Anda di halaman 1dari 26

HADIS TEMATIK PENDIDIKAN

“ PembagianHadis dari Sudut Kualitas Periwayat Ditinjau Dari Kuantitas Sanad”


Dosen Pengampu: Dr. Sulidar, MA

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Yang Diwajibkan

Dalam Mengikuti Perkuliahan Hadis Tematik Pendidikan

Nama : NUR IKHWANA HRP


Nim : 0331223041
Semester : I (Satu)
Jurusan : Pendidikan Agama Islam

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERISTAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

2022
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam yang ke dua
sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan
dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman.
Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika
kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits.Oleh
karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan
suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
 Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadist adalah untuk menilai apakah
secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadist Nabi itu benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan keshahihannya berasal dari Nabi ataukah tidak.    Hal ini sangat
penting, mengingat kedudukan kualitas hadist erat sekali kaitannya dengan dapat atau
tidak dapatnya suatu hadist dijadikan hujjah (hujjat; dalil) agama.Dengan melihat dari
syarat-syarat yang telah di penuhi dalam suatu hadits sehingga dapat dikatakan sebagai
hadits shahih.
B. Rumusan Masalah
1.Apa pengertian dari Hadist Shahih ?
2.Apakah syarat syarat dari Hadist Shahih ?
3.Berapakah macam-macam Hadist Shahih itu ?
4.Bagaimana kualitas persambungan sanad Hadist Shahih?
BAB II
Pembahasan

A. Hadits Shahih Menurut Ulama Hadits

Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim

(sakit).MakahaditsShahihsecarabahasaadalahhaditsyangsehat,selamat,benar,sah,sempurna

danyangtidaksakit.

Secara istilah menurut Shubhial Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya

bersambung,diriwayatkan oleh periwayat yang‘adil dan dhâbith hingga bersambung

kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan

sahabattanpamengandungsyâdz(kejanggalan)ataupun‘illat(cacat).1

Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan

Muqaddimah Ibnal-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan“Hadits yang

disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat

yang‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan

tidakmengandung‘illat(cacat)”.2

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr

lebihringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang

yang‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak

ber-syâdz”.

Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui


limamacamkriteriahaditsshahihyaitupertama,sanadnyabersambung;kedua,para periwayatnya ‘adil;
ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dankelima,terhindardari‘illat.

1
Shubhial-Shalih,‘Ulûmal-HaditswaMusthalahuh,Daral-‘Ilmlial-Malayin,Beirut,tahun1988,hal.
145.
2
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,‘Ulûmal-Hadits,al-Maktabahal-Islamiyahal-
Madinahal-Munawwarah,tahun1972,hal.10.
Ahmadibn‘AliibnHajaral-‘Asqalani,Nuzhahal-NazhârSyarhNukhbahal-Fikâr,Maktabahal-
3

Munawwar,Semarang, tth., hal. 51.


1.Sanad Bersambung (Ittishâlal-Sanad)

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat

dalamsanadhaditsmenerimariwayathaditsdariperiwayatterdekatsebelumnya,keadaanit

u berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu. 4 Persambungan sanad

ituterjadi semenjak (penghimpun riwayat hadits dalam kitabnya) sampai pada

periwayatpertama dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan

dari NabiSaw.

Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad pertama sampai

sanadterakhir dari kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad saw, atau

persambungan itu terjadi mulai dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai

periwayat terakhir(mukharrijhadits). Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan

ulama hadits dinamai dengansebutan yang beragam.

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

b. Mempelajarisejarahhidupmasing-masingperiwayatyangdilakukan:

(1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karyaal-

Mizzi,Tahdzibal-TahdzibkaryaIbnHajaral-‘Asqalani,dankitabal-Kasyif

olehMuhammadibnAhmadal-Dzahabi.

(2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat dalam sanad itu

dikenalsebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith), serta tidak suka

melakukantadlis(menyembunyikancacat),apakahantaraparaperiwayatdenganp

eriwayatterdekatdalamsanadituterdapathubungankesezamananpadamasalampa

udanhubunganguru-muriddalamperiwayatanhadits.

c. Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits) yang

menghubungkanantara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad.


Kata-kata yangdipakai dalam sanad berupa: Haddatsani, Haddatsana, Akhbarani,

Akhbarana,Sami’tu,‘An,Anna,dansebagainya.9

Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu

haditsdinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu diketahui apakah

paraperiwayatdipastikanbenar-benar meriwayatkan hadits dari periwayat terdekat

sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan

murid,atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

2. Periwayat Bersifat‘Adil

Paraulamaberbedapendapattentangkriteria-kriteriaperiwayathaditsdisebut

‘Adil.Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut‘adil apabila beragama Islam,


tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat. 10 Ibn al-Shalah menetapkan
limakriteriaseorangperiwayatdisebut‘adil,yaituberagamaIslam,baligh,berakal,memeli
haramaru’ahdantidakberbuat fasik.11
Berdasarkanperyataanparaulamadiatasdiketahuiberbagaikriteriaperiwayat
hadits dinyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah
(1)beragamaIslam;(2)baligh;(3)berakal;(4)takwa;(5)memeliharamaru’ah;(6)teguh
dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9)tidak
berbuat bid’ah; dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian banyak kriteria di
ataskemudiandiringkasmenjadiempatkriteria,yaitu:(1)beragamaIslam;(2)mukalaf;
(3)melaksanakanketentuanagama;dan(4)memelihara maru’ah.

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadits ulama telah menetapkanbeberapa


cara, yaitu pertama,melalui popularitas keutamaan periwayat di kalanganulama hadits.
Periwayatyang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibnAnas dan Sufyan al-
Tsawri tidak diragukan ke‘adilannya.Kedua, penilaian dari parakritikus periwayat
hadits.
9
Ibid,.halaman.128.
Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dankekurangan (al-

Tarjih) yang ada pada diri periwayat hadits.Ketiga, penerapan kaidahal-jarh wa al-

ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadits

tidaksepakattentangkualitas pribadi periwayat tertentu.12

Ketiga cara di atas diprioritaskan dari urutan yang pertama kemudian

yangberikutnya.Jelasnya,keadilanseorangperiwayathaditsdapatdiketahuimelaluipopul

aritaskeutamaannyadikalanganparaulama.Jikaseorangperiwayathaditsterkenaldengank

eutamaannyasepertiMalikibnAnasdanSufyanal-Tsawri,maka

10
Al-Hakimal-Naysaburi,Ma’rifah‘Ulumal-Hadits,Maktabahal-Mutanabbih,Kairo,tth.,hal.53.
11
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.94.
12
M.SyuhudiIsmail,op.cit.,halaman.134.
dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat ‘adil,

namunberdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits diketahui bahwa ia

bersifat ‘adil,maka ditetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi, bila terjadi

perbedaan pendapattentang ‘adil tidaknya seseorang periwayat hadits, maka

digunakanlah kaidah-kaidahal-jarhwaal-ta’dil.

Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti

seorangperiwayathaditsyangterkenal‘adiltidakdapatdinilaidenganpenilaianyangberlaw

anan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat hadits maupun berdasar

penetapan kaidahal-jarhwaal-ta’dil. Popularitas keadilan seseorang didahulukan

sebab kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukanmengingat

saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara yang kedua

yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.

Demikian pula, seorang periwayat hadits yang dinilai ‘adil oleh seorang

ataubeberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya,

makapenilaian tersebut yang digunakan, bukan dengan menetapkan kaidah al-jarh wa

al-ta’dil.Sebab,parakritikusperiwayatitulahyangmengetahuikualitasperiwayathadits

yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyataterjadi

perbedaan pendapat di kalangan kritikus periwayat tentang kualitas

seorangperiwayathadits.

3. Periwayat Hadits Bersifat Dhâbith

Untuk hadits shahih, para periwayatnya berstatus dhâbith. Secara

sederhanakatadhâbithdapatdiartikandengankuathafalan.Kekuatanhafalaninisamapenti

ngnyadengankeadilan.Kalaukeadilanberkenaandengankapasitaspribadi,
maka kata dhâbith terkait dengan kualitas intelektual.Dhâbithbukan hanya

hafalanparaperiwayat sajatapi juga catatannya.

Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat.

Seseorangyang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan

objektiftidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara

informasi itu.Sebaliknya, orangyang mampu memelihara, hafaldan paham terhadap

informasiyang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka

informasiyangdisampaikannyatidakdapatdipercaya.Karenaitu,olehparaulamahaditskea

dilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadits kemudian

dijadikansatu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayatyang tsiqah adalah periwayat yang

‘adildandhâbith.

Dikalanganulama,pengertian dhâbith dinyatakan dengan redaksi yang

beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang

yangdisebut dhâbith orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan

mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.13

Muhammad‘Ajajal-Khatib sesorang disebut dhâbith yaitu keter jagaan

seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengar serta

menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain.14

Sementaraitu,Shubhial-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhâbith adalah

orang yang mendengarkan riwayat hadits sebagaimana seharusnya, memahami

dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna dan memiliki

13
Ahmadibn‘AliibnHajaral-‘Asqalani, op.cit.,halaman.13.
14
Muhammad‘Ajajal-Khatib,Pokok-PokokIlmuHadits,GayaMediaParma,Jakarta,tahun2007,hal.
203.
Kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendenga rriwayat itu

sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.15

Ini merupakan terjemahan harfiah dari kata Hafidz yang sebenarnya

mengandung makna memelihara atau menjaga baik dihafalan maupun catatannya.

Berdasarkanbeberapapendapatyangdikemukakanparaulamahaditsdiatas,

M.Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa criteria dhâbith adalah:

Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah

didengar. Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik

riwayat hadits yang telah didengar, dengan kemungkinan pertimbangan bahwa:

(1)Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya,

maka dengan sendirinya ia telah memahami apa yang telah dihafalnya.

(2)Dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan

pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. Pertimbangan pertama tidak

cukup kuat karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu

yang dihafalnya. Karen aitu, pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an

menurut sebagian ulama diatas.

Kedua,periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didenga ratau

diterimanya. Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat disebut

sebagai orangyang dhâbith, meskipun ada ulamayang mendasarkan ke-dhâbith-an

bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan

pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap haditsdengan baik

dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan pemahaman terhadap hadits tersebut,

maka tingkat ke-dhâbith-an lebih tinggi dari periwayat tersebut.


15
Shubhial-Shalih,op.cit.,halaman.128.
Ketiga, periwayat itu mampu menyampaikan riwayatyang dihafal denganbaik,

kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepadaorang

lain. Kemampuan hafal yang dituntut dari seseorang periwayat, sehingga iadisebut

seorang yang dhâbith adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayatkepada

orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini dimaksudkan padakenyataan

bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyaibatas,

misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab

lainnya.Periwayat hadits yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena

pikun atausebab lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah,

Rabi’ah al-Ra’i ibn Abi ‘Abdal-Rahman.16Periwayatyang mangalami kemampuan

hafalantetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhâbith sampai saat sebelum

mengalami perubahan, sebaliknya periwayat yang mengalami perubahan hafalan

dinyatakan tidak dhâbith.

Sebagaimana halnya periwayat yang‘adil, periwayat yang dhâbith dapat

diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dhâbith-an periwayat

hadits menurut berbagai pendapat ulama adalah:

(1) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama;

(2) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya

dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-

dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat

harfiah;

16
MuhammadibnAhmadibn ‘Utsmanal-Dzahabi,al-Mughnfial-Dhu’afa’Daral-Ma’arif, Suriah,tahun
1971,juz I,hal. 177,230, 256,264,268-269,juz II,hal. 412.
(3) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhâbith

asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan

dalam riwayat hadits, maka tidak disebut dhâbith.17

Kualitas ke-dhâbith-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama.

Adaperiwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada yang dhâbith saja bahkan ada

yangkurang dhâbith serta tidak dhâbith. Hadits yang disampaikan oleh periwayat

yangdhâbith dapat dikelompokkan pada hadits shahih.

Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang kurang dhâbith dapat

dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal hadits yang

diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadits

itukepadaoranglain.

Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap hadits yang

diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadits dan

hadits yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai haditsdha’if.

4. Terhindar dari Syâdz

Secara bahasa, Syâdz merupakan isimfa’il dari syadzdza yang berarti

menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits yang diriwayatkan

olehperiwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat periwayatyang

lebihtsiqah.18Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan

ulama hadits.Menurut al-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila

diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat

banyak periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung

Syâdz bila

17
AbuZakariyaYahyaibnSyarafal-Nawawi,ShahihMuslimbiSyarhal-Nawawi,al-Mathba’ahal
Mishriyyah,Mesir, juz I, tahun1987, hal. 50.
18
M.SyuhudiIsmail,op.cit.,halaman.117.
Hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah

Tidak meriwayatkannya.19

Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila:

(1)hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para periwayat hadits seluruhnya

tsiqah;dan (3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-

Hakim,suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya

diriwayatkan oleh seorang periwayat;(2)periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.

Sebaliknya, menurutal-Syafi’i, suatu hadits tidak mengandung Syâdz apabila:

(1)haditsituhanyadiriwayatkanolehseorangperiwayat;(2)periwayatyangtidak

tsiqah.

5. Terhindar dari ‘Illat

Jikadalamsebuahhaditsterdapatcacattersembunyidansecaralahiriahtampaksha

hih,makahaditsitudinamakanhaditsmu’allal,yaituhaditsyangmengandung ‘illat. Kata

al-Mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (iamencacatkannya).20 Secara

bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit,dan keburukan.21 Menurut

istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyiyang dapat merusak

keshahihan hadits.22Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-

Din‘Itrmenyatakanbahwa‘illatadalahsebabyangtersembunyiyangmerusak

19
Al-Hakimal-Naysaburi,op.cit.,halaman.119.
20
Mahmudal-Thahan,TaysîrMusthalahal-Hadits,SyirkahBungkulIndah,Surabaya,tth., hal.100-101.
21
MuhammadibnMukarramIbnManzhur,Lisânal-‘Arâb,Daral-
Mishriyah,Mesir,juzXII,tth.,hal.498danAhmadibnMuhammadal-Fayyumi, al-Mishbâh,juz II,hal. 509.
22
Mahmudal-Thahan,op.cit.,halaman.100-101.
kualitashadits,yang menyebabkan haditsyang pada lahirnya

tampakberkualitsshahihmenjadi tidakshahih.23

Sebagaisebabkecacatanhadits,pengertian‘illatdisiniberbedadenganpengertian

‘illat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuathafalan.

Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’natau al-jarh

dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum.

Cacatumuminidapatmengakibatkanpulalemahnyasanad,tetapihaditsyangmengandung

cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut Shalah al-Dinal-Adhabi,

yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah hadits yang diriwayatkanoleh seorang

periwayat tsiqah, yang berdasarkan telaah seorang kritikus

ternyatamengandung‘illatyangmerusakkeshahihannya,meskisecaralahiriahtampakter

hindar dari ‘illat tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari

‘illattetapisetelahditelititernyatamengandung ‘illatyangmerusakkankeshahihannya.24

Dilihat dari segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz,

yaitukeduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam

haditsmu’allal,‘illatnyadapatditemukansedangkandalamhaditssyadztidakkarenadala

m hadits syadz memang tidak terdapat ‘illat. Sebagimana telah dijelaskan,

tidakadanya‘illatmerupakansalahsatusyaratkeshahihansuatuhadits. Jikasesuatuhadits

mengandung ‘illat, maka hadits dinyatakan tidak shahih. mrnurut istilah

ahlihadits,‘illatberartisebabyangtersembunyiyangdapatmerusakkeshahihanhadits.

23
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.81.AbuZakariya YahyaibnSyarf al-
Nawawi, hal. 10, dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Fikr,Damaskus,tahun1997) hal. 447.
24
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Aflaq al-Jadidah, Beirut, tahun1983M, hal.147.
Ini berarti, suatu sebab yang tidak tersembunyi dan tidak samar serta tidak

merusakkeshahihanhadits tidakdisebut‘illat.

Mengetahui‘illatsuatuhaditstidakmudahsebabmembutuhkanupayamenyingka

p ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat diketahui

selainorangyangahlidalambidangilmuhadits.Tidakbanyakorangyangdapatmenyingka

p ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini,Ahmad,al-

Bukhari,IbnAbi Hatim,danal-Daruqutni.25

Menurut al-Khathib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat hadits

adalahdenganmenghimpunseluruhsanadnya,melihatperbedaandiantaraparaperiwayat

nyadanmemperhatikanstatushafalan,keteguhandankedhabithanmasing-masing

periwayat.26 Menurut ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, untuk mengetahui‘illat hadits

diperlukan intuisi (ilham).27 Sebagian ulama menyatakan bahwa orangyang mampu

meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalanhadits yang

banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannyatentang

berbagai tingkat ke-dhabithan periwayat, dan ahli dibidang sanad dan

matanhadits.28Al-Hakimal-

Naysaburiberpendapat,acuanutamapeneliti‘illathaditsadalahhafalan,pemahaman

danpengetahuanyangluas tentanghadits.29

Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada sanad

danmatansekaligus.Akantetapi,yangterbanyak‘illatterjadipadasanad.Masing-

25
Mahmudal-Thahan,op.cit.,halaman.99-100.
26
Shalahal-DinibnAhmadal-Adhabi,op.cit.,halaman.148.
27
Jalalal-Din‘Abdal-RahmanibnAbiBakaral-Suyuthi,Tadribal-RawifiSyarhTaqribal-Nawawi,Daral-
Fikr,Beirut,juz I, tahun1988, hal.252.
28
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.81.
29
Al-Hakimal-Naysaburi,op.cit.,halaman.112.
masing hadits, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau pada sanad dan

matansekaligusdapat disebut denganhaditsmu’allal.

C. Macam-macam Hadist Shahih


Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
a. Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.

Contohnya:

ِ ِ‫َس ْبنَ َمال‬


‫ك‬ َ ‫ْت اَن‬ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ْت اَبِ ْي قَا َل‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬ َ َ‫ال َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا ُم ْعتَ ِم ُر ق‬
َ َ‫اريْ ق‬ ِ ‫َما اَ ْخ َر َجهُ ْالبُ َخ‬
,‫ك ِمنَ ْال َعجْ ِز َو ْال َك َس ِل‬َ ِ‫ اَللَّهُ َّم اِنِّ ْي اَ ُعوْ ُذ ب‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل‬ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ال‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫َر‬
‫ب ْالقَبْر‬ِ ‫ك ِم ْن َع َذا‬ َ ِ‫ َواَ ُعوْ ُذ ب‬,‫ت‬ ِ ‫ َو اَ ُعوْ ُذ بِكَ ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْال َمحْ يَا َو ْال َم َما‬,‫ َو ْال ُجب ِْن َو ْالهَ َر ِم‬.
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami
musaddad, memberitakan kepada kami mu’tamir ia berkata: aku mendengar ayahku
berkata: aku mendengar anas bin malik berkata: nabi saw berdo’a: “Ya Allah sesungguhnya
aku mohon perlindungan kepada engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku
mohon perlindungan kepada engkau dari fitnah hidup dan mati, dan aku mohon
perlindungan kepada engkau dari adzab kubur.” b.Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.
Hadits di bawah ini merupakan hadits contoh hadits hasan lidzatihi yang naik derajadnya
menjadi hadits shahih li ghairihi:

ِ ‫اس َأَل َمرْ تَهُ ْم بِالس َِّوا‬


َ ‫ك َم َع ُك ِّل‬
‫صاَل ٍة‬ ِ َّ‫ق َعلَى اُ َّمتِ ْي اَوْ َعلَى الن‬
َّ ‫لَوْ اَل اَ ْن اَ ُش‬
 (‫)رواه البخاري‬
“Andaikan tidak memberatkan kepada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada
setiap kali hendak melaksanakan shalat” (HR. Bukhari).

19
C. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih
1. Hubungan Para Periwayat yang Terdekat
Hadist yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya dalam al-kutub al-
khamsah, terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadist termuat nama-nama periwayat
dan kata-kata atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing
periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat.
Matan hadist yang shahih, atau tampak shahih, belum tentu sanad-nya shahih. Sebab
boleh jadi, dalam sanad hadist itu terdapat periwayat yang tidak shiqoh (adil dan dhabit).
Suatu sanad yang memuat nama-nama periwayat yang shiqoh , belum tentu pula sanad itu
shahih. Sebab boleh jadi, dalam rangkaian nama-nama periwayat yang shiqoh itu terdapat
keterputusan hubungan periwayatan. Ini berarti, terpenuhinya kaedah mayor sanad
bersambung bukan hanya ditentukan oleh ke-shiqoh-an para periwayatan saja, melainkan
juga ditentukan oleh terjadinya hubungan periwayatan secara sah antara masing-masing
periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad tersebut.
2. Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat
Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada
sanad yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya. Kata-kata dimaksud merupakan “lambang” tentang cara-cara yang telah
ditempuh oleh periwayat tatkala menerima riwayat hadist yang bersangkutan. Kata-kata
dimaksud bermacam-macam bentuknya dan beragam tingkat kualitasnya.  
Menurut ketentuan, apabila periwayat menerima hadits dengan cara al-sama’,
misalnya, maka dalam sanad, sebelumnya dia menyebutkan nama periwayat yang telah
menyampaikan hadits kepadanya, terlebih dahulu dia menyebutkan kata sami’na, atau
haddasaniy, atau haddasana. Tetapi dalam praktek, suatu sanad yang periwayatannya
menggunakan salah satu dari ketiga macam kata tersebut tidak selalu mununjukkan bahwa
periwayat yag bersangkutan telah menerima riwayat dimaksud dengan cara al-sama’. Hal
ini terjadi pada sanad yang periwayatannya bersifat shiqoh. Sebagai contoh, dapat
dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, sebagai berikut:

20
ْ ، ‫عن حميد الطو ْي ِل‬
‫عن ا نس ْب ِن ما‬ ْ ‫يج‬
ٍ ‫ ثنا ا بْن جر‬، ‫علي‬ٍّ ‫ ثنا مسلمة ب ُْن‬، ‫ح ّد ثنا هشا م بْن عما ٍر‬
‫(روا ه ابن ما جه عن ا نس بن ما‬.‫ث‬ٍ ‫م ال يعو د مر يضا اِ ال بعْد ثال‬.‫ كا ن النّب ٌّي ص‬: ‫ قا ل‬،‫لك‬ ٍ
)‫لك‬
Artinya :
Hisyam bin ‘Ammar telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Maslamah bin ‘Ulayy
telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Ibn Jurayj telah memberitahukan kepada
kami, (berita itu) dari Humayd al-Thawil dan Anas bin Malik katanya : Nabi telah
menjenguk orang yang sakit, kecuali sesudah tiga hari. (Hadist riwayat Ibn Majah dari Anas
bin Malik). 

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian hadits Shahih secara istilah (terminologi), maknanya adalah: hadits yang muttasil (
bersambung ) sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan tidak pula
terdapat billat yang merusak.  Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui
periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke
akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa
‘illat (penyakit).
2. Syarat-Syarat Hadist Shahih.
Menurut ta’rif muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila telah
memenuhi lima syarat :
a.Rawinya bersifat adil
b.Sempurna ingatan
c.Sanadnya tidak putus
d.Hadist itu tidak ber’illat
e.Tidak Janggal
3. Macam-macam Hadist Shahih
Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
a.Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara
sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi
dari sifat sebuah hadits maqbul.

4. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih

a. Hubungan Para Periwayat yang Terdekat


Hadist yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya dalam al-kutub al-khamsah,
terdiri dari matan dan sanad.Dalam sanad hadist termuat nama-nama periwayat dan kata-kata

22
atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat.
b. Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat
Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada
sanad yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

AbuZakariyaYahyaibnSyarafal-Nawawi,tahun1987

ShahihMuslimbiSyarhal-Nawawi,al-Mathba’ahal-Mishriyyah,Mesir, juz I, tahun1987


Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah, tahun1972 ‘Ulûmal-Hadits,al-
Maktabahal-Islamiyahal-Madinahal-Munawwarah
Ahmadibn‘AliibnHajaral-‘Asqalani, hal. 51.Nuzhahal-NazhârSyarhNukhbahal-
Fikâr,Maktabahal-Munawwar,Semarang, tth.
Shubhial-Shalih, tahun1988.‘Ulûmal-HaditswaMusthalahuh,Daral-‘Ilmlial-
Malayin,Beirut.

24
25

Anda mungkin juga menyukai