Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Kaum muslim mengakui sepenuh hati bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi
manusia. Namun demikian diakui juga bahwa tidak semua kaum muslimin secara langsung
dapat memahami Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Oleh karena itu, bantuan penafsiran
dan penakwilan terhadap Al-Qur’an dibutuhkan.
Ada dua pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Di dalam tafsir bil ma’tsur terdiri dari tiga macam, yaitu tafsir Al-
Qur’an bil Qur’an, tafsir Al-Qur’an bis sunnah dan tafsir Al-Qur’an bi atsar al-shahabi.
Sedangkan tafsir bir ra’yi dalam penafsirannya menggunakan akal atau ijtihad. Masing-
masing pendekatan memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang dimiliki tafsir yang
menggunakan pendekatan al-ma’tsur adalah masuknya unsur-unsur isra’iliyyat ke
dalamnya.

Pengertian
Kata isra’iliyyat berasal dari bahasa Ibrani, yaitu Isra berarti “hamba atau pilihan”
dan Il berarti “Allah”. Secara etimologi isra’iliyyat adalah bentuk jamak dari kata Israiliyah,
merupakan suatu nama yang dinisbahkan kepada Israil yang artinya hamba Tuhan.
Sedangkan secara terminologi isra’iliyyat, menurut Az-Zahabi, ada dua pengertian:
1. Kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis, yang bersumber
periwayatannya kembali kepada sumber Yahudi dan Nasrani.
2. Sebagian ahli tafsir dan hadis memperluas lagi pengertian isra’iliyyat ini sehingga
meliputi cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke
dalam tafsir dan hadis, yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-
sumber lama.1
Dari pengertian di atas, dapat di tarik pengertian bahwa yang dimaksud isra’iliyyat
adalah semua unsur yang berasal dari kisah-kisah Yahudi, Nasrani, dan lainnya serta
bentuk-bentuk kebudayaan mereka yang masuk dalam tafsir Al-Qur’an.

Sebab-sebab Penggunaan Isra’iliyyat dalam Tafsir Al-Qur’an

1
Drs. Abu Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an Sebagai Pengantar, Penerbit AMZAH, Jakarta, 2009, hal.
106.
Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat
dan orang Nasrani pun mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Injil.
Setelah lahirnya Islam, cukup banyak orang Yahudi maupun Nasrani yang masuk ke agama
Islam, sedangkan mereka tetap memelihara pengetahuan keagamaannya itu.
Sementara Al-Qur’an banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan
Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para Nabi dan berita umat yang
terdahulu. Namun di dalam Al-Qur’an kisah-kisah tersebut hanya dikemukakan secara
singkat yang hanya menitik beratkan pada aspek-aspek nasehat dan pelajaran. Sedang kan
di Taurat dan Injil dijelaskan secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-
bagiannya.
Ketika Ahlul Kitab masuk Islam, mereka tetap membawa pula pengatahuan
keagamaannya berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah
dalam Al-Qur’an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam kitab-
kitab mereka. Dan para sahabat menaruh atensi terhadap kisah-kisah yang mereka
bawakan sesuai dengan pesan Rasulullah :
“ Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan janganlah pula
mendustakannya, tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami’....” (Hadis Bukhari).
Berita-berita yang disampaikan Ahli Kitab yang masuk Islam itulah yang dinamakan
isra’iliyyati. Para sahabat dalam menerima unsur isra’iliyyati sangat selektif, mereka
membandingkannya dengan keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah. Jika ternyata
bertentangan, penafsiran melalui riwayat isra’iliyyat mereka tolak. Namun tingkat kehati-
hatian para sahabat dalam menerima riwayat isra’iliyyat ini pada zaman tabiin (generasi
sesudah sahabat) mulai mengandur. Mengenai ini Ibnu Khaldhum mengambarkan sebagai
berikut: “Apabila mereka ingin mengetahui sesuatu yang dirindukan jiwa manusia, yaitu
mengenai hukum kausalitas kosmos, permulaan makhluk dan misteri alam wujud, mereka
menanyakan kepada Ahli Kitab sebelum mereka, orang Yahudi yang penganut Kitab Taurat
dan orang Nasrani yang mengikuti agama mereka..... Dengan demikian, kitab tafsir penuh
dengan nukilan-nukilan dari mereka........”2

2
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir
AS, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor , 2011, hal. 491.
Macam-macam Isra’iliyyat dalam Tafsir Al-Qur’an
Menurut Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah, isra’iliyyat dibagi menjadi tiga macam:
1. Cerita-cerita yang sesuai dengan kebenarannya dengan Al-Qur’an, berarti cerita ini
benar. Al-Qur’an disini sebagai pegangan dan kalaupun diambil cerita tersebut
hanyalah sebagai bukti adanya saja, bukan untuk dijadikan pegangan dan hujjah. 3
Contohnya:
Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, mengatakan:
“Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah Saw, dia berkata: “Wahai
Muhamad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab kami), bahwa Allah SWT,
akan meletakan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas jari, pohon-pohon
di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah diatas satu jari dan seluruh makhluk di
atas satu jari, maka Allah berfirman: “Akulah Raja”. Mendengar hal tersebut,
tertawalah Nabi Muhamad Saw sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau karena
membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau membaca firman Allah
SWT:
ۢ ْ َّ ‫ض ُت ُهۥ َي ْو َم ْٱل ِق ٰي َم ِة َو‬
َ ‫يع ا َق ْب‬ ُ ‫ٱلل َـه َح َّق َق ْدر ِهۦ َوٱَأْل ْر‬ َّ ۟ ُ َ َ َ َ
‫ٱلس ٰم ٰو ُت َمط ِو ّٰي ٌت‬ ً ‫ض َجم‬
ِ ِ ‫وم ا ق دروا‬
َ ‫ب َيمينهۦ ۚ ُس ْب ٰح َن ُهۥ َو َت ٰع َل ٰى َع َّما ُي ْشر ُك‬
‫ون‬ ِ ِِ ِ ِ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang
mereka persekutukan” (QS. Az-Zumar: 67).

2. Cerita-cerita terang-terangan dusta, karena menyalahi ajaran Islam, untuk itu cerita
yang serupa ini harus ditinggalkan, karena akan merusak aqidah kaum muslimin.
Misalnya :
Kisah Nabi Ismail, isra’iliyyat yang berkaitan dengan kisah penyembelihan Nabi
Ismail, yaitu berasal Ka’ab bin Akhbar yang menyebutkan bahwa yang disembelih
itu adalah Ishak bukan Ismail. Isra’iliyyat ini menurut Ibnu Katsir, merupakan
tipuan dan dusta karena bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri. Orang Yahudi lebih

3
Drs. Abu Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit AMZAH, 2009, hal. 109.
suka menyebut Ishak karena ia adalah nenek moyangnya, sedangkan Ismail adalah
nenek moyang orang Arab.4
3. Cerita yang didiamkan (maskut anhu), yaitu cerita yang tidak ada keterangan
kebenarannya dengan Al-Qur’an, akan tetapi juga tidak bertentangan dengan Al-
Qur’an. Misalnya nama-nama Ashabul Kahfi dan jumlahnya. Namun cerita tersebut
boleh diceritakan dengan hikayat.
Alasan Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah sama karena adanya hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash yang berbunyi:
“Sampaikan dari ajaranku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah hal Bani Isra’il dan
tidak berdosa, siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah
menyediakan tempatnya di dalam neraka”. (HR. Bukhari).

Pandangan Ulama tentang Isra’aliyyat


Dalam menerima riwayat isra’iliyyat untuk menafsirkan Al-Qur’an atau hadis,
terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan ini muncul karena adanya dua
dalil yang membolehkan menerima riwayat itu dan adapula dalil yang melarangnya. Az-
Zahabi mengemukakan alasan ulama yang menolak unsur isra’iliyyat, 5 antara lain:
a. Di dalam Al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 13 yang menyatakan bahwa orang Yahudi
dan Nasrani telah mengubah, menambah, dan mengurangi kandungan kitab suci
mereka. Sebagaimana dalam ayat berikut:
َ َ َّ َ ُ َ َ ‫َ اَل‬ ۟ ُ ًّ ۟ َ َ َّ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ
‫ال تط ِل ُع َعل ٰى خٓاِئ َن ٍة‬ ‫اض ِع ِهۦ ۙ َون ُس وا َحظا ِّم َّما ذ ِّك ُروا ِب ِهۦ ۚ و ت ز‬
ِ ‫يح ِّرف ون ٱلك ِلم عن مو‬
‫اَّل َ اًل‬
‫ِّم ْن ُه ْم ِإ ق ِلي ِّم ْن ُه ْم‬
“Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka
telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad), senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak
berkhianat)......”(QS. Al-Maidah:13).

b. Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:


“Janganlah kamu membenarkan (riwayat) ahlul kitab (Yahuni dan Nasrani) dan
jangan pula kamu mendustakan, tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah dan
terhadap apa yang Allah turunkan kepada kami”. (HR. Bukhari).

4
Ibid, hal. 118
5
Nasrun Haroen, “Isra’iliyyat” dalam Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2005,
hal. 237.
c. Hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“ Janganlah kamu bertanya kepada ahlul kitab karena mereka tidak akan memberi
petunjuk kepada kamu, dan kadang mereka menyesatkan diri sendiri, lalu kamu
membenarkannya, atau mereka membenarkan sesuatu yang batil” (HR. Al-Bazzar).
Adapun alasan ulama yang membolehkan unsur-unsur isra’iliyyat antara lain:
a. Firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 94, yaitu:

ََ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َّ َٔ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ‫َ ّ َّ َأ‬ َ ‫َف ن ُك‬


‫ون ٱل ِك ٰت َب ِمن ق ْب ِل َك ۚ لق ْد‬‫نت ِفى ش ٍك ِّممٓا نزلن ٓا ِإ لي ك فسـ ِل ٱل ِذين يق رء‬ ‫ِإ‬
َ‫ون َّن م َن ٱمْل ُ ْم َترين‬
َ ُ َ ‫َّ َ َ اَل‬ ُّ َ ْ َ َ َ
‫جٓاءك ٱلحق ِمن ر ِّبك ف تك‬
ِ ِ
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang
Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran
kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kami termasuk orang-
orang yang ragu”. (QS. Yunus : 94).

Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas, kedua ulama mengatakan bahwa
meriwayatkan kisah-kisah isra’iliyyat boleh. Ternyata keduanya banyak meriwayatkan
aqwal ahli al-kitab dari empat sahabat yang sebelum mereka masuk Islam mereka
beragama Yahudi dan Nasrani, antara lain: Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ka’b
al-Ahbar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Mereka ini terkenal tidak membuat
cerita palsu, cerita yang disampaikan mereka kepada para muslim itu benar. Mereka sering
dirujuk dalam penafsiran ayat yang berkaitan dengan kisah masa lalu. Pada hakikatnya
kesalahan itu sering terjadi bukan pada mereka, akan tetapi para perawi-perawi
berikutnya.6

Kesimpulan
Berdasarkan deskipsi di atas, yang memaparkan tentang pengertian, sebab-sebab
penggunaan isra’iliyyat, macam-macam isra’iliyat dan pandangan ulama mengenai
isra’iliyyat, maka dapat disimpulkan bahwa isra’iliyyat merupakan bagian dari dinamika
penafsiran terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufasir (ahli tafsir) baik
berdasarkan pada hadis, jejak, maupun peninggalan Rasulullah dan para sahabat (bil
ma’tsur) maupun berdasarkan ijtihad para ulama (bir ra’yi). Namun secara umum,

6
Ibid, hal. 237
isra’iliyyat dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: Isra’iliyyat yang sesuai dengan
kebenaran syariat, Isra’iliyyat yang jelas bertentangan dengan syariat, dan Isra’iliyyat yang
tidak didukung syariat dan juga tidak bertentangan dengan syariat.
Melalui pemahaman terhadap isra’iliyyat ini kita bisa secara cerdas dan jernih
membedakan mana yang betul-betul sesuai dengan syariat maupun yang bertentangan
atau dengan yang tidak terkait dengan syariah tapi tidak dilarang atau tidak bertentangan
dengan syariah. Hal ini penting kita pahami, karena seringkali di dalam masyarakat, kita
sering mendengar cerita-cerita yang sering dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an yang
kebenarannya perlu kita perjelas.
Dengan pemahaman ini pula kita bisa semakin yakin dengan kebenaran dan
keakuratan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang tidak akan lapuk oleh perkembangan
zaman.

Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir
AS, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor , 2011.
Anwar, Abu, M.Ag., Ulumul Qur’an Sebagai Pengantar, Penerbit AMZAH, Jakarta, 2009.
Haroen, Nasrun, “Isra’iliyyat” dalam Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Edisi Baru,
Jakarta, 2005.

Anda mungkin juga menyukai