Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber ajaran Islam (al-syari’ah) adalah al-Qur’an yang dicatat dalam mushaf
dan sunnah Rasulullah saw yang dicatat dalam kitab-kitab hadis. Islam diikuti oleh
pemeluknya karena berisi wahyu, al-Qur’an. Mustahil memahami al-Qur’an tanpa
mendudukannya dalam situasi ketika ia turun. Memahami al-Qur’an harus
mengetahui berbagai informasi tentang peristiwa atau berbagai hal yang
melingkupinya. Informasi tersebut ada dalam sunnah atau hadis, tanpa informasi
hadis misi al-Qur’an tidak dapat diketahui dengan jelas, karena itu keduanya saling
terkait dan koheren sebagai sumber sentral ajaran Islam dan wahyu ilahi. Esensi hadis
sebagai al-qaul (pernyataan), al-‘amal (pengamalan) dan al-taqrir (pengakuan) Nabi
Muhammad saw. menjadikannya sumber hukum kedua setelah alQur’an.1
Para Ulama bersepakat menetapkan Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua.
Kesepakatan tersebut didasarkan atas adanya ayat Al-Quran dan hadis yang
mengkokohkan kedudukan tersebut. Hanya saja sebelum dipergunakan sebagai
hujjah, hadis harus melewati ‘batu uji’ persyaratan keshahihan untuk mengetahui
otentisitas (keaslian) penisbahannya kepada Nabi. Kedudukan hadis berupaya dalam
memberikan penjelasan akan teks-teks al-Quran yang bersifat umum. 2 Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan hadis pun memiliki penjelasan yang bersifat umum,
sebab kata dan kalimat yang digunakan dalam matan hadis berfariasi, di antaranya
mujmal, khafi, musykil dan mutasyabih (samar-samar).3

1
Sofyan Madiu, “Metodologi Kritik Matan Hadis (Analisis Komparatif Pemikiran Salah al-
Din al-Adlibi dan Muhammad Syuhudi Ismail)”(Thesis UIN Allaudin Makassar: 2013), p.1-2
2
Ahmad ‘Umar Hasyim, Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha (al-Qahirah: Dar al-Fikr), h.
30-31; Syuhudi, Pengantar, h. 55-60.
3
Arifuddin Ahmad (selanjutnya ditulis Arifuddin), Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi
(Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1.
Dilihat dari perwiyatannya, Al-Quran yang merupakan kalam Allah menjadikan
tingkat keotentikan al-Quran tidak diragukan, tidak demikian dengan hadis sebab,
pertama, tidak semua hadis telah tertulis di zaman Nabi. Hal ini dikarenakan beberapa
hal; a) adanya kekhawatiran bahwa Hadis Nabi akan bercamour baur dengan al-
Quran yang masih berada dalam tahapan proses penurunan; b) tidak seluruh sahabat
memiliki kemampuan dalam menulis dan membaca, sehingga dikhawatirkan adanya
kesalahan karena ketidakmampuan membedakan Kalamullah dan kalam kenabian; c)
adanya semacam trauma historis di hati Nabi bahwa umatnya akan meninggalkan al-
Quran jika mereka memberikan perhatian berlebihan kepada hadis. Kekahawatiran ini
hadir sebagai wujud ketakutan dari pengalaman sejarah yang ditorehkan oleh umat
Nabi Musa yang meninggalkan kitab Taurat sebagai kitab suci yang berasal dari
Allah dan menganggungagungkan Mishna, kalam Nabi Musa yang telah
diinterpretasikan dan bahkan telah bercampur dengan yang lain secara berlebihan
yang dilakukan oleh para pengikutnya. Kedua, telah terjadi berbagai kasus manipulasi
dan pemalsuan hadis. Ketiga, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu
demikian lamanya. Keempat, jumlah kitab hadis yang demikian banyak jumlahnya,
dengan metode penyusunan yang berbeda. Kelima, telah terjadi periwayatan hadis
secara makna. 4
Dari beberapa alasan di atas yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis.
Maka tujuan utama dari penelitia hadis adalah untuk menilai apakah sesuatu yang
dikatakan hadis Nabi itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya
berasal dari Nabi atau tidak. Hal ini sangat penting mengingat kedudukan kualitas
hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya suatu hadis dijadikan
hujjah (dalil) agama. Kaedah keshahihan hadis yang telah ditetapkan oleh ulama
hadis menyatakan sebagian syarat yang harus dipenuhi oleh hadis yang berkualitas
sahih ialah sanad dan matan hadis itu harus terhindar dari kejanggalan (jadz) dan
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1992), h.7
4
cacat (‘illat).5 Syarat syarat terpenuhinya kesahihan hadis ini sangatlah diperlukan
karena penggunaan atau pengalaman hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
dimaksud, berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan
sama sekali menyimpang dari apa yang seharusnya, dari apa yang diajarkan
Rasulullah.
Sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama-sama penting. Namun
demikian, para ulama hadis lebih mendahulukan memberikan perhatian kepada aspek
yang disebutkan pertama meskipun aspek yang terakhir juga tak kalah penting.
Karena bagaimanapun juga idealnya sebuah hadis dikatakan sebagai berkualitas sahih
dan abash untuk diperpegangi sebagai hujjah apabila apsek sanad dan matannya
sahih. Dengan demikian, menganggap leboh penting satu aspeknya saja meruapakan
sikap yang keliru.
Alasan para ulama hadis cenderung mendahulukan penelitian dan kritik sanad
daripada kritik matan adalah adanya adagium yang menyatakan bahwa penelitian
matan hadis itu barulah mempunyai arti apabila sanad hadis yang bersangkutan telah
jelas-jelas memenuhi syarat-syarat kesahihan. Karena, bagaimanapun validnya matan,
tidak akan pernah dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah tanpa adanya sanad.
Bahkan ada yang mengatakannya sebagai hadis palsu. Dengan alasan demikianlah,
maka para ulama ahli hadis lebih mendahulukan kegiatan penelitian sanad daripada
matan hadis.
Berpijak pada kaedah keshahihan hadis yang menjadi acuan umum yang
mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu hadis, maka dalam makalah
ini akan membahas salah satu aspek pertama dalam penelitian dan kritik hadis yaitu
kritik sanad; pengertian, urgensi, kriteria dan kaedah kesahihan sanad hadis.
1.2 Rumusan Masalah

5
Dr. M Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis (Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, 1988), h. 5
1.2.1 Bagaimana hakikat kritik sanad dan urgensinya?
1.2.2 Bagaimana kriteria keshahihan sanad hadis?
1.2.3 Bagaimana langkah langkah penelitian sanad hadis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui hakikat kritik sanad dan urgensinya bagi umat Islam.
1.3.2 Mengetahui kriteria dalam menilai kualitas keshahihan sanad hadis.
1.3.3 Mengetahui langkah-langkah penelitian sanad hadis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kritik Sanad dan Urgensinya


Untuk memahami lebih jauh seperti apa yang dimaksud dengan kritik hadis maka
penting untuk menyepakati definisi sanad itu sendiri. M. Syuhudi Ismail dalam
bukunya Metodologi Penelitian hadis Nabi mengatakan bahwa Sanad adalah
rangkaian para periwayat yang menyampaikan hadis. Sanad menurut bahasa berarti
sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan sanad menurut istilah adalah jalan yang
menyampaikan kepada jalan hadist.6 Jadi dapat disimpulkan bahwa sanad adalah
orang orang yang meriwayatkan hadist dari tingakatan sahabat hingga hadist itu
sampai kepada kita.
2.1.1 Hakikat Kritik Sanad
Secara etimologi, kata kritik (naqd) dalam bahasa arab mempunyai arti sama
dengan lafad al-tamyiz yang mempunyai makna membedakan atau memisahkan.7
Dalam pemakainnya kata ktritik sering dikonotasikan dengan makna yang tidak lekas
percaya, tajam dalam analisa, dan koreksi baik atau buruknya suatu karya. Namun,
pemahaman kritik yang dimaksud disini bukanlah berkonotasi negative, bahkan
sebaliknya berkonotasi positif. Sedangkan sanad berarti sederetan nama-nama yang
meriwayatkan hadist secara hirarki yang terus terangkai sampai kepada penyampai
hadis yang pertama.
Kritik sanad secara etimologi bisa diartikan suatu usaha pemisahan atau
pembedaan antara satu nama periwayat dengan periwayat yang lain. menurut istilah,
kritik sanad adalah menyeleksi para perawi hadis dari segi keabsahannya dalam

6
Mohammad S.Rahman, Kajian Sanad dan Matan Hadist Dalam Metode Historis (Jurnal Al-Syir’ah)
Vol.8, No.2, Desember , 2010. H. 427-428
7
Atho’illah Umar, ‚Budaya Kritik Ulama Hadis‛, Jurnal Mutawatir fakultas Ushuluddin UINSA,
Vol.1, No. 1, ( Surabaya, 2011), 138.
menisbahkan hadis kepada sumbernya dan menjelaskan adanya pemisahan antara
perawi yang memiliki keabsahan itu dan yang sebaliknya.
Kritik sanad, dari kajian tersebut melahirkan istilah sahih al-isnad dan dha’if
al-isnad. Istilah pertama mengandung arti bahwa seluruh jajaran perawi dalam suatu
hadist berkualitas sahih, disamping juga adanya kebersambungan sanad serta
terbebasnya dari kerancuan (syadz) dan cacat (‘illat). Sedangkan istilah kedua
mengacu kepada pemahaman bahwa salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya
berkualitas dha’if. 8
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat dinyatakan bahwa kritik sanad
merupakan upaya meneliti kredibilitas seluruh jajaran perawi hadis dalam suatu jalur
sanad yang meliputi aspek kebersambungan (muttasil), kualitas pribadi dan
kapabilitas intelektual perawi, serta aspek kerancuan (syadz) dan cacatnya (‘illat).

2.1.2 Urgensi Kritik Sanad


Permasalahan krusial yang muncul dalam diskursus ini adalah mengapa kritik
sanad hadis itu dianggap penting dan para ulama ahli hadis itu terkesan
memperlakukan secara istimewa terhadap sanad dibandingkan matan. Sikap para
ulama hadis ini beralasan bahwa kritik matan hadis baru memiliki arti dan dapat
dilakukan setelah kritik terkadap sanad selesai dilakukan. Karena bagaimanapun juga
sebuah matan hadis tidak akan pernah dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah jika
tanpa disertai sanda. Oleh karena itu, secara logis jika para kritikus hadis menempuh
kritik terhadap sanad terlebih dahulu baru diikuti kemudian dengan kritik matan.
Mengacu pada formulasi sanad yang didefinisikan sebagai serangkaian transmitter
suatu hadis, maka upaya mengadakan verifikasi terhadap kredibiltas para perawi
tersebut sangat diperlukan. Dikatakan demikian karena nilai seorang perawi hadis ,

8
Dr. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), h.27
baik menyangkut pribadi maupun kapasitas intelektuanya akan berimplikasi pada
matan hadis yang diriwayatkannya. Oleh karena itu, di samping kualitas pribadi dan
kapasitas intelektualnya, seorang kritikus hadis harus memperhatikan lambing
penerimaan dan periwayatan hadis yang digunakan perawi (sighat al-tahammul wa
al-ada’) yang digunakannya serta kebersambungan antara seorang perawi dengan
perawi di atasnya (gurunya) atau perawi di bawahnya (murid) dan diakhiri dengan
melakukan kritik terhadap matan hadis yang bersangkutan.

2.2. Kriteria Keshahihan Sanad Hadis


Ibnu Al-Salah membuat sebuah definisi hadis sahih yang disepakati oleh para
muhaddisin. Ia berpendapat sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail yaitu

“Adapun hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada
Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang 'adil dan dabith sampai akhir
sanad, (di dalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (shadz) dan cacat
('illat).”9

Dari definisi atau pengertian hadis sahih tersebut maka syarat syarat keshahihan
sanad hadis adalah sebagai berikut:
2.2.1 Sanad Bersambung
Sanad bersambung ialah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima
riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad,
mulai dari periwayat yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadis
dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis
yang bersankutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya.
Dr. M Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, h. 109
9
Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai
konsep kebersambungan sanad hadis ini. Bagi AL-Bukhari sebuah sanad baru diklaim
bersambung apabila memenuhi kriteria berikut: al-qila’, yakni adanya pertautan
langsung anyata satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai dengan adanya
sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secata langsung suatu hadis dari
gurunya; kedua, al-mu’asharah, yakni bahwa sanad diklaim bersambung apabila
terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dan muridnya.
Sedangkan bagi Muslim, terkesan agak memperlomggar persyaratan ittishal
sanad tersebut. Bagi Muslim, sebuah sanad dikatakan telah bersambung apabila
antara satu perawi dengan perawi berikutnya begitu seterusnya ada kemungkinan
telah bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara
tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.
Dengan demikian, Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad itu pada aspek
al-mu’asharah semata. 10
Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidaknya sanad hadis, para
ulama hadis menempuh cara berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c. Meneliti kata-kata yang berhubungan antar periwayat yang terdekat dalam
sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddathani>,
haddathana>, dan akhbarana> atau kata-kata lainnya.11
Melihat keterangan di atas maka suatu sanad hadis dapat dinyatakan
bersambung jika seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqqah (adil dan
dabith}) dan antara periwayat terdekat sebelumnya benar-benar telah terjadi

10
Dr. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hal.45
11
M. ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), hal. 262-
268
hubungan periwayatan berdasarkan ketentuan tahammul wa al-‘ada’ al-hadis
(transformasi penyampaian dan penerimaan hadis).

2.2.2 Periwayat bersifat adil


12
Kata “adil” secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran.
dalam terminology ilmu hadis terdapat beberapa rumusan definisi yang dikemukakan
para ulama. Diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi yang mengatakan bahwa seorang
muhaddiths dipahami sebagai seorang Muslim, tidak berbuat bid’ah dan maksiay
yang dapat meruntuhkan moralitasnya. Ibn Shalah berpendapat bahwa seorang perawi
disebut memiliki sifat adil jika dia seorang yang muslim, baligh, berakal, memelihara
moralitas dan tidak berbuat fasiq. Sedangkan Ahmad M syakir menambahkan satu
unsur lagi yakni dapat dipercaya beritanya.13
Memperhatikan pendapat di atas agaknya dapat dipahami bahwa seseorang
dikatakan adil jika pada ririnya terkumpul kriteria muslim, berakal, baliqh,
memelihara muru’ah , tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat
dipercaya beritanya. Sebenarnya masih terdapat formulasi jika disebutkam seluruhnya
kira-kira kurang lebih 16 poin. 14
Dr. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Keshahihan Hadis15
mengemukakan dalam ikhtisarnya ada lima belas orang ulama yang memberikan
pendapat terkait dengan pengertian dan batasan “adil”. Sepuluh orang diantaranya
merupakan ulama hadis, disamping juga di an tara mereka dikenal di bidang ilmu
keislaman tertentu. Kelima orang ulama selebihnya dikenal sebagai ulama ushul fiqh

12
Ibn Mandzur. Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th), juz XIII, h.456-463.
13
Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ba’its al Hathith Syar Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar
al Tsawafah al Islamiyah, t.th), p.112
14
Dr. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hal.63-64
15
Dr. M Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, hal. 113-115
atau fiqh, disamping dikenal juga di bidang ilmu keislaman tertentu lainnya. Adapun
butir-butir atau kriteria perawi yang adil adalah sebagai berikut:
a. Beragama islam
b. Baligh
c. Berakal,
d. taqwa
e. Memelihara muru’ah
f. Teguh dalam agama
g. Tidak berbuat dosa besar,
misalnya syirik
h. Menjauhi (tidak selalu bebruat
dosa kecil)
i. Tidak bid’ah
j. Tidak makisat
k. Tidak bebruat fasik
l. Menjauhi hal-hal yang
diperbolehkan, yang dapat
merusak muru’at
m. Baik akhlaknya
n. Dapat dipercaya beritanya
o. Biasanya benar
p. Jumlah

2.2.3 Aspek Intelektualitas Perawi


Aspek intelektualitas (dhabit) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami
sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis. Istilah dhabit ini secera etimologi
memiliki arti menjaga sesuatu. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian
persyaratan asasi yang harus ada pada seorang perawi hadis untuk bisa diterima
riwayat yang disampaikannya.
Dalam terminology ilmu hadis, terdapat berbagai rumusan definisi dhabt yang
dimajukan oleh para ulama. Diantaranya dikemukakan oleh al-sarkhasi bahwa dhabt
mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan kesempuranaan intelektualitas
seorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami secara mendalam makna
yang dikandungnya, menjaga dan menghafalnya semaksimal mungkin hingga pada
waktu penyebaran dan periwayatan hadis yang didengarnya tersebut kepada orang
lain (ada’al-hadist). Dengan demikian dituntut adanya konsistensi mulai dari awal
proses tahammul hingga proses ada;-nya. Artinya bahwa hadis yang disebarkan itu
sama persis namun tidak harus secara redaksional dengan hadis yang diterimanya
dahulu. ‘Ajjal al-Khatib menyajikan formulasi dhabt ini sebagai intensitas
inetelektual seorang perawi tatkala menerima sebuah hadis dan memahaminya
sebagaimana yang didengarnya, selalu menjaga hingga periwayatannya, yakni hafal
dengan sempurna jika ia meriwayatkannya berdasarkan hafalannya, paham dengan
baik maknya yang dikandungnya, hafal dengan benar terhadap tulisannya dan paham
betu akan kemungkinan adanya ubahan (tahrif), penggantian (tabdil) maupun
pengurangan (tanqis) jika ia meriwayatkan hadis tersebut berdasarkan tulisannya.
Dengan model periwayatan semavam ini maka akan dapat menjaga dari terjadinya
lupa dan kesalahan.
Merangkum dari formulasi dhabt di atas dapat dipahami bahwa seorang
perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifat sifat berikut:
pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengar dan
diterimanya.; perawi itu hafal atau mencatat dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya), ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis
yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat
perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain. 16
Terdapat metode yang digunakan para ulama untuk menentukan ke-dhabit-an
seorang perawi hadis; pertama ke-dhabit-an seorang periwayat dapat diketahui
berdasarkan kesaksian ulama; kedua, ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat
lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya; ketiga, apabila seorang periwayat sekali
sekali mengalami kekeliruan maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat
16
Dr. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hal. 64-67
yang dhabit. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang
bersangkutana tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.17

2.2.4 Terhindar dari syudzudz (Ke-syadz-an)


Al-Shafi’I mengemukakan bahwa hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan
oleh seorang periwayat thiqqah, namun riwayatnya tersebut bertentangan dengan
orang banyak yang juga thiqqah. Pendapat inilah yang banyak diikuti karena jalan
untuk mengetahui adanya shadh adalah dengan membanding-bandingkan semua
sanad yang ada untuk matan yang mempunyai topik sama. Berdasarkan definisi di
atas, dapatlah diketahui bahwa syarat shadh adalah penyendirian dan perlawanan.
Syarat hadis shadh ini bersifat komulatif. Jadi, selama tidak terkumpul padanya dua
unsur tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai hadis shadh.Pada umumnya,
Muhaddithin mengakuai bahwa shadh dan illat hadis sangat sulit diteliti karena
terletak pada sanad yang tampak sahih dan baru dapat diketahui setelah hadis tersebut
diteliti lebih mendalam

2.2.5 Terhindar dari ‘Illat


Illat secara etimologi artinya penyakit (cacat). Sedangkan secara terminologi
muhaddithin adalah suatu sebab yang menjadikan cacatnya hadis dari kesahihannya.18
Ibn Shalah mendefinisikan ‘illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas
hadis yang pada lahirnya berkualitas sahih menjadi tidak sahih lagi. Sedangkan Ibn
Taimiyah menyatakan bahwa hadis yang mengandung ‘illat adalah hadis yang
sanadnya secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut,
didalamnya terdapat perawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya

17
Dr. M Syuhudi Ismail, Kaedah keshahihan Sanad Hadis, hal.121
18
Ali bin ‘Abdillah al-Madani, ‘Ilal al-Hadith wa Ma’rifat al-Rijal, editor ‘Abdul Mu’ti Amin
(al-Nashir: Daar al-Wa’yi Halab, 1980), hal. 10
mawquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis
tersebut. 19
Para ulama muhaddithin mengklasifikasikan ‘illat menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Sanad yang tampak muttasil dan marfu’, tetapi kenyataannya mauquf
walaupun sanad-nya dalam keadaan muttasil.
2) Sanad yang tampak marfu’ dan muttasil tetapi kenyataannya mursal,
walaupun sanad-nya dalam keadaan muttasil.
3) Hadis terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain. Sanad hadis juga
terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kesamaan nama
dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.20

2.3 Langkah dan Metode Penelitian Sanad Hadis


Metoda atau cara-cara meneliti validitas Hadis sanad dan matan Hadis dalam
bentuk langkah-langkah penelitian Hadis, menurut pemahnman penulis terhadap buku
“Metodologi Penelitian Hadis” seperti yang dipaparkan oleh Syuhudi Ismail23
meliputi tiga pokok langkah-Iangkah penelitian, yang masing-masing memiliki
bagian langkah sebagai derivasi dari ketiga metode pokok tadi, yang terdiri dari:
2.3.1 Melakukan Tahrijul Hadis (Sebagai Langkah awal kegaitan penelitian Hadis)
untuk mengetahui; a) Asal usul riwayat Hadis yang akan diteliti, b) Seluruh
riwayat Hadis Hadis yang akan diteliti, c) Ada atau tidaknya syahid atau
muttabi pada sanad yang akan diteliti. Adapun metode yang digunakan adalah
metoda Takhrijul Hadis bil-Lafdzi, yakni penelusuran hadis melalui lafadz
dan metode Takhrijul-Hadis bil-maudhu‘ yakni penelusuran hadis melalui
topik masalah.
2.3.2 Melakukan penelitian sanad Hadis.

Dr. Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hal. 73-74
19

20
M. Shuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadith Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 89
Langkah-langkah yang ditempati dalam tahap ini adalah:
a) Melakukan I’tibar
Kata al-i’tibar (‫ار‬MMM‫)اإلعتب‬  merupakan masdar dari kata ‫ َر‬MMMَ‫اِ ْعتَب‬ . Merupakan
bahasa, arti al-i’tibar adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud
untuk  dapat diketahui sesuatunya yang sejenis”.21 Sedangkan menurut istilah
adalah penelitian jalan-jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi
untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak.
Sanad menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan
sandaran, karena hadis bersandar kepadanya. Menurut istilah ialah “silsilah orang-
orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis”.22
Menurut istilah ilmu hadis, al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang
lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang
lain tersebut akan dapat diketahui apakah aada periwayat yang lain ataukah tidak
ada untuk bagian sanad dari sanad hadis di-maksud.23
Dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh
jalur  sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama- nama periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Kegunaan al-
i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada
atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang
berstatus mutabi’  atau syahid.24
Dalam kegiatan al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad
bagi hadis yang akan diteliti.

21
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 51
22
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.
23
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 51.
24
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 52.
Teknik Pembuatan Skema Sanad
Tujuan dari langkah I’tibar al-sanad adalah untuk mengetahui ada atau tidak
adanya pendukung baik yang berstatus Mutabi’ ataupun Syahid. Mutabi’ adalah
periwayat yang berstatus pendukung bukan dari kalangan sahabat. Sedangkan syahid
adalah periwayat yang berstatus pendukung berkedudukan sebagai sahabat Nabi
SAW.
Pembuatan skema sanad ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Proses penyusunan diawali dari mukharrij hingga Nabi SAW.
2. Setiap tingkatan diberi kode.
3. Pembuatan skema diawali secara tunggal, baru dilakukan penggabungan.
4. Pembuatan jalur seluruh sanad secara jelas (garisnya jelas).
5. Nama-nama periwayat dalam keseluruhan jalur sanad harus cermat.
6. Shighat tahammul wa ada’ al-hadist ditempatkan disebelah garis.
7. Dilakukan pengecekan ulang setelah selesai menyusun.25
Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian,
yakni; 1) jalur seluruh sanad, 2) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, dan 3)
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Dalam melukiskan jalur-jalur sanad, garis-garisnya harus jelas sehingga dapat
dibedakan antara jalur sanad yang satu dengan jalur sanad yang lain.26 Pembuatan
garis- garis jalur sanad terkadang harus diulang-ulang perbaikannya bila hadis yang
diteliti memiliki sanad yang banyak.
Nama-nama periwayat yang dicantumkan dalam skema sanad harus cermat
sehingga tidak mengalami kesulitan tatkala dilakukan penelitian melalui kitab-kitab
25
A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Melacak Hadis Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadist dari
Manual Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006), hal. 21.
26
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 52.
rijal (kitab-kitab yang menerangkan keadaan para periwayat hadis) terhadap masing-
masing periwayat. Terkadang pribadi periwayat yang sama dalam sanad yang berbeda
tertulis dengan nama yang berbeda, begitu juga sebaliknya, terkadang nama
periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan, tetapi pribai orangnya berlainan. Tanpa
kecermatan penulisan dan penelitian nama-nama periwayat dapat menyebabkan
kesalahan dalam menilai sanad yang bersangkutaan. Nama-nama periwayat yang
ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari periwayat yang pertama,
yakni sahabat Nabi yang mengemukakan hadis, sampai mukharrij-nya, misalnya al-
Bukhari atau Muslim. Terkadang seorang mukharrij memiliki lebih dari satu sanad
untuk matn hadis yang sama atau semakna. Bila hal itu terjadi, maka masing-masing
sanad harus jelas tampak dalam skema.27
Adapun praktek Pembuatan Skema Sanad adalah sebagai berikut:
Dalam hadis yang berbunyi  ‫را‬MMM‫منك‬ ‫ من رأى منكم‬atau yang semakna
dengannya, menurut hasil takhrij, diriwayatkan oleh:
1. Muslim dalam Sahih Muslim, Juz I, halaman 69.
2. Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, Juz I, hlm. 297, dan Juz IV hlm 123.
3. At-Turmudzi dalam Sunan at-Turmudzi, Juz III, hlm 317-318.
4. An-Nasa’i dalam Sunan an-Nasa’i, Juz VIII, hlm 111-112.
5. Ibnu Majah dalam Sunan Ibni Majah, Juz I, hlm 406, dan Juz II, hlm. 1330.
6. Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, Juz III, hlm 10, 20, 49, 52-53, dan 92
Berikut ini dikemukakan riwayathadis tersebut yang mukharrij-nya Muslim:

‫ َّدثَنَا ُم َح َّم ُدب ُْن ْال ُمثَنَّى‬MMM‫ َو َح‬.‫ح‬. َ‫ ْفيَان‬MMM‫َاو ِك ْي ٌع ع َْن ُس‬ َ َ‫ ْيبَة‬MMM‫وبَ ْك ٍرب ُْن أَبِى َش‬MMMُ‫ َّدثَنَا أَب‬MMM‫َح‬
َ ‫ َّدثَن‬MMM‫ح‬,
‫ب‬ٍ ‫هَا‬M ‫ق ْب ِن ِش‬ ِ Mَ‫لِ ٍم ع َْن ط‬M ‫ْس ْب ِن ُم ْس‬
ِ ‫ار‬M ِ ‫اع َْن قَي‬MM‫ ِكاَل هُ َم‬.‫ح َّدثَنَا ُش ْعبَة‬. َ ‫ َج ْعفَ ٍر‬  ‫ح َّدثَنَا ُم َح َّم ُدب ُْن‬.
َ
‫ ِه‬M‫ا َم إلَ ْي‬Mَ‫ فَق‬.‫ان‬ ُ ‫رْ َو‬M‫صاَل ِة َم‬ َّ ‫لع ْي ِدقَ ْب َل ال‬ ْ ‫ أَ َّو ُل َم ْن بَدَأَبِاْل ُخ‬:‫ال‬
ِ ‫طبَ ِة يَوْ َم ْا‬ َ َ‫ ق‬.‫ْث أَبِى بَ ْك ٍر‬ ُ ‫اح ِدي‬َ ‫َوه َذ‬
‫ ْد‬M َ‫ َذا فَق‬M ‫ أ َّماه‬:‫ ِع ْي ٍد‬M ‫و َس‬MMُ‫ فَقَا َل أَب‬.‫ك‬ َ ِ‫ك َماهُنَال‬ َ ‫ قَ ْد تُ ِر‬:‫ال‬َ َ‫ فَق‬.‫طبَ ِة‬ْ ‫صاَل ةُ قَ ْب َل ْال ُخ‬
َّ ‫ اَل‬:‫ فَقَا َل‬.ٌ‫َر ُجل‬
27
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 52.
ْ َ‫ َم ْن َرآى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه ف‬:ُ‫م يَقُوْ ل‬.‫ْت َرسُوْ َل هللاِ ص‬
‫إن لَ ْم‬ ُ ‫ َس ِمع‬.‫ضى َما َعلَ ْي ِه‬ َ َ‫ق‬
28
.)‫ (أخرجه مسلم‬.‫ان‬ ِ ‫ف ْاإل ْي َم‬
ُ ‫ك أضْ َع‬ َ ِ‫ َوذل‬,‫ فَإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه‬,‫يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه‬
(Imam Muslim berkata,) telah menyampaikan berita kepada kami (dengan
metode as-sama’) Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang dia menyatakan bahwa)
Waki’ telah menyampaikan berita kepada kami (dengan metode as-sama’, berita
itu berasal) dari Sufyan. Dan (Imam Muslim juga berkata bahwa) telah
menyampaikan berita kepada kami (dengan metode as-sama’) Muhammad bin al-
Musanna (yang dia itu menyatakan bahwa) Muhammad bin Ja’far telah
menyampaikan berita kepada kami (dengan metode as-sama’, yang berita itu
berasal) dari Syu’bah. Keduanya (yakni Sufyan dan Syu’bah menerima berita)
dari Qais bin Muslim (yang berita itu berasal) dari Tariq bin Syihab. Dan (lafal)
hadis ini (berdasarkan riwayat melalui sanad) Abu Bakr (bin Abi Syaibah, yakni
bahwa Tariq bin Syihab) berkata: Orang yang mula-mula melalui dengan
khutbah pada hari raya sebelum shalat ialah Marwan (bin Hakam). Maka
seseorang berdiri dan berkata: “Shalat (harus dilaksanakan) sebelum khutbah”.
Orang tadi berkata lagi: “Telah ditinggalkan apa yang seharusnya dilakukan”.
Abu Sa’id (al-Khudri) menyatakan: “Apapun masalah (shalat dan khutbah hari
raya) ini sesungguhnya telah ada ketetapan padanya. Saya telah mendengar
Rasulullah bersabda: Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; bila tidak mampu (mengubah
dengan tangan), maka (hendaklah mengubahnya) dengan lisannya; dan bila tidak
mampu juga (mengubah dengan lisannya), maka (hendaklah mengubahnya)
dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman.”
Marwan bin Hakam dalam riwayat itu bukanlah periwayat hadis. Dia disebut
namanya karena adanya kasus yang telah dilakukannya oleh orang-orang yang hadir,
kasus itu merupakan pelanggaran terhadap apa yang telah diajarkan oleh Nabi.
Marwan dalam hal ini sebagai orang yang telah melakukan pelanggaran, yakni
mendahulukan khutbah dari shalat dalam acara shalat hari raya. Marwan
mendahulukan khutbah mungkin didorong oleh keinginan agar jamaah hari raya tidak
segera meninggalkan tempat shalat. Pada tahun-tahun sebelumnya, tampaknya
Marwan sempat menyaksikan bahwa pada acara shalat hari raya, bila shalat
jamaah telah selesai dan diikuti dengan pembacaan khutbah, ternyata banyak anggota
jamaah yang meninggalkan tempat shalat dan tidak mendengarkan khutbah
Thab’i Ali Nufqhah, Shahih Muslim Juz I, (Bandung: Syirkah-Al-Ma’arif Li Thab’i Wan
28

Nasyr, t.t.), hal. 69


sebagaimana mestinya. Tindakan Marwan itu ditegur oleh salah seorang yang hadir
karena Marwan dinilai telah melanggar sunnah Rasul. Di tempat shalat itu, hadir pula
Abu Sa’id al-Khudri, seorang sahabat Nabi. Abu Sa’id membenarkan sikap orang
yang menegur Marwan tersebut dan secara tidak langsung Abu Sa’id menilai bahwa
perbuatan Marwan itu merupakan tindakan mungkar yang harus diatasi. Karenanya,
Abu Sa’id menyampaikan sabda Nabi yang berisi perintah untuk mengatasi
kemungkaran sebagaimana yang dikemukakan dalam matn hadis di atas.
Dengan demikian, kasus Marwan yang disebutkn oleh riwayat hadis di atas
bukanlah sebab wurud dari sabda Nabi, tapi yang pasti Marwan dalam hal ini
bukanlah bagian dari sanad hadis karenanya namanya tidak tercantum dalam skema
sanad.
Kutipan riwayat hadis di atas diawali dengan ‫ حدثنا‬. Yang menyatakan kata itu
adalah Imam Muaslim, yakni Muslim bin Hajjaj al-Qusyaeri al-Naisaburi (wafat 216
H/ 875 M), penyusunan kitab Sahih Muslim. Karena Muslim sebagi mukharrijul-
hadis, maka dia dalam hal ini berkedudukan sebgai periwayat terakhir dalam hadis
yang dikutip di atas.
Dalam mengemukakan riwayat, Imam Muslim menyandarkan riwayatnya kepada
dua periwayat sebelumnya, yakni Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Muhammad bin al-
Musanna. Kedua nama periwayat yang disandari oleh Iman Muslim tersebut dalam
ilmu hadis disebut sebagai sanad pertama. Maka, sanad yang terakhir untuk riwayat
hadis di atas adalah Abu Sa’id al-Khudri, yakni periwayat pertama karena dia
sebagai sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama yang menyampaikan
riwayat hadis tersebut. Berikut ini dikemukakan urutan periwayat dan urutan sanad
untuk hadis di atas:

Nama Periwayat Urutan sebagai Urutan sebagai


periwayat sanad
1. Abu Sa’id Periwayat I Sanad VI
2. Tariq bin Syihab Periwayat II Sanad V
3. Qais Bin Muslim Periwayat III Sanad IV
4. Sufyan Periwayat IV Sanad III
5. Syu’bah Periwayat IV Sanad III
6. Waki’ Periwayat V Sanad II
7. Muhammad bin Ja’far Periwayat V Sanad II
8. Abu Bakr bin Abi Syaibah Periwayat VI Sanad I
9. Muhammad bin al-Musannaa Periwayat VI Sanad I
10. Muslim Periwayat VII Mukharijul hadist

Dari daftar nama di atas tampak jelas bahwa periwayat yang keempat sampai
dengan keenam atau sanad pertama sampai dengan ketiga, masing-masing dua orang,
sedangakan mulai periwayat pertama sampai dengan ketiga, atau sanad keempat
sampai dengan sanad terakhir (keenam), masing-masing hanya seorang diri. Garis
skema mulai bercabang setelah melalui Qais bin Muslim.
Lambang-lambang metode periwayatan yang dapat dicatat dari kutipan
riwayat hadis tersebut adalah ‫حدثنا‬, ‫عن‬,‫سمعت‬,‫( قال‬haddasana, ‘an sami’tu, dan qala).
Berarti terdapat perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh para periwayat
dalam sanad hadis tersebut. Kata sami’tu (‫ )سمعت‬menunjukkan kepastian periwayat
mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya. Sedangkan haddasana (‫ )حدثنا‬di
satu segi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada sami’tu (‫ )سمعت‬Karena kata
sami’tu (‫معت‬MM‫ )س‬dapat berarti guru hadis (al-syaykh) tidak khusus menghadapkan
riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu (‫ )سمعت‬tadi, atau guru
hadis itu tidak melihat langsung penerima periwayat yang menyatakan kata sami’tu
‫ معتس‬tersebut. Sedangkan kata haddasana ‫ حدثنا‬memberi petunjuk bahwa guru hadis
menyampaikan dan mengharapkan riwayatnya kepada periwayat yang mengatakan
haddasana ‫ حدثنا‬tersebut.
Sebagian ulama menyatakan, sanad hadis yang mengandung huruf ‫ عن‬adalah
sanad yang terputus. Tetapi mayoritas ulama menilainya melalui al-sama’, apabila
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dalam sanad yang mengandung huruf ‫ عن‬itu tidak terdapat penyembunyian
informasi (tadlis) yang dilakukan oleh periwayat.
b. Antara periwayat dengan periwayat yang terdekat yang diantarai oleh huruf
‫ عن‬itu dimungkinkan terjadi pertemuan.
c. Malik bin Anas, Ibn ‘Abd al-Barr, dan al-‘Iraqiy menambahkan satu syarat
lagi, yakni para periwayatnya haruslah orang-orang yang kepercayaan.29
Adapun pengartian huruf ‫ال‬MMM‫ ق‬dalam sanad, kalangan ulama ada yang
menyamakan dengan ‫عن‬, yakni sama-sama harus diteliti terlebih dahulu
persambungan antara periwayat dengan periwayat lain yang diantarai oleh huruf atau
kata tersebut. Tegasnya sanad yang mengandung huruf atau kata dimaksud
dinyatakan terputus sebelum dibuktikan atau diteliti bahwa sanad itu bersambung.30
Huruf ‫ ح‬yang terletak antara nama Sufyan dan kata-kata ‫ َّدثَنَا‬MM‫ َو َح‬adalah
singkatan darai kat-kata at-tahwil min isnad ila isnad, artinya: perpindahan dari sanad
yang satu ke sanad yang lain. Jadi, sanad Muslim dalam riwayat hadis yang dikutip
tersebut ada dua macam.31

Dengan penjelasan diatas maka dapatlah dikemukakan skema sanad Muslim sebagai
berikut:
29
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Nabi hal. 70.
30
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Nabi, hal. 71
31
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi , hal. 57.
b) Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
Hal-hal yang perlu diperhalikan dalam tahap ini, yakni;
1) Menjadikan keshahihan sebagai acuan
Untuk meneliti hadis diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaedah
keshahihan bila ternyata hadis yang diteliti bukan hadis muttawattir. Unsur
unsur kaedah keshahihan hadis, antara lain: bersambungnya sanad, seluruh
periwayat dalam hadis harus bersifat adil dan dhabit, sanad hadis harus
terhindar dari (kejanggalan) syadz dan (cacat)‘illat.
2) Melakukan penelitian segi-segi pribadi periwayat, meliputi; Kualitas pribadi
periwayat (adil), kapasitas intelektual periwayat (dhabit) dan Persoalan
sekitar Al-Jarh wat-ta’dil.
3) Persoalan sekitar Al-Jarh wat-ta’dil.
Al-Jarh wa al-Ta‘dil sebagai Pendekatan Kritik Sanad Hadis. Dalam
terminology ilmu hadis, al-jarh berarti menunjukkan sifat-sifat tercela bagi
seorang perawi, sehingga merusak atau mencacatkan keadilah dan
kedhabitannya. Hal ini dapat melemahkan dan mengugurkan riwayat dari
seorang perawi. Adapaun al—ajrih yang penggunaanya sering disamakan
dengan kata al-jarh dipahami sebagai upaya mensifati perawi dengan sifat
sifat yang dapat menyebabkan riwayatnya menjadi lemah atau tidak diterima
sama sekali.
Adapun kata al-‘adl sebagai bentuk masdar dari ‘adala ya’dilu, dalam
lisan al-‘Arab diartikan sebagai sesuatu yang dapat dirasakan dalam keadaan
benar dan lurus. Dalam ilmu hadis, al-‘adl sering didefinisikan sebagai
seorang perawi yang pada dirinya tidak terdapat sofat-sifat yang dapat
merusak agama dan moralitasnya, sehingga dengan sifat-sifatnya itu
menyebabkan riwayatnya diterima, jika perawi tersebut memenuhi syarat
syarat bagi kecakapan meriwayatkan hadis. Al-ta’dil diartikan sebagai
kebalikan dari al-jarh yakni meilai bersih perawi dan memposisikannya
sebagai perawi yang adil dan dhabit.
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil pemahaman bahwa ilmu al-
jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi,
baik dengan mengungkapkan sifat-sifat kecatatannya yang bermuara pada
penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang disampaikannya.
Eksistensi al-jarh wa ta’dil dalam kritik sanad hadis berfungsi sebagai tolak
ukur dan timbangan bagi seorang perawi apakah hadis yang diriwayatkannya
itu diterima atau ditolak. Dengan kata lain, penerimaan dan penolakan itu
didasarkan pada kualitas pribadi dan kapabilitas intelektual perawi tersebut.
Sebagaimana diketahui dua persyaratan kesahihan hadis menyangkut
perawi hadis ialah ia harus memiliki kualitas pribadi yang baik (adil) dan
kapabiltas intelektual yang tinggi (dhabit). Keadilan seorang perawi menurut
Mahmud al-Thahhan dapat diketahui melalui dua cara: pertama, pemberitaan
yang mashur bahwa perawi tersebut telah terkenal sebagai seorang yang adil
di kalangan para ulama.
Seperti Malik Ibn Anas, Sufyan al-Tsauri, dan Ahmad Ibn Hanbal;
kedua, melalui pernyataan seorang mu’addil (orang yang memberikan sifat
positif) bahwa seorang perawi tersebut bersifat adil artinya bahwa hasil
penelitian yang dilakukan seorang mu’addil melahirkan kesimpulan bahwa
seorang perawi itu layak diberi label adil.
Adapun aspek kedhabitan seorang perawi menurut Ibn al-Shalah dapat
diketahui dengan cara membandingkan riwayatnya dengan riwayat sejumlah
perawi yang terkenal thiqah. Jika ternyata riwayatnya dengan riwayat para
perawi thiqah lainnya itu sama atau sejalan, maka ia dklaim dhabit tsabt yang
berarti riwayatnya diterima. Namun jika ternyata sebaliknya maka ia
dipandang sebagai tidak dhabit dan karenanya ditolak.
4) Meneliti persambungan sanad
Yang meliputi;32 1) Identifikasi lambang-lambang metode
periwayatan, sanad hadis selain memuat nama-nama perawi, juga
menunjukkan metoda periwayatan yang digunakan oleh perawi
masingmasing. Identifikasi Iambang periwayatan dapat menentukan tingkat
akurasi metoda periwayatan yang digunakan periwayat yang tercantum dalam
32
Fathurohman, Musthalahatul Hadis (Bandung: Al-Ma‘arif, 1981), hal. 82-84
sanad; 2) Mengidentifikasi hubungan periwayat dengan metode
periwayatannya. Secara mudah, keadaan perawi dibagi menjadi yang tsiqah
dan yang tidak tsiqah.
Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat
sangat menentukan. Artinya ketinggian lambang periwaayatan tidak
menentukan tingkat akurasi berita, jika pembawanya tidak (siqah). Namun
adajuga orang yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli kritik Hadis, dengan syarat
menggunakan lambang periwayatan (hadasani atau sami’tu, sanadnya
bersambung, Jika tidak, sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
5) Meneliti Syudzudz dan lllat.
Suatu sanad bisa mengandung syudzudz, bila sanad yang diteliti lebih
dari satu buah. Salah satu langkah penelitaian yang sangat penting untuk
meneliti kemungkinan adanya syudzudz suatu sanad Hadis ialah dengan
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang tofik
pembahasannya atau memiliki segi kesamaan.
Adapun langkah-langkah umuk meneliti keillatan suatu Hadis,
menurut lbn al-Madini,33 ialah; 1) Menghimpun dan meneliti seluruh sanad
Hadis untuk mam yang semakna, bila Hadis tersebut memikliki muttabi
ataupun syahid; 2) Meneliti seluruh periwayatan dalam berbagai sanad
berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik Hadis.

2.3.3 Menyimpulkan Hasil Penelitian Sanad


Kegiatan berikutnya dalam penelitian sanad hadis adalah mengemukakan
kesimpulan hasil penelitian. Kegiatan menyimpulkan ini merupakan kegiatan akhir
bagi kegiatan penelitian sanad hadis.
Natijah dan Argumen
33
Fathurohman, Musthalahatul Hadis (Bandung: Al-Ma‘arif, 1981), h.88
Hasil penelitian yang dikemukakan harus berisi natijah (kongklusi). Dalam
mengemukakan natijah harus disertai dengan argumen-argumen yang jelas. Semua
argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah
dikemukakan.
Isi natijah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah riwayatnya mungkin
berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan bersifat mutawattir dan bila tidak
demikian maka hadis tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian hadis ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan
bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan , atau dha’if sesuai
dengan apa yang diteliti. Bila perlu, pernyataan kualitas tersebut disertai dengan
macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadis yang diteliti berkualitas
hasan li ghair.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penelitian terhadap sanad (kritik sanad atau naqd al-sanad) merupakan sebuah
keniscayaan mengingat posisinya sebagai salah satu unsur pembentuk hadis.
Penelitian ini dilakukan dengan cara menguji kebersambungan sanad dan ke-tsiqahan
perawi yang membentuk sanad tersebut.
Dalam pelaksanaannya dibutuhkan kitab rijal al-hadis dan kitab al-jarh wa
al-ta’dil yang memberikan informasi tentang biografi dan hal ihwal perawi. Disini
dibutuhkan kecermatan dan analisis yang tajam dari seorang peneliti mengingat ada
perawi yang memiliki kesamaan nama dan juga perawi yang diperselisihkan
kredibilitasnya. Jika lolos uji, maka sanad tersebut dinilai shahih dan jika belum atau
tidak memenuhi persyaratan keshahihan, maka dinyatakan sebagai hasan dan atau
dhaif.
Namun harus diingat bahwa keshahihan sanad tidak otomatis menjamin hadis
tersebut dapat diterima dan menjadi hujjah. Sebuah hadis juga harus menjalani uji
keshahihan matan atau kritik matan (naqd al-matn) untuk dapat dikatakan sebagai
hadis shahih. Terlepas dari bagaimana hasil akhir penelitian sebuah sanad, harus
diakui bahwa adanya sistem periwayatan seperti inilah yang menyebabkan ajaran
Islam tetap terjaga dan terpelihara hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai