Anda di halaman 1dari 29

DIMENSI PSIKOLOGIS DAN KEPRIBADIAN YANG TERBENTUK

DARI MERUTINKAN SUNNAH RASULULLAH SEHARI-HARI


DIRUMAH

Diajukan sebagai Tugas Akhir Semester pada mata kuliah “Psikologi Agama”

Dosen Pengampu: Ramadhan Lubis, M.Ag

Disusun oleh :
Ahmad Ridho (0301193231)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGUGURAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
T.A. 2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan serta karunia sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah tepat pada waktunya yang berjudul
“DIMENSI PSIKOLOGIS DAN KEPRIBADIAN YANG TERBENTUK DARI
MERUTINKAN SUNNAH RASULULLAH SEHARI-HARI DIRUMAH”.
Apabila dalam penulisan makalah ini masih ada beberapa kesalahan
baikdalam penulisan maupun isi, maka sangat diharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga penulisan
makalah inidapat diterima dengan baik.

Medan, 21 Juni 2023


Ahmad Ridho

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................6
C. Tujuan Penelitian................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah.............................................................7
B. Konsep Living Sunnah........................................................7
C. Living Sunnah Pada Generasi Awal.................................12
D. Living Hadis/Sunnah
Dalam Konteks Sekarang..................................................17
E. Memahami Living Sunnah Dengan
Teori Ilmu Sosial................................................................19
F. Dampak Positif Bagi Jiwa
Dalam Menghidupkan Sunnah Rasulullah.......................24
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................26
B. Saran..................................................................................26
DAFTA RPUSTAKA.....................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berawal dari sejarah, hadis yang merupakan sumber hukum
kedua setelah Al Quran bagi umat Islam, selalu menjadi hal yang laris
diperbincangkan dikhalayak umum, baik itu dikalangan atas,
menengah, maupun bawah. Diantaranya terdapat dua golongan, yaitu
orang yang pro dan kontra terhadap keberadaan hadis sebagai
sumber hukum Islam kedua bagi umat Islam. Ada yang mengatakan
cukup dengan Al Quran saja yang menjadi sumber pegangan bagi
umat Islam, karena Al Quran merupakan wahyu. Sedangkan ada juga
yang mengatakan tentang pentingnya hadis sebagai sumber hukum
yang kedua, alasannya karena Al Quran bersifat global, oleh karena itu
butuh hukum yang menjelaskan secara persial.
Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat
perbedaan menonjol antara hadis dan Al-Quran. Dari segi redaksi dan
penyampaiannya, diyakini bahwa Al-Quran disusun langsung oleh Allah
SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada
Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada
umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga
sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri
telah menjamin akan keotentikannya. Atas dasar inilah, wahyu Allah
digolongkankan sebagaiQathiy ats-Tsubût 1 .
Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan
catatan beberapa sahabat serta tabiin, namun demikian profil sahabat
dan tabiin yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran,
keteguhan, ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta
meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi sosio

1
Lihat artikel M. Quraish Shihab, “ Hubungan Hadis dan Al-Quran ” , http://
media.isnet. org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html

4
masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis
atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua.
Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal diri
Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa
secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman,
sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan sosio-
kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w. Disamping itu tidak semua
hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan
status hadis apakah bersifat am atau khash . Sehingga hadis dipahami
secara tekstual maupun kontekstual.
Kajian terhadap hadis Nabi sampai saat ini masih menarik, meski
tidak sesemarak yang terjadi dalam studi atau pemikiran terhadap Al-
Quran2. Kajian yang ada dalam studi hadis biasanya tidak beranjak dari
kajian apakah teks-teks hadis yang ada otentik dari Nabi atau tidak?
Rasul berperan sebagai apa dalam sabdanya; sebagai manusia biasa,
pribadi, suami, utusan Allah, kepala Negara, pemimpin masyarakat,
panglima perang ataukah sebagai hakim? Serta apa yang menjadi
asbab al-wurud teks hadis tersebut?.
Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena di
dalamnya terungkap berbagai tradisi yang berkembang masa
Rasulullah saw. Tradisi-tradisi yang hidup masa kenabian tersebut
mengacu kepada pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah swt. Di
dalamnya syarat akan berbagai ajaran Islam karenanya
keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang sampai sekarang

2
Secara historis, munculnya banyak kitab tafsir serta model penafsiranya
merupakan indikasi Al-Quran terbuka untuk berbagai penafsiran dan merupakan
hasil kontruksi akal manusia. Disamping menunjukkan tidak adanya kekhawatiran
bahwa aktivitas mereka akan mengurangi kemurnian Al-Quran. Berbeda dengan
hadis — merunut pandangan Abdullah- kebanyakan ulama mendahulukan sikap
reserve untuk menelaah ulang dan mengembangkan pemikiran pemahaman secara
bebas, karena khawatir dianggap inkar as-sunnah . Lihat M. Amin Abdullah, “Hadis
dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taimiyah ” , dalam, Yunahar
Ilyas dan M. Masudi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis (Yogyakarta:
LLPI, 1996), hlm. 201; lihat juga M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 309.

5
seiring dengan kebutuhan manusia. Adanya keberlanjutan tradisi
itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami,
merekam dan melaksanakan  tuntunan ajaran Islam yang sesuai
dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Terkait erat dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
yang semakin kompleks dan diiringi adanya keinginan untuk
melaksanakan ajaran Islam yang sesuai dengan yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw., maka hadis menjadi suatu yang hidup di
masyarakat. Istilah yang lazim dipakai untuk memaknai hal tersebut
adalahliving sunnah .
Secara ringkas, makalah ini akan mengkaji persolan living
sunnah (sunnah yang hidup) living hadis (hadis yang hidup), dan apa
dampak positif ketika menghidupkan dan merutinkan Sunnah dalam
kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep living sunnah?
2. Bagaimna living sunnah pada generasi awal?
3. Bagaimana living sunnah dalam konteks sekarang?
4. Bagaiman living sunnah dengan teori ilmu sosial?
5. Bagaimana dampak positif dimensi psikologi agama terhadap
merutinkan Sunnah sehari-hari dalam rumah

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa itu Sunnah dan kaitannya dalam kehidupan sehari-
hari.
3. Menganalisis Kaitan dimensi psikologis danLiving Sunnah
2. Mengetahui betapa pentingnya menghidupkan Sunnah Rasul di era
modern.
3. MenerapkanLiving sunnah (menghidupkan Sunnah ) dalam
hubungan keluarga di rumah.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah
Sunnah (Arab: ‫ ﺳﻨﺔ‬sunnah, artinya "arus yang lancar dan
mudah" atau "jalur aliran langsung") dalam Islam mengacu
kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara rasulullah menjalani
hidupnya atau garis-garis perjuangan (tradisi) yang
dilaksanakan oleh Rasulullah.

Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam,


setelah Al-Quran. Narasi atau informasi yang disampaikan
oleh para sahabat tentang sikap, tindakan, ucapan dan cara
rasulullah disebut sebagai hadis. Sunnah yang diperintahkan
oleh Allah disebut sunnatullah (hukum alam). Dengan begitu,
Sunnah diartikan sebagai hal yang jika dilakukan akan
mendapat pahala dan jika tidak dilakukan akan merugi.

B. KonsepLiving Sunnah
Sebelum membahas living sunnah dalam konteks sekarang,
maka ada catatan yang perlu diperhatikan tentang definisi sunnah dan
hadis. Fazlur Rahman, cendekiawan asal Pakistan mempunyai
pemikiran tentang hadis yang berbeda. Pemikiran Fazlur Rahman
tentang hadis dapat ditemukan dalam bukunya yang berjudul Islam

7
3
dan Islamic Methodology in History . Hadis dalam pandangan Fazlur
Rahman adalah verbal tradition sedangkan sunnah adalah practical
tradition atau silent tradition . Di dalam hadis terdapat bagian-bagian
terpenting yaitu sanad/rawi dan matan.
Imam Malik memakai media fatwa sahabat dan fatwa tabiin
serta ijma penduduk Madinah untuk mereprentasikan sunnah Nabi.
Dengan demikian, sunnah adalah informasi atau hadis yang secara
khusus berasal dari Nabi. Berbeda dengan Malik, al-Syafii tidak
memandang ketiga media tersebut sebagai reprentasi dari sunnah.
Dengan demikian, sunnah adalah informasi atau hadis yang khusus
dari Nabi, walaupun dalam bentuk hadis ahad.
Atas dasar itulah, menurut Muhammad Mussthafa Azami,
sunnah bermakna teladan kehidupan, sehingga sunnah Nabi
bermakna teladan beliau, sedang hadis mempunyai arti segala
sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi.
Dikalangan ulama hadis terjadi perbedaan pendapat tentang
istilah sunnah dan hadis, khususnya di antara ulama mutaqaddimin
dan ulama mutaakhirin. Menurut ulama mutaqaddimin, hadis adalah
segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada
Nabi pasca kenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang
diambil dari Nabi tanpa membatasi waktu. Sedang ulama mutaakhirin
berpendapat bahwa hadis dan sunnah memiliki pengertian yang sama,
yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.4
Menurut Schacht, konsep awal sunnah adalah “ tradisi yang ”
dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau
“ praktek yang disepakati secara umum ” (amal, al-amar al-mujtama

3
Lihat tulisan-tulisan Fazlur Rahman dalam Islam dan Islamic Methodology in
History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965)
4
Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalauh (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin,
1998), hlm. 17-28.

8
alaih ). Konsep ini tidak ada hubungannya sama Nabi. Sehingga konsep
ini bertolak belakang pada Ulama-ulama dahulu.5
Menurut bahasa sunnah adalah:6
‫ﻣﺬﻣﻮﻣﺔاو ﻣﺤﻤﺪةﻛﺎﻧﺖ اﻟﻄﺮي‬
Di kalangan Ulama Hadits terjadi perbedaan pendapat tentang
istilah sunnah dan hadits, khususnya ulama mutaqaddimin dan ulama
mutaakhirin. Menurut ulama mutaqaddimin, hadits adalah segala
perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi pasca kenabian, sementara
Sunnah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, tanpa membatasi
waktu. Namun ulama mutaakhirin berpendapat bahwa hadits dan
sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan,
perbuatan atau ketetapan Nabi.7 Menurut M. Azami bahwa Sunnah
berarti model kehidupan Nabi SAW., sedangkan Hadits adalah
periwayatan dari model kehidupan Nabi Saw. Tersebut.8namun di sisi
lain ada yang menempatkan sunnah menjadi terbagi-bagi untuk
Sunnah Nabi Saw. Yang digunakan semenjak masa hidup Nabi Saw,
sedangkan penggunaan umum kata itu terus berlanjut untuk sunnah
orang-orang lainya misalkan.9

1. Umar berkata; “Demi Allah, kalau aku melakukannya, hal itu akan
menjadi Sunnah (norma ).”
2. Malik berkata: ” Dari Sunnah umat Islam yang tidak ada
perbedaannya di dalamnya… ”
3. Al-Zuhri menyebutkan Khubaib dalam bukunya, dan berkata: “Dia
adalah orang yang pertama kali memperkenalkan shalat Sunnah
dua rakaat pada saat eksekusi dan lain-lainnya .”

5
M. M Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, (Jakarta; Pustaka
Firdaus, 2004), Hal. 35
6
Agusl Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung; Pustaka Setia, 2009),
Hal. 17
7
Sahiron Syamsudin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadits,
(Yogyakarta; Teras, 2007), Hal. 89
8
Agusl Solahudin, Agus Suyadi,Op. Cit., Hal. 19
9
IbId., Hal. 19

9
Jadi kata Sunnah telah digunakan dalam konteks yang berbeda-
beda;10

1. Sunnah Nabi
2. Sunnah Umar
3. Sunnah Umat Islam
4. Sunnah Khubaib
5. Sunnah orang perempuan
6. Sunnah Sembahyang
7. Sunnah Ibn Fulan dan lain-lainnya.

Dalam pengertian di atas ada beberapa kesamaan menurut


pandangan Fazlur Rahman tentang sunnah yang mengarah menjadi
Living Sunnah, Sunnah adalah informasi tentang apa yang dikatakan
Nabi. Dilakukan, disetujui atau tidak disetujui beliau, juga informasi
yang sama mengenai sahabat, terutama sahabat senior, dan lebih
khusus lagi mengenai keempat khalifah yang pertama.11 Dengan kata
lain sunnah adalah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-
aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental yang terjadi berulang-ulang.
Sehingga konsepnya berbeda dengan pendapat-pendapat dikalangan
sarjana barat yang dominan sunnah adalah praktek actual yang karena
telah lama ditegakkan dari satu genersai ke genarasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi “Sunnah”.12

Setelah Nabi wafat, tetap merupakan sebuah yang ideal hendak


diikuti oleh para genarasi muslim sesudahnya, dengan menafsirkan
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka baru dan materi baru pula.
Penafsiran kontinyu dan progressif ini, didaerah-daerah yang berbeda,
misalnya daerah Hijaz, Mesir dan Irak di sebut “ Living Sunnah ” atau
sunnah yang hidup. Sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang
10
Ibid., Hal. 39-40
11
Sahiron Syamsudin,Op. Cit., Hal. 92
12
Fazlur Rahman,Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung; Pustaka, 1984), Hal. 1-2

10
disepakati secara bersama (Living Sunnah ) sebenarnya relative identik
dengan ijma kaum muslimin dan ke dalamnya termasuk pula ijtihad
dari para ulama generasi awal dan tokoh tokoh politik. Dengan
demikian Living Sunnah adalah Sunnah Nabi yang secara bebas
ditafsirkan ulama, penguasa, hakim sesuai yang mereka hadapi. 13 jadi
mengenai Living Sunnah yang menjadi sumber acuan adalah Sunnah
Nabi, kemudian ditafsiri berbeda-beda pada wilayah masing-masing
yang disesuaikan pada kebutuhannya.

Maka tepatlah jika Fazlur Rahman mengilustrasikan bahwa


“ketika kekuatan-kekuatan masal baru di bidang sosio ekonomi, kultur,
moral dan politik menyergap suatu masyarakat, maka nasib
masyarakat tersebut secara alamiah akan bergantung pada sejauh
mana ia bisa menemukan tantangan baru yang kreatif. Jika
masyarakat tersebut dapat menghindari dua kutub ekstrem yang
menggelikan, yaitu: mundur pada diri sendiri serta mencari
perlindungan delusif pada masa lalu di satu sisi, dan menceburkan diri
serta mengikuti idealnya untuk bereaksi terhadap kekuatan-kekuatan
baru tersebut melalui asimilasi, penyerapan, penolakan dan kreativitas
positif yang lain, maka ia akan mengembangkan sebuah dimensi baru
bagi aspirasi-dalamnya, suatu makna dan muatan baru bagi idealnya.14

Fazlur Rahman selanjutnya menyebut Hadits Nabi sebagai


“Sunnah yang hidup ”, formulasi sunnah atau “verbalisasi Sunnah ” dan
oleh karenanya harus bersifat dinamis. Dia memberikan tesis bahwa
istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah sunnah dahulu baru
kemudian menjadi Hadits. Karena Hadits berkembang dan bersumber
dalam tradisi Rasulullah. Teladan Nabi diaktualisasikan oleh sahabat
dan tabiin menjadi praktek keseharian mereka dengan menyebutnya
menjadai Living Tradition atau Sunnah yang hidup. Dari sinilah muncul

13
Sahiron Syamsudin,Op. Cit., Hal. 93
14
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/?p=851

11
penafsiran-penafsiran yang bersifat individual terhadap teladan Nabi.
Kemudian muncullah Sunnah Madinah, Sunnah Kufah dan
15
sebagainnya.

Bahwa sunnah dan hadits merupakan perwujudan dalam fase


permulaan setelah Muhammad, dan segala sesuatu disandarkan
kepadanya dan norma-norma ditarik kepadanya kemudian menjadi
tradisi yang berarti, yang hidup pada tiap generasi penerus.16 Jadi
sunnah yang hidup dari berbagai penafsiran, namun tetap yang
dijadikan sandaran adalah Nabi.

Pemikiran Jalaluddin Rahmad berbeda dengan Fazlur Rahman


karena ia tidak setuju tentang pertama kali adalah hadits. Tesis ini
dibuktikan dengan data empiris di mana para sahabat yang menghafal
dan menulis ucapan Nabi Muhammad Saw. Namun keduanya dapat
dikompromikan bahwa tradisi Hadits dan Sunnah sebenarnya terjadi
bersamaan. Hadits yang Rahmat menyebut sebagai tradisi verbal
sudah adah sejak masa Rasulullah Saw. Demikian juga sunnah ada
dan terus menerus dijaga oleh generasi sesudah Nabi setelah
pemegang otoritas wafat.17

Munculnya Sunnah setelah pasca Nabi bukan sebelum Nabi yang


bergantung pada tradisi masyarakat Arab sebelumnya seperti
dikatakan oleh Schact. Maka jelas berdasarkan kronologis historis dari
keberadaan Sunnah setelah Rasul. Kemudian berkembang sesuai
kondisi setiap wilayah menjadi Sunnah yang hidup sebagai tradisi baru
dalam keislaman.
C. Living Sunnah pada Generasi Awal
Sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama (living sunnah ) sebenarnya identik dengan ijma kaum
15
Sahiron Syamsudin,Op. Cit., Hal. 106
16
Fazlur Rahman,Islam, (Jakarta; Bina Aksara, 1987), Hal. 88
17
Sahiron Syamsudin,Op. Cit., Hal. 113

12
Muslimin dan ke dalamnya termasuk pula ijtihad dari para ulama
generasi awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam aktivitasnya.
Dengan demikian “ sunnah yang hidup ” adalah sunnah Nabi yang
secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai
situasi yang mereka hadapi.
Satu contoh praktek living sunnah dilakukan oleh sahabat Umar
bin Khattab. Pada masa Nabi, harta rampasan perang dibagi-bagikan
kepada pasukan kaum Muslimin. Hal ini dilakukan Nabi sesuai dengan
QS. Al-Anfal : 4118, pada perang Khaibar, sebagaimana diriwayatkan Al-
Bukhari sebagai berikut:

ِ ‫ﻋَﺒْﻴِﺪﷲ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ َزاِﺋَﺪُة‬
َ ‫ﻖ‬
ٍ ‫ﺳﺎِﺑ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺤَّﻤُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ ُﻣ‬
َ ‫ق‬
َ ‫ﺤﺎ‬
َ ‫ﺳ‬
ْ ‫ﻦ ِإ‬
ُ ‫ﻦ ْﺑ‬
ُ ‫ﺴ‬
َ ‫ﺤ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ اْﻟ‬
َ
‫ﺻَّﻠﻰ‬
َ ِ ‫لﷲ‬
ُ ‫ﺳْﻮ‬
ُ ‫ﻢ َر‬
َ ‫ﺴ‬
َ ‫ل َﻗ‬
َ ‫ﻋْﻨُﻬَﻤﺎ َﻗا‬
َ ُ ‫ﻲﷲ‬
َ ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻋَﻤَﺮ َر‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ اْﺑ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َﻧﺎِﻓٍﻊ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋَﻤَﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ‫ْﺑ‬
َ ‫ﺴَﺮُه َﻧﺎِﻓٌﻊ َﻓَﻘا‬
‫ل‬ َّ ‫ل َﻓ‬
َ ‫ﺳْﻬًﻤﺎ َﻗا‬
َ ‫ﻞ‬
ِ ‫ﺟ‬
ِ ‫ﻦ َوِﻟﻠَّﺮا‬
ِ ‫ﺳْﻬَﻤْﻴ‬
َ ‫س‬
ِ ‫ﺧْﻴَﺒَﺮ ِﻟْﻠَﻔَﺮ‬
َ ‫ﻢ َﻳْﻮَم‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
‫ﺳْﻬﻢ‬
َ ‫س َﻓَﻠُﻪ‬
ٌ ‫ﻦ َﻟُﻪ َﻓَﺮ‬
ْ ‫ﻢ َﻳُﻜ‬
ْ ‫ن َّﻟ‬
ْ ‫ﻢ َﻓِﺎ‬
ٍ ‫ﺳُﻬ‬
ْ ‫َ َﺛُﺔ َأ‬ ‫س َﻓَﻠُﻪ َﺛﻻ‬
ٌ ‫ﻞ َﻓَﺮ‬
ِ ‫ﺟ‬
ُ ‫ن َﻣَﻊ اﻟَّﺮ‬
َ ‫ِاَذا َﻛﺎ‬

Namun Umar bin Khattab mengambil kebijaksanaan dengan


membiarkan tanah-tanah rampasan perang di daerah taklukan Islam,
serta mewajibkan mereka untuk membayar pajak tertentu, sebagai
cadangan bagi generasi-generasi Muslim yang datang kemudian,
dengan pertimbangan keadilan sosial ekonomi.

18

(#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqß § =Ï9ur Ï%Î!ur
4 n1ö à)ø9$# 4 yJ»tGu ø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@ Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä
«!$$Î/ !$tBur $uZø9t Rr& 4 n?tã $tRÏ ö6tã tPöqt Èb$s%ö àÿø9$# tPöqt s)tGø9$#
Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4 n?tã Èe@à2 &äóÓx« í Ï s% ÇÍÊÈ
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa[615] yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”

13
Kebijaksanaan Umar di atas, semula ditentang secara keras oleh
cukup banyak sahabat senior Nabi seperti Bilal, Abdurrahman bin Auf
dan Zubair bin Awwam, bahwa dengan kebijaksanaan itu ia
meninggalkan kitab Allah. Satu hal yang menarik adalah, tindakan
Umar ini akhirnya mendapat dukungan dari Usman bin Affan dan Ali
bin Abi Thallib. Apa yang dilakukan Umar dengan menafsirkan dan
mengadaptasikan sunnah Nabi sesuai dengan pertimbangan situasi
dan kondisi, pertimbangan kemaslahatan dan kepentingan umum,
adalah dalam usaha menangkap semangat ketentuan keagamaan. Itu
tidak berarti Umar mengingkari sunnah Nabi atau sebagai penentang
Nabi, justru inilah yang disebut sebagai “ sunnah yang hidup ” atau
living sunnah .19
Pada generasi berikutnya, Abu Hanifah tidak membagi harta
rampasan perang sebagaimana yang ditentukan Nabi, yakni 3 bagian,
1 bagian untuk orang yang jihad sedang 2 bagian untuk kudanya.
Menurutnya, tidak wajar jika seekor binatang lebih dihargai dari
seorang manusia. Menurut analisis historis, Nabi melakukan hal
demikian dilatarbelakangi keinginan Nabi untuk menggalakkan
peternakan kuda perang karena kurangnya hewan pacuan untuk
dibawa berperang pada awal sejarah Islam.
Sejalan dengan pandangan Abu Hanifah, Imam Malik
menyatakan bahwa pembagian rampasan perang menjadi lima bagian
hanya merupakan pilihan dan bukan sebuah kewajiban baku. Jika
Negara mempunyai argumentasi berdasarkan madharat tertentu,
maka boleh memilih cara yang dipandang lebih utama. Hal ini
berdasarkan pada kasus perang Hunain, juga kasus Umar yang hanya
menarik pajak dari hasil taklukan.20

19
Tindakan Umar di atas oleh para fuqaha diistilahkan sebagai wakaf untuk
seluruh umat Islam. Lihat Yusuf Al-Qardhawi, Madkhal li Dirasah al-Syariah al-
Islamiyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), hlm. 219-220.
20
Muhammad al-Ghazali,al-Sunnah al-Nabawiyyah, hlm. 162-163.

14
Contoh lain ketika masa Nabi, beliau melarang orang yang
menangkap unta yang terlepas, ketika ditanyakan kepadanya beliau
bersabda:21
“Apa urusanmu denganya? Biarkanlah ia dengan kemampuanya untuk
mencari air dan memakan dedaunan, sampai ia ditemukan kembali
oleh pemiliknya ”
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah itu berlangsung hingga pada
masa Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa Usman terjadi
perubahan. Di mana Usman merubah ketetapan Nabi dengan
menangkap unta yang terlepas dari pemiliknya, kemudian menjualnya.
Bila pemiliknya datang, uang hasil penjualan tersebut diserahkan
kepadanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-
Muwattha nya:22

ِ ‫ﻋَﻤَﺮْﺑ‬
‫ﻦ‬ ُ ‫ن‬
ِ ‫ﻞ ِﻓﻰ َزَﻣﺎ‬
ِ ‫ل اْﻟِﺎِﺑ‬
ُّ ‫ﺿَﻮا‬
َ ‫ﺖ‬
ْ ‫ل َﻛﺎَﻧ‬
ُ ‫ب َﻳُﻘْﻮ‬
ٍ ‫ﺷَﻬﺎ‬
ِ ‫ﻦ‬
َ ‫ﺳِﻤَﻊ اْﺑ‬
َ ‫ﻚ َاَّﻧُﻪ‬
ِ ‫ﺣَّﺪَﺛِﻨﻰ َﻣِﻠ‬
َ ‫َو‬
‫ن َأَﻣَﺮ‬
َ ‫ﻋَّﻔﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ن ْﺑ‬
َ ‫ﻋْﺜَﻤﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ‫ن َزَﻣ‬
َ ‫ﺣَّﺘﻰ ِإَذا َﻛﺎ‬
َ ‫ﺣٌﺪ‬
َ ‫ﺴَﻬﺎ َأ‬
ُّ ‫ﺞ َﻟﺎَﻳَﻤ‬
ُ ‫ب ِإِﺑًﻠﺎ ُﻣَﺆَّﺑَﻠًﺔ َﺗَﻨﺎَﺗ‬
ِ ‫ﻄﺎ‬
َّ ‫ﺨ‬
َ ‫اْﻟ‬
‫ﻲ َﺛَﻤُﻨَﻬﺎ‬
َ ‫ﻄ‬
ِ ‫ﻋ‬
ْ ‫ﺣُﺒَﻬﺎ ُا‬
ِ ‫ﺻﺎ‬
َ ‫ﺟﺎَء‬
َ ‫ع َﻓِﺈَذا‬
ُ ‫ﻢ ُﺗَﺒﺎ‬
َّ ‫ ِﺑَﺘْﻌِﺮْﻳِﻔَﻬﺎ ُﺛ‬.
..
“… . Di zaman Umar bin Khattab, unta-unta yang tersesat dibiarkan
berkeliaran dan beranak pinak sendiri, tidak seorangpun
menyentuhnya. Sampai ketika tiba masa Utsman, ia memerintahkan
agar unta-unta seperti itu ditangkap kemudian diumumkan di depan
khalayak (untuk mengetahui siapa pemiliknya) kemudian dijual. Dan
apabila pemiliknya datang, maka diberikanlah kepadanya harganya ”.

Disaat manusia telah berubah sikapnya, dari menjaga amanat


menjadi berkhianat dan dari menjaga diri dari hak orang lain, maka
tindakan membiarkan unta-unta yang tersesat berkeliaran sama saja
dengan membiarkan pamiliknya mengalami kerugian. Oleh karenanya

21
HR. Muslim, babal-Luqatah, no. hadis. 3249.
22
HR. Malik, babal-Uqdiyyah , no. hadis. 1253.

15
merupakan keharusan untuk mencegah madharat yang diperkirakan
akan terjadi.

Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib pun menyetujui tindakan Utsman,
demi kepentingan si pemilik. Namun ia berpendapat bahwa menjual
unta-unta itu mungkin saja menimbulkan kerugian bagi para
pemiliknya. Sebab harga yang kelak dikembalikan kepadanya ada
kalanya tidak sesuai dengan nilai sebenarnya. Oleh sebab itu, ia
menyetujui penangkapan unta-unta seperti itu lalu memeliharanya
atas biaya negara (bait al-mal ) sampai si pemiliknya datang dan di
serahkan kembali kepadanya.23
Dalam dimensi historisnya, nampak bahwa sahabat menjadi
sesuatu yang istimewa karena sahabat merupakan generasi yang
terbaik karena telah bergaul dengan Rasulullah saw. Tradisi sahabat
yang tidak ada pada masa Rasulullah saw. sebetulnya banyak sekali,
namun yang terekam  oleh Sarafudin al-Musawi dalam al-Nash wa al-
Ijtihad ada  97 buah yang dapat diprinci sebagai berikut: masa Abu
Bakar 15 kasus, Umar ibn al-Khattab 55 kasus, Usman ibn Affan 2
kasus, Aisyah 13 kasus, Khalid ibn Walid 2 kasus, Muawiyah 10
kasus.24 Kasus-kasus tersebut misalnya sahalat tarawih, takbir empat
dalam shalat janazah, khutbah Jumat dengan duduk, sholat Id
belakangan baru khutbahnya. Namun, dari beberapa kasus sunnah
sahabat tersebut ada yang terus terpelihara dan dilakukan menjadi
kebiasaan dan ada pula yang hilang dan menjadi tidak populer lagi.
Dari hal ini, Husein Shahab mengungkapkan adanya miskonsepsi yang
menyebabkan pergeseran tersebut, yaitu konsepsi tentang sahabat,
imamah, hadis dan ijtihad.25

23
Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nataamal, hlm. 131; lihat juga Muhammad Yusuf
Musa,Tarikh al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 83-85.
24
Fazlur Rahman, Islam,  terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), hlm.
45.
25
Ibid , hlm. 46-58

16
D. Living Hadis/Sunnah dalam Konteks Sekarang
Dalam rangka memotret fenomena seputar praktek shalat di
masyarakat, dalam hal ini akan difokuskan pada shalat Jumat. Ada
beberapa hal yang disorot; yaitu adzan Jumat dua kali, fenomena
menaikkan khatib yang dilakukan oleh muraqqi (muadzin), pengalihan
tongkat dari muadzin kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar,
membaca shalawat diantara dua khutbah yang dilakukan oleh
muadzin, bacaan surat setelah al-Fatehah, serta shalat sunnat
Qabliyah dan Badiyah Jumat.
Diantara poin di atas, ada yang menjadi penyebab khilafiyah di
antara berbagai kelompok, diantararanya menaikkan khatib yang
dilakukan oleh muraqqi (muadzin), pengalihan tongkat dari muadzin
kepada khatib ketika khatib akan naik mimbar, shalat sunnat Qabliyah
dan Badiyah Jumat. Khilafiyah ini hanya disebabkan perbedaan dalam
mengambil dalil.
Semua praktik ibadah yang dilakukan ada sumber dalilnya. Atas
dasar itu, adzan Jumat dua kali merupakan sunnah (kebiasaan) yang
dihidupkan pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan.
Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW adzan Jumat biasanya
dilakukan hanya satu kali. Sebab kenapa Usman melakukan ini adalah
karena semakin majunya daerah Islam dan semakin sibuknya aktivitas
umat Islam. Sehingga untuk melakukan shalat Jumat tidak cukup
memanggil hanya satu kali.
Adapun tentang fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh
muadzin, dengan membaca satu hadis peringatan agar jamaah Jumat
jangan ada yang bicara ketika khatib sedang membaca khutbah.
Hanya ada satu riwayat hadis riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan,
bahwa barang siapa berbicara pada saat khatib sedang khutbah, maka
shalat Jumatnya akan sia-sia.26 Hadis inilah yang menjadi dasar

26
HR. Bukhari: 882
‫ﻫَﺮْﻳَﺮَة‬
ُ ‫ن َاَﺑﺎ‬
َّ ‫ﺐ َأ‬
ِ ‫ﺴَّﻴ‬
َ ‫ﻦ اْﻟُﻤ‬
ُ ‫ﺳِﻌْﻴُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺧَﺒَﺮِﻧﻰ‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫ب َﻗا‬
ٍ ‫ﺷَﻬﺎ‬
ِ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ اْﺑ‬
ِ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋَﻘْﻴﻞ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﺚ‬
ُ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ َّﻟﻠْﻴ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻦ ُﺑَﻜْﻴٍﺮ َﻗا‬
ُ ‫ﻲ ْﺑ‬
َ ‫ﺤ‬
ْ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ َﻳ‬
َ

17
adanya fenomena menaikkan khatib yang dilakukan oleh muadzin.
Walaupun bentuknya bermacam-macam, karena ada juga yang berupa
pengumuman biasa dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Subtansi dari hadis ini adalah mengingatkan jamah Jumat sepaya
mendengarkan khutbah, terserah bagaimanapun caranya.
Tentang praktik pengalihan tongkat daari muadzin kepada khatib
ketika khatib akan naik mimbar, Mustaqim mengutip kitab al-
Muhadhab fi Fiqh al-Imam Al-Syafii . Menurut al-Fairuzzabadi, sunah ini
dilakukan berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim.27
Kemudian tentang membaca shalawat di antara dua khutbah
yang dilakukan oleh muadzin, tidak terdapat hadis yang menyebutkan
secara jelas. Hal ini hanya didasarkan pada hadis riwayat Abu Burdah,
bahwa waktu di antara duduknya khatib setelah khutbah pertama
sampai dilaksanakanya shalat Jumat adalah waktu mustajab untuk
berdoa.28
Sedangkan tentang bacaan surat setelah al-Fatehah. Dalam
hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa setelah selesai membaca
surat al-Fatehah, Rasulullah biasa membaca surat al-Jumuah dan
surat al-Munafiqun. Adapun menurut hadis riwayat Ibnu Abbas dari
Numan bin Basyir, Rasulullah biasa membaca surat al-Ala dan surat al-
Ghasiyah.29 Tetapi praktik yang dilakukan di masyarakat kita berbeda

27
HR. Abu Daud: 924.
ُ‫ﻞ َﻟﻪ‬ ٍ ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺖ ِإَﻟﻰ َر‬ ُ ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺟَﻠ‬َ ‫ل‬ َ ‫ﻲ َﻗا‬ ُّ ‫ﻄﺎِﺋِﻔ‬َّ ‫ﻖ اﻟ‬ ٍ ‫ﻦ ُزَرْﻳ‬
ُ ‫ﺐ ْﺑ‬ُ ‫ﺷَﻌْﻴ‬ ُ ‫ﺣَّﺪَﺛِﻨﻲ‬ َ ‫ش‬ ٍ ‫ﺧَﺮا‬ ِ ‫ﻦ‬ ُ ‫ب ْﺑ‬
ُ ‫ﺷَﻬﺎ‬ ِ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬ َ ‫ﺼﻮٍر‬ ُ ‫ﻦ َﻣْﻨ‬ ُ ‫ﺳِﻌﻴُﺪ ْﺑ‬ َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬ َ
‫ت ِإَﻟﻰ‬ ُ ‫ل َوَﻓْﺪ‬ َ ‫ﺤِّﺪُﺛَﻨﺎ َﻗا‬ َ ‫ﺸَﺄ ُﻳ‬ َ ‫ﻲ َﻓَﺄْﻧ‬ ُّ ‫ن اْﻟُﻜَﻠِﻔ‬
ٍ ‫ﺣْﺰ‬َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﻢ ْﺑ‬ ُ ‫ﺤَﻜ‬
َ ‫ل َﻟُﻪ اْﻟ‬ ُ ‫ﻢ ُﻳَﻘا‬ َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬ َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬ ِ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ﻦ َر‬
ْ ‫ﺤَﺒٌﺔ ِﻣ‬ ْ ‫ﺻ‬ ُ
‫ع اﻟَّﻠَﻪ َﻟَﻨﺎ‬ُ ‫ك َﻓﺎْد‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ ُزْرَﻧﺎ‬َ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َﻓُﻘْﻠَﻨﺎ َﻳﺎ َر‬ َ ‫ﺧْﻠَﻨﺎ‬ َ ‫ﺴَﻌٍﺔ َﻓَﺪ‬ ْ ‫ﺳَﻊ ِﺗ‬ ِ ‫ﺳْﺒَﻌٍﺔ َأْو َﺗﺎ‬ َ ‫ﺳﺎِﺑَﻊ‬َ ‫ﻢ‬ َ ‫ﺳَّﻠ‬َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬ َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬ ِ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫َر‬
ِ‫ل اﻟَّﻠﻪ‬ِ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ﺠُﻤَﻌَﺔ َﻣَﻊ َر‬ ُ ‫ﺷِﻬْﺪَﻧﺎ ِﻓﻴَﻬﺎ اْﻟ‬ َ ‫ن َﻓَﺄَﻗْﻤَﻨﺎ ِﺑَﻬﺎ َأَّﻳﺎًﻣﺎ‬ ٌ ‫ك ُدو‬ َ ‫ن ِإْذ َذا‬ ُ ‫ﺸْﺄ‬َّ ‫ﻦ اﻟَّﺘْﻤِﺮ َواﻟ‬َ ‫ﻲٍء ِﻣ‬ ْ ‫ﺸ‬ َ ‫ﺨْﻴٍﺮ َﻓَﺄَﻣَﺮ ِﺑَﻨﺎ َأْو َأَﻣَﺮ َﻟَﻨﺎ ِﺑ‬ َ ‫ِﺑ‬
ٍ‫ت ُﻣَﺒﺎَرَﻛﺎت‬ ٍ ‫ﻃِّﻴَﺒﺎ‬ َ ‫ت‬ ٍ ‫ﺧِﻔﻴَﻔﺎ‬ َ ‫ت‬ ٍ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َﻛِﻠَﻤﺎ‬ َ ‫ﺤِﻤَﺪ اﻟَّﻠَﻪ َوَأْﺛَﻨﻰ‬ َ ‫س َﻓ‬ ٍ ‫ﺼﺎ َأْو َﻗْﻮ‬ ً ‫ﻋ‬َ ‫ﻋَﻠﻰ‬ َ ‫ﻢ َﻓَﻘﺎَم ُﻣَﺘَﻮِّﻛًﺌﺎ‬ َ ‫ﺳَّﻠ‬َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠﻬﻢ‬ َ
‫ﺳِﻤْﻌﺖ َأﺑﻤﻮ‬ َ ‫ﻲ‬ ٍّ ‫ﻋِﻠ‬ َ ‫ل َأُﺑﻮ‬ َ ‫ﺸُﺮوا َﻗا‬ ِ ‫ﺳِّﺪُدوا َوَأْﺑ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻢ ِﺑِﻪ َوَﻟِﻜ‬ ْ ‫ﻞ َﻣﺎ ُأِﻣْﺮُﺗ‬ َّ ‫ﻦ َﺗْﻔَﻌُﻠﻮا ُﻛ‬ ْ ‫ﻄﻴُﻘﻮا َأْو َﻟ‬ ِ ‫ﻦ ُﺗ‬ْ ‫ﻢ َﻟ‬ْ ‫س ِإَّﻧُﻜ‬ُ ‫ل َأُّﻳَﻬﺎ اﻟَّﻨﺎ‬ َ ‫ﻢ َﻗا‬ َّ ‫ُﺛ‬
ِ‫ﻃﺎس‬ َ ‫ﻦ اْﻟِﻘْﺮ‬ َ ‫ﻄَﻊ ِﻣ‬ َ ‫ن اْﻧَﻘ‬ َ ‫ﺤﺎِﺑَﻨﺎ َوَﻗْﺪ َﻛﺎ‬ َ ‫ﺻ‬ ْ ‫ﺾ َأ‬ُ ‫ﻲٍء ِﻣْﻨُﻪ َﺑْﻌ‬ ْ ‫ﺷ‬َ ‫ل َﺛَّﺒَﺘِﻨﻲ ِﻓﻲ‬ َ ‫َداوﻣﺪ َﻗا‬
28
HR. Muslim: 1409
ٍ‫ﺳِﻌﻴﺪ‬ َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ن ْﺑ‬ُ ‫ﻫﺎُرو‬َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬َ ‫ﻦ ُﺑَﻜْﻴٍﺮ ح و‬ ِ ‫ﺨَﺮَﻣَﺔ ْﺑ‬
ْ ‫ﻦ َﻣ‬ ْ ‫ﻋ‬ َ ‫ﺐ‬ٍ ‫ﻫ‬ْ ‫ﻦ َو‬ُ ‫ﺧَﺒَﺮَﻧﺎ اْﺑ‬
ْ ‫ﺸَﺮٍم َﻗاَﻟﺎ َأ‬ْ ‫ﺧ‬ َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﻲ ْﺑ‬ُّ ‫ﻋِﻠ‬
َ ‫ﻫِﺮ َو‬ِ ‫ﻄﺎ‬ َّ ‫ﺣَّﺪَﺛِﻨﻲ َأُﺑﻮ اﻟ‬ َ ‫و‬
َ ‫ي ﻗَا‬
‫ل‬ ِّ ‫ﺷَﻌِﺮ‬ْ ‫ﺳﻰ اْﻟَﺄ‬ َ ‫ﻦ َأِﺑﻲ ُﻣﻮ‬ ِ ‫ﻦ َأِﺑﻲ ُﺑْﺮَدَة ْﺑ‬ ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َأِﺑﻴِﻪ‬ْ ‫ﻋ‬ َ ‫ﺨَﺮَﻣُﺔ‬ ْ ‫ﺧَﺒَﺮَﻧﺎ َﻣ‬ْ ‫ﺐ َأ‬ٍ ‫ﻫ‬ ْ ‫ﻦ َو‬ُ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ اْﺑ‬
َ ‫ﺴﻰ َﻗاَﻟﺎ‬ َ ‫ﻋﻴ‬ ِ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﺣَﻤُﺪ ْﺑ‬ ْ ‫ﻲ َوَأ‬ ُّ ‫اْﻟَﺄْﻳِﻠ‬
َ ‫ﺠُﻤَﻌِﺔ َﻗا‬
‫ل‬ ُ ‫ﻋِﺔ اْﻟ‬ َ ‫ﺳﺎ‬
َ ‫ن‬ ِ ‫ﺷْﺄ‬
َ ‫ﻢ ِﻓﻲ‬ َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬ ِ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ﻦ َر‬ْ ‫ﻋ‬َ ‫ث‬ ُ ‫ﺤِّﺪ‬َ ‫ك ُﻳ‬َ ‫ﺖ َأَﺑﺎ‬
َ ‫ﺳِﻤْﻌ‬ َ ‫ﻋَﻤَﺮ َأ‬ ُ ‫ﻦ‬ُ ‫ﻋْﺒُﺪ اﻟَّﻠِﻪ ْﺑ‬ َ ‫ل ِﻟﻲ‬ َ ‫َﻗا‬
ْ ‫ﺲ اْﻟِﺈَﻣﺎُم ِإَﻟﻰ َأ‬
‫ن‬ َ ‫ﺠِﻠ‬ ْ ‫ن َﻳ‬ْ ‫ﻦ َأ‬َ ‫ﻲ َﻣﺎ َﺑْﻴ‬َ ‫ﻫ‬ ِ ‫ل‬ ُ ‫ﻢ َﻳُﻘﻮ‬َ ‫ﺳَّﻠ‬ َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟَّﻠِﻪ‬ َ ‫ﺳﻮ‬ ُ ‫ﺖ َر‬ ُ ‫ﺳِﻤْﻌ‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ﺳِﻤْﻌُﺘُﻪ َﻳُﻘﻮ‬ َ ‫ﻢ‬ ْ ‫ﺖ َﻧَﻌ‬ ُ ‫ُﻗْﻠ‬
 ‫ﺼَﻠﺎُة‬
َّ ‫ﻀﻰ اﻟ‬ َ ‫ُﺗْﻘ‬
29
HR. Muslim: 1418

18
dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah SAW. Para imam Jumat
biasanya membaca surat-surat pendek ataupu juga potongan-
potongan dari beberapa surat.
Kemudian tentang shalat sunnat Qabliyah dan Badiyah Jumat.
Mustaqim mengutip kita Ibanat al-Ahkam syarah dari kitab Bulugh al-
Maram karya al-Asqalani, bahwa shalat sunnat Qabliyah Jumat
didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa barang siapa yang
mandi kemudian hendak melaksankan shalat Jumat maka shalatlah
sesuai kemampuan (fasalla ma quddira lahu ) kata tersebut ditafsirkan
oleh para ulama sebagi shalat sunnat Qabliyah. Adapun shalat sunat
Badiyah Jumat didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa
barangsiapa yang melaksanakan shalat Jumat, maka setelah
melaksanakan shalat Jumat hendaklah shalat sunnat empat rakaat.
Adapun jika shalat sunat Badiyah Jumatnya dilakukan di rumah, maka
cukup dua rakaat saja.30

E. MemahamiLiving Sunnah dengan Teori Ilmu Sosial


Di dalam masyarakat sebagai suatu tempat berinteraksi antara
satu manusia dengan manusia yang lain memiliki bentuk yang
berbeda satu dengan yang lainnya dalam merespons ajaran Islam,
khususnya yang terkait erat dengan hadis. Ada tradisi yang
dinisbatkan kepada hadis Nabi Muhammad saw. dan kental
dilaksanakan oleh berbagai negara seperti Mesir dan sebagainya
terdapat praktik khitan perempuan. Sementara di negara Indonesia
yang masuk dalam kategori agraris masih banyak ditemukan adanya
praktik magis. Di antara tradisi ada juga yang mengisyaratkan akan
tujuan tertentu. Namun, kadang-kadang, tradisi yang dinisbatkan pada
hadis hanya sebatas tujuan sesaat untuk kepentingan politik.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hadis Nabi
Muhammad saw. yang menjadi acuan ummat Islam telah

30
Ibid,

19
termanifestasikan dalam kehidupan masyarakat luas. Dalam pada itu,
paling tidak ada tiga variasi dan bentuk living sunnah . Ketiga bentuk
tersebut adalah tradisi tulis, tradisi lisan, dan tradisi praktik. Uraian
yang digagas ini mengisyaratkan adanya berbagai bentuk yang lazim
dilakukan dan satu ranah dengan ranah lainnya terkadang saling
terkait erat. Hal tersebut dikarenakan budaya praktik umat Islam lebih
meggejala dibanding dengan dua tradisi lainnya, tradisi lesan dan lisan.
Ketiga bentuk tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Tradisi Tulis
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan
living sunnah . Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk
ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang
strategis seperti bus, masjid, sekolah,  pesantren, dan fasilitas
umum lainnya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas
Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.
sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut.
Tidak semua yang terpampang berasal dari hadis Nabi
Muhammad saw. atau di antaranya ada yang bukan hadis namun
di masyarakat dianggap sebagai hadis. Seperti kebersihan itu
sebagian dari iman (‫ )اﻟﻨﻈﺎﻓﺔ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن‬yang bertujuan untuk
menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan,
mencintai negara sebagaian dari iman (‫ )ﺣﺐ اﻟﻮﻃﻦ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن‬yang
bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya.
2. Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam living sunnah sebenarnya muncul seiring
dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan
dalam melaksanakan shalat shubuh di hari Jumat. Di kalangan
pesantren yang kiayinya hafiz al-Quran, shalat shubuh hari jumat
relatif panjang karena di dalam shalat tersebut dibaca dua ayat
yang panjag yaitu hamim al-sajadah dan al-insan. Sebagaimana 
sabda Nabi Muhammad Saw.

20
ِ ‫ﺨَّﻮ‬
‫ل‬ َ ‫ﻦ ُﻣ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﺳْﻔَﻴﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﺳَﻠْﻴَﻤﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﻋْﺒَﺪُة ْﺑ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬
َ ‫ﺷْﻴَﺒَﺔ‬
َ ‫ﻦ َأِﺑﻲ‬
ُ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ َأُﺑﻮ َﺑْﻜِﺮ ْﺑ‬
َ
َّ ‫ن اﻟَّﻨِﺒ‬
‫ﻲ‬ َّ ‫س َأ‬
ٍ ‫ﻋَّﺒﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ اْﺑ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﺟَﺒْﻴٍﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﺳِﻌﻴِﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻄﻴ‬
ِ ‫ﻢ اْﻟَﺒ‬
ٍ ‫ﺴِﻠ‬
ْ ‫ﻦ ُﻣ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﺷٍﺪ‬
ِ ‫ﻦ َرا‬
ِ ‫ْﺑ‬
ُ ‫ﺠُﻤَﻌِﺔ اﻟﻢ َﺗْﻨِﺰﻳ‬
‫ﻞ‬ ُ ‫ﺠِﺮ َﻳْﻮَم اْﻟ‬
ْ ‫ﺻَﻠﺎِة اْﻟَﻔ‬
َ ‫ن َﻳْﻘَﺮُأ ِﻓﻲ‬
َ ‫ﻢ َﻛﺎ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠُﻪ‬
َ
‫ﻋَﻠْﻴِﻪ‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
َّ ‫ن اﻟَّﻨِﺒ‬
َّ ‫ﻫِﺮ َوَأ‬
ْ ‫ﻦ اﻟَّﺪ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
ٌ ‫ﺣﻴ‬
ِ ‫ن‬
ِ ‫ﺴﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻰ اْﻟِﺈْﻧ‬
َ ‫ﻞ َأَﺗﻰ‬
ْ ‫ﻫ‬
َ ‫ﺠَﺪِة َو‬
ْ ‫ﺴ‬
َّ ‫اﻟ‬
ِ ‫ﺠُﻤَﻌﺔ‬
ُ ‫ﺳﻮَرَة اْﻟ‬
ُ ‫ﺠُﻤَﻌِﺔ‬
ُ ‫ﺻَﻠﺎِة اْﻟ‬
َ ‫ن َﻳْﻘَﺮُأ ِﻓﻲ‬
َ ‫ﻢ َﻛﺎ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫َو‬

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. ketika shalat shubuh pada


hari Jumat membaca ayat  alif lam mim tanzil… (Q.S. al-sajadah)
dan hal ata ala al-insan min al-dahr (Q.S. al-insan). Adapun  untuk
shalat Jumat Nabi Muhammad saw. membaca Q.S. al-Jumuah
dan al-Munafiqun .”

Berdasarkan hadis di  atas, untuk shalat jumat kadang-


kadang sang imam membaca surat al-jumuah dan al-munafiqun.
Namun untuk kedua surat tersebut kadang-kadang hanya dibaca
tiga ayat terakhir dalam masing-masing surat. Di samping itu,
untuk shalat jumat kadangkala dibaca surat  surat al-ala dan al-
ghasyiyah dengan berdasarkan hadis lain.
Demikian juga terhadap pola lisan yang dilakukan oleh
masyarakat terutama dalam melakukan zikir dan doa seusai
shalat bentuknya macam-macam. Ada yang melaksanakan
dengan panjang dan sedang. Dalam kesehariannya, umat Islam
sring melaksanakan zikir dan doa. Keduanya merupakan rutinitas
yang senantiasa dilakukan mengiringi sholat dan paling tidak
dilakukan minimal lima kali dalam sehari semalam. Rangkaian
zikir dan doa tidak lain merupakan sejumlah rangkaian yang
dianjurkan oleh Allah dalam al-Quran dan Rasulullah saw. dalam
hadis-hadis usai mengerjakan shalat lima waktu (maktubah ). Atau
lebih dari hal itu, kebiasaan zikir dan doa juga dapat dilakukan usai

21
melaksanakan sholat sunnah tertentu dan dalam keadaan apa
saja.
3. Tradisi Praktik
Tadisi praktik dalam living sunnah ini cenderung banyak
dilakukan oleh umat Islam. Hal ini didasarkan atas sosok Nabi
Muhammad saw. dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah satu
persoalan yang ada adalah masalah ibadah shalat. Di masyarakat
Lombok NTB mengisyaratkan adanya pemahaman shalat wetu
telu dan wetu lima. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad saw.
contoh yang dilakukan adalah lima waktu.31
Contoh lain adalah tentang  khitan perempuan. Tradisi
khitan32 telah ditemukan jauh sebelum Islam datang. Berdasarkan
penelitian etnolog menunjukkan bahwa khitan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya,
suku Semit (Yahudi dan Arab) dan Hamit.33 Mereka yang dikhitan
tidak hanya laki-laki, tetapi juga kaum perempuan, khususnya
kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.
Sedangkan di dalam Islam, dalam teks ajaran Islam tidak
secara tegas menyinggung masalah khitan ini. Sebagaimana
disebut dalam Q.S. an-Nahl (16): 123-124, umat Nabi Muhammad
saw. agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai bapaknya nabi,
termasuk di dalamnya adalah tradisi khitan. Dalam perspektif
ushul fiqh hal tersebut dikenal dengan istilahsyaru man qablana .
Hal tersebut secara tidak langsung muncul anggapan khitan
perempuan merupakan suatu keharusan. Karena Nabi Ibrahim a.s.
31
Najmuddin, “ Pemahaman Masyarakat Bayan terhadap al-Quran (Studi
Perbandingan antar Masyarakat Penganut ajaran Islam Wetu Tellu dengan Penganut
Ajaran Islam Wetu Lima) ” , Skripsi Mahasiswa TH Fak. Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2005.
32
Istilah tersebut adalah khifad}, iz}a>r, sunat, sirkumsisi , dantetes . Lihat Jad al
-Haq Ali Jad al-Haq, “Khitan ” dalam Majalah al-Azhar, edisi Jumadil Ula, 1415 H., . 7.
Lihat juga Waharjani, “Khitan dalam Tradisi Jawa ” dalam Jurnal Profetika UMS II, vol
2, Juli 2000, 205.
33
Ahmad Ramali, Peraturan-peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam
Hukum Syara Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 1956),  342-344.

22
adalah bapak para nabi dan agama Islam merupakan agama yang
bersumber darinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh informasi
dari hadis Nabi Muhammad saw. yang menyebutkan adanya
tradisi khitan perempuan di Madinah.

ِ ‫ﺣﻴ‬
‫ﻢ‬ ِ ‫ﻋْﺒِﺪ اﻟَّﺮ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ب ْﺑ‬
ِ ‫ﻫﺎ‬
َّ ‫ﻋْﺒُﺪ اْﻟَﻮ‬
َ ‫ﻲ َو‬
ُّ ‫ﺸِﻘ‬
ْ ‫ﻦ اﻟِّﺪَﻣ‬
ِ ‫ﺣَﻤ‬
ْ ‫ﻋْﺒِﺪ اﻟَّﺮ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ن ْﺑ‬
ُ ‫ﺳَﻠْﻴَﻤﺎ‬
ُ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ‬
َ
ِ ‫ﻫﺎ‬
‫ب‬ َّ ‫ﻋْﺒُﺪ اْﻟَﻮ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ن َﻗا‬
َ ‫ﺴﺎ‬
َّ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﺤَّﻤُﺪ ْﺑ‬
َ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ ُﻣ‬
َ ‫ن‬
ُ ‫ﺣَّﺪَﺛَﻨﺎ َﻣْﺮَوا‬
َ ‫ﻲ َﻗاَﻟﺎ‬
ُّ ‫ﺠِﻌ‬
َ ‫ﺷ‬
ْ ‫اْﻟَﺄ‬
ْ ‫ن اْﻣَﺮَأًة َﻛﺎَﻧ‬
‫ﺖ‬ َّ ‫ﺼﺎِرَّﻳِﺔ َأ‬
َ ‫ﻄَّﻴَﺔ اْﻟَﺄْﻧ‬
ِ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ ُأِّم‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋَﻤْﻴٍﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻚ ْﺑ‬
ِ ‫ﻋْﺒِﺪ اْﻟَﻤِﻠ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ ‫ﻲ‬
ُّ ‫اْﻟُﻜﻮِﻓ‬
َ ‫ن َذِﻟ‬
‫ﻚ‬ َّ ‫ﻢ َﻟﺎ ُﺗْﻨِﻬِﻜﻲ َﻓِﺈ‬
َ ‫ﺳَّﻠ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َو‬
َ ‫ﺻَّﻠﻰ اﻟَّﻠُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
ُّ ‫ل َﻟَﻬﺎ اﻟَّﻨِﺒ‬
َ ‫ﻦ ِﺑاْﻟَﻤِﺪﻳَﻨِﺔ َﻓَﻘا‬
ُ ‫ﺨِﺘ‬
ْ ‫َﺗ‬
ِ ‫ﺐ ِإَﻟﻰ اْﻟَﺒْﻌﻞ‬
ُّ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻈﻰ ِﻟْﻠَﻤْﺮَأِة َوَأ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫َأ‬.

“ Diceritakan dari Sulaiman ibn Abd al-Rahman al-Dimasyqi dan


Abd al-Wahhab ibn Abd al-Rahim al-Asyjai berkata diceritakan dari
Marwan menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata
Abd al-Wahhab al-Kufi dari Abd al-Malik ibn Umair dari Ummi
Atiyyah al-Ansari sesunggguhnya ada seorang juru khitan
perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad saw. bersabda
jangan berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin
perempuan, sesungguhnya hal tersebut akan dapat memuaskan
perempuan dan akan lebih menggairahkan dalam bersetubuh .”
(H.R. Abu Dawud)

Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa di masyarakat


Madinah terjadi suatu tradisi khitan perempuan. Nabi Muhammad
saw. memberikan wejangan agar kalau mengkhitan jangan terlalu
menyakitkan karena hal tersebut bisa mengurangi nikmat seksual.
Tidak dijelaskan  siapa yang terlibat dalam kegiatan khitan
perempuan tersebut baik yang dikhitan ataupun orang yang
mengkhitan.

23
F. Dampak Positif Bagi Jiwa Dalam Menghidupkan Sunnah Rasulullah

Manfaat dari mengikuti sunnah itu banyak. Diantaranya:


A. Menggapai mahabbatullah (kecintaan Allah)

Mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla dengan melakukan


berbagai hal yang dianjurkan menjadi sebab digapainya cinta Allah. Ibnul
Qayyim berkata dalam Madarijus Salikin:

‫ وأﺟﺒﺘﻪ دﻋﻮة‬،‫ وأﻃﻌﺘﻪ أﻣًﺮا‬،‫ وﺻﺪﻗﺘﻪ ﺧﺒًﺮا‬،‫وﻻ ﻳﺤﺒﻚ ﷲ إﻻ إذا اﺗﺒﻌﺖ ﺣﺒﻴﺒﻪ ﻇﺎﻫًﺮا وﺑﺎﻃًﻨﺎ‬
‫ وﻋﻦ ﻃﺎﻋﺔ‬،‫ وﻋﻦ َﻣﺤﺒﺔ ﻏﻴﺮه ﻣﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﺑﻤﺤﺒﺘﻪ‬،‫ وﻓﻨﻴﺖ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﻏﻴﺮه ﺑﺤﻜﻤﻪ‬،‫ﻋﺎ‬
ً ‫ وآﺛﺮﺗﻪ ﻃﻮ‬،
‫ ﻓﺎﻟﺘﻤﺲ ﻧﻮًرا ﻓﻠﺴﺖ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء‬،‫ وارﺟﻊ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺷﺌﺖ‬،‫ﻦ‬
َّ ‫ وإن ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ذﻟﻚ ﻓﻼ َﺗَﺘَﻌ‬،‫ﻏﻴﺮه ﺑﻄﺎﻋﺘﻪ‬

Allah tidak akan mencintaimu kecuali engkau mengikuti Habibullah


(Rasulullah) secara lahir dan batin, membenarkan sabdanya, mentaati
perintahnya, menjawab dakwahnya, mengikuti jalan hidupnya,
mendahulukan hukum beliau dibandingkan dengan hukum lain,
mendahulukan cinta kepada beliau diatas cinta kepada yang lain,
mendahulukan ketaatan kepada beliau dibandingkan kepada orang lain.
Kalau engkau tidak demikian, maka tidak ada gunanya. Coba saja lakukan
apa yang dapat menggapai cinta Allah menurut caramu sendiri. Engkau
mencari cahaya namun tidak akan mendapatkannya”.

B. Menggapai ma’iyatullah (kesadaran bahwa Allah senantiasa


melihat kita, )
Kita akan senantiasa merasa Allah melihat setiap perbuatan yang kita
lakukan sehingga Allah senantiasa memberi taufiq untuk berbuat kebaikan.

24
Anggota tubuhnya tidak akan melakukan sesuatu kecuali yang diridhai
oleh Allah. Jika mahabbatullah diraih maka ma’iyatullah pun diraih.

C. Menghidupkan hati

Jika seorang hamba senantiasa menjaga sunnah dan menjadikannya


hal yang paling penting untuk dipegang, akan terasa sulit baginya
meremehkan kewajiban atau kurang dalam pelaksanaannya. Lalu ia pun
mendapat keutamaan lain, yaitu ia senantiasa mengagungkan syiar-syiar
Allah. Sehingga hatinya pun hidup karena ketaatan kepada Allah. Dan
barangiapa meremehkan hal-hal yang sunnah, mengakibatkan ia akan
terhalang menjalankan kewajibannya.

D. Terjaga dari melakukan bid’ah

Ketika seorang hamba senantiasa mengikuti apa-apa yang datang


dari sunnah Nabi, ia akan bertekad untuk tidak melakukan suatu ibadah
kecuali ada dalilnya. Dengan ini ia akan selamat dari jalan kebid’ahan.
Bagi pengikut sunnah, masih banyak lagi buah yang didapat. Ibnu
Taimiyah dalam Al Qa’idah Al Jaliyah berkata:

‫ﻓﻜﻞ ﻣﻦ اﺗﺒﻊ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ فﷲ ﻛﺎﻓﻴﻪ وﻫﺎدﻳﻪ وﻧﺎﺻﺮه ورازﻗﻪ‬

“Barangsiapa mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam maka


Allah akan mencukupkannya, memberinya hidayah, menolongnya dan
melimpahkan rezeki kepadanya”.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan tentang living sunnah atau living
hadis di atas, maka bisa diambil pemahaman bahwa karena sunnah
Nabi sudah di formalkan atau di formulasikan menjadi hadis Nabi,
maka istilah living hadis pun secara implisit juga merupakan living
sunnah . Meskipun dalam sejarahnya living sunnah bisa dibedakan
dengan living hadis , namun dalam konteks sekarang, living hadis itu
juga mencakupliving sunnah .
Arah living sunnah yang berkaitan dengan dapat dilihat dalam
tiga bentuk, yaitu tulis, lisan, dan praktik. Ketiga model dan bentuk
living sunnah tersebut satu dengan yang lainnya sangat berhubungan.
Pada awalnya gagasan living sunnah banyak pada tempat praktik. Hal
ini dikarenakan prektek langsung masyarakat atas hadis masuk dalam
wilayah ini dan dimensi fiqh yang lebih memasyarakat ketimbang
dimensi lain dalam ajaran Islam. Sementara dua bentuk lainnya, lisan
dan tulis saling melengkapi keberadaan dalam level praktis. Bentuk
lisan adalah sebagaimana terpampang dalam fasilitas umum yang
berfungsi sebagai jargon atau motto hidup seseorang atau
masyarakat. Sementara lisan adalah berbagai amalan yang diucapkan
yang disandarkan dari hadis Nabi Muhammad Saw. berupa zikir atau
yang lainnya.

B. Saran
Semoga makalah yang ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca dan mengingat masih banyaknya kekurangan dalam makalah ini,

26
maka penulis sangat menerima kritikan maupun masukan yang dapat
membangun dari pembaca.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 1996. “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn
Taimiyah ” . dalam, Yunahar Ilyas dan M. Masudi (ed.), Pengembangan Pemikiran
terhadap Hadis. Yogyakarta: LLPI.
Abdullah,M. Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
as-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalauh . Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1998), hlm.
17-28.
al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah . Kairo: Maktabah
Wahbah.
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah .Shihab, M. Quraish “Hubungan Hadis
dan Al-Quran ”, http:// media.isnet. org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html
al-Qardhawi, Yusuf. t.t.Kaifa Nataamal.
HR. Muslim, babal-Luqatah, no. hadis. 3249.
HR. Malik, babal-Uqdiyyah , no. hadis. 1253.
M. M Azami. 2004.Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum. Jakarta; Pustaka Firdaus.
Musa, Muhammad Yusuf.Tarikh al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Najmuddin. 2005. “ Pemahaman Masyarakat Bayan terhadap al-Quran (Studi
Perbandingan antar Masyarakat Penganut ajaran Islam Wetu Tellu dengan
Penganut Ajaran Islam Wetu Lima) ” , Skripsi Mahasiswa TH Fak. Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta,.
Rahman, Fazlur. 1984.Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur. 1987.Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Rahman, Fazlur. 1965. dalam Islam dan Islamic Methodology in History. Karachi: Central
Institute of Islamic Research.
Rahman, Fazlur. 1994.Islam. terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Ramali, Ahmad. 1956. Peraturan-peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum
Syara Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
Solahudin, Agusl & Agus Suyadi. 2009.Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Syamsudin, Sahiron. 2007. Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadits. Yogyakarta:
Teras.

28
29

Anda mungkin juga menyukai