Abstrak
Berbeda dari Alquran yang bersifat qath’i al-wurud, H adis bersifat dzanny.
Bagaimanapun shahih dan orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi,
suatu Hadis tetap zhanny, karena masih mengandung diskursus
mengenai perawi baik dari segi sanad maupun matan. D alam hal ini,
kritik terhadap keduanya mesti dilakukan untuk menyaring H adis.
Terkait dengan sanad, salah satu cabang ilmu yang berfungsi untuk
menyelidiki perawi adalah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu tersebut yang
dielaborasi penulis dalam artikel ini. Penulis berargumen, ilmu al-jarh
wa al- merupakan upaya menghindari dari keraguan terhadap Hadis,
termasuk memilah Hadis yang shahih dan palsu.
Kata Kunci: ilmu al-jarh wa al-ta’dil, sanad, Hadis palsu.
Pendahuluan
Dalam kaitannya dengan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan
mencolok antara Alquran dan Hadis Nabi. Alquran bersifat qath’i
alwurud, yakni diyakini sepenuhnya oleh kaum Muslimin tanpa
kecuali, Alquran sebagai musaddiq (pemberi konfirmasi) dan
muhaimin (pemberi koreksi), serta sebagai wahyu yang datang dari
Allah.1 Sedangkan petunjuk (dhilalah)-nya sebagian ada yang qath’i
dan ada yang dzanni.
Sementara itu, Hadis Nabi bersifat dzanni, baik dari segi wurud
maupun dilalah-nya. Dengan kata lain, bagaimanapun shahih dan
orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi, suatu H adis tetap
zhanny, karena masih mengandung diskursus mengenai perawi baik
dari segi sanad maupun matan. Karena itu, keyakinan Hadis
1
Bahrul Ma’Ani, “AL-JARH WA AL-TA’DIL: UPAYA MENGHINDARI SKEPTIS DAN HADIS
PALSU,” t.t.
96 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
2
Heru Widodo dan Fahmi Irfanudin, “AL JARH WA AT-TA’DIL IN RESEARCHING
SANAD HADITS” 3, no. 1 (2020).
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 97
H ), A li bin Adullah al-Madini (234 H), Ahmad bin Hanbal (241 H),
dan al-Bukhari. Secara gradual pada tiap masa selama delapan
abad, mulai masa sahabat sampai masa hidup Ibnu H ajar (652 H ),
terdapat ulama yang secara rutin melakukan penelitian tentang
keadaan para perawi Hadis dan kemudian memberikan penilain
secara objektif dan penuh rasa tanggung jawab. Bahkan hasil
penelitian mereka banyak dikodifikasi dan dikemas dalam kitab-
kitab jarh dan ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dengan metode jarh dan ta’dil dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kitab yang khusus menerangkan perawi-perawi yang tepercaya,
seperti kitab al-Tsiqah karangan Ibnu Hibban (351 H) dan
alTsiqah karangan Zainuddin Qasim Al-Hanafi (879 H) yang terdiri
atas empat jilid yang memuat perawi tepercaya yang tidak
terdapat pada al-kutub al-sittah.
2. Secara khusus menerangkan perawi-perawi yang lemah, antara
lainkitab Adl al-Dhu’afa karya Imam Bukhari dan yang dikarang
oleh Ibnul Jauzi (597 H) serta al-Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H).
K itab Ibn ‘Adi dipandang sebagai kitab jarh yang paling lengkap,
yakni sebanyak 12 jilid, yang dijadikan sebagai pegangan ulama.
Kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, karangan az-Zahabi (748 H)
yang disusun secara alfabetis.
3. Kitab-kitab yang menghimpun perawi yang tepercaya dan
lemah,antara lain al-Jarh wa al-Ta’dil karangan Ibnu Hatim al-
Razi (337 H) sebanyak enam jilid dan al-Thabaqat al-Kubra
karangan Muhammad bin Sa’ad (235 H). Kitab-kitab tersebut
memuat perawi-perawi dari sahabat dan tabi’in serta generasi
sesudah mereka.
3
Muhammad Qomarullah, “KONTEKSTUALISASI ILMU AL- JARH WA AT-TA’DIL
DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN KORELASINYA DENGAN TEORI
KREDIBILITAS,” 2019.
102 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
yakni ditetapkan sebagai adil oleh orang yang adil, yakni perawi
yang di-ta’dil-kan belum dikenal sebagai perawi yang adil. 4
Penetapan tantang kecacatan perawi juga dapat ditempuh
melalui, pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai
orang yang cacat. Perawi yang dikenal sebagai fasik atau pendusta
di kalangan masyarakat tidak perlu dipersoalkan lagi. Cukuplah
ketenarannya itu dijadikan alasan untuk menetapkannya cacat.
Kedua, berdasarkan tajrih dari orang yang adil yang telah
mengetahui kenapa dia dinilai cacat. Ini menurut pendapat yang
dipegang muhaddisin. Sedangkan menurut fuqaha, sekurangnya
harus di-tajrih oleh orang yang adil.
Ta’dil dan tajrih seperti dijelaskan di atas tidak dapat diterima
kecuali dari orang-orang yang memenuhi persyaratan. Syarat
dimaksud adalah mu’addil dan jarih mesti berilmu pengetahuan,
takwa, wara’ (selalu menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dan dosa
kecil serta hal makruh), jujur, menjauhi fanatisme golongan, serta
mengetahui sebab ta’dil dan tajrih.5
Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk
melakukan ta’dil dan tajrih terhadap perawi juga terdapat
perselisihan pendapat, antara lain:
1. Minimal dua orang, baik dalam hal syahadah maupun riwayah.
Demikian menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan
lainnya.
2. Cukup seorang dalam hal riwayah, bukan syahadah; karena
bilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan H adis, tidak
pula disyaratkan dalam ta’dil dan tajrih perawi.
3. Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah maupun syahadah.
Sementara bila keadilannya diperoleh atas dasar pujian orang
banyak atau dimasyhurkan oleh ulama, tidak memerlukan orang
yang melakukan ta’dil (muzakki, mu’addil) seperti Malik, al-
4
Muh Haris Zubaidillah, “ILMU JARH WA TA’DIL,” preprint (Open Science
Framework, 17 Juli 2018), https://doi.org/10.31219/osf.io/y8wt6.
5
Disusun Oleh, “ILMU AL-JARH WA TA’DIL,” t.t.
104 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
Kesimpulan
Pengujian terhadap persyaratan kesahihan suatu H adis yang
berkaitan dengan sanad telah dilakukan sejak awal dengan cara
meneliti kredibilitas para perawi, sehingga muncullah ilmu al-jarh
wa al-ta’dil. Ilmu ini adalah salah satu metode untuk mengetahui
cacat-tidaknya seorang perawi Hadis. Metode ini juga menentukan
nilai dan tingkatan sebuah Hadis sehingga terhindar dari skeptis dan
pemalsuan.[]
DAFTAR PUSTAKA