Israiliyat merupakan seluruh riwayat yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani
serta selain keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis. Tidak hanya itu, terdapat pula
ulama tafsir yang mendefinisikan Israiliyat sebagai cerita yang bersumber dari musuh-musuh
Islam, baik Yahudi, Nasrani, dan lainnya. 1Ad-Dakhil melalui riwayat Israiliyat mengandung
makna yakni riwayat-riwayat Israiliyat yang berseberangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
yang shahih.2
“Sampaikanlah olehku kalian ajaran yang berasal dariku sekalipun hanya satu ayat.
Sampaikanlah juga berita yang berasal dari Bani Israil. Dan hal itu tidak apa-apa
(hukumnya). Barang siapa mendustakan aku secara sengaja, maka hendaklah dia
mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari dari ‘Abdullah ibn
‘Amr pada saat perang Yarmuk).
Melalui hadits di atas lah yang menjadi landasan perizinan Rasulullah saw terkait sumber
berita-berita Israiliyat, namun statusnya hanyalah sebagai sumber sekunder, dan tidak lantas
baik untuk diyakini. Demikian bagaimana awal mula proses masuknya berita-berita Israiliyat
dalam kajian ilmu tafsir. Hadirnya Israiliyat telah lahir seiring dengan adanya perkembangan
Islam, dan sejarah riwayat Israiliyat yang masuk pada penafsiran sudah ada sejak masa
Rasulullah saw. namun hanya dalam jumlah yang sedikit, kemudian marak dipakai
riwayatnya pada penafsiran di era pasca Tabi’in.4
Dengan demikian, para sahabat tidak menafikan keberadaan kisah-kisah Israiliyat namun
juga berpegang teguh pada prinsip yang telah Rasulullah gariskan. Mereka sangat bersikap
preventif, teliti dan cermat dalam menyikapi riwayat Israiliyat. Menurut Abdul Wahab
Mabruk Fayed (1636-1999), pengarang buku “Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Quran Al-Karim”,
menyebutkan alasan kehati-hatian para sahabat terkait riwayat Israiliyat:
a) Pertama, para sahabat merupakan jajaran yang meregenerasi perjuangan Rasulullah
saw. sekaligus berstatus sebagai murid beliau. Sehingga, tidak mungkin jika langkah
yang diambil menyeleweng dari jejak Rasulullah secara esktrim.
b) Kedua, sebagai generasi yang hidup bersanding sezaman dengan Rasulullah, juga
melihat langsung proses penurunan wahyu, maka mereka tidak membutuhkan
keterangan dari Ahli Kitab.
c) Ketiga, para sahabat sibuk dengan dakwah dan pengajaran Al-Qur’an kepada umat.
d) Keempat, para sahabat umumnya meragukan validitas dari kisah-kisah israiliyat,
sebab di dalamnya banyak memuat berita-berita dari Taurat yang telah mengalami
distorsi atau menyajikan ketidaksesuaian informasi dengan fakta yang sebenarnya.
Al-Dahlawi (1114-1176 H) menambahkan, beliau menilai bahwa ragam pertanyaan
para sahabat yang diajukan ke Ahli Kitab mengenai kisah-kisah Israiliyat terbilang
sebagai tadyi’ al-waqt (menyia-nyiakan waktu).6
5
Azhar Amrullah, “Dakhil Al-Israiliyat Kisah Nabi Yusuf Dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurtubi,”
Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 5, no.1, (2015): h.123-124.
6
Muhammad Ulinnuha, h.135.
7
Muhammad Ulinnuha, h.136-137.
8
Azhar Amrullah, h. 125.
Dikarenakan Israiliyat berpotensi sebagai riwayat yang telah mengalami distorsi atas validitas
kisah-kisah yang termuat di dalamnya, maka berikut ini beberapa kategori Israiliyat dan tolak
ukur boleh tidaknya meriwayatkan kisah Israiliyat menurut Fayed:
1. Riwayat israiliyat yang diketahui keshahihannya karena sesuai dengan nilai-nilai
agama Islam dan sah dalam hukum logika. Riwayat ini diperbolehkan dan dapat
diterima.
2. Riwayat Israiliyat yang terdeteksi kebohongannya dan berseberangan dengan ajaran
Islam. Riwayat ini tertolak dan tidak boleh diriwayatkan kecuali jika diterangkan
status riwayat tersebut.
3. Riwayat Israiliyat yang tidak diketahui status validitas atau kebenarannya sebab tidak
adanya dalil tegas yang menerangkan riwayat tersebut. Dalam riwayat ini, terdapat
ulama yang membolehkan periwayatannya, pendapat lain melarang dan baiknya
bersikap tawaqquf (membiarkannya) seraya berpegang teguh, “kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami.”9
Umumnya, orientasi al-dakhil lebih luas terhadap ragam periwayatan, baik datangnya dari
hadis-hadis dhaif, maudhu’ maupun israiliyat. Hubungan antara al-dakhil dengan israiliyat
sangatlah dekat dan kuat. Sebab keberadaan al-dakhil besar dikarenakan infiltrasi yang ada
dalam riwayat israiliyat. Untuk, pandangan para ulama terhadap keduanya tidak jauh berbeda.
1. Muhammad Abduh (w.1905 M)
Beliau merupakan tokoh pembaharu Islam yang termasuk dalam kategori tokoh yang cukup
keras dalam mengkritisi ulama salaf yang banyak mengambil riwayat Israiliyat dalam buah
penafsirannya. Di balik karya-karya tafsir beliau, problematika al-dakhil fi al-ma’tsur dalam
bentuk israiliyat ini menjadi motivasi beliau dalam memutus rantai kebiasaan ulama salaf
terhadap israiliyat, sebab beliau merasa hal tersebut bagian dari penyimpangan terhadap
Islam.
2. Rasyid Rida (w.1935 M)
Murid Muhammad Abduh, Rasyid Rida turut mengambil sikap kritis atas kasus ini. Beliau
mengatakan, riwayat Israiliyat yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran dinilai telah
melenceng dari konteks Al-Qur’an.
3. Mustafa Al-Maraghi (w. 1952 M)
9
Muhammad Ulinnuha, h.138-139.
10
Muhammad Ulinnuha, h.143-144.
Masih pada jajaran murid Muhammad Abduh, Mustafa Al-Maraghi merasa banyak produk
karya tafsir yang telah ternoda oleh riwayat Israiliyat. Sementara israiliyat merupakan
kumpulan berita, kisah atas skenario Ahli Kitab untuk memanipulasi orang-orang Arab.11
4. Ibnu Taimiyah (w. 1328 M)
Beliau berpendapat boleh saja menukil riwayat israiliyat asalkan melewati beberapa syarat
sesuai dengan parameter boleh tidaknya bersandar pada israiliyat yang sudah dijelaskan
sebelumnya.
5. Muhammad Syaltut (w. 1963 M)
Menurut beliau israiliyat hanya menghalangi umat Islam untuk menemukan esensi yang tepat
dalam makna yang dimaksud Al-Quran. Terlalu sibuk mengkaji israiliyat menjadikan sederet
mufasir meninggalkan perhatiannya terhadap intan dan mutiara yang indah sebagai subtansi
makna Al-Quran yang Allah tujukan untuk manusia.
6. Ibnu Al-‘Arabi (w. 1240 M)
Beliau merasa perlu dibedakan antara israiliyat yang berkaitan dengan ahli kitab dan yang
tidak berkenaan dengannya. Jenis pertama dianggap sebagai pengakuan, sedang jenis kedua
harus ditinjau lebih jauh rawi tersebut.12
Selain itu, terdapat beberapa sikap yang perlu diperhatikan terkait israiliyat dalam penafsiran
Al-Qur’an:
a) Bersikap kritis
b) Tidak boleh mengambil riwayat Israiliyat jika terdapat hadis Nabi yang telah memuat
syarah baik keglobalan dan kemubhamannya.
c) Meski israiliyat tetap diakui kebenarannya, tetap tidak boleh berlebihan dalam
mengambil sumbernya, kecuali memaparkan secara global terkait sebuah kisah.13
11
Wifa El-Khairah, Ad-Dakhil fi Al-Ma’thur dalam Kitab Tafsir, (Banten: CV. Nun Media Berkah, 2022), h.44-46.
12
Wifa El-Khairah, h. 46.
13
Wifa El-Khairah, h.48.