Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sanad merupakan keistimewaan umat Islam karena sistem periwayatan ini


tidak dimiliki oleh umat-umat lainnya. Mengingat urgensi sanad yang penting
dalam menjaga dan memelihara ‘keaslian’ ajaran Islam, maka para ulama
membuat teori untuk menguji otentisitasnya dalam sebuah rumusan keshahihan
hadis. Rumusan ini mencakup aspek kebersambungan sanad (ittishal al-sanad),
kualitas ke-tsiqah-an perawi (‘adil dan dhabith), serta terpelihara dari unsur syaz
dan ‘illat. Dalam aplikasinya, jika sebuah sanad lolos uji persyaratan ini, maka ia
disebut shahih al-isnad. Tentu saja, ini bukan kesimpulan akhir dari penelitian
hadis karena sanad hanyalah salah satu unsur pembentuk hadis.
Hadits bersama dengan al-Qur’an, merupakan sumber ajaran Islam yang
disepakati ulama. Kesepakatan ini didasarkan atas adanya ayat al-Qur’an dan
hadis yang mengokohkan kedudukan tersebut (Quraish Shihab: 1996, 53-54).
Hanya saja, sebelum dipergunakan sebagai hujjah, hadis harus melewati ‘batu uji’
persyaratan keshahihan untuk mengetahui otentisitas (keaslian) penisbahannya
kepada Nabi. Langkah ini dilakukan mengingat mayoritas periwayatan hadis
terjadi secara ahad dan hanya sedikit yang bersifat mutawatir.
Sebagai implikasi dari periwayatan ahad, maka tingkat kepastian penisbahan
sebuah hadis kepada Rasulullah hanya bersifat zhann (dugaan atau relatif) dan
tidak mencapai derajat qath’iy (yakin atau pasti). Disinilah urgensi penelitian yang
dilakukan para ulama terhadap hadis, yang pada gilirannya telah menghasilkan
rumusan grand theory keshahihan hadis. Teori ini – kemudian disepakati sebagai
parameter persyaratan untuk menguji keshahihan sebuah hadis. Terkait dengan
kesepakatan ini, Yusuf al-Qaradhawi, sebagaimana dikutip oleh Aunur Rafiq
(2001: 186), menegaskan bahwa pada dasarnya para ulama telah sepakat dengan
rumusan hadis shahih di atas. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam
mengaplikasikan persyaratan tersebut.

1
Salah satu unsur yang dikritisi ulama ketika menguji keshahihan hadis adalah
sanad atau mata rantai perawi yang menyampaikan teks hadis. Pengujian ini
dilakukan mengingat hadis – sebagai sumber ajaran agama, hanya diterima jika
berasal dari periwayatan orang-orang terpercaya (dalam ilmu hadis disebut tsiqah
yang merupakan gabungan dari sifat ádil dan dhabith) dan ada hubungan antara
masing-masing perawi dalam hal penyampaian hadis (Syuhudi Ismail: 1992, 66).
Untuk menguji kedua aspek ini, para ulama mendasarkannya pada data sejarah
yang memuat informasi kehidupan mereka, hasil karya para ulama kritikus hadis
baik berupa kutub al-thabaqat dan kutub al-rijal. Data sejarah inilah yang
kemudian dianalisis untuk membuktikan validitas (keabsahan) sanad tersebut.
Kegiatan ini sendiri lazim dikenal dengan kritik sanad atau naqd al-sanad.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian kritik sanad?
2. Bagaimanakah urgensi sanad dan pentingnya kritik?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian kritik sanad.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah urgensi sanad dan pentingnya kritik?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Sanad


Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang hakim,
krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar penghakiman”. Selain itu
kritik juga merupakan terjemahan dari bahasa arab naqd yang berarti
membedakan. Dalam literatur lain ditemukan kata naqd yang diartikan dengan
kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedua, dilain tempat
dikatakan bahwa maksud dari kritik adalah memisahkan sesuatu yang baik dari
yang buruk. Sementara secara terminologi kritik merupakan usaha menemukan
kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran.1
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti
menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.2
Sementara Drs. Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis
mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul-hadist
kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw misalnya seperti kata Bukhari:

‫ حدثنا أيوب عن أبى قالبة عن‬:‫ حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال‬:‫حدثنا محمد بن المثنى قال‬
(‫…… )رواه البخار‬.‫ ثالث من كن‬:‫أنس عن النبى صلعم‬
Maka matnul-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad
pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy,
sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad
terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi
Muhammad s.a.w. Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan
rawy terakhir bagi kita.3

1
Bustami M.Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm.5
2
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt), hlm. 1092.
3
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985), hal. 95

3
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para
ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya
dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung
kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist
mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari Rasulullah Saw.
Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah
Saw.4
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam
melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu
perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk
menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dla’if).

B. Urgensi Sanad dan Pentingnya Kritik

1. Urgensi Sanad

Kata sanad berasal dari bahasa arab, yaitu ‫ سند – يسند – سنودا و سندا‬yang berarti
‫( ركن واعتماد‬sandaran dan pegangan) (Manna’ al-Qaththan: 1992, 207). Bentuk
jamaknya adalah asnad. Secara bahasa sanad juga berarti ‫ماارتفع من األرض فى قبل‬
‫ الجبال أو الوادى‬atau puncak bukit (Ibn Manzhur: t.th., XIII: 205). Menurut istilah,
sanad dimaknai dengan jalan yang menyampaikan kepada matn (teks) hadis.
Maksudnya, sanad adalah rangkaian perawi yang menukilkan teks hadis dari
sumber pertama (‘Ajjaj al-Khatib: 1989, 32).
Kata ini dipergunakan dalam istilah ilmu hadis karena makna sanad secara
bahasa dipandang sama dengan perbuatan para perawi hadis dan atau ulama hadis.
Seorang perawi yang hendak menukilkan sebuah hadis, biasanya akan
menyandarkan sanad tersebut kepada perawi yang berada di atasnya (gurunya),
demikian seterusnya sampai kepada akhir (puncak) sanad. Juga dikarenakan

4
Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 2

4
ulama hadis telah menjadikan rangkaian perawi hadis (baca: sanad hadis) sebagai
pegangan atau sebahagian syarat untuk menilai keshahihan hadis.
Ada kata lain yang maknanya hampir sama dengan sanad, yaitu isnad.
Isnad adalah mengangkat suatu hadis kepada sumber yang meriwayatkannya.
Artinya menjelaskan sanad dalam periwayatan suatu hadis (‘Ajjaj al-Khatib:
1989, 33). Tetapi pada prakteknya, penggunaan kedua istilah ini dalam satu
pengertian sering terjadi. Ini tampak dari perkataan ulama hadis yang tidak pernah
menyatakan ‫ هذا الحديث روى بأسناد صحيحة‬melainkan dengan ungkapan ‫هذالحديث روى‬
‫ بأسانيد صحيحة‬yaitu jamak dari isnad (al-Suyuthi: 1972, 41). Di smaping kata isnad,
kata thariq (jalan) dan wajh terkadang juga dipakai untuk menggantikan istilah
sanad, sebagaimana ditemukan pada perkataan sebahagian ulama hadis: “Hadis ini
sampai kepada kami melalui ‘jalan’ atau ‘wajh’ ini”.
Sistem sanad merupakan keistimewaan dan sesuatu yang spesifik bagi
umat Islam karena umat-umat sebelumnya tidak memiliki sistem periwayatan
seperti ini. Mengenai keadaan ini, Ibn Hazm – seperti dikutip oleh al-Qasimiy
(t.th., 201):
‫ وأما مع‬.‫ مع اإلتصال خص هللا به المسلمين دون سائر الملل‬.‫م‬.‫نقل الثقة عن الثقة يبلغ به النبى ص‬
‫ بل‬.‫اإلرسال واإلعضال فيوجد فى كثيرمن اليهود ولكن اليقربون فيه من موسى قرينا من محمد‬
.‫يقفون بحيث يكونوا بينهم وبين موسى أكثرمن ثالثين عصرا وانما يبلغون إلى شمعون ونحوه‬
‫ وأما النقل بالطريق المشتملة‬.‫اماالنضارى فليس عندهم من صفة هذا النقل إال تحريم الطالق فقط‬
‫ وأما أقوال الصحابة والتابعين فال يمكن‬.‫على كذاب ومجهول العين فكثيرفى نقل اليهود والنصرى‬
.‫اليهود أن يصلوا إلى أعلى من شمعون وبولص‬
“Periwayatan orang yang tsiqah dari orang yang tsiqah hingga sampai kepada
Nabi SAW dengan sanad yang bersambung adalah suatu keistimewaan yang
diberikan Allah kepada umat Islam, tidak ditemukan pada agama-agama lain.
Adapun periwayatan secara mursal dan mu’dhal banyak dijumpai dalam agama
Yahudi. Tetapi periwayatan tersebut tidak dapat mendekatkan mereka dengan
Musa, sebagaimana dekatnya umat Islam (dalam periwayatan mursal dan
mu’dhal) dengan Nabi saw. Bahkan periwayatan mereka terhenti hanya sampai
kepada orang-orang yang berjarak tiga puluh generasi dengan Musa, seperti

5
Syam’un dan yang seumpamanya”. Begitu pula halnya dengan agama Nasrani.
Mereka juga tidak mempunyai periwayatan seperti umat Islam, kecuali tentang
hukum pengharaman thalak. Banyak dijumpai dalam periwayatan kedua agama
ini, penukilan yang berasal dari para pendusta dan orang-orang yang tidak dikenal.
Sementara mengenai perkataan shahabat dan tabi’un, tidak mungkin periwayatan
dalam agama Yahudi akan sampai kepada para shahabat Nabi (Musa) dan juga
kepada para tabi’unnya. Adapun Nasrani, paling tinggi periwayatan mereka hanya
sampai kepada Syam’un dan Paulus.
Karenanya, seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah
ajaran-ajaran Rasulullah saw yang terdapat dalam hadis-hadis beliau sudah
mengalami nasib seperti ajaran para Nabi sebelumnya. Sanad-lah yang menjadi
tonggak dalam pemeliharaan kelanggengan dan kemurnian sumber kedua ajaran
Islam. Disinilah letak nilai dan urgensi sanad.
Mengingat demikian tinggi nilai dan urgensi sanad, maka para ulama
menganggap pemakaian sanad merupakan simbol dari umat Islam, seperti
dikatakan oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) bahwa “Sesungguhnya
pengetahuan hadits adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamamu itu” (Syuhudi Ismail: 1992, 24). Abdullah ibn Mubarak (w.
181 H ) menyatakan “Sanad merupakan bagian dari umat Islam. Tanpa adanya
sanad, setiap orang dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”. Sementara
Sufyan al-Tsawri menyatakan bahwa sanad merupakan senjata bagi umat Islam,
jika tidak ada senjata di tangan mereka, maka bagaimana mereka akan berperang.
(Nuruddin ‘Itr: 1988, 345). Keistimewaan Islam dalam penggunaan sistem sanad
ini juga diakui oleh Sprenger, orientalis Jerman, seperti ditulisnya pada pengantar
Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, cetakan
Kalkuta (1853-1864): “Tidak ada satupun dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga
pada bangsa-bangsa sekarang yang menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal
(Ilmu yang memuat biografi para perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam
dalam ilmu yang agung ini. Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar
500.000 perawi hadis” (‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah: 201, 157).

6
Urgensi sanad akan lebih tampak apabila perhatian diarahkan kepada para
perawi yang membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad akan
dapat diketahui apakah silsilah periwayatannya bersambung, sampai kepada Nabi
atau tidak. Juga dapat diketahui apakah pemberitaan dari mereka dapat
dipertanggungjawabkan, dimana pada akhirnya dapat diketahu nilai hadis yang
diriwayatkan; apakah shahih, hasan, dha’if, atau bahkan mawdhu’. Urgensi inilah
yang ditegaskan Imam al-Syafi’i bahwa seseorang yang mencari hadis dengan
tidak mempedulikan sanad-nya seperti seseorang yang mencari kayu bakar di
malam hari. Dia tidak akan tahu apa yang diambilnya; kayu bakar atau ular
(Basyir Nashr: 1992, 60).

2. Pentingnya kritik Sanad


Penelitian (kritik) hadits sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji
hadits Nabi saw., dilakukannya sebagai usaha panelusuran hadis dengan bersifat
kritis dalam memeriksa dan menyelaksi hadis-hadis Nabi saw. Dan selanjutnya
dapat membebaskanya dari kecacatan. Kekhawatiran itu dapat terbukti, karena
adanya pemalsuan hadis. Di lain sisi adanya pendapat sahabat dan tabiin yang
oleh sebagian ulama menilainya sebagai hadis, dengan menamainya hadis
mauquf dan maqthu, sedangkan yang lainnya menolak. Mereka beralasan bahwa
yang dimaksud dengan hadis adalah bersumber dari Nabi saw. dan dapat
dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, sebagai hujjah dan sebagai obyek kajian.
Dengan demikian penelitian hadis harus diarahkan kapada dua obyek
penelitian, yakni penelitian sanad dan matan, oleh karena keterbatasan waktu dan
ilmu, maka penulis hanya akan membahas tentang kritik sanad saja. Tujuan pokok
penelitian hadis, baik penelitian sanad maupun matan adalah untuk mengetahui
kualitas hadis dimaksud, hingga dipastikan status hadits itu shahih (maqbul) atau
dhaif (mardud).
Selanjutnya Posisi sanad untuk suatu hadis demikian urgen, hingga suatu
berita sudah dinyatakan sebagai hadis Nabi, namun tidak memiliki sanad, maka
ulama hadis tidak dapat menerimanya. Abdullah ibnu Mubarak (w.181 H/797M)
mengatakan bahwa: “Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekirannya

7
sanad hadis tidak ada, niscya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dia
kehendaki”.5
Imam Nawawi dalam mengomentari pernyataan al-Mubarak di atas,
menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis
dimaksud berposisi maqbul dan bila sanad-nya tidak dapat diterima, maka
posisinya mardud.6
Keadaan dan kualitas sanad harus pertama diperhatikan dan dikaji oleh
ulama hadis dalam melakukan penelitiannya. Apabila sanad hadis itu tidak
mencapai kriteria sebagaimana ditentukan misalnya, tidak adil, maka hadis
tersebut langsung ditolak, dan tidak lagi dilanjutkan penalitiannya. Dan jika
sanad hadis tersebut berkategori shahih, maka selanjutnya hadis dimaksud akan
diperiksa kualitas matan-nya.
Untuk penelitian matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan
pendekatan simantik dan dari segi kandungannya. Sekalipun demikian
pendekatan simantik tidak gampang dilakukan, karena hadis yang sampai
kepada mukharrij telah melalui periwayat yang berbeda generasi, latar belakang
budaya dan kecerdasan.7 Hal tersebut dapat merobah penggunaan dan pemahaman
suatu istilah. Sekali pun demikian, pendekatan bahasa sangat diperlukan karena
bahasa yang dipakai Nabi saw. dalam menyampaikan hadisnya selalu dalam
susunan yang baik dan benar. Selain itu pendekatan bahasa sangat membantu
dalam memahami kandungan petunjuk dari hadis dimaksud. Sealanjutnya
penelitian matan hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip
pokok ajaran Islam.8
Olehnya itu, penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi penting
dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai bidang
studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:

5
Abu Husain Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, juz I,(Mustafa al-Babi al-Halaby,t.th.).h.11
6
Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis,op.cit.,h.25-26
7
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,(Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005),h.45
8
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,(cet. I; Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001),h.364. Lihat pula, M. Syuhudi
Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi, op.cit.,h.126,

8
a. Hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam
sesudah al-Quran.

Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang beriman


untuk patuh dan ta’at dan selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad saw. sebagai utusan Allah swt. Anjuran dimaksud tercantum
Al-Qur’an surat al-Hasyr Ayat: 7 sebagai berkut:
‫ع ۡنهُ فَٱنت َ ُهوا‬
َ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َه ٰى ُك ۡم‬ َّ ‫َو َما ٓ َءات َٰى ُك ُم ٱ‬
ُ ‫لر‬
…” Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu
menerimanya, dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu
tinggalkan(apa yang dilarangnya itu”.9
Ulama misalnya al-Qurthubi, berpendapat bahwa ayat tersebut
memberi petunjuk secara umum, bahwa semua perintah dan larangan
yang datang dari Rasul, wajib dipatuhi oleh setiap mukmin.10 Olehnya,
kewajiban patuh kepada Rasul adalah konsekuensi logis dari keimanan
seseorang.
Al-Quran, surat Ali Imran 3:32 Allah berfirman:
٣٢ َ‫سو َل فَإِن ت ََولَّ ۡوا فَإ ِ َّن ٱ َّّللَ َال يُ ِحبُّ ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرين‬ َّ ‫قُ ۡل أ َ ِطيعُوا ٱ َّّللَ َوٱ‬
ُ ‫لر‬
“Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka
sesungguhnya Allah tiadak menyukai orang-orang kafir.”11
Menurut penjelasan ulama, bahwa ayat tersebut memberi petunjuk
bahwa bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi
petunjuk al-Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah
mengikuti sunnah-nya atau hadis12 Selanjutnya ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang taat kepada Nabi saw.13

9
Lihat al-Q.S. al-khasar, 59:7.
10
Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Juz XVII (kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1387H/1967M),h.17
11
Lihat Q.S. al-Ali Imran, 3: 32.
12
Lihat, al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I,(Bairut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M),h.333
13
Lihat misalnya, Q.S. al-Nisa/4: 80, ayat tersebut memandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah,
merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Selanjutnya lihat pula, Q.S. al-Ahzab/33:21, ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah teladan hidup bagi orang-orang yng beriman.
Bagi mereka yang sempat bertemu langsung dengan Rasulullah, maka cara meneladani Rasulullah dapat mereka lakukan
secara langsung, sedangkan bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah, maka cara meneladani beliau adalah
dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau hadis beliau.

9
Dengan petunjuk ayat-ayat di atas, maka jelaslah bahwa hadits atau
sunnah Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran agama Islam, di
samping al-Quran. Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Qur’an.

b. Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih
hidup.

Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis beliau, tapi di


saat yang berbeda, beliau pernah mnyuruh sahabat untuk menulis hadis
beliau14. Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan pendapat
dikalangan ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang boleh
tidaknya menulis hadis Nabi.15 Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis
misalnya surat-surat Nabi yang beliau kirim kepada sejumlah pembesar
untuk memeluk Islam. Di antara sahabat yang menulis hadis Nabi tersebut,
misalnyan Abdullah bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi
Thalib, Sumrah bin Jundab, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abi
Aufa’16 Sekalipun demikian tidak semua hadis terhimpun ketika itu, hal
itu sangat beralasan karena sahabat yang membuat catatan itu adalah
inisiatif sendiri. Di sisi lain mereka kesulitan untuk mencatat setiap
peristiwa dari Nabi saw., apalagi kejadiannya hanya terjadi di hadapan
satu atau dua orang saja.

c. Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis Nabi saw.

Masih sulit dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah terjadi


pemalsuan hadis.17 Kegiaatan pemalsuan hadis mulai muncul dan
berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib(memerintah 35-40 H).
Demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.

14
Lihat, Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op.cit.,h.11
15
Lihat, Ibnu Abdil Barr, Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadlih,juz I,(Bairut: Dar al-Fikr, t.th.,).h. 66
16
Lihat misalnya, Subhi al-Salih, op.cit.,hh.31-32
17
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahehn Sanad Hadis(Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah), (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 2005),hh. 92-95

10
Awalnya faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan
hadis karena kepantingan politik. Ketika itu terjadi pertentangan politik
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing
pendukung berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu
upaya yang dilakukan oleh sebagian dari mereka adalah membut hadis-
hadis palsu.18
Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula
mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian
pendukung aliran teologi yang timbul pada saat itu telah membuat
berbagai hadis palsu untuk memperkuat argumantasi aliran yang mereka
yakini benar.19
Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk
menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam
rangka memerangi Islam.20 Demikian pula karena kepentingan ekonomi,
keinginan menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada
juga sebagian muballig berpendapat bahwa, untuk kepentingan dakwa
dapat saja membuat hadis palsu.21
Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan
penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa dilakukan penelitian hadis,
maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis Nabi
saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai hal yang
akan menyesatkan umat.

d. Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah


memakan waktu yang sangat panjang.

18
Lihat misalnya, Al-Siba’I, Al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami,(t.tp; al-Dar al-Qaumiyah, 1966
M),h.76
19
Lihat, M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahehan sanad Hadis, op.cit.,h.94
20
Lihat, Ajjaj al-Khatib, op.cit.,hh. 420-421
21
Lihat, Ahmad Amin, Dhuha al-Islam , juz I(Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,),hh.3-4.

11
Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan masal terjadi
atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M).22
Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijakan
dari kepala negara; dan dikatakan masal karena perintah kepala negara itu
ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu.
Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah, telah muncul karya-
karya himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di Makkah,
Madinah, dan Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar
pertenghan abad ke 3 hijriyah.23
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penhimpunan hadis dan wafatnya
Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai hadis yang
dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama untuk
menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat
dipertanggunjawabkan validitasnya.

e. Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan


metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.

Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang telah


disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat
sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang
meriwayatkan hadis dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis)
tidak terhitung jumlahnya. Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu
ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata
tidak seragam. Hal itu memeng logis, seabab yang lebih ditekankan dalam
penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan
hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik
dalam penyusunan, sistemtikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis

22
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, op.cit., h.98 dan 100
23
Lihat, ibid.,hh. 102-103

12
yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing.
Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan
penghimpuanan itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang
peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-
Kutubul khamsah(lima kitab hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam
kitab hadis yang stanadar), dan al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang
stanadar).24

f. Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada


secara lafal.25

Mayoritas sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara


makna. Mereka misalnya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda, Abu Hurairah dan
‘Aisyah istri Rasulullah. Adapun yang menolak periwayatan hadis secara
makna, misalnya, Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab dan
Zaid bin Arqam.26
Perbedaan pandangn tentang periwayatan hadis secara makna itu
terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang
membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya
pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan,
yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab,
hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi,
umpamanya bacaan shalat, dan periwayatan secara makna dilakukan
karena sangat terpaksa. Dengan demikian, periwayatan hadis secara
makna tidaklah berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.
Selain itu ada sebagian kecil umat Islam yang menolak hadis Nabi
saw. Sebagai sumber ajaran dan hujjah, kelompok ini kemudian disebut

24
Ibid. Lihat, subhi shalih, op.cit.,hh. 117-119
25
Lihat, Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi(Cet.I; Makassar: Dar al-Hikmah wa al-
Ulum, 2010), h.149.
26
Lihat, Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabla al-Tadwin,(Kairo: Maktabah Wahbah,
1383H/1963M),hh. 126-133

13
sebagai inkar al-sunnah (menolak sunah), mereka dengan beberapa
argumentasi misalnya; 1) al-Quran sudah sangat lengkap dan sempurna
sebagaimana Allah jelaskan dalam Q.S. al-Nahl :16; 89, 2) Hadis tidak
ada perintah untuk diikuti, andaikan ada perintah untuk itu, tentunya Nabi
saw. Sejak awal sudah menyuruh para sahabat untuk menulis seluruh
hadis, ternyata tidak demikian.
Olehnya itu, faktor-faktor tersebut menjadi pendorong terhadap
usaha penelitian hadis Nabi saw. Menjadi sangat penting dilakukan untuk
memelihara dan mengantisipasi berbagai ancaman dari virus yang dapat
menyerang dan atau menjangkitinya. Sehingga menyebabkan hadis
tersebut menjadi cacat dan akhirnya kualitasnya menjadi dhaif(lemah),
maudhu (palsu), dan selanjutnya menjadi tertolak dan tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah. Sebab, kualitas hadis yang dapat dijadikan
sebagi hujjah atau dalil hukum, adalah hadis yang harus berkualitas
shahih.
Untuk mengetahui, memahmi, dan meyakini sebuah hadis sebagai
hadis Nabi saw., atau hadis yang dinilai berkualitas shahih atau tidak,
diterima atau ditolak sebagai dalil agama, perlu dilakukan penelitian
secara kritis terhadap sanad dan matan-nya. Kajian hadis dalam bentuk
ini dikenal dengan sebutan naqdu al-sanad dan naqdu al-matan (kritik
sanad dan matan), yakni melakukan penelitian dengan langkah-langkah
yang bersifat kritis terhadap sanad dan matan hadis, dengan pendekatan
yag bersifat multi disiplir atau inter disipliner dan antar disipliner.
Ke-hujjah-an sebuah hadis ditentukan oleh tingkat kualitasnya,
yakni terpenuhinya kriteria kesahihan hadis sepeti yang telah disepakati
oleh para ulama.27 Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maka
petunjuk dan tuntuanan praktisnya wajib diikuti, seperti petunjuk tentang
pelaksanaan shalat, ibadah haji, puasa dan lain-lain.

27
Ulama misalnya Nuruddin ‘Itr memberikan syarat hadis shahih ialah; bersambung sanad, yang diriwayatkan
oleh periwyat yang ‘adil, dhabit, dari rawi yang lainnya juga ‘adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu terhindar
dari syaz dan terhindar dari ’illat. Lihat misalnya Nuruddir ‘Itr, Manhaj al-Naqd li ‘Ulum al-Hadis, (Cet. III; Bairut: Dar
al-Fikr, 1997), h. 242.

14
Selain penelitian dilakukan dalam studi hadis juga dilakukan
proses pembelajaran disemua lapisan masyarakat muslim, hal demikian
dimaksudkan, selain untuk mengetahui kualitas ke-hujjah-an hadis itu,
juga sebagai pembelajaran kepada umat Islam terhadap pentingnya
mempelajari dan memahami hadis Nabi saw.
Kajian terhdap hadis Nabi saw. Dilakukan sebagai langkah dan
upaya strategis untuk mengetahui dan mamahami hadis-hadis Nabi saw.,
baik dalam kehidupannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maupun
dalam statusnya sebagai dalil atau hujjh. Hadis Nabi saw., selain sebagai
sumber ajaran juga menjadi obyek kajian dalam studi Islam yang dapat
melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang
bersumber dari ajaran al-Quran dan hadis Nabi saw., terutama sebagai
pembentuk cara pandang yang dapat mencerahkan kehidupan umat agar
terhindar dari perpecahan.
Kajian yang dilakukan terhadap hadis Nabi saw., juga untuk
mengetahui tingkat kualitas hadits dimaksud (shahih, hasan, atau Dha’if),
ketika hadis itu berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat dijadikan
hujjah atau dalil agama, yakni menjadi alasan terhadap sebuah pandangan
atau dalil mengenai sebuah amalan. Tapi sebaliknya, jika hadis itu dha’if,
maka tidak ada tempat bagi umat untuk mengamalkannya. Meskipun di
antara ulama ada yang sangat tasyahhud dalam menggunakan hadis-hadis
sebagai hujjah, mereka bependapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan
dalam hal fadhail al-amal (keutamaan amal).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan
penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan

15
proses penerimaan hadits dari guru mereka masing-masing dengan berusaha
menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan
kebenaran, yaitu kualitas hadits (Shahih, hasan, atau dha’if).
Mengingat demikian tinggi nilai dan urgensi sanad, maka para ulama
menganggap pemakaian sanad merupakan simbol dari umat Islam, seperti
dikatakan oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) bahwa “Sesungguhnya
pengetahuan hadits adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamamu itu” (Syuhudi Ismail: 1992, 24). Abdullah ibn Mubarak (w.
181 H ) menyatakan “Sanad merupakan bagian dari umat Islam. Tanpa adanya
sanad, setiap orang dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”.
Penelitian terhadap hadits Nabi saw. terutama tentang sanad menjadi penting
dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadits atau ilmu hadits sebagai
bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
1. Hadits Nabi saw sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam
sesudah al-Quran.
2. Hadis Nabi saw tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup
3. Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap hadits Nabi saw.
4. Proses penghimpunan dan periwayatan hadits Nabi saw. Telah memakan
waktu yang sangat panjang.
5. Kitab-kitab hadits yang telah banyak beredar ternyata menggunakan
metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi.
6. Periwayatan hadits lebih banyak berlangsung secara makna dari pada
secara lafal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Shadiq Basyir Nashr, Dhawabith al-Riwayah ‘Inda al-Muhaddisin, Tripoli:t.p.,


1992

16
Aunur Rofiq Ma’ruf, “Muhammad al-Ghazali dan Gerakan Reformasi Pasca
Muhammad Abduh: Dari Pembaruan Fiqh Hingga Feminisme”, dalam
M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran
Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001
Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, Naskah ditahqiq oleh Nuruddin ‘Itr, Damaskus:
Dar al-Fikr, 1984
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th., jilid 13
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib
al-Nawawi, Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta:
Hikmah, 2009
M. Quraish Shihab, “Hubungan Hadis dan al-Qur’an: Tinjauan Segi Fungsi dan
Makna”, dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed.), Perkembangan
Pemikiran Terhadap Hadis, LPPI Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta, 1996
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988
-------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Hadis, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr,
2001
-------------, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1989
Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Qawa’id al-Tahdis min Funun Mushthalah
al-Hadis, Beirut: Dar al-‘Ilmiyah, t.th.
Muhammad Mushtafa ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1988
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I, (Cet.VII;
Jakarta: Bulan Bintng, 1987)
M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits,(Bairut: Dar al
Fikr t.th.)

17
Abu Husain Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, juz I, (Mustafa
alBabi al-Halaby,t.th.)
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,(Cet.I; Jakarta:
Renaisan, 2005),

18

Anda mungkin juga menyukai