Anda di halaman 1dari 14

“KRITIK SANAD HADITS, LINGKUP KAJIAN KRITIK

SANAD, DAN ALUR KRITIK SANAD “

MATA KULIAH :

METODE KRITIK HADITS

DOSEN PENGAMPU :

Nurul Qomariyah S.Thi, M.Ag

DISUSUN OLEH :

Akhmad Maftukhin Syauqoni (07040521086)

PRODI ILMU HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kepada Allah swt. Pencipta dan pemelihara alam semesta, serta
penguasa seluruh langit dan bumi lengkap tak terkecuali dengan seluruh komponen didalamnya.
Mengatur semua itu tidak membuatnya “Lelah” sama sekali. Maha perkasa Ia, maha lembut Ia.
Siksa-Nya keras, namun ampunan-Nya luas.

Shalawat serta salam tetap kita curahkan kepada baginda kita nabi Muhammad, yang
diutus oleh-Nya sebagai pengemban risalah kenabian disertai sifat siddiq, Amanah, tabligh,
fathanah, berikut seluruh sahabatnya, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan orang shaleh yang mengikuti mereka.

Setelah memuji Allah dan mendoakan nabi-Nya, kami ucapkan banyak terimakasih yang
tiada tara kepada dosen pengampu, karena perjuangannya dalam mendidik “anak-anak” seperti
kami. Sungguh kami tidak dapat membalas budi atas apa yang telah diberikan kepada kepada kami
sekalian. Hanya lantunan, dan sepucuk doa yang bisa kami panjatkan kepada Allah swt.

Berikutnya, kami meminta maaf yang tidak terhingga kami haturkan kepada dosen dan
segenap teman-teman kelas sekalian apabila dari makalah kecil ini terdapat kesalahan yang
sekiranya fatal atau perlu untuk kami perbaiki, penulis memohon kesudiannya pembaca yang
Budiman untuk memberikan saran dankritikannya agar makalah kami semakin berkualitas
kedepannya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan,
dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang
pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan
secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi
Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya
umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk
memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu,
wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh
atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. Wafat.

Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang
praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah
awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang
tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang
merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah.

Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai
bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang
kemudian disebut dengan hadits. Dari setiap hadits terdapat sanad – sanad dan matan atau isi hadits
yang tak pernah lepas dari kritikan para Ulama Ahli Hadits karena adanya perbedaan hujjah atau
argumen dari para Ulama Ahli Hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian kritik sanad?
2. Apa objek dan lingkup kajian kritik sanad?
3. Bagaimana alur dan metode penelitian sanad?

C. TUJUAN MASALAH
1. Menjelaskan pengertian kritik sanad
2. Menjelaskan apa saja objek dan ruang lingkup kritik sanad
3. Menjelaskan alur dan metode penelitian sanad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Interpretasi Kritik Sanad

Kritik di dalam bahasa arab dikenal dengan istilah ‫( نقد‬naqd) bermakna ‫م يزة‬
(mayyazah) yang berarti meneliti dengan seksama.1

Sedangkan Kata sanad ‫ سند‬secara bahasa mengandung arti ‫الدعامة‬ (al-di’amah) yg


berarti sandaran. Sanad hadis artinya ialah sandaran Hadis. Apabila ia maka kuatlah hadis
tersebut, tetapi apabila lemah maka hadits tersebut juga lemah.

Sedangkan secara terminologi dalam ilmu hadis yang dimaksud dengan sanad hadits
ialah ‫ طريق المتن‬yang artinya jalur matan ‫( سلسلة الرواة الدين نقلوا المتن عن مصدره األول‬rangkaian
para periwayat yang memindahkan matan dari sumber primernya). 2

Contoh sanad dapat dilihat dalam hadis berikut :

‫حدثنا عثمان بن أبي شيبة حدثنا يزيدبن هارون حدثنا حماد بن‬

‫سلمة عن حماد عن ابراهيم عن األسود عن عائشة أن رسول هلال صلى هلال‬

‫ رفع القلم عن ثالثة عن النائم حتى يستيقظ المبتلى حتى‬: ‫عليه و سلم قال‬

‫براء و عن الصبى حتى يكبر‬

(Abu Dawud berkata bahwa) Utsman ibn abi Syaibah telah menceritakan kepada
kami (bahwa) Yazid ibn Harun telah menceritakan kepada kami Hammam ibn Salamah telah
menceritakan kepada kami (telahmengabarkan kepada kami) dari Hammam dari Ibrahim
dari al-Aswad dari Aisyah bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda:” Diangkat pena

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, (Yogyakarta :
Pustaka prograsif, 1984) Cet. II, h 1452
2
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32
(tidak dicatat sebagai suatu perbuatan) dari tiga (keadaan manusia) yaitu: orang tidur
sampai ia bangun, orang gila sampai ia sembuh, anak kecil sampai ia dewasa.”

Dalam hadis Abu Dawud tersebut, Utsman bin Abiy Syaibah sampai dengan Aisyah
yang menerima riwayat langsung dari Rasulullah SAW. disebut sebagai sanad, Utsman bin
Abiy Syaibah disebut sebagai sanad pertama sedangkan Aisyah disebut sebagai sanad
terakhir.

Sanad mengandung dua bagian penting, yaitu nama-nama periwayat dan lambang-
lambang periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam
meriwayatkan hadis. Para ulama hadis berpendapat akan pentingnya kedudukan sanad
dalam riwayat hadis. Oleh karena itu, suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits Nabi oleh
seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali, dinyatakan sebagai hadits palsu
(maudlu’).3

Kehadiran sanad sangat menentukan diterima atau ditolaknya sebuah hadis.


Berbagai tanggapan ulama yang menggambarkan akan pentingnya sanad diantaranya
sebagai berikut :

- Menurut Sufyan al-Tsauri, yaitu :

‫االسند سالح المؤمن ادا لم يكن معه سالح فيأي شئ يقاتل‬

Sanad merupakan senjata bagi orang mukmin bila pada dirinya tidak ada senjata
dengan apa dia akan menghadapi peperangan.4

-Menurut ‘Abd Allah ibn Mubarak, yaitu :

‫االسناد عندي من الدين لو االالسناد لقال من شاء ما شاء‬

Sanad merupakan bagian dari agama seandainya tidak ada sanad maka seseorang
akan berkata sesuka hatinya.5

Adapun yang dimaksud dengan kritik sanad secara istilah adalah penilaian terhadap
kebenaran mata rantai atau silsilah para periwayat mulai dari mukharij (periwayat terakhir)
sampai kepada sahabat yang menerima langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW. serta
3
Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras dan TH Press, 2009), hlm.
99-100.
4
Nur al-Din Itr, Manhaj al-Naqd fiy ‘Ulum al-Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1399 H. / 1979 M.) hlm. 344
5
Ibid, h. 345
meneliti kredibilitas mereka sebagai periwayat hadis apakah memenuhi syarat sebagai
periwayat yang adil lagi dhabith atau tidak.

Jadi pengertian kritik sanad hadis berdasarkan pada terminologi kritik yang
digunakan dalam ilmu hadis adalah kritik sanad yang melalui suatu penyeleksian yang
ditekankan dan dimaksudkan pada aspek sanadnya. Sehingga menghasilkan istilah Sahih al-
isnad dan Dha’if al-isnad.6

Shahih al-isnad ialah seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas sahih, di
samping juga adanya kebersambungan sanad, serta terbebas dari kerancuan (syadz) dan
cacat(‘illat). Sedangkan Dha’if al-isnad adalah salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya
berkualitas dha’if atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya. Dengan
demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu layak
disandingi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti
dha’ifal-matan.

Kritik sanad atau kritik historis didasarkan pada asumsi bahwa tidak mungkin akan
terjadi pemahaman yang sahih bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara
historis otentik. Hal ini akan menjerumuskan orang pada kesalahan, meskipun
pemahamannya benar.7

B. Objek dan Lingkup Kajian Kritik Sanad

Kritik sanad mendapatkan perhatian terbesar dari para ulama hadis karena

kebanyaan dari mereka menjadikan sanad sebagai patokan dasar kesahihan

suatu hadis. Objek yang menjadi pusat perhatian dalam kritik sanad ini mencakup keadaan
perawi hadis serta ketersambungan sanad hadis yang disampaikan.

Pemahaman kritik yang dimaksud di sini bukanlah bersifat negatif, melainkan untuk
menegaskan keabsahan dari kajian hadis. Mengenai kritik sanad ini mengacu pada kaedah
ke-sahih-an sebagai patokannya. Kriteria atau syarat hadis shahih adalah :

a. Kebersambungan Sanad

6
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 87.
7
Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (UIN Malang, 2008), hlm 45.
Sebuah sanad baru dianggap bersambung apabila memenuhi kriteria berikut: pertama, al-
liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi yang lainnya yang
ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara
langsung suatu hadis dari gurunya. Kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad dianggap
bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya

b. Aspek Keadilan Perawi

Perawi harus adil dan cermat. Adapun beberapa cara menetapkan keadilan periwayat hadis
yang disebutkan oleh ulama‟, yakni berdasarkan pertama, popularitas keutamaan periwayat
tersebut dikalangan ulama‟ hadis. Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadis yang
berisi tentang jarh (cacat) dan ta’dil (keadilan) seorang perawi. Adil adalah sifat yang
meluruskan serta condong pada kebenaran.

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat, tetapi apabila ditarik kesimpulan, kriteria adil
adalah

apabila memenuhi syarat: a) Islam, b) mukalaf (bulu>g), 3) takwa, yakni melaksanakan


ketentuan agama dengan menjauhi dosa besar dan tidak mengulangi dosa kecil, dan 4).
memelihara muru>‘ahsesuai dengan kaidah kesopanan masyarakat. 8

Secara umum, ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadis, yakni:

1) Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis, periwayat yang terkenal


keutamaan pribadinya.

2) Penilaian dari para kritikus periwayat hadis, penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.

3) Penerapan kaidah al-jarh} wa at-ta‘di>l, cara ini ditempuh, bila para kritikus periwayat
hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. 9

c. Aspek Intelektualitas Perawi

Perawi merupakan orang yang dlabit. Yakni menguasai hadis dengan baik, baik hafalannya
yang kuat ataupun dengan tulisannya serta mampu mengugkapkankan kembali hadisnya.
Adapun cara menetapkan kedhabitan seorang perawi dapat dinyatakan sebagai berikut
8

9
Al-Harawi, Jawahir al-Usul Fi ‘Ilm Hadis ar-Rasul, (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1373 H), hlm. 55-56
pertama, Dapat diketahui berdasarkan kesaksian seorang ulama‟. Kedua, Dapat diketahui
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan perawi lain yang
dikenal kedhabitannya.

d. Terhindar dari Syadz

Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi syadz,
yakni: pertama, Menurut Imam Syafi‟i akan terdapat hadis yang syadz jika ada perawi yang
tsiqah dan perawi lainnya yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Kedua, pendapat yang
dikemukakan oleh al-hafidz Abu Ya’la al Khalili bahwa hadis itu syadz jika memiliki satu jalur
sanad saja, baik diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah maupun yang tidak, baik bertentangan
atau tidak. Ketiga, pendapat yang dikemukakan oleh al-Naisâburiy bahwa hadis di klaim
syadz apabila hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah namun tidak ada rawi
yang lain yang tsiqah yang juga meriwayatkannya.

e. Terhindar dari Illaa>t

‘Illaa>t secara etimologi artinya penyakit (cacat). Sedangkan secara terminologi


muh}addithi>n adalah suatu sebab yang menjadikan cacatnya hadis dari kesahihannya.Para
ulama muh}addithi>n mengklasifikasikan ‘illa>t menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Sanad yang tampak muttas}i>l dan marfu’, tetapi kenyataannya mauquf walaupun sanad-
nya dalam keadaan muttas}i>l.

2) Sanad yang tampak marfu’ dan muttas}i>l tetapi kenyataannya mursal,walaupun sanad-
nya dalam keadaan muttas}i>l.

3) Hadis terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain. Sanad hadis juga terjadi
kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kesamaan nama dengan periwayat
lain yang kualitasnya berbeda.

Penelitian terhadap kesahihan sanad dapat diketahui dengan melalui dua unsur, yakni
kualitas rawi serta tersambungnya sanad. Unsur pertama digunakan untuk mengidentifikasi
ke tsiqqah-an di perawi di tiap rangkaian tabaqót sanad, yang ditujukan pada unsur Keadilan
dan ke-dhabut an seorang rawi. Adapun unsur kedua digunakan untuk mengetahui
hubungan antar perawi dari segi apakah marupakan satu zaman, kemungkinan bertemu dan
hubungan guru dan murid.
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk mengetahui kedua unsur diatas adalah
sebagai berikut:

1. langkah pertama, dengan menghimpun semua sanad hadis itu lalu melakukan i'tibar
sanad menggunakan skema semua rangkaian sanad.

2. Langkah kedua, dengan menelaah periwayat serta bagaimana cara periwayatan yang
dipakai. Dalam langkah ini, semua data tentang informasi perawi seputar biografi, jarh wa at
-ta’dhil di kitab-kitab thabaqat dan lainnya. Selanjutnya adalah menelaah atas Keadilan dan
ke-dhabit an nya. Jika setelah analisis ternyata diketahui bahwa perawi adalah tsiqqah,
maka periwayatan tersebut diterima.

3. Langkah keempat yakni menelaah data-data yang telah diadapat guna mengetahui
apakah suatu rawi dengan murid dan gurunya pernah bertemu, sezaman dan apakah
mempunyai hubungan guru dan murid. Sehingga bisa diketahui apakah rangkaian rawi
tersebut bersambung atau tidak.

4. Langkah keempat adalah dengan membuat kesimpulan dari hasil penelitian sanad.
Kesimpulan meliputi hukum sanad dari segi kualitas: seperti apakah termasuk kategori
shahih, hasan atau dhaif, dan dari segi kuantitas sanad: apakah kategori mutawattir,
masyhur, aziz atau ahad.

C. Alur dan Metode Penelitian Sanad

Penelitian terhadap keshahihan sanad ditujukan kepada dua aspek, yaitu kualitas
perawi dan kebersambungan sanad. Aspek pertama dilakukan untuk mengetahui bagaimana
ke-tsiqah-an setiap perawi pada setiap thabaqah sanad, yang diarahkan kepada unsur
ke-‘adil-an dan ke-dhabith-an perawi (atau unsur keberagamaan dan intelektualitas). Adapun
aspek kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antar perawi, yang mencakup faktor
kesezamanan dan pertemuan dalam hal periwayatan hadis.
Untuk mengetahui nilai dari kedua aspek di atas, maka sebagai langkah pertama
penelitian sanad adalah mengumpulkan seluruh sanad hadis tersebut dan kemudian
melakukan i’tibar sanad dengan cara pembuatan skema seluruh jalur sanad. Paling tidak, ada
3 (tiga) tujuan dari kegiatan ini. Pertama, untuk mengetahui keadaan seluruh sanad hadis,
dilihat dari ada atau tidaknya pendukung baik yang berfungsi sebagai syahid atau mutabi’.
Kedua, i’tibar sanad juga akan membantu mengetahui nama perawi secara lengkap sehingga
membantu proses pencarian biografi dan penilaian mereka dalam kitab rijal dan kitab al-jarh
wa al-ta’dil. Tujuan ketiga adalah untuk mengetahui lambang periwayatan yang digunakan
para perawi sebagai bentuk gambaran awal tentang metode periwayatan mengingat ‘cacat
sebuah sanad seringkali berlindung di bawah lambang-lambang tersebut.
Langkah kedua berupa meneliti perawi dan metode periwayatan yang mereka
gunakan. Pada tahap ini, seluruh informasi tentang hal ihwal perawi harus dikumpulkan, baik
berupa biografi kehidupan ataupun penilaian ulama terhadap dirinya. Pada tahap ini,
kebutuhan terhadap kitab rijal dan kitab al-jarh wa al-ta’dil merupakan suatu keharusan
mengingat hanya kitab-kitab tersebut yang memberikan informasi memadai tentang mereka.
Setelah data diperoleh, selanjutnya melakukan analisis terhadap kualitas perawi; aspek
ke’adilan dan kedhabithannya. Jika perawi dinilai tsiqah, maka secara individual periwayatan
yang berasal darinya dapat diterima. Begitu pula sebaliknya. Hanya saja patut dicatat,
terkadang ulama kritikus hadis memberikan penilaian berbeda kepada seorang perawi. Dalam
hal ini, ada 3 (tiga) alternatif penyelesaian yang diberikan. Pertama, mendahulukan penilaian
aljarh atas ta’dil walaupun yang menta’dil lebih banyak. Kedua, mendahulukan ta’dil atas
jarh jika yang menta’dil lebih banyak. Ketiga, bersikap tawaqquf hingga ada keterangan lain
yang menguatkan salah satu ppenilaian.
Langkah ketiga adalah penelitian terhadap kebersambungan sanad. Tahapan ini
sebenarnya dilakukan sejalan dengan langkah kedua dan menggunakan sumber data yang
sama. Hanya saja setelah mendapatkan informasi tentang biografi perawi; kapan ia lahir dan
wafat, serta daftar guru dan muridnya, pada langkah ini juga dilakukan analisis terhadap
lambang periwayatan yang digunakan oleh masingmasing perawi sebagai cara untuk
mengetahui metode periwayatan mereka. Penelitian terhadap lambang periwayatan dilakukan
mengingat adanya variasi lambang periwayatan dengan makna yang beragam, yang
mengindikasikan terjadi atau tidaknya pertemuan secara langsung dalam hal penyampaian
hadis dari seorang perawi kepada perawi lainnya. Dengan kata lain, upaya ini ditempuh untuk
meyakini adanya hubungan guru – murid antar perawi dalam hal periwayatan hadis. Karena
itu, Jika langkah ini sudah dilakukan, maka tidak hanya aspek mu’asharah (sezaman), tetapi
juga aspek liqa’ (bertemu dalam hal penyampaian hadis) akan terpenuhi.
Langkah keempat membuat kesimpulan hasil penelitian sanad sesuai dengan hasil
temuan di lapangan. Dalam rumusannya, harus dijelaskan bagaimana kualitas sanad tersebut,
apakah shahih, hasan, ataukah dha’if. Juga harus dijelaskan alasan penilaiannya, terutama jika
sanad tersebut tidak berkualitas shahih. Ini mengingat sebuah sanad (baca: hadis) dapat
berubah dari hasan lizatihi kepada shahih lighairihi, dan dari dhaif kepada hasan lighairihi
jika ada faktor-faktor eksternal yang mendukung perubahan status tersebut. Juga agar para
peneliti lain dapat menilai apakah ada kesalahan dalam penelitian tersebut ataukah malah
memperkuat hasil penilaian terhadap sanad hadis yang diteliti.
Bab III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Penelitian terhadap sanad (kritik sanad atau naqd al-sanad) merupakan sebuah
keniscayaan mengingat posisinya sebagai salah satu unsur pembentuk hadis. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menguji kebersambungan sanad dan ke-tsiqahan perawi yang
membentuk sanad tersebut. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan kitab rijal al-hadis dan kitab
al-jarh wa al-ta’dil yang memberikan informasi tentang biografi dan hal ihwal perawi. Disini
dibutuhkan kecermatan dan analisis yang tajam dari seorang peneliti mengingat ada perawi
yang memiliki kesamaan nama dan juga perawi yang diperselisihkan kredibilitasnya. Jika
lolos uji, maka sanad tersebut dinilai shahih dan jika belum atau tidak memenuhi persyaratan
keshahihan, maka dinyatakan sebagai hasan dan atau dhaif. Namun harus diingat bahwa
keshahihan sanad tidak otomatis menjamin hadis tersebut dapat diterima dan menjadi hujjah.
Sebuah hadis juga harus menjalani uji keshahihan matan atau kritik matan (naqd al-matn)
untuk dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Terlepas dari bagaimana hasil akhir penelitian sebuah sanad, harus diakui bahwa
adanya sistem periwayatan seperti inilah yang menyebabkan ajaran Islam tetap terjaga dan
terpelihara hingga sekarang. Untuk itu agaknya perlu dipertimbangkan pertanyaan yang
diajukan oleh beberapa pemikir muslim modern terkait tingkat akurasi kebenaran informasi
yang termuat di dalam kitab-kitab biografi perawi hadis mengingat kitab-kitab tersebut
ditulis jauh setelah para perawi hadis – terutama generasi-generasi awal Islam wafat. Jika
selama ini akurasi tersebut hanya didasarkan atas kepercayaan terhadap para penulisnya
(kebenaran otoritas), agaknya perlu dirumuskan sebuah metodologi penelitian baru yang
mampu menjawab pertanyaan epistemologis tersebut. Jika upaya ini berhasil dilakukan maka
ini akan memperkuat tingkat keyakinan terhadap kebenaran penisbahan sebuah hadis kepada
Nabi (otentisitas hadis). Disinilah peluang pengembangan ilmu hadis – terutama ilmu rijal al-
hadis dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil dapat dilakukan oleh para pecinta hadis Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, Yogyakarta :
Pustaka prograsif, 1984

Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 198

Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1989

Sumbulah, Umi.M.Ag.,Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. UIN-Malang Press. Jln.


Gajayana 50 Malang.2008

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008.

Anda mungkin juga menyukai