MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadis yang dibina oleh Prof. Dr. H. M. Asy’ari, M.Ag.
Oleh:
MOH. ABDUL MAJID AL ANSORI
NIM. 22380051018
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 22
B. Saran .......................................................................................................................... 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis menjadi sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Hadis memiliki
peranan yang strategis dalam khazanah keislaman. Selain al-Quran, Hadis menjadi
sumber rujukan utama dalam menyelesaikan beragam persoalan dan masalah hukum
Islam. Bahkan, dalam kaitannya dengan al-Quran, Hadis dapat diposisikan baik sebagai
kepastian hukum), dan bayān naskh (penghapus).1 Hal ini disebabkan realitas
peningkatan dari waktu ke waktu. Jenis-jenis Hadis yang beraneka ragam baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan, hingga ketetapan (taqrīr) Rasulullah menjadi bahan kajian
yang tiada habisnya. Mulai dari persoalan matan (redaksi) Hadisnya, ataupun
seperti ilmu Hadīṡ Dirāyah yang lebih dikenal dengan ilmu musṭalāḥ Ḥadīṡ, ilmu Rijāl
al-Ḥadīṡ, ilmu takhrij al-Ḥadīṡ, ilmu al-jarḥ wa al-taʾdīl, ilmu tawārikh al-ruwah, ilmu
ma’āni al-Ḥadīṡ, ilmu mukhtalif al-Ḥadīṡ, ilmu gharīb al-Ḥadīṡ, ilmu asbāb wurūd al-
Ḥadīṡ, dan ilmu naqd al-Ḥadīṡ (kritik Hadis). Ilmu-ilmu ini dilahirkan sebagai bentuk
upaya para ulama Hadis dalam menjaga dan menjamin otentisitas sebuah Hadis. Sebab,
Hadis sebagai teks ajaran Islam kedua (the second text) tidaklah sama dengan al-Quran.
1
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2016), 18-22.
1
2
Semua Hadis secara umum tidak ada kepastian teks (qaṭʾi al-wurūd) begitu pula
kepastian argumen (qaṭʾi al-dalālah). Adanya fakta ini mengindikasikan bahwa tidak
ada jaminan otentik yang menunjukkan bahwa suatu Hadis benar-benar berasal dari
Rasulullah SAW. Dengan fakta ini pula, mengharuskan para ahli melakukan penelitian
Pertama, Hadis Nabi SAW merupakan sumber ajaran Islam. Kedua, Tidak semua Hadis
tertulis di zaman Nabi SAW. Ketiga, banyak terjadi aksi manipulasi dan pemalsuan
Hadis. Keempat, proses penghimpunan Hadis menghabiskan waktu yang lama. Kelima,
Hadis tersebar di berbagai kitab, dengan metode yang beragam. Keenam, Hadis dapat
Dari penelitian yang diupayakan oleh ahli Hadis ini, akhirnya dapat
diklasifikasikan Hadis yang dinilai sahih , daif , bahkan mauḍūʻ (palsu). Dengan hasil
penelitian ini pula, umat Islam dapat menentukan Hadis mana saja yang dapat dijadikan
sebagai dalil atau hujjah atas suatu masalah hukum. Penelitian terhadap Hadis ini, baik
dalam ranah matan maupun sanad, akhirnya lebih dikenal dan menjadi suatu disiplin
ilmu tertentu yang disebut dengan ilmu kritik Hadis (naqd al-Ḥadīṡ).
2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 7.
3
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas perihal ilmu kritik Hadis dari
PEMBAHASAN
Secara esensial, ilmu kritik Hadis berupaya untuk meneliti matan dan sanad
Hadis sehingga diketahui orisinalitasnya. Orisinil yang dimaksud dalam bidang Hadis
adalah tidak adanya lagi keraguan terhadap tingkat kesahihan suatu Hadis, baik dari sisi
sanad maupun matan, sehingga dapat diamalkan sebagai dalil hukum yang pasti. 3
Secara etimologi, ilmu kritik Hadis (naqd al-Ḥadīṡ) terdiri dari dua kata yaitu
naqd dan Hadīṡ. Kata naqd ( )نقدdapat berarti memilah, meneliti, dan mengkritisi. Arti
ini selaras dengan ungkapan نَقَدَ الد َراه َم َو َغي َر َهاyang berarti ف َجيدَ َها من َرديع َها َ ََميزَ َها َون
َ ظ َر َها ل َيعر
(memilah dan mengkritisinya sehingga diketahui mana yang baik dan begitu pula
sebaliknya).4 Dalam literatur lainnya, kata naqd juga berarti memisahkan yang baik dari
yang buruk. Sehingga jika kata naqd kemudian disandarkan kepada al-Ḥadīṡ, berarti
sebuah upaya untuk memisahkan Hadis yang maqbūl (diterima/baik), dari Hadis yang
mardūd (ditolak/buruk).
Menetapkan kualitas rawi dengan menilai cacat atau adil, lewat penggunaan
lafal tertentu dan dengan menggunakan alasan-alasan yang telah ditetapkan para
ahli Hadis, serta dengan meneliti matan-matan Hadis yang sanadnya sahih
dalam rangka untuk menetapkan kesahihan dan kelemahan matan tersebut, dan
untuk menghilangkan kemusykilan pada Hadis-Hadis sahih yang tampak
musykil maknanya serta menghapuskan pertentangan kandungannya dengan
melalui penerapan standar yang mendalam (akurat).
3
Ṣalāh al-Dīn bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ al-Nabawī (Beirut: Dār
al-Falaq al-Jadīdah, 1983), 31.
4
Wasman, Metodologi Kritik Hadis (Cirebon: CV.Elsi Pro, 2021), 14.
5
Muḥammad Ṭahir al-Jawabī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd al-Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī as-Syarīf (Tunisia:
Mu’assasat Ibnu ‘Abd Allah, t.t), 94.
4
5
sahih dari Hadis-Hadis daif dan menentukan kedudukan para periwayat Hadis tentang
Sementara dalam tataran terminologis sebagai suatu disiplin ilmu, kritik Hadis
diartikan sebagai;
Ilmu yang membahas cara membedakan Hadis-Hadis sahih dari yang daif,
menerangkan ‘illah dan hukum para rawinya, baik berupa jarh dan ta’dīl, dengan
menggunakan istilah khusus yang memiliki makna tertentu menurut para ahli ilmu ini. 7
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa kritik Hadis
merupakan upaya untuk meneliti tingkat orisinalitas dan validitas matan maupun sanad
Hadis. Upaya ini dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti mana Hadis yang benar-
benar bersumber dari Rasulullah SAW dan mana yang tidak. Selain itu, aktivitas kritik
Hadis (uji validitas Hadis) menjadi perantara untuk mengetahui kualitas suatu Hadis,
entah sebagai sahih, daif, maupun mauḍūʻ. Hal ini jelas akan membantu banyak
Aktivitas kritik Hadis dalam cakupan meneliti dan memvalidasi sejatinya sudah
ada sejak abad pertama hijriah, bahkan saat Rasulullah SAW masih hidup. Hanya saja,
aktivitas kritik Hadis di masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana. Hal itu
6
Muhammad as-Syiba’i, Hadis sebagai Sumber Hukum Islam, terj. Dja’far Abdul Muchith (Bandung: CV.
Diponegoro, 1993), 82-83.
7
Muhammad Ali Qasim al-Umariy, Dirāsat fī Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muḥaddiṡīn (Yordan: Dar al-Nafa’is,
t.th), 11.
6
tercermin dari sikap para sahabat yang begitu antusias menemui, merujuk, maupun
tidaknya sesuatu telah disampaikan oleh beliau. Wajar hal ini dilakukan oleh para
sahabat, mengingat Rasulullah SAW adalah ṣaḥīb al-risālah yang senantiasa terbuka
Adanya konfirmasi Hadis semacam itu disebabkan oleh perbedaan cara atau
proses para sahabat dalam menerima Hadis dari Rasulullah SAW. Perbedaan cara
sedemikian rupa dipicu oleh beragamnya tingkat intelektualitas, daya hafalan, serta
pemahaman para sahabat dalam menangkap apa yang didengar dan dijumpainya dari
Rasulullah SAW. Sehingga, untuk menghindari bias serta kesalah pamahaman antar
para sahabat, konfirmasi langsung kepada Beliau SAW menjadi jalan terbaik.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat lebih berhati-hati lagi dalam
menerima Hadis yang belum pernah didengarnya. Kehati-hatian ini diwujudkan dengan
cara membandingkan riwayat-riwayat yang ada antar para sahabat. Seperti yang
dilakukan Umar bin Khattab saat meminta para rawi Hadis untuk bersumpah guna
memperkuat apa yang diriwayatkannya, begitu pula yang ditempuh oleh Aisyah
Kritik Hadis terus berlanjut bahkan semakin intens di masa kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib. Fitnah yang menyebabkan terbunuhnya Usman bin Affan dan pertikaian
palsu. Perilaku pemalsuan Hadis tersebar hampir di setiap kubu yang bertikai, untuk
mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang paling benar. Sejak itu pun tidak diterima
suatu Hadis kecuali telah diyakini validitas matan maupun sanadnya. Berbagai kriteria
8
Muhammad Abu Zahw, al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddīṡūn (t.tp.: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th.), 65. Lihat juga di
Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008), 33.
9
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), 52-54.
7
pun dirumuskan dari berbagai aspek, seperti sisi agama, wara’, hafalan, serta ke-ḍābiṭ-
an rawi yang akhirnya memunculkan ilmu untuk mengukur kredibilitas seorang rawi,
yaitu ilmu jarh wa al-ta’dīl. Tokoh-tokoh sahabat yang membidangi hal ini diantaranya
adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Ubadah bin Shamit (w. 34 H), dan Anas bin
setelahnya, dengan tokoh-tokoh yang aktif mengkritisi para rawi Hadis seperti Amir al-
Sya’bi (w. 104 H), Ibnu Sirin (w. 110 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), dan Sufyan
ke-3 hijriah, bermunculan pula para ulama yang turut menggeluti dan mengarang karya
tentang kritik Hadis. Hanya saja istilah naqd al-Ḥadīṡ belum terlalu familiar kala itu,
para ulama lebih memilih kata al-tamyīz seperti yang diterapkan Imam Muslim (w. 261
H) dalam kitabnya yang berjudul sama dan berisi tentang metodologi kritik Hadis.
Ulama Hadis lain seperti Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) meskipun dalam bukunya
kritik Hadis tersebut diberi judul Jarh wa al-Ta’dīl. Demikian juga dengan Imam
Bukhari (w. 256 H) menulis kitab tentang kritik rawi dengan judul al-Tārīkh al-Kabīr.10
Fakta ini mengindikasikan bahwa konsep kritik (naqd) Hadis sudah ada sejak awal
bidang kritik Hadis terus berlanjut. Hal itu terbukti dengan lahirnya beberapa kitab
seperti Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulāmā’ al-Ḥadīṡ al-Nabawī karya Salah al-Din
10
Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 5. Lihat juga Abdul Majid Khon, Takhrīj
& Metode Memahami Hadis (Jakarta: AMZAH, 2014), 115-116.
8
Muhammad Tahir al-Jawabi, dan Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīṡ karya Nur al-Din
‘Itr. Selain yang berbahasa Arab, karya-karya tentang kritik Hadis berbahasa Indonesia
juga sudah banyak ditemukan seperti Metodologi Penelitian Hadis Nabi karya M.
menunjukkan bahwa objek kajian ilmu kritik Hadis terbagi menjadi dua. Pertama, kritik
sanad, yang bisa disebut juga dengan kritik ekstern (naqd al-khārijī). Kedua, kritik
matan, yang bisa disebut juga dengan kritik intern (naqd al-dākhilī).
Kritik sanad Hadis berarti meneliti deretan para rawi dengan cara
Hassan Hanafi, kritik sanad Hadis disebut dengan kritik historis.11 Kritik
sanad atau historis menjadi penting didasarkan pada anggapan bahwa tidak
kesalahan yang besar. Sebab, keaslian teks agama harus diuji melalui kritik
11
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), 1-2.
9
diprakarsai oleh Ibn Syihab Az-Zuhri atas perintah khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Hal ini jelas berbeda dengan al-Quran yang sedari awal telah
kepentingan itu, ulama telah membuat kriteria atau kaidah berupa syarat
kesahihan sanad Hadis. Syarat-syarat itu harus terpenuhi agar suatu sanad
Hadis dapat dikategorikan sahih. Kesahihan sanad Hadis ada yang bersifat
dipandang ṡiqah.
c. Tidak boleh menerima riwayat Hadis dari orang yang tidak dikenal
12
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 124.
10
d. Tidak boleh menerima riwayat Hadis dari orang yang suka berdusta,
diriwayatkannya.
kesaksiannya.
(liqā’) antar rawi Hadis yang berdekatan sanadnya. Berbeda dengan imam
antar keduanya.
persoalan kualitas dan kapasitas dari seorang rawi. Padahal kriteria sanad
Hadis yang dapat diterima sebagai hujjah tidak hanya berkaitan dengan itu,
a. Sanad Bersambung
seorang rawi yang ‘ādil. Namun, dari perbedaan itu dapat ditarik
suatu kesimpulan dimana rawi yang ‘ādil ialah mereka yang Islam,
13
Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 14.
12
mukallaf, takwa atau tidak fasik yang dalam artian terhindar dari
sebagai berikut;
diterimanya
14
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, 139.
15
Ibnu Katsir, Ikhtisār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 35.
13
hasan.16
sanad Hadis bila sanad yang diteliti lebih dari satu. Sehingga
pembahasannya.
16
Ibid., 46.
17
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 30.
14
sahih , menjadi tidak.18 Kasus ‘illah semacam ini tidak banyak ulama
Istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni
difokuskan pada teks Hadis yang menjadi intisari dari apa yang pernah
maknanya.19
seorang rawi serta ketersambungan sanad suatu Hadis, maka kritik matan
mengandung syaẑ atau ‘illah sehingga membuat matan Hadis tidak dapat
18
Ibnu al-Salah, ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 90.
19
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 35.
15
matan-matan Hadis yang sahih maupun tidak. Sehingga kritik matan Hadis
Islam yang terkandung di dalam Hadis. Bukan lantas kritik matan Hadis
semestinya.
Tidak seperti kritik sanad Hadis yang memiliki pola prosedural dan
praktis. Mereka hanya memberikan batasan atau tolak ukur yang dapat
dijadikan pijakan, yang itu pun cenderung berbeda antar satu dengan
lainnya.
matan Hadis yang sifatnya global, seperti tidak bertentangan dengan al-
Quran, dengan Hadis lain yang kedudukannya lebih kuat, dengan akal,
kaidah kesahihan matan Hadis sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari syaẑ
maupun ‘illah.
Hadis;
20
Ibnu al-Salah, Ulum al-Hadis, 79.
21
Ibid.
17
sama sekali.
mengakhirkan.22
22
Mahmud al-Tahhan, Taysir Musṭalāḥ al-Hadis (Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H), 82.
18
menurut satu cara dan yang lainnya menurut cara yang lain
23
Ibid., 85.
24
Ibnu al-Salah, Ulum al-Hadis, 84.
19
Sama halnya dengan syaẑ, ‘illah tidak hanya ada di dalam sanad,
sebagai berikut;25
(terdapat ‘illah)
samapai kepadanya.
langsung.
25
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimām al-Muḥaddiṡīn bi Naqd al-Ḥadīṡ Sanadan wa Matnan (Riyadh: Dar al-
Da’i li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1420 H), 358-363.
21
Rasulullah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis, kritik hadis (naqd al-ḥadīṡ) terdiri dari dua kata yaitu kritik
dan hadis. Kata naqd sendiri berarti memilah, meneliti, dan mengkritisi. Meneliti
sesuatu secara kritis sehingga dapat dipilah dan dibedakan antara baik buruknya dari
sesuatu tersebut. Sehingga ketika kata ini disandarkan (di-muḍāf-kan) pada kata al-
ḥadīṡ, maka memiliki arti sebagai meneliti suatu Hadis untuk memastikan apakah Hadis
tersebut bernilai baik atau diterima (maqbūl) atau sebaliknya justru ditolak (mardūd).
Sementara secara terminologis, kritik Hadis berarti upaya untuk meneliti tingkat
orisinalitas dan validitas matan maupun sanad Hadis. Upaya ini dimaksudkan untuk
mengetahui secara pasti, Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW dan
Hadis yang tidak. Sehingga, Hadis yang telah teruji validitas kesahihannya bisa
Dalam perjalanan sejarahnya, kritik Hadis sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW meski secara sederhana. Para sahabat banyak mengklarifikasi Hadis yang mereka
dengar dari sahabat lain untuk mendapatkan kepastian apakah Hadis tersebut benar-
benar berupa sabdanya. Selepas Rasulullah SAW wafat, kritik Hadis semakin
diperketat terlebih dengan terpecah belahnya umat Islam disebabkan fitnah yang terjadi
di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setiap kelompok berusaha memperkuat
setelahnya, istilah naqd al-ḥadīṡ mulai dikenal dan kini telah dipopulerkan menjadi
suatu disiplin ilmu tertentu dengan karya-karya ulama yang beraneka ragam.
22
23
Secara praktis, terdapat dua objek kajian dalam kritik Hadis yaitu kritik sanad
dan kritik matan. Kritik sanad atau kritik ekstern (al-naqd al-khārijī) lebih didahulukan
ketimbang kritik matan atau kritik intern (al-naqd ad-dākhilī). Acuan dalam
Syarat kesahihan sanad Hadis secara umum terfokus pada kualitas dari seorang
bersifat khusus meliputi; bersambungnya sanad, keadilan rawi, ke-ḍabit-an rawi, serta
terhindar dari syaẑ dan ‘illah. Sedangkan kritik matan Hadis hanya terfokus pada
B. Saran
Kajian kritik Hadis dalam makalah ini masih bersifat tataran teoritis semata.
Oleh karena itu, kajian-kajian secara praktis bisa dijadikan sebagai penelitian lanjutan
untuk semakin memberikan pemahaman kuat terkait prosedur kritik Hadis. Hal ini
dapat diupayakan oleh akademisi Muslim baik mahasiswa maupun dosen, sehingga
rantai keilmuan di bidang ini terus terhubung dan bermanfaat yang dampaknya lebih
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011.
Hanafi, Hassan. Dialog Agama dan Revolusi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
‘Iṭr, Nūr ad-Dīn. Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-Ḥadīṡ. Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.
Jawabī (al), Muḥammad Ṭahir. Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd al-Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī as-
Syarīf. Tunisia: Mu’assasat Ibnu ‘Abd Allah, Tanpa Tahun.
Kaṡīr, Ibnu. Ikhtiṣar ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.
Ṣalāh al-Dīn bin Ahmad al-Adlabi. Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ al-
Nabawī. Beirut: Dār al-Falaq al-Jadīdah, 1983.
Sumbulah, Umi. Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN Malang Press,
2008.
Syiba’i (al), Muhammad. Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Bandung: CV. Diponegoro,
1993.
Ṭaḥḥān (al), Maḥmūd. Taysīr Muṣṭalāḥ al-Ḥadīṡ. Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat,
1415 H.
Umariy (al), Muhammad Ali Qasim. Dirāsat fī Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muḥaddiṡīn. Yordan:
Dar al-Nafa’is, Tanpa Tahun.