Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

" Naqd Al Matan (Kritik Matan)"


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tahqiq Hadis
Dosen Pengampu
Ahmad Fauzan Pujianto, M.Ag

Oleh
Lutfi Arif
Annisa Az Zahra
Cici Nur Insani
Niswatin Nada

PRODI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, Taufik dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul " Naqd Al Matan ".
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun umatnya keluar dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah, yakni al
din al islam.

Makalah yang kami buat ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari Bpk. Ahmad
Fauzan Pujianto, M.Ag pada mata kuliah Tahqiq hadis . Selain itu kami berharap penulisan
ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dosen. Akhirnya,


hanya kepada Allah SWT Kami memohon ampun dan kepada bapak dosen serta para
pembaca kami meminta maaf. Semoga usaha ini merupakan usaha murni baginya, dan
berguna bagi kita sekalian sampai hari kemudian.

Kediri, 1 November 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

A. Pengertian Naqd Al Matan.......................................................................................2

B. Langkah-langkah Naqd Al Matan............................................................................3

C. Contoh Naqd Al Matan............................................................................................6

BAB III PENUTUP...........................................................................................................8

A. Kesimpulan..............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................9

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Al-Qur’an. Selain
berkedudukan sebagai sumber hukum, hadis juga berfungsi sebagai penjelas, perinci, dan
penafsir Al-Qur’an. Oleh karena itu, keotentikan suatu hadis sangatlah penting untuk
diketahui.

Untuk mengetahui otentik atau tidaknya suatu hadis, maka perlu adanya kritik hadis.
Keotentikan suatu hadis perlu diteliti agar dapat diketahui kualitas daripada hadis tersebut.
Mengingat tidak sedikit hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab guna memecah belah umat. Sehingga jika telah diteliti, kedudukan hadis
tersebut dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya.

Melihat pentingnya kritik hadis, maka makalah ini akan menjelaskan lebih lanjut
terkait pengertian, pentingnya kritik hadis serta tujuan dan manfaat adanya penelitian kritik
hadis.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari Naqd Al Matan?

2. Bagaimana langkah-langkah dalam Naqd Al Matan?

3. Seperti apa contoh dalam Naqd Al Matan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Naqd Al Matan

Secara etimologi kata naqd adalah lawan kata nasi’ah (khilaf alnasi‟ah) yang berarti
alat menimbang dirham (tamyiz al-darahim) 1. Menurut Muhammad Musthafa Azami2, satu
decade dengan Yusuf Qardlawi, Muhammad Ghazali dan Muhammad Syahrur. Beliau adalah
Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Riyadh Saudi Arabia. Beliau juga aktif menulis buku
tentang hadits salah satunya adalah Studies in Hadith Methodology and Literature. Lihat
Abdul Mustaqim, Teori Sistem Isnad Hadits Menurut Perspektif Muhammad Musthafa
Azami, dalam Fazlurrahman dkk, Wacana Studi Hadits Kontemporer 3. Kata naqd mempunyai
arti yang sama dengan kata yamiz dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran; 197, yang berarti
memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain4. Dengan demikian, secara terminology naqd
adalah alat/cara untuk memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.Adapun hadits, secara
etimologi adalah lawan kata qadim (naqyd al-qadim) 5 [Ibnu Mandhur, Lisan al-Arabi, jilid I,
131.

Pengertian Naqd al-matn terdiri dari dua kata yaitu naqd dan al-matn. Naqd adalah
upaya membedakan antara hadits yang shahih dari hadits yang dhoif dan menetapkan status
para perawinya dari segi kepercayaan dan kecacatannya. Sedangkan matn adalah kata-kata
hadits yang dengannya terbentuk makna-makna. Atau lebih luasnya matn merupakan
cakupan atas segala iinformasi yang datang dari Rasulullah SAW terhadap sesuatu yang
kemudian didapatkan ajaran Islam.Naqd al-matn atau kritik matn adalah kritik intern hadits,
yaitu meneliti matan hadits sebagai isi dalam diri hadits itu sendiri untuk membedakan antara
hadits yang shahih dari hadits yang dhoif.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu naqd al-
hadits adalah ilmu yang membahas tentang cara/metode untuk membedakan sesuatu (ucapan,
perbuatan, ketetapan) yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. dari yang lainnya atau dalam
istilah lain disebut sebagai ilmu kritik hadits. Istilah naqd al-hadits atau kritik hadits menurut

1
Ibnu Mandhur, Lisan al-Arabi, Jilid III, (Dar al-Fikr, Beirut Libanon), 425
2
Adalah Ulama Hadits Kontemporer kelahiran India (tahun 1932)
3
Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002), 55-61
4
Muhammad Musthafa Azami, Memahami Ilmu Hadits; Telaah Methodologi dan Literatur Hadits,
(diterjemahkan dari Studies in Hadith Methodology and Literature oleh Meth Kieraha), (Lentera, Jakarta, 2003),
86
5

2
hemat kami baru berkembang dan dipergunakan secara luas di dunia Islam pada masa akhir-
akhir ini, sejalan dengan perkembangan keilmuan modern. Walaupun demikian, istilah naqd
al-hadits sebetulnya sudah pernah dipakai oleh sebagaian ulama hadits mutaqaddimin (sekitar
abad ketiga), tetapi tidak mendapatkan sambutan di kalangan mereka. Mereka lebih condong
menamakan ilmu mengenai kritik hadits dengan Ilm Jarh wa at-Ta‟dil.

B. Langkah-langkah Naqd Matan Hadis

Langkah metodologis kritik matan itu bersandar pada dua kriteria yaitu hadits maqbūl
(diterima) dan hadits mardūd (ditolak)6 Maqbūl memiliki arti yaitu diterima kemaslahatannya
untuk kebutuhan hujjah syariyyah, yang diketahui melalui data fatwa atas keunggulan sifat
eksistensi haditsnya atau diterima karena tidak saling bertentangan dengan al-Qur’an dan
merupakan hadits yang memiliki kualitas lebih tinggi. Dan sebaliknya jika mardūd ialah
ditolaknya karena bertentangan dengan al-quran. Dengan demikian untuk keduanya tidaklah
bersandar kepada kriteria antara benar atau salah berdasarkan penilaian keilmuan rasional
ataupun empiris.7 Apabila ketika suatu matan berstatus mardūd dan kemudian dari segi
sanad-nya sahīh, maka hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits mukhtalif. Oleh karena
itu, jika sempat terjadi mukhtalif hadits, maka dapat diselesaikan dengan cara: langkah
kompromi, nasikh wal mansukh, tarjih dan tanawwu’ al-ibadah.8

Selanjutnya, setelah diketahui bahwa data sudah memiliki keungggulan dalam sifat
eksistensi haditsnya, kemudian pengumpulan data itu terlihat pada persyaratan serta kaidah
yang wajib dipatuhi pada matan hadits yang berkaitan. Apabila ternyata positif kaidah dan
persyaratannya terpenuhi, maka ia bisa langsung disebut sahīh dan kemudian untuk langkah
selanjutnya dilakukannya pemeriksaan, apakah substansi yang ada didalam kalimat matan itu
berkelayakan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam beramal (ma’mulun bihi) atau malah
tidak berkelayakan sama sekali untuk dipergunakan (ghairu ma’mulun bihi). Dan apabila
pada matan hadits tersebut ternyata terdeteksi mengalami ‘illat atau syadz¸ maka ia langsung
disebut dha’if atau saqim (cacat).

6
Haris, “Kritik Matan Hadits: Versi Ahli-Ahli Hadits,” hlm. 11
7
Bakir, “Kritik Matan Hadits Versi Muhaddisin dan Fuqoha’: Studi Pemikiran Hasjim Abbas,” hlm. 20.
8
Dalhari, “Studi Pemikiran Hadits Ulama Mesir: Konsep Imâm alSyâfi’î tentang Sunnah dan Solusi Hadits
Mukhtalif,” Jurnal Ilmu Ushuludin, Vol. 10, no. 1 (2011): hlm. 200-201

3
Adapun langkah-langkah kritik matan hadits menurut Syuhudi Isma’īl yang di kutip oleh
Zubaidah, adalah sebagai berikut:9

1. Penelitian matan ditinjau dari kualitas sanad-nya

Dalam melakukan peneltian terhadap matan maka sebaiknya terlebih dahulu melakukan
penelitian dengan meninjau dari kualitas sanad-nya. Sebagaimana jika dilihat dari urutan
proses pelaksaan kritik hadits, biasanya lebih mendahulukan kritik sanad dari pada kritik
matan. Akan tetapi bukan berarti lebih pentingan sanad dari pada matan, karena dua-duanya
tetap penting dan saling berhubungan. Namun, kritik matan barulah diperlukan jika sanad
dari matan hadits yang berkaitan itu sudah pasti kualifikasinya. Jika tidak ada sanad, maka
suatu matan tidak dapat dijamin keasliannya.

Terkait hal ini, Imam Al-hakim mengatakan bahwa sebenarnya sahīh-nya hadits itu tidaklah
cuma dilihat dari riwayatnya yang sahīh saja, namun pemahamannya juga perlu dilihat
kemudian dilihat dari segi hafalannya juga dan banyak yang mendengarkan. Menurut Khātib
al-Bagdadi yang dikutip oleh zubaidah menyatakan bahwa suatu matan hadits bisa dianggap
sebagai maqbūl (diterima) apabīla: 10

1. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat


2. Tidak bertentangan dengan hukum al-quran yang telah muhkam
3. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahīhannya lebih kuat

9
Luthfi, “Kritik Matan Sebagai Metode Utama Dalam Kesahihan Haditst Nabi,” hlm. 212.
10
Zubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadits,” hlm. 68.

4
2. Meneliti Redaksi Matan Yang Semakna

Dalam meriwayatkan hadits sering kali terjadi al-riwayah bi al-ma’na atau periwayatan
secara makna. Periwayatan secara semakna yang telah terjadi dalam periwayatan hadits
adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan pada lafal matan hadits yang
semakna.11 Di samping itu, perbedaan redaksional dalam hadits-hadits Nabi bisa juga
disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam periwayatan. Walaupun tsiqah seorang
periwayat, tetaplah dia manusia biasa yang dapat melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan
hadits. Persepsi dan animasi fikiran periwayat yang ditentukan oleh potensi individu ikut
serta mempengaruhi dalam menyampaikan hadits. 12

3. Meneliti kandungan matan.

Dalam melakukan penelitian terhadap kandungan matan dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:

a. Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan.

Langkah selanjutnya sesudah susunan lafal pada matan hadits diteliti yakni melakukan
penelitian terhadap kandungan matan. Hal ini perlu dikumpulkan terlebih dahulu hadits-
hadits yang berbicara tentang tema yang serupa yang kemudian akan dilakukan penelitian
terhadap matan-nya, oleh karena itu maka harus melakukan takhrij al-hadīts bi al-maudhū’.
Apabila ditemukan terdapat matan lain yang bertopik sama, maka terlebih dahulu wajib
meneliti dari segi sanad-nya. Kemudian jika dari segi sanad-nya telah dikatakan memenuhi
kriteria, maka mulai dilakukannya proses kegiatan muqāranah ini. Apabila dalam kandungan
matan hadits yang diperbandingkan serupa, maka bisa dinyatakan bahwa penelitian ini telah
berakhir. Namun, untuk proses kegiatannya masih bisa diteruskan dengan memandang
syara’-syara’ hadits tersebut. Kemudian apabila pada kandungan matan yang dilaksanakan
penelitiannya sejalan juga dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan paling sedikit tidak
bertentangan, maka bisa juga dikatakan penelitian sudah selesai.

b. Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan.

Sebenarnya suatu hadits Rasulullah saw. tidaklah mungkin mengalami bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadits Nabi lainnya. Hal itu disebabkan karena dua-duanya berasal dari Allah
swt. Namun realitanya terdapat beberapa hadits Nabi yang terlihat tidak sejalan atau disebut

11
ubaidah, “Metode Kritik Sanad dan Matan Hadits,” hlm. 74.
12
Luthfi, “Kritik Matan Sebagai Metode Utama Dalam Kesahihan Haditst Nabi,” hlm. 214.

5
bertentangan, apabila demikian maka terdapat sesuatu yang sudah jelas melatar belakanginya.
Dengan begitu untuk sebagian ulama tidak setuju jika mengatakan kandungan matan hadits
tersebut terlihat bertentangan. Namun untuk hadits-hadits yang terlihat bertentangan dengan
hadits yang lain, maka hadits-hadits tersebut harus diakhiri sehingga hadits yang terlihat
bertentangan itu bisa hilang. As-Syafi’i memberikan sebuah bayangan bahwa barangkali
matan hadits yang terlihat bertentangan tersebut itu memuat kemungkinan seperti: 13

1) yang satu bersifat mujmal (global) dan yang lain bersifat mufassar (rinci)

2) yang satu bersifat ‘āmm (umum) dan yang lain bersifat khāsh (Khusus)

3) yang satu sebagai al-nāsikh (penghapus) dan yang lain sebagai yang al-mansūkh
(dihapus)

4) Dua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan.

C. Contoh Naqd Al Matan

‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأِبي َشْيَبَة َو ُمَحَّم ُد ْبُن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن ُنَم ْيٍر َجِم يًعا َع ْن اْبِن ِبْش ٍر َقاَل َأُبو َبْك ٍر َح َّد َثَنا ُمَح َّم ُد ْبُن‬
‫ِبْش ٍر اْلَع ْبِد ُّي َع ْن ُع َبْيِد ِهَّللا ْبِن ُع َم َر َقاَل َح َّد َثَنا َناِفٌع َع ْن َع ْبِد ِهَّللا َأَّن َح ْفَص َة َبَك ْت َع َلى ُع َم َر َفَقاَل َم ْهاًل َيا ُبَنَّيُة‬
)‫َأَلْم َتْع َلِم ي َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَّن اْلَم ِّيَت ُيَع َّذ ُب ِبُبَك اِء َأْهِلِه َع َلْيِه (رواه مسلم‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin
Abdullah bin Numair semuanya dari Ibnu Bisyr - Abu Bakr berkata- Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Bisyr Al Abdi dari Ubaidullah bin Umar ia berkata, Telah
menceritakan kepada kami Nafi' dari Abdullah bahwa Hafshah menangisi ayahya yaitu
Umar bin Khaththab, maka Umar pun berkata, "Sabarlah anakku, apakah kamu tidak tahu
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: 'Sesungguhnya mayit itu
akan disiksa lantaran tangisan keluarganya atasnya.'"14

Hadis ini dikritik karena bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an yang menyatakan
bahwa:

‫َو اَل َتِزُر َو اِزَر ٌة ِوْز َر ُأْخ َر ٰى‬

Seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain. (QS. Al-An’am: 164)

13
Zubaidah, hlm. 78.
14
HR Muslim no. 1536. Kitab, Jenazah. Bab, Larangan Menangisi Jenazah

6
Pada Hadis ini ada kesalahan periwayatan. Aisyah menjelaskan sebab turunnya Hadis ini.
Ketika itu Rasulullah melintasi di dekat orang Yahudi yang sedang menangisi seorang
anggota keluarganya yang baru saja meninggal. Kemudian Rasulullah menyatakan, “Mereka
menangisinya, sementara, ia (mayit) disiksa di kuburnya.”15 Aisyah kemudian mengatakan,
“cukuplah kalian dengan al-Qur’an.”16

15
Shalahuddin al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis, hlm. 114
16
Ibid, hal. 114

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kritik terhadap matan Hadis dilakukan
dengan berbagai alat uji. Hadis diuji dengan ajaran yang terkandung dalam nash al-Qur’an;
terutama Hadis-hadis yang bermuatan akidah, informasi alam gaib dan ritual. Hal ini penting
karena tugas utama Hadis adalah menjelaskan al-Qur’an, dan Hadis merupakan “tuntunan
praktis” dalam mengamalkannya. Hadis juga diuji dengan sesama Hadis. Bila sebuah Hadis
bertentangan dengan Hadis lain, maka Hadis yang periwayatannya lebih unggul
dimenangkan. Hadis yang “kalah” disebut syaz.

Di samping itu, Hadis yang memuat informasi pengetahuan perlu diuji dengan ilmu
pengetahuan. Selanjutnya, bila informasi sebuah Hadis berisi data sejarah, ia diuji dengan
fakta sejarah dan dengan otoritas kebenaran lainnya. Bahkan, Hadis diuji dengan ilmu bahasa
(lingusitik). Yaitu, apakah redaksi Hadis yang diriwayatkan itu pantas diucapkan oleh
seorang Rasul yang fasih berbahasa Arab. Uji Hadis berarti menguji para periwayat, bukan
menguji kebenaran Rasulullah. Sebuah Hadis yang “lulus test” diyakini otentik dari
sumbernya, Rasulullah. Selanjutnya memahami teks Hadis untuk diambil sunnahnya atau
ditolak, memerlukan berbagai pendekatan dan sarana yang perlu diperhatikan.

8
DAFTAR PUSTAKA

A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, Bandung: Diponegoro, 1996.

Abd Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah, Damaskus: Dar Yu’rib, 2004.

Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 2003.

Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Riyadh: Bayt al-Afkar al-
Dauliyah.

Abu Isa Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, Sunan Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.

Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘ind ahl al-hadits, Madinah: al-Tawzi’, 1989.

Amr abd Mun’im Salim, Al-Mu’allim fi Makrifah ‘Ulum al-Hadis wa Tatbiqatih al-‘Ilmiyah,
Riyadh: Dar Tadmiriyyah, 2005.

Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam,, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2004.

Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Riyadh: Maktabah al-
Kautsar, 1994.

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits : Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status


Hadits, Cet Kel-1, Jakarta: Pramadina, 2000.

M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009.

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.

Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-
Fikr, 1989.

Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis, Kairo:
Dar al-Kitab al-Misr, 2012.

Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al-Ifriqi al-Misri, Lisan al-‘Arab, jilid 13, Bairut: Dar
Sadir.

9
Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddisin bi Naqd al-Hadits Sanad wa Matan,
Riyadh: 1987

Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

Nuruddin ’Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.

Salahudin Ibn ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004.

Shalahuddin Al-Adhibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadis, Beirut: Dar Al-Afaq
Al-Jadidah, 1983.

Shubh al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,


1988.

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 1996.

10

Anda mungkin juga menyukai