SUMATERA UTARA
2022
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam yang ke dua
sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan
dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman.
Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika
kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits.Oleh
karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan
suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadist adalah untuk menilai apakah
secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadist Nabi itu benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan keshahihannya berasal dari Nabi ataukah tidak. Hal ini sangat
penting, mengingat kedudukan kualitas hadist erat sekali kaitannya dengan dapat atau
tidak dapatnya suatu hadist dijadikan hujjah (hujjat; dalil) agama.Dengan melihat dari
syarat-syarat yang telah di penuhi dalam suatu hadits sehingga dapat dikatakan sebagai
hadits shahih.
B. Rumusan Masalah
1.Apa pengertian dari Hadist Shahih ?
2.Apakah syarat syarat dari Hadist Shahih ?
3.Berapakah macam-macam Hadist Shahih itu ?
4.Bagaimana kualitas persambungan sanad Hadist Shahih?
BAB II
Pembahasan
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim
(sakit).MakahaditsShahihsecarabahasaadalahhaditsyangsehat,selamat,benar,sah,sempurna
danyangtidaksakit.
Secara istilah menurut Shubhial Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya
sahabattanpamengandungsyâdz(kejanggalan)ataupun‘illat(cacat).1
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan
yang‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan
tidakmengandung‘illat(cacat)”.2
lebihringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak
ber-syâdz”.
1
Shubhial-Shalih,‘Ulûmal-HaditswaMusthalahuh,Daral-‘Ilmlial-Malayin,Beirut,tahun1988,hal.
145.
2
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,‘Ulûmal-Hadits,al-Maktabahal-Islamiyahal-
Madinahal-Munawwarah,tahun1972,hal.10.
Ahmadibn‘AliibnHajaral-‘Asqalani,Nuzhahal-NazhârSyarhNukhbahal-Fikâr,Maktabahal-
3
dalamsanadhaditsmenerimariwayathaditsdariperiwayatterdekatsebelumnya,keadaanit
dari NabiSaw.
Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad pertama sampai
persambungan itu terjadi mulai dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai
b. Mempelajarisejarahhidupmasing-masingperiwayatyangdilakukan:
(1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karyaal-
Mizzi,Tahdzibal-TahdzibkaryaIbnHajaral-‘Asqalani,dankitabal-Kasyif
olehMuhammadibnAhmadal-Dzahabi.
(2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat dalam sanad itu
dikenalsebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith), serta tidak suka
melakukantadlis(menyembunyikancacat),apakahantaraparaperiwayatdenganp
eriwayatterdekatdalamsanadituterdapathubungankesezamananpadamasalampa
udanhubunganguru-muriddalamperiwayatanhadits.
Akhbarana,Sami’tu,‘An,Anna,dansebagainya.9
sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan
2. Periwayat Bersifat‘Adil
Paraulamaberbedapendapattentangkriteria-kriteriaperiwayathaditsdisebut
Tarjih) yang ada pada diri periwayat hadits.Ketiga, penerapan kaidahal-jarh wa al-
yangberikutnya.Jelasnya,keadilanseorangperiwayathaditsdapatdiketahuimelaluipopul
aritaskeutamaannyadikalanganparaulama.Jikaseorangperiwayathaditsterkenaldengank
eutamaannyasepertiMalikibnAnasdanSufyanal-Tsawri,maka
10
Al-Hakimal-Naysaburi,Ma’rifah‘Ulumal-Hadits,Maktabahal-Mutanabbih,Kairo,tth.,hal.53.
11
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.94.
12
M.SyuhudiIsmail,op.cit.,halaman.134.
dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat ‘adil,
bersifat ‘adil,maka ditetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi, bila terjadi
digunakanlah kaidah-kaidahal-jarhwaal-ta’dil.
seorangperiwayathaditsyangterkenal‘adiltidakdapatdinilaidenganpenilaianyangberlaw
anan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat hadits maupun berdasar
saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara yang kedua
yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.
Demikian pula, seorang periwayat hadits yang dinilai ‘adil oleh seorang
ataubeberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya,
al-ta’dil.Sebab,parakritikusperiwayatitulahyangmengetahuikualitasperiwayathadits
yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyataterjadi
seorangperiwayathadits.
sederhanakatadhâbithdapatdiartikandengankuathafalan.Kekuatanhafalaninisamapenti
ngnyadengankeadilan.Kalaukeadilanberkenaandengankapasitaspribadi,
maka kata dhâbith terkait dengan kualitas intelektual.Dhâbithbukan hanya
Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat.
Seseorangyang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan
informasiyang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka
informasiyangdisampaikannyatidakdapatdipercaya.Karenaitu,olehparaulamahaditskea
dilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadits kemudian
dijadikansatu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayatyang tsiqah adalah periwayat yang
‘adildandhâbith.
yangdisebut dhâbith orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan
seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengar serta
13
Ahmadibn‘AliibnHajaral-‘Asqalani, op.cit.,halaman.13.
14
Muhammad‘Ajajal-Khatib,Pokok-PokokIlmuHadits,GayaMediaParma,Jakarta,tahun2007,hal.
203.
Kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendenga rriwayat itu
Berdasarkanbeberapapendapatyangdikemukakanparaulamahaditsdiatas,
Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah
(1)Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya,
cukup kuat karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu
yang dihafalnya. Karen aitu, pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an
Kedua,periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didenga ratau
bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan
pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap haditsdengan baik
dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan pemahaman terhadap hadits tersebut,
kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepadaorang
lain. Kemampuan hafal yang dituntut dari seseorang periwayat, sehingga iadisebut
misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab
pikun atausebab lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah,
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-
dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat
harfiah;
16
MuhammadibnAhmadibn ‘Utsmanal-Dzahabi,al-Mughnfial-Dhu’afa’Daral-Ma’arif, Suriah,tahun
1971,juz I,hal. 177,230, 256,264,268-269,juz II,hal. 412.
(3) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhâbith
asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan
Adaperiwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada yang dhâbith saja bahkan ada
yangkurang dhâbith serta tidak dhâbith. Hadits yang disampaikan oleh periwayat
dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal hadits yang
itukepadaoranglain.
Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap hadits yang
menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits yang diriwayatkan
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat
banyak periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung
Syâdz bila
17
AbuZakariyaYahyaibnSyarafal-Nawawi,ShahihMuslimbiSyarhal-Nawawi,al-Mathba’ahal
Mishriyyah,Mesir, juz I, tahun1987, hal. 50.
18
M.SyuhudiIsmail,op.cit.,halaman.117.
Hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah
Tidak meriwayatkannya.19
(1)hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para periwayat hadits seluruhnya
tsiqah;dan (3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-
Hakim,suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya
(1)haditsituhanyadiriwayatkanolehseorangperiwayat;(2)periwayatyangtidak
tsiqah.
Jikadalamsebuahhaditsterdapatcacattersembunyidansecaralahiriahtampaksha
bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit,dan keburukan.21 Menurut
istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyiyang dapat merusak
Din‘Itrmenyatakanbahwa‘illatadalahsebabyangtersembunyiyangmerusak
19
Al-Hakimal-Naysaburi,op.cit.,halaman.119.
20
Mahmudal-Thahan,TaysîrMusthalahal-Hadits,SyirkahBungkulIndah,Surabaya,tth., hal.100-101.
21
MuhammadibnMukarramIbnManzhur,Lisânal-‘Arâb,Daral-
Mishriyah,Mesir,juzXII,tth.,hal.498danAhmadibnMuhammadal-Fayyumi, al-Mishbâh,juz II,hal. 509.
22
Mahmudal-Thahan,op.cit.,halaman.100-101.
kualitashadits,yang menyebabkan haditsyang pada lahirnya
tampakberkualitsshahihmenjadi tidakshahih.23
Sebagaisebabkecacatanhadits,pengertian‘illatdisiniberbedadenganpengertian
‘illat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuathafalan.
Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’natau al-jarh
Cacatumuminidapatmengakibatkanpulalemahnyasanad,tetapihaditsyangmengandung
cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut Shalah al-Dinal-Adhabi,
yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah hadits yang diriwayatkanoleh seorang
ternyatamengandung‘illatyangmerusakkeshahihannya,meskisecaralahiriahtampakter
hindar dari ‘illat tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari
‘illattetapisetelahditelititernyatamengandung ‘illatyangmerusakkankeshahihannya.24
Dilihat dari segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz,
haditsmu’allal,‘illatnyadapatditemukansedangkandalamhaditssyadztidakkarenadala
tidakadanya‘illatmerupakansalahsatusyaratkeshahihansuatuhadits. Jikasesuatuhadits
ahlihadits,‘illatberartisebabyangtersembunyiyangdapatmerusakkeshahihanhadits.
23
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.81.AbuZakariya YahyaibnSyarf al-
Nawawi, hal. 10, dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Fikr,Damaskus,tahun1997) hal. 447.
24
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Dar al-
Aflaq al-Jadidah, Beirut, tahun1983M, hal.147.
Ini berarti, suatu sebab yang tidak tersembunyi dan tidak samar serta tidak
merusakkeshahihanhadits tidakdisebut‘illat.
Mengetahui‘illatsuatuhaditstidakmudahsebabmembutuhkanupayamenyingka
selainorangyangahlidalambidangilmuhadits.Tidakbanyakorangyangdapatmenyingka
p ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini,Ahmad,al-
Bukhari,IbnAbi Hatim,danal-Daruqutni.25
adalahdenganmenghimpunseluruhsanadnya,melihatperbedaandiantaraparaperiwayat
nyadanmemperhatikanstatushafalan,keteguhandankedhabithanmasing-masing
meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalanhadits yang
matanhadits.28Al-Hakimal-
Naysaburiberpendapat,acuanutamapeneliti‘illathaditsadalahhafalan,pemahaman
danpengetahuanyangluas tentanghadits.29
Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada sanad
danmatansekaligus.Akantetapi,yangterbanyak‘illatterjadipadasanad.Masing-
25
Mahmudal-Thahan,op.cit.,halaman.99-100.
26
Shalahal-DinibnAhmadal-Adhabi,op.cit.,halaman.148.
27
Jalalal-Din‘Abdal-RahmanibnAbiBakaral-Suyuthi,Tadribal-RawifiSyarhTaqribal-Nawawi,Daral-
Fikr,Beirut,juz I, tahun1988, hal.252.
28
Abu‘Amr‘Utsmanibn‘Abdal-RahmanIbnal-Shalah,op.cit.,halaman.81.
29
Al-Hakimal-Naysaburi,op.cit.,halaman.112.
masing hadits, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau pada sanad dan
Contohnya:
19
C. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih
1. Hubungan Para Periwayat yang Terdekat
Hadist yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya dalam al-kutub al-
khamsah, terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadist termuat nama-nama periwayat
dan kata-kata atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing
periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat.
Matan hadist yang shahih, atau tampak shahih, belum tentu sanad-nya shahih. Sebab
boleh jadi, dalam sanad hadist itu terdapat periwayat yang tidak shiqoh (adil dan dhabit).
Suatu sanad yang memuat nama-nama periwayat yang shiqoh , belum tentu pula sanad itu
shahih. Sebab boleh jadi, dalam rangkaian nama-nama periwayat yang shiqoh itu terdapat
keterputusan hubungan periwayatan. Ini berarti, terpenuhinya kaedah mayor sanad
bersambung bukan hanya ditentukan oleh ke-shiqoh-an para periwayatan saja, melainkan
juga ditentukan oleh terjadinya hubungan periwayatan secara sah antara masing-masing
periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad tersebut.
2. Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat
Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada
sanad yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya. Kata-kata dimaksud merupakan “lambang” tentang cara-cara yang telah
ditempuh oleh periwayat tatkala menerima riwayat hadist yang bersangkutan. Kata-kata
dimaksud bermacam-macam bentuknya dan beragam tingkat kualitasnya.
Menurut ketentuan, apabila periwayat menerima hadits dengan cara al-sama’,
misalnya, maka dalam sanad, sebelumnya dia menyebutkan nama periwayat yang telah
menyampaikan hadits kepadanya, terlebih dahulu dia menyebutkan kata sami’na, atau
haddasaniy, atau haddasana. Tetapi dalam praktek, suatu sanad yang periwayatannya
menggunakan salah satu dari ketiga macam kata tersebut tidak selalu mununjukkan bahwa
periwayat yag bersangkutan telah menerima riwayat dimaksud dengan cara al-sama’. Hal
ini terjadi pada sanad yang periwayatannya bersifat shiqoh. Sebagai contoh, dapat
dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, sebagai berikut:
20
ْ ، عن حميد الطو ْي ِل
عن ا نس ْب ِن ما ْ يج
ٍ ثنا ا بْن جر، عليٍّ ثنا مسلمة ب ُْن، ح ّد ثنا هشا م بْن عما ٍر
(روا ه ابن ما جه عن ا نس بن ما.ثٍ م ال يعو د مر يضا اِ ال بعْد ثال. كا ن النّب ٌّي ص: قا ل،لك ٍ
)لك
Artinya :
Hisyam bin ‘Ammar telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Maslamah bin ‘Ulayy
telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Ibn Jurayj telah memberitahukan kepada
kami, (berita itu) dari Humayd al-Thawil dan Anas bin Malik katanya : Nabi telah
menjenguk orang yang sakit, kecuali sesudah tiga hari. (Hadist riwayat Ibn Majah dari Anas
bin Malik).
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian hadits Shahih secara istilah (terminologi), maknanya adalah: hadits yang muttasil (
bersambung ) sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan tidak pula
terdapat billat yang merusak. Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui
periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke
akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa
‘illat (penyakit).
2. Syarat-Syarat Hadist Shahih.
Menurut ta’rif muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila telah
memenuhi lima syarat :
a.Rawinya bersifat adil
b.Sempurna ingatan
c.Sanadnya tidak putus
d.Hadist itu tidak ber’illat
e.Tidak Janggal
3. Macam-macam Hadist Shahih
Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
a.Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara
sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b.Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi
dari sifat sebuah hadits maqbul.
22
atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat.
b. Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat
Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada
sanad yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
AbuZakariyaYahyaibnSyarafal-Nawawi,tahun1987
24
25