Makalah ini disusun sebagai tugas makalah Mta Kuliah Ushul fiqh
FAKULTAS TARBIYAH
Bissmillahirrahmaanirrahiim.
Allhamdulillah, Puji serta syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW. Yang telah menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat manusia , yang
telah membawa umat islam dari jaman jahiliyyah menuju jaman Islamiyah yang penuh barokah
ini.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini tidak terselesaikan tanpa adanya campur
tangan dari beberapa pihak.Sehingga penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Siti Shopiah,
M.A dosen mata kuliah Ushul Fiqh. Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai salah
satu materi tugas kegiatan yang harus di selesaikan. Adapun judul penyusun buat didalam
makalah ini adalah mengenai “PENGERTIAN MASHLAHAH MURSALAH”.Sehingga penulis
meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan kata dari penulisan makalah ini
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 11
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang
kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain sebagainya.
Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan
para ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari
maslahah mursalah dan ada pula yang menolak kehujjahannya.
Dari latar belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam
beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua; syarat-syarat
maslahah mursalah, ketiga; macam-macam maslahah mursalah, keempat; kehujjahan dan objek
maslahah mursalah, kelima; contoh-contoh maslahah mursalah.
Adapun di dalam maklah kami terdapat sistematika penulisan yang meliputi pendahaluan,
pengertian maslahah mursalah, syarat-syarat maslahah mursalah, macam-macamnya, kehujjahan
dan obyek kajiannya, contoh-contoh, kesimpulan dan daftar pustaka.
B. RUMUSAN MASALAH
B. TUJUAN MASALAH
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun
wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-
Shalah,seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u.1
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali (mazhab
syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejala dengan
tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan
manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak
selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu.2
“Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan sunnah )
dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”
Menurut istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh
syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat
dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.3
1
Prof.Dr. Rachmat syafei, MA, Ilmu Ushul fiqih, Jakarta :Pustaka Setia. Hal :117
2
Zurifah Nurdin, M.Ag, Ushul fiqh 1, Bengkulu Hal :56
3
Rachmat Syafei, Op, cit. Hal :56
4
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqiyah (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada) Hal:104
5
masalahah merupakan bentukan dari kara shalaha, yashluhu, shulhan, shilahiyyatan, yang berarti
faedah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan.5
Berikut ini penulis akan memapaparkan masing-masing pembagian kategori tersebut yaitu
sebagai berikut:
1.Menurut Mustafa asy-Syalabi , terdapat dua bentuk maslahat berdasarkan segi perubahan
maslahat Pertama, al-maslahah as-sabitah.yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah
sampai akhir zaman Misalnya, berbagai kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Kedua, al-maslahah al-mutagayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum8
2. Al-maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan yang didukung oleh sekumpulan makna nash,
bukan oleh nash yang rinci Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak
pula dibatalkan syara' melalui dalil yang rinci Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua . yaitu
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara', baik secara rinci maupun secara
umum , dan kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syara' secara rinci, tetapi didukung
oleh makna sejumlah nash Kemaslahatan yang pertama disebut sebagai al- maslahah al-garibah
,namun para ulama tidak dapat mengemukakan contohnya secara pasti Bahkan Imam asy-Syatibi
5
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progessif) Hal:789
6
Al-Ghazali, Al-Mustafa min Al-Ilmi al-Ushul (Beirut: al Resalah) Hal:416
7
Ibid, Hal :417
8
Department Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an)
Hal :514
6
mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori
Sedangkan kemaslahatan dalam bentuk kedua disebut al-maslahah al-mursalah Kemaslahatan ini
didukung oleh sekumpulan makna nash , bukan oleh nash yang rinci.Ulama usul fikih sepakat
menyatakan bahwa al-maslahah al-mu'tabarah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
Islam Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode kias Mereka juga sepakat menyatakan
bahwa al-maslahah al-mulgah tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam,
demikian juga dengan al-maslahah al-garibah. karena tidak ditemukan dalam praktek9
3. Adapun terhadap kehujahan al-maslahah al-mursalah. pada prinsipnya jumhur ulama mazhab
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara', sekalipun dalam
menetukan syarat, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapatAl-Maslahah al-
Dharuriyyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan di akhirat Dengan kata lain Al-Maslahah al-Dharuriyyah . Al-Maslahah al-Hajiyyah
yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau
mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan dasar manusia Dengan kata lain, kebutuhan al- Hajiyyah , adalah suatu yang
dibutuhkan bagi kehidupan manusia, akan tetapi tidak mencapai tingkat dharury Seandainya
kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak
kehidupanitu sendiri, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberi kemudahan dalam
kehidupannya.10
9
Ibid
10
Abdul Aziz Dahlan ct al, Ensiklopedi Hukum Islam (Cet III; Ichtiar Baru Van Hoeve,) Hal :1145
11
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh Jilid 2 (Cet.I:Jakarta:Logos Wacana Ilmu) Hal :334
12
Nasrun Hareon, Ushul fiqh (cet.II:Jakarta: Logos Wacana Ilmu) Hal :121
13
Abu Ishak Assyathaibi, Al Muwafaqad fi Ushul asy-Syariah. Jilid IV (Beirut; Dar al-Kutub al -Ilmiyah) Hal :207
7
Adapun pandangan ulama Hanafi terhadap maslāhah mursālah terdapat penukilan yang
berbeda. Menurut al-Hamidi banyak ulama Hanafi yang tidak mengamalkannya, namun menurut
Ibnu Qudaimah, sebagian ulama Hanafi menggunakan maslāhah mursālah, tampaknya pendapat
ini lebih tepat karena kedekatan metode ini dengan istihsān di kalangan ulama Hanafiah.14 Begitu
pula pada pandangan ulama Syafi’iyah ada perbedaan pendapat. Al-Amidi dan Ibnu al-Hajib
dalam kitabnya al-Bidākhsyi, mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menggunakan maslahah
mursalah, karena Syafi’i sendiri tidak pernah menyinggung metode ini dalam kitabnya al-
Risālah. Namun ulama lain seperti al-Ghazali menukilkan bahwa imam Syafi’i pernah
menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya
dalam qiyas.15
Adapun kalangan ulama yang menolak penggunaan maslāhah mursālah adalah al-Zahiriyah,
Bahkan dikabarkan bahwa mazhab Zahiriyah merupakan mazhab penentang utama atas
kehujjahan maslāhah mursālah. ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu
pula Qādhi al-Baidhāqi juga menolak penggunaan maslāhah mursālah dalam berijtihad.
Berikut ini akan dijelaskan perbedaan pendapat antara kalangan mazhab ushul yang menerima
dan yang menolak serta argumentasi mereka masing-masing.
a. Kelompok pertama mengatakan bahwa maslāhah mursālah adalah merupakan salah satu
dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syariah. Adapun argumentasi kelompok ini adalah:
1. Adanya taqrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’az bin Jabal yang akan menggunakan
ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Alquran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan
sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu
yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari
dukungan nash.
2. Adanya amaliah praktek yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi tentang penggunaan
maslāhah mursālah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa
saling menyalahkan. Misalnya, para sahabat telah menghimpun Alquran dalam satu mushaf, dan
ini dilakukan karena khawatir Alquran bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak
pula ada larangannya. Pengumpulan Alquran dalam satu mushaf ini, semata-mata demi
kemaslahatan. Dan dalam prakteknya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah yang
sama sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang melarang atau menyuruhnya.Sesungguhnya para
sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah sesuai dengan tujuan syara’, maka harus
diamalkan sesuai dengan tujuan itu. Jika mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan
14
Ibid
15
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Musytasyfa fi ilmi al-Ushul (Beirut; Dar al -Kutub al-Ilmiyyah,) Hal :311
8
tujuan syariat dan hal itu dianggap batal dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, berpegang
kepada mashlahat adalah suatu kewajiban.16
3. Suatu maslahat bila nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat
hukum (Syari’), maka menggunakan maslahat tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i,
meskipun tidak ada dalil khusus ynag mendukungnya. Sebaiknya apabila tidak digunakan untuk
menetapkan suatu kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan
yang dimaksud oleh syar’i. Karena itu dalam menggunakan maslahah mursalah itu sendiri tidak
keluar dari prinsip-prinsip syara’.
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maslāhah mursālah tidak dapat diterima sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum. Adapun argumentasi mereka adalah:
1. Bila suatu maslahat ada petunjuk syar’i yang membenarkannya, maka ia telah termasuk
bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara’
berarti mengakui akan kurang lengkapnya Alquran dan sunnah Nabi.
2. Beramal dengan maslahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menurut
hawa nafsu. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan maslāhah mursālah sebenarnya karena
tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya.
3. Menggunakan maslahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan
munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang mengakibatkan seseorang teraniaya atas
nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak
boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
16
Romli SA, Muqaranah Muzahib fii Ushul (Cet, I, Jakarta: Gaya Media Pratama) Hal :168
17
Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al Islami (Mesir; Mathba’ah Dar al-Ta’lif) Hal: 176
9
4. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang tidak mendapat dukungan dari
nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasa
berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan
antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum.
18
Drs.Deding Siswanto Op,Cit
10
BAB III
PENUTUP
1. Masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan
hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
2. Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3, yaitu maslahah mu’tabarah,
maslahah mulghoh dan maslahah mursalah. Ulama’ ushul fiqh membagi maslahah menjadi 3,
yaitu maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah.
a. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang
diduga atau di asumsikan.
b. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau
kemaslahaan khusus
c. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syara’
11
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr. Rachmat syafei, MA, Ilmu Ushul fiqih, Jakarta :Pustaka Setia.
Zurifah Nurdin, M.Ag, Ushul fiqh 1, Bengkulu
Rachmat Syafei, Op, cit.
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqiyah (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada)
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progessif)
Al-Ghazali, Al-Mustafa min Al-Ilmi al-Ushul (Beirut: al Resalah)
Ibid
Abdul Aziz Dahlan ct al, Ensiklopedi Hukum Islam (Cet III; Ichtiar Baru Van Hoeve,)
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh Jilid 2 (Cet.I:Jakarta:Logos Wacana Ilmu)
Nasrun Hareon, Ushul fiqh (cet.II:Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
Abu Ishak Assyathaibi, Al Muwafaqad fi Ushul asy-Syariah. Jilid IV (Beirut; Dar al-Kutub al -
Ilmiyah)
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Musytasyfa fi ilmi al-Ushul (Beirut; Dar al -Kutub al-Ilmiyyah,)
Romli SA, Muqaranah, Muzahib fii Ushul (Cet, I, Jakarta: Gaya Media Pratama)
Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al Islami (Mesir; Mathba’ah Dar al-Ta’lif)
12
13