Anda di halaman 1dari 5

Langkah-Langkah Penelitian Matan Hadis

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Pada Mata Kuliah Ulumul Hadis

Dosen Pengampu

Dr. Dadah Saadah, M.Ag

Disusun oleh

RENA AJENG TRIANI

NIM: 1191060078

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2020
Salah satu pedoman hidup umat muslim adalah Hadis. Aktifitas penelitian hadis
merupakan upaya menyeleksi hadis, sehingga kita dapat mengetahui status keshahihan suatu
hadis. Penelitian hadis akan memberi keyakinan pada umat islam untuk menjalankan
serangkaian ajaran agama dengan berpegang teguh pada hadis-hadis yang terlah terbukti
keshahihannya.1 Tujuan pokok penelitian matan hadis adalah untuk mengetahui kualitas hadis
yang diteliti, karena kualitas hadis sangat penting dalam hubungannya dengan kehujjahan
hadis yang bersangkutan2
Dalam beberapa sumber penelitian yang penulis temukan, kebanyakan kitab-kitab
tersebut tidak secara langsung menjelaskan bagaimana langkah-langkah untuk meneliti
Matan Hadis. Kitab-kitab tersebut langsung menerangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai
tolak ukur bagi Matan yang Shahih, atau bagi penelitian apakah Hadis tersebut palsu atau
tidak. Sebagian dari kitab-kitab tersebut telah menjelaskan beberapa cara untuk penelitian
matan hadis yang dhaif walaupun tidak secara langsung di kaitkan dengan pelaksaan
penelitian matan. Dari sumber yang telah disebutkan diatas, penulis mengambil manfaat
untuk dijadikan bahan untuk merumuskan langkah-langkah metodologis penelitian matan
dalam pembahasan ini.
Berangkat dari berbagai penjelasan ulama ahli hadis dalam kitabnya, penulis mencoba
menjelaskan bagaimana langkah-langkah kegiatan penelitian matan hadis, yakni : (1) meneliti
matan dengan melihat kualitas sanad nya, (2) meneliti susunan lafal berbagai matan yang
semakna, dan (3) meneliti kandungan matan.
Dengan menempuh langkah-langkah tersebut, diharapkan artikel ini dapat
membuahkan hasil penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun
secara agama.
Berbagai kaidah atau istilah yang berkaitan dengan langkah-langkah penelitian matan
ini memang sulit di terangkan secara rinci, karena dikhawatirkan jika uraian berbagai kaidah
tersebut dikemukakan secara jelas dan rinci, maka pokok utama pembahasan ini akan
“tenggelan oleh pembahasan-pembahasan itu. Dengan demikian pembahasan beberapa
kaidah dan istilah akan dibahas seperlunya saja agar lebih mempermudah pemahaman
tentang pembahasan inti.3

1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya


a. Meneliti matan sesudah meneliti sanad
Dilihat dari segi objek, penelitian matan dan sanad sama pentingnya
dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadis. Ulama hadis dalam
urutan penelitiannya lebih mengutamakan penelitian sanad atas penelitian
matan. Karena penelitian matan baru berarti apabila sanad bagi matan yang

1
Lutfiana Syaidatul Aliyah, Roichatul Mabruroh, Nizar Aulia Rahman Wahid, “Penelitian Sanad dan Matan
Hadis (PBA D Semester II”, http://pikirandandzikir.blogspot.com/2016/11/penelitian-sanad-dan-matan-hadis-
pba-d.html?m=1 (diakses pada tanggal 15 juli 2020 pukul 12.25)
2
M Haris, “Kritik Matan Hadis: Versi Ahli-Ahli Hadis”,
http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/alirfani/article/view/2945/2180 (diakses pada tanggal 15
juli 2020 pukul 12.33)
3
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 121
bersangkutan telah jelas memenuhi syarat. Suatu hadis harus memiliki sanad,
tanpa adanya sanad maka matan tidak bisa dipastikan berasal dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa para ulama lebih
mengutamakan penelitian sanad untuk mengetahui kualitas ke shahihan suatu
hadis atau minimal tidak termasuk berat ke dhaifannya. Matan yang sanadnya
sangat dhaif tidak perlu dilakukan peneltian, karena sudah pasti hasilnya tidak
akan memberi manfaat bagi kehujjahan hadis tersebut.

b. Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya


Dari beberapa sumber yang ditemukan, dapat dikemukakan bahwa
kualitas suatu sanad dan matan cukup bervariasi. Diantaranya terdapat suatu
hadis yang sanad nya shahih namun matan nya dhaif, atau sebaliknya. Begitu
pula ada hadis yang sanad dan matan nya berkualitas sama.
Apabila dinyatakan kaedah keshahihan sanad suatu hadis itu tinggi
maka mestinya matannya juga shahih. Namun tidaklah demikian, ada yang
sanadnya shahih tetapi matannya dhaif, ini disebabkan karena adanya
beberapa factor yang terjadi, misalnya (1) terjadinya kesalahan dalam
penelitian matan (2) terjadi kesalahan dalam penelitian sanad (3) matan yang
bersangkutan telah mengalami periwayatan makna namun mengalami
kesalahpahaman.

c. Kaedah kesahihan matan sebagai acuan


Unsur-unsur utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang shahih
ada dua macam yaitu terhindar dari syuzuz dan ‘illat.
Seperti hal nya sanad, kualitas dhaif pada matan juga bermacam-macam,
istilah yang dipakai untuk matan yang dhaif ada yang sama dengan sanad,
misalnya mu’allal, mudraj, dan mubham. Ada juga yang dikhususkan untuk
matan saja, misalnya munqalib.
Tolok ukur penelitian matan (ma’ayir naqdil-matn) menurut Al-Khatib
Al-Baghdadi suatu matan dapat dinyatakan maqbul apabila (1) tidak
bertentangan dengan akal sehat (2) tidak bertentangan dengan ayat Al-Qur’an
yang muhkam atau yang ketentuan hukumnya telah tetap, (3) tidak
bertentangan dengan hadis muttawatir, (4) tidak bertentangan dengan amalan
yang telah dilakukan ulama terdahulu, (5) tidak bertentangan dengan dalil
yang telah pasti, dan (6) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang
keshahihannya lebih kuat.
Dalam hubungannya dengan tolok ukur terdapat perbedaan pendapat
ulama. Ibnu-Jauzi mengemukakan “setiap hadis yang bertentangan dengan
akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, maka ketahuilah
bahwa hadis tersebut adalah palsu”4
2. Meneliti susunan matan yang semakna
a. Terjadinya perbedaan lafal
Salah satu penyebab terjadinya perbedaan lafal yaitu adanya
periwayatan hadis secara makna (ar-riwayah bil ma’na). menurut beberapa

4
Ibn al-jauzi, kitab al-Maudu’at ((bairut): dar al-fikr, 1403 H/1983 M), juz 1, h 106
ulama, perbedaan lafal tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan
sanadnya sama-sama shahih.
Misalnya hadis tentang niat yang di takhrij oleh Bukhari, Muslim, Abu
Daud, at-Turmuzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hambal, demikian
menurut kitab al-Mu’jam. Hadis tentang niat yang termuat dalam shahih al-
Bukhari kitab (bagian) Bad’ul Wahyi, urutan bab nomor 1
‫ «إِنَّ َما األَ ْع َما ُل‬:ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُول‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ َس ِمع‬:‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َعلَى ال ِم ْنبَ ِر قَا َل‬
ِ ‫ب َر‬ ِ ‫ْت ُع َم َر ْبنَ ال َخطَّا‬ ُ ‫َس ِمع‬
َ ‫ فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما ه‬،‫ أَوْ إِلَى ا ْم َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا‬،‫صيبُهَا‬
‫َاج َر إِلَ ْي ِه‬ ِ ُ‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى ُد ْنيَا ي‬
ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫ئ َما نَ َوى‬ ٍ ‫ َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬،‫ت‬
ِ ‫بِالنِّيَّا‬5
dengan shahih al-Bukhari kitab (bagian) Manaqib al-Ansar urutan bab nomor
45, kitab (bagian) al-Hiyal urutan bab nomor 1 terdapat perbedaan lafal.
Terjadinta perbedaan lafaltidak hanya disebabkan oleh periwayatan
makna saja, tetapi kemungkinan periwayat hadis yang bersangkutan telah
mengalami kesalahan, tidak hanya oleh periwayat yang tidak siqah saja, tetapi
juga oleh periwayat yang siqah.

b. Akibat terjadinya perbedaan lafal


Kemungkinan akan adanya ziyadah, idraj, dan lain-lain. Ziyad yaitu
tambahan lafal atau kalimat yang terdapat pada matan. Menurut Ibnus-Salah,
ziyadah ada tiga macam, yaitu (1) berasal dari periwayat yang siqah yang
isinya bertentangan dengan periwayat siqah yang lain, ziyadah tersebut ditolak
karena termasuk hadis syadz, (2) ziyadah yang berasal dari periwayat yang
siqah yang isinya tidak bertentangan dengan periwayat siqah yang lain,
ziyadah ini diterima, (3) ziyadah yang beraasal dari periwayat yang siqah
berupa sebuah lafal yang mengandung arti tertentu. Sebagian ulama
menerimanya, namun sebagian lain menolak.
Idraj yaitu memasukkan atau meghimpunkan. Memasukkan
pernyataan yang berasal dari periwayat kedlam suatu matan hadis yang
diriwayatkan sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan tersebut
berasal dari Nabi, karena tidk ada penjelasan dalam matan hadis itu.
hadis yang mengandung Idraj disebut hadis mudraj. Hadis yang
mengandung ziyadah disebut hadis mazid

3. Meneliti kandungan matan


a. Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan
Setelah meneliti susunan lafal, maka selanjutnya adalah meneliti
kandungan matan. Dalampenelitian ini perlu diperhatikan matan-matan dan
dalil-dalil yang mempunyai topik yang sama. Untuk mengetahui adanya
persamaan maka perlu dilakukan takhrijul-hadis bil-maudu’. Apabila adala
matan yang bertopik sama, maka matan itu perlu di teliti sanadnya, apabila
sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan maqaranah kandungan matan-
matan tersebut dilakukan. Apabila kandungan matan ternyata sama, maka
5
Ibnu Kharish, "Kajian Shahih Bukhari Hadis Nomor 1; Aktivitas Dinilai Tergantung Pada Niatnya",
https://bincangsyariah.com/khazanah/kajian-shahih-al-bukhari-hadis-nomor-1-aktivitas-dinilai-tergantung-
pada-niatnya/ (diakses pada tanggal 15 juli 2020 pukul 13.02)
dapat dikatakan penelitian telah berakhir. Apabila kandungan matan sejalan
dengan dalil-dalil atau tidak bertentangan maka dapat dikatakan bahwa
penelitian telah selesai, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka
penelitian harus dilanjutkan.

b. Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau bertentangan


Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan dengan Hadis
Nabi atau dalil-dalil Al-Qur’an. Namun pada kenyatannya ada sejumlah Hadis
yang tampak tidak sejalan dengan Hadis Nabi dan dalil-dalil Al-Qur’an.
Dalam hal ini peneliti dituntut untuk mampu menggunakan
pendekatan-pendekatan yang sah menurut yang dituntut oleh kandungan
matan penerpan yang bersangkutan. Dalam menyebut kandungan matan yang
bertentangan itu, ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutnya dengan
itilah mukhtalifu-hadis, mukhalafatul-hadis, dan pada umunya ulama
menyebutnya at-ta’arud.
Ulama-ulama sepakat bahwa hadis yang bertentangan itu harus di
selesaikan agar hilangnya pertentangan. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan
bahwa hadis-hadis yang bertentangan itu harus di amalkan dan menekankan
perlunya penggunaan metode istisna dalam penyelesaiannya.
Syihabud-Din Abul-‘Abbas bin Idris al-Qarafi (wafat 684 H)
mnempuh cara at-takhrij yang memungkinkan penyelesaian yang dihasilkan
berupa an-nasikh wal-mansukh ataupun al-jam’u. At-Tahawani menempuh
cara an-nasikh wal-mansukh kemudian At-Tajrih. Ibnu Hajar al-Asqalani dan
lain-lain menempuh 4 tahap, yakni al-jam’u, an-nasikh wal Mansukh, at-
tarjih, dan at-taufiq. Tahap penyelesaian yang dilakukan Ibnu Hajar lebih
Aqomodatif, karena dalam praktek penelitian matan keempat tahap tersebut
lebih memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan.

Anda mungkin juga menyukai