Anda di halaman 1dari 12

AL-JARH WA AL-TA’DIL: UPAYA

MEN GHINDARI SKEPTIS DAN HADIS PALSU

BAH RUL MA’ANI

Abstrak
Berbeda dari Alquran yang bersifat qath’i al-wurud, H adis bersifat dzanny.
Bagaimanapun shahih dan orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi,
suatu Hadis tetap zhanny, karena masih mengandung diskursus
mengenai perawi baik dari segi sanad maupun matan. D alam hal ini,
kritik terhadap keduanya mesti dilakukan untuk menyaring H adis.
Terkait dengan sanad, salah satu cabang ilmu yang berfungsi untuk
menyelidiki perawi adalah ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu tersebut yang
dielaborasi penulis dalam artikel ini. Penulis berargumen, ilmu al-jarh
wa al- merupakan upaya menghindari dari keraguan terhadap Hadis,
termasuk memilah Hadis yang shahih dan palsu.
Kata Kunci: ilmu al-jarh wa al-ta’dil, sanad, Hadis palsu.

Pendahuluan
Dalam kaitannya dengan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan
mencolok antara Alquran dan Hadis Nabi. Alquran bersifat qath’i
alwurud, yakni diyakini sepenuhnya oleh kaum Muslimin tanpa
kecuali, Alquran sebagai musaddiq (pemberi konfirmasi) dan
muhaimin (pemberi koreksi), serta sebagai wahyu yang datang dari
Allah.1 Sedangkan petunjuk (dhilalah)-nya sebagian ada yang qath’i
dan ada yang dzanni.
Sementara itu, Hadis Nabi bersifat dzanni, baik dari segi wurud
maupun dilalah-nya. Dengan kata lain, bagaimanapun shahih dan
orisinal, yakni betul-betul diucapkan Nabi, suatu H adis tetap
zhanny, karena masih mengandung diskursus mengenai perawi baik
dari segi sanad maupun matan. Karena itu, keyakinan Hadis

1
Bahrul Ma’Ani, “AL-JARH WA AL-TA’DIL: UPAYA MENGHINDARI SKEPTIS DAN HADIS
PALSU,” t.t.
96 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

disampaikan oleh Nabi hanya akan sampai pada tingkat “diduga


kuat”.2 Dengan demikian, sebagai komparasi, kalau meragukan
Alquran sebagai wahyu yang datang dari Allah swt dapat
mengakibatkan seseorang menjadi kafir, meragukan hadis betul-
betul diucapkan oleh Nabi saw tidak akan sampai pada konsekuensi
kepada kafir.
Jadi harus diberikan perbedaan secara jelas antara mengingkari
Nabi Muhammad sebagai rasul dan meragukan apakah sebuah H
adis betul-betul berasal darinya atau bukan. Bila mempersoalkan
Hadis yang berada dalam lingkaran yang kedua (meragukan tingkat
orisinalitas sebuah Hadis) dimaksudkan sebagai sikap kritis terhadap
Hadis Nabi, hal itu bukan merupakan sesuatu yang tabu dan tidak
sampai kepada tingkat “kekufuran”. Sebab, sikap seperti itu sama
sekali bukan hal baru di kalangan para penulis Islam. Bahkan,
sebagaimana kita lihat, sikap seperti itu sudah ada rintisannya sejak
awal Islam, yaitu para sahabat Nabi sebagai generasi pertama.
Selain itu, telah disepakati bahwa dalam konteks H adis shahih,
para ulama Hadis telah menetapkan lima syarat. Hal itu merupakan
salah satu indikasi bahwa mereka sangat teliti (ihtiyath) dalam
melakukan eksplorasi dan identifikasi Hadis-Hadis Nabi Saw untuk
menghindari inhiraf. Dari kelima syarat tersebut, tiga di antaranya
berkenaan dengan sanad dan dua terkait matan. Dalam kaitannya
dengan sanad, di samping harus bersambung, juga semua perawi
harus dhabit dan tsiqah. Sedangkan yang berkaitan dengan matan5
adalah keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat.
Persyaratan-persyaratan tersebut dimaksudkan untuk mencari
Hadis yang dipandang shahih guna diamalkan (ma’mul bih) dan
menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghairu ma’mul
bih). Dari seleksi-seleksi itu muncul kategori-kategori hadis shahih,
hasan, dhaif, dan seterusnya. Pada saat mempersoalkan sebuah

2
Heru Widodo dan Fahmi Irfanudin, “AL JARH WA AT-TA’DIL IN RESEARCHING
SANAD HADITS” 3, no. 1 (2020).
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 97

Hadis yang tidak mutawatir, otomatis terdapat kesepakatan bahwa


hadis tersebut ghairu ma’mul bih.
Dalam kaitan dengan syarat yang berhubungan dengan sanad,
hal itu memberikan indikasi bahwa perlunya penelitian kredibilitas
para perawi H adis, sehingga muncullah cabang ilmu Hadis yang
disebut al-jarh wa al-ta’dil. Cabang ilmu Hadis ini merupakan
persyaratan bagi seorang perawi sebagai bahan pertimbangan
penerimaan atau penolakan Hadis yang diriwayatkannya. Kata al-
jarh mengandung pengertian yang berkaitan dengan kecacatan
seorang perawi sehingga mengakibatkan Hadisnya tertolak.
Sedangkan al-ta’dil mengandung pengertian terkait ‘adalah al-rawy
(keadilan perawi) sehingga Hadisnya diterima.
Dalam hubungannya dengan al-jarh wa al-ta’dil, ada beberapa
faktor penting yang digunakan untuk memberikan penilaian apakah
Hadis itu palsu atau perawinya seorang cacat atau tidak; atau bila
terjadi perlawanan antara jarh dan ta’dil serta antara susunan lafaz

untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan perawi, bagaimana


kompromi yang dilakukan.

Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil


Tajrih atau jarh secara etimologi berarti “melukai tubuh atau yang
lain menggunakan benda tajam seperti pisau dan sebagainya”. Jarh
dapat pula berarti memakai dan menistakan baik di depan maupun
di belakang. Secara terminologi tajrih atau jarh berarti menyifati
seorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan lemah
atau tertolaknya Hadis yang dia riwayatkan.
Sedangkan ta’dil berarti menyifati perawi dengan sifat-sifat yang
karenanya perawi tersebut dapat dipandang adil sehingga
riwayatnya dapat diterima.
Jadi pengertian ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas
tentang kualitas perawi Hadis dan membicarakan tentang
98 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

perawiperawi yang cacat dan adil, di samping itu sanadnya


bersambung, dhabit, tidak syaz, dan tidak ilat. Misalnya, apakah
seorang perawi H adis tepercaya atau lemah terutama dalam hal
hafalan atau pendusta dan sebagainya. Karena itu, ilmu ini juga
disebut mizan al-rijal (timbangan perawi), karena menimbang dan
menilai perawi-perawi Hadis.
Menurut pandangan kalangan Sunni, al-jarh wa al-ta’dil dikaitkan
pada peringkat (thabaqat) di bawah sahabat, yakni tabi’in ke
bawah. Sahabat tidak perlu diperiksa. Artinya, keadilan para
sahabat dalam meriwayatkan Hadis tidak perlu dipersoalkan.
Argumen ini bukan karena kalangan Sunni menganggap bahwa
para sahabat adalah ma’shum (terbebas dari dosa), melainkan
keyakinan bahwa dalam meriwayatkan Hadis, sahabat tidak pernah
bermaksud membuat dan menciptakan kedustaan kepada Nabi
atau berkeinginan menikam Islam. Adapun konsep ‘ishmah, bagi
kalangan Sunni, hanya berlaku bagi Nabi saw, itu pun dalam
kedudukannya sebagai rasul.
Sementara itu, kalangan Syiah memberlakukan al-jarh wa al-
ta’dil pada lapisan di bawah imam, sebab bagi mereka imam adalah
orang yang ma’shum.
Tajrih dan ta’dil rasanya sudah selesai dilakukan dalam
pengertian bahwa kredibilitas para perawi telah dilakukan secara
baik oleh para ahli Hadis. Kita sungguh berutang budi kepada para
ulama penyusun kitab-kitab semacam Mizan al-I’tidal dan Tahzib al-
Tazib karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat melacak
kredibilitas para perawi.

T injauan H istoris tentang al-Jarh wa al-Ta’dil


Para ulama merasa punya kewajiban menerangkan keadaan yang
sebenarnya dari para perawi Hadis meskipun menyangkut hal-hal
internal atau pribadi perawi. Tujuannya demi menjaga kemurnian H
adis. Menurut Ibnu ‘Adi dalam bukunya, al-Kamil, mengungkapkan
bahwa perdebatan tentang kualitas para perawi Hadis sudah
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 99

dimulai sejak masa sahabat. Misalnya, kalangan sahabat ada yang


melakukan penelitian Hadis dengan metode al-jarh wa al-ta’dil,
antara lain Ibnu Abbas (w. 68 H), Ubaidah bin ash-Shamit (w. 34 H),
dan Anas bin Malik (w. 93 H). Sedangkan dari kalangan tabi’in
antara lain Sa’ad bin al-Musayayab (w. 94 H), Ibnu Siri (w. 110 H),
dan ash-Sha’by
(w. 103 H). Pada masa ini, masih sedikit perawi Hadis yang
dipandang jauh dari lemah dan cacat, karena para perawi itu
sebagian besar adalah sahabat, sedangkan semua sahabat
dipandang ‘adil. Sementara perawi lain yang bukan sahabat,
sebaagian besar sebatas tepercaya. Para ulama juga menjelaskan
beberapa perawi H adis H asan, antara lain hafalan mereka lemah,
kurang kuat, atau riwayat tidak jelas, tidak terdapat dalam kitab al-
Jarh wa al-Ta’dil.
Pada permulaan abad ke-11 H, baru terdapat banyak perawi
yang lemah. Kelemahan mereka umumnya disebabkan tidak dhabit
(tidak kuat hafalan) serta tidak teliti, misalnya meng-irsal-kan dan
me-rafa’kan Hadis yang sebenarnya mauquf. Namun abad ke-40 H
menjadi batas pemisah antara kemurnian Sunah dan
berkembangnya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak
serta terjadinya perpecahan dalam tubuh Islam, antara Ali dan
Muawiyah dalam bentuk peperangan. H al itu juga terjadi karena
periwayatan yang tidak teliti, misalnya meng-irsal-kan Hadis dan
me-rafa’-kan Hadis yang sebenarnya mauquf, misalnya yang
dilakukan Abu Harun Abdani.
Pada akhir masa tabi’in, lebih-kurang tahun 150 H, mulai banyak
ulama yang membicarakan hal ihwal dan kualitas perawi Hadis,
yang terkenal antara lain Yahya bin Sa’ad al-Qaththan (189 H) dan
Abdurrahman bin Mahdi (198 H).
Pada akhir abad ke-3 H, para ulama mulai menyusun kitab-kitab
tentang jarh dan ta’dil. Di dalamnya terdapat nama perawi Hadis
dan biografinya, sehingga periwayatannya dapat diterima atau
ditolak. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Yahya bin Ma’in (233
100 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

H ), A li bin Adullah al-Madini (234 H), Ahmad bin Hanbal (241 H),
dan al-Bukhari. Secara gradual pada tiap masa selama delapan
abad, mulai masa sahabat sampai masa hidup Ibnu H ajar (652 H ),
terdapat ulama yang secara rutin melakukan penelitian tentang
keadaan para perawi Hadis dan kemudian memberikan penilain
secara objektif dan penuh rasa tanggung jawab. Bahkan hasil
penelitian mereka banyak dikodifikasi dan dikemas dalam kitab-
kitab jarh dan ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dengan metode jarh dan ta’dil dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kitab yang khusus menerangkan perawi-perawi yang tepercaya,
seperti kitab al-Tsiqah karangan Ibnu Hibban (351 H) dan
alTsiqah karangan Zainuddin Qasim Al-Hanafi (879 H) yang terdiri
atas empat jilid yang memuat perawi tepercaya yang tidak
terdapat pada al-kutub al-sittah.
2. Secara khusus menerangkan perawi-perawi yang lemah, antara
lainkitab Adl al-Dhu’afa karya Imam Bukhari dan yang dikarang
oleh Ibnul Jauzi (597 H) serta al-Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H).
K itab Ibn ‘Adi dipandang sebagai kitab jarh yang paling lengkap,
yakni sebanyak 12 jilid, yang dijadikan sebagai pegangan ulama.
Kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, karangan az-Zahabi (748 H)
yang disusun secara alfabetis.
3. Kitab-kitab yang menghimpun perawi yang tepercaya dan
lemah,antara lain al-Jarh wa al-Ta’dil karangan Ibnu Hatim al-
Razi (337 H) sebanyak enam jilid dan al-Thabaqat al-Kubra
karangan Muhammad bin Sa’ad (235 H). Kitab-kitab tersebut
memuat perawi-perawi dari sahabat dan tabi’in serta generasi
sesudah mereka.

Faktor yang Membuat Perawi Dinilai Cacat


Ada dua regulasi kaidah yang berlaku pada jarh dan ta’dil. Pertama,
berdasarkan kepada cara-cara periwayatan H adis, sahnya
periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan kepada
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 101

mereka. Bagian ini dinamakan naqdun kharijiyyun (kritik eksternal).


Kritik eksternal adalah kritik yang datang dari luar Hadis, artinya
tidak mengenai isi Hadis. Kedua, kritik yang berkaitan dengan
matan Hadis itu sendiri, yakni apakah maknanya sahih atau tidak
serta apa yang menyebabkannya sahih dan tidak. Kritik ini disebut
naqdun dakhiliyyun (kritik internal).
Ibnu Hajar dalam mukadimah Fath al-Bary, ketika menyinggung
tentang kecacatan perawi, mengatakan bahwa “Pencacatan (tajrih)
terhadap seorang perawi tidak dapat diterima kecuali ada faktor-
faktor yang memang dengan jelas menyebabkan ia cacat.” Ada
beberapa faktor yang membuat seseorang dapat dinilai cacat,
namun semua berkisar pada lima hal:
1. Bidah (melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syariah).
2. Mukhalafah (pertentangan dengan periwayatan orang yang
lebih tsiqah).
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalat al-hal (identitas tidak dikenal).
5. Da’wah al-Inqitha’ (diduga keras sanad tidak bersambung).
Orang yang disifati dengan bidah adakalanya tergolong orang
yang dikafirkan dan adakalanya difasikkan. Mereka yang
dianggap kafir, misalnya golongan Rafidhah, mempercayai
bahwa Tuhan menyusup (bersatu) ada diri Ali dan imam lain
serta meyakini bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum
kiamat. Riwayat pelaku bidah yang digolongkan kafir tidak
dapat diterima menurut jumhur ulama. Sedangkan orang yang
dianggap fasik adalah yang mempunyai3
keyakinan berlawanan dengan dasar-dasar syariat.
Mukhalafah dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran
Hadis bila seorang perawi yang kuat ingatan serta jujur dalam

3
Muhammad Qomarullah, “KONTEKSTUALISASI ILMU AL- JARH WA AT-TA’DIL
DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN KORELASINYA DENGAN TEORI
KREDIBILITAS,” 2019.
102 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

meriwayatkan Hadis berlawanaan dengan riwayat orang yang lebih


kuat ingatan atau berlawanan dengan kebanyakan orang.
Periwayatan seperti itu disebut syaz, dan bila perlawanannya
begitu kuat atau perawinya lemah, periwayatannya disebut munkar.
Galath (kesalahan) kadang sedikit kadang banyak. Bila seorang
perawi disifati dengan banyak kesalahan, perlu diadakan peninjauan
kembali terhadap Hadis yang dia riwayatkan.
Kalau periwayatan tersebut terdapat juga pada periwayatan
orang lain yang tidak disifati galath, yakni diriwayatkan oleh orang
yang banyak salah, Hadis tersebut dapat dipakai namun bukan
menurut sanad-nya. Yang dipegangi adalah asal Hadis, karena
diriwayatkan juga oleh orang lain. Namun bila didapati cacat selain
sanad, riwayat itu hendaklah ditinggalkan. Sedangkan perawi yang
disifati dengan sedikit kesalahan, seperti lemah hafalan, salah
sangka, mempunyai hadis munkar, dan sebagainya, ditetapkan
seperti ketentuan hukum sebelumnya.
Jahalal al-hal (tidak diketahui identitas diri) merupakan
pantangan penerimaan Hadis selama belum jelas identitasnya.
Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik,
kemudian orang lain mengingkarinya, didahulukan penetapan orang
yang lebih dahulu mengenalnya, sebab dia tentu lebih tahu
ketimbang pengingkarnya.

Cara Mengetahui Keadilan dan Cacat Perawi


Sebagaimana telah dijelaskan, ta’dil (menganggap adil seorang
perawi) adalah memuji perawi dengan sifat-sifat yang dapat
membuatnya dinilai adil, yakni sifat yang dijadikan dasar-dasar
penerimaan riwayat. Keadilan perawi tersebut dapat diketahui
dengan cara: Pertama, terkenal sebagai orang yang adil di kalangan
ilmuwan, seperti Anas bin Malik, Sofyan al-Tsaury, Syu’bah bin al-
Hajaj, al-Syafi’i, dan sebagainya. Kedua, pujian dari orang yang adil,
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 103

yakni ditetapkan sebagai adil oleh orang yang adil, yakni perawi
yang di-ta’dil-kan belum dikenal sebagai perawi yang adil. 4
Penetapan tantang kecacatan perawi juga dapat ditempuh
melalui, pertama, berdasarkan berita tentang ketenarannya sebagai
orang yang cacat. Perawi yang dikenal sebagai fasik atau pendusta
di kalangan masyarakat tidak perlu dipersoalkan lagi. Cukuplah
ketenarannya itu dijadikan alasan untuk menetapkannya cacat.
Kedua, berdasarkan tajrih dari orang yang adil yang telah
mengetahui kenapa dia dinilai cacat. Ini menurut pendapat yang
dipegang muhaddisin. Sedangkan menurut fuqaha, sekurangnya
harus di-tajrih oleh orang yang adil.
Ta’dil dan tajrih seperti dijelaskan di atas tidak dapat diterima
kecuali dari orang-orang yang memenuhi persyaratan. Syarat
dimaksud adalah mu’addil dan jarih mesti berilmu pengetahuan,
takwa, wara’ (selalu menjauhi perbuatan maksiat, subhat, dan dosa
kecil serta hal makruh), jujur, menjauhi fanatisme golongan, serta
mengetahui sebab ta’dil dan tajrih.5
Selanjutnya tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk
melakukan ta’dil dan tajrih terhadap perawi juga terdapat
perselisihan pendapat, antara lain:
1. Minimal dua orang, baik dalam hal syahadah maupun riwayah.
Demikian menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan
lainnya.
2. Cukup seorang dalam hal riwayah, bukan syahadah; karena
bilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan H adis, tidak
pula disyaratkan dalam ta’dil dan tajrih perawi.
3. Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah maupun syahadah.
Sementara bila keadilannya diperoleh atas dasar pujian orang
banyak atau dimasyhurkan oleh ulama, tidak memerlukan orang
yang melakukan ta’dil (muzakki, mu’addil) seperti Malik, al-

4
Muh Haris Zubaidillah, “ILMU JARH WA TA’DIL,” preprint (Open Science
Framework, 17 Juli 2018), https://doi.org/10.31219/osf.io/y8wt6.
5
Disusun Oleh, “ILMU AL-JARH WA TA’DIL,” t.t.
104 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Laits, Ibn Mubarak, Syu’bah,


Ishak, dan lain-lain.
Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
A pabila terdapat ta’arud atau pertentangan antara jarh dan ta’dil
pada perawi, sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian lain men-
tajrihkan, dalam hal ini terdapat empat pendapat:
1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah
mu’addil lebih banyak dari jarh, sebab jarh tentu punya
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh mu’adil. Ini menurut
jumhur ulama.
2. Ta’dil harus didahulukan dari jarh, sebab yang digunakan jarh
bukan sebab yang betul-betul dapat mencacatkan, apalagi bila
dipengaruhi rasa benci. Mu’addil jelas tidak serampangan
dalam melakukan ta’dil.
3. Mendahulukan ta’dil jika jumlah mu’addil lebih banyak dari
jarh. Jumlah yang banyak dapat memperkuat.
4. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditemukan
orang yang menilainya sebagai cacat.
Pendapat-pendapat di atas bila jumlah penilai adil lebih banyak dari
penilai cacat. Jika jumlahnya seimbang, disepakati (ijma’)
mendahulukan jarh.

H ierarki L afaz Ta’dil dan Tajrih


Lafaz yang digunakan dalam ta’dil dan tajrih bertingkat-tingkat.
Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu al-Shalah, dan al-Nawawi, lafaz
tersebut disusun menjadi empat tingkat. Sedangkan menurut al-H
afiz al-Zahabi dan Al-Iraqy disusun menjadi lima tingkat serta
menurut Ibn Hajar enam tingkat. Tingkat-tingkat tersebut adalah:
1. Mengandung kelebihan perawi dalam hal keadilan
menggunakan lafaz berbentuk af ’al at-tafdhil atau ungkapan
lain yang mengandung pengertian sejenis, misalnya autsaq al-
nas tsiqatan fauqa al-tsiqat ilaih al-muntaha fi al-tsiqah atsbat
al-nas hifdzan wa ‘adalatan.
Bahrul Ma’ani, “al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis...” | 105

2. Memperkuat tsiqah perawi dengan membubuhi salah satu sifat


yang menunjukkan keadilan dan dhabit, baik sifat itu selafaz
(dengan mengulang) maupun semakna, misalnya hafidz, hujjah,
tsiqah, tsabit.
3. Menunjukkan keadilan dengan lafaz yang mengandung arti
“kuat ingatan”, misalnya tsabit, muttaqin, tsiqah.
4. Menunjukkan keadilan dan dhabit tetapi dengan lafaz yang
tidak mengandung arti kuat ingatan dan tsiqah, misalnya
shudduq, ma’mun, la ba’sa bih.
5. Menunjukkan kejujuran perawi, namun tidak dimengerti pada
dirinya ada dhabit, seperti hasan al-hadits, jayyid al-hadits,
mahalluh al-shidq.
6. Menunjukkan arti yang mendekati seperti sifat-sifat tersebut di
atas namun diikuti lafaz Allah atau lafaz tashgir atau dikaitkan
dengan pengharapan, seperti fulan maqbul haditsuh, arju
bianna la amr bih, shudduq insya Allah.
Para ulama H adis menggunakan H adis-hadis yang diriwayatkan
oleh perawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai
tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan Hadis dari rawi yang
di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh Hadis dari
perawi lain.
Sedangkan hierarki lafaz untuk men-tajrih-kan perawi adalah
sebagai berikut:
1. Menunjukkan kepada “sangat” perawi dalam cacat
menggunakan lafaz-lafaz berbentuk af ’al al-tafdhil atau
ungkapan lain yang mengandung pengertian seperti audha’ al-
nas dan akzab al-nas.
2. Menunjukkan “sangat” cacat menggunakan lafaz berbentuk
shighat mubalaghah seperti kazzab, wadhdha’, waqqal.
3. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong, dan lain
sebagainya, misalnya fulan minhum al-kazzab, fulan fih al-
nazhr.
106 | Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010

4. Menunjukkan kelemahan perawi, misalnya fulan dha’if.


5. Menunjukkan kepada kelemahan dan buruknya hafalan perawi,
misalnya fulan majhul, fulan munkar al-hadits.
6. Meneliti perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan
kelemahan tetapi berdekatan dengan ‘adil, misalnya fulan
maqal, fulan dha’if haditsuh, fulan layyin, fulan laisa al-hujjah.
Hadis dari orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai
keempat tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. A dapun orang
yang di-tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam masih dapat
dipakai sebagai i’tibar (perbandingan).

Kesimpulan
Pengujian terhadap persyaratan kesahihan suatu H adis yang
berkaitan dengan sanad telah dilakukan sejak awal dengan cara
meneliti kredibilitas para perawi, sehingga muncullah ilmu al-jarh
wa al-ta’dil. Ilmu ini adalah salah satu metode untuk mengetahui
cacat-tidaknya seorang perawi Hadis. Metode ini juga menentukan
nilai dan tingkatan sebuah Hadis sehingga terhindar dari skeptis dan
pemalsuan.[]
DAFTAR PUSTAKA

Ma’Ani, Bahrul. “AL-JARH WA AL-TA’DIL: UPAYA MENGHINDARI


SKEPTIS DAN HADIS PALSU,” t.t.
Oleh, Disusun. “ILMU AL-JARH WA TA’DIL,” t.t.
Qomarullah, Muhammad. “KONTEKSTUALISASI ILMU AL- JARH WA
AT-TA’DIL DALAM UPAYA MEMILIH WAKIL RAKYAT DAN
KORELASINYA DENGAN TEORI KREDIBILITAS,” 2019.
Widodo, Heru, dan Fahmi Irfanudin. “AL JARH WA AT-TA’DIL IN
RESEARCHING SANAD HADITS” 3, no. 1 (2020).
Zubaidillah, Muh Haris. “ILMU JARH WA TA’DIL.” Preprint. Open
Science Framework, 17 Juli 2018.
https://doi.org/10.31219/osf.io/y8wt6.

Anda mungkin juga menyukai