Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI DUNIA

Dosen Pengampu: Abdul Khalid, M.Pd.

Disusun Oleh:
1. BAIQ PILATIKA (PA.71.21.219)
2. HARFI JAYADI BAYU PUTRA (PA.71.21. )

INSTITUT TEKNOLOGI SOSIAL KESEHATAN MUHAMMADIYAH


SELONG
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas
tentang “Gerakan Pembaharuan Islam Di Dunia”.
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis alami, namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang
terdekat, sehingga penulis mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis
pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga penulis dapat
membuat makalah ini degan baik.
2. Bapak Abdul Khalid, M.Pd. selaku Dosen pembimbing Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan yang telah memberi tugas makalah ini.
3. Kedua Orang Tua , atas semua doa dan bantuan finansial untuk
menyelesaikan makalah ini.
4. Teman-teman Kelas A3 yang telah memberikan semangat dan motivasi
bagi penulis menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini
semata-mata karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu,
sangatlah penyusun harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan
datang.

Selong, 15 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 3
C. Tujuan..................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Muhammad Bin Abdul Wahab............................................................... 4
B. Jamaluddin Al-Afgani............................................................................. 6
C. Muhammad Abduh.................................................................................. 11
D. Rasyid Ridha........................................................................................... 14
E. Dinamika Gerakan Pembaharuan Islam.................................................. 17
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................ 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gerakan pembaharuan Islam adalah suatu upaya untuk menyesuaikan
(kontekstualisasi) ajaran Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam bahasa Arab,
gerakan pembaharuan disebut dengan tajdid. Secara harfiah tajdid berarti
pembaharuan, dan pelakunya disebut dengan mujaddid. Gerakan
pembaharuan dalam Islam, yang oleh beberapa pakar disebut juga gerakan
modernisasi atau gerakan reformasi Islam, adalah gerakan yang dilakukan
untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tatanan dunia baru yang diakibatkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan
pembaharuan itu para pemimpin Islam berharap agar umat Islam terbebas dari
ketertinggalan, bahkan dapat mencapai kemajuan yang setara dengan bangsa-
bangsa lain di dunia.
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dunia Islam timbul terutama
karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan
adanya kontak tersebut, umat Islam abad XIX mulai menyadari bahwa
mereka telah mengalami kemunduran dibandingankan dunia barat yang pada
saat itu mulai menemukan titik kemajuan peradaban. Sebelum periode
modern, hubungan atau kontak antara Islam dan Barat sebenarnya sudah
terjadi, terlebih antara Kerajaan Utsmani (yang mempunyai daerah kekuasaan
di daratan Eropa) dengan beberapa negara Barat. Namun kontak dengan
kebudayaan Barat ini semakin intens saat jatuhnya kekuatan Mesir oleh
Napoleon Bonaparte dari Perancis, disusul dengan imperialisasi Barat
terhadap negara-negara muslim lainnya.
Faktor lahirnya gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam adalah:
1. Adanya sifat jumud (stagnan) yang telah membuat umat Islam berhenti
berpikir dan berusaha.
2. Persatuan di kalangan umat Islam mulai terpecah belah.

1
3. Hasil adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat.
4. Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaissance dalam dunia Barat.
Meski jalur strategis perdagangan yang selama itu menjadi jalur
internasional telah dikuasai oleh umat Islam sehingga bangsa Barat sulit
melakukan transaksi-transaksi perdagangan melalui jalur tersebut, namun
dengan didukung oleh kesuksesan Christoper Columbus (1492M) yang
berhasil menemukan benua Amerika, juga Vasco da Gama yang berhasil
menemukan jalur ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498M,
telah menjadikan Benua Amerika dan kepulauan Hindia jatuh ke tangan
bangsa Eropa (Barat). Akibat dibukanya dua jalur perdagangan baru tersebut,
maka Barat tidak lagi tergantung pada jalur lama yang telah dikuasai umat
Islam. Kemajuan bangsa Barat yang diraih secara berturut-turut pasca perang
salib, didorong oleh adanya gerakan perluasan perdagangan, dan dipercepat
dengan adanya gerakan penggalian ilmu pengetahuan atau revolusi ilmu
pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti
Francis Bacon, René Descartes, Galileo Galilei, serta adanya pengembangan
riset dan penelitian dengan didirikannya lembaga-lembaga riset seperti The
Royal Improving Knowledge, The Royal Society of England, dan The French
Academy of Science. Menyusul kemudian aplikasi dari teori-teori baru dan
hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk mesin-mesin pendukung industri,
hingga muncullah gerakan Revolusi Industri di Barat.
Dalam hal ini Rasulullah Saw pernah mengisyaratkan, “sesungguhnya
Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad
orangorang yang akan memperbaiki (memperbaharui) agamanya ” (HR.
Imam Abu Dawud). Namun demikian, istilah tajdid atau pembaharuan dalam
Islam baru populer pada awal abad ke-18 M, tepatnya setelah munculnya
gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam di Mesir, sebagai imbas
dari persinggungan politik dan intelektual antara Islam dengan dunia Barat.
Gerakan pembaharuan dalam Islam, yang oleh beberapa pakar disebut juga
gerakan modernisasi atau gerakan reformasi Islam, adalah gerakan yang
dilakukan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tatanan dunia baru yang

2
diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan
pembaharuan itu para pemimpin Islam berharap agar umat Islam terbebas dari
ketertinggalan, bahkan dapat mencapai kemajuan yang setara dengan bangsa-
bangsa lain di dunia.
Dengan kata lain, istilah modernisasi berarti sebuah bentuk perubahan
tatanan (transformasi) dari keadaan yang kurang maju atau kurang
berkembang ke arah yang lebih baik, dengan harapan akan tercapai kehidupan
masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan makmur. Dengan demikian,
pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi, atau
menambahi teks al-Qur’an maupun al-hadits, melainkan hanya menyesuaikan
pemahaman atas keduanya dalam menjawab tantangan zaman yang
senantiasa berubah (kontekstualisasi ajaran Islam). Hal ini, menurut para
tokoh pembaharuan Islam, dikarenakan terjadinya kesenjangan antara yang
dikehendaki al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Oleh
karenanya diperlukan upaya pembaharuan dalam pemikiran dan keagamaan
masyarakat sehingga dapat sejalan dengan spirit al-Qur’an dan as-Sunnah.
Maka dengan demikian, pembaharuan Islam mengandung maksud
mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat Islam agar sejalan dengan
semangat al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana dicontohkan ulama salafus
shalih terdahulu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara para tokoh seperti Muhammad Bin Abdul Wahab,
Jamaludi Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dalam
melakukan pembaharuan islam?
2. Bagaimana dinamika gerakan pembaharuan islam di dunia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana cara para tokoh seperti Muhammad Bin
Abdul Wahab, Jamaludi Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
dalam melakukan pembaharuan islam
2. Untuk mengetahui bagaimana dinamika gerakan pembaharuan islam di
dunia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Muhammad bin Abdul Wahab


Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “ Pembaharuan dalam Islam”
menyebutkan bahwa pada abad kesembilan belas di Arabia timbul aliran
Wahabiah. Pencetusnya adalah Muhammad bin Abdulwahhab (1703-1787).
Ia berasal dari Nejd di Arabia. Setelah menyelesaikan pelajarannya di
Madinah, ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat
tahun. Selanjutnya ia pindah ke Baghdad dan menikah dengan seorang wanita
yang kaya. Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia
pindah ke Kurdistan, selanjutnya ke Hamdan dan ke Isfahan.
Di Isfahan, ia sempat mempelajari Filsafat dan Tasawuf. Setelah bertahun-
tahun dalam pengembaraan, ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di
Nejd. Pemikirannya yang dicetuskan Muhammad bin Abdulwahhab untuk
memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap
suasana politik seperti yang terdapat dalam Kerajaan Mughal dan Dinasti
Turki Usmani tetapi sebagai reaksi terhadap paham Tauhid yang terdapat di
kalangan umat Islam waktu itu. Kemurnian paham Tauhid mereka telah
dirusak oleh ajaran-ajaran terekat yang semenjak abad ketiga belas memang
tersebar luas di Dunia Islam.
Di tiap negara yang dikunjunginya Muhammad bin Abdulwahhab melihat
kuburan-kuburan Syekh tarekat bertebaran di tiap kota. Sebagian umat Islam
pergi naik Haji dan meminta pertolongan dari Syekh atau wali yang
dikuburkan didalamnya untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan
mereka. Ada yang meminta pertolongan supaya diberi anak dan ada pula
meminta supaya diberi jodoh. Syekh atau Wali yang telah meninggal dunia
itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapi manusia di alam ini. Karena pengaruh tarekat ini,
permohonan  dan doa tidak langsung lagi dipanjatkan kepada Allah tetapi

4
melalui syafaat Syekh atau wali tarekat yang dipandang sebagai orang yang
dapat mendekati Tuhan.
Ahmad Amin berkata “ bagi mereka Tuhan menyerupai Raja dunia zalim
yang untuk memperoleh belas kasihannya harus didekati melalui orang-orang
besar dan berkuasa yang ada disekitarnyar dan berkuasa yang ada
disekitarnya". Muhammad bin Abdul Wahhab melihat kemurnian Tauhid
bukan hanya dirusak karena memuja para syekh atau wali saja. Faham
aninisme masih mempengaruhi keyakinan umat Islam. Syrik adalah dosa
terbesar terbesar dalam Islam dan dosa yang tidak dapat diampuni Tuhan.
Soal  Tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam, oleh
karena itu tidak mengherankan kalau Muhammad bin Abdul Wahhab
memusatkan perhatian pada soal ini. Ia berpendapat :
1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan dan orang yang
menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan,
tetapi dari syekh ataub wali dan dari kekuatan ghaib. Orang Islam
demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, Syekh atau Malikat sebagai pengantara doa juga
merupakan syrik.
4. Bernazar kepada selain Tuhan juga syrik.
5. Memperoleh pengetahuan selain  dari Al-Qur’an , hadis dan qias
merupakan kekufuran.
6. Tidak percaya kepada Qada dan kadar Tuhan merupakan kekufuran.
Semua yang di atas ia anggap bidah dan  bidah adalah kesesatan. Untuk
melepaskan umat Islam dari kesesatan ini, ia berpendapat bahwa umat Islam
harus kembali kepada Islam yang asli yaitu Islam yang dipraktikan pada masa
Nabi, sahabat serta tabi’iin sampai pada abad ketiga hijrah. Kepercayaan dan
praktik-praktik lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran asli dari
Islam dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taklid dan patuh kepada
pendapat Ulama sesudah abad ketiga tidak dibenarkan.

5
Pendapat dan penafsiran Ulama tidaklah merupakan sumber dari ajaran-
ajaran Islam. Sumber yang diakuinya hanyalah Al-Qur’an dan Hadis. Dan
untuk memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam kedua sumber itu
dipakai ijtihad. Baginya pintu ijtihad tidak tertutup. Sama dengan Syah
Waliullah dari India, Muhammad bin Abdul wahhab juga pengikut Ibnu
Taimiyah. Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris tetapi
juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia
mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Sau’ud dan puteranya Abd Al-
Aziz di Nejd. Faham-faham Muhammad bin Abdul Wahhab mulai tersiar dan
golongannya bertambah kuat sehingga di tahun 1773 mereka dapat
menduduki Riyadh.  Pada tahun 1787 Muhammad bin Abdul Wahahhab
wafat tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang
disebut dengan Wahabiyah. Pada tahun 1802, pengikut Muhammad bin
Abdul Wahhab menyerang Padang Pasir Karbala karena di kota ini terdapat
makam Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beberapa tahun kemudian
mereka menyerang kota suci Madinah dan menghancurkan kubah-kubah yang
ada di atas kuburan-kuburan. Hiasan-hiasan yang ada dikuburan Nabi dirusak.
Kiswah sutra yang menutupi Ka’bah juga dirusak karena semua itu adalah
bidah. Sultan Mahmmud II penguasa Dinasti Turki Usmani memberi perintah
kepada Khedewi Muhammad Ali di Mesir supaya menghancurkan gerakan
Wahabi.  Ekaspedisi yang dikirim dari Mesir dapat membebaskan Madinah
dan Mekkah di tahun 1813 namun kota ini jatuh kembali ke tangan wahabiah
di tahun 1804 dan 1806. Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mempunyai pengaruh adalah: Hanya Al-Qur’an dan Hadislah
yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat Ulama tidak
merupakan sumber. Taklid kepada Ulama tidak dibenarkan. Pintu Ijtihad
terbuka.

B. Jamaluddin Al-Afgani
Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh pembaharu Islam yang
menggunakan metode berpikir rasional. Ia memiliki gelar al-Sayyid sejak

6
lahir sebab keluarganya adalah keturuna Nabi Muhammad Saw. Abad ke-19
sampai abad ke-20 adalah masa-masa di mana umat Islam memasuki sebuah
gerbang baru yakni gerbang pembaharuan. Fase pembaharuan kerap disebut
sebagai abad modernisme di mana umat Islam dihadapkan dengan kenyataan
bahwa barat Barat jauh lebih unggul. Dalam keadaan tak biasa tersebut,
muncul beberapa respons yang beragam, termasuk respons dari berbagai
kalangan Islam cara yang memiliki corak keislaman berbeda-beda. Ada
kelompok Islam yang merespons dengan sikap akomodatif, ada pula yang
menolak sebab Barat adalah hal yang berada di luar Islam.
Pada masa-masa tersebut, hadir Al-Afghani yang merupakan salah seorang
rokoh reformis Islam. Ia mempunyai ide-ide kreatif untuk mengembalikan
semangat juang umat Islam. Pemikiran utamanya adalah menentang
penjajahan negara Barat modern dan melenyapkan sikap taklid di kalangan
umat sebab menurutnya sikap tersebut adalah belenggu pola pikir rasional
umat Islam. Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan di Asadabad pada
1254H/1838M dan meninggal dunia di Istanbul 1897M. Ia adalah anak dari
Sayyid Safdar al-Husainiyyah yang memiliki hubungan darah dengan seorang
perawi hadist terkenal yang telah bermigrasi ke Kabul Afganistan, Sayyid Ali
At-Turmudzi yang terhubung dengan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Dalam buku Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (1975), Harun Nasution mencatat bahwa masa kecil Jamaluddin Al-
Afghani tinggal di Kabul. Ia tekun mempelajari ilmu aqli dan naqli. Ia juga
mahir dalam bidang matematika. Al-Afghani diajarkan mengkaji Al-Qur’an
oleh sang ayah, lalu ketika ia beranjak dewasa, ia pun diajarkan Bahasa Arab
dan Sejarah. Sang ayah sengaja mendatangkan seorang guru Tafsir, Ilmu
Hadist dan Ilmu Fiqih yang dilengkapi juga dengan Ilmu Tasawuf dan Ilmu
Ketuhanan. Pada usia 18 tahun, Al-Afghani telah mahir di berbagai bidang
keilmuan. Tidak hanya menguasai cabang Ilmu Keagamaan saja, ia pun
mendalami Ilmu Falsafah, Hukum, Sejarah, Fisika, Kedokteran, Sains,
Astronomi, dan Astrologi. Beberapa guru Al-Afghani antara lain Aqashid
Sadiq dan Murtadha Al Anshori. Sejak kecil, Al-Afghani tumbuh dalam

7
lingkungan keluarga bermazhab Hanafi. Ia lalu bersekolah di Kabul dan
menjalani pembelajaran dalam sistem konservatif. Ia mengambil program
ekstra kurikuler dalam bidang filsafat dan ilmu pasti.
Jamaluddin Al-Afghani, bergelar Sayyid karena beliau adalah putra dari
Shafdar Al-Husaini yang merupakan keturunan dari Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Mungkin sebagian dari kita mengenal Jamaluudin Al-Afghani adalah
salah satu pelopor gerakan salafi modern, namun kita akan melihat perbedaan
pemikiran antara Al-Afghani dengan kelompok Islam salafi yang sering kita
temui di Indonesia. Di Indonesia, kita lebih sering menemui kelompok
pengajian salaf atau melabeli diri mereka sebagai gerakan Salafi yang tujuan
utamanya adalah untuk mengajak umat pada ajaran Islam yang murni
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Juga menyingkirkan umat pada aktifitas
keagamaan yang menurut mereka mengandung syirik, bid’ah, dan takhayul.
Satu hal yang ditekankan oleh Al-Afghani adalah umat Islam mengalami
kemunduran akibat dari pemahaman keagamaan yang taklid dan tertutupnya
pintu ijtihad. Hal ini membuat umat hanya mengikuti pemahaman yang sudah
dibentuk oleh seorang ulama dan mengikutinya tanpa menyampaikan
kritisisme dan pertanyaan mengenai pemahaman tersebut.
Pemikiran Al-Afghani ini cenderung bertolak belakang dengan apa yang
kita temui pada kelompok salaf di Indonesia. Mereka malah mengkritik upaya
ijtihad yang dilakukan oleh kelompok Islam yang lain. Misalnya mengkritik
upaya ijtihad Nahdlatul Ulama dalam mengupayakan sebuah pemahaman
Islam yang moderat ala Indonesia dengan mencetuskan manhaj Islam
Nusantara. Atau upaya ijtihad kelompok muda Jaringan Islam Liberal untuk
mewujudkan pemahaman Islam yang toleran terhadap umat beragama lain.
Mengutip tulisan Prof. Hariz Anshari dalam buku Satu Islam Banyak Jalan,
Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang rasionalis. Pemikiran dan aktifitas
politiknya cenderung menyerukan pada pembaharuan Islam dengan jalan
rasionalitas yang tetap terikat dengan ajaran agama. Begitu pula dalam hal
emansipasi wanita, Al-Afghani memandang bahwa kemampuan intelektual
wanita dan laki-laki sama saja. Oleh karena itu wanita mempunyai hak untuk

8
mendapatkan pendidikan sebagaimana laki-laki. Wanita juga boleh bekerja di
luar rumah jika memang diperlukan, tetapi harus didasari oleh niat dan tujuan
yang mulia.Bahkan Al-Afghani tidak melarang wanita membuka tutup kepala
apabila ada di luar rumah, asal tidak sampai menimbulkan hal yang negatif.
Tentu kita akan mendengar pendapat berbeda dari kelompok Salaf di
Indonesia. Kita bisa mengamati isi ceramah dari beberapa Ustadz yang
mengaku Salafi, biasanya menampilkan diri dengan baju kurta Pakistan yang
sampai ke lutut, celana Isbal, jidat hitam dan berjenggot lebat. Ustadz ini
menyampaikan bahwa Istri itu harus di rumah dan tidak boleh bekerja, harus
menutup seluruh tubuh dengan pakaian hitam dan cadar (niqab). Parahnya,
mengatakan bahwa setinggi apapun pendidikan istri, takdir mereka adalah di
rumah, mengurus dapur, mengasuh anak, dan melayani suami.
Gagasan Politik
Harun Nasution mengatakan bahwa ide politik Al-Afghani dilandasi atas
keyakinan bahwa ajaran Islam adalah agama yang sesuai untuk semua
bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Konsekuensinya adalah keharusan
umat Islam untuk melakukan ijtihad, bahkan dalam hal gerakan politik. Ide
politik ini muncul atas keprihatinan beliau melihat negara – negara Islam di
timur tengah waktu itu mengalami penjajahan oleh Inggris.
Masih menurut Harun Nasution, Al-Afghani mengatakan bahwa corak
pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
Kepala negara harus mengadakan Syura dengan pemimpin masyarakat yang
banyak mempunyai pengalaman. Islam, dalam pendapat Al-Afghani,
menghendai pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-
undang dasar. Dari sini kita bisa melihat, bahwa pihak yang harusnya diajak
bermusyawarah oleh seorang kepala negara adalah pemimpin masyarakat
misalnya tokoh agama, pimpinan organisasi, atau pimpinan suku. Bukan
sekedar orang yang terpilih secara elektoral untuk menjadi wakil rakyat
seperti yang sekarang terjadi di negara kita ini. Jika hari ini banyak kelompok
ngaji salaf yang mengartikan Pan-Islamisme dari Jamaluddin Al-Afghani

9
adalah mendirikan kekhilafahan Islam, maka sebenarnya bukan itu yang
dimaksud oleh Al-Afghani.
Al-Afghani mencetuskan Pan-Islamisme sebagai solidaritas umat yang
berdasarkan akidah Islam dengan tujuan membangun kesetiakawanan dan
persatuan umat Islam. Persatuan ini, menurut Al-Afghani, bersifat
menyeluruh untuk semua umat Islam. Tidak terbatas untuk kaum Sunni saja
tapi juga Syi’ah, juga mencakup persatuan lintas madzhab. Jika Al-Afghani
menganjurkan demokrasi, menghindari kekuasaan absolut, namun
menghendaki persatuan, maka Organisasi Kerjasama Islam saat ini adalah
relevan dengan gagasan beliau. Tidak ada keinginan meleburkan negara
peserta OKI menjadi satu kesatuan, namun lebih perbincangan mengenai
kerjasama ekonomi, pendidikan dan politik. Begitu pula yang dimaksud oleh
Al-Afghani, persatuan bukan berarti meleburkan negara – negara yang sudah
ada, namun tentang membangun komunikasi yang baik antar negara Islam.
Persatuan ini untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dominasi barat, dan
despotisme para penguasa. Despotisme atau kekuatan absolut dari penguasa
Islam bahkan objek perlawanan Al-Afghani. Beliau sering diusir dari
beberapa negara seperti Mesir, India, dan Persia. Tiga negara ini saat itu
dipimpin oleh seorang Sultan namun dalam kendali Inggris.
Perlawanan dan kritik Al-Afghani terhadap imperialisme Inggris malah
membuatnya diusir oleh penguasa saat itu yang lebih suka mengikuti perintah
Inggris daripada mewujudkan kemerdekaan negara dan rakyat dari
penjajahan. Puncak gerakan politik Al-Afghani adalah ketika beliau berada di
Paris dengan membentuk gerakan Al-Urwah Al-Wusqa yang bertujuan untuk
memperkuat rasa persaudaraan umat Islam. Anggotanya adalah kaum
muslimin yang berasal dari India, Mesir, Rusia, Afrika Utara, dan negara
Timur Tengah lain.
Gerakannya berupa penerbitan majalah dengan nama yang sama. Majalah
berisi tentang  gagasan mengenai persaudaraan Islam, perlawanan penjajahan,
dan membawa umat Islam pada kemajuan. Ia lalu melanjutkan belajar ke
India untuk mengikuti program pendidikan dengan sistem kontemporer

10
selama kurang lebih satu tahun. Pada saat di India inilah Al-Afghani mulai
mengenal sains dan teknologi modern untuk yang pertama kalinya. Usai
menamatkan pendidikan formal, Al-Afghani mulai melakukan aktivitas
pertualangan politik yang bermula dengan mengunjungi Hijaz dan
menunaikan ibadah haji ke Mekah pada 1857 M. Saat kembali dari ibadah
haji, ia langsung melakukan aktivitas politik di Afganistan. Sayangnya,
perjuangan politik tersebut kurang menguntungkan. Ia pun terpaksa
meninggalkan Afghanistan, lalu memutuskan untuk berkelana menuju
berbagai negara Islam dan Eropa, berusaha mewujudkan ide-ide
pembaharuannya. Untuk itu ia mengunjungi India, Mesir, Inggris, Perancis,
Rusia, dan Turki Usmani. Pada usia 59 tahun di Istanbul Turki, tepatnya pada
9 Maret 1897 M, Al-Afghani mengembuskan napasnya yang terakhir.
Jamaluddin Al-Afghani meninggalkan karya besar yang digemari dan
dikagumi baik di Timur atau di Barat. Selama hidup, ia menulis buku “Al-
Raddu ‘ala al-Dahriyin” dan menerbitkan majalah “Al-Urwat al-Wusqa” serta
mendirikan partai Hizbul Wathan di Mesir pada 1879 M.

C. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan seorang pemikir dan penggagas
modernisme Islam atau disebut juga pembaharu pada abad ke-20. Kontribusi
pemikirannya turut mempengaruhi terhadap tokoh dan organisasi keagamaan
di Indonesia, sebagai kalangan modernis. Pemikiran Muhammad Abduh
dilatarbelakangi oleh refleksinya terhadap kemunduran masyarakat muslim
apabila dikontraskan dengan masyarakat Eropa kala itu. Menurut analisisnya,
kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti
hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan
faktor internal,yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri.
Pertama, faktor eksternal. Orang Mesir menderita karena percaya begitu
saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan mana yang menipu dan
mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia
dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil

11
pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya
tentang  keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme
dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat
dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap liberal anda hanyalah untuk
anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada
domba yang akan disantapnya”.
Kedua, faktorinternal. Pahamjumud yang terdapat dikalangan ummat
Islam. Dalam kata jumudterkandung arti keadaan membeku, keadaan statis,
tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat
Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan,
ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap itu dibawa oleh orang-
orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak
kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang
mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-
Qur’an. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu
pengetahuan.
Pokok-pokok pembaharuan Islam Abduh
Pembaharuan Islam Muhammad Abduh dapat disebutkan ke dalam
beberapa kategori.
Pertama, bidang aqidah/tauhid. Dalam kitabnya Risalah Al-Tauhid,
Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, tauhid adalah ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti
ada (wajib) padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat
yang pasti tidak ada (mustahil) pada-Nya. Intisari ajaran Islam adalah percaya
kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh
Al-Qur’an. Menerima begitu saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an yang tegas, yang telah memerintahkan kita untuk
merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan. Dia juga memperingatkan orang-
orang yang beriman, agar tidak menerima secara tidak kritis kepercayaan para
pendahulu mereka.

12
Kedua, bidang tafsir al-Qur’an. Muhammad Abduh adalah tokoh utama
corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang menitik beratkan
penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian
menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan
segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan ayat-
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali
dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.
Adapun ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh adalah:
1. Memandang setiap surat sabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi;
pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat
secara keseluruhan.
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an
berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak hanya
ditujukan kepada orang-orang tertentu.
3. Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum
4. (4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Ketiga, bidang politik. Muhammad Abduh memandang kemunduran
bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah otoriter yang yang
ditimbulkan oleh kebodohan faqih (ahli hukum Islam) dan kebodohan
penguasa. Faqih dianggap bersalah karena tidak memahami politik dan
bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak
mempertanggungjawabkan kebijakannya. Menurut Muhammad Abduh
organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam,
melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam
komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam
perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia
memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus
disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama.
Keempat, bidang pendidikan. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai
Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang luas, yang mencakup

13
aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Aspek kognitif untuk
menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara yang baik
dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat.
Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih.
Muhammad Abduh berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik
dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat
dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka
dalam kebudayaan. Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa
cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang
hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian yang pada umumnya diterapkan
di sekolah-sekolah.

D. Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid bin Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-
Qalmuni Al-Husaini dilahirkan pada tahun 1865 M di Al-Qalamun, sebuah
desa yang terletak tidak jauh dari kota Tripoli, Lebanon. Di desa inilah
Muhammad Rasyid Ridha dibesarkan oleh ayahnya yang terkenal alim,
bersikap moderat dan sangat dihormati oleh penduduknya. Meskipun
Muhammad Rasyid Ridha dan ayahnya hidup dalam masyarakat
yang multikultural dan multiagama, tidak membuat mereka menunjukkan
sikap eksklusif atas pemeluk agama yang berbeda. Ayahnya bahkan sering
bergaul dengan pemuka-pemuka agama setempat sebagaimana ia bergaul
dengan sesama Muslim. Mereka saling menghormati tanpa ada sikap saling
curiga, membenci apalagi mencerca.
Rasyid Ridha kecil sering memperhatikan sikap dan cara bergaul ayahnya
tersebut. Berbagai sikap baik ayahnya terhadap penduduk desa membekas
dan mengakar kuat pada diri Rasyid Ridha sehingga pada masa-masa
perjuangan dakwahnya di kemudian hari, ia tidak pernah bersikap fanatik dan
selalu menunjukkan sifat toleransi kepada umat agama lain. Berkat contoh
dari ayahnya tersebut, Muhammad Rasyid Ridha belajar untuk melihat
kebaikan-kebaikan manusia secara obyektif tanpa memaksakan kebaikan

14
berdasarkan versi-nya sendiri. Menurutnya, eksistensi umat beragama harus
dibarengi dengan adanya toleransi dan kerjasama diantara mereka atas dasar
keadilan dan kebaikan yang dibenarkan oleh agama agar keamanan serta
kemakmuran sebuah negara bisa tercapai.
Perjalanan Intelektual dan Kehidupan Muhammad Rasyid Ridha
Ketika belia, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah
madrasah tradisional di desanya (Qalamun) untuk belajar membaca Al-
Qur’an, menulis dan berhitung. Sejak kecil Rasyid Ridha dikenal berbeda
dengan anak-anak seumurannya, karena ia lebih suka menghabiskan waktu
untuk belajar dan membaca daripada bermain seperti anak-anak biasanya.
Setelah menyelesaikan pembelajaran di sekolah tradisional Qalamun, Rasyid
Ridha kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah nasional Islam
(Madrasah al-Wathoniyah al-Islamiyah) di Tripoli. Di Sekolah ini, Rasyid
Ridha mempelajari pengetahuan agama, bahasa Arab, ilmu-ilmu modern,
bahasa Perancis dan Turki. Peristiwa ini terjadi ketika ia berumur kurang
lebih 17 belas tahun. Di tengah pendidikan Rasyid Ridha di sekolah nasional
Islam, terjadi gejolak politik yang cukup besar di kota Tripoli. Akibatnya,
beberapa sekolah dan lembaga keislaman ditutup, termasuk sekolah yang
ditempati Rasyid Ridha. Ia kemudian pindah ke sebuah sekolah agama yang
ada di kota Tripoli. Meskipun Rasyid Ridha telah berpindah sekolah, namun
ia selalu menjaga hubungan baik dengan guru utama sekaligus pendiri
sekolah nasional Islam, yakni Syekh Muhamamd Al-Jisr.
Syekh Al-Jisr adalah seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran
keagamaannya dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Beliau lah yang telah
banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan
dalam jiwa Rasyid Ridha muda. Berkat stimulan tersebut, Rasyid Ridha
menjadi sangat concern terhadap gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya
mengenai pendidikan dan pemikiran keislaman. Selain menekuni
pembelajaran di sekolahnya, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti
perkembangan dunia Islam melalui majalah al-‘Urwah al-Wusqo. Majalah ini
merupakan majalah yang diterbitkan di Paris oleh Jamaluddin al-Afghani

15
dan Muhammad Abduh pada tahun 1884. Di dalamnya terdapat berbagai
macam isu menarik mengenai pengetahuan dan pembaharuan. Dari
majalah al-‘Urwa, Rasyid Ridha banyak menerima konsep pemahaman Islam
yang segar. Semula ia melihat Islam hanya terbatas mengenai ajaran
keimanan kepada Allah, namun berkat majalah al-‘Urwa, pandangannya
terhadap ajaran Islam menjadi lebih luas dan bijaksana. Dari majalah tersebut
juga Rasyid Ridha mengenal pembaharuan pemikiran Jamaluddin al-Afghani
dan Muhammad Abduh. Bahkan dikatakan bahwa ia sangat mengagumi
keduanya dan sangat ingin menjadi murid Jamaluddin al-Afghani.
Pada kenyataannya, keinginan Rasyid Ridha tidak bisa tercapai karena
Jamaluddin al-Afghani wafat terlebih dahulu sebelum ia dapat menemui
beliau. Namun ketika Muhamad Abduh dibuang ke Beirut Rasyid Rida
berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengannya. Perjumpaan dan
dialognya ini semakin memperkuat kesan dan semangatnya untuk mengikuti
arus pemikiran pembaharuan melalui Muhamad Abduh yang kemudian
menjadi guru utamanya. Menurut Harun Nasution, Rasyid Ridha mencoba
menjalankan ide-ide pembaruan dari al-Afghani dan Muhammad Abduh di
Suriah, tetapi usahanya tersebut menabrak “dinding kokoh” kerajaan Usmani
dan gagal. Kemudian pada bulan Januari 1898 Rasyid Ridha pindah ke Mesir
agar bisa berdekatan dengan gurunya Muhammad Abduh sekaligus untuk
mengembangkan pemikiran pembaruannya.
Pada tahun 1898 juga Rasyid Ridha berkeinginan menerbitkan majalah
untuk meneruskan perjuangan pembaharuan al-Afghani dan Muhammad
Abduh. Dengan bemodal dukungan Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan
majalah dan menamainya dengan Al-Manar. Majalah ini mempunyai haluan
dan tujuan yang serupa dengan al-Urwah al-Wusqo. Selain memuat ide-ide
pembaharuan secara umum, majalah ini juga secara langsung banyak memuat
tulisan Muhamad Abduh. Rasyid Ridha kemudian menyarankan agar gurunya
menulis tafsir Al-Quran modern yang mendukung kerangka pikiran
pembaharuan. Gagasan ini awalnya tidak ditanggapi dengan serius oleh
Abduh, namun karena Rasyid Ridha terus mendesaknya, akhirnya pada tahun

16
1899 Abduh setuju untuk memberikan kuliah tafsir Al-Quran di Al-Azhar.
Hasil kuliah tersebut lalu disusun oleh Ridha di bawah arahan gurunya dan
diterbitkan di Al-Manar.
Dengan cara inilah kemudian Tafsir al-Manar tercipta. Sebagaimana
diketahui, setelah gurunya wafat, Rasyid Rida meneruskan karya penafsiran
tersebut yang dimulai dari surat An-Nisa ayat 126, karena Muhamad Abduh
hingga wafatnya hanya berhasil menafsirkan Al-Quran sampai ayat 125 dari
surat An-Nisa. Rasyid Rida seorang pembaharuan asal Libanon ini wafat pada
Agustus 1935 M. Wallahu a’lam.

E. Dinamika Gerakan Pembaharuan Islam


Gerakan pembaharuan islam secara sederhana adalah upaya baik secara
individu maupun kelompok pada kurun waktu atau situasi tertentu, untuk
mengadakan perubahan dalam praktek-praktek keagamaa islam dengan
pemahaman dan pengalaman yang baru. Ide ide pembaharuan di Indonesia
terjadi pada abad ke 20 yang dibawa oleh para tokoh yang semula belajar di
mekkah. Tokoh- tokoh tersebut antara lain ialah : Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), K.H. Hasyim Asy'ari (Nahdlatul Ulama) Ahmad Surkati
(Al-Irshad), Zamzam (Persis). Yang melatar belakangi ide pembaharuan di
Indonesia adalah adanya ide ide pembaharuan di luar Indonesia. Gerakan
pembaharuan islam tidaklah memiliki bentuk dan pola yang sama tetatpi
memiliki karakter dan orientasi yang sangat beragam.
Gerakan pembaharuan islam pada abad ke 20 tersebut bukan muncul
secara mendadak tetapi tidak terlepas dari pembaharuan-pembaharuan yang
terdahulu. Seperti pada abad ke 17 dan 18. Dikatakan pada abad 17 dan 18
adalah dasar dari pembaharuan yang terjadi di abad ke 20. Menurut beberapa
studi keislaman memandang bahwa gerakan pembaharuan islam pada abad ke
17 cenderung menekankan pada pemikiran mistisisme yang dikembangkan
oleh seorang sufi tertentu pada periode tertentu. Mistisisme sendiri adalah
suatu paham yang memberikan ajaran yang serba mistis atau ajaran yang

17
bersifatnya rahasia atau tersembunyi, gelap atau terselubung dalam
kekelaman.
Menurut Azyumari Azra, tahapan gerakan pembaharuan islam di
Indonesia jika dilihat dari lingkungan situasi perkembangannya dapat di bagi
menjadi 2 periode besar yaitu periode pertama perempatan kedua abad ke 17
sampai akhir abad ke 18. Pada periode ini, islam sudah mempunyai landasan
atau dasar yang kuat di seluruh nusantara. Meskipun secara pemikiran dan
pemahaman keislamanya berkembang bersama dengan mistisme. kedua,
periode abad ke 19 samapai sekarang. Ide- ide pembaharuan islam di
Indonesia masuk melalui beberapa jalur yaitu yang pertama jalur haji dan
mukim. Para tokoh- tokoh pada saat itu ketika menunaikan haji mereka juga
bermukim sementara untuk memperdalam pengetahuan dan ilmu agama.  Dan
ketika kembali ke tanah air pengetahuan tentang ilmu keagamaan atau ilmu
lainnya meningkat.  Ide- ide yang mereka dapatkan tak jarang mempengaruhi
orientasi dakwah di Indonesia.  Yang kedua adalah melalui jalur publikasi. 
Pada waktu itu para muslim di Indonesia sangat tertarik untuk
menerjemahkan majalah-majalah atau jurnal -- jurnal terbitan Mesir maupun
Beirut kedalam bahasa Indonesia. Bukan tanpa alasan mereka
menerjemahkannya. Karena di jurnal-jurnal atau majalah-majalah tersebut
berisikan ide- ide pembaharuan islam. Yang ketiga ialah peran para
mahasiswa yang menimba ilmu di timur-tengah. Pada awalnya para
pemimpin gerakan pemabaharuan di Indonesia sebagian besar alumni
Mekkah. Secara umum alasaan berkembangnya pembaharuan islam di
Indonesia adalah respon terhadap kemunduran islam sebagai agama di
Indonesia. Karena pada praktek-prakteknya yang menyimpang,
keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invansi politik, kultural dan
intelektual dari dunia barat.
Dengan berkembangnya gerakan pembaharuan di Indonesia, secara umum
pada awal abad ke 20 M tersebut, corak gerakan keagamaan dapat di petakan
sebagai berikut:

18
1. Tradisionalis konservatis, yaitu para golongan  orang-orang yang ingin
melestarikan tradisi-tradisi local. Dan menolak adanya kecenderungan
westernisasi (budaya kebaratan) yang mengatasnamakan islam yang secara
pemahaman dan penngamalannya dapat melestarikan tradisi yang bersifat
local. para pendukung kelompok ini kebanyakan atau rata-rata dari
kalangan ulam, tarekat, dan penduduk desa yang masih kental dengan t
2. Reformis modernis, para golongan yang menegaskan bahwa relevansi
islam untuk semua lapangan baik privat maupun public.  Karena islam di
pandang memiliki karakter yang fleksibilitas yang dapat menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
3. Radikal puritan, yaitu para golongan yang lebih percaya terhadap
penasfiran ketimbangan ide-ide pembaharuan barat, karena penafsiaran
dianggap lebih murni islami. Meskipun mereka sepakat bahwa islam
fleksibilitas ditengah arus zaman, tetapi mereka enggan menggunakan
kecenderungan kaum modernis. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran
dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.

19
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Didalam pemikirannya pembaharuan atau modernisasi itu dunia islam
yang timbul karena adanya kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat.
dengan adanya kontak itu umat Islam abad XIX Mulai menyadari bahwa
mereka telah mengalami kemunduran dibandingkan dunia barat yang pada
saat itu mulai menemukan titik kemajuan peradaban. Sebelum periode
modern tersebut hubungan atau kontak antara Islam dan Barat sebenarnya itu
sudah terjadi, Terlebih antara Kerajaan Usmani yang mempunyai daerah
kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara barat, Namun kontak
kebudayaan barat tersebut semakin Intens saat jatuhnya kekuatan Mesir oleh
Napoleon Bonaparte dari perancis.

20

Anda mungkin juga menyukai