Anda di halaman 1dari 26

ILMU KRITIK HADIS;

SEJARAH DAN OBJEK KAJIANNYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadis yang dibina oleh Prof. Dr. H. M. Asy’ari, M.Ag.

Oleh:
MOH. ABDUL MAJID AL ANSORI
NIM. 22380051018

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


PROGRAM MAGISTER (S2)
PASCASARJANA IAIN MADURA
SEPTEMBER 2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Masalah atau Topik Bahasan ..................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan Makalah......................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kritik Hadis ..................................................................................... 4

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Kritik Hadis ................................................................. 5

C. Objek Kajian Ilmu Kritik Hadis ................................................................................. 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 22

B. Saran .......................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis menjadi sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Hadis memiliki

peranan yang strategis dalam khazanah keislaman. Selain al-Quran, Hadis menjadi

sumber rujukan utama dalam menyelesaikan beragam persoalan dan masalah hukum

Islam. Bahkan, dalam kaitannya dengan al-Quran, Hadis dapat diposisikan baik sebagai

bayān taqrīr/ta`kīd (penguat), bayān tafsīr (penjelas), bayān tasyrīʾ (pemberi

kepastian hukum), dan bayān naskh (penghapus).1 Hal ini disebabkan realitas

kandungan al-Quran yang secara umum bersifat mujmal atau global.

Dalam perjalanan eksistensinya, kajian terhadap Hadis terus mengalami

peningkatan dari waktu ke waktu. Jenis-jenis Hadis yang beraneka ragam baik dalam

bentuk ucapan, perbuatan, hingga ketetapan (taqrīr) Rasulullah menjadi bahan kajian

yang tiada habisnya. Mulai dari persoalan matan (redaksi) Hadisnya, ataupun

menyangkut perihal kredibilitas dan kualitas sanad berserta rawi-rawi-nya.

Kajian-kajian semacam ini akhirnya melahirkan berbagai cabang ilmu lainnya,

seperti ilmu Hadīṡ Dirāyah yang lebih dikenal dengan ilmu musṭalāḥ Ḥadīṡ, ilmu Rijāl

al-Ḥadīṡ, ilmu takhrij al-Ḥadīṡ, ilmu al-jarḥ wa al-taʾdīl, ilmu tawārikh al-ruwah, ilmu

ma’āni al-Ḥadīṡ, ilmu mukhtalif al-Ḥadīṡ, ilmu gharīb al-Ḥadīṡ, ilmu asbāb wurūd al-

Ḥadīṡ, dan ilmu naqd al-Ḥadīṡ (kritik Hadis). Ilmu-ilmu ini dilahirkan sebagai bentuk

upaya para ulama Hadis dalam menjaga dan menjamin otentisitas sebuah Hadis. Sebab,

Hadis sebagai teks ajaran Islam kedua (the second text) tidaklah sama dengan al-Quran.

1
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2016), 18-22.

1
2

Semua Hadis secara umum tidak ada kepastian teks (qaṭʾi al-wurūd) begitu pula

kepastian argumen (qaṭʾi al-dalālah). Adanya fakta ini mengindikasikan bahwa tidak

ada jaminan otentik yang menunjukkan bahwa suatu Hadis benar-benar berasal dari

Rasulullah SAW. Dengan fakta ini pula, mengharuskan para ahli melakukan penelitian

lanjutan terhadap Hadis.

Penelitian terhadap Hadis penting dilakukan setidaknya karena enam hal;

Pertama, Hadis Nabi SAW merupakan sumber ajaran Islam. Kedua, Tidak semua Hadis

tertulis di zaman Nabi SAW. Ketiga, banyak terjadi aksi manipulasi dan pemalsuan

Hadis. Keempat, proses penghimpunan Hadis menghabiskan waktu yang lama. Kelima,

Hadis tersebar di berbagai kitab, dengan metode yang beragam. Keenam, Hadis dapat

diriwayatkan secara makna.2

Dari penelitian yang diupayakan oleh ahli Hadis ini, akhirnya dapat

diklasifikasikan Hadis yang dinilai sahih , daif , bahkan mauḍūʻ (palsu). Dengan hasil

penelitian ini pula, umat Islam dapat menentukan Hadis mana saja yang dapat dijadikan

sebagai dalil atau hujjah atas suatu masalah hukum. Penelitian terhadap Hadis ini, baik

dalam ranah matan maupun sanad, akhirnya lebih dikenal dan menjadi suatu disiplin

ilmu tertentu yang disebut dengan ilmu kritik Hadis (naqd al-Ḥadīṡ).

B. Masalah atau Topik Bahasan

Rumusan masalah atau topik bahasan dalam makalah ini meliputi;

1. Apa pengertian Ilmu Kritik Hadis?

2. Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Kritik Hadis?

3. Apa saja objek kajian Ilmu Kritik Hadis?

2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 7.
3

C. Tujuan Penulisan Makalah

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas perihal ilmu kritik Hadis dari

berbagai aspek, seperti pengertian, sejarah perkembangan serta objek kajiannya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kritik Hadis

Secara esensial, ilmu kritik Hadis berupaya untuk meneliti matan dan sanad

Hadis sehingga diketahui orisinalitasnya. Orisinil yang dimaksud dalam bidang Hadis

adalah tidak adanya lagi keraguan terhadap tingkat kesahihan suatu Hadis, baik dari sisi

sanad maupun matan, sehingga dapat diamalkan sebagai dalil hukum yang pasti. 3

Secara etimologi, ilmu kritik Hadis (naqd al-Ḥadīṡ) terdiri dari dua kata yaitu

naqd dan Hadīṡ. Kata naqd (‫ )نقد‬dapat berarti memilah, meneliti, dan mengkritisi. Arti

ini selaras dengan ungkapan ‫ نَقَدَ الد َراه َم َو َغي َر َها‬yang berarti ‫ف َجيدَ َها من َرديع َها‬ َ َ‫َميزَ َها َون‬
َ ‫ظ َر َها ل َيعر‬

(memilah dan mengkritisinya sehingga diketahui mana yang baik dan begitu pula

sebaliknya).4 Dalam literatur lainnya, kata naqd juga berarti memisahkan yang baik dari

yang buruk. Sehingga jika kata naqd kemudian disandarkan kepada al-Ḥadīṡ, berarti

sebuah upaya untuk memisahkan Hadis yang maqbūl (diterima/baik), dari Hadis yang

mardūd (ditolak/buruk).

Sementara secara terminologi, dalam pandangan Muhammad Tahir al-Jawabi

naqd al-Ḥadīṡ adalah;5

Menetapkan kualitas rawi dengan menilai cacat atau adil, lewat penggunaan
lafal tertentu dan dengan menggunakan alasan-alasan yang telah ditetapkan para
ahli Hadis, serta dengan meneliti matan-matan Hadis yang sanadnya sahih
dalam rangka untuk menetapkan kesahihan dan kelemahan matan tersebut, dan
untuk menghilangkan kemusykilan pada Hadis-Hadis sahih yang tampak
musykil maknanya serta menghapuskan pertentangan kandungannya dengan
melalui penerapan standar yang mendalam (akurat).

3
Ṣalāh al-Dīn bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ al-Nabawī (Beirut: Dār
al-Falaq al-Jadīdah, 1983), 31.
4
Wasman, Metodologi Kritik Hadis (Cirebon: CV.Elsi Pro, 2021), 14.
5
Muḥammad Ṭahir al-Jawabī, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd al-Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī as-Syarīf (Tunisia:
Mu’assasat Ibnu ‘Abd Allah, t.t), 94.

4
5

Selain Muhammad Tahir al-Jawabi, M.M. Azami sebagaimana dikutip oleh

Muhammad As-Syiba’i dan diterjemahkan oleh Dja’far Abdul Muchith,

mendefinisikan kritik Hadis dengan “membedakan (al-tamyīz) antara Hadis-Hadis

sahih dari Hadis-Hadis daif dan menentukan kedudukan para periwayat Hadis tentang

kredibilitas maupun kecacatannya”.6

Sementara dalam tataran terminologis sebagai suatu disiplin ilmu, kritik Hadis

diartikan sebagai;

ُ‫اُوالُكُمُُعلىُرواِتاُجر ًحاُوت عدي ًًل‬


ُ ُ‫هُوُُعُلُمُُيُبُحُثُُفُُتُيُيُزُُالُحُادُيُثُُالصُحُيُحُةُُمُنُُالضُعُيُفُةُُ ُوبُيُانُُعُلُلُه‬
ُ‫اظَُمصوص ٍةُذاتُدَلئلُمعلوم ٍةُعندُأهلُالفن‬ ٍ ‫ِبلف‬
ُ

Ilmu yang membahas cara membedakan Hadis-Hadis sahih dari yang daif,
menerangkan ‘illah dan hukum para rawinya, baik berupa jarh dan ta’dīl, dengan
menggunakan istilah khusus yang memiliki makna tertentu menurut para ahli ilmu ini. 7

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa kritik Hadis

merupakan upaya untuk meneliti tingkat orisinalitas dan validitas matan maupun sanad

Hadis. Upaya ini dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti mana Hadis yang benar-

benar bersumber dari Rasulullah SAW dan mana yang tidak. Selain itu, aktivitas kritik

Hadis (uji validitas Hadis) menjadi perantara untuk mengetahui kualitas suatu Hadis,

entah sebagai sahih, daif, maupun mauḍūʻ. Hal ini jelas akan membantu banyak

pengaplikasian Hadis sebagai salah satu hujjah dalam penetapan hukum.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Kritik Hadis

Aktivitas kritik Hadis dalam cakupan meneliti dan memvalidasi sejatinya sudah

ada sejak abad pertama hijriah, bahkan saat Rasulullah SAW masih hidup. Hanya saja,

aktivitas kritik Hadis di masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana. Hal itu

6
Muhammad as-Syiba’i, Hadis sebagai Sumber Hukum Islam, terj. Dja’far Abdul Muchith (Bandung: CV.
Diponegoro, 1993), 82-83.
7
Muhammad Ali Qasim al-Umariy, Dirāsat fī Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muḥaddiṡīn (Yordan: Dar al-Nafa’is,
t.th), 11.
6

tercermin dari sikap para sahabat yang begitu antusias menemui, merujuk, maupun

mengklarifikasi kepada Rasulullah SAW secara langsung untuk membuktikan benar

tidaknya sesuatu telah disampaikan oleh beliau. Wajar hal ini dilakukan oleh para

sahabat, mengingat Rasulullah SAW adalah ṣaḥīb al-risālah yang senantiasa terbuka

dan menjadi tempat bertanya bagi sahabat-sahabatnya.8

Adanya konfirmasi Hadis semacam itu disebabkan oleh perbedaan cara atau

proses para sahabat dalam menerima Hadis dari Rasulullah SAW. Perbedaan cara

sedemikian rupa dipicu oleh beragamnya tingkat intelektualitas, daya hafalan, serta

pemahaman para sahabat dalam menangkap apa yang didengar dan dijumpainya dari

Rasulullah SAW. Sehingga, untuk menghindari bias serta kesalah pamahaman antar

para sahabat, konfirmasi langsung kepada Beliau SAW menjadi jalan terbaik.

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat lebih berhati-hati lagi dalam

menerima Hadis yang belum pernah didengarnya. Kehati-hatian ini diwujudkan dengan

cara membandingkan riwayat-riwayat yang ada antar para sahabat. Seperti yang

dilakukan Umar bin Khattab saat meminta para rawi Hadis untuk bersumpah guna

memperkuat apa yang diriwayatkannya, begitu pula yang ditempuh oleh Aisyah

melalui perbandingan antara suatu Hadis dengan kandungan al-Quran.9

Kritik Hadis terus berlanjut bahkan semakin intens di masa kekhalifahan Ali bin

Abi Thalib. Fitnah yang menyebabkan terbunuhnya Usman bin Affan dan pertikaian

politik antara Ali dan Muawiyah menjadi momentum bermunculannya Hadis-Hadis

palsu. Perilaku pemalsuan Hadis tersebar hampir di setiap kubu yang bertikai, untuk

mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang paling benar. Sejak itu pun tidak diterima

suatu Hadis kecuali telah diyakini validitas matan maupun sanadnya. Berbagai kriteria

8
Muhammad Abu Zahw, al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddīṡūn (t.tp.: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.th.), 65. Lihat juga di
Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang Press, 2008), 33.
9
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), 52-54.
7

pun dirumuskan dari berbagai aspek, seperti sisi agama, wara’, hafalan, serta ke-ḍābiṭ-

an rawi yang akhirnya memunculkan ilmu untuk mengukur kredibilitas seorang rawi,

yaitu ilmu jarh wa al-ta’dīl. Tokoh-tokoh sahabat yang membidangi hal ini diantaranya

adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Ubadah bin Shamit (w. 34 H), dan Anas bin

Malik (w. 93 H).

Aktivitas kritik Hadis terus berlanjut ke masa tabiin hingga masa-masa

setelahnya, dengan tokoh-tokoh yang aktif mengkritisi para rawi Hadis seperti Amir al-

Sya’bi (w. 104 H), Ibnu Sirin (w. 110 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), dan Sufyan

al-Tsauri (w. 161 H).

Baru kemudian seiring dengan gencarnya pembukuan ilmu-ilmu Hadis di abad

ke-3 hijriah, bermunculan pula para ulama yang turut menggeluti dan mengarang karya

tentang kritik Hadis. Hanya saja istilah naqd al-Ḥadīṡ belum terlalu familiar kala itu,

para ulama lebih memilih kata al-tamyīz seperti yang diterapkan Imam Muslim (w. 261

H) dalam kitabnya yang berjudul sama dan berisi tentang metodologi kritik Hadis.

Ulama Hadis lain seperti Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) meskipun dalam bukunya

menyebutkan istilah al-naqd wa al-nuqqad, namun kitabnya yang menjelaskan tentang

kritik Hadis tersebut diberi judul Jarh wa al-Ta’dīl. Demikian juga dengan Imam

Bukhari (w. 256 H) menulis kitab tentang kritik rawi dengan judul al-Tārīkh al-Kabīr.10

Fakta ini mengindikasikan bahwa konsep kritik (naqd) Hadis sudah ada sejak awal

Islam, namun penggunaan istilah naqd baru familiar di masa-masa setelahnya.

Sampai era kontemporer sekalipun, penulisan karya-karya para ahli Hadis di

bidang kritik Hadis terus berlanjut. Hal itu terbukti dengan lahirnya beberapa kitab

seperti Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulāmā’ al-Ḥadīṡ al-Nabawī karya Salah al-Din

10
Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 5. Lihat juga Abdul Majid Khon, Takhrīj
& Metode Memahami Hadis (Jakarta: AMZAH, 2014), 115-116.
8

al-Adlabi, Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd al-Matn al-Ḥadīṡ al-Nabawī al-Syarīf karya

Muhammad Tahir al-Jawabi, dan Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīṡ karya Nur al-Din

‘Itr. Selain yang berbahasa Arab, karya-karya tentang kritik Hadis berbahasa Indonesia

juga sudah banyak ditemukan seperti Metodologi Penelitian Hadis Nabi karya M.

Syuhudi Ismail dan Kritik Hadis karya Ali Musthafa Ya’qub.

C. Objek Kajian Ilmu Kritik Hadis

Dari pengertian ilmu kritik Hadis sebagaimana sudah disebutkan di awal,

menunjukkan bahwa objek kajian ilmu kritik Hadis terbagi menjadi dua. Pertama, kritik

sanad, yang bisa disebut juga dengan kritik ekstern (naqd al-khārijī). Kedua, kritik

matan, yang bisa disebut juga dengan kritik intern (naqd al-dākhilī).

1. Kritik Sanad Hadis

Kritik sanad Hadis berarti meneliti deretan para rawi dengan cara

menganalisis satu persatunya dengan aspek-aspek tertentu, sehingga dapat

diketahui sanadnya bernilai sahih, lemah, atau palsu. Dalam pandangan

Hassan Hanafi, kritik sanad Hadis disebut dengan kritik historis.11 Kritik

sanad atau historis menjadi penting didasarkan pada anggapan bahwa tidak

mungkin menghasilkan pemahaman yang sahih dari sesuatu yang secara

historis tidak valid atau terbukti otentik.

Meskipun pemahamannya pada teks tersebut benar, namun dari sisi

kesejarahan dipersoalkan, hal ini justru akan menjerumuskan pada

kesalahan yang besar. Sebab, keaslian teks agama harus diuji melalui kritik

sejarah yang panjang, dan tidak cukup bermodalkan keyakinan semata.

11
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), 1-2.
9

Terlebih bila objek kajiannya adalah Hadis, yang telah mengalami

proses panjang sebelum menjadi wacana tekstual dan termuat di dalam

kitab-kitab. Perjalanan Hadis awalnya hanya terfokus pada tradisi transmisi

verbal (naql al-syafawī) dan transmisi praktik (naql al-‘amalī), sebelum

memasuki tahapan transmisi tulisan atau tekstual (naql al-kitābī) yang

diprakarsai oleh Ibn Syihab Az-Zuhri atas perintah khalifah Umar bin Abdul

Aziz. Hal ini jelas berbeda dengan al-Quran yang sedari awal telah

ditransmisikan secara tekstual dan di bawah pengawasan dan koreksi

langsung Rasulullah SAW. Oleh karenanya, tingkat validitas teks al-Quran

lebih tinggi ketimbang Hadis.

Untuk itulah kritik sanad Hadis menjadi sangat urgen. Untuk

kepentingan itu, ulama telah membuat kriteria atau kaidah berupa syarat

kesahihan sanad Hadis. Syarat-syarat itu harus terpenuhi agar suatu sanad

Hadis dapat dikategorikan sahih. Kesahihan sanad Hadis ada yang bersifat

umum dan ada pula yang bersifat khusus.

Berikut ini syarat umum kesahihan sanad Hadis;12

a. Tidak boleh menerima riwayat Hadis, kecuali dari orang yang

dipandang ṡiqah.

b. Seorang rawi Hadis harus dinilai ibadah salatnya, perilakunya, dan

keadaan dirinya. Apabila salah satunya tidak baik, maka

periwayatannya tidak diterima.

c. Tidak boleh menerima riwayat Hadis dari orang yang tidak dikenal

memiliki pengetahuan Hadis.

12
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 124.
10

d. Tidak boleh menerima riwayat Hadis dari orang yang suka berdusta,

mengikuti hawa nafsunya, atau tidak mengerti Hadis yang

diriwayatkannya.

e. Tidak boleh menerima riwayat Hadis dari orang yang ditolak

kesaksiannya.

Syarat-syarat umum kesahihan sanad Hadis di atas oleh beberapa ulama

masih ditambah dengan beberapa ketentuan lain, seperti Imam Syafi’ie

mensyaratkan periwayatan dari seorang rawi harus dilakukan secara bi al-

lafẓi, bukan bi al-ma’nā dan periwayatannya terlepas dari perbuatan tadlīs

(penyembunyian catat Hadis). Imam Bukhari juga mensyaratkan pertemuan

(liqā’) antar rawi Hadis yang berdekatan sanadnya. Berbeda dengan imam

Muslim yang mencukupkan pada syarat semasa atau sezaman (mu’āṣarah)

antar keduanya.

Syarat-syarat sebagaimana disebutkan sejatinya masih berkutat pada

persoalan kualitas dan kapasitas dari seorang rawi. Padahal kriteria sanad

Hadis yang dapat diterima sebagai hujjah tidak hanya berkaitan dengan itu,

melainkan juga menyangkut persambungan sanad. Oleh karena itu, terdapat

syarat-syarat kesahihan sanad Hadis yang bersifat khusus meliputi;

a. Sanad Bersambung

Sanad yang bersambung artinya seluruh rangkaian rawi dalam

sanad, mulai dari rawi yang disandari oleh mukharrij (penghimpun

Hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada rawi tingkat sahabat

yang menerima Hadis tersebut dari Nabi SAW, semuanya

bersambung dalam periwayatan.


11

Dalam upaya mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad

Hadis, para peneliti (kritikus) Hadis melakukan beberapa langkah

penelitian sebagai berikut;13

1) Mencatat semua rawi dari sanad yang akan diteliti

2) Meneliti sejarah hidup tiap rawi melalui kitab-kitab rijāl al-

Ḥadīṡ dengan tujuan untuk mengetahui bahwa setiap rawi

dalam sanad tersebut adalah orang yang ‘ādil, ḍābiṭ, serta

tidak pernah melakukan penyembunyian cacat Hadis

(tadlīs). Selain itu, juga untuk memastikan antara para rawi

terdekat terdapat hubungan yang menyebabkan terjadinya

perpindahan riwayat seperti hubungan guru dan murid atau

hidup di zaman yang sama.

3) Meneliti bentuk-bentuk lafadz (sighat al-tahammul wa al-

adā’) ketika menerima maupun meriwayatkan Hadis.

Bentuk-bentuk lafadz periwayatan antar rawi cenderung

berbeda-beda dan dapat dikualifikasikan seperti halnya

ḥaddaṡanī, ḥaddaṡanā, akhbaranā, ‘an, dan annā.

Dari upaya penelitian terhadap ketersambungan sanad ini, jika

sanad yang diteliti benar-benar bersambung secara sahih maka Hadis

tersebut akan bernilai muttaṣil sekaligus marfū’.

b. Rawi Bersifat Ádil

Ulama-ulama Hadis berbeda-beda dalam mendeskripsikan

seorang rawi yang ‘ādil. Namun, dari perbedaan itu dapat ditarik

suatu kesimpulan dimana rawi yang ‘ādil ialah mereka yang Islam,

13
Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 14.
12

mukallaf, takwa atau tidak fasik yang dalam artian terhindar dari

perbuatan dosa besar dan tidak mengulang-ulang dosa kecil, dan

memiliki sikap murū`ah sebagaimana yang berlaku di masyarakat.14

Secara umum ulama juga telah merumuskan langkah-langkah

dalam menetapkan ‘ādil tidaknya seorang rawi Hadis, yaitu;

1) Menilai popularitas keutamaan pribadi seorang rawi di

kalangan ahli Hadis

2) Melihat penilaian dari para kritikus yang mengungkap

kelebihan serta kekurangan seorang rawi

3) Menerapkan teori al-jarḥ wa al-ta’dīl bila para kritikus

Hadis tidak sepakat atas keadilan seorang rawi 15

c. Rawi bersifat ḍābiṭ

M. Syuhudi Ismail meringkas pengertian rawi yang ḍābiṭ

sebagai berikut;

1) Rawi tersebut memahami dengan baik riwayat yang

diterimanya

2) Rawi tersebut hafal dengan baik riwayat yang diterimanya

3) Rawi tersebut mampu menyampaikan dengan baik riwayat

yang dihafalnya kapan saja dikehendaki sampai dia

menyampaikan riwayat itu kepada orang lain

Sementara langkah seorang kritikus sanad untuk menetapkan ke-

ḍābiṭ-an bagi seorang rawi adalah sebagai berikut;

1) Berdasarkan kesaksian ulama

14
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, 139.
15
Ibnu Katsir, Ikhtisār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 35.
13

2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat rawi lain

yang telah dikenal ke-ḍābiṭ-annya

3) Ke-ḍābiṭ-annya sempurna sehingga berlabel tamm al-ḍabṭ.

Namun apabila seorang rawi sesekali mengalami kekeliruan,

tetap bisa dikategori ḍābiṭ, dengan label khafīf al-ḍabṭ yang

kemudian kualitas Hadisnya digolongkan menjadi Hadis

hasan.16

d. Terhindar dari Syuẑūẑ

Imam Syafi’i memberikan pengertian bahwa suatu sanad yang

tidak mengandung unsur syaẑ di dalamnya bilamana Hadis tersebut

hanya diriwayatkan oleh rawi yang ṡiqah dan tidak bertentangan

dengan Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh rawi yang ṡiqah

juga.17 Pendapat yang diikuti oleh mayoritas ahli Hadis ini,

mengindikasikan bahwa kemungkinan adanya syaẑ dalam sebuah

sanad Hadis bila sanad yang diteliti lebih dari satu. Sehingga

langkah yang dapat ditempuh bagi seorang kritikus dalam

mengetahui adanya syaẑ adalah dengan membandingkan semua

sanad dari Hadis-Hadis yang memiliki kesamaan dalam topik

pembahasannya.

e. Terhindar dari ‘Illah

‘Illah yang dimaksud disini bukanlah kecacatan umum yang

mudah diteliti oleh seorang kritikus Hadis seperti rawi pendusta,

lemah hafalannya, fasik kepribadiannya, atau hal-hal lain yang

16
Ibid., 46.
17
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 30.
14

lumrah dijumpai. Melainkan, ‘illah disini diartikan sebagai sebab

tersembunyi yang merusak kualitas suatu Hadis. Sehingga,

keberadaannya mengakibatkan Hadis yang semulanya dipandang

sahih , menjadi tidak.18 Kasus ‘illah semacam ini tidak banyak ulama

yang bisa menelitinya. Meskipun begitu, Ulama Hadis memberikan

langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengetahui adanya

illah, yaitu dengan cara mengumpulkan seluruh jalur periwayatan

Hadis dan meneliti setiap rawinya.

Apabila telah dilakukan penelitian secara kritis kepada sebuah sanad

Hadis dan bisa dipastikan syarat-syarat kesahihannya terpenuhi, maka Hadis

tersebut sudah bisa digolongkan sebagai Hadis yang ṣaḥīḥ al-isnād.

2. Kritik Matan Hadis

Kritik matan biasa disebut sebagai kritik intern (al-naqd al-dākhilī).

Istilah ini dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni

difokuskan pada teks Hadis yang menjadi intisari dari apa yang pernah

disabdakan oleh Rasulullah SAW dan telah ditransmisikan kepada generasi-

generasi setelahnya hingga sampai ke mukharrij baik secara lafadz maupun

maknanya.19

Jika kritik sanad diperlukan untuk mengetahui kredibilitas dan kualitas

seorang rawi serta ketersambungan sanad suatu Hadis, maka kritik matan

lebih kepada upaya untuk mengetahui apakah Hadis yang dimaksud

mengandung syaẑ atau ‘illah sehingga membuat matan Hadis tidak dapat

diterima sebagai Hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW.

18
Ibnu al-Salah, ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 90.
19
Wasman, Metodologi Kritik Hadis, 35.
15

Eksistensi kritik matan Hadis harus dipahami sebagai cara pengujian

atas keabsahan matan Hadis yang ditempuh untuk memisahkan antara

matan-matan Hadis yang sahih maupun tidak. Sehingga kritik matan Hadis

tidak boleh diartikan untuk menggoyahkan atau melemahkan dasar ajaran

Islam yang terkandung di dalam Hadis. Bukan lantas kritik matan Hadis

dijadikan dalih atau alibi untuk mencari kelemahan-kelemahan dari sabda

Rasulullah SAW. Justru sebaliknya kritik matan seharusnya diarahkan pada

telaah redaksi dan makna untuk menetapkan keabsahan sebuah Hadis,

menjaga kemurniannya, serta mengantarkan pada pemahaman yang

semestinya.

Tidak seperti kritik sanad Hadis yang memiliki pola prosedural dan

sistematis dalam penelitiannya, kritik matan Hadis tidak banyak

dikemukakan oleh para ulama bagaimana penerapan sebenarnya secara

praktis. Mereka hanya memberikan batasan atau tolak ukur yang dapat

dijadikan pijakan, yang itu pun cenderung berbeda antar satu dengan

lainnya.

Pada umumnya para ahli Hadis mengajukan beberapa kriteria kesahihan

matan Hadis yang sifatnya global, seperti tidak bertentangan dengan al-

Quran, dengan Hadis lain yang kedudukannya lebih kuat, dengan akal,

indera, fakta sejarah, serta secara redaksional menunjukkan sabda

Rasulullah SAW. Dimana kesemuanya itu pada akhirnya mengacu pada

kaidah kesahihan matan Hadis sebagai tolak ukur, yakni terhindar dari syaẑ

maupun ‘illah.

a. Terhindar dari Syaẑ


16

Di samping terdapat pada sanad, syaẑ juga terdapat pada matan.

Syaẑ pada matan Hadis didefinisikan sebagai adanya pertentangan

atau tidak sejalannya riwayat seorang rawi yang menyendiri dengan

seorang rawi yang lebih kuat hafalan dan ingatannya. 20 Pertentangan

tersebut disebabkan karena cara penukilan matan Hadis yang

berbeda-beda, sehingga terjadi semacam penambahan,

pengurangan, perubahan, dan bentuk kecacatan lainnya. Berikut ini

penjabaran lebih rinci kecacatan yang biasa dijumpai dalam matan

Hadis;

1) Sisipan Teks (Idrāj al-Matn)

Secara etimologi, idrāj berarti memasukkan sesuatu pada

sesuatu yang lain. Sementara idrāj dalam Hadis berarti

terdapat tambahan yang bukan bagian dari Hadis tersebut.21

Hal ini mungkin saja terjadi bilamana ucapan seorang rawi

baik dari kalangan sahabat atau lainnya disambungkan

dengan matan Hadis aslinya, sehingga akhirnya tidak bisa

dibedakan mana matan asli Hadis Rasulullah SAW dan yang

berupa sisipan atau tambahan. Penyisipan ini dapat terjadi

baik di awalan, tengah, maupun akhiran Hadis.

Motif penyisipan dari seorang rawi dapat berupa

kepentingan untuk memberikan tafsiran atas kata-kata yang

gharīb dalam Hadis, memberikan kesimpulan atas

20
Ibnu al-Salah, Ulum al-Hadis, 79.
21
Ibid.
17

kandungan matan Hadis, atau memberikan penjelasan terkait

pemahaman utuh suatu Hadis.

Untuk mengetahui data idrāj dalam suatu Hadis, seorang

kritikus matan bisa melalui teknik cross reference

(penggabungan referensi) antara kitab koleksi Hadis yang

difokuskan pada perbandingan redaksi teks matan dan

mencermati keberadaan tanda penyekat kalimat. Apabila

ditemukan data idrāj pada matan, maka Hadis tersebut

berstatus mudraj dan yang bisa dijadikan referensi syar’i

hanyalah redaksi yang telah terbebas dari sisipan-sisipan

sama sekali.

2) Pembalikan Teks (al-Qalb fī al-Matn)

Secara etimologi, maqlūb berarti terbalik atau

diputarbalikkan. Sementara dalam kajian Hadis, maqlūb

berarti mengganti suatu lafal dengan lafal lainnya pada

matan atau sanad Hadis dengan cara mendahulukan atau

mengakhirkan.22

Dalam gambarannya, Hadis maqlūb berarti Hadis yang

ungkapan matannya terbalik atau tertukar letak keberadaan

kalimatnya. Bagian kalimat yang seharusnya ada di depan

menjadi di belakang dan begitu pula sebaliknya. Hal ini

disebabkan menurunnya daya ingat seorang rawi. Sehingga

untuk memvalidasinya, seorang kritikus matan kembali

harus melakukan cross reference (penggabungan referensi)

22
Mahmud al-Tahhan, Taysir Musṭalāḥ al-Hadis (Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H), 82.
18

antar naskah dokumentasi Hadis. Seandainya ditemukan data

ungkapan matan dengan kadar popularitas yang lebih tinggi,

maka ungkapan matan yang dianggap mengalami

keterbalikan bagian-bagian kalimat dinilai daif.

3) Memiliki Kualitas Sama Namun Tidak Bisa Diunggulkan

Salah Satunya (iḍṭirāb fī al-matn)

Secara bahasa iḍṭirāb berarti goncang, kacau, atau tidak

beraturan. Secara istilah ilmu Hadis, Menurut al-Tahhan,

Hadis muḍṭarib adalah Hadis yang diriwayatkan dalam

beberapa bentuk yang berlawanan, yang masing-masingnya

sama-sama kuat.23 Sementara, Ibnu Salah mendefinisikan

muḍṭarib sebagai Hadis yang terjadi perselisihan riwayat

tentang Hadis tersebut. Sebagian rawi meriwayatkannya

menurut satu cara dan yang lainnya menurut cara yang lain

yang bertentangan dengan cara yang pertama, sementara

kedua cara tersebut adalah sama-sama kuat.24

Dengan demikian berarti bahwa Hadis muḍṭarib itu

adalah sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi

dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak

mungkin dapat dikumpulkan atau ditarjihkan.

Solusi bagi seorang kritikus matan pada persoalan Hadis

muḍṭarib adalah dengan mencermati kadar hafalan pada rawi

di bawah generasi sahabat, jarak kedekatan pribadi rawi

23
Ibid., 85.
24
Ibnu al-Salah, Ulum al-Hadis, 84.
19

dengan guru Hadisnya atau kecenderungan menguasai

pembendaharaan Hadis secara harfiah, dan meminimalisir

pola penyaduran (al-riwāyah bi al-ma’nā). Sekira diperoleh

kepastian bahwa pada jalur periwayatan terdapat rawi yang

daif, sanksi status yang dijatuhkan adalah periwayat

bersangkutan dinilai tidak ḍābiṭ dan dengan sendirinya

matan Hadis tersebut ditolak.

4) Kesalahan Ejaan (al-Taṣḥīf wa al-Taḥrīf fī al-Matn)

Pada era pembelajaran Hadis masih mengandalkan

naskah tulisan tangan (manual) dan belum muncul penelitian

naskah kuno untuk membakukan, sering terjadi bentuk

perubahan notasi teks ataupun teknik membacanya yang

tentu saja bias pada perubahan makna. Penerapan teknik

cross ceck antar naskah amat membantu pelurusan gejala

perubahan yang dikenal dengan istilah taṣḥīf (perubahan cara

baca) dan taḥrīf (pergeseran bentuk kata). Untuk masa

sekarang, gejala taṣḥīf dan taḥrīf mudah terhindari sepanjang

naskah dokumentasi Hadis yang menjadi rujukan telah di-

taḥqīq oleh peneliti secara lengkap.

b. Terhindar dari ‘Illah

Sama halnya dengan syaẑ, ‘illah tidak hanya ada di dalam sanad,

namun juga dapat ditemukan di dalam matan. Adapun yang

dimaksud dengan ‘illah pada matan Hadis adalah suatu sebab

tersembunyi dalam matan Hadis yang secara lahir tampak

berkualitas sahih. Sebab tersembunyi di sini bisa berupa masuknya


20

redaksi Hadis lain pada Hadis tertentu, atau redaksi dimaksud

memang bukan lafal-lafal yang mencerminkan sebagai Hadis

Rasulullah, sehingga pada akhirnya matan Hadis tersebut sering

sekali menyalahi nas-nas yang lebih kuat bobot akurasinya.

Tata cara untuk mengungkap ‘illah pada matan Hadis adalah

sebagai berikut;25

1) Mengumpulkan Hadis yang semakna serta

mengkomparasikan sanad dan matannnya sehingga

diketahui ‘illah yang terdapat di dalamnya.

2) Jika seorang rawi bertentangan riwayatnya dengan rawi yang

lebih ṡiqah, maka riwayat rawi tersebut dinilai ma’lūl

(terdapat ‘illah)

3) Jika Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi

bertentangan dengan Hadis yang terdapat dalam kitabnya,

atau bahkan tidak terdapat di dalam kitabnya, maka riwayat

tersebut dinilai ma’lūl.

4) Melalui penyeleksian seorang syekh bahwa dia tidak pernah

menerima Hadis yang diriwayatkannya itu, atau dengan kata

lain Hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak pernah

samapai kepadanya.

5) Seorang rawi tidak mendengar Hadis tersebut dari gurunya

langsung.

25
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimām al-Muḥaddiṡīn bi Naqd al-Ḥadīṡ Sanadan wa Matnan (Riyadh: Dar al-
Da’i li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1420 H), 358-363.
21

6) Hadis tersebut bertentangan dengan Hadis yang

diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang ṡiqah.

7) Hadis yang bertentangan dengan Hadis lain yang telah umum

diketahui oleh banyak orang.

8) Adanya keraguan bahwa tema inti Hadis tersebut berasal dari

Rasulullah.

9) Keharusan seorang kritikus Hadis untuk mengecek sejumlah

guru dari rawi. Jika rawi meriwayatkan dari selain guru

mereka, maka Hadisnya dihukumi mursal atau munqaṭi’

karena tidak ada pertemuan langsung (al-liqā’) dan

pendengaran secara langsung (as-simā’).

10) Para kritikus harus berstatus ḥafīẓ, karena kejeliannya akan

Hadis serta pengetahuannya tentang rijāl dan Hadis-Hadis

yang diriwayatkan mereka, sehingga ia mampu mengungkap

adanya ‘illah pada suatu Hadis.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologis, kritik hadis (naqd al-ḥadīṡ) terdiri dari dua kata yaitu kritik

dan hadis. Kata naqd sendiri berarti memilah, meneliti, dan mengkritisi. Meneliti

sesuatu secara kritis sehingga dapat dipilah dan dibedakan antara baik buruknya dari

sesuatu tersebut. Sehingga ketika kata ini disandarkan (di-muḍāf-kan) pada kata al-

ḥadīṡ, maka memiliki arti sebagai meneliti suatu Hadis untuk memastikan apakah Hadis

tersebut bernilai baik atau diterima (maqbūl) atau sebaliknya justru ditolak (mardūd).

Sementara secara terminologis, kritik Hadis berarti upaya untuk meneliti tingkat

orisinalitas dan validitas matan maupun sanad Hadis. Upaya ini dimaksudkan untuk

mengetahui secara pasti, Hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW dan

Hadis yang tidak. Sehingga, Hadis yang telah teruji validitas kesahihannya bisa

dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum.

Dalam perjalanan sejarahnya, kritik Hadis sudah ada sejak zaman Rasulullah

SAW meski secara sederhana. Para sahabat banyak mengklarifikasi Hadis yang mereka

dengar dari sahabat lain untuk mendapatkan kepastian apakah Hadis tersebut benar-

benar berupa sabdanya. Selepas Rasulullah SAW wafat, kritik Hadis semakin

diperketat terlebih dengan terpecah belahnya umat Islam disebabkan fitnah yang terjadi

di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setiap kelompok berusaha memperkuat

argumentasi kelompoknya dengan memalsukan Hadis-Hadis yang kemudian membuat

penyeleksian Hadis semakin diperketat. Hingga kemudian, dalam beberapa abad

setelahnya, istilah naqd al-ḥadīṡ mulai dikenal dan kini telah dipopulerkan menjadi

suatu disiplin ilmu tertentu dengan karya-karya ulama yang beraneka ragam.

22
23

Secara praktis, terdapat dua objek kajian dalam kritik Hadis yaitu kritik sanad

dan kritik matan. Kritik sanad atau kritik ekstern (al-naqd al-khārijī) lebih didahulukan

ketimbang kritik matan atau kritik intern (al-naqd ad-dākhilī). Acuan dalam

mengkritisi sanad Hadis adalah dengan memperhatikan tingkat kesahihannya, baik

yang bersifat umum maupun khusus.

Syarat kesahihan sanad Hadis secara umum terfokus pada kualitas dari seorang

rawi, dengan melihat sisi ke-ṡiqah-annya, agama dan amaliyahnya, kemasyhurannya,

kejujurannya, serta kesaksiannya. Sedangkan, syarat kesahihan sanad Hadis yang

bersifat khusus meliputi; bersambungnya sanad, keadilan rawi, ke-ḍabit-an rawi, serta

terhindar dari syaẑ dan ‘illah. Sedangkan kritik matan Hadis hanya terfokus pada

terhindarinya matan dari syaẑ maupun ‘illah.

B. Saran

Kajian kritik Hadis dalam makalah ini masih bersifat tataran teoritis semata.

Oleh karena itu, kajian-kajian secara praktis bisa dijadikan sebagai penelitian lanjutan

untuk semakin memberikan pemahaman kuat terkait prosedur kritik Hadis. Hal ini

dapat diupayakan oleh akademisi Muslim baik mahasiswa maupun dosen, sehingga

rantai keilmuan di bidang ini terus terhubung dan bermanfaat yang dampaknya lebih

besar lagi dan dapat dirasakan oleh masyarakat luas.


24

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011.

Hanafi, Hassan. Dialog Agama dan Revolusi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

---------. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

‘Iṭr, Nūr ad-Dīn. Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-Ḥadīṡ. Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.

Jawabī (al), Muḥammad Ṭahir. Juhūd al-Muḥaddiṡīn fī Naqd al-Matn al-Ḥadīṡ an-Nabawī as-
Syarīf. Tunisia: Mu’assasat Ibnu ‘Abd Allah, Tanpa Tahun.

Kaṡīr, Ibnu. Ikhtiṣar ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2016.

---------. Takhrīj & Metode Memahami Hadis. Jakarta: AMZAH, 2014.

Salafī (al), Muḥammad Luqmān. Ihtimām al-Muḥaddiṡīn bi Naqd al-Ḥadīṡ Sanadan wa


Matnan. Riyadh: Dar al-Da’i li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1420 H.

Ṣalāḥ (al), Ibnu. ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

Ṣalāh al-Dīn bin Ahmad al-Adlabi. Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda al-‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ al-
Nabawī. Beirut: Dār al-Falaq al-Jadīdah, 1983.

Sumbulah, Umi. Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN Malang Press,
2008.

Syiba’i (al), Muhammad. Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Bandung: CV. Diponegoro,
1993.

Ṭaḥḥān (al), Maḥmūd. Taysīr Muṣṭalāḥ al-Ḥadīṡ. Iskandaria: Markaz al-Huda li al-Dirasat,
1415 H.

Umariy (al), Muhammad Ali Qasim. Dirāsat fī Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muḥaddiṡīn. Yordan:
Dar al-Nafa’is, Tanpa Tahun.

Wasman. Metodologi Kritik Hadis. Cirebon: CV. Elsi Pro, 2021.

Ya’qub, Ali Musthafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Zahw, Muhammad Abu. al-Ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn. (Tanpa Tempat: al-Maktabah al-


Taufiqiyyah, Tanpa Tahun.

Anda mungkin juga menyukai