Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Al-Dakhīl Fī Tafsīr
Dosen Pengampu:
KH. Abdullah Mubarok, Lc., M.Th.I.
Oleh :
Ahmad Alfaridzi Sugianto
NIM: 2017.01.01.741
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2019
KAJIAN ISRĀ`ĪLĪYĀT DALAM TAFSIR AL-QUR`AN
Oleh: Ahmad Alfaridzi Sugianto
I. Pendahuluan
Pada masa Rasulullah Sallā ‘Alayhi wa Sallam, para sahabat tatkala
menemukan kesulitan dalam memahami suatu ayat al-Qur`an di dalam al-
Qur`an mereka langsung bertanya kepada otoritas tunggal pada masa itu, yaitu
kepada Nabi Sallā ‘Alayhi wa Sallam. Kemudian Rasulullah Sallā ‘Alayhi wa
Sallam memberikan jawaban dengan cara menjelaskan secara langsung
terhadap kandungan ayat tersebut. Interpretasi al-Qur`an pada masa Rasulullah
Sallā ‘Alayhi wa Sallam secara langsung memberikan pemahaman bahwa pada
masanya beliau sebagai mubayyin (sebagai penjelas) yang menafsirkan al-
Qur`an oleh beliau sendiri. Keadaan hal tersebut berlanjut hingga beliau wafat.
Ketika Rasulullah wafat, para sahabat menemukan kesulitan dalam
memahami suatu ayat. Sumber penfasiran pada masa sahabat adalah bersumber
dari al-Qur`an, hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah Sallā ‘Alayhi wa
Sallam, juga mereka menanyakan kepada pada para sahabat yang terlibat
secara langsung serta memahami ayat tersebut. Apabila hal tersebut tidap
ditemukan, merekan berupaya melakukan ijtihad yaitu hal yang dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kapasitas intelektual yang luas dan memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Pada masa tabi’in, sumber penafsiran didapat dari beberapa sumber
melalui al-Qur`an, hadits Rasul yang diriwayatkan oleh para sahabat, dari
periwayatan sahabat dari penafsiran mereka dan melakukan ijtihad berdasarkan
al-Qur`an dan Hadits dan juga mengambil informasi dari ahl al-Kitāb. Selain
mereka bertanya pada para sahabat, mereka juga menanyakan beberapa hal
masalah, seperti kisah-kisah yang termaktub dalam al-Qur`an dan kisah-kisah
umat terdahulu kepada para tokoh ahl al-Kitāb yang telah memeluk agama
Islam, yaitu dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Dengan hal demikian, awal
mula lahirnya Isrā`liyyat dalam tafsir al-Qur`an.
Dengan sedikit pemaparan sejarah singkat, penulis akan membatasi
penjelasan terhadapa kajian Isrā`liyyat, baik dari pengertian, proses maupun
perkembangan Isrā`liyyat dalam tafsir, serta berapa contoh dan pandangan
beberapa ulama’ terhadap Isrā`liyyat dalam penafsiran ayat al-Qur`an. Oleh
karena itu, pembahasan selanjutnya kan dijelaskan penulis sesuai data yang
didapatkan dari berbagai sumber.
II. Pembahasan
A. Pengertian Isrā`īliyyāt
dari kata Isrā`īliyyah ()إسرائيلية. Isrā`īliyyah adalah kisah atau cerita yang
1
Muḥammad Ḥusayn al-Dhahabī, al-Isrā`īliyyāt fī Tafsīr wa al-Ḥadīth, (Kairo: Maktabah
Wahbah, t.th), 13.
2
Tsalis Muttaqien, “Infiltrasi Isrā`īliyyāt dalam Tafsir al-Qur`an”, al-Itqān, 2, (Agustus 2015), 82.
3
Muhammad Abu Syahbah, Isrā`īliyyah dan Hadits-hadits Palsu Tafsir al-Qur`an, terj. Mujahidin
Muhayan, dkk, (Depok: Keira Publishing, 2016), 1.
4
Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Riyadh: Manshūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadīth, t.th),
354.
Orang-orang Arab adakalanya menanyakan perihal yang berhubungan
dengan penciptaan alam semesta, rahasia-rahasia yang terkandung dalam
penciptaan alam, sejarah masa lalu, tokoh-tokoh terdahulu atau suatu
peristiwa yang terjadi pada masa lampau kepada orang Yahudi karena
mereka memiliki pengetahuan dari kitab Taurat atau kitab-kitab
sebelumnya.5
Pendapat lain menyatakan bahwa timbulnya Isrā`īliyyāt adalah
pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk
lslam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Ketika
masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka
anut terlebih dulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur
antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.
Kedua, adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk
mengetahui sepenuhnya tentang seluk-beluk bangsa Yahudi yang
berperadaban tinggi, di mana al-Qur’an hanya mengungkapkan secara
sepintas saja. Dengan ini maka muncullah kelompok muffasir yang
berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah-kisah yang
bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Akibatnya tafsir
itu penuh dengan kesimpang-siuran, bahkan terkadang mendekati khurafat
dan takhayul.
Ketiga, adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah
bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang
mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah Isrā`īliyyāt pada
kalangan Muslim. Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa kisah
Isrā`īliyyāt masuk ke dalam Islam sejak masa sahabat dan membawa
pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa
sesudahnya.
Kisah Isrā`īliyyāt semakin berkembang subur di kalangan Islam
ketika masa tabi’in dan mencapai puncaknya pada masa tabi’it-tabi’in. Pada
masa tabi’in timbul kecintaan yang luar biasa pada kisah Isrā`īliyyāt
Mereka cenderung mengambil cerita tersebut secara ceroboh, sehingga
5
Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī ‘Ulūm al-Qur`ān, (Riyadh: Manshūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadīth, t.th),
354.
setiap cerita yang ada hampir tidak ada yang ditolak. Mereka tidak
mengembalikan cerita tersebut pada al-Qur’an, walaupun terkadang tidak
dimengerti akal.6
C. Macam-macam Isrā`īliyyāt
Isrā`īliyyāt dibagi menjadi 3 macam, yaitu:7
Pertama, berita yang diakui kebenarannya dalam Islam. Berita
Isrā`īliyyāt semacam ini boleh dibenarkan. Dan yang menjadi standar dalam
hal ini adalah dalil al-Qur`an atau hadis ṣaḥīḥ.8 Di antara contohnya adalah
hadis dari Ibn Mas’ūd, bahwa ada seorang pendeta Yahudi yang mendatangi
Nabi Ṣalla ‘Alayhi wa Sallam, lalu pendeta tersebut berkata:
6
https://muhsinpamungkas.wordpress.com/2013/07/21/israiliyat-dalam-tafsir/, (diakses 5 Mei
2019)
7
Muḥammad Ṣāliḥ al-‘Uthaymīn, Usūl fī al-Tafsir, (t.tp: Maktabah al-Islamiyah, 2001), 53.
8
Ibid, 53.
9
HR. Al-Bukhāri, 4811. HR. Muslim, 2786.
10
Al-Qur`an, al-Zumar: 68.
Kedua, berita yang didustakan dalam Islam, berita semacam ini
statusnya batil, dan wajib diingkari.11 Misal, Nabi ‘Isā adalah putra Allah,
atau seperti yang disebutkan dalam hadis Jābir berikut:
آ َمنها ِباله ِذي أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْينَا َوأ ُ ْن ِز َل: وقولوا،ال تصدقوا أهل الكتاب وال تكذبوهم
ِإلَ ْي ُك ْم
Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya,
namun ucapkan: Kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami
(alquran) dan kitab yang diturunkan kepada kalian.15
Hanya saja, dalam syariat kita, dibolehkan menceritakan berita
Bani Israil, tanpa untuk tujuan diimani dan dibenarkan atau didustakan.
Nabi Ṣalla ‘Alayhi wa Sallam bersabda:
11
Muḥammad Ṣāliḥ al-‘Uthaymīn, Usūl fī al-Tafsir, 53.
12
HR. Al-Bukhārī, no. 4528. HR. Muslim, no. 1435.
13
Al-Qur`an, al-Baqarah: 223.
14
Muḥammad Ṣāliḥ al-‘Uthaymīn, Usūl fī al-Tafsir, 53.
15
HR. Al-Bukhārī, 4485.
ومن كذب، وحدثوا عن بني إسرائيل وال حرج،بلغوا عني ولو آية
على متعمدا فليتبوأ مقعده م النار
Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Sampaikan kabar dari Bani
Israil, dan tidak perlu merasa berat. Siapa yang berdusta atas namaku,
hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.16
Dan umumnya, kabar Isrā`īliyyāt ini tidak memiliki banyak
manfaat penting dalam agama. Hanya sebatas cerita atau dongeng, seperti
warna bulu anjing Ashabul Kahfi, siapa namanya, kisah tentang keluarga
nabi-nabi masa silam, yang itu jika diketahui, tidak menambah amal kita.
16
HR. Al-Bukhārī, 3461.
17
Tsalis Muttaqien, “Infiltrasi Isrā`īliyyāt dalam Tafsir al-Qur`an”, 87-88.
5. Kitab yang meriwayatkan Isrā`īliyyāt tanpa sanad dan
bertujuan menjelaskan kepalsuan atau kebatilannya. Sangat
keras mengkritik Isrā`īliyyāt. Seperti Tafsīr Rūḥ al-Ma’ānī fī
Tafsīr al-Qur`ān wa sab’i al-Mathānī karya al-Alūsī.
6. Kitab yang menolak periwayatan Isrā`īliyyāt dalam
penafsirannya, tetapi juga terperangkap pula dalam penafsiran
Isrā`īliyyāt. Seperti tafsir al-Manār karya Rashīd Riḍā.
Demikian klarifikasi al-Dhahabī terhadap keberada Isrā`īliyyāt
dalam kitab-kitab tafsir.
III. Kesimpulan