaniyah
Salah satu tarekat yang terdapat juga di Indonesia di samping tarekat-tarekat yang
lain ialah tarekat Tijaniyah. Dalam tahun berapa tarekat ini masuk ke Indonesia tidak
diketahui orang dengan pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini
di Cirebon. Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhamma Al-Tijani
(1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di

12
Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syekh Ahmad Tijani diyakini kaum Tijaniyah sebagai
wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena
didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya. Tarekat
Tijaniyah ini mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah.
Wiridnya terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali.
Boleh dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore, pagi sesudah sembahyang Subuh
sampai sembahyang Dhuha, sore sesudah sembahyang Ashar sampai sembahyang Isya’.
8.) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah muncul sebagai tarekat sufi sekitar tahun
1850-an atas kreativitas seorang syaikh sufi asal Kalimantan, yaitu Ahmad Khatib
Sambasi yang pernah bermukim di Makkah. Ia menyatukan dan mengembangkan metode
spiritual dua tarekat sufi besar, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi satu tarekat
yang saling melengkapi yang dalam mengantarkan seseorang pada pencapaian spiritual.
Secara universal, ajarannya sama dengan tarekat sufi lainnya, yakni memberikan
keseimbangan secara mendalam bagi para anggotanya dalam menjalankan syariat Islam
dan memelihara segala aspek yang ada di dalamnya. Selain itu, melalui metode
“psikologis-moral”.
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah berusaha membimbing seseorang agar dapat
memahami dan merasakan hakikat beribadah kepada Tuhannya secara sempurna serta
membentuk serta membentuk kesadaran kolektif dalam membangun kesatuan jamaah
spiritual dan moral. Sebagai lembaga keagamaan, secara tidak langsung Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah telah membangun sistem sosial-organik yang cukup kuat di
kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

13
BAB III
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tarekat
Tarekat pada awalnya merupakan salah satu bagian dari ajaran tasawuf. Para sufi
mengajarkan ajaran pokok tasawuf yaitu syariat, terekat, hakikat, dan Ma’rifat yang pada
akhirnya, masing-masing ajaran tersebut berkembang menjadi satu aliran yang berdiri
sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis, yang maknannya bahwa syariat
adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, dan hakikat adalah batinku. Menurut
Muhammad al-Aqqas, tasawuf berasal Islam karena sudah ada dasarnya dalam ayat-ayat
AL-Quran, sehingga diakui sebagai ajaran yang benar. Tarekat telah dikenal di dunia
Islam terutama di abad ke 12/13 M (6/7 H) dengan hadirnya tarekat Qadiriyah yang
didasarkan pada sang pendiri Abd Qadir al-Jailani (1077-1166 M), seorang ahli fiqih
Hanbalian yang memiliki pengalaman mistik mendalam.
Para sufi menjalankan tarekat itu bersifat individu, sehingga mengakibatkan adanya
perbedaan antara satu sufi dengan sufi lainnya, sehingga pada prakteknya muncul tata
cara dan atau aturan yang berlainan pula. Lebih jauh muncullah tarekat-tarekat dengan
nama dan kaifiyat yang bermacam-macam.
Sebagai gambaran, Syekh Abdul Qadir al Jailani (tokoh pendiri tarekat Qadiriyah)
selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan
beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran
tersebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha dan jujur 9 Bahkan di antara praktik
spiritual yang diadopsi oleh tarekat ini adalah zikir (terutama melantunkan asma’ Allah
berulang-ulang). Dalam pelaksanaanya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan
intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga dan empat. Praktik zikir dapat
dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk
membentuk lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari.
Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan
bahwa tarekat merupakan bagian terpenting dari pada pelaksanaan tasawuf. 10
9
Mulyati, Hj. Sri. dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta. Kencana.
2004.cet. I. hlm. 38
10
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Uraian Tentang Mistik), (Solo:Ramadhani, tt 2001), h. 41.

14
Mempelajari tasawuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu
usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawuf diterangkan, bahwa syariat itu hanya peraturan
belaka, tarekat lah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu, apabila
syariat dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain
daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedangkan tujuan yang terakhir ialah makrifat
yaitu mengenal dan mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya.
Ditinjau dari segi historis, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai
suatu lembaga, sulit diketauhi dengan pasti. Namun Harun Nasution menyatakan bahwa
setelah Al-Ghozali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf
berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Perkembangan
tarekat dibagi oleh Harun Nasution menjadi tiga, yaitu:

1) Tahap Khanaqah, dimana para syaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup secara
bersama-sama di bawah peraturan yang tidak terlalu ketat. Syaikh menjadi murshid yang
dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan
koletif. Ini terjadi sekitar abad ke 10 M.
2) Tahap Tariqah di abad ke 13 M. Di tahap ini ajaranajaran, peraturan, dan metode-
metode tasawuf di tarekat telah dimapankan. Juga muncul pusat pengajaran tasawuf
dengan silsilahnya masingmasing.
3) Tahap Taifah terjadi sekitar abad ke 15 M. Di sini terjadi transmisi ajaran dan
peraturan kepada pengikut. Muncul juga tarekat dengan cabang-cabang di tempat lain. Di
tahap ini tarekat memiliki makna sebagai organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh
tertentu.11

Menurut Hamzah Ya’qub, timbulnya tarekat disebabkan beberapa faktor, yaitu


sinyalemen Rasullullah Saw. Mengemukakan bahwa Islam akan terpecah-pecah menjadi
beberapa firqah-firqah yang jumlahnya lebih banyak kaum Yahudi dan Nasrani,
sebagaimana bunyi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.

11
Ahmad Khoirul Fata. Tarekat. Gorontalo: 2011. Jurnal Al-Ulum. Vol. 2 No. 2. Hlm 374-378

15
‫ِا‬ ‫ِه‬ ‫ِهلل‬
‫ ْفَتَرَق اْلَيُه ْو ُد َعَلى ِإْح َد ى َأْو‬: ‫ َقاَل َرُسْو ُل ا َص َّلى الّلُه َعَلْي َوَس َّلَم‬: ‫َعْن َأْيِب ُه َرْيَرَة َقاَل‬
‫ُأ‬
‫َّم‬ ‫ُق‬‫ َتَفَّرَقِت الَّنَص ا ى َعَلى ِإْح َد ى َأْو ِثْنَتِنْي َوَس ْبِعَنْي ِفْرَقًة َتْف ِرَت‬،‫ِثْنَتِنْي َوَس ْبِعَنْي ِفْرَقًة‬
‫ْيِت‬ ‫َو‬ ‫َر‬ ‫َو‬
‫َعَلى َثَالٍث َوَس ْبِعَنْي ِفْرَقًة‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah
menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan,
dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh
puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga (73) golongan.” (H.R Abu Dawud).
1. Masuknya Tarekat di Indonesia
Sejarah tarekat di Indonesia diyakini sama dengan sejarah masuknya Islam
ke Nusantara itu sendiri. Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak Sufidtik
itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan
Budha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan
dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah
beradaptasi dengan tradisi tarikat yang dibawa para wali.
Besarnya pengaruh tarekat dalam islamisasi juga didukung dengan dari
temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-
7, dan di Jawa sejak abad 11 M, namun sejauh itu tidak cukup signifikan
mengubah agama masyarakat nusantara. Proses islamisasi nusantara secara besar-
besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan
dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhalaki yang ditandai dengan
munculnya aliran-aliran tarekat di Timur Tengah.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu masuk dan cara penyebaran
Islam di Indonesia memang tidak bisa dipungkiri. Namun, terkait corak Islam
yang pertama kali masuk dan yang memiliki sumbangsih terbesar terhadap
penyebaran Islam di Indonesia, para pakar sepakat, yaitu Islam sufistik. Islam
sufistik merupakan salah satu corak Islam yang bersifat santun, ramah, luwes, dan
adaptif dengan kebudayaan lokal. Atas dasar ini, kemudian Islam dengan cepat
diterima oleh masyarakat dan menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.12

12
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009), 11–25.

16
Sebelum abad 16 M Pendapat ini didasarkan kepada munculnya para
tokoh sufi awal di Sumatera (Aceh), yaitu: Hamzah Fansuri (w. 1527), Nuruddin
al-Raniri (w. 1658), dan ‘Abdurrouf Singkel (w. 1693).10 Mereka diketahui
merupakan pengikut tarekat tertentu. Hamzah Fansuri sebagai pengikut Tarekat
Qadiriyah, Nuruddin al-Raniri sebagai Syekh Tarekat Rifaiyah,11 dan ‘Abdurrauf
Singkel sebagai Syekh Tarekat Sattariyah.12 Lanjut Martin, pada abad 18 M,
Tarekat Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah sudah menyebar di
Nusantara. Tarekat Sammaniyah adalah tarekat yang paling besar dan terorganisir
dibandingkan tarekat-tarekat lainnya pada masa ini. Diantara tokoh utama
penyebarnya adalah Muh}ammad Nafis al-Banjari (w .1812 M).13
Adapun di Jawa, tarekat baru masuk pada pertengahan abad 17 M. melalui
salah satu murid ‘Abdurraouf Singkel, yakni Syekh Haji ‘Abdul Muhyi (w. 1715).
‘Abdul Muhyi menetap dan menyebarkan tarekatnya di wilayah kerajaan Banten
Jawa Barat, tepatnya ialah di Desa Savarwadi Pamijahan Tasikmalaya. Tokoh lain
yang menyebarkan tarekat ke Jawa pada abad 17 M adalah Syekh Yusuf al-
Makassari (w. 1699 M). Ia lebih dikenal sebagai pengajar Tarekat Khalwa>tiyah
yang khas dirinya.
Abad 19 M adalah periode emas tarekat di Nusantara, termasuk di Jawa.
Pada masa ini, selain tarekat-tarekat lama telah menyebar luas dan mendapatkan
banyak pengikut, juga banyak tarekat baru yang masuk, diantaranya adalah:
Tarekat Ahmadiyah, Tijaniyah, Idrissiyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Selain itu, pada abad ini bisa dipastikan bahwa tarekat sudah berbentuk ordo
sebagaimana yang kita kenal sekarang, berbeda dengan abad-abad sebelumnya
yang nampaknya masih berbentuk silsilah keilmuan dari guru ke murid saja.
Menurut Abu Bakar Aceh, tarekat transnasional yang masuk ke Indonesia
jumlahnya tidak kurang dari 40 buah.14
Selain tarekat-tarekat transnasional, tarekat yang berasal dari luar dan
kemudian masuk ke Indonesia, juga lahir tarekat-tarekat lokal. Tarekat-tarekat ini
didirikan di Indonesia. Pada umumnya, tarekat-tarekat yang diinisiasi oleh ulama-
ulama lokal ini juga hanya berkembang di Indonesia, bahkan ada yang hanya
13
Aly Mashar, A. (2021). Tarekat dan Aliran Kebatinan.cet 1 hlm. 11
14
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: C.V. Ramadhani, 1985), h. 303.

17
tersebar di daerah-daerah yang tidak jauh dari daerah kelahirannya. Diantara
tarekat-tarekat lokal ini adalah Tarekat Wahidiyah, Tarekat Siddiqiyah, Tarekat
Haqmaliyah, Tarekat Kadisiyah Qudusiyah, dan Tarekat Asy-Syahadatain.

B. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf


Memperbincangkan tasawuf dan tarekat seolah-olah keduanya adalah sama,
bahwa tarekat adalah tasawuf dan tasawuf tarekat. Sebagian masyarakat, beranggapan
bahwa pelaku tarekat berarti berarti bertasawuf, dan yang tidak bertarekat dianggap tidak
bertasawuf. Pandangan ini sebenarnya tidak salah, namun menyederhanakan penegrtian
tasawuf. Ia lebih melihat sikap lahiriyah (eksoteris) dan simbol-simbol formalis yang
bersifat indrawi. Mereka puas dengan berbagai atribut yang dimilikinya, sementara ia
mengabaikan kondisi internal spiritual nya yang menjadi pusat bersemainya ajaran
sufistik. Pandangan yang demikian oleh al-Ghazali dikatakan sebagai orang maghrur atau
orang yang tertipu. Karena hakikat tasawuf tidak lepas dari jati diri manusia yang terdiri
dari dua unsur. Unsur pertama, bahwa manusia sebagai khalq, yang berarti ciptaan Tuhan
yang bersifat materi atau jasmani. Sedangkan unsur kedua, manusia berasal dari kata
khulq, yang berarti etika atau tatakrama, yakni sebagai kreasi Tuhan yang bersifat
immateri (bukan benda) atau bersifat rohani. Dengan demikian, tasawuf merupakan
upaya penyempurnaan wujud kerohanian manusia. Sedangkan tarekat adalah jalan
menuju kesempurnaan kerohanian. Oleh karenanya, domain tarekat berisi tentang
tahapan-tahapan menuju sufi.
Tasawuf dan Tarekat sejatinya adalah sesuatu sesuatu yang berbeda, namun
keduanya juga tidak bisa dipisahkan. Karena orang bertarekat oleh sebagian masyarakat
dimaksudkan untuk memperoleh puncak kesufian. Jadi, tarekat adalah sebuah jalan yang
ditempuh oleh salik atau murid menuju pada puncak kesufian dalam bimbingan seorang
mursyid. Dalam pandangan Said Agil Siraj, bahwa antara tasawuf dan tarekat diumpakan
dengan “ tasawuf sebagai ilmunya dan tarekat adalah madrasahnya atau lembaganya.
Misalnya dalam tarekat Qadiriyah, sebagai sebuah lembaga yang memberikan
bimbingan kepada jama’ahnya agar menggapai maqam (kedudukan) sufi sesuai dengan
metode yang diajarkan oleh Syekh Abd. Qadir al-Jailani dalam hal ini melalui pembacaan
dzikir manaqib yang sering dilakukan oleh banyak orang. Pertanyaannya, apakah orang

18
yang mengikuti tarekat bisa dikatagorikan seorang sufi ? Jawabannya belum tentu, karena
orang mengikuti tarekat belum bisa dipastikan mencapai maqam sufi.
Tidak setiap pengamal tarekat memcapai kedudukan sufi, karena maqam ini tidak
sembarang orang mendapatinya, jika ia tidak sungguh-sungguh menjalani proses menuju
sufi, maka ia telah menemuh jalannya namun belum sampai pada tujuannya. Misalnya
dalam tarekat terdapat ketentuan dzikir yang harus dijalani oleh salik sesuai dengan
ketentuan dalam tarekat tersebut. Jika seorang salik mampu mengamalkan dan
melaksanakan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh gurunya (mursyid-nya) baru ia
bisa dikategorekan telah mencapai maqam sufi.15
Pada prinsipnya setiap orang yang masuk tarekat bisa dikatakan sudah pasti
mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa
tarekat menjadi lembaga atau madarasah dalam kerangka mengamalkan ajaran-ajaran
tasawuf. Yang demikian itu dimaksudkan agar seseorang mendapat ilmu sehingga hati
dan rohani terdapat pangkatnya. Untuk mendapatkan maqam dalam dunia tasawuf
dikenal dengan istilah pangkat. Misalnya dalam dunia tasawuf terdapat kedudukan yang
diawali dengan, al-tawbat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-tawakkal, dan seterusnya.
Dalam ilmu tasawuf dikenal ilmu qulub, ialah ilmu yang mengeloh hati dan
bukan akhlak. Karena akhlak merupakan perilaku lahir, seperti hormat kepada kedua orag
tua, hormat kepada guru, suka membantu orang faqir, tanggap terhadap orang yang
sedang mengalami kesususahan, dan seterusnya. Sasaran tasawuf adalah bangsa hati
(bathin), agar hati mendapatkan pangkat dan kedudukan tertentu dihadapan Allah. Semua
pengamal tasawuf menyepakati bahwa pangkat yang utama adalah maqam al-tawbat.
Pada maqam ini bukan hanya seseorang berucap dengan kalimat astaghfirullah yang
hanya berhenti di bibir, melainkan sudah menjadi posisi atau sikap hati seperti wara’
zuhud, tawakkal, syukur, ridla, dan sabar.
Adapun yang menjamin seseorang mendapat maqam sufi hanyalah Allah SWT.
melalui mursyid (sebutan guru dalam tarekat). Bisa saja orang terebut dalam
perkembangannya mendapat pencapain melebihi maqam guru-gurunya. Inilah yang
dialami oleh para tokoh sufi, seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu al-‘Arabi. Sehingga
sangat penting dilakukan oleh seseorang yang hendak bertarekat, mencari seorang

15
Emroni, Emroni. "Historisitas dan Normativitas Tasawuf dan Tarekat." (2014).

19
mursyid yang asrar al-ashaf, atau mereka yang mempunyai pengalaman spiritual yang
sangat matang. Hal ini berbeda dengan seseorang yang bisa menyembuhkan orang sakit
stress, karena yang demikian itu lebih pas disebut dengan ilmu suluk atau ilmu kejiwaan.
Karena dalam maqam tasawuf terdapat penjenjangan, maka seorang sufi tidak ada
henti-henti melakukan usaha pencapaian setinggi-tingginya. Hal ini dilakukan sampai
kapanpun, karena maqam yang paling tinggi adalah makrifatullah. Maqam ini, hanya bisa
didapat dengan modal ikhlas dalam beribadah, dan meraka bersungguh-sungguh dalam
beribadah sehingga mereka mencintai dan akhirnya mereka mengenal Tuhan. Dengan
demikian, maka Allah berkenan menyingkap tabir dari pandangan seorang sufi untuk
kemudian menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya seorang sufi dapat
melihat keindahan dan keesaanNya. Untuk mencapai tingkat puncak ini, sepintas mudah
dilakukan namun sulit dalam praktiknya.
Berbagai tantangan dan rintangan yang dilalui oleh seseorang menuju jalan
kesufian, tidaklah mulus dan mudah. Untuk sampai pada maqam tertinggi makrifatullah,
seorang sufi memang harus melakukan usaha yang keras dan waktu panjang, bahkan
kadang-kadang ia masih tinggal bertahun-tahun dalam satu maqam. Dari maqam pertama,
misalnya al-taubat untuk pindah kemaqam berikutnya yaitu al-zuhd butuh waktu yang
agak lama. Proses pindahnya jalan kesufian tidak bisa dilalui secara instan (tiba-tiba)
memerlukan proses panjang. 16
Karena maqam makrifat yang merupakan maqam teritnggi harus dicapai melalui
proses yang terus menerus. Semakin sering seorang sufi mencapai makrifat, semakin
banyak yang ia ketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sekalipun ia mencapai maqam
makrifat, tidak mungkin makrifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat
terbatas, sementara Tuhan tidak memiliki keterbatasan. Sementara Imam al-Junaid al-
Baghdadi pernah menegaskan tentang keterbatasan manusia dengan menyatakan
“Cangkir teh tidak mungkin menampung semua air laut.

BAB IV
PENUTUP

16
Manshur, Fadlil Munawwar. "Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam Kehidupan Pesantren." Humaniora 11.1 (1999):
102-109.

20
A. Simpulan
Tarekat dapat diartikan suatu sistem hidup bersama sebagai upaya spitulisasi
pengamalan dan pemahaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’riffatullah. Dalam
perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa dipahami sebagai usaha kolektif dalam
upaya tazkiyah al-nafs. Dengan kata lain tarikat dapat dipahami pembelajaran tasawuf
yang melembaga. Bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam satu tarekat paling tidak
adalah guru (mursyid), murid, bai‟at, silsilah dan wirid. Dari sekian banyak aliran tarekat
tersebut terdapat sekurang-kurangnya tujuh aliran tarekat yang berkembang di Indonesia,
yaitu tarekat Qadariyah, Rifaiyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-
Hadad, dan tarekat Khalidiyah.
Ditinjau dari segi historis, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai
suatu lembaga, sulit diketauhi dengan pasti. Namun Harun Nasution menyatakan bahwa
setelah Al-Ghozali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf
berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Perkembangan
tarekat dibagi oleh Harun Nasution menjadi tiga, yaitu: tahap khanaqah, tahap tariqoh dan
tahap taifah. Sejarah tarekat di Indonesia diyakini sama dengan sejarah masuknya Islam
ke Nusantara itu sendiri. Para sejarawan Barat menyakini, Islam bercorak Sufidtik itulah
yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha menjadi
sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan
spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarikat
yang dibawa para wali.
Abad 19 M adalah periode emas tarekat di Nusantara, termasuk di Jawa. Pada
masa ini, selain tarekat-tarekat lama telah menyebar luas dan mendapatkan banyak
pengikut, juga banyak tarekat baru yang masuk, diantaranya adalah: Tarekat Ahmadiyah,
Tijaniyah, Idrissiyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Selain itu, pada abad ini bisa
dipastikan bahwa tarekat sudah berbentuk ordo sebagaimana yang kita kenal sekarang,
berbeda dengan abad-abad sebelumnya yang nampaknya masih berbentuk silsilah
keilmuan dari guru ke murid saja. Menurut Abu Bakar Aceh, tarekat transnasional yang
masuk ke Indonesia jumlahnya tidak kurang dari 40 buah. Tasawuf dan Tarekat sejatinya
adalah sesuatu sesuatu yang berbeda, namun keduanya juga tidak bisa dipisahkan. Karena
orang bertarekat oleh sebagian masyarakat dimaksudkan untuk memperoleh puncak

21
kesufian. Jadi, tarekat adalah sebuah jalan yang ditempuh oleh salik atau murid menuju
pada puncak kesufian dalam bimbingan seorang mursyid. Dalam pandangan Said Agil
Siraj, bahwa antara tasawuf dan tarekat diumpakan dengan “ tasawuf sebagai ilmunya
dan tarekat adalah madrasahnya atau lembaganya.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam

22
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Maka demi peningkatan dan perbaikan dalam
tarekat dan serba-serbinya penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada lembaga sekolah agar lebih mengoptimalkan lagi pemanfaatan


perangkat-perangkat pembelajaran yang dibutuhkan sehingga memudahkan dalam
proses belajar mengajar yang lebih baik ditahun mendatang dan lebih baik dalam
menetapkan peraturan-peraturan yang bertujuan membentuk karakter peserta
didik.
2. Diharaapkan kepada guru Sejarah agar dapat mengangkat tarekat ini sebagai salah
satu bukti peninggalan masuknya islam yang ada hingga sekarang.
3. Kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam agar dapat
mengangkat mataeri terkait tarekat yang memiliki nilai-nilai pendidikan karakter
yang bermanfaat bagi mahasiswa dan generasi muda.

DAFTAR PUSTAKA

23
Louwes Ma’luf, Kamus al-Manjid,(Beirut: Daar al-Masyruq, tth)
Syamsul Bahri, Tasawuf dalam penerapan (tarikat) dalam jurnal tajdid no. 4 vol 2, (Padang :
Fakultas Ushuluddin, 1999)
Tim Penyusun, Pengantar ilmu tasawuf, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Sumut,1982)
Fuad Sa’id, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994)
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), (Solo: Ramadhani, 1985)
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah menuju Kebahagian, diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 2001)
Mulyati, Sri, dkk. 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: cet 2 Kencana
Mulyati, Hj. Sri. dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta. Kencana. 2004.cet. I.
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Uraian Tentang Mistik), (Solo:Ramadhani, tt 2001)
Ahmad Khoirul Fata. Tarekat. Gorontalo: 2011. Jurnal Al-Ulum. Vol. 2 No. 2.
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009),
Aly Mashar, A. (2021). Tarekat dan Aliran Kebatinan.cet 1 hlm. 11
Emroni, Emroni. "Historisitas dan Normativitas Tasawuf dan Tarekat." (2014).
Manshur, Fadlil Munawwar. "Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam Kehidupan
Pesantren." Humaniora 11.1 (1999)

24

Anda mungkin juga menyukai