“PUASA”
KELOMPOK 5
RARA NINGSIH PURBA (2044000086)
WANDA VIRARA (2044000099)
WAHYUDI (2044000123)
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS POTENSI UTAMA
2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum pelaksanaan puasa?
2. Apa saja syarat dan rukunnya?
3. Apa saja hal-hal yang sunnah dalam berpuasa?
4. Apa saja yang membatalkannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa
Puasa adalah terjemahan dari Ash-Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri dari
sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. Arti ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Maryam ayat 26:
صوْ ًماَ من ِ ْت لِلرَّح ُ ْإِنِّي نَ َذر.
“sesungguhnya aku bernazar shaum ( bernazar menahan diri dan berbiacara ).”[1]
“Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti
makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya,
satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa
syarat.”[2]
Menahan diri dari berbicara dahulu disyariatkan dalam agama Bani Israil. Menurut
Syara’ (istilah agama Islam) arti puasa adalah sebagaimana tersebut dalam kitab Subulus
Salam. Yaitu :
ِ eك ع َِن الَّل ْغ
وe ُ اeك اإْل ِ ْم َس
َ eِ َويَ ْتبَ ُع ذل٬ع ِ ْار َعلَي ْال َوجْ ِه ْال َم ْشرُو
ِ َفي النَّه ِ ب َو ْال ِج َم
ِ ٬اع َو َغي ِْرهَا ِم َّما َو َر َد بِ ِه ِ ْك َع ِن ْاألَ ْك ِل َوال ُّشر
ُ اَإْل ِ ْم َسا
۰ص ٍة ْ َ
َ ْ بِ َش َرا ئِط َمخصُو٬ص ٍ ْت َمخصُو ْ ْ ْ ْ ْ ْ
ٍ ث َو َغي ِْرهَا ِمنَ الكَاَل ِم ال ُم َحر َِّم َوال َمكرُوْ ِه فِي َوق ِ ََوال َّرف
“Menahan diri dari makan, minum, jima’ (hubungan seksual) dan lain-lain yang
diperintahkan sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan, dan disertai pula menahan diri
dari perkataan sia-sia, perkataan yang diharamkan pada waktu-waktu tertentu dan menurut
syarat-syarat yang ditetapkan.[3]
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki
maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa),
tidak dalam musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Orang yang tidak beriman ada pula yang mengerjakan puasa sekarang dalam rangka terapi
pengobatan. Meskipun mereka tidak beriman namun mereka mendapat manfaat juga dari
puasanya yaitu manfaat jasmaniah.
Kecuali itu dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan. Walaupun orang
ini berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam, namun mereka puasanya tanpa
niat ibadah kepada Allah yaitu dengan niat berpuasa esok hari karena Allah dan
mengharapkan ridho-Nya, maka puasanya adalah puasa sekuler. Orang ini mendapat manfaat
jasmaniah, tetapi tidak mendapat manfaat rohaniah.[5]
D. Syarat Puasa
1. Syarat-syarat wajib berpuasa
a. Islam
b. Baligh dan berakal ; anak-anak belumlah diwajibkan berpuasa ; tetapi apabila kuat
mengerjakannya, boleh diajak berpuasa sebagai latihan.
c. Suci dari haid dan nifas (ini tertentu bagi wanita)
d. Kuasa (ada kekuatan). Kuasa disini artinya, tidak sakit dan bukan yang sudah tua.
Orang sakit dan orang tua, mereka ini boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah.
E. Rukun Puasa
1. Niat ; yaitu menyengaja puasa Ramadhan, setelah terbenam matahari hingga sebelum fajar
shadiq. Artinya pada malam harinya, dalam hati telah tergerak (berniat), bahwa besok harinya
akan mengerjakan puasa wajib Ramadhan. Adapun puasa sunnat, boleh niatnya dilakukan
pada pagi harinya.
2. Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
1. Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti makan,
minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam hidung hingga
melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah yang demikian itu
membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di punggung atau lainnya yang serupa, tidak
membatalkannya, karena di paha atau punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
2. Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkannya.
3. Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi wajib
mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
4. Jima’ pada siang hari.
5. Gila walaupun sebentar.
6. Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7. Murtad, yakni keluar dari agama Islam.[10]
Perlu diterangkan disini tentang sangsi orang yang jima’ (bercampur) pada siang hari di bulan
Ramadhan; Orang yang berjima’ (melakukan hubungan kelamin) pada siang hari bulan
Ramadhan, puasanya batal. Selain itu ia wajib membayar denda atau kifarat, sebagaimana
dinyatakan oleh Rasulullah Saw. :
َ eَ فَق٬ َلَّ َم ع َْن ذلِكe ِه َو َسeلَّي هللاُ َعلَ ْيeص
:الe َ ِضانَ فَا ْستَ ْفتَي َرسُوْ ُل هللا َ ض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن َر ُجاًل َوقَ َع بِا ْم َرأَتِ ِه فِي َر َم
ِ ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر
) (رواه مسلم.ط ِع ْم ِستِّ ْينَ ِم ْس ِك ْينًا ْ َ فَأ. اَل:صيَا َم َش ْه َري ِْن ؟ قَا َل
ِ َوهَلْ تَ ْستَ ِط ْي ُع. اَل:هَلْ تَ ِج ُد َرقَبَةً ؟ قَا َل.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya seorang laki-laki pernah bercampur dengan
istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, lalu ia minta fatwa kepada Nabi Saw. : “Adakah
engkau mempunyai budak ?. (dimerdekakan). Ia menjwab : Tidak. Nabi berkata lagi :
“Kuatkah engkau puasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab : Tidak. Sabda Nabi lagi :
“Kalau engkau tidak berpuasa, maka berilah makan orang-orang miskin sebanyak enam
puluh orang”. (HR.Muslim). [11]
1. Menyegrakan berbuka puasa apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah
terbenam.
2. Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air.
3. Berdoa sewaktu berbuka puasa.
4. Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan
ketika puasa.
5. Menta’khirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.
6. Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa.
7. Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.
8. Memperbanyak membaca Alquran dan mempelajarinya (belajar atau mengajar) karena
mengikuti perbuatan Rasulullah Saw.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Puasa adalah terjemahan dari Ash Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri dari
sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. “Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah
“menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak
bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu
hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa
syarat.
Berdasarkan ketetapan Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 dan ketetapan hadis yang telah
disebutkan diatas, puasa diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas umat yang
terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di
waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan
bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa di bulan Ramadhan
adalah wajib dikerjakan.
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki maupun
perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa), tidak dalam
musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Puasa Ramadhan lamanya sebulan yaitu 29 atau 30 hari, yang dimulai setiap harinya sejak
terbit pagi hingga terbenam matahari.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisj, Hussein., 1980. Pedoman Fiqih Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Latif, M. Djamil., 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifa’i, Moh., 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Rasjid, Sulaiman., 2012. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid., 1993. Fikih Sunnah 3. Bandung: Al-Ma’arif.
________________________________________
[1] H.M Djamil Latif, S.H, Puasa dan Ibadah Bulan Puasa, ( Cet. IV/4; Jl. Pramuka Raya 4
Jakarta 13140: Ghalia Indonesia, 1421 H/2001 M), h. 22.
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Cet. LV/55; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h.
220.
[3] H.M. Djamil Latif, S.H, op. cit., h. 22
[4] Ibid., h. 19-20
[5] Ibid., h. 21
[6] Hussein Bahreisj, Pedoman Fiqih Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1980), h. 124.
[7] Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978),
h. 325-326
[8] Ibid., h. 327-328.
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, ( Cet. 8; Bandung: PT, Al-Ma’arif, 1993), h. 174.
[10] Drs. H.Moh. Rifa’i, op. cit., h. 328-329
[11] Ibid., h. 330.
[12] H. Sulaiman Rasjid, op. cit., h. 238-240
[13] H.M. Djamil Latif, S.H, op. cit., h. 26-29.