Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.
Hadis memiliki fungsi sebagai penjelas bagi Alquran. Oleh sebab itu, kita
sebagai umat Islam wajib menjadikan hadis sebagai pedoman atau dasar
pengamalan dalam segala aktifitas, baik dalam melaksanakan pengabdiannya
sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah dimuka bumi ini.
Namun untuk menjadikan hadis sebagai sumber, atau dasar
pengamalan, perlu di klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita
amalkan dan mana yang tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah. Hal ini
disebabkan banyaknya hadis-hadis yang muncul bukan dari perkataan,
perbuatan, taqrir Rasulullah, akan tetapi hadis itu dibuat dan dimunculkan
dengan berbagai kepentingan, maka inilah yang dinamakan hadis palsu atau
hadis maudu’, hadis ini tak obahnya seperti hadis sahih, sangat sulit
membedakannya terkecuali orang-orang yang memang fasih dan ahli dalam
hadis.
Untuk mengetahui bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari
Rasulullah, maka diperlukan usaha penelitian untuk membuktikan hal
tersebut. Dengan demikian,  tujuan utama  penelitian hadis adalah untuk
menilai apakah  secara historis sesuatu yang disebut sebagai hadis Nabi itu
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari Nabi
ataukah tidak. Hal ini sangat penting mengingat kedudukan kulitas hadis erat
sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya dijadikan sebagai hujjah agama.
Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan 
hadis Nabi Muhammad saw. tetapi  untuk melihat keterbatasan perawi hadis
sebagai manusia, yang adakalanya  melakukan kesalahan, baik karena lupa
maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu.  Keberadaan perawi hadis
sangat menentukan  kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun
kualitas matan hadis. Dalam hal inilah ada dua obyek terpenting dalam

1
penelitian hadis yaitu: pertama, materi/isi hadis itu sendiri (matn  al-hadis)
dan kedua, rangkaian sejumlah periwayat yang menyampaikan hadis (sanad
al-hadis).1 Suatu hadis dikategorikan sahih apabila memenuhi ketentuan-
ketentuan/kaedah-kaedah kesahihan sanad dan matan hadis.
Dalam makalah ini penulis hanya menfokuskan pembahasan
mengenai metode kritik sanad hadis.

B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka penulis merumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dan sejarah kritik sanad hadis?
2. Bagaimana kaedah kesahihan sanad hadis yang meliputi kaedah mayor
dan kaedah minor?

1
Bustami dan M. Isa H. A. Salim, Metodologi Kritik Hadis (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 4.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Kritik Sanad Hadis


Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata ‫( نقد‬naqd). 2 Sedangkan
menurut istilah, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan 3
dalam rangka menemukan kebenaran. Namun kritik yang dimaksud disini
adalah upaya mengkaji hadis Rasulullah saw. untuk menentukan hadis yang
benar-benar bersumber dari beliau.
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya. 4
Kata sanad mengandung kesamaan arti kata thariq, menurut istilah hadis,
sanad atau thariq adalah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis.5
Menurut al-Badru bin Jama’ah dan al-Thibi, sanad adalah:
‫المتن‬ ‫طريق‬ ‫عن‬ ‫اإلخبار‬
Berita tentang matan.6
Sedangkan Mahmud al-Tahhan berpendapat bahwa sanad ialah:
‫سلسلة الرجال الموصلة للمتن‬
Struktur pertalian orang-orang yang terlibat dalam menyampaikan
matan hadis.7

Ada juga yang menyebutkan bahwa sanad adalah silsilah perawi


yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama. 8

2
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 1452.
3
W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai
Pustaka, 1976), h. 965.
4
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Edisi 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008),
h.45
5
Bustami dan M. Isa H. A. Salim, Metodologi Kritik Hadis, h. 5.
6
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h. 5.
7
Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw. (Cet. I;
Makassar: Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum  Alauddin Press, 2010), h.18.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, h.45-46.

3
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanad adalah rangkaian
nama-nama periwayat hadis dari seorang mukharrij menerima riwayat dari
gurunya dan seterusnya sampai menyandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa sanad merupakan
suatu rangkaian perawi hadis yang di jadikan sandaran dalam
menyampaikannya kepada suatu matan hadis. Keberadaan sanad dalam suatu
hadis sangatlah penting, dimana untuk menilai suatu hadis diperlukan terlebih
dahulu penilaian terhadap sanadnya. Sebab ketika sanad hadis tersebut tidak
sahih, maka penelitan terhadap matan tidak perlu dilakukan.
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis
dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang
individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-
masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (sahih,
hasan, atau dha’if).
Secara histori kritik sanad telah dimulai pada masa Nabi Muhammad
saw., tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, yaitu pergi menemui
Rasulullah untuk membuktikan bahwa sesuatu yang dilaporkan telah
dikatakan oleh beliau. Dengan kata lain, para sahabat pergi menemui Nabi
saw. untuk mengecek kebenaran suatu berita yang didengar dari sahabat lain
dan dinyatakan sebagai hadis Nabi. Praktek konfirmasi ini sekaligus
menunjukkan bahwa kritik hadis pada masa Rasulullah hanya tertuju kepada
kritik matan saja. Karena jika mendengar suatu berita dan meragukannya,
para sahabat langsung mempertanyakan kebenarannya kepada Nabi
Muhammad saw. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar dan Usman
mensyaratkan kesaksian pihak ketiga untuk membenarkan hadis yang di
sampaikan oleh seorang yang kebetulan mereka belum ketahui. Pada periode
ini ada tiga hal penting yang berkembang menyangkut periwayatan hadis,
yaitu: (1) penyelidikan riwayat dan kehati-hatian dalam menerima dan
menyampaikan riwayat, (2) pengujian terhadap semua riwayat, dan (3)
pencegahan terhadap periwayatan hadis-hadis yang di luar jangkauan

4
kemampuan umat. Langkah-langkah tersebut ditempuh karena didorong oleh
keinginan untuk memelihara dan kehati-hatian dalam beragama serta unuk
9
kemaslahatan umat Islam. Kritik sanad ketika itu belum dilakukan dengan
ketat. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu para sahabat dikenal sangat
menjaga kejujuran dalam kehidupannya sehari-hari.
Kritik sanad hadis berkembang sangat pesat pada masa pecahnya
perang saudara di dunia politik antara kelompok pendukung Ali bin Abi
Thalib dengan kelompok pendukung Muawiyah bin Abu Sofyan dalam hal
jabatan kekhalifahan. Masing-masing kelompok mencari dukungan dari hadis
Nabi untuk memperoleh legistimasi. Jika tidak ada, maka mereka tidak segan-
segan membuat hadis palsu untuk mendukung kelompok mereka. Sejak
peristiwa itu periwayat yang terdapat dalam sanad sudah mulai
dipermasalahkan.10Para ulama lebih gencar dalam meneliti keadaan para
perawi dan melakukan perjalanan untuk mengumpulkan sejumlah riwayat,
menyeleksi dan membandingkannya, hingga akhirnya mampu memberikan
penilaian atas setiap hadis.
Muhammad Ali Qasim al-‘Umri mencatat bahwa kritik atas hadis
yang mencakup sanad dan matan tidak hanya berkutat di satu kota seperti di
Madinah. Akan tetapi menjalar ke seluruh pelosok negeri Islam seperti:
Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Naisabur dan
sebagainya. Di berbagai negeri inilah bermunculan para kritikus hadis
sepanjang masa. Mereka senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk
membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya.
Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas kritik hadis ini mulai terlihat lebih
metodologis dan sistematis yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar
ulama seputar hadis dari segala sisinya. Sehingga sampai saat ini karya-karya
fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadis.11

9
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah (Cet.I; Makassar:Alauddin
Press, 2011), h. 87-89.
10
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah, h. 90-91.
11
Dikutip oleh Rasyid Rizani, Pokok-pokok Masalah dalam Kritik Sanad dan
Matan, http://badilag.net/data/ARTIKEL/kritik%20sanad%20dan%20matan.pdf, h. 3,

5
Pada awalnya, kritik hadis hanya ditulis di pinggiran buku-buku
hadis seperti: musnad, jawami’, sunan dan lainnya. Ulama yang mencoba
mengkritisi beberapa hadis, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir
atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. Kemudian, cara ini
dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan
dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga menuntut para ulama hadis
untuk menuliskan komentar-komentar mereka dalam satu karya tersendiri.
Metode kritik hadis ini terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya
beberapa karya ulama tentang kritik sanad hadis. Kritikan tersebut ditulis
dalam kitab tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh
masing-masing perawi. Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadis benar-
benar objektif sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya
Kitabul ‘Ilal fi Ma’rifati’l Rijal atau Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin
Syaibah. 12
Selanjutnya, penulisan kritik hadis menjadi lebih sistematis dengan
dilakukannya penelitian atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas
oleh pakar kritik hadis seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya al-Jarh wa
Ta’dil” dan ‘Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadis dari
aspek matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut
ditelaah kembali oleh para ulama mutaakhirin seperti al-Mizzi, Dzahabi, Ibnu
Hajar dan lainnya, mereka kemudian meletakkan materi-materi kritikan
dalam satu buku tersendiri tanpa memuat sanadnya secara lengkap.
Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama
hadis, hingga dapat memberikan penilaian akhir pada sebuah hadis. 13
B. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis
Ulama telah menciptakan berbagai kaedah dan ilmu (pengetahuan)
hadis. Dengan kaedah dan ilmu hadis itu, ulama mengadakan pembagian

diakses tanggal 6 Desember 2013.


12
Dikutip oleh Rasyid Rizani, Pokok-pokok Masalah dalam Kritik Sanad dan
Matan, h.3-4.
13
Rasyid Rizani, Pokok-pokok Masalah dalam Kritik Sanad dan Matan, h.4.

6
kualitas hadis. Diantara kaedah yang telah diciptakan oleh ulama adalah
kesahihan sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi
oleh suatu sanad hadis yang berkualitas sahih. Kesahihan sanad hadis
tersebut, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kriteria yang
bersifat umum diberi istilah sebagai kaedah mayor, sedang yang bersifat
khusus atau rincian dari kaedah mayor diberi istilah sebagai kaedah minor.14
1. Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad hadis
Ulama hadis sampai abad ke-3 H belum memberikan definisi
kesahihan secara jelas, mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan
tentang penerimaan berita yang dapat diperpegangi. Pernyataan-pernyataan
mereka, misalnya berbunyi:
a. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari
orang-orang yang siqah.
b. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu di perhatikan
ibadah shalatnya, perilakunya dan keadaan dirinya; apabila shalatnya,
perilakunya dan keadaan orang itu tidak baik, agar tidak diterima riwayat
hadisnya.
c. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis.
d. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta,
mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang
diriwayatkannya.
e. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak
kesaksiannya.15
Bukhari dan Muslim tidak mengemukakan kriteria definisi hadis
yang kualitasnya sahih secara jelas. Keduanya hanya berdasar pada penelitian
para ulama, sehingga kriteria yang diperpegangi oleh keduanya adalah: (1)
sanadnya harus bersambung (2) sanadnya harus siqah (3) terhindar dari cacat

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
14

Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 123.
M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
15

Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h. 124.

7
(‘illat) (4) sanad yang berdekatan harus sezaman dan bertemu.16 Mengenai
sanad yang berdekatan bagi Muslim cukup sezaman, sedangkan Bukhari
mengharuskan bertemu langsung, sehingga dapat dikatakan bahwa kriteria
yang ditetapkan oleh Bukhari lebih ketat dibanding kriteria yang ditetapkan
oleh Muslim.
Sementara itu, Kalangan ulama Mutakhkhirin salah satunya adalah
Ibn al-Shalah berpendapat bahwa hadis sahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya (sampai kepada Rasul) diriwayatkan oleh periwayat
yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, di dalam hadis itu tidak terdapat
kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat). 17 Penegasan tersebut meliputi sanad
dan matan hadis.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh para Muhaddisin lainnya,
seperti al-Nawawi, Mahmud Tahkan, Subhi al-Salih. Oleh M. Syuhudi Ismail
semua pendapat tersebut disimpulkan, baik dari para ulama Mutaqqaddimin
maupun dari para ulama Mutaakhkhirin sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit
4. Sanad hadis terhindar dari syuzuz
5. Sanad hadis terhindar dari ‘illat.18
Sesungguhnya pendapat M. Syuhudi Ismail tidak bertentangan
dengan pendapat para ulama, hanya penempatan saja yang berbeda dan tidak
mengurangi kaedah kesahihan sanad hadis. Yang jelas, masing-masing
menganggap penting hal tersebut dalam penelitian sanad suatu hadis.
2. Unsur-unsur kaedah minor kesahihan sanad hadis

M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan


16

Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h.125.


1717
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsunya (Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.76.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
18

Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h.131.

8
Yang menjadi dasar dalam pembahasan kaedah minor kesahihan
sanad hadis adalah kaedah mayor itu sendiri, sesuai pendapat M. Syuhudi
Ismail, 19 yaitu:
a. Sanad bersambung
Sebuah sanad disebut bersambung apabila tiap-tiap periwayat dalam
sanad menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan
itu berlangsung demikian hingga akhir sanad dari hadis itu. Jadi, seluruh
rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh
al-mukharrij (penghimpun riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai
kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan
dari Nabi, bersambung dalam periwayatan. Ketersambungan itu dapat berupa
pertemuan guru dengan murid atau sezaman saja.20
Jumlah dan keadaan periwayat yang terlibat cukup banyak dan
beragam. Hal ini dapat dimengerti, karena dalam satu generasi saja telah
dimungkinkan adanya lebih dari seorang periwayat dalam periwayatan hadis
tertentu. Dilihat dari peranannya, terdapat periwayat yang menyaksikan atau
mengalami langsung terjadinya hadis Nabi (saksi primer), dan adapula
periwayat yang berperan bukan sebagai periwayat pertama (saksi sekunder),
yaitu periwayat yang tidak langsung menyaksikan atau mengalami terjadinya
hadis Nabi. 21
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad, biasanya ulama
hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat dengan melalui
kitab-kitab Rijal al-Hadis, dan dengan maksud untuk mengetahui apakah
setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil
dan dhabit, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis),

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan


19

Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h.111.


20
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah, h.142.
21
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah, h.143.

9
serta apakah antara para periwayat yang terdekat dalam sanad itu
terdapat hubungan kezamanan pada masa hidupnya dan hubungan guru
murid dalam periwayatan hadis.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antar periwayat dengan para
periwayat yang terdekat dalam sanad. Yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasaniy, haddasana, akharana, ‘an, anna, atau kata
yang lain.22
Jadi, suatu sanad dapat dikatakan bersambung apabila :
a. Seluruh para periwayat dalam sanad  itu benar-benar siqah (adil
dan dhabit).
b. Antara para masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadis secara sah menurut ketentuantahammul wa ada’ al-
hadis.23
Dari uraian diatas dapat dinyatakan unsur-unsur kaedah
minor sanad bersambung adalah muttashil (bersambung) dan marfu’
(bersandar kepada Rasul), mahfuzh (terhindar dari syuzuz),dan bukan
mu’allal (bukan hadis cacat).
b. Periwayat bersifat adil
Adil menurut pengertian bahasa adalah tidak berat sebelah, tidak
sewenang-wenang.24 Namun dalam hal ini terdapat perbedaan di antara para
Muhaddisin tentang apa yang dimaksud dengan periwayat bersifat adil.
Walaupun demikian oleh M. Syuhudi Ismail menyimpulkan dari beberapa
pendapat yang dimaksud adil adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam
2. Mukallaf yang meliputi baligh dan berakal

M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan


22

Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h. 112.


M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
23

Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h.112.


24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 6.

10
3. Melaksanakan ketentuan agama, yang meliputi:
a. Teguh dalam agama
b. Tidak berbuat dosa besar
c. Menjauhi dosa kecil
d. Tidak berbuat bid’ah
e. Tidak berbuat maksiat
f. Tidak berbuat fasiq
g. Berakhlak yang baik
4. Memelihara muru’ah dengan hal-hal yang dapat merusak muru’ah.25
Mengenai ketaqwaan seorang periwayat, menjadi kriteria umum
yang meliputi kaedah kesahihan sanad. Adapun kriteria seorang periwayat
adalah dapat dipercaya beritanya dan biasanya benar merupakan akibat dari
sosok pribadi yang telah memenuhi persyaratan di atas. Secara implisit telah
tercakup pada empat poin dimaksud dengan periwayat yang adil. Jadi kaidah
minor dari periwayat yang bersifat adil adalah: (1) Beragama Islam, (2)
Mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama (4) memelihara muru’ah.
c. Periwayat bersifat dhabit
Secara etimologi, dhabit berarti kokoh, kuat dan tepat, mempunyai
hapalan yang kuat dan sempurna.26 Sedangkan menurut muhaddisin, dhabit
adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hapalannya bila hadis yang
diriwayatkan berdasarkan hapalan, benar tulisannya manakala hadis yang
diriwayatkan berdasarkan tulisan, dan jika meriwayatkan secara makna, maka
ia pintar memilih kata-kata yang tepat digunakan.27
Oleh karena itu, seorang periwayat haruslah teliti dalam riwayatnya,
serta teliti dalam mendengarkan dan menghafalnya agar apa yang
diriwayatkannya tidak terulang. 28
Adapun kaedah minornya adalah sebagai berikut:

M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan


2525

Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 133.


26
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah (Beirut: Dar al-Masriq, 1973), h. 445.
27
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah, h.146.
28
A.Syahraeni, Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah, h.147.

11
1. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
2. Periwayat hafal dengan baik riwayat yang diterimanya.
3. Mampu menyampaikan riwayat yang diterima dengan baik kepada orang
lain kapan saja diperlukan.29
d. Sanad hadis terhindar dari syuzuz
Menurut bahasa, kata sayz dapat berarti jarang, yang menyendiri,
yang asing, yang menyalahi aturan, dan yang  menyalahi orang banyak.
Menurut al-Syafi’iy, suatu hadis dikatakan sebagai mengandung syuzuz, bila
hadis itu hanya  diriwayatkan  oleh seorang periwayat yang siqah, sedang
periwayat yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Barulah suatu
hadis dinyatakan mengandung syuzuz bila hadis yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang siqah tersebut bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqah.30 Dan inilah
yang merupakan unsur kaidah minor dari kaidah terhindar sanad dari
syuzuz.31
e. Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat

Pengertian ‘illat menurut bahasa berarti cacat, kesalahan baca,


penyakit dan keburukan. Sedangkan  menurut istilah ilmu hadis ialah sebab
yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan
hadis yang  pada lahirnya  tampak berkualitas sahih manjadi tidak sahih. 32
Unsur-unsur kaedah minor sanad hadis terhidar dari ‘illat, maksudnya adalah
a) tidak terjadi periwayat yang tidak siqah dinilai siqah dan b) Tidak
terjadi sanad terputus dinilai bersambung. 33

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan


29

Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h. 141.


M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
30

Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h. 144.


31
Arifuddin Ahmad,  Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: Renaisan,
2005),h. 136.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
32

Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, h. 119.


33
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 136.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa:

1. Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam
melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang
individu perawi (periwayat) dan proses penerimaan hadis dari guru

13
mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan
kesalahan dalam rangkaian sanad hadis untuk menemukan kebenaran,
yaitu kualitas hadis (sahih, hasan, dan dhaif). Menurut sejarah
periwayatan yang terdapat dalam sanad mulai dipermasalahkan sejak
ditemukannya hadis palsu pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, yang
didorong oleh kepentingan politik. Terjadinya pertentangan politik antara
Ali dan Muawiyah menyebabkan para pendukung masing-masing tokoh
telah melakukan berbagai upaya untuk memenangkan perjuangan
mereka, yakni sebagian dari mereka membuat hadis-hadis palsu. 
2. Kaedah kesahihan sanad hadis meliputi kaedah mayor (umum) dan
kaedah minor (khusus). Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad
ialah:
a. Sanadnya bersambung
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
d. Sanad hadis terhindar dari syuzuz
e. Sanad hadis terhindar dari illat.
Yang menjadi dasar dalam pembahasan kaedah minor kesahihan sanad
hadis adalah kaedah mayor itu sendiri, Unsur-unsur kaedah minor sanad
bersambung adalah muttashil (bersambung) dan marfu’ (bersandar
kepada Rasul), mahfuzh (terhindar dari syuzuz), dan bukan mu’allal
(bukan hadis cacat).
Unsur-unsur kaedah minor periwayat bersifat adil adalah beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara
muru’ah.
Unsur-unsur kaedah minor periwayat bersifat dhabit  adalah periwayat
itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya, periwayat
hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, mampu menyampaikan
riwayat yang diterima dengan baik kepada orang lain.

14
Unsur kaedah minor terhindarnya sanad dari syuzuz ialah periwayat
yang siqah tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqah.
Unsur-unsur kaedah minor sanad hadis terhindar dari ‘illat ialah tidak
terjadi periwayat yang tidak siqah dibilang siqah dan tidak terjadi sanad 
bersambung dinilai bersambung.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin.  Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta:


Renaisan, 2005.

Asse, Ambo. Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw. Cet. I;


Makassar: Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum  Alauddin Press, 2010.

15
Bustamin dan M. Isa H. A. Salim. Metodologi Kritik Hadis. Cet. I; Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan


Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah. Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 2005.

_______________. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan


Pemalsunya. Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-Lugah. Beirut: Dar al-Masriq, 1973.

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Cet. XIV; Surabaya:


Pustaka Progresif, 1997.

Poewadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta:


Balai Pustaka, 1976.

Rizani, Rasyid. Pokok-pokok Masalah dalam Kritik Sanad dan Matan,


http://badilag.net/data/ARTIKEL/kritik%20sanad%20dan
%20matan.pdf. diakses tanggal 6 Desember 2013.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Edisi 1; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


2008.

Syahraeni, A. Kritik Sanad Dalam Prespektif Sejarah. Cet.I;


Makassar:Alauddin Press, 2011.

16

Anda mungkin juga menyukai