Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Pendidikan
Inklusi
FAKULTAS TARBIYAH
1444 H/ 2022 M
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusif merupakan seseuatu yang baru di dunia pendidikan
Indonesia.Istilah pendidikan inklusif atau inklusi, mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika
konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan
pernyataan tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.Oleh karena itu, untuk mendorong kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan
lingkungan belajar yang kondusif, baik tempat belajar, metode, sistem penilaian, sarana
dan prasarana serta yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya media pendidikan yang
memadai sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Hal ini menunjukkan bahwa anakanak berkebutuhan khusumendapatkan kesempatan
yang sama dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika ditinjau dari
sudut pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda dengan anak normal pada
umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka membutuhkan layanan
pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus Pemerintah sebagai
1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Mengenai Gangguan Bicara dan Bahasa (Speech Delay)
2. Jelaskan Mengenai Gangguan Mental (Skizofrenia, Kleptomania, Obsesif Komplusif )
3. Jelaskan Mengenai Kesulitan Belajar: Difleksia, Disgrafia, Diskalkulia
4. Jelaskan Mengenai Gifted Indigo
5. Jelaskan Mengenai Tahapan Identifikasi ABK (2)
6. Jelaskan Mengenai Metode dan Teknik dalam Identifikasi ABK
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Gangguan Bicara dan Bahasa (Speech Delay)
2. Untuk Mengetahui Gangguan Mental (Skizofrenia, Kleptomania, Obsesif Komplusif
)
3. Untuk Mengetahui Kesulitan Belajar: Difleksia, Disgrafia, Diskalkulia
4. Untuk Mengetahui Gifted Indigo
5. Untuk Mengetahui Tahapan Identifikasi ABK (2)
6. Untuk Mengetahui Metode dan Teknik dalam Identifikasi ABK
BAB II
PEMBAHASAN
Keterlambatan bicara pada anak merupakan salah satu bentuk gangguan bicara yang
banyak dikemukakan oleh para ahli. Hockenberry & Wilson (2009) menjelaskan bahwa
gangguan bicara memiliki berbagai bentuk dan penyebab. Bentuk masalah gangguan bicara
yang tertinggi dan sering terjadi adalah keterlambatan bicara. Sehingga apabila anak telah
menunjukkan tanda-tanda keterlambatan bicara, maka orang tua perlu waspada untuk segera
melakukan deteksi dan pemeriksaan lebih lengkap agar perkembangan anak tetap sesuai
dengan usia tumbuh kembangnya (Campbell, et all, 2003).1
Anak dengan keterlambatan bicara bisa di deteksi berdasarkan kondisi yang terjadi
pada anak. Gambaran umum anak dengan keterlambatan bicara dalam penelitian ini yaitu
kemampuan anak dalam menggunakan kemampuan berbicaranya lebih lambat daripada
1
Qurotul Aini, Putri Alifia, “Gangguan Keterlambatan Berbicara (Speech Delay) Pada Anak Usia 6
Tahun Di RA An-Nuur Subang”, Ash-Shobiy: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini dan Al-Qur’an,
Vol 1 No 1 (2022), hal.12-13. https://ejurnal.iiq.ac.id/index.php/Ash-Shobiy/article/view/434
2
teman seusianya (Aini, 2022). Ditinjau dari psikologi perkembangan anak, Hurlock (2003)
mendefinisikan jika anak terlambat bicara, ketika anak berada pada perkembangan bicara
yang berada di bawah kemampuan bicara anak seusianya, hal ini dapat dilihat dari artikulasi
dan ketepatan penggunaan kata. Selain itu, anak lebih senang menggunakan bahasa isyarat
seperti bahasa bayi sehingga orang lain yang bukan merupakan keluarga inti akan kesulitan
memahami isyarat yang ditunjukkan anak. Kondisi ini sesuai dengan temuan penelitian yaitu:
Pengucapan kata-kata yang tidak jelas dan tepat menjadi ciri khas anak yang
mengalami keterlambatan bicara. Kondisi ini banyak terjadi tidak hanya pada anak di satu
daerah, namun menjadi masalah global. Kriteria ini menjadi deteksi awal anak dengan
keterlambatan bicara, dengan sebelumnya dilakukan screening tentang apakah ada masalah
fisik penyerta. Anak dengan keterlambatan bicara akan sulit dalam mengucapkan kata-kata
dengan tepat dan benar. Artikulasi dan gerak bibir serta lidah terlihat kaku, serta suara yang
dikeluarkan lirih (Tjandrajani, Dewanti, Burhany, & Widjaja, 2016)
Kondisi anak dengan keterlambatan bicara akan menjadi bias apabila guru tidak peka
terhadap ekspresi yang ditunjukkan oleh anak. Membaca dan memahami tanda anak dengan
keterlambatan bicara juga menuntut guru untuk memahami berbagai kondisi peserta didik.
Peran guru penting untuk selalu melakukan evaluasi dan validasi perkembangan peserta
didiknya terutama guru anak usia dini (Aini, 2022). Berbagai macam peserta didik yang unik,
tentunya dapat dikelola dengan baik apabila guru dapat memahami masing masing
perkembangan dari peserta didiknya khususnya dalam hal ini adalah mengkaji perkembangan
bicara peserta didiknya. Sehingga kondisi khas anak dengan keterlambatan bicara dapat
dipahami oleh guru secara cepat dan tepat.
3
kata-kata sehingga kemudian membiasakan untuk menggunakan isyarat non verbal. Hurlock
(2003) mendeskripsikan berbagai isyarat anak dengan keterlambatan bicara adalah sering
menunjukkan respon seperti perubahan mimik wajah, gerakan motoric, maupun sentuhan.
Selain itu anak juga sering hanya mengeluarkan suara yang tidak mudah dikenali oleh semua
orang. Tanda ini sesuai dengan temuan penelitian sebagai berikut.
“Saat bermain tidak terjadi komunikasi sama sekali CL dengan teman-temannya dan
CL hanya memilih tersenyum ketika temannya berbicara kepadanya”. “CLmengerjakan
tugas dengan begitu tenang dan teliti. CL juga mengerjakan lumayan cepat. Setelah
tugasnya selesai CL mendekati temannya yang belum selesai untuk melihat lihat. Ketika itu
peneliti mencoba mengajak berbicara CL, tetapi CL hanya tersenyum malu dan kemudian
pergi.”
Isyarat yang diberikan oleh anak berkaitan erat dengan proses perkembangan bicaranya.
Anak akan cenderung menggunakan bahasa isyarat karena merasa kesulitan menggunakan
bahasa verbal yang normal digunakan anak anak anak seusianya (aini 2022). Proses
penggunaan bahasa isyarat terjadi ketika anak merasa bahwa kata yang disampaikan tidak
pernah dipahami oleh orang lain, disamping memori tentang perbehendaraan kata dari anak
juga minimal (Curtin & Hufnagle, 2010). Sehingga anak akan menginternalisasi informasi
kemudian memberikan respons dan menyampaikannya menggunakan isyarat. Proses yang
terjadi berulang ulang akan membentuk anak untuk memberikan isyarat atau respon non
verbal daripada menyampaikan dengan kata kata seperti kebanyakan anak seusianya.
4
keterlambatan bicara pada anak. Hal ini berarti bahwa keterlambatan bicara anak menurut
Papalia adalah disebabkan oleh adanya kecacatan fisik yang menyertai perkembangan anak.2
Perkembangan kognitif anak pada usia pra sekolah meliputi keterampilan berbahasa
dengan cara menirukan secara spontan bahasa yang didengar (Hurlock, 2003). Terdapat dua
macam peniruan oleh anak saat berbicara dan harus dibedakan dengan tepat. Pertama
peniruan spontan bahasa orang lain seperti orang tua, dan kedua adalah peniruan yang
dilakukan anak sesudah menerima perintah. Luaran pada kedua proses ini akan berbeda, pada
jenis yang kedua anak akan cenderung menyederhanakan kata-kata yang dirasa lebih mudah
baginya (Hoover, Sterling, & Storkel, 2011).
Sehingga anak akan cenderung dapat berbicara dengan baik apabila memiliki model
yang baik untuk ditiru. Seperti halnya dalam temuan penelitian berikut : “Ayah CL meminta
agar CL lebih keras menjawab pertanyaan dari peneliti tapi CL malah memilih lari menuju
ruang tamu dalam lagi kemudian bermain handphonenya lagi.” “Karena CL tidak memiliki
teman bermain di rumah, kakaknya sudah dewasa sudah memiliki urusan sendiri, dan saya
pagi sampai siang bekerja di puskemas dan malam hari buka praktik di rumah, sehingga
terkadang dia memilih untuk main bersama tetangga itu pun juga jarang. Apalagi CL ini
ngomongnya agak tidak jelas karena dia dulu terlambat bicaranya dan memiliki badan yang
besar jadi dia lebih malas untuk beraktifitas.”
Hasil paparan data diatas menunjukkan bahwa anak dengan keterlambatan bicara dapat
disebabkan karena tidak adanya model yang dapat ditiru dan diserap oleh anak berkaitan
dengan fungsi berbicara anak. Penelitian oleh Overby, dkk (2012) mengkaji tentang aspek
keluarga pada anak dengan keterlambatan bicara. Anak dengan keterlambatan bicara sering
terjadi pada anak dengan orang tua yang memiliki mobilitas tinggi, orang tua dengan masalah
kesehatan, dan orang tua dengan perceraian. Sejalan dengan kasus CL, CLsejak usia 3 tahun
harus diasuh oleh orang tua asuh dikarenakan orang tua yang harus menjalani perawatan
intensif. Keterikatan (bonding) orang tua dengan anak sebagai lini pertama role model di
rumah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan bicara anak, serta apapun yang
anak ingin ungkapkan (Sasikala & Cecil, 2016).
2
Qurotul Aini, Putri Alifia, “Gangguan Keterlambatan Berbicara (Speech Delay) Pada Anak Usia 6
Tahun Di RA An-Nuur Subang”, Ash-Shobiy: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini dan Al-Qur’an,
Vol 1 No 1 (2022), hal.14-15. https://ejurnal.iiq.ac.id/index.php/Ash-Shobiy/article/view/434
5
Faktor penyebab selanjutnya adalah motivasi anak yang kurang untuk bicara. Kondisi
ini terjadi apabila anak merasakan bahwa secara psikologis bicara adalah sebagai ancaman
(Miller & Schaaf, 2008). Hurlock (2003) menjelaskan apabila anak dengan motivasi yang
kuat dalam belajar akan mengalami perkembangan lebih baik daripada anak dengan motivasi
yang kurang. Belajar bicara merupakan proses yang terus menerus yang dilalui oleh anak,
sehingga apabila anak mengalami hambatan, maka proses akan sedikit melambat (Hoover et
al., 2011). Anak dengan keterlambatan bicara menunjukkan sikap enggan untuk berbicara dan
memilih untuk tidak berbicara (National Institute of Child Health and Human Development.,
2006). Seperti halnya pada temuan hasil penelitian berikut :
“Setelah selesai menaruh dalam loker, CL berjalan menuju halaman sekolah, terlihat
CL tidak ikut bermain bersama teman-temannya, dia hanya duduk termenung melihat teman-
temannya bermain. Temannya yang mencoba mengajaknya berbicarapun tidak dihiraukan,
dan dia memilih untuk diam”. “Kalau untuk perkembangan segala aspek kecuali berbicara
lumayan baik, Cuma terkadang dia terlihat lebih malas dalam mengoptimalkan
perkembangannya”.
Bentuk upaya yang dilakukan orang tua merupakan tugas perkembangan sesuai dengan
teori Maglaya (2004) tentang tugas perkembangan kesehatan keluarga (Janowitz, Stanback,
& Boyer, 2012). Keluarga sudah memilih upaya untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dialami. Kedekatan orang tua dengan anak memberikan pengaruh dan motivasi kepada anak
dalam meningkatkan kemampuan berbicara (Lunkenheimer et al., 2007). Sehingga dapat
disimpulkan jika kedekatan orang tua dan anak akan meningkatkan upaya orang tua untuk
6
menyelesaikan masalah anak dengan keterlambatan bicara yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas verbal anak dalam berbicara.
2. Upaya Penanganan Yang Dilakukan Guru dan Orang Tua Untuk Meningkatkan
Kemampuan Anak Dengan Keterlambatan Bicara (Delayed Speech)
Termasuk pada perkembangan anak dengan keterlambatan bicara. Kondisi ini perlu
dilakukan upaya penanganan dengan tepat berdasarkan kondisi yang sedang dialami anak
(Tarshis et al., 2007). Upaya penanganan harus dilakukan secara berkelanjutan dan terjadi
komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua (Amanda Soebadi (Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM), 2013). Hal ini bertujuan agar anak tetap mendapatkan
penanganan yang tepat untuk menunjang peningkatan kemampuan yang diharapkan.3
Guru sebagai seorang pendidik memiliki tugas penting dalam memberikan upaya
penanganan anak dengan keterlambatan bicara. Upaya yang bisa dilakukan guru bisa m
memberikan upaya penanganan anak dengan keterlambatan bicara. Upaya yang bisa
dilakukan guru adalah bentuk stimulasi dan apresiasi pada anak pada setiap kemampuannya
(Sayeki, Earle, Eslinger, & Whitenton, 2017). Stimulasi tersebut seperti tertera dalam temuan
penelitian sebagai berikut :
Upaya guru dengan memberikan stimulasi terus menerus memberikan kesempatan anak
untuk melakukan refleksi dan meningkatkan kepercayaan diri. Peningkatan kepercayaan diri
akan meningkatkan motivasi anak dalam berbicara (Hoover et al., 2011). Guru dapat
menggunakan berbagai pendekatan salah satunya adalah bermain peran (Siska, 2011).
3
Qurotul Aini, Putri Alifia, “Gangguan Keterlambatan Berbicara (Speech Delay) Pada Anak Usia 6
Tahun Di RA An-Nuur Subang”, Ash-Shobiy: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini dan Al-Qur’an,
Vol 1 No 1 (2022), hal.16-17. https://ejurnal.iiq.ac.id/index.php/Ash-Shobiy/article/view/434
7
Metode bermain peran memberikan wahan bagi anak dalam melakukan pemahaman tentang
peran yang dimainkan serta dorongan dalam mengekspresikannya seperti temanteman yang
lain. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan personal anak dan guru. Anak akan lebih
mudah mengungkapkan hambatannya dan guru akan lebih mudah memfasilitasi anak untuk
berlatih berbicara (Tarshis et al., 2007).
Selain guru, waktu anak dalam kesehariannya akan lebih banyak dengan orang tuanya.
Rerata waktu anak dengan orang tua berdasarkan riset adalah 10 jam tatap muka (Davis et al.,
2015). Waktu tersebut cukup bagi anak dalam melalui proses belajar, mengekspresikan
emosi, dan bersosialisasi. Hurlock (2003) menjelaskan dengan waktu yang cukup intensif,
akan meningkatkan kemampuan bicara anak, seperti dalam temuan penelitian berikut :
“Ketika peneliti dan Bu Ida duduk di kursi ruang tamu depan, kemudian bu cucu
berteriak memanggil CL yang sedang terlihat asyik memainkan handphone “ Adik ini lo
mbak Fani, ayo salim dulu” (Adik ini mbak Fani, ayo berjabat tangan dulu). Sekali berteriak
CL tidak menghiraukan, kemudian teriakan kedua CL tetap serius memainkan handphonenya
sampai akhirnya ayah CL bapak Ali dari arah belakang langsung menghampiri CL dan
mengajak CL untuk menuju ruang tamu depan untuk menemui peneliti”.
Berdasarkan paparan data diatas, terlihat orang tua CL memberikan kesempatan lebih
banyak CL untuk merespons stimulus yang diberikan dan intensif. Anak akan merasa
mendapatkan perhatian terhadap setiap tindakan yang dilakukan, hal ini juga meningkatkan
motivasi anak untuk dapat berbicara seperti biasa (Lunkenheimer et al., 2007). Upaya tak
terbatas pada stimulasi anak, namun juga menggunakan berbagai upaya dan metode yang bisa
dilakukan pada anak. Upaya tersebut terlihat pada paparan data berikut :
“Sedari CLkecil kami mengupayakan apapun agar CL bisa berbicara, dari mulai
banyak orang bilang, CL diminta untuk membiasakan meniup balon, memang benar awalnya
CL sama sekali tidak bisa meniup tapi lama kelamaan bisa juga, terus setiap hari mengajak
CL berbicara meski hanya satu menit tapi kita upayakan sesering mungkin, membiasakan
untuk membuka mulut, mengajak untuk bernyanyi dan pada usia 4 tahun sedikit demi sedikit
dia sudah bisa berbicara hingga sekarang meski cadel dan tidak terlalu jelas”.
Bentuk upaya yang dilakukan orang tua merupakan tugas perkembangan sesuai dengan
teori Maglaya (2004) tentang tugas perkembangan kesehatan keluarga (Janowitz, Stanback,
& Boyer, 2012). Keluarga sudah memilih upaya untuk menyelesaikan masalah yang sedang
8
dialami. Kedekatan orang tua dengan anak memberikan pengaruh dan motivasi kepada anak
dalam meningkatkan kemampuan berbicara (Lunkenheimer et al., 2007). Sehingga dapat
disimpulkan jika kedekatan orang tua dan anak akan meningkatkan upaya orang tua untuk
menyelesaikan masalah anak dengan keterlambatan bicara yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas verbal anak dalam berbicara.
Penyakit mental adalah penyakit yang melibatkan gangguan pada fungsi otak yang
boleh menyebabkan perubahan kepada proses pemikiran, perasaan dan tingkah-laku
seseorang yang mengakibatkan gangguan untuk menjalani aktivitas seharian dengan baik.
Contoh-contoh yang termasuk kedalam penyakit mental atau yang biasa disebut juga kelainan
mental antara lain: Depresi, Anxiety Disorder (Rasa Takut), Skizofrenia, Attention Deficit
Hyperactive Disorder (ADHD), Eating disorder sampai kepada tindakan adiksi yang atau
kecanduan terhadap sesuatu yang tidak wajar seperti obat-obatan atau bahan kimia tertentu.
Banyak orang yang mengalami kejanggalankejanggalan yang terjadi pada mentalnya seperti
misalnya merasa stress, depresi takut, maupun gelisah, kondisi tersebut dapat juga dikatakan
sebagai gejala awal dari gangguan mental, namun baru dapat dikatakan sebagai sebuah
gangguan mental apabila perasaan-perasaan tersebut sudah melewati batas kewajaran
sehingga mengganggu keberfungsian sosial atau dapat juga berpengaruh kepada menurunnya
kondisi kesehatan secara jasmani.
9
Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah umpamanya keradangan yang
melemahkan, maka daya tahan psikologiknya pun menurun sehingga ia mungkin mengalami
depresi. Sudah lama diketahui juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan
gangguan jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena
kelahiran, keradangan dan sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. Ia
mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka ini
bereaksi terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.4
1. Skizofernia
Skizofrenia adalah penyakit psikiatrik yang berat yang ditandai dengan halusinasi,
delusi, kehilangan inisiatif dan disfungsi kognitif. Dugaan bahwa skizofrenia mungkin
berhubungan dengan terputusnya konektivitas pada otak mulai muncul pada abad 19 dan 20.
Theodor Maynert (1833-1892), Carl Wernicke (1848-1905) dan Emil Kraepelin(1856-1926)
adalah orang-orang yang menyatakan fungsi otak dan fungsi kognitif adalah hasil dari
integrasi beberapa bagian/ regio otak. Disfungsi neuronal adalah akibat lesi pada bagian
tertentu dari otak maupun kerusakan pada jalur interkoneksi aksonal. Di akhir abad ke-20,
perkembangan teknologi Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Positron Emission
Tomography (PET) menghasilkan pemeriksaan yang lebih baik terhadap regio otak manusia.
4
Berry Choresyo, Soni Akhmad Nulhaqim, & Hery Wibowo,” KESADARAN MASYARAKAT
TERHADAP PENYAKIT MENTAL”, VOLUME: 2,No. 3 hal. 301 – 444,
file:///C:/Users/Hp/Downloads/13587-29787-1-SM.pdf
5
Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked(KJ)., Sp.KJ(K),”Gejala Dan Tanda Gangguan Psikiatri”,( Medan:
Yayasan Al-Hayat 2021)hal.35-37
6
Morgan CJ, Coleman MJ, Ulgen A, et al. “Thought Disorder In Schizophrenia And Bipolar Disorder
Probands”, Their Relatives And Nonpsychiatric Controls : Schizophrenia Bulletin (2017), vol 16:1-13.
10
Bahkan pada 30 tahun terakhir, studi MRI dan PET menghasilkan data pencitraan
yang sangat berharga, yang menunjukkan bahwa skizofrenia tidak terjadi karena kerusakan
satu atau beberapa regio otak saja, tetapi merupakan hasil dari adanya perubahan patologis
pada hubungan antara sistem neuronal. Perkembangan teknik Diffussion Weighted Imaging
(DWI) dan Transfer Ratio Imaging kemudian telah memberikan informasi karakteristik in
vivo lebih jauh tentang proyeksi substansia alba, digunakan untuk mendemonstrasikan
perubahan volume substansia alba dan struktur mielinasi pada pasien, terutama di area frontal
dan parietal. Studi in vivo yang menginvestigasi tentang keterkaitan anatomis pada otak pada
tingkat makroskopik dapat dilihat dengan menggunakan DWI, sebuah tehnik yang mengukur
bagaimana difusi molekul air pada jaringan otak dibatasi oleh sistem serabut substansia alba.
Pada skala mikroskopik, neuron saling berhubungan melalui akson, dendrit dan
terminal sinaps, menghasilkan sirkuit lokal maupun global. Connectome mendeskripsikan
sebuah pola yang lengkap dari elemen-elemen neuronal dan interaksi secara struktural yang
membentuk sebuah sistem neural, dimana informasi diintegrasikan dan di proses dalam otak.
Gambar 2.1. Struktur dan fungsi jaringan otak yang diambil dari data pencitraan/ pemetaan
otak. Keterangan gambar: Data pencitraan/ pemetaan struktur dan fungsi jaringan-jaringan
otak.
a) Substansia alba
b) Regio yang ditandai diinterpretasikan sebagai “node”
11
c) Hubungan secara anatomis dan struktural antara area-area otak dapat diperoleh dari
pemeriksaan pencitraan, sehingga dapat menggambarkan jalur sustansia alba.
d) Hubungan fungsional antar “node” yang diperoleh dari analisa secara korelasi antara
waktu rekam dengan seri dari sebuah fmri atau eeg setiap regio otak.
e) Hubungan antar “node”, merupakan hubungan anatomis dan fungsional yang dapat
direkonstruksi/ dibangun menggunakan teknik pencitraan.
f) Gambaran “graph”, persamaan matematika yang diperoleh dari teknik pencitraan.
Ada beberapa teori psikologis yang mencoba menjelaskan pemikiran pada orang
dengan skizofrenia. Namun demikian belum ada teori yang memuaskan secara umum
mengenai hal ini. Salah satu teori yang dimaksud adalah teori “Over Inclusive Thinking” atau
pemikiran inklusif. Perbedaan berpikir konkret antara orang dengan gangguan skizofrenia
dengan gangguan organik dijelaskan oleh Cameron pada tahun 1994, yang menilai bahwa
orang dengan gangguan skizofrenia tidak dapat mempertahankan batas-batas konseptual
dalam berpikir. Ide yang tidak berkaitan erat dengan konsep yang sedang dibicarakan
bergabung dalam pemikiran pasien. Hal ini menyebabkan jika kita bertanya kepada seorang
orang dengan gangguan skizofrenia, “Apa yang paling penting dari sebuah ruangan? Dinding,
lantai, jendela atau kursi?”, mereka mungkin akan menjawab, “kursi”. Berkurangnya
hubungan yang kuat antara dua pemikiran disebut sebagai asyndesis.
2. Kleptomania
Kleptomania (curi patologis) merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang ditandai
dengan perilaku mencuri berulang. Prilaku tersebut disertai dengan keinginan kuat yang tidak
dapat dikendalikan. Umumnya barang yang dicuri tersebut tidak berharga dan tidak
diperlukan secara pribadi oleh pelaku. Barang curian itu kemudian dibuang, diberikan kepada
orang lain, dikembalikan secara diam-diam atau dikumpulkan. Sebelum melakukan aksi
mencuri, pelaku merasakan peningkatan ketegangan dan merasakan kepuasan setelahnya.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – III, kleptomania
termasuk dalam kelompok gangguan kebiasaan dan impuls (F63).(1) Istilah kleptomania
dikenalkan oleh psikiatri dari Perancis yang bernama Esquirol dan Mark pada abad ke-19.(2)
12
Kleptomania memiliki dampak psikososial seperti penurunan kualitas hidup dan memiliki
konsekuensi hukum.7
Belum ada data pasti mengenai jumlah penderita kleptomania di Indonesia dan di
dunia. Hal ini disebabkan karena seringkali penderita menyembunyikan kondisinya dan baru
meminta pertolongan saat berurusan dengan hukum. Di Amerika Serikat, lembaga survey
epidemiologi menunjukkan prevalensi pencurian sekitar 11,3% dan diduga prevalensi
kleptomania pada populasi pencuri tersebut sekitar 3,8 sampai 24%.(4) Sebuah studi yang
dilakukan pada 791 siswa di Amerika Serikat menunjukkan terdapat 3 orang (0,38%) yang
memenuhi kriteria kleptomania.(5) Dari beberapa studi menunjukkan mayoritas penderita
kleptomania adalah perempuan dengan perbandingan pelaku perempuan dan pria 3:1.(3)(6)
Rata-rata usia pelaku adalah usia dewasa muda (30an), tetapi terdapat laporan onset prilaku
mencuri mulai muncul pada usia paling muda 4 tahun dan paling tua 77 tahun.
7
Yelvi Levani , Aldo Dwi Prastya , Safira Nur Ramadhani, “KLEPTOMANIA: MANIFESTASI KLINIS
DAN PILIHAN TERAPI” Vol. 6 No.1 Februari 2019, hal.32
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/APKKM/article/view/5107/4497
8
Yelvi Levani , Aldo Dwi Prastya , Safira Nur Ramadhani, “KLEPTOMANIA: MANIFESTASI KLINIS
DAN PILIHAN TERAPI” Vol. 6 No.1 Februari 2019, hal.33
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/APKKM/article/view/5107/4497
13
dahulu untuk mengambil barang yang berharga.(9) Ketika penderita ditanya alasan mengapa
mencuri, maka penderita menjawab “saya tidak tahu”. Penderita tidak dapat menjelaskan
tujuan dan alasan mengapa ia melakukan pencurian. Ketika ditangkap dan ketahuan aksinya,
penderita akan mengakui bahwa dia benar-benar melakukan pencurian. Penderita dengan
kleptomania umumnya mempunyai hidup yang layak dan kondisi keuangan yang stabil.
Bahkan beberapa adalah selebriti, mempunyai ijazah akademik yang tinggi dan status sosial
yang tinggi.
3. Obsesif Kompulsif
14
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide atau sensasi yang mengganggu (intrusif).
Suatu kompulsif adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan atau menghindari.
Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan melakukan kompulsi menurunkan
kecemasan seseorang. Tetapi, jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu kompulsi,
kecemasan semakin meningkat.9 Obsesi meningkatkan kecemasan individu, sedangkan
menampilkannya atau melakukan kompulsi dapat menguranginya. Beberapa kompulsi yang
antara lain:10
a) Mengikuti kebersihan dan keteraturan, terkadang dengan ritual tertentu yang dapat
memakan waktu berjam-jam.
b) Menghindari obyek tertentu.
c) Menampilkan kegiatan-kegiatan praktis yang repetitive, anh dan bersifat pencegahan,
misalnya menghitung.
d) Memeriksa berkali-kali untuk memastikan bahwa perilaku yang sudah ditampilkan
benar-benar telah dikerjakan.
e) Menampilkan perilaku tertentu seperti makan dengan sangat perlahan-lahan.
9
Kaplan HI, Sadock BJ. “Buku Ajar Psikiatri Klinis”. (Jakarta: EGC Edisi 2 2010).
10
Muslim,Rusdi.” Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan PPDGJ -III”. (Jakarta : FK Unika
Atma Jaya 2001)
15
Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih jarang di antara golongan kulit hitam
dibandingkan kulit putih. Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi
oleh gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan fobia sosial adalah
kira-kira 25 persen.
Obsesif-kompulsif timbul dari daya-daya instinktif seperti seks dan agresivitas, yang
tidak berada di bawah kontrol individu karena toilet training yang kasar sehingga individu
menjadi terfikasi pada masa anal. Freud mengemukakan beberapa mekanisme defensif utama
yang menentukan kualitas simtom yaitu isolasi, undoing dan reaksi formasi. Sedangkan Adler
memandang obsesifkompulsif sebagai hasil dari perasaan tidak kompeten Isolasi adalah
mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang dari afek dan impuls yang mencetuskan
kecemasan. Jika terjadi isolasi, afek dan impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan
dari komponen ideasional dan dikeluarkan dari kesadaran.
Undoing (meruntuhkan) adalah suatu tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha
untuk mencegah atau meruntuhkan akibat pikiran atau impuls obsesional yang menakutkan.
Reaksi formasi, melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi dan sikap yang secara sadar
dialami yang jelas berlawanan dengan impuls dasar.
Davison dan Neale menjelaskan bahwa salah satu penjelasan yang mungkin tentang
gangguan obsesif-kompulsif adalah keterlibatan neurotransmiter di otak, khususnya
serotonin. Selain itu terdapat pula beberapa bukti tentang keterlibatan faktor genetik dalam
pembentukan gangguan. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik adalah lebih efektif
dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Penelitain klinis telah
mengukur konsentrasi metabolit serotonin, sebagai contoh, 5-hydroxyindoleacetic acid (5-
HIAA) di dalam cairan serebrospinalis dan afinitas sertai jumlah tempat ikatan trombosit
pada pemberian imipramine (yang berikatan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan
telah melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif.
16
Obsesi yang umum bisa berupa kegelisahan mengenai pencemaran, keraguan,
kehilangan dan penyerangan. Penderita merasa terdorong untuk melakukan ritual, yaitu
tindakan berulang, dengan maksud tertentu dan disengaja. Sebagian besar ritual bisa dilihat
langsung, seperti mencuci tangan berulang-ulang atau memeriksa pintu berulang-ulang untuk
memastikan bahwa pintu sudah dikunci. Ritual lainnya merupakan kegiatan batin, misalnya
menghitung atau membuat pernyataan berulang untuk menghilangkan bahaya Obsesi dan
kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum yaitu:
1) Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan
terus-menerus ke dalam kesadaran seseorang.
2) Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi
sentral dan sering kali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan
melawan gagasan atau impuls awal.
3) Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien); yaitu ia dialami
sebagai asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai
makhluk psikologis.
4) Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau kompulsi tersebut,
orang biasanya menyadari sebagai mustahil atau tidak masuk akal.
5) Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan suatu
dorongan yang kuat untuk menahannya. Penderita bisa terobsesi oleh segala
hal dan ritual yang dilakukan tidak selalu secara logis berhubungan dengan
rasa tidak nyaman yang akan berkurang jika penderita menjalankan ritual
tersebut. Penderita yang merasa khawatir tentang pencemaran, rasa tidak
nyamannya akan berkurang jika dia memasukkan tangannya ke dalam saku
celananya. Karena itu setiap obsesi tentang pencemaran timbul, maka dia akan
berulang-ulang memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
Pola yang paling sering ditemukan adalah suatu obsesi akan kontaminasi, diikuti oleh
mencuci atau disertai oleh penghindaran obsesif terhadap objek yang kemungkinan
terkontaminasi. Objek yang ditakuti sering kali sukar untuk dihindari (sebagai contoh,
feses,urin,debu, atau kuman). Pasien mungkin secara teru-menerus menggosok kulit
tangannya dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin tidak mampu pergi keluar
rumah karena takut akan kuman.
17
Pola kedua yang tersering adalah obsesi keraguan, diikuti oleh pengecekan yang
kompulsi. Obsesi sering kali melibatkan suatu bahaya kekerasan (seperti lupa mematikan
kompor atau tidak mengunci pintu). Pengecekan tersebut mungkin menyebabkan pasien
pulang beberapa kali ke rumah untuk memeriksa pintu yang belum terkunci. Pasien memiliki
keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional, saat mereka selalu merasa bersalah
karena melupakan atau melakukan sesuatu. Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan
semata-mata pikiran obsesional yang mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut
biasanya berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang dicela oleh
pasien.
Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau ketepatan, yang
dapat menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah menghabiskan waktu
berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya. Penumpukan obsesi dan kompulsi
religius adalah sering pada pasien obsesifkompulsif. Trichotilomania (menarik rambut
kompulsif) dan menggigit kuku mungkin merupakan kompulsi yang berhubungan dengan
gangguan obsesif kompulsif.
d. Psikoterapi
Terapi ini dikenal pula dengan sebutan flooding, diciptakan oleh Victor Meyer (1996),
dimana pasien menghadapkan dirinya sendiri pada situasi yang menimbulkan tindakan
kompulsif (seperti memegang sepatu yang kotor) dan kemudian menahan diri agar tidak
18
menampilkan ritual yang biasa dilakukan (yaitu mencuci tangan). Mencegah individu
menampilkan perilaku yang menjadi ritualnya membuatnya menghadapi stimulus yang
membangkitkan kecemasan, sehingga memungkinkan kecemasan menjadi hilang.
e. Farmakoterapi
19
penggunaan istilah learning disability menjadi tidak populer dan tidak pernah
digunakan lagi. Kini lebih sering digunakan istilah yang lebih manusiawi, learning
differences, yang dalam bahasa Indonesia diartikan “perbedaan cara belajar”. Istilah lain yang
sering digunakan adalah anak dengan kebutuhan khusus (children with special needs).
Definisi yang dikemukakan The National Joint Committee for Learning Disability
(NJCLD) yang mengemukakan bahwa “Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok
kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan
penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, bernalar, atau
kemampuan dalam bidang studi matematik. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga
disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar
mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (seperti; gangguan
sensoris, tunagrahita, hambatan social dan ekonomi) atau berbagai pengaruh lingkungan
(misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, factor-faktor psikogenik)
berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammill et al., 1981,
dari Mulyono, 1996).12
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities
merupakan istilah generik yang merujuk kepada keragaman kelompok-kelompok yang
mengalami gangguan di mana gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang
signifikan yang dapat menimbulkan gangguan proses belajar.13
12
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal. 160
13
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal. 161-162
20
perilaku anak yang lamban belajar dengan anak yang abnormal. Hanya saja, anak
yang lamban belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak.14
c. Masalah organisasi berpikir Anak yang lamban belajar akan mengalami kesulitan
dalam menerima penjelasan tentang dunia luas. Mere ka tidak mampu berpikir secara
normal. Misalnya, anak yang sulit membaca akan sulit pula merasakan atau
menyimpulkan apa yang dilihatnya.
d. Kekurangan gizi Berdasarkan penelitian terhadap anak dan binatang, ditarik suatu
kesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara kelambanan belajar dengan kekurangan
gizi. Walau pendapat tersebut tidak seluruhnya benar, tetapi banyak bukti menyatakan
bila pada awal pertumbuhan seorang anak sangat kekurangan gizi, keadaan itu akan
memengaruhi perkembangan saraf utamanya, dan tentunya membawa dampak yang
kurang baik dalam proses belajar.
e. Faktor lingkungan Pengaruh lingkungan, gangguan nalar, dan emosi, ketiganya
mempunyai ciri khas yang sama, yaitu dapat mengakibatkan kesulitan belajar. Yang
dimaksud dengan faktor lingkungan ialah hal-hal yang tidak menguntungkan yang
dapat mengganggu perkembangan mental anak, misalnya keluarga, sekolah,
masyarakat, dan lain-lain. Gangguan tersebut mungkin berupa kepedihan hati, tekanan
keluarga, dan kesalahan dalam menangani anak. Meskipun faktor ini dapat
memengaruhi, tetapi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya
hambatan. Yang pasti, faktor tersebut bisa mengganggu ingatan dan daya
konsentrasinya. Dan dari pengalaman dapat dipetik pelajaran bahwa lingkungan yang
tidak menguntungkan sedikit banyak bisa memengaruhi kecepatan belajar.
3. Karakteristik Anak Berkesulitan
Belajar Ciri-ciri anak berkesulitan belajar seringkali kabur dan tidak terlihat secara fisik
sehingga mereka terabaikan. Hal ini berbeda dengan individu berkebutuhan khusus lainnya,
yang biasanya dapat “terlihat”. Tak heran jika anak berkesulitan belajar sering tidak memiliki
kesempatan tertolong karena orang tua tidak tahu keadaan anaknya, pendidik juga belum
tahu, tidak mau tahu atau pun merasa sudah tahu. Segelintir orang bahkan menganggap hal
ini sebagai salah didik orang tua dan sebuah kutukan. Fatalnya, usaha orang tua yang sudah
memahami keberadaan anaknya untuk menyosialisasikannya justru dianggap menggurui
guru.15
14
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal.162
15
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal. 163
21
Di sekolah reguler, anak berkesulitan belajar sering menerima penolakan atau justru
sikap permisif/pembiaran dari guru dan lingkungan sekolahnya sehingga tidak dapat
mengembangkan potensinya dalam bidang akademis. Akibatnya, anak bukan mengalami
perbaikan ketika sekolah namun menjadi lebih merosot karena sikap-sikap tersebut. Dan
akhirnya mereka dapat menuju pada kehancuran dan kegagalan pendidikan, kemudian
menjadi beban bagi orang tua, masyarakat dan negara. Anak berkesulitan belajar seringkali
tidak dapat terdeteksi pada anak di bawah usia sekolah. Namun ada beberapa ciri yang
terlihat dan bisa dijadikan pegangan bagi para orang tua untuk mulai memikirkan tindakan
terbaik pada anak, yaitu: Kaku dalam gerakan, sulit untuk melakukan gerakan seperti
berjalan, melempar, melompat, berlari, atau melempar di mana dibutuhkan otot-otot besar
untuk melakukannya (keterampilan motorik kasar). Sulit melakukan aktivitas yang
membutuhkan otot kecil untuk menggerakkan jari-jari dan pergelangan sebaik koordinasi
kedua mata dan koordinasi kedua tangan seperti mengikat tali sepatu (keterampilan motorik
halus). Dapat mendengar, tetapi memiliki kesulitan menerapkan dalam beberapa dimensi dari
proses auditori, termasuk “keawasan” fonologi, diskriminasi auditori, auditori memori,
auditori pentahapan dan memadukan (proses auditori).
Dapat melihat namun mereka menghadapi kesulitan dalam diskriminasi visual dari
huruf dan kata, memori visual, atau kesimpulan visual (proses visual). Kesulitan dalam
menambah bicara, mengerti dan mempergunakan bahasa. Gangguan pemusatan perhatian,
termasuk perilaku hiperaktif, impulsivitas, tidak dapat berkonsentrasi, dan tidak dapat
mengatur atau menata tingkat aktivitas sesuai dengan kebutuhannya pada saatnya. Sering
juga beraksi seperti sedang dikendalikan oleh motor, berlari dan memanjat secara berlebihan,
melakukan gerakan-gerakan yang konstan, gelisah dan menggeliat ketika duduk, serta
membuat suara-suara keributan. anak dengan masalah pemusatan perhatian, memiliki
kesulitan berkonsentrasi pada sebuah tugas, mudah terganti perhatian, cepat berpindah
aktivitas satu kepada yang lain, serta sulit menyelesaikan apa yang dimulai. Ketika menginjak
sekolah dasar, orang tua sering mulai dapat melihat dan merasakan sesuatu, kadang-kadang
muncul kebingungan karena di sisi lain anak terlihat sangat cerdas tapi nilai rapor di sekolah
tidak menggembirakan karena tulisannya sangat jelek, menolak membaca, dan sebagainya. 16
16
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal. 164
22
Pada usia 6 sampai 12 tahun biasanya merupakan masa mulai memperlihatkan
kegagalan-kegagalan dalam mengikuti pembelajaran dan sosialisasi. Pada usia 7 sampai 8
tahun ciri-ciri terkadang masih diabaikan namun ketika anak sudah mencapai usia 9 tahun,
kompromi untuknya makin terbatas sebab tuntutan akademis makin meningkat. Pada fase ini
cap nakal dan bodoh sering menjadi label yang diterima dari lingkungannya. Begitu pula
penolakan dari sekolah regular mulai terjadi dan terasa oleh orang tua. Berkesulitan belajar
spesifik pada proses tahapan pembelajaran dikategorikan dengan ciri-ciri seperti di bawah ini
dengan harapan pencapaiannya dalam:
2)Harapan pencapaian:17
17
Imam Yuwono, H.Utomo,” pendidikan Inklusi”, (Yogyakarta: Deepublish 2021) hal. 165-166
23
i) Mampu menceritakan kembali apa yang telah dibaca dan memperkirakan apa yang
akan terjadi berdasarkan apa yang telah terjadi
a) Jarang menikmati pekerjaan menulis dan berespons negatif pada kegiatan menulis
b) Tulisan tangan tidak mudah dibaca
c) Mengalami kesulitan ketika menyalin instruksi dari papan tulis, bicara dan tulisan di
kertas
d) Jarang menyelesaikan tugas menulis
e) Pekerjaan menulis kurang terorganisasi dan sulit diikuti
f) Lemah dalam tata bahasa atau tanda baca sering hilang
g) Ide menulis tidak menyatu dan terarah
h) Ide tidak mudah diekspresikan dan ditulis dengan baik
i) Pekerjaan menulis sering sulit dimengerti
j) Lemah dalam mengeja
k) Huruf dan kata sering berlawanan atau terbalik
4).Harapan pencapaian:
24
d) banyak kesalahan pengertian, sering memilih operasi hitungan yang salah (sering
gagal membedakan + &,: x dan sebagainya)
e) Sulit mengerti konsep matematika
f) Jarang menggunakan cara matematika dengan cepat secara oral dan dalam pekerjaan
tulisan
g) Tidak dapat mengingat fakta matematika (meskipun saat ini banyak anak yang tidak
menghafal fakta matematika dalam ingatannya)
h) Tidak dapat mengerjakan soal cerita matematika
Anak gifted and talented adalah anak yang tingkat kecerdasannya (IQ) antara 125
sampai dengan 140. Di samping memiliki IQ tinggi, juga bakatnya yang sangat
menonjol,seperti ;bakat seni musik, drama, dan ahli dalam memimpin masyarakat. Anak
gifted diantaranya memiliki karakteristik; mempunyai perhatian terhadap sains, serba ingin
tahu, imajinasinya kuat,senang membaca, dan senang akan koleksi.
Identifikasi anak gifted merupakan hal yang perlu dilakukan mengingat keberadaan
anak gifted khususnya di sekolah reguler seringkali tidak mendapatkan perhatian khusus,
sehingga anak-anak gifted tidak dapat mengembangkan potensinya dengan optimal, dan
berdampak pada munculnya perilaku maladaptif dan anak akan menunjukkan kondisi
19
David Syasli, Agustina, Irfani Basri., Mengenali Gifted Pada Anak Melalui Perkembangan Bahasa
DOI: 10.26418/ekha.v3i1.34424 Tth
25
underachiver, dimana pada dasarnya mereka memilki kemampuan kognitif yang tinggi akan
tetapi hasil belajarnya rendah 20
Secara harfiah indigo adalah nama warna antara biru dan ungu, yang kerap pula
disebut dengan nila. Istilah indigo berasal dari bahasa spanyol yang berarti “nila”. Warna ini
merupakan kombinasi biru dan ungu, Diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki
spectrum warna pelangi, dari merah sampai ungu Istilah anak indigo dikemukakan oleh
Nancy Ann Torp, Seorang konselor, pada tahun 1970. Dia meneliti warna aura manusia dan
menghubungkannya dengan kepribadian. Mereka yang memiliki aura nila atau indigo ini
ternyata anak-anak yang dianugerahi kelebihan, khususnya kemampuan indera keenam,
dengan beberapa ciri 27 khas yang mereka miliki yaitu berinteligensi tinggi, berintuisi tinggi,
dan sangat sensitif dengan lain-lainnya.21
Istilah indigo atau indira ini menunjukkan warna aura dalam warna kehidupan
mereka. Indigo sendiri juga terkait dengan indra keenam yang terletak pada cakra mata ketiga
yang menggambarkan intuisi dan kekuatan batin yang luar biasa tajam yang melebihi
kemampuan orang kebanyakan. Kebanyakan dari mereka memiliki kelebihan bakat yang luar
biasa atau secara akademik mempunyai prestasi. Anak indigo juga mampu menunjukkan
empati yang sangat dalam dan mudah merasa iba serta tampak bijaksana untuk anak
seusianya22
Banyak orang yang mengatakan bahwa anak indigo dapat membantu memperbaiki
keadaan disekitar. Namun, banyak juga yang mengatakan bahwa anak indigo adalah anak
yang memiliki kelainan perilaku karena perilakunya terlihat lebih aktif dan berbeda dengan
anak yang lainnya atau hiperaktif sehingga tidak bisa berkembang dengan baik. Adapun
beberapa tipe anak indigo adalah sebagai berikut:14
1. Tipe Humanis
Ada beberapa macam anak indigo, dan semua itu memiliki perilaku yang berbeda-
beda, salah satunya adalah humanis. Pada tipe humanis, anak indigo akan lebih mudah
bekerja sama dengan orang yang ia temui. Perilaku menonjol saat ini adalah hiperaktif
sehingga kelak perhatiannya mudah tersebar
2. Tipe konseptual
Macam yang lainnya adalah tipe konseptual. Anak indigo tipe ini akan lebih
menikmati dalam bekerja sendiri dengan proyek-proyek yang ia ciptakan sendiri Sementara
itu perilaku yang menonjol yang ada dalam diri anak indigo tipe konseptual adalah ia suka
mengontrol perilaku orang lain
3. Tipe artis
20
H. Amka, M.Si,Mirnawati, M.Pd, Asri Indah Lestari, Siti Fatimah., ii “Identifikasi Anak
Berbakat/Gifted di Sekolah Inklusi” (Nizamia Learning Center, Juli 2021) h.71
21
Nur Alam Soecipto, Rahasia Besar Anak Indigo, (Yogyakarta : IN AzNa books, 2011), h. 5
22
http://hendynoize.net/2013/10/01/Pengertian-Tentang-Anak-Indigo/
26
Tipe artis ini merupakan sifat anak indigo yang salah satunya adalah menyukai
pekerjaan yang berhubungan dengan dunia seni.Perilaku yang menonjol yang ada dalam diri
anak tipe ini adalah sensitive dan kreatif. Ia mampu menunjukkan minat dalam dirinya
sekaligus dalam 5 atau 6 bidang seni, namun beranjak remaja minatterfokus hanya pada satu
bidang saja yang telah dikuasainya dengan baik 23
23
Omah Puguh, Buku Lengkap Tentang Anak Indigo, (Jogjakarta: Flashbooks,2012), h.76
24
Jordan Rita “Educating Of Children And Young People With Austism” Birmingham, University.
United Kingdom. 1997
27
F. Metode Tekhnik Dalam Identifikasi ABK(2)
Pada hakekatnya ada banyak metode atau teknik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar. Beberapa
teknik khusus akan sangat diperlukan untuk menemukenali anak- anak yang berkebutuhan
khusus. Hal ini diperlukan, mengingat adanya karakteristik atau ciri-ciri khusus yang ada
pada mereka, yang tidak dapat diidentifikasi secara umum. Namun demikian, pada
kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa teknik identifikasi secara umum, yang
memungkinkan bagi guru-guru untuk melakukannya sendiri di sekolah, yaitu; observasi;
wawancara; tes psikologi; dan tes buatan sendiri. Secara lebih jelas keempat teknik tersebut,
dapat diuraikan sebagai berikut:25
1. Observasi
Observasi merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan
identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu dengan cara mengamati kondisi atau
keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas atau di sekolah secara
sistematis. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara
langsung, dalam arti melakukan observasi secara
langsung terhadap obyek atau siswa dalam lingkungan yang wajar, apa adanya dalam
aktivitas kesehariannya. Sedang observasi tidak langsung, dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang diinginkan untuk diobservasi, misalnya anak diminta untuk melakukan sesuatu,
berbicara, menulis, membaca atau yang lainnya untuk selanjutnya diamati dan dicatat
hasilnya. Sebenarnya apabila dilihat dari kedudukan observer, observasi dapat pula dilakukan
secara partisipan dan nonpartisipan. Partisipan dalam artian apabila orang yang melakukan
observasi turut mengambil bagian pada situasi yang diobservasi. Sedang nonpartisipan,
apabila orang yang melakukan observasi berada di luar situasi yang sedang diobservasi, ini
dimaksudkan agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi anak yang diobservasi.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memperoleh data yang lengkap,
namun hal ini akan lebih baik dan lebih mudah dilakukan oleh guru-guru di sekolah,
dibandingkan dengan teknik lainnya. Melalui observasi ini pula akan diperoleh data individu
anak yang lebih lengkap dan utuh baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Guru di sekolah
akan memiliki kesempatan yang luas untuk melakukan observasi dalam kegiatan
pembelajaran sehari-hari.
Banyak gejala atau fenomena anak berkebutuhan khusus di sekolah yang dapat diamati
oleh guru, yang itu menunjukkan adanya perbedaan atau penyimpangan dari anak-anak pada
umumnya. Apabila guru saat observasi mendapati seorang anak yang selalu mendekatkan
matanya saat menulis atau membaca, maka dimungkinkan anak tersebut mengalami kelainan
fungsi penglihatan. Jika kelainan anak tersebut tidak dapat dikoreksi dengan kacamata, maka
dia termasuk pada anak yang berkebutuhan khusus. Demikian juga misalnya ada anak-anak
sulit berkonsentrasi, suka mengganggu temannya, sering membolos, jarang mencatat, dan
25
Johnson, BH & Skjorten, D Miriam,” Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar”,
terjemahan, (Bandung: Program Pascasarjana UPI 2004) hal.5
28
masih banyak lagi yang bisa diobservasi dan mengindikasikasikan sebagai anak berkebutuhan
khusus.
2. Wawancara
3. Tes
Teknik lain yang dapat dilakukan dalam idenditikasi anak-anak berkebutuhan khusus di
sekolah dasar adalah melalui tes yang dibuat sendiri oleh guru. Tes merupakan suatu cara
untuk melakukan penilaian yang berupa suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus
dikerjakan oleh anak, yang akan menghasilkan suatu nilai tentang kemampuan atau perilaku
anak yang bersangkutan. Bentuk tes berupa suatu tugas yang berisi pertanyaan-pertanyaan
atau perintah-perintah yang harus dikerjakan anak, untuk selanjutnya dinilai hasilnya.
4. Tes Psikologi
Salah satu teknik lain yang sangat populer dan sering digunakan dalam upaya
identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah dengan tes psikologi. Jenis tes ini memiliki
kelebihan dibanding dengan tes yang lainnya, karena memiliki akurasi yang lebih baik
dibanding tes buatan guru. Selain waktu pelaksanaannya yang lebih singkat, melalui tes
psikologi juga dapat diprediksikan apa-apa yang akan terjadi dalam belajar anak di tahapan
berikutnya. Untuk melihat tingkat kecerdasan seorang anak, tes psikologi merupakan salah
satu instrumen yang lebih obyektif dan validitasnya telah teruji.
Sebenarnya tes psikologi tidak hanya terbatas pada tes kecerdasan saja, namun ada juga
jenis tes psikologi yang digunakan untuk melihat aspekkepribadian atau perilaku seseorang.
Untuk melihat kecerdasan, ada beberapa jenis tes yang dapat digunakan seperti; Test
Stanford-Binet, yaitu tes buatan Binet yang dimodifikasi oleh Stanford University, kemudian
Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC), maupun Raven’s Matrices. Demikian pula
untuk mengetahui kepribadian, perilaku, atau bakat khusus seseorang. Ada beberapa jenis tes
psikolologi yang digunakan, namun hal ini tidak akan dibahas di sini mengingat keterbatasan
konteksnya.
26
IGAK Wardani, dkk (2002), Pengantar Pendidikan Luar Biasa, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka).hal.15
29
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
31