Disusun oleh:
Suparman (230602099)
Muhammad Yazid Ahsanul Aufa (230602088)
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
A.Latar belakang.....................................................................................
B.Rumusan masalah................................................................................
C.Tujuan..................................................................................................
BAB II Pembahasan..............................................................................
A.keritik sanad hadist..............................................................................
B.keritik matan hadist.............................................................................
C.metode memahami hadist....................................................................
BAB III Penutup....................................................................................
Kesimpulan..............................................................................................
Daftatr Pustaka........................................................................................
2
KATA PENGATAR
Segala puji bagi dan syukur kepada allah SWT yang ttelah memberikan rahmat
serta hidayah kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kaidah
kesahihan hadist dalam penyusunan makalah ini kami tidak lupa mengucapkan banyak
terimakasih kepada kelompok 13 yang telah membantu dengan sepenuh hati dalam
menyelesaikan tugas makalah iini. Adapun tujuan dari makalah ini yakni untuk
mengenalkan dan membahas tentang kesahihan hadist. dengan makalah ini di harapkan
baik penulis maupun pembaca dapaat memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang
kaidah kesahihan hadist
Matatam 2 November,2023
penulis
3
BAB I
PEDAHULUAN
LATAR BELAKANG
1. Kritik Matan: Kaidah ini melibatkan penilaian terhadap isi atau matan hadits.
Para ulama hadits melakukan analisis terhadap konsistensi hadits dengan prinsip-
prinsip agama Islam yang sudah mapan. Jika hadits bertentangan dengan ajaran Islam
yang sudah mapan atau memiliki kesalahan logika, maka hadits tersebut dapat
dianggap tidak sahih.
2. Kritik Sanad: Kaidah ini melibatkan penilaian terhadap rantai perawi hadits.
Para ulama hadits memeriksa keandalan dan integritas perawi dalam menyampaikan
hadits. Mereka memeriksa apakah perawi tersebut dikenal sebagai orang yang jujur,
memiliki kecerdasan, dan memiliki kemampuan untuk mengingat dan menyampaikan
hadits dengan baik. Semakin kuat dan dapat dipercaya rantai perawi, semakin tinggi
tingkat kesahihan hadits tersebut.
3. Metode Memahami Hadits: Kaidah ini melibatkan pemahaman dan
interpretasi hadits dengan menggunakan metode ilmiah. Para ulama hadits
menggunakan berbagai metode seperti tekstual, ilmu kontekstual, ilmu asbabul wurud,
geogerafis, illat al kalam, dan sosio kultural, untuk memahami konteks dan makna
hadits secara lebih mendalam. Dengan menggunakan metode ini, mereka dapat
memastikan bahwa hadits dipahami dengan benar dan sesuai dengan niat dan tujuan
Nabi Muhammad SAW.
Dengan menerapkan kaidah-kaidah ini, para ulama hadits dapat memastikan
bahwa hadits yang disampaikan adalah benar-benar berasal dari Nabi Muhammad
SAW dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam agama Islam. Kaidah-kaidah
ini membantu dalam mengevaluasi dan memahami hadits secara kritis dan objektif.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian keritik sanad hadist ?
2. Apa pengertian keritik matan hadist ?
3. Bagaimana metode memahami hadist ?
TUJUAN
1. Memahami dan mengetauhi keritik sanad hadist
2. Memahami dan mengetahui keritik matan hadist
3. Mengetahui bagaimana metode memahami hadist
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. keritik Sanad Hadist Dalam bahasa Hassan Hanafi
1
Lihat Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjila al-Mis}riyyah, 1987), hlm. 69.
Lihat juga Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus dari
Religious Dialogue and Revolution (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1-2. 48Hassan Hanafi, Dialog
Agama dan Revolusi, hlm. 1. 49Ibid., hlm. 4-5
5
teruji secara historis, sedangkan hadis pada tingkat kritik historis ini menghadapi
problem menyangkut orisinalitas historisnya.
Dalam kesarjanaan hadis, istilah kritik sanad hadis berarti meneliti rangkaian
perawi dengan cara menganalisa satu persatu aspek-aspek tertentu dari perawi,
sehingga dapat diketahui sanad yang sahih dari yang lemah atau yang palsu.. Begitu
pentingnya penelitian terhadap sanad, sampai-sampai Ibnu al-Mubarak (w. 181 H)
mengatakan bahwa sanad itu bagian dari apa saja yang ia inginkan, dan menurut as-
Sauri sanad itu senjatanya orang mukmin. Karena demikian pentingnya sanad itu,
maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang tetapi berita itu
tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadis tidak dapat
disebut sebagai hadis.2
2
Hassan Hanafi, Dirasat, hlm. 37. 51Mahmud at-Tahhan, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut:
Dar Al-Qur’ān al-Karim, 1978), hlm. 158. 52M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 233
6
Untuk kepentingan penelitian hadis, ulama telah menciptakan berbagai
kaidah dan ilmu (pengetahuan) hadis. Dengan kaidah dan ilmu hadis itu, ulama
mengadakan penelitian kualitas hadis. Di antara kaidah yang telah diciptakan oleh
ulama adalah kesahihan sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas sahih. Menurut M. Syuhudi Ismail
bahwa segala syarat atau kriteria kesahihan sanad hadis tersebut ada yang bersifat
umum dan ada yang bersifat khusus. Segala syarat atau kriteria itu melingkupi seluruh
bagian syarat. Berbagai syarat atau kriteria yang bersifat umum, dalam kajian ini diberi
istilah sebagai kaidah mayor, sedangkan kaidah yang bersifat khusus atau rincian dari
kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah minor. Berikut ini dikemukakan pembahasan
kedua kaidah tersebut beserta istilah-istilah yang dipakai untuk hadis yang memenuhi
dan yang tidak memenuhi kedua kaidah yang dimaksud.
Ulama hadis kalangan al-mutaqaddimun, yakni ulama hadis sampai abad ke-3
H, belum memberikan pengertian (definisi) yang eksplisit (sarih) tentang hadis
sahih.Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita
yang dapat dipegangi sebagai berikut.3
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-
orang yang siqah.
2. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah
shalatnya, perilakunya, dan keadaan dirinya.
3. Apabila shalatnya, perilakunya, dan keadaan orang itu tidak baik, maka tidak
diterima riwayat hadisnya.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki
pengetahuan hadis.
5. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta,
mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, hlm. 124. 57 Istilah s\iqah pada zaman itu lebih
banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna daripada diartikan sebagai gabungan dari
istilah ‘adl dan dabt yang dikenal luas pada zaman selanjutnya. Lebih lanjut lihat misalnya contoh ke-s\
iqah-an periwayat hadis yang dikemukakan oleh Abu Muh}ammad ‘Abdullah bin ‘Abd ar-Rah}man ad-
Darimi, Sunan ad-Darimiy, Jilid I (t.tp.: Dar Ihya’ as-Sunnat an-Nabawiyyah, t.t.), hlm. 112
7
6. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
c). memahami dengan baik makna hadis bila terjadi perubahan lafaznya.
f). apabila hadis yang diriwaytkannya juga diriwayatkan oleh orang lain
maka bunya hadis itu tidak berbeda.
2. Rangkaian sanadnya muttasil (bersambung) kepada nabi atau dapat juga tidak
sampai kepada nabi.
4
Kata sahih} telah masuk ke dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, ‚sahih‛, dan berarti sah,
benar, sempurna, sehat (tiada celanya), pasti. W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 849. Dalam bahasa Arab, kata tersebut secara bahasa
berarti ‘yang sehat’. Kata ini pada asalnya dipakai untuk mensifati tubuh, kemudian secara metaforis
dipakai juga untuk mensifati sesuatu selain tubuh. Lihat Muh}ammad bin Mukarram bin Manz}ur,
Lisa>n al-‘Arab, Jilid III (Mesir: al-Dar al-Mis}riyyah, t.t.), hlm. 338- 339; Ah}mad bin Muh}ammad al-
Fayyumi, al-Misbah al-Munir fi Garib al-Syarh al-Kabir li ar-Rifa’i, Jilid I (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1978), hlm. 394; Butrus al-Bustani>, Kita>b Qat}r al-Muh{i>t}, Jilid I (Beirut: Maktabah
Libna>n, t.t.), hlm. 1111-1112
8
Menurut Ahmad muhammad syakir, kaidah kesahihan hadis yang
dikemukakan oleh asy-Syafi’i telah melingkupi semua bagian hadis yang harus
diteliti, yakni sanad dan matan hadis. Adapun menurut M. Syuhudi Ismail, untuk sanad
hadis, kriteria asy-Syafi’i tersebut pada dasarnya telah secara tegas melingkupi seluruh
aspek yang seharusnya mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, yang berkaitan dengan
matan, kriteria asy-Syafi’i terlihat belum memberikan perhatian khusus secara tegas.
Walaupun demikian, tidaklah berarti kriteria asy-Syafi’i sama sekali tidak
menyinggung masalah matan. Hanya saja asy-Syafi’i secara metodologi tidak
menyinggung kemungkinan adanya hadis yang pada lahirnya telah memenuhi kriteria
yang telah dikemukakannya,tetapi sesungguhnya hadis dimaksud bila diteliti lebih jauh
ternyata mengandung cacat (‘illah) dan atau kejanggalan (syaz).
Al-Bukhari dan Muslim juga tidak membuat definisi yang tegas tentang hadis
sahih. Walaupun demikian, berbagai penjelasan kedua ulama tersebut telah
memberikan petunjuk tentang kriteria hadis yang berkualitas sahih. Perbedaan pokok
antara al-Bukhari dan Muslim tentang persyaratan hadis sahih terletak pada masalah
pertemuan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad. Al-
Bukhari mengharuskan terjadinya pertemuan (liqa’) antara para periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad, walaupun pertemuan itu hanya satu kali saja
terjadi. Dalam hal ini al-Bukhari tidak hanya mengharuskan terbuktinya
"kesezamanan‟ (al-mu‘asyarah) saja antara para periwayat yang terdekat tersebut,
tetapi juga terjadi pertemuan di antara mereka.
Adapun menurut Muslim, pertemuan (liqa’) itu tidak harus dibuktikan, tetapi yang
penting antara mereka telah terbukti kesezamanannya (al-mu‘asyarah). Jadi,
persyaratan hadis sahih yang diterapkan oleh al-Bukhari dalam kitab sahihnya lebih
ketat daripada persyaratan yang diterapkan oleh Muslim.
Unsur pertama, bukan dalam arti peringkat, dari kaidah mayor kesahihan
sanad hadis ialah sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah
tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir dari sanad hadis itu.5 Jadi, seluruh rangkaian
5
Lihat Muhammad as-Sabbag, al-Hadis\ an-Nabawiyyah (t.tp.: alMaktab al-Islamiyyah, 1972), hlm.
162; Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadis\ wa Mustalah}uhu, Cet. Ke-17 (Beirut: Dar al-‘Ilmiyyah li al-
Malayin, 1977), hlm. 145.
9
periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-mukharrij
(penghimpun hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat
yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.
1. Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadis, misalnya kitab Tahzib at-Tahzib susunan Ibnu
Hajar al-‘Asqalani dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad az-Zahabi.
2. Dengan maksud untuk mengetahui apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal
sebagai orang yang ‘adil dan dabit serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat
(tadlis) apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu
terdapat hubungan:
10
Kata ‘adil memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun istilah 7.
Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil. Dalam hal
ini, ulama berbeda pendapat, tetapi apabila ditarik kesimpulan, kriteria adil adalah
apabila memenuhi syarat: a) Islam, b) mukalaf (bulug), 3) takwa, yakni melaksanakan
ketentuan agama dengan menjauhi dosa besar dan tidak mengulangi dosa kecil, dan 4).
memelihara muruah sesuai dengan kaidah kesopanan masyarakat.
c) Penerapan kaidah al-jarh wa at-ta‘di l, cara ini ditempuh, bila para kritikus
periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
7
64 Istilah tah}ammul didefinisikan sebagai sebuah kegiatan menerima hadis, sedangkan ’ada’ al-h}adis\
dipahami sebagai kegiatan menyampaikan hadis.
8
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, hlm. 141.
11
4.Terhindar dari Syuzuz
Menurut asy-Syafi’i (w. 204 H/820 M), suatu hadis tidak dinyatakan
mengandung syaz bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah,
sedangkan periwayat yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Barulah suatu
hadis dinyatakan mengandung syaz bila hadis yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang siqah tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqah.
Menurut Imam al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H/1014 M), hadis syaz ialah
hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah, tetapi tidak ada periwayat
siqah lainnya yang meriwayatnya. Dari penjelasan al-Hakim ini dapat dinyatakan
bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh:
9
Menurut bahasa, kata syaz\ dapat berarti: yang jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi
aturan, dan yang menyalahi orang banyak. Lebih lanjut lihat Ibnu Manz\ur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, hlm.
28-29; alFayumi, al-Misbah al-Munir, Jilid I, hlm. 363; Louis Ma’luf, al-Munjid fi alLugah, hlm. 379.
12
Abu Ya la al-Khalili menjelaskan bahwa hadis syaz adalah hadis yang
sanadnya hanya satu macam, baik periwayatnya bersifat siqah maupun tidak bersifat
siqah. Apabila periwayatnya tidak siqah, maka hadis itu ditolak sebagai hujah.
Sementara, apabila periwayatnya siqah, maka hadis itu dibiarkan (mutawaqqaf), tidak
ditolak dan tidak diterima sebagai hujah.
Jika kritik sanad lazim dikenal dengan istilah kritik ekstern (an-naqd al-
khariji), maka kritik matan lazim dikenal kritik intern (an-naqd al-dakhili). Istilah ini
dikaitkan dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni difokuskan pada teks hadis
yang merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan Rasulullah yang
ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya hingga ke tangan para mukharrij
al-hadis, baik secara lafzi maupun ma„nawi. Dapat ditegaskan bahwa kritik sanad
diperlukan untuk mengetahui apakah perawi itu jujur, takwa, kuat hafalannya, dan
apakah sanadnya bersambung atau tidak. Sementara, kritik matan diperlukan untuk
mengetahui apakah hadis tersebut mengandung syaz atau „illah yang membuat matan
hadis tidak dapat diterima (mardud) sebagai hadis yang berasal dari Nabi.
10
Ibnu as-Salah, ‘Ulum al-Hadis\, hlm. 90; Muhy ad-Din bin Syaraf anNawawi>, at-Taqrib wa at-Taysir
li Ma‘rifah Sunan al-Basyir an-Naz\ir, ed. Muh{ammad ‘Us\ma>n al-Khasyt (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi>, 1985), hlm. 43- 44.
13
Istilah kritik matan hadis dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan
matan hadis yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang sahih
ataupun yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tersebut bukan dimaksudkan
untuk mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencari kelemahan
sabda Rasulullah, akan tetapi diarahkan pada telaah redaksi dan makna guna
menetapkan keabsahan suatu hadis. Karena itu, kritik matan merupakan upaya positif
dalam rangka menjaga kemurnian matan hadis, di samping juga untuk
mengantarkan pada pemahaman yang lebih tepat terhadap hadis Rasulullah saw.
Dasar-dasar kritik matan yang telah dibangun oleh para sahabat di atas, pada
tahap berikutnya dikembangkan oleh para mgenerasi tabi‟in. Ayyub al-Sakhtiyani
(tabi‟in) misalnyammenyatakan, “Jika engkau ingin mengetahui kesalahan gurumu,
maka duduklah engkau (baca: belajar hadis) kepada selainnya”. Maksud ungkapan
tersebut adalah bahwa untuk mengetahui kesalahan-kesalahan hadis haruslah dengan
melakukan kritik, yang antara lain dilakukan dengan mempelajari hadis secara
mendalam melalui perawi yang lain.
11
Ali Mustafa Ya’kub, Imam Bukhari, hlm. 26.
14
Dari kasus di atas, dapat dipahami bahwa kritik matan hadis ternyata juga
berkembang di era tabi‟in.Jika di era sahabat dan tabi‟in kritik matan masih dalam
bentuk yang sangat sederhana,maka pada era atba' at-tabi'in, kritik matan mulai
menemukan model baru yang lebih sempurna. Kesempurnaan bentuk kritik matan diera
ini dapat ditunjukkan dengan adanya upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk
mulai menspesialisasikan dirinya sebagai kritikus hadis, seperti Malik, as-Sauri, dan
Syu‟bah. Kemudian disusul dengan munculnya kritikus hadis lainnya seperti
„Abdullah bin al-Mubarak, Yahya bin Sa‟id al-Qattan, „Abd ar-Rahman bin Mahdi,
dan al-Imam asy-Syafi’i. Jejak mereka diikuti oleh Yahya bin Ma‟in, „Ali bin al-
Madini, dan Imam Ahmad. Namun, perlu dipertegas bahwa munculnya para
kritikus tersebut bukan berarti mereka hanya memperhatikan aspek matan, tetapi
mereka juga mengkaji aspek sanad dan matan sekaligus.
Ada beberapa cara untuk memahami sebuah hadis agar tidak meleset dari apa
yang dimaksud dan dikehendaki oleh pesan sabda rasul antara lain adalah:
1. Pemahaman Tekstual
Pemahaman hadis dengan cara tektual artinya memahami sebuah hadis dengan
apa adanya pada teks hadis (lafzhiyah). Pada dasarnya hadis dapat dipahami secara
tektual, namun apabila tidak dapat dipahami secara tektual, maka bisa ditempuh dengan
pemahaman kontektual. Kebanyakan hadis yang dibaca oleh umat Islam adalah tektual
seperti hadis:
“Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat “ Hadis ini bisa dipahami
dengan jelas melalui teks (lafazh) hadis itu sendiri. Contoh lain hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
فيما سقت السماء والعيون العشر وفيما سقي ابلنضح نصف العشر رواه البخارى
“Hasil panen yang diairi oleh tadah hujan dan mata air kewajiban mengeluarkan
zakatnya sepersepuluh (10%) dan pada tanaman yang disiram dengan kincir air (alat),
wajib zakatnya seperduapuluh (5%).”
15
Hadis ini bisa dipahami dengan melalui tektual (lafazh hadis),dan hadis-hadis
yang dipahami secara tektual seperti ini sangat banyak.
Apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami dengan tektual, maka harus
dipahami dengan kontektual yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafazh
(teks) hadis itu sendiri, bisa dipahami dengan yang ada kaitanya dengan asbab wurud al
hadis, secara geografis, sosio-kultural dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis,
ada hadis yang diriwayatkan karena faktor-faktor tertentu, ada yang tidak mempunyai
faktor dan latar belakang tertentu, dia datang begitu saja, seperti Alquran ada yang
turun ibtida’an tanpa ada sebab, ada yang turun karena ada sebab kejadian, pertanyaan
atau peristiwa-peristiwa yang dialamioleh rasul dan para shabatnya, demikian halnya
dengan hadis.
Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar apakah hadis yang akan dikaji
itu mempunyai latar belakang asbab wurud atau tidak, karena mengetahui asbab wurud
hadis akan memudahkan pemahaman terhadap hadis, seperti asbab nuzul ayat apabila
diketahui maka akan memudahkan pemahaman terhadap ayat.
Tela’ah historis melalui sebab wurud hadis sangat penting dilakukan karena
dengan mengetahuinya, maka akan diketahui makna hadis yang umum, khusus, mutlak,
muqayyad, sehingga diketahui makna hadis sesuai porsinya. Seperti hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
“Rasulullah saw bersabda apabila kamu sekalian hendak dating (menunaikan shalat)
Jumat maka hendaklah dia mandi.”
Menurut Imam Daud al-Zhohiri hadis tersebut menunjukkan wajib bagi setiap
muslim yang hendak pergi shalat Jumat melakukan mandi sebelumnya.Hadis ini
mempunyai sebab wurud, yaitu ketika dua orang penduduk Irak datang kepada Ibnu
Abas dan bertanya tentang mandi pada waktu hendak melakukan Jumat.
16
4. Pemahaman dengan Geografis
Hadis ini disabdakan rasul ketika di kota Madinah sebelah utara Ka’bah
(Mekkah), maka makna tektual hadis ini sangat tepat sekali bagi penduduk Madinah,
akan tetapi tidak tepat dan tidak berlaku untuk kota dan negeri lain seperti Indonesia.
Oleh karena itu, pemahaman hadis ini harus melalui pendekatan kontektual yaitu
dengan melihat lokasi dimana hadis ini disabdakan.
Hadis ini dipahami oleh sebagian sahabat bahwa rasul melarang shalat ashar
kecuali di Bani Quraizhoh, walaupun sudah habis waktunya (sesuai dengan tektual).
Sahabat lain memahami bahwa yang dimaksud oleh larangan rasul dan menyuruhnya
shalat ashar di Bani Quraizhoh adalah agar supaya cepat-cepat menuju Bani Quraizhoh
dan bukan keharusan shalat ashar disana. Dengan demikian bagi mereka yang jalanya
lambat dan tidak sampai Bani Quraizhoh kecuali setelah matahari terbenam, maka
mereka harus shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di
Bani Quraizhoh, karena apabila shalat ashar di Bani Quraizhoh sementara waktu Ashar
telah habis maka berarti mereka meninggalkan shalat Ashar pada waktunya dengan
17
sengaja. Setelah dikabarkan kepada rasul tentang masalah keduanya nabi membenarkan
kedua-duanya.
عن انس ابن مالك قال قال رسول هلال ص م اذا كان احدكم ىف الصالة فانه يناجى ربه فال
يبزقن بني يديه وال عن ميينه ولكن عن مشاله حتت قدمه رواه مسلم
“Dari Anas bin Malik Dia berkata Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang
kamu dalam keadaan shalat sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada tuhannya,
maka janganlah meludah diantara tangannya dan kesebelah kanannya, akan tetapi
kesebelah kiri dibawah telapak kakinya”.(H.R. Muslim)
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
19
Daftar pustaka
1. Dr. H. Wasman, M.Ag METODOLOGI KRITIK HADIS. CV. ELSI PRO. September
2021
20